26
49 BAB IV ANALISIS TERHADAP PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYAH MENURUT MUHAMMADIYAH A. Analisis Metode Hisab Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Bulan Qamariyah Pemikiran hisab rukyah Muhammadiyah tertuang dalam keputusan Muktamar Tarjih di Pencongan Wiradesa Pekalongan 1972. dari keputusan tersebut dapat disimpulkan bahwa Muhammadiyah menggunakan metode hisab dengan kriteria wujudul hilal dalam penentuan awal bulan qamariyah. Wujudul hilal bisa terjadi apabila matahari terbenam lebih dahulu dari pada bulan sehingga posisi bulan positif di atas ufuk. Metode dalam ilmu hisab dapat dibedakan menjadi: 1. Hisab Urfi Hisab urfi adalah hisab awal bulan yang didasarkan pada data peredaran bulam dan bumi dalam mengelilingi matahari secara rata-rata. Hisab ini biasa dipakai untuk membuat kalender. Menurut ulama hisab urfi awal bulan tidak diperkenankan di jadikan dasar perhitungan waktu yang berhubungan dengan ibadah kecuali untuk menentukan masa haul zakat. 1 1 Perhitungan waktu haul zakat diperkenankan dengan menggunakan hisab urfi, karena jumlah hari Dalam setahun baik menurut hisab urfi maupun hisab hakiki adalah sama yaitu 355 hari untuk tahun kabisat dan 354 hari untuk tahun Basitoh. Lihat dalam Shuhudy Isma’il.,Hisab Rukyah Awal Bulan Hijriyah Dan Cara Membuat Kalender 2000 Dan 2222 M, Ujung Pandang: Berkah,1994, hlm. 3.

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENENTUAN AWAL BULAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · hari untuk tahun kabisat dan 354 hari untuk tahun Basitoh. Lihat

  • Upload
    vandung

  • View
    221

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

49

BAB IV

ANALISIS TERHADAP PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYAH

MENURUT MUHAMMADIYAH

A. Analisis Metode Hisab Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Bulan

Qamariyah

Pemikiran hisab rukyah Muhammadiyah tertuang dalam keputusan

Muktamar Tarjih di Pencongan Wiradesa Pekalongan 1972. dari keputusan

tersebut dapat disimpulkan bahwa Muhammadiyah menggunakan metode

hisab dengan kriteria wujudul hilal dalam penentuan awal bulan qamariyah.

Wujudul hilal bisa terjadi apabila matahari terbenam lebih dahulu dari

pada bulan sehingga posisi bulan positif di atas ufuk.

Metode dalam ilmu hisab dapat dibedakan menjadi:

1. Hisab Urfi

Hisab urfi adalah hisab awal bulan yang didasarkan pada data

peredaran bulam dan bumi dalam mengelilingi matahari secara rata-rata.

Hisab ini biasa dipakai untuk membuat kalender. Menurut ulama hisab urfi

awal bulan tidak diperkenankan di jadikan dasar perhitungan waktu yang

berhubungan dengan ibadah kecuali untuk menentukan masa haul zakat.1

1 Perhitungan waktu haul zakat diperkenankan dengan menggunakan hisab urfi, karena

jumlah hari Dalam setahun baik menurut hisab urfi maupun hisab hakiki adalah sama yaitu 355 hari untuk tahun kabisat dan 354 hari untuk tahun Basitoh. Lihat dalam Shuhudy Isma’il.,Hisab Rukyah Awal Bulan Hijriyah Dan Cara Membuat Kalender 2000 Dan 2222 M, Ujung Pandang: Berkah,1994, hlm. 3.

50

Akan tetapi hisab urfi tetap dapat dipakai dalam rangka penentuan

hipotesis pertama jatuhnya tanggal masehi untuk tanggal 29 bulan

qamariyah yang dari tanggal itu akan dilakukan hisab hakiki bagi tanggal

1 bulan qamariyah berikutnya.

2. Hisab Hakiki

Hisab hakiki adalah hisab awal bulan yang didasarkan pada

peradaran bulan, bumi dan matahari yang sebenarnya.2 Dalam hisab ini

umur bulan tidaklah konstan tetapi tergantung posisi hilal setiap bulanya.

Dari istilah hisab hakiki ini, dikenal pula istilah-istilah seperti:

a. Hisab Hakiki bi al-taqribi

Hisab hakiki ini adalah hisab yang datangnya bersumber dari

data yang telah disusun oleh Ulugh Beik al Samarqandy ( 1420 M )

pengamatanya berdasarkan teori geosentris. Dalam mencari ketinggian

hilal menurut system ini dihitung dari pusat bumi, bukan dari

permukaan bumi, serta berpedoman pada gerak rata-rata bulan yaitu

setiap hari bulan bergerak 12 derajat, sehingga operasionalnya adalah

dengan memperhatikan selisih waktu ijtima’ dengan waktu terbenam

kemudian dibagi 2 sebagai konsekuensi adalah apabila ijtima’ terjadi

sebelum ghurub praktis bulan sudah diatas ufuk. Hisab ini bisa

memberikan informasi tentang azimuth bulan maupun matahari.3

Dengan kata lain hisab hakiki taqribi adalah sistem hisab yang

berpedoman pada Sullam al Nayyirain,Iqad al Niyyam, Tadzkirah al

2 Ibid 3 Ahmad Izzudin, Analisis Krisis Tentang Hisab Awal Bulan Qamariyah Dalam Kitab

Sullamun Nayyirain, Semarang: Skripsi sarjana, IAIN Walisongo, 1997,hlm. 40.

51

Ikhwan, Fath rauf al Mannan, al Qawaid al Falakiyah, al Syams wa al

Qamar bi husban,Risalah al Falakiyah,Jadawil al falakiyah, Risalah

Hisabiyah, Syams al Hilal.4

b. Hisab Hakiki bi al Tahkiki

Hisab hakiki ini adalah hisab yang perhitungannya berdasarkan

data astronomis yang di olah oleh Sperical Trigonometri dengan

koreksi-koreksi gerak bulan maupun matahari yang sangat teliti.5

Yang termasuk dalam kategori hisab hakiki bi al Tahkiki antara

lain adalah al Mathla’ al Said fi hisab al Kawakib al Rusd al Jadid,

Manahij al Hamidiyah, al Khulasoh al Wafiyah, Hisab Hakiki,

Badi’ah al Mitsal, Muntaha Nataij al Aqwal,Menara Kudus, Nurul

Anwar, Ittifaq dzatil bain, Markaz al Falakiyah.6

c. Hisab Kontemporer

yang termasuk dalam kategori hisab kontemporer antara lain

New Comb, EW Brown, Jean Meuus, M Ilyas (Falak Syar’i), al Manak

Nautika, Astronomical Almanak, Ephemeris Hisab Rukyah, Hisab

BMG, Hisab Boscha ITB, Astro info, Moon C calculator (Moon C),

MABIMS, Taqwim dan penyelarasan rukyah.7

Muhammadiyah sebagai penganut madzhab hisab dalam metoe hisab

rukyahnya, dalam hal ini metode yang gunakan adalah metode yang yang

paling mutakhir dengan data-data yang paling modern.

4 Sriyatin Shadiq,Penentuan Awal Bulan Qamariyah, dalam materi Orientasi Tenaga

Tekhnis Hisab Rukyat di wisma YPI Ciawi Bogor pada tanggal 24-28 juni 2003 hlm. 5. 5 Ahmad Izzuddin, Loc.Cit 6 Sriyatin Shadiq,Op. Cit, hlm. 6 7 Ibid hlm. 7.

52

Dalam lintasan sejarah, pedoman hisab yang digunakan oleh

Muhammadiyah terus berkembang mulai dari hisab hakiki KH Wardan,

sampai sekarang menggunakan pedoman hisab yang up to date seperti

Almanak Nautika maupun Ephemeris Hisab Rukyah. Pedoman itu akan

senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan data-data kontemporer.

Jika nanti ditemukan pedoman yang lebih mutakhir dan lebih modern, tidak

menutup kemungkinan perubahan pedoman yang digunakan oleh

Muhammadiyah8.

Pedoman ini pula yang digunakan oleh Departemen Agama.

Penggunaan ini dimanifestakan dengan Ephemeris hisab rukyat yang memuat

data matahari dan bulan secara akurat karena tersaji perjam selama 24 jam

setiap harinya.

Penggunaan metode hisab ini didasarkan pada pemahaman bahwa

rukyah adalah salah satu sarana. Sedangkan sasarannya adalah mengetahui

berakhirnya bulan dan dimulainya bulan yang baru. Sarana akan selalu

berubah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi .

kalau dahulu Nabi memerintahkan puasa melalui rukyatul hilal itu semata-

mata untuk memudahkan dan karena ilmu falak belum banyak berkembang di

masyarakat. Sehingga muhammadiyah berpendapat sangat naïf jika saat ini

8 Wawancara dengan Oman Fathurrahman (ahli Hisab Muhammadiyah) pada tanggal 27

Februari 2006.

53

masih menggunakan metode rukyatul hilal di saat ilmu falak sudah banyak

dan posisi hilal dapat diketahui secara akurat.9

Menurut metode ini, awal bulan qamariyah dimulai saat matahari

terbenam setelah terjadi ijtima’ dan pada saat itu piringan bulan atas sudah di

atas ufuk mar’i10

Meskipun sama-sama menggunakan metode hisab yang menggunakan

data paling akurat, namun terdapat perbedaan kriteria antara Muhammadiyah

dan pemerintah. Yaitu Muhammadiyah dengan kriteria wujudul hilal dan

Pemerintah dengan kriteria Imkanurrukyah.11

wujudul hilal adalah konsep hisab yang menyelidiki keberadaan hilal.

Dengan kata lain jika secara hisab hilal sudah ada maka menurut kriteria hisab

wujudul hilal awal bulan qamariyah baru sudah bisa ditetapkan.

Sedangkan dengan kriteria imkanurrukyah adalah kriteria hisab yang

memungkinkan hilal bisa di lihat sehingga sekalipun menurut hisab hilal

sudah ada tetapi tidak memungkinkan untuk di lihat, maka awal bulan baru

belum bisa ditetapkan12.

Dari perbedaan dalam kriteria tersebut, sering kali mengakibatkan

perbedaan dalam penentuan jatuhnya awal bulan qamariyah antara pemerintah

9 Muhibbin Noor, Upaya Penyatuan Penetapan Awal Dan Akhir Ramadhan, dalam

materi Lokakarya Imsakiyah Ramadhan yang diselenggarakan oleh Pusat Pengabdian Masyarakat IAIN Walisongo semarang pada tanggal 23 Nopember 1998, hlm. 5

10 Ufuk mar’I adalah bidang datar yang merupakan batas pandangan mata pengamat. Ufuk mar’I di sebut juga dengan kaki langit.

11 Kriteria Imkanurrukyah sebagaimana dikemukakan oleh delegasi Indonesia dalam siding komite penyatuan kalender hijriyah ke-8 yang berlangsung di Jeddah pada tanggal 7-9 Nopember 1998 adalah tinggi hilal tidak kurang dari 2 derajat dengan syarat tenggang antara ijtima’ dan terbenam matahari tidak kurang dari 8 jam. Sedangkan kriteria wujudul hilal hanya memperhatikan posisi hilal di atas ufuk.

12 Wawancara dengan Oman Fathurrahman (ahli hisab Muhammadiyah) pada tanggal 27 Februari 2006.

54

dan Muhammadiyah sekalipun posisi hilal sudah positif di atas ufuk. Hal ini

seperti yang terjadi pada penentuan 1 Syawal 1418 H.13

Perhitungan/ Hisab awal Syawal 1418 H untuk markaz Semarang

dengan data astronomis : Lintang Semarang (фx) : -7º 0’ LS, Bujur

Semarang (λ x) : 110º 24’ BT dan ketinggian tempat dari permukaan air laut

Semarang : 10 m.dengan metode ephemeris hisab rukyah yang dikembangkan

oleh departemen Agama adalah sebagai berikut:

Langkah-langkah yang harus ditempuh :

1.Menghitung perkiraan Akhir Ramadhan 1418 H

29 Ramadhan 1418 H secara astronomis berarti 1417 th + 8 bl + 29 hari

1417/30 14 = 47 Daur + 7 Tahun + 8 bl + 29 hari

47 daur x 10631 15 = 499657 hari

7 th = (7x 354) + 3 16 = 2481 hari

8 bl = (30x4) + (29x4) 17 = 236 hari

29 h = 29 hari

= 502403 hari 18

13 Menurut data hisab pada saat itu hilal sudah positif di atas ufuk sekalipun belum ada 1

derajat. Ketinggian hilal pada saat itu menurut perhitugan Ephemeris hisab rukyah di semarang adalah 0° 39 ‘ 19.33 “ sedangkan di sabang ketinggian hilal mencapai 1 ° 50 ‘ 30.81” Sehingga Muhammadiyah dengan kriteria wujudul hilal menetapkan 1 syawal 1418 jatuh pada hari kamis tanggal 29 Januari 1998.sedangkan pemerintah dengan imkanurrukyahya, dengan memperhatikan ketinggian hilal yang masih kurang dari 2 derajat menetapkan 1 syawal jatuh pada hari jum’at tanggal 30 januari 1998.

14 1 siklus dalam tahun hijriyah yakni 30 tahun dengan 19 tahun bashitoh dan 11 tahun kabisat.

15 Jumlah hari dalam 1 siklus tahun hijriyah ( 30 tahun ) yakni 354 x 19 di tambah 355 x 11.

16 Di tambah 3 hari karena dalam 7 th terdapat 3 tahun kabisat. Untuk mengetahui jumlah tahun kabisatnya, angka tahun di bagi 30 jika sisanya terdapat angka 2,5,7,10,13,15,18,21,24,26,dan 29. Umur bulan Dulhijjah untuk tahun kasibat 30 hari.

17 Jumlah hari dalam tahun hijriyah : Muharam 30 hari, Shafar 59 hari, Rabi’ul Awal 89 hari, Rabi’ul Akhir 118 hari, Jumadil Awal 148 hari, Jumadil Akhir 177 hari, Rajab 207 hari, Sya’ban 236 hari, Ramadan 266 hari, Syawal 295 hari, Dulqa’dah 325 hari dan Dulhijjah 354 / 355 hari.

18 Dari data 502403 hari, bisa digunakan untuk mencari hari dan pasaran dengan cara jika untuk mencari hari dengan dibagi 7 dengan sisa berapa ? dihitung dari hari Jum’at, sedangkan untuk pasaran dibagi 5 dengan sisa berapa ? dihitung dari pasaran legi. Contoh untuk 502403 dibagi 7, sisa 6 (6) berarti hari Rabo, sedangkan pasaran dibagi 5 sisa 3 berarti Pon, jadi untuk 29 Ramadhan 1418H jatuh pada hari Rabo Pon.

55

Tafawut (Angg M – H) = 227016 hari 19

Anggaran baru Gregorius (10 +3 ) = 13 hari

= 729432 hari 20

729432/1461 21 = 499 + 393 hari

499 Siklus = 499 x 4 = 1996

393 hari 22 = 1 th + 28 hari

sehingga menjadi 28 hari + 1th + 1997 tahun (yang sudah dilewati)

maka menjadi 28 Januari 1998 hari Rabo Pon.

2. Mencari saat Ijtima’ akhir Ramadhan 1418 H

a. FIB terkecil pada Tanggal 28 Januari 1998 adalah 0,00061 dalam tabel

terjadi pada jam 6 GMT

b. ELM ( Thul al-syamsi ) pada jam 6 GMT = 308º 06’ 41”

c. ALB ( Thul al-qamar ) pada jam 1 GMT = 308º 05’ 11”

d. Sabak Matahari perjam

ELM 6 GMT = 308º 06’ 41”

ELM 7 GMT = 308º 09’ 14”

Sabak Matahari = 0º 2’ 33”

e. Sabak Bulan perjam

ALB 1 GMT = 308º 05’ 11”

ALB 2 GMT = 308º 41’ 14”

Sabak Bulan = 0º 36’ 3”

f. Saat ijtima’ adalah jam FIB + (ELM – ALB) + 7 jam WIB (SB – SM)

Perhitungannya Jam 6 + 0º 02’ 41.19” + 7 jam WIB

19 Ini jumlah hari dari penentuan 1 Muharram 1 H yakni 15 Juli 622 M ( 155 tahun

kabisat, 466 tahun bashitah ( 226820 hari ) + 181 (bulan juli) + 15 hari. 20 Dari data ini juga biasa digunakan untuk mencari hari dan pasaran, dengan cara untuk

hari dengan dibagi 7 sisa berapa ? dihitung dari hari Ahad, sedangkan untuk pasaran dibagi 5 sisa berapa ? dihitung dari pasaran pahing ( pahing – pon – wage – kliwon – legi )

21 Jumlah hari dalam 1 siklus tahun Masehi ( 1 kabisat 366 hari dan 3 tahun bashitah 365 hari ).

22 Untuk jumlah hari Masehi Basitoh / Kabisat = januari (30), Februari (59/60), Maret (90/91), April (120/121), Mei (151/152), Juni( 181/182), Juli (212/213), Agustus (243/244), Sept (273/274), Okt (304/305), Nop (334/335), Des (365/366)

56

Jadi Ijtima’ terjadi pada jam 13 : 02 : 41.19 WIB

3.Menghitung posisi dan keadaan hilal akhir Ramadan 1418 H

a. Ijtima’ akhir Ramadan 1418 H terjadi pada hari Rabo Pon tgl 28

Januari 1998 pada pukul 13 : 02 : 41.19 WIB

b. Mencari sudut waktu Matahari ( to ) dan saat Matahari terbenam

Data : Deklinasi Matahari ( δm) jam 11 GMT = -18º 14’ 19”

Equation of Time (e) = -0º 12’ 55”

Dip = 0º 1’,76 x √ 10 = 0º 5’ 33094”

Refraksi = 0º 34’ 30”

Semi Diameter = 0º 16’ 14.39”

c. Rumus tinggi Matahari

h = 0 – s.d – Refr – Dip

= 0 - 0º 16’ 14.39” - 0º 34’ 30” - 0º 5’ 33094”

Jadi h. Matahari = -0º 56’ 18.33”

d. Rumus sudut waktu Matahari terbenam

Cos to = - Tan фx x Tan δm + Sin h : Cos фx : Cos δm

Jadi sudut waktu Matahari ( to ) = 93º 18’ 55.97”

e. Mencari Saat Matahari Terbenam

Rumus :

to : 15 +12 – e + KWD ( Koreksi Waktu Daerah )

to : 15 = 6º 13’ 15.73”

Kulminasi = 12

Equation of Time (e) = -0º 12’ 55”

KWD (105º – 110º 24’): 15 = -0º 21’ 36”

Jadi Saat Matahari terbenam (ghurub) = 18 : 4 : 34.73 WIB

= 11 : 4 : 34.73 GMT

57

f. Azimuth Matahari saat ghurub (Ao)

Rumus :

coTan Ao = - Sin фx : Tan to + Cos фx x Tan δm : Sin to

Data LT = -7º0’ LS

to = 93º 18’ 55.97”

do = -18º 14’ 19”

Jadi azimuth Matahari adalah - 71º 29” 43.84” 23

g. Menentukan Apparent Right Ascension Matahari (al-mathalai’ al-

baladiyah)

Rumus menta’dil = A– ( A-B)x C : I

A = data satar awal

B = data satar tsani

C = tambah waktu / data yang dicari

I = selisih dari satar awal dengan satar tsani

Data ARo 11 GMT = 310º 44’ 15”

ARo 12 GMT = 310º 46’ 50”

310º 44’ 15” – (310º 44’ 15”- 310º 46’ 50x 0º 4’ 34.73” : 1

Jadi Apparent Right Ascension Matahari (al-mathalai’ al-baladiyah)

310º 44’ 26.8”

h. Menentukan Apparent Right Ascension Bulan (al-mathalai’ al-

baladiyah)

Rumus menta’dil = A– ( A-B) x C : I

Data ARc 11 GMT = 312º 48’ 55”

ARc 12 GMT = 313º 25’ 41”

312º 48’ 55”– (312º 48’ 55” - 313º 25’ 41) x 0º 4’ 34.73” : I

Jadi Apparent Right Ascension Bulan (al-mathalai’ al-baladiyah)

312º 51’ 43.3”

23 Bila Azimuth Matahari atau bulan bernilai Minus maka di hitung dari titik Selatan ke titik Barat,dan apabila bernilai positif maka di hitung dari titik Utara ke titik Barat.

58

i. Menentukan Sudut waktu Bulan

Rumus :

tc = ARo – ARc + to

310º 44’ 26.8”- 312º 51’ 43.3” + 93º 18’ 55.97”

Jadi Sudut waktu Bulan 91º 11’ 39.47”

j. Menentukan Deklinasi Bulan ( δc)

Rumus menta’dil A– ( A-B)x C : I

Data δ c 11 GMT = -14º 57’ 09”

δ c 12 GMT = -14º 50’ 05”

-14º 57’ 09”– ((-)14º 57’ 09”- (-)14º 50’ 05”) x 0º 4’ 34.73” : I

Jadi Deklinasi Bulan -14º 56’ 36.64”

k. Menentukan Tinggi hilal hakiki (hc)

Rumus :

Sin hc = Sin фx x Sin δc + Cos фx x Cos δc x Cos tc

Data фx = -7º 0’ LS

δ c = -14º 56’ 36.64”

tc = 91º 11’ 39.47”

Jadi Tinggi hilal hakiki 0º 39’ 19.33”

l. Menghitung Azimuth Bulan(Ac)

Rumus :

coTan Ac = - Sin фx : Tan tc +Cos фx x Tan δc : Sin tc

Data фx = -7o 0’ LS

tc = 91º 11’ 39.47”

δc = -14º 56’ 36.64”

Jadi Azimuth Bulan = - 75º 1” 26.15” 24

24 Bila Azimuth Matahari atau bulan bernilai Minus maka di hitung dari titik Selatan ke

titik Barat,dan apabila bernilai positif maka di hitung dari titik Utara ke titik Barat.

59

m. Menghitung Posisi Hilal

Rumus : Ao – Ac

= - 71º 29” 43.84”– (-)75º 1” 26.15”

Hasilnya 3º 31’ 42.31” di sebelah Selatan Matahari terbenam.

Dari hasil hisab tersebut dapat disimpulkan:

1. Ijtima’ akhir Ramadan 1418 H terjadi pada Tanggal 28 Januari

1998 pada pukul 13 : 02 : 41.19 WIB.

2. Matahari terbenam (ghurub) pada pukul 18: 4 : 34.73 WIB.

3. Tinggi hilal hakiki 0º 39’ 19.33”. 25

4. Azimuth Bulan - 71º 20” 22.09”

Azimuth Matahari - 75º 1” 26.15”

5. Posisi hilal 3º 31’ 42.31” di Selatan Matahari terbenam (miring

ke Selatan).

Dalam contoh lain, bisa saja hilal sudah wujud tetapi belum terjadi

ijtima’. Hal ini terjadi pada penentuan Dzulhijjah 1423 H. Di Kalimantan

bagian Selatan, Nusa Tenggara dan Papua bagian Selatan pada saat maghrib 1

Februari 2003. pada saat itu hilal sudah positif di atas ufuk tetapi belum terjadi

ijtima’.26Dalam kasus yang lebih ekstrim terjadi pada penentuan sya’ban 1423

H. saat itu sebagian besar wilayah Indonesia hilal sudah wujud tetapi belum

terjadi ijtima’

25 Dengan ketinggian yang masih kurang dari kriteria Imkanurrukyah yaitu 2 derajat,

maka Pemerintah melalui Departemen Agama menetapkan bahwa tanggal 1 Syawal 1418 jatuh pada hari jum’at tanggal 30 Januari 1998 dengan menyempurnakan bilangan Ramadhan menjadi 30 hari. Sedangkan Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1418 H jatuh pada hari Kamis 29 januari 1998 karena hilal sudah wujud swkalipun belum ada 1 derajat.

26 Menurut data perhitungan pada tangal 1 Februari 2003 ketinggian hilal adalah 1°15’ sehingga Muhammadiyah menetapkan idul adha pada tanggal 11 Februari 2003. lihat dalam Azzam Noor, Masalah hilal syawal 1423H dalam WWW, Ferry’s Astronomi Pages.

60

Dalam kasus Dzuhijjah 1423 H mungkin masih bisa diatasi dengan

kriteria mathla’ wilayatul hukmi27 tetapi dalam kasus Sya’ban 1423H dengan

garis ijtima’ saat maghrib bergeser kearah barat keluar Indonesia, konsep

wilayatul hukmi tidak dapat lagi mengatasi wujudul hilal sebelum ijtima’

Akan tetapi, karena kasus tersebut terjadi pada bulan Sya’ban bukan

pada bulan-bulan seperti Ramadhan, Syawal ataupun Dzulhijjah, maka

perbedaan itu tidak begitu menjadi wacana yang aktual.

Pendekatan murni astronomis yang digunakan oleh Muhammadiyah

bisa saja kurang tepat bila digunakan untuk pembenaran dalam penetapan

awal bulan qamariyah yang harus mempertimbangkan syari’at. Bulan baru

astronomi / ijtima’ tidak ada dasar hukumnya untuk di ambil sebagai batas

awal bulan qamariyah. Sementara itu posisi bulan di atas ufuk dalam definisi

yang sesungguhnya wujudul hilal tidak punya arti secara astronomis karena

tidak mungkin teramati sehingga kriteria wujudul hilal hanya ada dalam teori

apalagi kalau tidak mempertimbangkan ijtima’ qablal ghurub, hilal teoritik

pun mungkin belum ada karena belum terjadi ijtima’

Sementara rukyatul hilal sangat dipengaruhi oleh transparansi angkasa

di lokasi langit dengan horizon. Banyak awan tipis dan tebal di lokasi dengan

27 Konsep wilayatul hukmi adalah konsep keberlakuan hilal berdasarkan wilayah hukum

yang berdasarkan pada konsep ulil amri sebagai pemersatu umat. Sehingga apabila pemerintah telah menetapkan dimulainya puasa atau hari raya karena laporan rukyah si satu tempat yang masih dalam daerah kekuasaannya , maka penetapan itu berlaku juga bagi daerah lain yang masih di daerah kekuasaannya. Keberlakuan ini sebagaimana hadits nabi ketika sahabat kuraib di utus oleh Um al Fadhl Bin Haris ke daerah Syams menemui Muawiyah dan di sana ia melihat hilal kemudian dia berpuasa sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Syams.yang mulai berpuasa pada hari jum’at. Kemudian ketika ia pulang ke Madinah, Abdullah bin Abbas baru mulai berpuasa pada hari Sabtu. Kemudian kuraib bertanya kepada Ibnu Abbas apakah rukyah yang dilakuan di syams belum cukup? Abdullah Ibn Abbas berkata belum.hlm. ini sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulullah. Lihat dalam Al hafidz Jalil abi Bakr ahmad bin husain bin ali al baihaqi, al Sunan al Kubro, Juz IV, Beirut: Darl Fikr, tt, hlm. 251.

61

ketinggian kurang dari 20 derajat.tipisnya sabit bulan yang akan di lihat sering

menimbulkan pertentangan antar perukyat dan juga berpotensi menimbulkan

kekeliruan. Potensi ini diakibatkan adanya alam yang tidak bisa di kontrol,

juga karena adanya penggaenapan bulan Islam menjadi 30 hari. Oleh karena

itu perhitungan posisi yang menggunakan kriteria visibilitas hilal yang pas

akan mengurangi dan bahkan meniadakan kontroversi keputusan hisab dan

rukyah dengan dasar ilmu pengetahuan sehingga pemerintah berusaha

menjembataninya dengan pengunaan kriteria imkanurrukyah28.

Mengenai kriteria imaknurrukyah yang dikembangkan oleh pemerintah

ini, sebagaimana disepakati dalam persidangan hilal Negara-negara Islam se-

dunia di Istanbul Turki 1978 dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Tinggi hilal tidak kurang dari 5 derajat dari ufuk barat

2. jarak sudut hilal ke matahari tidak kurang 8 derajat

3. Umur hilal tidak kurang dari 8 jam setelah ijtima’ terjadi29.

Namun demikian ketentuan ini sering mengalami penyesuaian

berdasarkan faktor geografis dan kesulitan tekhnis lainnya. Seperti Negara-

negara serumpun Indonesia, Malasyia, Brunai Darussalam, dan Singapura

(MABIMS) 1990 bersepakat untuk menyatukan kriteria kebolehtampakan

hilal denga ketentuan yang berdasarkan kriteria Turki dan penggabungan

hisab rukyah. Yaitu sebagi berikut:

1. Tinggi hilal tidak kurang dari 2 derajat

28Lihat dalam Moedji Raharto, Sistem Kalender Islam Dalam Perspektif

Astronomi,Bandung: FMIPA ITB,tt, hlm. 5. 29 Wahyu Ima Sumantri, Manhaj Penyatuan Kalender Muslimin, dalam www. Imran

kuzsa.com

62

2. Jarak sudut hilal ke matahari tidak kurang 3 derajat

3. Umur hilal tidak kurang dari 8 jam setelah ijtima’ terjadi30.

Kriteria ini juga yang disepakati dalam sidang komite penyatuan

kalender Hijriyah ke 8 yang diselenggarakan oleh Departemen Kehakiman

Saudi Arabia 7-9 Nopember 1998 di Jeddah. Indonesia pada saat itu

mendelegasikan Drs Taufiq SH dan Drs H Abdul rahim. Akan tetapi dalam

prakteknya kriteria tersebut tidak dapat di sepakati sebagaimana Turki yang

tetap menggunakan 8 derajat atau International Islamic Calendar Program

(IICP) dengan kriteria 4 derajat.

Sebenarnya terdapat korelasi antara ketentuan Turki dan yang

disepakati oleh MABIMS yaitu apabila ketinggian hilal di Negara-negara

ASEAN mencapai 2 derajat, maka ketinggian itu akan menjadi 5 derajat di

Negara-negara sekitar laut tengah dan ketinggian itu akan semakin bertambah

di Negara-negara sebelah Barat laut tengah.31

Kriteria imkanurrukyah sebenarnya adalah titik temu yang paling baik

antara semua praktisi hisab rukyah di Indonesia. Kriteria ini di buat dari

perpaduan data rukyat dan data hisab. Walaupun kriteria yang digunakan di

Indonesia lebih rendah dari kriteria Internasional, sebagai langkah awal itu

sudah cukup baik. kriteria itu harus terus di sempurnakan. Salah satunya

dilakukan oleh LAPAN Bandung yang mengusulkan penyempurnaan khas

kriteria imkanurrukyah Indonesia dengan menganalisis ulang data rukyatul

hilal 1962-1997 yang didokumentasikan Departemen Agama RI, telah di buat

30 Ibid. 31 Lihat selengkapnya dalam laporan hasil siding komite penyatuan kalender hijriyah ke 8

di Jeddah, Saudi Arabia, 7-9 nopember 1998.

63

kriteria yang diperbaiki.antara lain, tinggi bulan minimum tidak seragam 2

derajat, tetapi tergantung pada beda azimutnya.

Tinggi bulan minimum berdasarkan beda azimut sebagaimana yang

diusulkan LAPAN adalah sebagai berikut:

No Beda Azimut Tinggi minimum dalam derajat

1 0,0 8,3

2 0,5 7,4

3 1,0 6,6

4 1,5 5,8

5 2,0 5,2

6 2,5 4,6

7 3,0 4,0

8 3,5 3,6

9 4,0 3,2

10 4,5 2,9

11 5,0 2,6

12 5,5 2,4

13 6,0 2,3 32

Kriteria itu diharapkan bisa disepakati dan di manfaatkan oleh para

praktisi hisab rukyah di Indonesia. Bila Muhammadiyah beralasan belum

menerima kriteria MABIMS karena lemahnya dasar ilmiyah, kriteria yang

diusulkan LAPAN telah di buat dengan analisis astronomi yang kuat

berdasarkan data di Indonesia. Bila memang Muhammadiyah menjadikan

alasan tersebut untuk tidak menerima kriteria MABIMS, sebenarnya bisa

32 Thomas Djamaludin, Pengertian dan Perbandingan Madzhab tentang Hisab Rukyah

dan Mathla’: Kritik Terhadap Teori Wujudul Hilal dan Mathla’ Wilayatul Hukmi dalam Materi Munas Tarjih ke 26 PP Muhammadiyah yang diselenggarakan di Padang pada 1-5 Oktober 2003.

64

digunakan kriteria Internasional yang telah diakui kalangan astronom

profesional.

Kriteria imkanurrukyah bukanlah kriteria yang statis, tetapi masih

mungkin terus disempurnakan dengan semakin banyaknya data pengamatan.

Inilah titik temu antar komponen hisab rukyah. Kalangan Nahdlatul Ulama

yang mengandalkan rukyah teruslah mengamat dengan seakurat mungkin.

Pengamatannya di pandu dengan data hisab yang terpercaya. kesaksian hilal

yang secara astronomis tidak mungkin, karena mata bisa saja keliru

menganggap obyek bukan hilal sebagai hilal, harus berani di tolak. Data yang

cermat itu akan terus digunakan untuk penyempurnaan kriteria

imkanurrukyah.

Kalangan Muhammadiyah yang biasa menghisab bolehlah teruslah

menghisab asalkan memperhatikan kriteria imkanurrukyah. Karena tidak

mungkin hisab dilakukan tanpa imkanurrukyah. Kunci dari hisab adalah pada

penggunaan kriteria rukyah. Sebab para ahli hisab juga telah menjadikan

waktu maghrib sebagai patokan waktu hisabnya. Maghrib adalah waktu saat

pengamatan.bila ingin hisab murni semestinya Muhammadiyah tidak

menggunakan acuan maghrib, tetapi murni berdasarkan ijtima’. Secara hisab

murni astronomis, ijtima’ adalah tanda masuknya awal bulan baru. Jadi bila

konsisten dengan hisab murni mungkin yang terjadi adalah ijtima’qabla al fajr

untuk penentuan awal puasa dan mungkin harus menggunakan ijtima qabla al

Syuruq untuk menentukan waktu shalat Ied karena shalat Ied waktunya setelah

65

matahari terbit. Tetapi dari segi Syari’ah penggunaan hisab murni seperti itu

pasti dipermasalahkan,33

Pada bulan maret 1998 para ulama ahli hisab rukyah Indonesia dan

para perwakilan masyarakat Islam mengadakan pertemuan yang membahas

tentang kriteria imkanurrukyah Indonesia dan menghasilan keputusan sebagi

berikut:

1. Penentuan awal bulan qamariyah didasarkan pada sistem hisab hakiki

tahkiki dan atau rukyah.

2. Penentuan awal bulan qamariyah yang terkait dengan pelaksanaan ibadah

mahdhah yaitu awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah ditetapkan dengan

memperhitungkan hisab hakiki tahkiki dan rukyah.

3. Kesaksian rukyah hilal dapat diterima apabila ketingian hilal 2 derajat dan

jarak ijtima’ ke ghurub matahari minimal 8 jam.

4. Kesaksian rukyah hilal dapat diterima apabila ketingian hilal kurang dar 2

derajat maka awal bulan didasarkan istikmal.

5. Apabila ketinggian hilal 2 derajat atau lebih awal bulan dapat ditetapkan.

6. Kriteria imkanurrukyah tersebut akan diadakan penelitian lebih lanjut.

7. Menghimbau kepada seluruh pimpinan organisasi kemasyarakatan Islam

untuk menyosialisasikan keputusan ini.

8. Dalam pelaksanaan isbat, pemerintah mendegarkan pendapat-pendapat

dari organisasi kemasyarakatan Islam dan para ahli34.

33 Ibid, hlm. 7. 34Hasil musyawarah ulama ahli hisab rukyah dan ormas islam tentang kriteria

imkanurrukyah yang dilaksanakan pada tangal 24-26 maret 1998/25-27 Szulqo’dah 1418 H di hotel USSU Cisarua Bogor.

66

Sekalipun sudah ada kesepakatan tetang kriteria penentuan awal bulan

tersebut, namun Muhammadiyah tetap saja menggunakan ketentuan hisab

wujudul hilal dalam kebijakan hisab rukyahnya. Padahal dengan ketentuan

tersebut akan muncul garis wujudul hilal yakni tempat-tempat yang

mengalami terbenam matahari dan bulan secara bersamaan.

Garis wujudul hilal akan memberi konsekuensi wilayah yang berada di

sebelah barat garis wujudul hilal matahari terbenam lebih dulu dari pada bulan

sehingga posisi hilal di atas ufuk dan dengan demikian sudah bia dikatakan

masuk awal ulan baru. Sedangkan sebaliknya wilayah yang berada di sebelah

timur garis wujudul hilal bulan terbenam lebih dulu dari pada matahari

sehingga praktis posisi hilal di bawah ufuk dan dengan demikian awal bulan

baru ditetapkan keesokan harinya.

Sehingga sangat dimungkinkan apabila dalam satu Negara akan

terdapat perbedaan dalam penentuan awal bulan baru yang hal itu tergantung

dari posisi hilal apakah hilal positif di atas ufuk atau di bawa ufuk.

Dari fenomena tersebut, terdapat inkonsistensi dalam kebijakan

Muhammadiyah mengenai penetapan awal bulan qamariyah. Salah satu sisi

Muhammadiyah menggunakan kriteria hisab wujudul hilal yamg

memugkinkan salah satu daerah dengan daerah yang lain di Indonesia akan

mengalami perbedaan dalam masuknya awal bulan qamariyah baru yang

sangat tergantung oleh posisi hilal terhadap ufuk. Sedangkan di sisi yang lain

Muhammadiyah juga menggunakan ketentuan mathla’ wilayatul hukmi yang

menggunakan satu ketentuan untuk satu Negara.

67

Muhammadiyah boleh saja melakukan rasionalisai untuk menguatkan

pendapatnya. dengan mengatakan bahwa hilal adalah penampakan bulan

terkecil yang menghadap bumi beberapa saat setelah Ijtima, inilah yang

kemudian menjadi kriteria hisabnya bahwa awal bulan baru ditandai dengan

Wujudul Hilal .yaitu apabila matahari terbenam lebih dahulu dari bulan.

namun yang perlu di catat bahwa teori rasional ternyata telah gagal

menjelaskan perubahan dan pertambahan pengetahuan manusia. Selama ini

banyak suatu gagasan yang sudah menjadi pasti pada suatu zaman kemudian

berubah pada waktu yang lain. Sebagaimana teori geosentris yang sudah

diterima hampir selama secara umum sebelum Nicholas Capernicus (1473-

1543) membongkar teori tersebut dengan teori Heliosentris.

Kebenaran yang sesungguhnya harus mampu dibuktikan secara

empiris. Kebenaran ini berpendapat bahwa pengetahuan manusia harus di

peroleh melalui pengalaman/fakta. Di samping itu, kebenaran empirisme juga

terdapat aspek keteraturan. Pengetahuan tentang alam didasarkan Pengetahuan

tentang alam didasarkan pada persepsi mengenai tingkah laku yang teratur

pada alam.35

Dalam Islam dikenal ada dua macam kebenaran, yaitu kebenaran

ikhbary dan kebenaran nazary. Yang pertama adalah kebenaran wahyu yang

datang langsung dari Allah swt. Karena itu bersifat suci dan bukan obyek

kajian dalam pemikiran Islam. Yang kedua adalah kebenaran yang diperoleh

secara ta'aquly. Namun tak dapat dipungkiri bahwa Islam tidak berada dalam

35 Lihat dalam Stanley M Honer dan Thomas C Hunt Metode Dalam Mencari Pengetahuan: Rasionalisme, Empirisme Dan Metode Keilmuwan, dalam Ilmu dalam perspektif, cet IV, Jakarta: PT Gramedia, , 1983, hlm. 101-102.

68

ruang hampa. Nash-nash atau wahyu yang diintepretasi selalu berinteraksi

dengan lingkungannya, baik lingkungan pengarang, pembaca maupun

audiensnya. Ada rentang waktu --dulu, kini, mendatang -- di hadapan ketiga

pihak di atas. Inilah yang disebut dengan lingkaran hermeneutis

(hermeneutical circle); suatu perubahan terus menerus dalam melakukan

interpretasi terhadap kitab suci (al-nushushu al-mutanahiyah) yang dipandu

oleh perubahan-perubaan berkesinambungan dalam realitas masa kini, baik

individu maupun masyarakat. Dalam kontek yang terus berubah ini,

kebutuhan akan cara pembacaan baru atas teks-teks dan realitas itu menjadi

tak terelakkan. Dengan memahami lingkaran hermeneutis semacam ini,

muslim tidak perlu mengulang-ngulang tradisi lama yang memang sudah

usang untuk kepentingan kekinian dan kedisinian, tapi juga bukan berarti

menerima apa adanya modernitas. Kewajiban muslim adalah melalukan

pembacaan atas teks-teks wahyu dan realitas itu secara produktif.

Pembacaan tersebut juga berlaku pada hisab wujudul hilal penggunaan

hisab ini juga harus mampu dibuktikan secara empirik.

Dengan demikian perlu dilakukan kajian ulang terhadap kriteria yang

digunakan Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan qamariyah.

Muhammadiyah perlu membuka diri terhadap solusi yang ditawarkan

pemerintah yang berusaha menyatuan dua madzhab besar dalam wacana hisab

rukyah Indonesia. Sehingga akan ditemukan formula yang tepat dengan

didasarkan data-data kontemporer dan penelitian sehingga diharapkan

menghasilkan kriteria yang tepat.

69

B. Analisis Dasar Hukum Muhammadiyah Dalam Penentuan Awal Bulan

Qamariyah.

Dasar hukum yang digunakan dalam oleh Muhammadiyah dalam

wacana hisab rukyah antara lain:

a. Surat al Baqarah ayat 189

يسألونك عن األهلة قل هي مواقيت للناس والحج وليس البر بأن من وتيوا البأتقى ون اتم البر لـكنا وورهمن ظه وتيا البوأتت

)189:رة البق ( أبوابها واتقوا الله لعلكم تفلحون

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung” (Q.S al Baqarah 2 ayat 189)36

b. Surat al taubah ayat 36

الله يوم خلق إن عدة الشهور عند الله اثنا عشر شهرا في كتاب ضاألرات واوم36: التوبة (الس(

Artinya: “Bahwasanya bilangan bulan itu di sisi Allah dua belas bulan di

dalam kitab Allah dari hari ia menjadikan segala langit dan bumi” (Q.S al Taubah 36)

36 Depag RI, al Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: PT karya Toha Putra,tt, hlm. 153.

70

c. Surat al Baqarah ayat 185

همصفلي رهالش منكم هدن شفم همصفلي رهالش منكم هدن شفم )185:البقرة(

Artinya: “Barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”(Q.S al Baqarah 185)37

d. Hadits Nabi saw

رضي اهللا عنه قال قال رسول اهللا صلى اهللا عليه عن ابىهريرة صوموا لرؤيتة وافطروا لرؤيتة فان غم عليكم فاكملواالعدة وسلم

) متفق عليه (ثالثني 38

Artinya: :”Dari Abu Hurairah RA berkata Rasulullah SAW bersabda

Berpuasalah kamu karena melihat hilal.dan berbukalah kamu karena melihat hilal.bila hilal tertutup debu atasmu maka sempurnakanlah bilangan sya’ban tiga puluh hari”(Muttafaq Alaih)

e. Hadits Nabi saw

عن ابن عمر رضي اهللا عنهما قال قال رسول اهللا صلى اهللا عليه ال ثصوموا حيت تروه وال وسلم امنا الشهر تسع وعشرون ف

39) رواه مسلم (تفطروا حيت تروه فان غم عليكم فاقدرواله

Artinya : “Dari Ibnu Umar ra. Berkata Rasulullah saw bersabda satu bulan hanya 29 hari, maka jangan kamu berpuasa sebelum melihat bulan, dan jangan berbuka sebelum melihatnya dan jika tertutup awal maka perkirakanlah. (HR. Muslim)

37 Ibid, hlm. 45. 38 Ibid 39 Abu Husain Muslim bin al Hajjaj, Shohih Muslim, Jilid I,Beirut: Dar al Fikr, tt, hlm.,

481.

71

Pemahaman terhadap beberapa teks dari dasar hukum tersebut menjadi

pangkal perbedaan terhadap metode dan kriteria yang digunakan oleh

Muhammadiyah dalam wacana hisab rukyah terutama menyangkut kebijakan

penentuan awal bulan qamariyah

Kata liru’yatihi menurut pemahaman Muhammadiyah diartikan

dengan melihat dengan mata ilmu bukan dengan melihat dengan mata

sebagaimana pemahaman yang berkembang di masyarakat selama ini. Kata ini

berarti bahwa mengetahui bulan dan mengetahui disini dapat dilaksanakan

dengan perhitungan astronomi.

Kaitannya dengan fa man syahida minkum al syahra fa alyasumhu

Muhammadiyah berpendapat bahwa syahr adalah bulan dalam hitungan tahun

bukan bulan secara fisik. Jika yang di maksud adalah bulan secara fisik, maka

redaksi yang digunakan bukanlah syahr melainkan hilal atau qamar.40

Begitu juga dengan pemahaman terhadap kata Faqduru_lahu yang

artinya kadarkanlah, menurut pemahaman yang berkembang di kalangan

Muhammadiyah pelaksanaannya dengan perhitungan hisab41.

Padahal apabila metode yang digunakan hanya hisab saja, maka hasil

perhitungan masih merupakan spekulatif hipotetik apalagi bila standar hilal

imkanurrukyah sekurang-kurangnya adalah dua derajat. tetapi apabila

40 Wawancara dengan Oman Fathurrahman (ahli hisab PP Muhammadiyah) pada tanggal

27 Februari 2006. 41 Asmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar,2004 hlm. 128.

72

menggunakan rukyah sudah pasti menggunakan hisab berdasarkan

imkanurrukyah dan hasilnya memiliki akurasi yang lebih tinggi.42

Oleh karena itu, ada golongan yang berpendapat bahwa bulan

Ramadhan dapat ditetapkan dengan rukyatul hilal atau menyempurnakan

bulan Sya’ban menjadi 30 hari43. Rukyatul hilal yang di maksud di sini

menurut jumhur cukup dilakukan oleh satu orang yang adil44. Pendapat ini

juga yang digunakan oleh al Tirmidzi. Sedangkan Malik berpendapat minimal

harus ada dua orang yang adil45

Sementara al Jashos menambahkan bahwa ketika di langit terdapat

halangan atau mendung, maka rukyah boleh dilakukan oleh satu orang

saja.sedangkan apabila di langit tidak terdapat penghalang maka kesaksian

terhadap rukyatul hilal tidak dapat diterima kecuali kesaksian itu datang dari

orang banyak.46

Kata amr Shumu dan Afthiru pada hadits tersebut diikuti dengan

indikasi liru’yatihi (karena melihat hilal) sehingga perintah puasa dan berbuka

42 Ahmad Rafiq, Fiqh Kontekstual;dari Normatif Ke Pemahaman Sosial, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar,,2004, hlm. 226 43 Golongan ini tersimbolkan oleh Nahdlatul Ulama yang dalam wacana hisab rukyah di

Indonesia lebih di kenal sebagai manifestasi Madzhab rukyah. 44 Kriteria adil sendiri menurut ulama terdapat beberapa pendapat. Al Hakim mengatakan

bahwa yang di maksud dengan adil adalah orang yang beragama islam, tidak berbuat bid’ah dan tidak berbuat maksiat.al Syaukany dan al Ghazaly berpendapat bahwa yang di maksud adil adalah orang yang taqwa, menjaga muru’at, tidak berbyat dosa besar dan dosa kecil serta menjauhi hlm.-hlm. yang dibolehkan yang dapat merusak muru’at. Sedangkan al Nawawy berpendapat bahwa adil adalah orang yang beragama islam, baligh, berakal, memelihara muru’at dan tidak berbuat fasik. Lihat selengkapnya dalam Syuhudi Isma’il,Kaedah Kesahihan Sanad Hadits: Telaah Kritis Dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah,Jakarta:Bulan Bintang,1995, hlm. 130.

45 Ali al Shabuni,Rawa’iul Bayan, fi Tafsir Ayat al Ahkam, Beirut: Dar al Fikr, tt, hlm. 211

46 Abu Bakr ahmad bin Ali al rozy al Jashos,Ahkam al Qur’an,Beirut: Dar al Kitab al Ilmiyah, tt, hlm. 243.

73

menjadi wajib karena melihat hilal. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul “al

Ashl fi al Amr li al Wujub”47

Kata Ghammu berasal dari masdar Ghammun / al Ghammu dalam

hal ini imam al Raghib menyatakan al Ghammu artinya menutupi sesuatu48.

dengan demikian arti dari ghumma dalam bentuk madhy majhul adalah

tertutup sesuatu.

Sedangkan kata faqduru-lahu berasal dari kata qadara, yaqduru,

qadran/qudrotan yang berarti mampu, mengukur, membandingkan,

mempersiapkan, mengangungkan, membagi, menentukan dan

mempersempit49. Sementara bila kata itu dirangkai dengan “lam” mempunyai

arti melihatnya, menelitinya dan mengukurnya. Dengan demikian kata

faqduru-lahu adalah meneliti dengan cermat, lalu ditetapkan ukurannya

dengan cermat dalam hal ini berdasarkan petunjuk Rasulullah juga riwayat-

riwayat yang lain ketika hilal tidak terlihat pada malam ke tiga puluh maka

hitungan bulan di bulatkan menjadi 30 hari sebagaimana yang disepakati oleh

jumhur.

Perbedaan pendapat tersebut mungkin adalah sebuah rahmah

sebagaimana kata pepatah “Ikhtilaf Ummati rahmah”, namun jika perbedaan

itu berpotensi menimbulkan perpecahan maka hendaknya perbedaan itu

ditiadakan hal ini sesuai dengan kaedah ushul fiqh:

47 Abdul hamid Hakim, Mabadi’ al Awaliyah, Jakarta:Penerbit Sa’adiyah Putra,tt, hlm. 8 48 Imam al raghib,Mu’jam al Mufrodat li alfadz al Qur’an,Beirut:Darl al Fikrt.tt.hlm. 377 49 Ahmad Warson Munawir,kamus al Munawir,Surabaya:Pustaka Progesif,1997,hlm.

1095

74

دراء املفاسد مقدم على جلب املصاحل Artinya: “ Menolak kerusakan itu didahulukan dari pada menarik kebaikan”50

Pemerintah melalui kebijakan imkanurrukyah diharapkan mampu

memberikan solusi yang tepat dalam permasalahan hisab rukyah ini.

Sebagaimana kaedah “Hukmu alhakim ilzamun wa yarfa’u alkhilaf”,maka

kebijakan pemerintah diharapkan mampu menghilangkan perbedaan yang

berpotensi perpecahan.

50 Abdul Hamid Hakim,Op. Cit, hlm. 35.