41
27 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a 4.1.1. Suhu Permukaan Laut Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang Januari 1997 hingga Desember 2009 mengalami keragaman nilai rata-rata setiap bulannya (Gambar 12). Berdasarkan standar deviasi SPL tahunan di Selatan Jawa, diperoleh nilai rata-rata SPL tahunan rendah yakni 25,50-27,92 °C dan nilai rata- rata SPL tinggi yakni berkisar 27,93-30,21 °C (Lampiran 2) . Sehingga nilai rata- rata tertinggi ditemukan pada bulan Maret yakni 29,18 °C dan nilai rata-rata terendah 25,99 °C ditemukan pada bulan September. Keragaman rata-rata SPL setiap bulannya pada perairan Selatan Jawa ini tidak terlepas dari pengaruh musim. Pada musim Timur, angin berhembus dari dari tenggara menuju barat laut. Angin tersebut akan bergesekan dengan permukaan perairan sehingga terjadi arus laut. Tetapi akibat adanya pengaruh gaya gesekan dan gaya Coriolis, kecepatan arus yang disebabkan oleh angin tersebut berkurang secara eksponensial terhadap kedalaman. Arah arus tersebut menyimpang 45° ke kiri pada Bumi Bagian Selatan (BBS) dari arah angin serta sudut penyimpangan bertambah dengan bertambahnya kedalaman. Kejadian tersebut menyebabkan massa air di sepanjang pantai perairan Selatan Jawa bergerak menjauhi pantai (transpor Ekman). Adanya pergerakan massa air tersebut menyebabkan kekosongan massa air di sekitar pantai Selatan Jawa sehingga terjadi kenaikan massa air dari bawah yang memiliki suhu yang lebih rendah. Naiknya massa air dari bawah tersebut membutuhkan waktu untuk mengisi kekosongan massa air di permukaan atau disebut dengan time lag. Adanya time lag dari musim Timur inilah yang menyebabkan SPL yang lebih rendah ditemukan pada bulan September. Sementara itu, Wilopo (2005) dalam penelitiannya mengkaji bahwa puncak kecepatan rata-rata angin yang terjadi pada perairan Selatan Jawa hingga Sumbawa terjadi pada bulan Agustus (musim Timur) yang berkisar antara 6 m/s sampai 9.5 m/s. Kecepatan angin seperti ini pada bulan Agustus diduga

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

  • Upload
    lyquynh

  • View
    218

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

27

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Variabilitas Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a

4.1.1. Suhu Permukaan Laut

Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

Januari 1997 hingga Desember 2009 mengalami keragaman nilai rata-rata setiap

bulannya (Gambar 12). Berdasarkan standar deviasi SPL tahunan di Selatan Jawa,

diperoleh nilai rata-rata SPL tahunan rendah yakni 25,50-27,92 °C dan nilai rata-

rata SPL tinggi yakni berkisar 27,93-30,21 °C (Lampiran 2) . Sehingga nilai rata-

rata tertinggi ditemukan pada bulan Maret yakni 29,18 °C dan nilai rata-rata

terendah 25,99 °C ditemukan pada bulan September.

Keragaman rata-rata SPL setiap bulannya pada perairan Selatan Jawa ini

tidak terlepas dari pengaruh musim. Pada musim Timur, angin berhembus dari

dari tenggara menuju barat laut. Angin tersebut akan bergesekan dengan

permukaan perairan sehingga terjadi arus laut. Tetapi akibat adanya pengaruh

gaya gesekan dan gaya Coriolis, kecepatan arus yang disebabkan oleh angin

tersebut berkurang secara eksponensial terhadap kedalaman. Arah arus tersebut

menyimpang 45° ke kiri pada Bumi Bagian Selatan (BBS) dari arah angin serta

sudut penyimpangan bertambah dengan bertambahnya kedalaman. Kejadian

tersebut menyebabkan massa air di sepanjang pantai perairan Selatan Jawa

bergerak menjauhi pantai (transpor Ekman).

Adanya pergerakan massa air tersebut menyebabkan kekosongan massa air

di sekitar pantai Selatan Jawa sehingga terjadi kenaikan massa air dari bawah

yang memiliki suhu yang lebih rendah. Naiknya massa air dari bawah tersebut

membutuhkan waktu untuk mengisi kekosongan massa air di permukaan atau

disebut dengan time lag. Adanya time lag dari musim Timur inilah yang

menyebabkan SPL yang lebih rendah ditemukan pada bulan September.

Sementara itu, Wilopo (2005) dalam penelitiannya mengkaji bahwa puncak

kecepatan rata-rata angin yang terjadi pada perairan Selatan Jawa hingga

Sumbawa terjadi pada bulan Agustus (musim Timur) yang berkisar antara 6 m/s

sampai 9.5 m/s. Kecepatan angin seperti ini pada bulan Agustus diduga

Page 2: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

28

mengakibatkan upwelling yang sangat intensif di perairan Selatan Jawa (Purba et

al. 1992).

SPL yang cenderung lebih tinggi ditemukan pada musim Barat. Hal

tersebut disebabkan oleh posisi matahari pada musim Barat berada di BBS,

sehingga radiasi matahari yang diterima oleh perairan Selatan Jawa lebih besar

dibandingkan musim Timur. Kemudian, pada musim Barat angin berhembus dari

barat menuju tenggara dan adanya pengaruh gaya gesekan dan gaya Coriolis, arah

arus yang disebabkan angin tersebut menyimpang 45° ke kiri. Penyimpangan

tersebut mengakibatkan massa air bergerak menuju pantai perairan Selatan Jawa

sehingga tidak ditemukan adanya kekosongan dan kenaikan massa air.

Wyrtki (1961) juga menyatakan bahwa tingginya SPL pada musim Barat

di wilayah Barat Sumatera diperkirakan akibat adanya pergerakan massa air dari

perairan Samudera Hindia dekat ekuator menuju perairan Barat Sumatera yang

dikenal dengan Arus Sakal Khatulistiwa Samudera Hindia (AHS). Arus ini

membawa massa air yang hangat akibat penerimaan bahang yang terus-menerus

selama perjalanannya. AHS bergerak menyusuri pantai barat daya Sumatera dan

bertemu dengan Arus Khatulistiwa Selatan (AKS) dari timur. Kemudian, arus

tersebut terdesak dan mengalir dekat pantai di perairan Selatan Jawa sebagai Arus

Pantai Jawa (APJ). APJ mencapai puncaknya pada bulan Maret (Wyrtki, 1961).

Gambar 12. Rata-rata SPL Januari – Desember pada rentang 1997-2009

24

25

26

27

28

29

30

( C)

(Bulan)

Rata-rata Suhu Permukaan Laut

(1997-2009)

Page 3: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

29

Variasi nilai rata-rata dari SPL juga terjadi setiap bulan pada musim yang

sama (musim Barat) dalam rentang tahun 1997 hingga 2009 (Gambar 13). Pada

musim ini SPL rata-rata yakni 28,85 °C dengan kisaran 27,5 °C – 30,5 °C. SPL

terendah terjadi pada Februari tahun 1997 dan tertinggi terjadi pada Februari

1998. Tingginya SPL pada Desember hingga Februari disebabkan oleh radiasi

matahari serta APJ yang membawa massa air yang lebih hangat dari pantai Barat

Sumatera menuju pantai Selatan Jawa. Adanya perbedaan nilai SPL pada bulan

dan musim yang sama pada tahun yang berbeda di perairan Selatan Jawa diduga

diakibatkan oleh perbedaan kekuatan pengaruh musim maupun fenomena IOD

serta ENSO terhadap perairan tersebut setiap tahunnya.

Gambar 13. Rata-rata SPL bulanan musim Barat pada rentang 1997-2009

Musim Timur memiliki variasi SPL yang lebih rendah dibandingkan

musim barat yakni dengan rata-rata 26,93 °C dan berkisar 24,8 °C – 29,85 °C

(Gambar 14). Pada musim Timur, posisi matahari berada pada Bumi Bagian Utara

(BBU), sehingga radiasi matahari yang diterima perairan Selatan Jawa cenderung

lebih lemah dibandingkan pada musim Barat. Serta SPL yang rendah tersebut juga

disebabkan adanya transpor Ekman pada musim Timur yang menyebabkan

24.00

25.00

26.00

27.00

28.00

29.00

30.00

( C)

(Tahun)

Variasi SPL Musim Barat (1997-2009)

Desember

Januari

Februari

Page 4: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

30

adanya kenaikan massa air dari lapisan bawah yang memiliki suhu rendah menuju

permukaan (Wrytki, 1961).

Susanto et al. (2001), mengungkapkan terjadinya kenaikan massa air di

perairan Selatan Jawa sangat dipengaruhi oleh angin Muson Tenggara. Sehingga

adanya perbedaan rata-rata SPL pada musim Timur setiap bulannya pada tahun

yang berbeda (Gambar 14), mengindikasikan bahwa kekuatan tiupan angin Muson

Tenggara juga memiliki variasi setiap tahunnya. Hal ini terlihat jelas dari variasi

SPL yang ditemukan pada musim Barat dan Musim Timur dengan rentang 1997

hingga 2009.

Gambar 14. Rata-rata SPL bulanan musim Timur pada rentang 1997-2009

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, adanya variasi musiman SPL di

perairan Selatan Jawa (Gambar 15) disebabkan oleh posisi dan radiasi matahari,

masuknya massa air hangat dari perairan Barat Sumatera menuju Selatan Jawa

dan juga disebabkan adanya kenaikan massa air laut. Musim peralihan I memiliki

nilai SPL yang paling tinggi daripada musim lainnya yakni 29,06 °C. Hal ini

disebabkan oleh radiasi matahari dan proses terjadinya APJ tidak terjadi dalam

waktu singkat. Radiasi matahari diterima perairan Selatan Jawa secara terus-

menerus selama musim Barat hingga peralihan I serta puncak pergerakan massa

24.00

25.00

26.00

27.00

28.00

29.00

30.00

( C)

(Tahun)

Variasi SPL Musim Timur (1997-2009)

Juni

Juli

Agustus

Page 5: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

31

air hangat yang dibawa oleh APJ ke perairan Selatan Jawa ditemukan pada bulan

Maret (Purba et al. 1992) yang sudah memasuki musim Peralihan I.

Kemudian, nilai SPL yang paling rendah terjadi pada musim Peralihan II

yakni 26,90 °C dan tidak jauh berbeda dengan SPL pada musim Timur yakni

26,93°C. Rendahnya SPL pada musim Timur disebabkan adanya oleh radiasi

matahari pada musim Timur tidak sekuat musim Barat dan ditemukan juga

transpor Ekman yang menyebabkan naiknya massa air di perairan Selatan Jawa.

Demikian halnya dengan musim Peralihan II, walaupun arah angin sudah tidak

menentu di perairan Selatan Jawa tetapi dampak dari transpor Ekman yang

disebabkan oleh angin Muson tenggara masih berkembang pada musim ini.

Kejadian ini terbukti dari Gambar 15 bahwa musim Peralihan II memiliki SPL

yang rendah yang merupakan dampak dari adanya kejadian upwelling. Ketika

dampak dari tiupan angin Muson Tenggara berangsur-angsur berkurang maka

terlihat pada musim Barat dan Peralihan II, SPL di perairan Selatan Jawa

cenderung meningkat.

Gambar 15. Rata-rata SPL musiman pada rentang 1997-2009

28.8529.06

26.93 26.90

24.00

25.00

26.00

27.00

28.00

29.00

30.00

Musim Barat Peralihan I Musim Timur Peralihan II

( C) Variasi SPL Musiman (1997-2009)

Page 6: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

32

4.1.2. Klorofil-a

Kandungan Klorofil-a dalam rentang 1997 hingga 2009 di perairan Selatan

Jawa mengalami variasi nilai rata-rata baik bulanan dan juga musiman.

Berdasarkan variasi bulanan, kandungan klorofil-a tertinggi diperoleh pada bulan

Oktober dengan nilai 0,884 mg/m³ (Gambar 16). Pada variasi bulanan, terlihat

bahwa nilai klorofil-a mulai meningkat sejak bulan Juni dan mulai berkurang pada

bulan November. Adanya variasi ini kemungkinan disebabkan oleh pengaruh

musim, pergerakan massa air, serta fenomena seperti IOD atau ENSO yang

mempengaruhi perairan Selatan Jawa.

Demikian dengan variasi musiman, kandungan klorofil-a musim Barat

memiliki rata-rata 0,195 mg/m³ (Gambar 17). Pada musim Barat kandungan

klorofil-a memiliki nilai yang cenderung rendah. Kandungan Klorofil tertinggi

pada musim ini ditemukan pada Desember 2006 yakni 1,054 mg/m³ dan

kandungan klorofil-a terendah ditemukan pada Desember 1998 yakni 0,093

mg/m³. Terdapat anomali kandungan klorofil-a pada musim Barat yakni pada

Desember 1997 (0,847 mg/m³) dan Desember 2006 (1,054 mg/m³).

Gambar 16. Rata-rata Klorofil-a bulanan pada rentang 1997-2009

0.000

0.200

0.400

0.600

0.800

1.000

1.200

(mg/m3)

(Bulan)

Rata-rata Klorofil-a

(1997-2009)

Page 7: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

33

Gambar 17. Rata-rata Klorofil-a bulanan musim Barat pada rentang 1997-2009

Anomali klorofil-a yang terjadi pada Desember 1997/2006 disebabkan

adanya fenomena IOD positif serta adanya fenomena El Niňo yang kuat pada

tahun-tahun ini. Murtugudde et al. (1999) menyatakan bahwa IOD positif

mempengaruhi produktivitas primer di lepas pantai Barat Sumatera dan Selatan

Jawa dengan cara mengubah pola upwelling. Demikian juga dengan Susanto et al.

(2001) dalam penelitiannya menemukan bahwa ENSO mempengaruhi penaikan

massa air (upwelling) di Selatan Jawa dan barat daya Sumatera. Dengan adanya

pengaruh dari kedua fenomena ini, intensitas kenaikan massa air laut yang terjadi

pada musim Timur juga semakin tinggi dari biasanya sehingga dampaknya masih

ditemukan pada bulan Desember yang telah memasuki musim Barat.

Variasi kandungan klorofil-a juga ditemukan pada musim Timur di

perairan Selatan Jawa (Gambar 18). Seperti halnya pada musim Barat, adanya

variasi ini kemungkinan disebabkan oleh pengaruh musim, pergerakan massa air,

serta fenomena seperti IOD atau ENSO yang mempengaruhi perairan Selatan

Jawa. Kandungan klorofil-a pada musim Timur memiliki nilai rata-rata yakni 0,52

mg/m³ dengan nilai yang lebih tinggi dibandingkan musim Barat. Kandungan

klorofil-a yang lebih tinggi ini terjadi karena kenaikan massa air pada musim

Timur.

0.000

0.200

0.400

0.600

0.800

1.000

1.200

(mg/m3)

(Tahun)

Klorofil-a Musim Barat (1997-2009)

Desember

Januari

Februari

Page 8: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

34

Massa air dari bawah naik ke permukaan dan membawa nutrient ke

permukaan sehingga memacu pertumbuhan dari fitoplankton. Pada musim Timur,

rata-rata klorofil-a tertinggi terjadi pada Agustus 2006 yakni 1,221 mg/m³ dan

rata-rata klorofil terendah terjadi pada Juli 1998 yakni 0,181 mg/m³. Pada musim

Timur tahun 1998, nilai rata-rata klorofil-a memiliki nilai yang lebih rendah

dibandingkan musim Timur pada tahun lainnya. Hal ini disebabkan pada musim

Timur tahun 1998 terjadi fenomena IOD negatif bersamaan dengan La Niňa.

Kejadian ini kemungkinan mempengaruhi intensitas kenaikan massa air pada

musim Timur.

Begitu juga dengan Agustus 2006 yang memiliki rata-rata kandungan

klorofil tertinggi pada musim Timur. Hal tersebut disebabkan kuatnya intensitas

upwelling yang terjadi pada tahun ini karena dipengaruhi oleh IOD positif dan El

Niňo. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Kunarso dkk. (2012)

bahwa kejadian IOD positif memperkuat adanya transpor Ekman serta El Niňo

mengakibatkan adanya pendangkalan thermoklin.

Gambar 18. Rata-rata Klorofil-a bulanan musim Timur pada rentang 1997-2009

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

(mg/m3)

(Tahun)

Klorofil-a Musim Timur (1997-2009)

Juni

Juli

Agustus

Page 9: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

35

Berdasarkan variasi klorofil-a musiman pada rentang 1997 hingga 2009

ditemukan bahwa musim Peralihan I memiliki nilai rata-rata kandungan klorofil-a

terendah yakni 0,189 mg/m³ dan musim Peralihan II memiliki nilai rata-rata

kandungan klorofil-a tertinggi yakni 0,711 mg/m³. Pada musim Barat dan musim

Peralihan II nilai klorofil-a cenderung rendah dan pada musim Timur dan musim

Peralihan II nilai klorofil-a cenderung lebih tinggi (Gambar 19).

Nilai klorofil-a yang rendah pada musim Barat dan Musim Peralihan I

terjadi karena pada musim ini terdapat APJ yang membawa massa air hangat

masuk ke perairan Selatan Jawa serta mengakibatkan semakin dalamnya

thermoklin. Hal ini memperkecil kemungkinan untuk adanya kenaikan massa air

serta pada musim ini juga berkembang angin Muson Barat Laut yang tidak

berdampak adanya kenaikan massa air di perairan Selatan Jawa. Pada musim

Timur dan musim Peralihan II memiliki nilai rata-rata klorofil-a lebih tinggi yakni

0,52 mg/m³ dan 0,711 mg/m³. Hal ini disebabkan berhembusnya angin Muson

Tenggara pada perairan ini yang berdampak terjadinya kenaikan massa air. Massa

air yang naik kepermukaan cenderung kaya akan zat hara, maka dengan naiknya

massa air tersebut akan menyuburkan kawasan perairan permukaanya dan

memacu pertumbuhan fitoplankton.

Gambar 19. Rata-rata kandungan klorofil-a musiman pada rentang 1997-2009

0.195 0.189

0.520

0.711

0.000

0.100

0.200

0.300

0.400

0.500

0.600

0.700

0.800

Musim Barat Peralihan I Musim Timur Peralihan II

(mg/m3) Variasi Klorofil-a Musiman (1997-2009)

Page 10: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

36

Variasi nilai klorofil-a musiman ini juga dikaji oleh Fatma (2006) dengan

menemukan konsentrasi klorofil-a pada musim Timur lebih tinggi dibandingkan

musim Barat pada rentang tahun 2004-2005. Tingginya konsentrasi klorofil-a

pada musim Timur dan musim Peralihan di Selatan Jawa juga dibuktikan dengan

data tangkapan ikan Cakalang pada zona WPP-RI 573 (Lampiran 3) yang

diperoleh dari Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan (PIPP) Labuhan Lombok

pada tahun 2008 (Gambar 20).

Tingginya klorofil-a yang bersumber dari fitoplankton dapat mendukung

konsentrasi zooplankton yang sangat besar dan mengakibatkan melimpahnya

keberadaan ikan. Hal ini dapat dilihat dari hasil tangkapan ikan cakalang pada

musim Barat dan musim Peralihan I yang cenderung lebih rendah dibandingkan

dengan musim Timur dan musim Peralihan II (Gambar 20). Ketika kandungan

klorofil-a tertinggi ditemukan pada musim Peralihan II, hasil tangkapan ikan

cakalang juga menunjukkan nilai yang tertinggi pada musim Peralihan II.

Demikian juga dengan Kusnawan (1999) menemukan bahwa musim penangkapan

tertinggi untuk ikan Cakalang di perairan Pelabuhan Ratu yakni musim Timur dan

Peralihan II karena kondisi perairan yang baik dan dampak kejadian upwelling

ditemukan pada Musim ini.

Gambar 20. Hasil tangkapan Cakalang di zona WPP-RI 573 tahun 2008

(PIPP Labuhan Lombok 2008)

0

20000

40000

60000

80000

100000

120000

140000

160000

Musim Barat Peralihan I Musim Timur Peralihan II

Hasi

l T

an

gk

ap

an

(K

g)

Hasil Tangkapan Cakalang di zona WPP-RI 573

tahun 2008

Page 11: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

37

4.2. Upwelling di Perairan Selatan Jawa

Dahuri et al. (1996), menyatakan bahwa SPL perairan Nusantara berkisar

antara 28 – 31 °C. Serta adanya proses upwelling ditandai dengan gradient SPL

yang cukup mencolok atau sekitar >2 °C dengan perairan sekitarnya dan

upwelling juga akan menyuburkan kawasan permukaan perairan yang

menyebabkan tingginya kandungan klorofil-a. Demikian juga dengan Kunarso

dkk. (2005), menyatakan bahwa SPL perairan selatan NTT hingga Barat Sumatera

ketika tidak terjadi upwelling berkisar 29 – 31 °C. Serta selain ditandai dengan

kandungan klorofil yang tinggi, upwelling juga ditandai dengan SPL pada kisaran

25 – 27,5 °C. Hal ini juga didukung dengan standar deviasi SPL tahunan yang

diperoleh di Selatan Jawa pada rentang 1997 hingga 2009 yakni, nilai SPL

tahunan yang rendah yakni 25,50-27,92 °C dan nilai SPL tinggi yakni berkisar

27,93-30,21 °C.

Maka, sesuai dengan teori dari indentifikasi upwelling tersebut diperoleh

variasi kejadian upwelling di Selatan Jawa pada rentang 1997 hingga 2009 yang

dianalisis berdasarkan nilai dan sebaran SPL secara spasial dan juga temporal

(Tabel 4).

Tabel 4. Variasi kejadian upwelling rentang 1997-2009

Tahun

Kejadian Upwelling Rata-rata SPL

(° C)

Klorofil-a

(mg/m³)

1997 Juli - November 25,38 2,794

1998 September 27,68 0,276

1999 Juni - Oktober 26,22 0,771

2000 Juni - November 27,00 0,372

2001 Juni - Oktober 27,33 0,381

2002 Juni - November 26,92 0,536

2003 Juni - November 26,40 0,599

2004 Juli - November 26,71 0,454

2005 Juli - Oktober 26,93 0,404

2006 Juni - November 25,82 1,359

2007 Juni - Oktober 26,31 0,871

2008 Juni - Oktober 26,12 0,716

2009 Juli - Oktober 26,94 0,493

Page 12: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

38

Variasi dari kekuatan kejadian upwelling juga dapat dilihat berdasarkan

nilai rata-rata SPL dan juga klorofil-a saat terjadi upwelling (Tabel 4). Tahun 1997

merupakan tahun terjadinya upwelling terkuat dengan SPL terendah yakni

25,38 °C dan kandungan klorofil-a tertinggi yakni 2,794 mg/m³. Sebaliknya,

Tahun 1998 merupakan tahun terjadinya upwelling terlemah dengan nilai SPL

tertinggi yakni 27,68 °C dan kandungan klorofil terendah yakni 0,276 mg/m³.

Tahun 1997, upwelling di perairan Selatan Jawa dimulai dari bulan Juli

dan berakhir pada bulan November (Tabel 4). Pada bulan Juli, daerah upwelling

ditandai dengan adanya SPL yang rendah sekitar 24 - 26 °C di sekitar pantai

Selatan Jawa (Gambar 21). Hal ini terjadi karena pada bulan Juli berhembus angin

Muson Tenggara sehingga ditemukan adanya proses Ekman transpor di perairan

Selatan Jawa. Adanya Ekman transpor tersebut mengakibatkan terjadinya

kekosongan massa air di permukaan sehingga massa air dari bawah dengan suhu

rendah akan naik ke permukaan.

Gambar 21. Sebaran SPL Juli 1997

Puncak dari kejadian upwelling pada tahun ini terjadi pada bulan

September yakni dengan rata-rata SPL terendah 24,74 °C dan rata-rata klorofil-a

1,143 mg/m³. Kejadian upwelling ini dilihat dari sebaran SPL yang rendah

disepanjang perairan Selatan Jawa (Gambar 22a). Sebaran SPL yang cenderung

lebih rendah atau indikasi terjadinya upwelling yang kuat pada bulan ini

ditemukan pada area 8° – 9°LS dan 110° - 113°BT. Upwelling kuat dengan durasi

Page 13: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

39

kejadian yang cukup lama pada tahun ini diduga kerena dipengaruhi oleh kejadian

IOD positif terjadi bersamaan dengan fase El Niňo.

Kejadian upwelling pada September 1997 ini juga dibuktikan dengan

kontur sebaran vertikal suhu pada garis 10°LS dengan bujur 90°BT – 115°BT

(Gambar 22b). Berdasarkan kontur sebaran vertikal suhu, terlihat adanya kenaikan

massa air pada kedalaman 0 – 100 m di garis 105°BT – 115°BT yang berada di

sekitar perairan Selatan Jawa. Terjadinya upwelling yang kuat pada tahun 1997 di

lokasi penelitian ini, dikarenakan adanya Ekman transpor yang menyebabkan

kenaikan massa air pada musim Timur serta pada tahun ini ditemukan fase El

Niňo dan IOD positif yang diduga mempengaruhi durasi dan intensitas terjadinya

upwelling.

Gambar 22. a) Sebaran SPL pada September 1997, b) Sebaran vertikal suhu

September 1997 (Dipo dkk. 2011)

Page 14: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

40

Tahun 1998, kekuatan serta durasi upwelling di perairan Selatan Jawa

lebih rendah dibanding dengan tahun-tahun lainnya. Hal ini berdasarkan sebaran

SPL yang lebih tinggi secara spasial dan temporal ditemukan pada tahun ini.

Durasi upwelling pada tahun ini juga hanya terjadi pada bulan September (Tabel

4). Area terjadinya upwelling juga lebih sempit apabila dibandingkan dengan area

upwelling pada September 1997.

Wyrtki (1961), menyatakan bahwa pada musim Timur bertiup angin

Muson Tenggara yang dapat menyebabkan kenaikan massa air di perairan Selatan

Jawa. Kemudian kenaikan massa air tersebut akan mengakibatkan SPL yang lebih

rendah pada musim Timur. Tetapi pada hasil olahan data penelitian ditemukan

bahwa pada Juni hingga Agustus 1998, SPL di area penelitian masih cenderung

tinggi. Sebaran SPL yang tinggi pada Juli 1998 disajikan pada Gambar 23.

Gambar 23. Sebaran SPL pada Juli 1998

Untuk upwelling yang terjadi pada bulan September dapat dilihat

berdasarkan sebaran SPL yang rendah pada area penelitian (Gambar 24a). Area

serta kekuatan upwelling pada September 1998 cenderung lebih kecil dibanding

area serta kekuatan upwelling yang terjadi pada September 1997. Lemahnya

durasi serta intensitas pada tahun ini diduga karena adanya pengaruh dari kejadian

La Niňa pada tahun ini yang menyebabkan semakin dalamnya thermoklin di area

penelitian (Susanto et al. 2001) dan juga terjadi IOD negatif yang menyebabkan

pergerakan AHS dan APJ yang membawa massa air hangat masuk ke area

penelitian semakin kuat.

Page 15: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

41

Hal ini juga dibuktikan dengan kontur sebaran suhu vertikal pada bulan

September 1998. Berdasarkan kontur sebaran vertikal suhu, terlihat bahwa pada

bulan ini kenaikan massa air cenderung tidak terlihat pada pada kedalaman

0 – 100 m di garis 105°BT – 115°BT yang berada di sekitar perairan Selatan Jawa

(Gambar 24b). Lapisan termoklin pada kedalaman 100 – 300m cenderung lebih

tebal dan homogen apabila dibandingkan dengan lapisan thermoklin pada kontur

sebaran vertikal suhu September 1997.

Gambar 24. a)Sebaran SPL pada September 1998, b)Kontur sebaran suhu

pada September 1998 (Dipo dkk. 2011)

Page 16: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

42

Upwelling di perairan Selatan Jawa pada tahun 1999, terjadi dari pada

bulan Juni hingga Oktober. Pucak upwelling ditemukan pada bulan Agustus

dengan nilai SPL 25,69 °C dengan nilai klorofil-a 0,893 mg/m³ (Gambar 25).

Kejadian upwelling ini ditandai dengan sebaran SPL yang rendah disepanjang

perairan Selatan Jawa. Berdasarkan sebaran SPL pada Gambar 25, kejadian

upwelling pada Agustus 1999 ini memiliki area yang lebih luas dibanding pada

kejadian tahun 1998. Sebaran SPL dengan nilai paling rendah yang

mengindikasikan area terjadinya upwelling kuat ditemukan di sekitar pantai Jawa

Tengah hingga Jawa Timur.

Demikian halnya dengan sebaran klorofil-a yang tinggi sebagai indikasi

terjadinya upwelling, pada bulan ini ditemukan disepanjang pantai Selatan Jawa.

Pola dari sebaran klorofil-a ini juga cenderung mengikuti pola sebaran SPL

sehingga dapat disimpulkan bahwa tingginya klorofil-a pada bulan ini disebabkan

karena adanya kenaikan massa air yang kaya akan nutrien.

Gambar 25. Sebaran SPL dan Klorofil-a Agustus 1999

Page 17: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

43

Berbeda dengan upwelling yang terjadi pada tahun 2000. Upwelling pada

tahun ini terjadi dengan durasi yang lebih lama dibanding tahun 1999. Tetapi

kekuatan upwelling yang terjadi cenderung lebih lemah berdasarkan rata-rata

temporal SPL yakni 27,00 °C dan juga rata-rata klorofil-a yang rendah yakni

0,372 mg/m³. Puncak terjadinya upwelling pada tahun ini terjadi pada bulan

Agustus dengan SPL yang paling rendah dibanding bulan lainnya yakni 26,31 °C

dan juga nilai rata-rata klorofil paling tinggi yakni 0,483 mg/m³ (Gambar 26).

Kejadian puncak upwelling pada tahun ini yang disajikan pada Gambar 26,

ditemukan bahwa disepanjang Selatan Jawa ditemukan sebaran SPL yang rendah.

Begitu juga dengan sebaran klorofil-a di sepanjang Selatan Jawa yang tinggi

mengikuti pola sebaran SPL. Berdasarkan sebaran spasial SPL pada pucak

upwelling tahun 2000 ini, dapat disimpulkan bahwa kekuatannya lebih lemah

dibanding tahun 1999.

Gambar 26. Sebaran SPL dan Klorofil-a Agustus 2000

Page 18: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

44

Durasi terjadinya upwelling yang lebih cepat dibandingkan pada tahun

2000 yakni terjadi pada bulan Juni hingga Oktober ditemukan pada tahun 2001.

Kekuatannya pada tahun ini juga lemah berdasarkan rata-rata SPL saat kejadian

upwelling yang cenderung tinggi yakni 27,33 °C. Puncak kejadian upwelling pada

tahun ini terjadi pada bulan September dengan nilai SPL paling rendah dibanding

dengan bulan lainnya yakni 26,63 °C serta nilai rata-rata klorofil-a tertinggi yakni

0,599 mg/m³ (Gambar 27).

Nilai rata-rata SPL yang diperoleh pada tahun ini memiliki nilai kedua

tertinggi setelah tahun 1998. Demikian juga dengan rata-rata klorofil-a pada tahun

ini memiliki nilai yang rendah yakni 0,381 mg/m³. Berdasarkan sebaran spasial

SPL dan klorofil-a, area upwelling pada bulan September ditemukan disepanjang

perairan Selatan Jawa dengan kekuatan yang cenderung lebih lemah dari tahun

2000 (Gambar 27).

Gambar 27. Sebaran SPL dan Klorofil-a September 2001

Page 19: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

45

Durasi dan kekuatan upwelling yang lebih tinggi daripada tahun

sebelumnya ditemukan pada tahun 2002. Upwelling pada tahun ini terjadi dengan

durasi yang lama dan kekuatan yang lebih tinggi dibandingkan tahun 2000 dan

2001. Hal tersebut berdasarkan nilai rata-rata SPL yang lebih rendah saat kejadian

upwelling pada tahun ini yakni 26,92 °C dan dengan nilai rata-rata klorofil-a

0,536 mg/m³. Puncak kejadian upwelling pada tahun ini terjadi pada bulan

September yang memiliki nilai rata-rata SPL terendah yakni 25,48 °C dengan nilai

rata-rata klorofil-a 0,679 mg/m³ (Gambar 28).

Pada bulan ini, sebaran SPL rendah yang mengindikasikan terjadinya

upwelling ditemukan disepanjang perairan Selatan Jawa serta sebaran klorofil-a

yang cenderung tinggi juga ditemukan disepanjang pantai Selatan Jawa (Gambar

28). Berdasarkan sebaran SPL secara spasial, upwelling pada tahun ini lebih lebih

kuat dari kejadian pada tahun 2000 dan 2001.

Gambar 28. Sebaran SPL dan Klorofil-a September 2002

Page 20: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

46

Kejadian upwelling di Selatan Jawa yang memiliki durasi yang sama

dengan tahun 2002 yakni terjadi dari Juni hingga November dengan nilai SPL

yang tidak jauh berbeda yakni 26,40 °C dan nilai rata-rata klorofil-a 0,599 mg/m³

ditemukan pada tahun 2003. Tetapi, puncak upwelling terjadi pada bulan yang

berbeda. Pada tahun ini puncak upwelling terjadi pada bulan Agustus dan kejadian

upwelling yang kuat sudah ditemukan sejak bulan Juli dengan nilai rata-rata SPL

25,43 °C (Gambar 29).

Nilai rata-rata SPL Agustus yakni 24,89 °C dengan nilai rata-rata

klorofil-a 0,894 mg/m³. Kejadian upwelling yang kuat pada bulan ini ditemukan di

sepanjang pantai Selatan Jawa. Hal ini berdasarkan sebaran spasial SPL yang

rendah dan juga sebaran klorofil-a yang tinggi (Gambar 29). Setelah kejadian

upwelling yang kuat pada tahun 1997, kejadian upwelling kuat ditemukan lagi

pada puncak upwelling tahun 2003.

Gambar 29. Sebaran SPL dan Klorofil-a Agustus 2003

Page 21: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

47

Tahun 2004, upwelling terjadi dari bulan Juli hingga November. Pada

tahun ini, durasi upwelling lebih singkat dibandingkan tahun 2002 dan 2003.

Rata-rata SPL pada kejadian upwelling tahun ini yakni 26,71 °C dengan nilai rata-

rata klorofil-a 0,454 mg/m³ serta puncak kejadian upwelling pada tahun ini terjadi

pada bulan September (Gambar 30).

Nilai rata-rata SPL pada bulan September yakni 25,87 °C dan nilai

klorofil-a 0,471 mg/m³. Tetapi kejadian upwelling yang kuat juga sudah

ditemukan sejak bulan Agustus dengan rata-rata SPL 25,92 °C dan nilai rata-rata

klorofil-a 0,666 mg/m³. Berdasarkan sebaran spasial dari SPL dan klorofil-a bulan

September 2004, upwelling terjadi di sepanjang perairan Selatan Jawa (Gambar

30). Tetapi, kekuatan upwelling yang terjadi cenderung melemah apabila

dibandingkan dengan tahun 2003.

Gambar 30. Sebaran SPL dan Klorofil-a September 2004

Page 22: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

48

Durasi kejadian upwelling yang lebih singkat dibandingkan dengan tahun

2004 ditemukan pada tahun 2005. Durasi terjadinya upwelling pada tahun ini,

terjadi dari bulan Juli hingga Oktober dengan nilai rata-rata SPL 26,93 °C dan

klorofil-a 0,404 mg/m³ dengan puncak kejadian upwelling ditemukan pada bulan

Agustus. Nilai SPL rata-rata pada bulan Agustus yakni 26,29 °C dan nilai rata-rata

klorofil-a yakni 0,513 mg/m³.

Berdasarkan sebaran spasial SPL dan klorofil-a pada bulan Agustus,

kejadian upwelling ditemukan di sepanjang perairan Selatan Jawa. Tetapi area

upwelling yang lebih kuat ditemukan pada area 8°-10°LS dan 109°-115°BT

(Gambar 31). Kejadian upwelling pada tahun ini juga cenderung melemah

dibandingkan kejadian tahun 2003 dan 2004.

Gambar 31. Sebaran SPL dan Klorofil-a Agustus 2005

Page 23: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

49

Upwelling yang kuat ditemukan lagi pada tahun 2006 dengan SPL

terendah kedua setelah tahun 1997 yakni 25,82 °C dan terjadi dari bulan Juni

hingga November. Nilai rata-rata klorofil-a pada tahun ini juga memiliki nilai

yang tinggi yakni 1,359 mg/m³. Kuatnya kejadian upwelling pada tahun ini

kemungkinan sama halnya dengan kejadian tahun 1997 dengan ditemukannya

kejadian IOD positif dan El Niňo yang memiliki pengaruh terhadap kejadian

upwelling (Murtugudde et al. 1999 dan Susanto et al. 2001).

Upwelling yang kuat pada tahun ini sudah ditemukan pada bulan Juli

hingga Oktober dengan SPL yang rendah di sepanjang Selatan Jawa. Tetapi

puncak upwelling terjadi pada bulan September dengan nilai rata-rata SPL yang

terendah yakni 24,72 °C dan nilai klorofil-a yang tinggi dengan nilai 1,236 mg/m³.

Kejadian upwelling disepanjang perairan Selatan Jawa pada bulan September,

ditandai dengan sebaran SPL dan klorofil-a (Gambar 32).

Gambar 32. Sebaran SPL dan Klorofil-a September 2006

Page 24: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

50

Dengan kejadian upwelling yang masih kuat tetapi sudah cenderung

melemah apabila dibandingkan dengan kejadian tahun 2006 dan terjadi dari bulan

Juni hingga Oktober dengan rata-rata SPL 26,31 °C dan nilai rata-rata klorofil-a

0,871 mg/m³ ditemukan pada tahun 2007. Hal tersebut juga terlihat dari sebaran

spasial SPL dan klorofil-a pada puncak upwelling tahun ini yang terjadi pada

bulan September (Gambar 33).

Nilai rata-rata SPL pada bulan September juga lebih tinggi dibandingkan

September 2006 yakni 25,31 °C. Demikian halnya apabila dibandingkan

berdasarkan sebaran spasial SPL dan klorofil-a pada September 2007 (Gambar

33), dapat disimpulkan bahwa kekuatan upwelling yang terjadi pada tahun 2007

cenderung melemah.

Gambar 33. Sebaran SPL dan Klorofil-a September 2007

Page 25: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

51

Kejadian upwelling kuat pada tahun 2006 dan 2007 juga dibuktikan

dengan kontur sebaran vertikal suhu September pada garis 10°LS dan 105°-

115°BT (Gambar 34). Pada tahun 2006 dan 2007, ditemukan adanya kenaikan

massa air pada kedalaman 0-200 meter. Pola naiknya massa air pada tahun 2006

dan 2007 tidak terlalu berbeda berdasarkan kontur sebaran vertikal suhu pada

garis ini. Meskipun demikian, berdasarkan nilai rata-rata SPL secara temporal

maupun spasial pada area penelitian, kejadian upwelling yang paling kuat terjadi

pada tahun 2006.

Terjadinya upwelling yang kuat pada bulan ini disebabkan tiupan angin

Muson Tenggara yang mengakibatkan adanya transpor Ekman pada musim Timur

sehingga dampaknya masih terjadi hingga musim Peralihan II. Oleh karena hal

tersebut sehingga puncak upwelling pada tahun 2006 dan 2007 ditemukan pada

bulan September yang sudah memasuki awal musim Peralihan II.

Gambar 34. a) Kontur sebaran suhu vertikal September , a)2006, b)2007

(Dipo dkk. 2001)

Page 26: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

52

Tahun 2008, upwelling terjadi dari bulan Juni hingga Oktober dengan nilai

rata-rata SPL 36,12 °C dan nilai rata-rata klorofil-a 0,716 mg/m³. Berdasarkan

nilai rata-rata dan sebaran spasial SPL dan klorofil-a, kekuatan upwelling pada

tahun 2008 tidak jauh berbeda dengan tahun 2007. Tetapi puncak dari upwelling

pada tahun ini terjadi pada bulan Juli.

Puncak upwelling yang pada tahun ini terjadi lebih awal apabila

dibandingkan dengan puncak upwelling tahun-tahun lainnya yang umumnya

terjadi antara Agustus atau September. Hal ini diduga karena kejadian upwelling

yang kuat pada tahun ini sudah ditemukan sejak bulan Juni (Gambar 35a). Hal ini

berarti bahwa, transpor Ekman di Selatan Jawa sudah kuat lebih awal sebelum

memasuki bulan Juli atau puncak upwelling pada tahun ini. Kejadian puncak

upwelling pada bulan ini ditandai dengan sebaran SPL yang rendah di sepanjang

perairan Selatan Jawa (Gambar 35b).

Gambar 35. a) Sebaran SPL Juni 2008, b) Sebaran SPL Juli 2008

Page 27: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

53

Durasi kejadian upwelling lebih singkat dibandingan tahun 2007 dan 2008

ditemukan pada tahun 2009. Tahun ini, upwelling terjadi dari bulan Juli hingga

Oktober dengan SPL rata-rata 26,94 °C dan kandungan klorofil-a rata-rata 0,493

mg/m³. Berdasarkan SPL secara temporal maupun spasial, upwelling pada tahun

ini cenderung lebih lemah daripada tahun 2007 dan 2008. Kejadian upwelling

yang kuat pada tahun ini terjadi pada bulan Agustus dan September serta puncak

upwelling ditemukan pada bulan Agustus dengan rata-rata SPL 26,21 °C dan nilai

rata-rata klorofil-a 0,669 mg/m³.

Berdasarkan sebaran SPL yang rendah dan klorofil-a yang tinggi,

upwelling pada bulan September terjadi di sepanjang perairan Selatan Jawa

(Gambar 36) meskipun memiliki kekuatan yang cenderung lebih lemah dari tahun

2007. Area upwelling yang kuat pada bulan ini ditemukan pada area 8°-10°LS dan

110°-115°BT.

Gambar 36. Sebaran SPL dan Klorofil-a Agustus 2009

Page 28: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

54

Dari pembahasan kejadian upwelling secara keseluruhan dari tahun 1997

hingga 2009, diperoleh bahwa kejadian upwelling di Selatan Jawa umumnya

memiliki puncak antara bulan Agustus atau September kecuali kejadian pada

tahun 2008 yang memiliki puncak pada bulan Juli. Kejadian ini konsisten dengan

pernyataan Wyrtki (1962), bahwa upwelling di Selatan Jawa terjadi karena adanya

angin Muson Tenggara yang bertiup pada Juli-Agutus sehingga memungkinkan

puncak upwelling terjadi pada bulan Juli maupun Agustus. Demikian juga dengan

Purba (2007) dalam penelitiannya menemukan bahwa puncak upwelling di

perairan Selatan Jawa juga terjadi pada bulan September.

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, kejadian upwelling terkuat

ditemukan pada tahun 1997 dan 2006 serta kejadian upwelling terlemah

ditemukan pada tahun 1998, 2000 dan 2001. Hal ini dapat dibuktikan dengan

analisis spasial terhadap kecepatan transpor Ekman secara vertikal (Lampiran 7).

Sebaran warna ini memiliki arti berdasarkan skala yang disajikan pada gambar

yakni apabila area penelitian didominasi dengan warna kuning hingga merah, hal

tersebut berarti kecepatan transpor Ekman secara vertikal semakin tinggi (dalam

satuan m/s) sebaliknya apabila area penelitian didominasi oleh warna hijau hingga

ungu, berarti kecepatan transpor Ekman secara vertikal semakin rendah (dalam

satuan m/s).

Pada tahun 2006 puncak upwelling terjadi pada bulan September dengan

SPL yang mencapai 24,72 °C. Hal tersebut juga dibuktikan oleh kuatnya

kecepatan transpor Ekman secara vertikal yang ditampilkan secara horizontal di

area penelitian (Lampiran 7b). Hal tersebut ditandai dengan sebaran warna kuning

dan sebaran warna merah yang mendominasi area penelitian. Sedangkan pada

salah satu kejadian upwelling lemah yakni tahun 2001, Pada bulan September

kecepatan transpor Ekman secara vertikal pada area penelitian memiliki sebaran

yang cenderung lebih lemah. Hal tersebut ditandai dengan sebaran warna hijau

yang mendominasi area penelitian (NOAA 2013) (Lampiran 7a).

Page 29: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

55

4.3. Analisis Korelasi IOD dan ENSO Terhadap Kejadian Upwelling

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, kejadian upwelling di Selatan Jawa

umumnya terjadi pada musim Timur dan musim Peralihan II serta ditemukan

adanya variasi durasi serta kekuatan upwelling setiap tahunnya. Sementara itu,

fenomena IOD dan ENSO juga memiliki kejadian serta kekuatan yang bervariasi

pada rentang tahun tersebut. Pada penelitian sebelumnya, Murtugudde et al.

(1999) dan Susanto et al. (2001) menemukan adanya pengaruh fenomena IOD dan

juga ENSO terhadap karakteristik oseanografi perairan Selatan Jawa. Atas dasar

hal tersebut, maka dilakukan analisis korelasi Pearson untuk melihat hubungan

antara kejadian IOD dan ENSO dengan SPL rata-rata bulanan sebagai indikasi

terjadinya upwelling di area penelitian.

Data yang digunakan dalam analisis ini berdasarkan adanya kejadian IOD

dan ENSO seperti yang sudah dijelaskan pada metode penelitian. Variasi kejadian

IOD dan ENSO pada setiap tahunnya dan juga hasil dari korelasi antara kejadian

IOD dan ENSO dengan SPL Selatan Jawa disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Hasil korelasi DMI dan Niňo 3.4 dengan SPL

Tahun IOD-SPL ENSO-SPL p-value

1997 -0,691 -0,623 0,00

1998 0,708 0,638 0,00

1999 - -0,270 0,00

2000 - -0,689 0,00

2002 -0,743 -0,587 0,00

2003 -0,758 0,171 0,00

2004 - -0,766 0,00

2005 0,657 - 0,00

2006 -0,803 -0,570 0,00

2007 - 0,424 0,00

2008 -0,928 -0,877 0,00

2009 0,448 -0,344 0,00

*α = 0.05 (95%)

Ket : H0 = Tidak ada pengaruh antara IOD dan ENSO terhadap SPL

H1 = Ada pengaruh antara IOD dan ENSO terhadap SPL

Dasar Pengambilan Keputusan :

- Jika p-value > 0.05,maka H0 diterima

- Jika p-value < 0.05, maka H0 ditolak

Page 30: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

56

Berdasarkan nilai korelasi pada Tabel 5, beserta hipotesis dan dasar

pengambilan keputusan yang digunakan, dengan nilai p-value > 0.05 pada setiap

tahunnya, maka H0 ditolak. Hal ini berarti, korelasi antara nilai variabel signifikan

atau terdapat pengaruh antara IOD dan ENSO terhadap SPL. Berdasarkan nilai

korelasi ini juga, interval kekuatan hubungan antara variabel dapat ditentukan

berdasarkan Tabel 3 yakni berkisar pada interval kekuatan sangat lemah sampai

kuat berhubungan positif dan sangat kuat berhubungan negatif.

Tahun 1997, fenomena IOD positif dan El Niňo terjadi bersamaan dan

menunjukkan nilai anomali yang kuat dan memiliki pengaruh pada kondisi

oseanografi di perairan Selatan Jawa seperti yang dikemukakan oleh Murtugudde

et al. (1999) dan Susanto et al. (2001). Kejadian upwelling di Selatan Jawa

merupakan salah satu kondisi oseanografi yang dipengaruhi oleh adanya kejadian

IOD positif dan El Niňo. Pada tahun 1997 merupakan kejadian upwelling yang

paling kuat dan durasi terjadinya dari bulan Juli hingga November dengan

anomali SPL yang paling tinggi.

Berdasarkan nilai korelasi antara IOD dan El Niňo dengan SPL, diperoleh

dengan nilai r= -0.691 untuk IOD dan -0,623 untuk El Niňo atau adanya hubungan

kuat negatif. Hubungan kuat negatif ini berarti pada semakin besar nilai indeks

Niňo 3.4 yang menyatakan hal tersebut sebagai fase El Niňo maka SPL pada

Selatan Jawa memiliki nilai yang semakin rendah. Begitu juga dengan fase IOD,

semakin tinggi nilai dari DMI yang menyatakan hal tersebut sebagai fase IOD

positif maka SPL di Selatan Jawa memiliki nilai yang semakin rendah (Gambar

37).

Dengan nilai r yang tinggi atau nilai hubungan yang kuat antara kejadian

IOD dan El Niňo dengan SPL di Selatan Jawa, maka disimpulkan kejadian ini

memiliki pengaruh yang kuat terhadap kejadian upwelling di Selatan Jawa pada

tahun 1997. Hal ini sesuai dengan pernyataan Susanto et al. (2001), bahwa pada

saat periode El Niňo, angin Muson Tenggara yang berhembus di perairan

Indonesia bagian selatan menguat sehingga terjadi peningkatan upwelling di

Selatan Jawa serta Murtugudde et al. (1999) menyatakan bahwa fase IOD positif

mempengaruhi intensitas upwelling.

Page 31: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

57

Gambar 37. Grafik indeks Niňo 3.4, DMI dan anomali SPL tahun 1997

Tahun 2002 dan 2003 juga terjadi hal yang sama yakni ditemukan fase

IOD positif dan El Niňo terjadi bersamaan. Tetapi pada tahun ini, IOD positif

menunjukkan hubungan yang lebih kuat terhadap SPL Selatan Jawa dibandingkan

dengan El Niňo. Hal ini terlihat dari nilai r antara DMI dengan SPL pada tahun

2002 yakni r= -0,743 dan pada tahun 2003 yakni r= -0,758 yang berarti memiliki

hubungan kuat negatif. Nilai r untuk indeks Niňo 3.4 dengan SPL pada tahun

2002 yakni r= -0,587 yang berarti memiliki kekuatan hubungan yang sedang serta

pada tahun 2003 hanya diperoleh nilai r= 0,171 yang berarti memiliki hubungan

yang sangat lemah.

Lemahnya hubungan antara kejadian El Niňo dengan SPL di Selatan Jawa

ini kemungkinan disebabkan fase El Niňo yang kuat tidak terjadi pada saat musim

Timur sehingga kejadiannya tidak terlalu berpengaruh terhadap kenaikan massa

air. Pada tahun 2002, El Niňo yang kuat terjadi dari bulan September sedangkan

pada tahun 2003, El Niňo yang kuat terjadi dari bulan November. Berbeda dengan

IOD, fase IOD positif pada tahun 2002 dan 2003 terjadi dari musim Timur pada

tahun ini. Grafik hubungan antara IOD dan ENSO pada tahun 2002 dan 2003

terhadap SPL di Selatan Jawa disajikan pada Gambar 38 dan Gambar 39.

-2

-1

0

1

2

3

4

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des

Grafik indeks Nino 3.4, DMI dan Anomali SPL 1997

IOD ENSO SPL

Page 32: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

58

Gambar 38. Grafik indeks Niňo 3.4, DMI dan anomali SPL tahun 2002

Gambar 39. Grafik indeks Niňo 3.4, DMI dan anomali SPL tahun 2003

Tahun 2004, fase El Niňo masih terjadi tetapi kondisi IOD pada tahun ini

dalam kondisi netral. Korelasi antara kejadian El Niňo dengan SPL pada tahun ini

diperoleh nilai r= -0,766 yang berarti memiliki hubungan kuat negatif. Tahun

2006, terjadi juga fase El Niňo, tetapi pada tahun ini terjadi fase IOD negatif dan

IOD positif. Fase IOD negatif terjadi dari Januari – Mei dan fase IOD positif

terjadi dari Agustus hingga Desember. Sedangkan El Niňo terjadi sejak September

hingga Desember.

-2

-1

0

1

2

3

4

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des

Grafik Nino 3.4, DMI dan Anomali SPL 2002

IOD ENSO SPL

-2

-1

0

1

2

3

4

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des

Grafik Nino 3.4, DMI dan Anomali SPL 2003

IOD ENSO SPL

Page 33: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

59

Pada tahun ini, IOD memiliki hubungan yang lebih kuat dengan SPL

dibanding ENSO. Hal tersebut berdasarkan nilai korelasi antara IOD dengan SPL

dan juga antara ENSO dengan SPL. Nilai r untuk hubungan IOD dengan SPL

adalah r= -0,803 yang berarti memiliki hubungan sangat kuat negatif sedangkan

r untuk Niňo 3.4 dengan SPL adalah r= -0,570 yang berarti memiliki hubungan

yang sedang. Pada Januari – Mei, anomali SPL cenderung meningkat seiring

dengan kejadian IOD negatif dan ketika IOD positif mulai terbentuk dari Juni

hingga November, anomali SPL yang diperoleh semakin rendah (Gambar 40).

Sedangkan kejadian El Niňo pada tahun ini mulai muncul pada bulan September

yang sudah memasuki musim Peralihan II sehingga hubungannya dengan SPL

lebih lemah dibandingkan dengan IOD.

Gambar 40. Grafik indeks Niňo 3.4, DMI dan anomali SPL tahun 2006

Fenomena IOD negatif dan La Niňa terjadi secara bersamaan ditemukan

pada tahun 1998. Kedua fenomena yang terjadi secara bersamaan ini

mengakibatkan melemahnya upwelling di Selatan Jawa. Hal tersebut terlihat dari

terjadinya upwelling yang lemah pada tahun ini dan hanya terjadi pada bulan

September saja. Nilai korelasi antara IOD negatif dengan SPL rata-rata yakni

r= 0,708 dan La Niňa dengan SPL rata-rata yakni r= 0,638 menunjukkan IOD

negatif dan La Niňa memiliki hubungan kuat positif dengan kejadian upwelling di

Selatan Jawa.

-2

-1

0

1

2

3

4

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des

Grafik Nino 3.4, DMI dan Anomali SPL 2006

IOD ENSO SPL

Page 34: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

60

Hubungan kuat positif berarti dengan kejadian IOD negatif dan La Niňa

yang semakin kuat pada tahun ini, diikuti dengan nilai SPL yang semakin tinggi.

Pengaruh dari kedua fenomena ini terhadap SPL di Selatan Jawa yakni pada fase

La Niňa, massa air hangat bergerak dari Samudera Pasifik dan masuk ke Selatan

Jawa sedangkan pada fase IOD negatif mengakibatkan APJ yang membawa massa

air hangat masuk ke Selatan Jawa semakin kuat. Adanya hubungan kuat positif

antara kejadian IOD negatif dan La Niňa dapat dilihat pada Gambar 41 yakni

dengan nilai DMI yang semakin negatif (IOD negatif) serta dengan nilai indeks

Niňo 3.4 yang semakin negatif (La Niňa) mengakibatkan nilai anomali SPL

semakin tinggi pada tahun ini.

Gambar 41. Grafik indeks Niňo 3.4, DMI dan anomali SPL tahun 1998

Fase La Niňa juga terjadi pada tahun 1999 hingga 2000, tetapi pada tahun

ini terjadi bersamaan dengan kejadian IOD yang netral. Pada tahun 1999 hingga

2000 diperoleh hubungan antara kejadian La Niňa dengan kondisi SPL memiliki

hubungan yang lemah dan berhubungan kuat negatif. Hal ini berkaitan dengan

fase IOD negatif yang muncul pada tahun 1998 yang mengakibatkan tingginya

SPL tidak terjadi pada tahun 1999. Adanya perubahan fase IOD yang signifikan

pada tahun 1999 dan 2000 mengakibatkan variasi SPL seperti keadaan normal

karena melemahnya APJ yang membawa massa air hangat dari Barat Sumatera.

-2

-1

0

1

2

3

4

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des

Grafik Nino 3.4, DMI dan Anomali SPL 1998

IOD ENSO SPL

Page 35: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

61

Sehingga, SPL yang tinggi ditemukan pada musim Barat dan SPL yang rendah

ditemukan pada musim Timur.

Pada tahun 1998 ditemukan bahwa kejadian fase La Niňa yang kuat terjadi

pada musim Timur. Kejadian yang sama juga ditemukan pada tahun 2007, dengan

fase La Niňa yang terjadi pada musim Timur hingga musim Peralihan II. Serta,

berdasarkan hubungan korelasi antara La Niňa dengan SPL ada tahun ini memiliki

hubungan sedang positif dengan r= 0,424. Hal ini berarti kejadian La Niňa

mengakibatkan SPL yang lebih tinggi dari biasanya dengan kekuatan yang

sedang. Hal ini dapat dilihat dari grafik DMI dan Niňo 3.4 dengan anomali SPL

yang semakin tinggi positif ketika terjadi fase La Niňa yang kuat (Gambar 42).

Gambar 42. Grafik indeks Niňo 3.4, DMI dan anomali SPL tahun 2007

Tahun 2008 fase La Niňa juga masih ditemukan, tetapi pada tahun ini

terjadi juga fase IOD negatif dan positif. Fase La Niňa pada tahun ini terjadi pada

musim Barat dan musim Peralihan I sedangkan fase IOD negatif terjadi pada

musim Barat dan fase IOD positif terjadi pada musim Timur. Berdasarkan nilai r,

kejadian La Niňa dan juga IOD pada tahun ini memiliki kekuatan hubungan yang

sangat kuat negatif. Hal ini berarti, ketika nilai DMI semakin positif maka SPL

yang ditemukan semakin rendah serta ketika indeks Niňo 3.4 semakin positif,

maka SPL yang ditemukan semakin rendah juga.

-2

-1

0

1

2

3

4

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des

Grafik Nino 3.4, DMI dan Anomali SPL 2007

IOD ENSO SPL

Page 36: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

62

Hal ini dapat dilihat pada grafik antara hubungan DMI, Niňo 3.4 dengan

SPL tahun 2008 dengan nilai anomali SPL negatif yang semakin tinggi. Ketika

fase La Niňa mulai menghilang dan fase IOD positif mulai muncul maka

ditemukan anomali negatif dari SPL pada Mei hingga Agustus (Gambar 43).

Gambar 43. Grafik indeks Niňo 3.4, DMI dan anomali SPL tahun 2008

Pada tahun 2009, fase La Niňa dan El Niňo dan juga fase IOD positif

terjadi pada tahun ini. Berdasarkan nilai r, kejadian La Niňa dan El Niňo memiliki

hubungan yang lebih kuat dengan SPL di Selatan Jawa dibandingkan dengan

kejadian IOD. Dengan nilai r untuk ENSO dengan SPL yakni r= -0,612.

Sedangkan nilai r untuk IOD positif dengan SPL adalah r= 0,448 yang berarti

memiliki kekuatan hubungan yang sedang positif. Kejadian pada tahun ini

berbeda dengan kejadian tahun 1997 yakni fase IOD positif mengakibatkan

upwelling yang kuat. Hal tersebut diduga karena waktu terjadinya fase IOD positif

tahun ini terjadi pada musim Barat dan bersamaan dengan kejadian La Niňa.

Sehingga fase IOD positif tidak terlalu berpengaruh terhadap kenaikan massa air

yang terjadi pada musim Timur.

-2

-1

0

1

2

3

4

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des

Grafik Nino 3.4, DMI dan Anomali SPL 2008

IOD ENSO SPL

Page 37: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

63

Kejadian upwelling lemah ditentukan berdasarkan SPL yang lebih tinggi

dari biasanya seperti yang ditemukan pada tahun 1998. Kejadian tersebut juga

ditemukan pada tahun 2005, dengan nilai r= 0.657 yang berarti berhubungan kuat

positif. Ketika fase IOD negatif semakin kuat maka ditemukan anomali positif

dari SPL. Kejadian tersebut terjadi pada bulan Juni hingga November dan

mengalami puncak anomali pada bulan Juli. Pada tahun ini, ketika IOD negatif

terjadi pada musim Barat, anomali positif dari SPL juga ditemukan. Hal ini

kemungkinan terjadi karena APJ yang puncaknya pada bulan Maret semakin

menguat karena adanya pengaruh dari fase IOD negatif. Karena fase IOD negatif

terjadi ketika nilai indeks Niňo 3.4 yang cenderung netral maka yang memiliki

pengaruh besar terhadap anomali SPL adalah kejadian IOD.

Berdasarkan rata-rata nilai r antara kejadian IOD dan juga kejadian ENSO

pada tahun 1997 hingga 2009 di Selatan Jawa. Kejadian IOD memiliki pengaruh

yang lebih kuat dibandingkan dengan kejadian ENSO. Hal ini terlihat dengan nilai

rata-rata r antara kejadian IOD dengan SPL adalah r= 0,717 yang berarti memiliki

hubungan yang kuat sedangkan nilai rata-rata r antara kejadian ENSO dengan SPL

adalah r= 0,566 yang berarti memiliki hubungan kekuatan yang sedang. Adanya

pengaruh kejadian IOD dan ENSO terhadap SPL di Selatan Jawa terlihat juga

pada grafik fluktuasi anomali SPL, DMI dan indeks Niňo 3.4 (Lampiran 4).

Fluktuasi dari grafik anomali SPL menunjukkan terjadinya anomali negatif ketika

terjadi anomali positif terhadap DMI dan indeks Niňo 3.4 dan sebaliknya ketika

terjadi anomali negatif pada DMI dan indeks Niňo 3.4, fluktuasi grafik anomali

SPL menunjukkan terjadinya anomali positif.

Page 38: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

64

4.4. Analisis Transformasi Wavelet

Terjadinya SPL yang rendah setiap tahun pada bulan-bulan tertentu terjadi

di Selatan Jawa. Umumnya SPL yang rendah ditemukan pada musim Timur dan

musim Peralihan II. Rendahnya SPL ini disebabkan oleh kenaikan massa air

dengan suhu yang lebih rendah menuju permukaan, sehingga ketika ditemukan

SPL yang rendah pada bulan-bulan tertentu maka dapat disimpulkan bahwa pada

bulan tersebut terjadi upwelling. Adanya kejadian upwelling setiap tahun ini dapat

dilihat dari hasil transformasi wavelet dari frekuensi SPL yang menunjukkan

adanya dominansi sinyal pada periode 8 – 14 bulanan sepanjang waktu (Gambar

44a). Pada periode 4-6 bulanan pada waktu ke 72 hingga 84 bulanan juga

ditemukan adanya dominansi sinyal. Hal ini kemungkinan disebabkan terjadinya

fase El Niňo dan IOD positif pada musim Barat pada waktu ke 72 hingga 84

(tahun 2003).

Kaitan antara sinyal kejadian IOD juga dapat dilihat melalui transformasi

wavelet (Gambar 44). Berdasarkan transformasi wavelet pada Gambar 44a dan

Gambar 44b, dapat dilihat bahwa kejadian dominansi sinyal antara IOD memiliki

pengaruh terhadap dominansi sinyal SPL. Hal ini terlihat pada waktu ke 60 hingga

132 (sekitar tahun 2002 – 2007), ketika sinyal IOD kuat pada periode yang sama

dengan SPL yakni periode 8 – 16 bulanan hal tersebut diikuti dengan semakin

kuatnya sinyal dominansi dari SPL pada waktu tersebut.

Begitu juga dengan hubungan SPL dengan ENSO, berdasarkan

transformasi wavelet ditemukan bahwa hubungan antara sinyal Niňo 3.4 dengan

sinyal SPL pada tahun 1997 hingga 2009. Hubungan SPL dengan ENSO dapat

dilihat pada transformasi wavelet (Gambar 45), yakni dominansi sinyal kuat hanya

terjadi bersamaan pada waktu ke 24 hingga 36 (1998-1999) dengan periode 14-16

bulanan, pada waktu ke 72 hingga 84 (2002-2003) dengan periode yang sama

dengan SPL (8 – 16 bulanan). Sedangkan pada pada waktu 84 hingga 135 (2002 –

2008) diperoleh dominansi sinyal yang kuat dari indeks Niňo 3.4 sekitar periode

8-32 bulanan dan memiliki pengaruh yang cukup kuat juga dengan kekuatan

sinyal SPL pada periode dan waktu tersebut. Tetapi, hubungan dari kemunculan

sinyal yang kuat antara ENSO dengan SPL, tidak sekuat hubungan IOD dengan

Page 39: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

65

SPL. Hal ini sesuai dengan hasil analisis korelasi pada pembahasan sebelumnya

yakni diperoleh kekuatan hubungan antara IOD dengan SPL yang lebih kuat

dibanding ENSO dengan SPL.

Gambar 44. a) Perbandingan transformasi Wavelet SPL dengan,

b) Transformasi Wavelet DMI

Gambar 45. a) Perbandingan transformasi Wavelet SPL dengan,

b) Transformasi Wavelet Niňo 3.4

Page 40: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

66

4.4. Hubungan Kejadian Upwelling Dengan Hasil Tangkapan Ikan

Kejadian upwelling tahunan yang ditemukan di perairan Selatan Jawa

memiliki hubungan dengan hasil tangkapan ikan di Selatan Jawa Barat. Hubungan

tersebut dapat dilihat dari grafik fluktuasi SPL tahunan dengan data tangkapan

ikan yang disajikan pada Gambar 46.

Gambar 46. Fluktuasi SPL tahunan dengan tangkapan Ikan (Dinas Perikanan

Provinsi Jawa Barat dalam Susilo 2009)

Gambar 47. Hubungan antara tangkapan ikan dan upaya penangkapan

(Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat dalam Susilo 2009)

Tahun 1997 diperoleh hasil tangkapan ikan yang paling tinggi yakni

15.190 ton/tahun (Gambar 46). Hasil tangkapan ini erat hubungannya dengan

kejadian upwelling kuat pada tahun ini yang telah dibahas sebelumnya. Demikian

halnya dengan tahun 2003,2004 dan 2006 diperoleh hasil tangkapan yang

25.5

26

26.5

27

27.5

28

28.5

29

29.5

30

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

14000

16000

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

SP

L (

C)

Tan

gk

ap

an

(T

on

)

tangkapan SPL

0

500000

1000000

1500000

2000000

2500000

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

14000

16000

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Up

ay

a (

Un

it)

Ta

ng

ka

pa

n (

Ton

)

tangkapan upaya

Page 41: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Suhu ...media.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090079_4_6421.pdf · Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Selatan Jawa pada rentang

67

cenderung lebih tinggi dari tahun-tahun lainnya. Sedangkan pada tahun 2000 dan

2001 merupakan tahun upwelling yang lemah setelah tahun 1998. Hal ini sesuai

dengan hasil tangkapan ikan yang paling rendah ditemukan pada tahun tersebut.

Berbeda dengan tahun 1998, pada tahun ini merupakan kejadian upwelling

yang paling lemah baik secara durasi maupun intensitas. Tetapi hasil tangkapan

ikan yang ditemukan pada tahun ini cenderung lebih tinggi dibandingkan tahun

2000 dan 2001. Hal ini diduga karena upaya penangkapan yang dilakukan pada

tahun ini lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun lainnya (Gambar 47) sehingga

diperoleh hasil tangkapan yang cenderung tinggi. Berdasarkan Gambar 47 juga

dapat dilihat bahwa pada tahun 1997, 2002 hingga 2006 memiliki upaya

penangkapan yang cenderung lebih rendah tetapi diperoleh hasil tangkapan yang

cenderung tinggi. Hal ini diduga karena adanya hubungannya kelimpahan ikan di

perairan Selatan Jawa Barat dengan variasi kekuatan upwelling yang terjadi pada

tahun-tahun tersebut.

Hal yang sama juga ditemukan dengan hasil tangkapan ikan yang

diperoleh dari data produksi ikan laut kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Ketika

SPL rendah ditemukan pada tahun 2003,2004 dan 2006 hasil tangkapan ikan laut

yang diperoleh juga cenderung tinggi (Gambar 48).

Gambar 48. Hubungan antara SPL tahunan dan hasil tangkapan ikan

(Dinas Perikanan kabupaten Cilacap, Jawa Tengah)

26

26.5

27

27.5

28

28.5

29

0

5000

10000

15000

20000

25000

2001 2002 2003 2004 2005 2006

SP

L (

C)

Ta

ng

ka

pa

n (

ton

)

Tangkapan SPL