21
BAB III TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka ini berisikan: 1. Sektor Kesehatan dan Pendidikan 2. TataKelola Pendidikan Kedokteran: Situasi lembaga pendidikan kedokteran dan RS pendidikan, stewardship, pendanaan, dosen. 3. Proses Pendidikan Kedokteran 4. Seleksi Peserta 5. Kompetensi dan Kurikulum 1. Sektor Kesehatan dan Pendidikan Kedokteran Kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia yang harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui pelayanan kesehatan yang bermutu. Dokter sebagai salah satu komponen utama mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan. Pendidikan Kedokteran merupakan mata rantai utama dalam upaya pelayanan kesehatan. Sektor kesehatan di Indonesia saat ini mengalami fase menguatnya peran pemerintah setelah pada masa orde baru yang mengurangi peran pemerintah. Berkurangnya subsidi negara dan didorongnya “kemandirian” dan peran serta masyarakat dalam membiayai pengobatan sehingga RS diperbolehkan memungut tariff dari masyarakat langsung. Akibatnya sistem mekanisme pasar terbentuk di sektor kesehatan. Pembentukan ini sebenarnya sudah lama, sejak jaman Belanda. Dampaknya adalah peran swasta yang semakin meningkat.Dari tahun ke tahun, pembangunan RS swasta yang berbentuk PT semakin meningkat. Antara tahun 2002 sampai dengan 2008, ada penambahan 25 RS berbentuk PT yang tadinya berasal dari bentuk Yayasan. Sebaliknya hanya 5 PT berubah bentuk menjadi Yayasan. Tidak mengherankan bahwa RS berbentuk PT ini melayani kelompok pasar menengah atas. Namun menarik untuk diamati bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini, terjadi penguatan peran pemerintah yang mencerminkan ideologi yang tidak menyerahkan ke pasar. Sebagai contoh adalah program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang dananya berasal dari pemerintah pusat dan berfungsi “membeli” premi asuransi kesehatan bagi orang miskin. Kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah merasa perlu untuk lebih berperan dalam pembiayaan kesehatan. Program ini disusul dengan adanya program Jaminan Persalinan (Jampersal) yang bahkan membolehkan mereka yang tidak miskin untuk digratiskan biaya persalinannya asal mau dirawat di kelas 3 RS yang dikontrak. Pada saat yang sama Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Kesehatan menggulirkan 7 Reformasi Pembangunan Kesehatan yaitu: 1) revitalisasi pelayanan kesehatan; 2) ketersediaan, distribusi, retensi dan mutu sumberdaya manusia; 3) mengupayakan ketersediaan, distribusi, keamanan, mutu, efektifitas, keterjangkauan obat, vaksin dan alkes, 4) Jaminan kesehatan, 5) keberpihakan kepada daerah tertinggal

BAB III TINJAUAN PUSTAKA 1. Sektor Kesehatan dan ...pendidikankedokteran.net/images/file/BAB III - Tinjauan Pustaka.pdfmengupayakan ketersediaan, distribusi, keamanan, mutu, efektifitas,

Embed Size (px)

Citation preview

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka ini berisikan:

1. Sektor Kesehatan dan Pendidikan

2. TataKelola Pendidikan Kedokteran: Situasi lembaga pendidikan kedokteran dan

RS pendidikan, stewardship, pendanaan, dosen.

3. Proses Pendidikan Kedokteran

4. Seleksi Peserta

5. Kompetensi dan Kurikulum

1. Sektor Kesehatan dan Pendidikan Kedokteran

Kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia yang harus diwujudkan dalam bentuk

pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui pelayanan

kesehatan yang bermutu. Dokter sebagai salah satu komponen utama mempunyai peranan

yang sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan

mutu pelayanan yang diberikan. Pendidikan Kedokteran merupakan mata rantai utama

dalam upaya pelayanan kesehatan.

Sektor kesehatan di Indonesia saat ini mengalami fase menguatnya peran

pemerintah setelah pada masa orde baru yang mengurangi peran pemerintah.

Berkurangnya subsidi negara dan didorongnya “kemandirian” dan peran serta masyarakat

dalam membiayai pengobatan sehingga RS diperbolehkan memungut tariff dari

masyarakat langsung. Akibatnya sistem mekanisme pasar terbentuk di sektor kesehatan.

Pembentukan ini sebenarnya sudah lama, sejak jaman Belanda. Dampaknya adalah peran

swasta yang semakin meningkat.Dari tahun ke tahun, pembangunan RS swasta yang

berbentuk PT semakin meningkat. Antara tahun 2002 sampai dengan 2008, ada

penambahan 25 RS berbentuk PT yang tadinya berasal dari bentuk Yayasan. Sebaliknya

hanya 5 PT berubah bentuk menjadi Yayasan. Tidak mengherankan bahwa RS berbentuk

PT ini melayani kelompok pasar menengah atas.

Namun menarik untuk diamati bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini,

terjadi penguatan peran pemerintah yang mencerminkan ideologi yang tidak

menyerahkan ke pasar. Sebagai contoh adalah program Jaminan Kesehatan Masyarakat

(Jamkesmas) yang dananya berasal dari pemerintah pusat dan berfungsi “membeli” premi

asuransi kesehatan bagi orang miskin. Kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah

merasa perlu untuk lebih berperan dalam pembiayaan kesehatan. Program ini disusul

dengan adanya program Jaminan Persalinan (Jampersal) yang bahkan membolehkan

mereka yang tidak miskin untuk digratiskan biaya persalinannya asal mau dirawat di

kelas 3 RS yang dikontrak.

Pada saat yang sama Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Kesehatan

menggulirkan 7 Reformasi Pembangunan Kesehatan yaitu: 1) revitalisasi pelayanan

kesehatan; 2) ketersediaan, distribusi, retensi dan mutu sumberdaya manusia; 3)

mengupayakan ketersediaan, distribusi, keamanan, mutu, efektifitas, keterjangkauan obat,

vaksin dan alkes, 4) Jaminan kesehatan, 5) keberpihakan kepada daerah tertinggal

perbatasan dan kepulauan (DTPK) dan daerah bermasalah kesehatan (DBK), 6) reformasi

birokrasi dan 7) world class health care.

Butir keperpihakan pada daerah tertinggal dan pemerataan mencerminkan

pemihakan ke kelompok yang terpinggirkan namun kebijakan “world class health care”

dapat merupakan intervensi pemerintah terhadap pasar dengan cara memberikan subsidi

agar mampu bersaing dalam pasar kesehatan Asia Tenggara yang semakin bebas

(globalisasi).

Globalisasi dapat berarti: (1) pasien Indonesia pergi ke luar negeri untuk berobat;

(2) pasien luarnegeri berobat ke Indonesia; (3) tenaga dokter Indonesia bekerja di

luarnegeri; (4) tenaga dokter luarnegeri bekerja di Indonesia.

Ancamannya adalah banyaknya lulusan luar negeri yang lebih unggul. Untuk itu

harus disiapkan lulusan yang unggul dengan menggerakan strategi diantaranya dengan

mempersiapkan mahasiswa untuk menghasilkan input yang sangat baik (Prof dr. Fasich,

Apt. Rektor Unair)

Menanggapi masalah banyaknya dokter asing yang berpraktek di Indonesia,

sehingga pihak pendidik harus bisa menyiapkan para lulusan dokter yang mampu

bersaing secara global. Selain mereka dibekali kurikulum berstandar global, juga disertai

dengan pembekalan soft skill yang cukup1. Perlu adanya sosialisasi secara global, baik

oleh staf maupun mahasiswa. Kemudian penyelenggaraan proses Pendidikan Kedokteran

yang unggul dan baik harus terus dilakukan.

Kedua sasaran strategi (untuk masyarakat global dan masyarakat lokal)

mempengaruhi pendidikan kedokteran. Dapat ditekankan bahwa pendidikan kedokteran

bertujuan untuk menghasilkan sarjana kedokteran, dokter, dan dokter spesialis yang

bermutu dan beretika, berdedikasi tinggi dan profesional, serta berorientasi pada

kebutuhan masyarakat yang pada akhirnya dapat membantu meningkatkan mutu

kesehatan bagi seluruh masyarakat.

Kebutuhan masyarakat akan tenaga dokter dan dokter spesialis saat ini

menghadapi dua jenis ekstrim pengguna: (1) yang berada dalam jalur persaingan

internasional/global dengan teknologi tinggi; dan (2) yang berada di jalur masyarakat

masih tertinggal dengan teknologi tepat guna yang efisien. Pengguna pertama berada di

kota-kota besar dengan menggunakan teknologi terbaru dan memberikan pendapatan

tinggi untuk para dokter. Pengguna kelompok kedua berada di daerah yang tidak atau

belum berkembang. Banyak masyarakat yang belum beruntung dan kurang memberi

insentif ekonomi untuk dokter. Dokter-dokter di Indonesia menghadapi pilihan tersebut.

Data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) per akhir Desember 2010 menunjukkan

bahwa jumlah saat ini ada 73.585 dokter umum dan 19.333 dokter spesialis.. Pada saat ini

masih terdapat ketimpangan penyebaran dokter, dimana sebagian besar berada di kota

besar khususnya di Pulau Jawa. Lebih rinci, berdasarkan data dari KKI, distribusi dokter

umum terbanyak adalah di Pulau Jawa dan Bali serta di Provinsi Sumatera Utara dan

Sulawesi Selatan.

1 DPR RI Upayakan Peningkatan Mutu Kedokteran Indonesia, disarikan dari http//dev.fk.unair.ac.id/id/hot

news. Diunduh pada tanggal 7 Juli 2008.

Grafik 1. Persebaran Dokter Umum per Provinsi pada Tahun 2010

(sumber: Konsil Kedokteran Indonesia 2010)

Memang secara perhitungan matematis, jumlah penduduk saat ini ada 238 juta

maka perlu dokter 95 ribu. Jadi masih ada kekurangan 23 ribu dokter. Bila produksi per

tahun 5000 maka kebutuhan baru akan tercukupi dalam 4 tahun. Dengan

mempertimbangkan hasil kelulusan uji kompetensi dokter dan penerbitan STR, rata-rata

produksi dokter per tahun 6100 sampai 6500 lulusan dokter. Dari jumlah lulusan tersebut,

yang dapat ditampung menjadi dokter pegawai tidak tetap (PTT) hanya sekitar 500 an

orang pertahun, dan formasi menjadi PNS sangat terbatas. Keterbatasan formasi, sumber

pembiayaan dan jumlah lembaga pelayanan kesehatan dapat membawa dampak berupa

berlebihnya jumlah dokter.

Dibanding dengan negara lain jumlah dokter di Indonesia masih kecil. Menurut

data WHO 2006, di Indonesia setiap 100.000 penduduk ada 13 dokter. Angka ini lebih

buruk dibanding dengan Kamboja yang berjumlah 15. Thailand mempunyai 37. Vietnam

53, Filipina 58, India 60, dan Malaysia 70.

Berdasarkan data HPEQ, pada tahun 2009, dokter umum yang bertugas di

Puskesmas sebanyak 13.701 orang. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan pada tahun

2008, yaitu 11.865 orang. Bila dibandingkan antara jumlah puskesmas yang terdata

tenaganya (8.509 puskesmas) dengan jumlah dokter, maka rasio dokter umum adalah

1,61 dokter umum per puskesmas.

Rasio ini masih kurang bila dibandingkan dengan rasio ideal berdasarkan SK

Menkes No 81 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa untuk setiap puskesmas disarankan

setidaknya terdapat 2 dokter umum. Rasio dokter umum per puskesmas penting untuk

menjadi acuan, untuk melihat sejauh mana fasilitas kesehatan yang menjadi ujung

tombak pembangunan kesehatan masyarakat dapat berfungsi dengan baik. Secara umum

dapat dilihat bahwa daerah dengan rasio lebih rendah dari satu menunjukkan jumlah

dokter lebih kecil dari jumlah puskesmas, artinya banyak puskesmas yang tidak memiliki

tenaga dokter umum. Saat ini diperkirakan 30% Puskesmas tidak memiliki tenaga dokter

terutama di daerah sulit.

Yang perlu menjadi perhatian adalah daerah-daerah dengan rasio dokter per

puskesmas yang kecil dan akses yang sulit, seperti di Maluku dan Papua. Hal ini

menunjukkan bahwa masyarakat mengalami kesulitan untuk mengakses fasilitas

kesehatan. Kalaupun pada akhirnya masyarakat dapat mengakses fasilitas kesehatan,

dalam hal ini puskesmas, pelayanan yang diterima belum memuaskan karena ketiadaan

dokter umum.

Saat ini tidak ada peraturan perundang-undangan tentang wajib kerja bagi dokter

dan dokter spesialis.Namun menjadi pertanyaan kemana para dokter tersebut bekerja?

Mengapa mereka tidak mau pergi ke daerah sulit? Apakah masalah insentif yang tidak

menjadi domain RUU ini ataukah merupakan masalah kurikulum yang tidak menyiapkan

mereka untuk bekerja di daerah yang sulit. Di sisi Spesialis terjadi keadaan yang

jumlahnya kurang dan tidak merata penyebarannya (Lihat Tabel di bawah).

Tabel 1. Distribusi Dokter Spesialis di Indonesia (KKI 2008)

Province Number

%

Cumul

ative

People

served Ratio

DKI

Jakarta

2.890

23,92

%

23,92

%

8.814.000,

00 1 : 3049

Jawa

Timur

1.980

16,39

%

40,30

%

35.843.200

,00 1 : 18102

Jawa Barat

1.881

15,57

%

55,87

%

40.445.400

,00 1 : 21502

Jawa

Tengah

1.231

10,19

%

66,06

%

32.119.400

,00 1 : 26092

Sumatera

Utara

617

5,11

%

71,17

%

12.760.700

,00 1 : 20681

D.I.Jogjak

arta

485

4,01

%

75,18

%

3.343.000,

00 1 : 6892

Sulawesi

Selatan

434

3,59

%

78,77

%

8.698.800,

00 1 : 20043

Banten

352

2,91

%

81,69

%

9.836.100,

00 1 : 27943

Bali

350

2,90

%

84,58

%

3.466.800, 1 : 9905

Maryam seorang pejabat di Kementerian Kesehatan menyimpulkan berbagai hal tentang

pengembangan spesialis sebagai berikut2: (1) lembaga pendidikan spesialis berada di kota-kota

besar di belahan barat Indonesia; (2) Hanya sedikit spesialis yang berasal dari daerah sulit; (3)

ada kesenjangan produksi dokter dalam hal jenis dan jumlah untuk daerah sulit; (4) manajemen

dokter spesialis yang buruk di pemerintah daerah; (5) insentif untuk spesialis yang sangat

bervariasi antar kabupaten; (6) kurangnya pendidikan berkelanjutan untuk spesialis di rumahsakit

rural; (7) pengembangan karir untuk dokter spesialis tidak jelas; (8) perpindahan dokter spesialis

di rumahsakit rural terbatas; (8) biaya hidup tinggi di daerah pedesaan; (9) minat rendah para

spesialis untuk bekerja di daerah sulit sehingga sering ada kekosongan; (10) variasi besar dalam

dukungan pemerintah daerah, misalnya peraturan, mutu kerja, remunerasi dan insentif,

pengembangan karir untuk spesialis; (11) biaya pendidikan spesialis sangat tinggi dan sebagian

besar membayar sendiri; (12) sebagian besar residen adalah bukan pegawai negeri sehingga tidak

ada kewajiban untuk bekerja untuk pemerintah setelah selesai pendidikan.

Oleh karena itu jumlah dan kualitas dokter spesialis harus ditingkatkan. Peningkatan jumlah

dokter spesialis dari segi kuantitas terutama ditujukan untuk mengatasi distribusinya yang tidak

merata, sedangkan peningkatan dari segi kualitas ditujukan untuk meningkatkan mutu pelayanan

kesehatan di berbagai daerah3.

2 Maryam, Mary 2007. Indonesia’s Experience in Financing the Production and Retention of Physicians to

Improve Specialist Medical Services in Rural Hospitals. Center for Planning and Management of Human

Resources for Health (CPMHRH), Ministry of Health of the Republic of Indonesia. 3Gi, Anggaran dan Jumlah Dokter Spesialis Ditingkatkan. Mediakom Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, Edisi 05-April 2007, hal.9.

00

Sumatera

Selatan

216

1,79

%

86,37

%

6.976.100,

00 1 : 32296

Kalimanta

n Timur

203

1,68

%

88,05

%

2.960.800,

00 1 : 14585

Sulawesi

Utara

173

1,43

%

89,48

%

2.196.700,

00 1 : 12697

Sumatera

Barat

167

1,38

%

90,86

%

4.453.700,

00 1 : 26668

Propinsi

Lainny

a

1.104

9,14

%

100,00

%

52.990.200

,00 1 : 47998

12083

100,

00%

224.904.90

0,00 1 : 18613

2. Tatakelola Pendidikan

Bab ini membahas mengenai tata kelola penddikan kedokteran dengan

menggunakan prinsip Good governance. Sebagaimana di sektor kesehatan. tata kelola di

pendidikan kedokteran dapat dibagi berbasis fungsi para pelaku. Pelaku pertama adalah

lembaga pendidikan kedokteran yang terdiri atas fakultas kedokteran termasuk

rumahsakit penddidikan. Pemilik lembaga ini dapat pemerintah atau swasta. RS

pendidikan saat ini masih RS pemerintah. Pelaku kedua adalah para aktor yang berperan

dalam regulasi pendidikan kedokteran yang terdiri atas Kementerian Pendidikan,

Kementerian Kesehatan yang meregulasi rumahsakit pendidikan, berbagai lembaga

independen yang quasi pemerintah seperti KKI, kolegium, organisasi profesi seperti IDI

dan Perhimpinan Ahli. Dalam sistem tata kelola ini terdapat pula kelompok aktor ke 3

yaitu para pemberi dana pendidikan kedokteran yang dapat berupa pemerintah,

masyarakat, dan lembaga swasta, serta donor. Terakhir adalah kelompok dosen perguruan

tinggi kedokteran.

Situasi lembaga pendidikan tinggi dan RS Pendidikan

Perguruan Tinggi Kedokteran merupakan satuan pendidikan yang

menyelenggarakan pendidikan tinggi kedokteran berbentuk Universitas yang mencakup

Program Pendidikan Kedokteran Dasar (S-1) dan Pendidikan Profesi Dokter. Perguruan

tinggi yang memenuhi syarat dapat menjalankan Pendidikan Magister (S-2), Dokter

Spesialis, serta Pendidikan Doktor (S-3).

Saat ini ada 71 (tujuh puluh satu) institusi pendidikan kedokteran milik

pemerintah dan swasta yang menyelenggarakan pendidikan kedokteran di Indonesia (data

ESBED 2011), sementara yang sudah meluluskan dokter sebanyak 45 (empat puluh lima)

institusi. Persebaran institusi pendidikan dokter dapat dilihat pada grafik 6.20 di bawah

ini

.

Grafik 2. Persebaran Institusi Pendidikan Dokter di Indonesia

Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa institusi pendidikan dokter terbanyak terdapat di Pulau

Jawa dan diikuti oleh Pulau Sumatera. Sedangkan wilayah dengan jumlah institusi pendidikan

dokter terkecil adalah Maluku dan Papua sejumlah 2 IPD, serta Kalimantan sejumlah 4 IPD.

Akreditasi program studi kedokteran diklasifikasi berdasarkan jenjang pendidikan per pulau dan

akreditasi untuk tiap bidang ilmu.

Tabel 2. Akreditasi Prodi Kedokteran Jenjang S1

di Beberapa Wilayah di Indonesia

Wilayah A B C

Tidak

Terakreditasi

Sumatera 4 3 4 9

Jawa 11 13 4 5

Bali, Nusa

Tenggara 1 0 2 2

Kalimantan 0 1 0 2

Sulawesi 1 2 0 3

Maluku, Papua 0 0 0 2

TOTAL 17 19 10 23

Sumber : Direktori SK Hasil Akreditasi Program Studi – 22/ 08/ 2010 (www.ban-

pt.depdiknas.go.id)

Berdasarkan grafik di atas, akreditasi yang terbanyak adalah B di Pulau Jawa. Masih

banyak program studi yang belum terakreditasi, jumlah terbanyak yang belum diakreditasi

terdapat di Pulau Sumatera. Di Pulau Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi serta

Papua, jumlah program studi yang belum terakreditasi sama atau lebih besar dengan yang

sudah terakreditasi. Untuk program studi dengan akreditasi A terbanyak terdapat di Pulau

Jawa.

Dengan melihat data di atas maka kualitas 71 FK ini sangat bervariasi sehingga ada

sebutan FK Pembina dan ada yang disebut sebagai FK yang dibina. Untuk itu nama besar

Fakultas sebagai pembina dapat menjadi jaminan karena bila peminatnya banyak maka

akan mendapat mahasiswa yang berkualitas. Akibatnya jurang pemisah antara FK pembina

dengan yang baru menjadi semakin besar.

Dengan sebutan ini secara nyata diakui ada perbedaan mutu proses pendidikan antar

fakultas kedokteran di Indonesia. Hal ini merupakan hal buruk dalam konteks filosofi

pendidikan dimana diharapkan kesetaraan dalam mutu pendidikan. Dengan demikian di

berbagai daerah masyarakat mempunyai risiko ditangani tenaga kesehatan yang kurang

baik akibat mutu pendidikan yang dialaminya rendah.

Sebutan FK pembina dan yang dibina ini terjadi karena memang ada strategi

pengembangan yang dikembangkan di Indonesia antara FK Pembina dan yang dibina.

Model pengembangan ini dapat berisiko tinggi karena FK Pembinapun dapat kewalahan

dalam membina. Ada FK pembina yang harus membina lebih dari 2 fakultas kedokteran

di daerah yang sulit. Pertanyaan kritis adalah nilai tambah apa yang didapat oleh fakultas

kedokteran pembina dalam melakukan pembinaan. Apakah tidak menjadi suatu

bumerang? Kegiatan pembinaan akan melemahkan mutu pendidikan fakultas pembina

karena sumber daya manusia, waktu, dan sarana akan dipergunakan untuk membina.

Sebagaimana diketahui rangking perguruan tinggi Indonesia masih rendah dalam

urutan perguruan terbaik di dunia. Kegiatan pembinaan membutuhkan sumber daya yang

dapat mengganggu pengembangan FK pembina. Risikonya adalah penurunan

kemampuan internal.

Oleh karena itu perlu dicari terobosan baru antara lain mencari dosen-dosen asing

untuk membantu di FK pembina. Dalam hal ini diperlukan suatu terobosan untuk bekerja

sama dengan FK asing dalam meningkatkan mutu pendidikan kedokteran di Indonesia.

Skema kerjasama University to University atau Government to Government dalam

pendidikan tinggi kedokteran menjadi opsi kebijakan yang perlu dipikirkan. DI berbagai

belahan bumi sudah banyak dilakukan kerjasama antar perguruan tinggi kedokteran. Di

Indonesia diperlukan kerjasama antarfakultas kedokteran dengan fakultas kedokteran

asing untuk mendatangkan dosen-dosen4.

Pendidikan spesialis

Untuk pendidikan spesialis ada 33 (tiga puluh tiga) cabang spesialisasi dokter

yang dijalankan oleh 211 program studi dari 13 institusi penyelenggara pendidikan dokter

spesialis. Hal ini lebih banyak dari USA (23 spesialis).

Sistem pendidikan spesialis yang ada pada saat ini terbatas pada Fakultas

Kedokteran Negeri (FKN) di rumahsakit pendidikan pemerintah. Sampai saat ini belum

dapat dipahami mengapa tidak terjadi perluasan tempat pendidikan spesialis ke fakultas

kedokteran swasta yang mempunyai hak dan kualifikasi yang dibutuhkan. Diharapkan di

masa mendatang fakultas kedokteran swasta dapat mengembangkan pendidikan

spesialisasi.

Pendidikan spesialis menghasilkan 500 dokter spesialis setiap tahun di seluruh

Indonesia. Lulusan dokter spesialis diharapkan meningkat menjadi 1000 sampai 1400

orang pertahun. Jumlah ini hanya dapat dicapai apabila ada perubahan mendasar pada

sistem pendidikan dokter spesialis. Berbagai perubahan mendasar antara lain mengenai

perluasan jumlah rumahsakit sebagai tempat pendidikan spesialis, termasuk rumahsakit

swasta, rumahsakit militer dan kepolisian yang mampu, pengelolaan mahasiswa residen

tidak hanya sebagai peserta didik namun juga staf sementara rumahsakit pendidikan yang

mempunyai hak dan kewajiban. Sebagaimana diketahui di berbagai negara peserta

pendidikan residen mendapat insentif dari pekerjaannya, mempunyai perlindungan yang

cukup, dan diharapkan mengembangkan kepemimpinannya dalam kerja tim (teamwork)

bersama dengan profesi lain.

Rumahsakit Pendidikan

Jenjang Pendidikan Kedokteran yang meliputi pendidikan akademis dan

pendidikan profesi membutuhkan sarana rumah sakit dengan dengan standar persyaratan

tertentu yang dapat digunakan sebagai sarana praktek selama mengikuti pendidikan

kedokteran. Menurut dr. Pranawa5, idealnya rumah sakit pendidikan (teaching hospital)

harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:

4 Ada banyak kegiatan antar perguruan tinggi di dunia antaralain Twinning for capacity development in Africa yang sudah

dilaporkan di berbagai jurnal.

5 Ketua IDI Jawa Timur, berdasarkan hasil wawancara pada hari Rabu, 3 Desember 2008.

a. high technology (hitech), artinya rumah sakit tersebut dilengkapi dengan sarana dan

prasarana modern yang menggunakan teknologi mutakhir dalam bidang kedokteran.

Misalnya mempunyai peralatan CT-Scan, MRI, Radioterapi, dan lain-lain;

b. mempunyai dokter spesialis yang jumlahnya cukup;

c. menjadi trend setter;

d. melakukan penelitian (doing research) secara berkala;

e. menjadi yang teratas (top reveal) dibandingkan dengan rumah sakit lainnya;

f. memberikan layanan rutin sehari-hari pada masyarakat.

Berbagai model rumahsakit pendidikan dalam hubungannya dengan fakultas

kedokteran: (1) FK tidak mempunyai rumahsakit sendiri. Pendidikan di RS dilakukan

dalam kerjasama dengan RS yang dimiliki lembaga lain. Contohnya adalah di Harvard

Medical School dan University of Melbourne; (2) FK dan RS Pendidikan merger menjadi

satu lembaga besar. Dekan dan direktur RS menjadi satu kesatuan. Contohnya adalah di

Groningen dan Naresuan University Thailand.

Faculty of Medicine, Dentistry and Health Seciences di University of Melbourne

termasuk kelompok Universitas yang tidak mempunyai rumahsakit sendiri. Pendidikan

kedokteran di University of Melbourne berada di bawah Faculty of Medicine, Dental, and

Health Sciences. Di dalam fakultas ini ada 4 School yang melakukan kegiatannya. School

terbesar adalah Medical School dengan sekitar 75% kegiatan. Setiap School dipimpin

oleh seorang Kepala yang bertanggung-jawab terhadap Dean Faculty of Medicine. Di

dalam Medical School ada 3 kelompok utama: Biosciences division, Clinical Clusters,

Psychological Sciences. Untuk Clinical Clusters ada berbagai Department Klinik di

berbagai rumahsakit pendidikan. Sebagai gambaran Department of Surgery ada di Royal

Melbourne Hospital (RMH) sebagai bagian dari Parkville Cluster, di Austin Cluster, dan

lain-lain.

University of Melbourne tidak mempunyai rumahsakit pendidikan. Rumahsakit-

rumahsakit pendidikan yang ada merupakan milik State (Negara Bagian).Sementara itu

UM merupakan lembaga milik pemerintah pusat (Federal). Dengan demikian sistem

pendanaan dan kegiatannya benar-benar berbeda. Hubungan antara FK dilakukan melalui

level Board dimana UM mempunyai wakil di setiap Board RS. Walaupun tidak ada

peraturan untuk adanya wakil UM dalam Board RS, namun diusahakan selalu ada. Di

Setiap Rumahsakit UM mempunyai semacam kantor untuk mendukung program

pendidikan. Hubungan dilakukan dengan model Partnership. Kegiatan ini didanai oleh

FK. Kantor ini dipimpin oleh Director of Clinical Teaching (dulu disebut Clinical Dean).

Kantor – kantor ini bertanggung jawab secara keuangan dan program ke Head of Medical

School. Sementara untuk mutu pendidikan bertanggung jawab ke Medical Education

Unit.

Dengan demikian bukti di berbagai negara menunjukkan bahwa fakultas

kedokteran tidak perlu memiliki rumahsakit pendidikan sendiri. Prinsip pentingnya

adalah bagaimana keeratan hubungan antara fakultas kedokteran dengan RS Pendidikan.

Oleh karena itu tidak dimungkinkan satu rumahsakit pendidikan bekerja dengan banyak

fakultas kedokteran. Hal ini akan menghambat perkembangan atmosfir akademik yang

baik. Oleh karena itu diperlukan suatu aturan untuk mengatur hubungan kerja antara

fakultas kedokteran dengan rumahsakit pendidikan di suatu wilayah.

Disamping RS Pendidikan, perlu dikembangkan pula pusat kesehatan masyarakat

(puskesmas) untuk pendidikan. Berdasarkan kompetensi dokter, maka calon dokter harus

melewati masa pendidikannya di puskesmas. Oleh karena itu perlu difikirkan bahwa

pemahaman mengenai rumahsakit pendidikan, terkait dengan jaringan pelayanan

kesehatan primer yang mencakup puskesmas. Dalam konteks dokter keluarga, ada pula

klinik dokter keluarya yang dapat menjadi tempat pendidikan bagi mahasiswa

kedokteran.

Standar Pendidikan Kedokteran

Standar pendidikan kedokteran merupakan kriteria baku yang harus dipenuhi oleh

suatu program Pendidikan Kedokteran, yang meliputi kriteria berbagai komponen

pendidikan (antara lain: standar isi, strategi, evaluasi staf pengajar, dan lain-lain) yang

dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sistem

pendidikan nasional dan berlaku untuk seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia. Standar ini

tentunya mengacu ke Global Standards in Medical Education.

Penelitian oleh Trisnantoro dkk menemukan hasil bahwa sistem pendukung

proses pendidikan di fakultas kedokteran dan rumahsakit pendidikan masih kurang

diperhatikan6. Dengan menggunakan observasi berbasis value-chain, sebagian besar

fakultas kedokteran negeri yang diteliti mempunyai infrastruktur yang kurang memadai.

Dengan kondisi infrastruktur seperti ini dapat dipastikan bahwa mutu proses pendidikan

akan sulit mencapai standar yang baik. Selanjutnya hasil proses pendidikan dapat

terpengaruh.

Untuk selalu menjaga mutu mahasiswa dan lulusan pendidikan kedokteran maka

dilakukan evaluasi, pengawasan, dan akreditasi secara periodik terhadap

penyelenggaraan pendidikan kedokteran dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas

publik berdasarkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu diperlukan berbagai

standar dalam lembaga pendidikan yang akan diatur dalam regulasi.

Regulasi pendidikan kedokteran

Di sebuah sektor selalu ada peran pemerintah yang berfungsi sebagai regulator.

Dalam konteks ini UU Sisdiknas menyatakan bahwa Kementerian Pendidikan Nasional

merupakan penanggung jawab sektor pendidikan di Indonesia. Ijin pembukaan fakultas

kedokteran dan pencabutannya berada di Kementerian Pendidikan.

Namun disamping pemerintah yang mengatur, sejak lima tahun belakangan ini

dipraktekkan pola pemikiran adanya lembaga quasi pemerintah yang “semi” independen

untuk membantu fungsi regulasi pemerintah. Organisasi “semi” independen ini adalah

Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Disamping itu ada Ikatan Dokter Indonesia (IDI),

dan Asosiasi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI). Ketiga lembaga tersebut

6 Trisnantoro L, Sastrowijoto S, Ferry D. 2008. Kajian terhadap insfrastruktur pendukung FK dan RS Pendidikan:

Implikasinya terhadap kebijakan pendanaan. Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan FK UGM.

memiliki fungsi dan peranan yang berbeda dalam mengatur regulasi di sektor pendidikan

kedokteran.

Konsil Kedokteran Indonesia (KKI): Misi KKI yaitu:Menerapkan sistem

registrasi & monitoring dokter dan dokter gigi secara online diseluruh Indonesia;

Menegakkan profesionalisme dokter dan dokter gigi dalam praktik kedokteran;

Memastikan standar nasional pendidikan profesi dokter dan dokter gigi; Meningkatkan

kemitraan dengan organisasi profesi, instansi pemerintah dan non pemerintah untuk

menerapkan praktik kedokteran yang melindungi masyarakat. Dalam konteks pendidikan

KKI menetapkan standar kompetensi dokter Indonesia yang menjadi acuan kurikulum.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengemban misi sebagai berikut: Mengupayakan

peningkatan kemampuan profesional yang beretika; Mengembangkan peranan yang

bermakna dalam meningkatkan derajat kesehatan rakyat Indonesia; Menyuarakan

aspirasi, mengupayakan kesejahteraan dan memberikan perlindungan kepada segenap

anggota; Mengembangkan standar pelayanan profesi, standar etika dan memperjuangkan

kebebasan profesi yang mampu menyelaraskan perkembangan ilmu dan teknologi

kedokteran dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Tujuan dibentuknya IDI adalah

untuk memadukan segenap potensi dokter Indonesia, meningkatkan harkat, martabat dan

kehormatan diri dan profesi kedokteran. Selain itu tujuan lainnya adalah untuk

mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, serta pada akhirnya

meningkatkan derajat kesehatan rakyat Indonesia menuju masyarakat sehat dan sejahtera.

Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI). AIPKI berperan

dalam mengelola lembaga pendidikan profesi dokter. Hal ini tertuang dalam visi AIPKI

yakni menjadi organisasi yang menghimpun aspirasi seluruh institusi pendidikan

kedokteran. Untuk mencapai visinya, AIPKI memiliki misi sebagai berikut: Mendorong,

membina dan mengembangkan program pendidikan kedokteran yang bermutu tinggi dan

memenuhi standard regional dan internasional; Membina dan mengembangkan iptekdok

yang berkualitas dan bertaraf internasional. Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan;

Berperan aktif membantu pemerintah dalam pengambilan keputusan tentang pendidikan

kedokteran dan pelayanan kesehatan (policy development); Meningkatkan dan membina

kerjasama seluruh institusi pendidikan kedokteran Indonesia; dan Membina dan menjadi

simpul kerjasama dengan lembaga lain (stakeholders) yang terkait dengan pendidikan

kedokteran dan pelayanan kesehatan.

Perhimpunan dan Kolegium.Profesi dokter tidak lepas dari peran rumah sakit

sebagai salah satu bentuk fasilitas kesehatan yang dibutuhkan masyarakat. Adapun

organisasi yang mengatur perumahsakitan Indonesia adalah Persatuan Rumah Sakit

Seluruh Indonesia (PERSI) dan khusus untuk Rumah Sakit Pendidikan terdapat pula

Asosiasi Rumah Sakit Seluruh Indonesia (ARSPI).

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menghasilkan

pakar-pakar dalam bidangnya masing-masing, dalam bidang kedokteran hal ini tercermin

dari pesatnya perkembangan disiplin ilmu spesialistik sehingga hal ini pun ditanggapi

dengan bertambahnya jumlah departemen spesialisasi yang mandiri serta dibentuknya

perhimpunan-perhimpunan dokter spesialis. Dalam pendidikan ada kelompok kolegium.

Dalam pengamatan perkembangan KKI yang berada di bawah Presiden berjalan

cukup lancar. Namun untuk keuangan , KKI masih berada di bawah Kementerian

Kesehatan. Yang menarik dalam regulasi ini peranan Kementerian Pendidikan tidak

terlalu menonjol dalam pengawasan mutu pendidikan. Dalam konteks pembinaan, sampai

saat ini yang ada hanya pembukaan fakultas kedokteran, namun tidak ada penutupan. Hal

ini terjadi karena memang sulit untuk melakukan pencabutan ijin walaupun tidak

bermutu. Sementara itu perijinan terkesan mudah.

Ada beberapa pandangan mengapa peranan Kementerian Pendidikan dalam

regulasi belum maksimal. Pertama DitJen Dikti mengurus banyak hal sehingga tidak

mungkin fokus pada pendidikan kedokteran saja; belum terbentuknya suatu badan

standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan atau semacam Badan

Jaminan Mutu; dan adanya pendapat bahwa pemerintah tidak boleh terlalu banyak

campur tangan dalam proses pendidikan.

Belum baiknya sistem regulasi dapat dlihat dari peran pengawasan terhadap FK

saat ini belum maksimal. Kriteria minimal saat ini belum ada sehingga menyebabkan

pertambahan fakultas kedokteran secara tidak terkendali dengan mutu yang bervariasi

seperti yang sudah dibahas didepan. Salahsatu penyebab adalah karena saat ini belum ada

standar nasional pendidikan yang mengatur pendidikan kedokteran. Berdasarkan UU

Sisdiknas (pasal 35) Indonesia harus mempunyai standar nasional pendidikan yang

merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara

Kesatuan Republik Indonesia7.

Standar Nasional pendidikan ini terdiri atas standar isi, proses, kompetensi

lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan

penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Standar

nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga

kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.

Dalam konteks UU Sisdiknas, KKI mempunyai fungsi memastikan standar

pendidikan profesi dokter dan dokter spesialis seperti yang dinyatakan dalam UU Praktek

Kedokteran. KKI telah mengeluarkan Standar Pendidikan Profesi Dokter dan Dokter

Spesialis8. Namun isi standar pendidikan profesi dokter dan dokter spesialis bukan

kriteria minimal seperti yang dimaksud UU Sisdiknas. Lebih lanjut dapat ditegaskan

bahwa KKI bukan badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.

Bagian Kedua UUPK mengenai Fungsi, Tugas, dan Wewenang KKI

menyebutkan sebagai berikut:

Pasal 6

Konsil Kedokteran Indonesia mempunyai fungsi pengaturan, pengesahan,

penetapan, serta pembinaan dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktik

kedokteran, dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis.

Pasal 7

(1) Konsil Kedokteran Indonesia mempunyai tugas:

a. melakukan registrasi dokter dan dokter gigi;

b. mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi; dan

7 UU Sisdiknas .

8 KKI. 2006. Standar Pendidikan Dokter dan Standar Pendidikan Dokter Spesialis. Jakarta

c. melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran yang

dilaksanakan bersama lembaga terkait sesuai dengan fungsi masing-

masing.

Wewenang KKI juga terbatas, seperti yang ada di UU Praktek Kedokteran Pasal

8 sebagai berikut:

Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Konsil Kedokteran

Indonesia mempunyai wewenang :

a. menyetujui dan menolak permohonan registrasi dokter dan dokter gigi;

b. menerbitkan dan mencabut surat tanda registrasi dokter dan dokter gigi;

c. mengesahkan standar kompetensi dokter dan dokter gigi;

d. melakukan pengujian terhadap persyaratan registrasi dokter dan dokter gigi;

e. mengesahkan penerapan cabang ilmu kedokteran dan kedokteran gigi;

f. melakukan pembinaan bersama terhadap dokter dan dokter gigi mengenai

pelaksanaan etika profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi; dan

g. melakukan pencatatan terhadap dokter dan dokter gigi yang dikenakan sanksi

oleh organisasi profesi atau perangkatnya karena melanggar ketentuan etika

profesi.

Divisi-divisi dalam KKI juga tidak mempunyai fungsi pengembangan, pemantauan,

dan penilaian standar nasional pendidikan kedokteran. Di dalam UU Sisdiknas jelas

terdapat ayat mengenai pengembangan standar dan pemantauan dan pelaporan oleh badan

yang harus dibentuk (UU Sisdiknas Pasal 25). Oleh karena itu diharapkan ada

pengembangan standar nasional pendidikan kedokteran serta pemantauan dan pelaporan

pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh bagian pendidikan kedokteran dari

suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan

Namun sampai sekarang badan tersebut belum dibentuk. Akibatnya pendirian

fakultas kedokteran tidak menggunakan kriteria standar minimal yang jelas dan tidak ada

pemantauannya. Saat ini pemberian ijin ke lembaga pendidikan kedokteran diterbitkan

oleh Kementerian Pendidikan Nasional dengan rekomendasi KKI dan berbagai asosiasi

yang sebenarnya bukan wewenangnya. Di dalam pasal 8 UU Praktek Kedokteran yang

sudah dikuti di atas jelas bahwa KKI tidak berwenang melakukan rekomendasi perijinan

untuk lembaga pendidikan kedokteran.

Akreditasi saat ini dilakukan oleh BAN. Data menunjukkan bahwa akreditasi yang

terbanyak adalah B di Pulau Jawa9. Masih banyak program studi yang belum

terakreditasi, jumlah terbanyak yang belum diakreditasi terdapat di Pulau Sumatera. Di

Pulau Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi serta Papua, jumlah program studi

yang belum terakreditasi sama atau lebih besar dengan yang sudah terakreditasi. Untuk

program studi dengan akreditasi A terbanyak terdapat di Pulau Jawa (data HPEQ).

Data mengenai akreditasi lembaga pendidikan kedokteran menunjukkan bahwa

perijinan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan Tinggi bersifat longgar. Hampir

9 Sumber : Direktori SK Hasil Akreditasi Program Studi – 22/ 08/ 2010 (www.ban-

pt.depdiknas.go.id)

separuh dari nilai akreditasi masih berada di C atau belum diakreditas. Sementara itu

lembaga yang bersangkutan masih terus menerima mahasiswa baru.

Dapat ditegaskan bahwa urusan standar nasional ini masih merupakan ketidak

pastian hukum. Hal ini berdampak pada perijinan dan penutupan fakultas kedokteran

yang menjadi tidak jelas prosesnya. Hal ini menjadi salahsatu penyebab mengapa terjadi

peningkatan jumlah fakultas kedokteran secara cepat namun diragukan mutu proses

pendidikan dan infrastrukturnya, termasuk kualifikasi dan jumlah dosen seperti yang

tercermin dari hasil akreditasi.

Akibat berikutnya adalah dengan tidak adanya standar minimal maka sulit untuk

mempunyai unit-cost proses pendidikan untuk memenuhi kompetensi profesi dokter dan

dokter spesialis. Terjadi berbagai fakultas yang bervariasi mutunya, dengan gap yang

sangat besar. Hal ini merupakan kekurangan sistem regulasi pendidikan kedokteran

Indonesia sampai saat ini dan perlu diatasi dengan UU Pendidikan Kedokteran yang akan

disusun.

Sumber Pendanaan Pendidikan Tinggi Kedokteran Secara konsepsual, pendanaan proses pendidikan tinggi dapat berasal dari

pemerintah pusat maupun propinsi/kabupaten, masyarakat, dan swasta. Berdasarkan

UUD, pendidikan merupakan public-goods yang sebaiknya didanai pemerintah. Namun

akibat keterbatasan kemampuan keuangan negara, dalam pelaksanaan pendidikan, bagi

sebagian masyarakat yang mampu dapat memberikan kontribusi berupa sumbangan

untuk pendidikan. Disamping itu pemerintah memberi kesempatan kepada lembaga

swasta untuk menyelenggarakan pendidikan kedokteran.

Akan tetapi di Indonesia terjadi situasi yang menjauhi amanah UUD. Pemerintah

relatif tidak banyak memberikan pembiayaan untuk pendidikan tinggi walaupun akhir-

akhir ini memang ada dana dari pemerintah, namun sebagian besar berasal dari pinjaman

asing yaitu World Bank untuk proyek HWS dan HPEQ serta IDRB untuk RS pendidikan

di berbagai fakultas kedokteran. Disamping itu ada pembangunan fisik dari JICA untuk

pendidikan kedokteran, dan APBN untuk pembangunan RS Pendidikan.

Selama ini tidak ada dana pemerintah untuk RS Pendidikan yang milik

Kementerian Kesehatan. Proses pendidikan dilakukan dalam konteks dana yang

seadanya. Berbagai seminar dan penelitian telah menyatakan keadaan ini sejak lama.

Demikian pula untuk pendidikan dokter spesialis. Kementerian Pendidikan tidak

menyediakan anggaran untuk pendidikan dokter spesialis. Pendidikan dokter spesialis

merupakan pendidikan yang menarik karena peran Kementerian Pendidikan dapat disebut

minimalis. Pendanaan dan pengelolaan diserahkan sepenuhnya ke lembaga masyarakat

dan swasta. Dalam pendidikan ini sudah terjadi situasi buruk dimana pendanaan yang

berasal dari swasta menjadikan pendidikan yang mempunyai mekanisme pasar kuat.

Akibatnya biaya untuk mengikuti pendidikan spesialis menjadi sangat tinggi. Pada tahun

2007 dilaporkan oleh Maryam (Pusrengun DepKes RI) bahwa sebagian besar residen

membiayai sendiri.

Intervensi pemerintah ke pendidikan tinggi spesialis dilakukan melalui

Pendidikan Dokter Spesialis berbasis Kompetensi yang diprakarsai oleh Kementerian

Kesehatan. Kebijakan ini berusaha meningkatkan mutu pendidikan dengan perbaikan

kurikulum dan pengiriman mahasiswa tugas belajar yang didanai oleh Kementerian

Kesehatan. Beasiswa yang diberikan oleh Kementerian Kesehatan lebih untuk mendanai

biaya operasional dan biaya hidup mahasiswa. Tidak ada biaya untuk perbaikan investasi.

Di berbagai fakultas kedokteran swasta, pendidikan tinggi menjadi private goods

murni yang bahkan menjadi sumber subsidi silang untuk fakultas lainnya10

. Hal ini dapat

dipahami karena demand untuk menjadi mahasiswa kedokteran sangat tinggi, dengan

jumlah mahasiswa yang diterima relatif sedikit. Akibatnya terjadi tarif SPP tinggi dengan

jumlah mahasiswa yang diterima semakin besar. Terjadi situasi dimana fakultas

kedokteran swasta menerima pendapatan besar namun ada kemungkinan tidak maksimal

dipergunakan untuk kepentingan mutu pendidikan.

Gejala mengutip uang masuk tinggi terjadi pula di pendidikan dokter dan dokter

spesialis di fakultas kedokteran pemerintah. DI pendidikan dokter terdapat berbagai

praktek pemberian uang sebagai jalanmasuk ke pendidikan. Praktek-praktek ini

melanggar hukum, dimana sebagian terbukti11

namun sebagian lainnya tidak terbukti di

pengadilan.

Pengamatan mengenai sumber pendanaan menunjukkan bahwa subsidi untuk

pendidikan kedokteran di Indonesia belum mempunyai sistem yang jelas, pihak mana

yang membayar biaya operasional dan pihak mana yang membayar biaya investasi12

.

Selama ini terlihat bahwa Departemen Pendidikan memberikan subsidi untuk hal-hal

yang rutin dan investasi di fakultas kedokteran. Namun belum ada rencana jelas untuk

membiayai investasi yang saat ini sangat dibutuhkan di berbagai fakultas di daerah yang

termasuk kategori yang harus dibina, serta untuk rumahsakit pendidikan.

Pengamatan ini menyarankan perlu ada dana investasi segera untuk memperbaiki

infrastruktur pendidikan kedokteran. Kebutuhan dana untuk fakultas kedokteran dan

rumahsakit pendidikan ini sangat mendesak terutama bagi fakultas kedokteran baru yang

akan masuk ke tahap pendidikan residensi. Hal ini dikemukakan oleh Dekan FK

Universitas Nusa Cendana yang saat ini sedang mempersiapkan rumahakit pendidikan di

Kupang13

.

Bagaimana kemungkinan sumber pendanaan di masa mendatang? Sumber

pendanaan penyelenggaraan pendidikan kedokteran pada prinsipnya berasal dari APBN

dan APBD, khususnya dari 20 % anggaran Negara yang dialokasikan untuk anggaran

pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Akan tetapi dana pemerintah diberikan besar untuk pendidikan

dengan tetap membuka peran serta masyarakat untuk membantu penyelenggaraan

pendidikan kedokteran melalui sumber pendanaan lain yang sah berdasarkan peraturan

perundang-undangan14

.

Anggaran yang untuk pendidikan kedokteran dapat dibagi menjadi:

Sumber dari APBN.

10

Pernyataan ini berasal dari berbagai Dekan FK swasta yang memaparkan bahwa sebagian dana masuk yang

berasal dari calon dan mahasiswa FK dipergunakan oleh fakultas lain. Informasi ini termasuk sensitif. Perlu ada

cross-check ke catatan keuangan di tiap universitas. Hal ini dikemukakan pula oleh seorang anggota Panja RUU

Pendidikan Kedokteran DPR. 11

Kasus di sebuah daerah yang melibatkan pengelola pendidikan kedokteran 12

Ada berbagai penelitian tentang biaya pendidikan di rumahsakit pendidikan yang dilakukan oleh Chairul Umam

dan Trisnantoro antara tahun 2002 sampai 2010. 13

Heru Tjahyono 2011. Persiapan rumahsaki pendidikan untuk FK Nusa Cendana. Seminar di FK UGM. 14

Hal ini mencerminkan kenyataan bahwa tidak mungkin ada etatisme murni dalam pendidikan kedokteran.

Sumber ini meliputi dari pendanaan Kementerian Pendidikan untuk Fakultas

Kedokteran Negeri, dan/atau Fakultas Kedokteran Swasta. Dalam konteks

pemberian dana untuk fakultas kedokteran swasta, akan ditemui masalah hukum

berupa bentuk penyaluran. Dalam hal ini ada kemungkinan berupa model hibah

pemerintah untuk swasta. Namun model hibah ini tidak bisa dilakukan rutin.

Disamping untuk rumahsakit pendidikan dana APBN dari Kementerian

Pendidikan perlu diberikan untuk rumahsakit pendidikan. Dalam hal ini RS

pendidikan bervariasi pemiliknya; (1) RS Akademik milik Kemendiknas; RS

Pendidikan yang bukan menjadi milik Kementerian Pendidikan (milik Kemenkes,

dan swasta). Pertanyaan penting adalah bagaimana aturan untuk menyalurkan

anggaran Kementerian Pendidikan ke lembaga yang bukan UPT Kementerian

Pendidikan. Apakah dimungkinkan untuk memberikan dalam bentuk Dana Tugas

Pembantuan APBN ke rumahsakit pendidikan di berbagai kepemilikan. Khusus

untuk dana investasi peralatan yang digunakan untuk pelayanan kesehatan

diharapkan berasal dari pemerintah (cq. Departemen Kesehatan).

Pendanaan dari APBD.

Bagi pemerintah daerah yang mampu diharapkan ada bagian dari APBD untuk

investasi dan operasional. Daerah-daerah yang mampu tersebut antara lain: Aceh

(dana otonomi khusus), Riau (dana bagi hasil), DKI Jakarta (pendapatan asli

daerah), Kalimantan Timur (dana bagi hasil), Papua (dana otonomi khusus). Ada

beberapa kemungkinan dana APBD untuk FK yang merupakan UPT Kementerian

Pendidikan Nasional. Penyaluran dana ini tidak dimungkinkan oleh peraturan

keuangan15

. Aturan keuangan ini menyebutkan tidak boleh ada dana pemerintah

daerah untuk ke fakultas kedokteran sebagai UPT pusat. Hal ini terjadi di

Universitas Mulawarman16

. FK di daerah perlu dikecualikan dari aturan keuangan

ini.

Pendanaan dari masyarakat

Sumber dana dari Masyarakat dan lembaga swasta tetap merupakan hal yang

diharapkan terus terjadi. Tidak mungkin pemerintah akan mendanai semuanya.

Masyarakat dapat memberikan dana untuk mengikuti pendidikan kedokteran di

fakultas kedokteran negeri dan swasta. Disamping itu ada dana Charity yang dapat

diperoleh dari masyarakat mampu dan industry yang menyumbang untuk sosial

dan dapat memperoleh keringanan pajak. Juga dana Corporate Social

Responsibility dapat diusahakan.

Secara keseluruhan mekanisme pasar tetap ada dalam sektor pendidikan

kedokteran, namun dibatasi volumenya dengan memainkan instrumen subsidi

pemerintah dan pemberian beasiswa. Pemerintah memberikan subsidi berupa

biaya investasi dan operasional untuk fakultas kedokteran dan rumahsakit

pendidikan pemerintah, hibah, dan beasiswa yang dapat dipergunakan masyarakat

untuk belajar di fakultas kedokteran pemerintah atau swasta.

15

Peaturan Menteri Keuangan yang menyebutkan tidak boleh ada dana daerah untuk UPT pusat. 16

Diskusi dengan Dekan FK Mulawarman mengenai masalah dalam mengalirkan dana APBD ke FK Universitas

Mulawarman.

Satu hal penting dalam pendanaan ini adalah; Siapa mendanai apa, khususnya

untuk dua Kementerian: Pendidikan Nasional dan Kesehatan. Apakah akan ada

suatu penegasan bahwa dana Kementerian Pendidikan untuk fakultas kedokteran

dan rumahsakit pendidikan merupakan dana untuk proses pendidikan saja.

Sementara itu dana untuk pembelian peralatan untuk pelayanan kesehatan

diharapkan dari Kementerian Kesehatan sesuai dengan tugas nya.

Secara konkrit dapat disebutkan bahwa subsidi biaya investasi perlu diperjelas.

Apakah peralatan medik di rumahsakit pendidikan (termasuk milik Kementerian

Pendidikan) akan tetap didanai oleh Kementerian Kesehatan karena memberikan

pelayanan, ataukah didanai oleh Kementerian Pendidikan. Dalam hal ini

diharapkan ada semacam kerjasama antara Kementerian Kesehatan dan

Pendidikan Nasional untuk menetapkan tanggung jawab yang jelas dalam

pendanaan rumahsakit pendidikan. Hal ini akan menjadi topik agenda

pernyusunan kebijakan anggaran dalam pendidikan kedokteran.

Untuk Fakultas Kedokteran dan rumahsakit pendidikan perlu untuk memperbaiki

perencanaan pendanaan (financial plan) dalam konteks rencana strategis masing-

masing. Aspek pembiayaan ini sebenarnya masuk dalam standar nasional

pendidikan. Akan tetapi hal ini tidak pernah dijadikan bahan penilaian, dan

monitoring lembaga pendidikan. Akibatnya terjadi situasi dimana akuntabilitas

lembaga tidak dapat dipertanggung-jawabkan dan perbedaan fasilitas yang sangat

besar antar fakultas kedokteran17

.

Dosen Pendidik

Dosen merupakan tulang punggung dan otak sebuah perguruan tinggi. Tanpa ada

dosen yang baik dengan pola regenerasi yang benar, masa depan sebuah universitas

menjadi sulit. Secara pengamatan di sebuah fakultas kedokteran yang mempunyai

predikat Pembina, dalam kurun waktu lima tahun (2003-2008) terjadi penurunan drastis

jumlah dosen dengan NIP 13, terutama di bagian-bagian klinik. Di sisi lain, terjadi

peningkatan jumlah dosen luar biasa(non NIP 13...) dan adanya istilah baru dosen

swadana. Struktur dosen ini berbeda dengan fakultas-fakultas lain. Secara kuantitas

jumlah dosen meningkat. Sebaliknya secara kualitas berdasarkan jenjang karir akademik

terjadi penurunan. Penurunan kualitas jenjang karir akademik terutama di bagian-bagian

klinik. Pada proyeksi 5 tahun ke depan, kelompok biomedik akan mengalami situasi

serupa dengan klinik.

Keadaan ini merupakan gejala ini yang juga terjadi serupa di berbagai fakultas

kedokteran. Oleh karena itu dapat dikatakan sebuah krisis sudah mulai terjadi. Di sisi

lain, jumlah dosen di luar Jawa sangat sedikit. Hal ini menunjukkan perkembangan yang

sangat jauh antara Jawa dan Luar Jawa. Kebijakan yang dapat disarankan adalah: (1)

Meningkatkan jumlah dosen non Kementerian Pendidikan, (2) Mencari dosen asing

dalam skema kerjasama dengan perguruan tinggi internasional; (3) merekrut dosen-

dosen muda. Kesemua solusi ini membutuhkan dana untuk pengembangan SDM dosen.

Meningkatkan jumlah dosen non Kementerian Pendidikan Nasional.

17

Dewi Feri. 2011. Situasi fasilitas pendidikan kedokteran di 4 propinsi. Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan

FK UGM.

Kebijakan ini memperkuat apa yang disebut sebagai dosen pendidik klinik,

terutama di rumahsakit pendidikan. Dosen-dosen dari Kementerian Pendidikan akan

menjadi minoritas dalam jumlah. Di luarnegeri gambaran serupa terjadi. Sebagai

gambaran di University of Melbourne terdapat sekitar 1900 dosen akademik18

. Terdiri

dari Bagian Pra Klinik di Departemen-departemen di FK. Di Bagian Klinik terdapat 80

orang dosen pegawai universitas yang disebar ke RS-RS Pendidikan. Mereka

mempunyai gelar Professor dan Asisten Professor. Sementara itu jumlah yang jauh lebih

banyak, 1000 orang, berasal dari jaringan RS Pendidikan. Disebut sebagai Honorary

Medical Lecturers.

Bagaimana dengan pembayarannya? Ada tiga kelompok dosen di University of

Melbourne. Pertama adalah kelompok yang full-time merupakan tenaga pendidikan.

Digaji oleh universitas dan tidak mendapat tambahan apa-apa. Kelompok ini dapat pula

mempunyai double appointment dengan rumahsakit pendidikan dan mendapat

pendapatan dari rumahsakit jaringan. Kelompok kedua adalah dosen yang tidak dibayar

namun menjalankan tugas sebagai pendidikan. Motivasi mereka untuk mengajar adalah

untuk kemantapan profesi, akses ke fasilitas Universitas Melbourne, dan

mengembangkan karier akademik. Kelompok ketiga adalah dosen yang tidak

mempunyai hubungan tegas dengan universitas namun dikontrak per jam untuk

memberikan tugas fungsi pendidikan. Mereka dapat berupa para klinisi ataupun

mahasiswa S3 yang menjadi tutor/fasilitator untuk PBL. Pendidikan residensi dilakukan

oleh College. Kegiatan mengajar di residensi tidak merupakan pekerjaan yang dibayar.

Hanya sekali-kali. Jadi bersifat Unpaid/voluntarily.

Pola serupa dilakukan di Harvard University19

. Dalam struktur organisasi yang

kompleks di Harvard ada suatu nilai yang dipegang dalam pendidikan tinggi

kedokteran. Nilai tersebut adalah rasa kebanggaan untuk mengajar para calon dokter.

Harvard University memberikan pula beberapa insentif keuangan untuk pemberian

pendidikan. Di luar insentif keuangan, sebagai dosen di Fakultas Kedokteran Harvard

mendapat berbagai manfaat, termasuk penggunaan perpustakaan dan berbagai sistem

pengembangan ilmu.

Apakah pola ini dapat dipergunakan di Indonesia. Motivasi apa yang dapat

membuat para dokter pendidik klinik di luar Kementerian Kesehatan melakukan

pendidikan. Saat ini Menpan telah mengeluarkan SK mengenai dokter yang pendidik

klinik20

. Apakah hal ini cukup? Perbedaan utama adalah tidak adanya jabatan Professor

Klinik di Indonesia seperti yang ada di Harvard University. Hal ini menjadi isu penting

yang dikemukakan oleh berbagai tokoh pendidikan kedokteran dalam berbagai hearing.

Ada peluang pula untuk menerapkan Doktor dalam pendidikan profesi yang dapat

dipergunakan dokter pendidik klinik yang berasal dari luar Kementerian Pendidikan

untuk menjadi Profesor. Pengelolaan dokter pendidik klinik perlu untuk diperbaiki

sehingga dapat menjadi dosen yang mempunyai jabatan fungsional seperti yang tertera

di UU Guru dan Dosen.

18

Trisnantoro L. 2009. Pengelolaan RS Pendidikan di University of Melbourne. Studi banding dengan situasi di

Indonesia. Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan FK UGM. 19

Observasi di Harvard University 20

SK Menteri PANmengenai dosen Pendidik.

Mencari dosen-dosen asing

Dalam jangka pendek perlu untuk mencari dosen-dosen asing untuk ditempatkan

di fakultas kedokteran Indonesia. Skema yang dilakukan dapat berupa twinning system

atau sister university (U to U atau G to G) dengan berbagai sumber dana. Diberbagai

negara sudah banyak kerjasama antar perguruan tinggi. Sebagai gambaran, ada laporan

di Lancet sebagai berikut:

Ibadan—possibly Nigeria’s premier medical school—was started in

collaboration with the University of London, UK. In Uganda, the prestigious

Makarere health sciences schools have had many twinning programmes,

including with Johns Hopkins, USA, in public health. In Kenya, Moi University

School of Medicine has pioneered a twinning arrangement with aconsortium of

north American universities led by Indiana21

.

Dokter-dokter dosen ini sekaligus dapat menjalankan praktek kedokteran di

rumahsakit pendidikan untuk menarik para pasien. Hal ini sudah dimungkinkan secara

hukum oleh UU Rumahsakit22

.

Proses di Pendidikan Tinggi Kedokteran.

Cara menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran.

Satu konsep penting adalah kriteria untuk menjadi mahasiswa kedokteran dan

pendidikan spesialisasi. DI berbagai negara memang terbukti bahwa komposisi

mahasiswa kedokteran lebih banyak yang mempunyai kemampuan ekonomi tinggi23

.

Keadaan ini sangat terlihat di kampus-kampuspendidikan dokter terkemuka di Indonesia.

Hal ini dapat dimengerti karena sistem seleksi mahasiswa kedokteran yang mengacu pada

kemampuan akademik dan ditambah dengan syarat pembayaran dana menjadi

penghalang untuk lulusan SMA di daerah sulit yang tidak secemerlang rekannya dari

perkotaan.

Oleh karena itu dipikirkan adanya pola seleksi yang tidak berdasarkan persaingan

bebas dan kemampuan ekonomi. Hal ini merupakan kebijakan seleksi yang afirmatif.

Tahun 2009, Fakultas Kedokteran UGM pernah menerapkan model seleksi yang

memberikan jalur khusus kepada lulusan SMA dari pulau Nias untuk menjadi

dokter.Jalur khusus ini tidak harus bersaing dengan calon mahasiswa.Jatah sekitar 12

kursi telah dialokasi dan dikompetisikan untuk calon-calon mahasiswa dari Nias.Dana

pendidikan dibayar oleh pemerintah daerah Kabupaten Nias. Program ini berlaku pula

untuk dokter spesialis.

Ada beberapa faktor lain yang perlu dipikirkan dalam sistem seleksi. Isu Gender

menjadi hal penting. Saat ini terjadi feminisasi mahasiswa kedokteran yang tentunya akan

mempengaruhi pola kerja lulusan. Dokter wanita cenderung tidak bekerja secara full-

timer dan mempunyai kerumitan pribadi untuk bekerja di daerah sulit. Latar belakang

21

Frenk J, Chen K. Dkk. 2011. Health Professionals for a new century; transforming education to strengthen health

systems in an interdependent world. Lancet. Vol 376 December 4, 2010. 22

UU RS tahun 2009 23

WHO. 2006. The world health report: working together for health.Geneve: World HealthOrganization.

etnis untuk mempermudah bekerja di daerah sulit dengan budaya yang berbeda perlu

dijadikan pertimbangan dalam memberikan alokasi untuk pendidikan dokter.

Kompetensi dan Kurikulum

Berdasarkan UU Sistem Pendidikan Nasional pengembangan kurikulum untuk

pendidikan tinggi dilakukan oleh perguruan tinggi yang berangkutan24

. Dengan mengacu

pada pasal ini kurikulum pendidikan kedokteran sebaiknya disusun oleh pendidikan

tinggi berdasarkan standar nasional pendidikan dan memperhatikan potensi daerah serta

tingkat satuan pendidikan. Di dalam UU Praktek Kedokteran tidak disebutkan mengenai

kurikulum secara tegas namun secara eksplisit disebutkan bahwa KKI menetapkan

standar pendidikan profesi dokter yang diacu oleh kurikulum.

Di dalam buku standar profesi dokter yang disahkan KKI disebutkan bahwa

kurikulum pendidikan kedokteran menggunakan kurikulum berbasis kompetensi. Di

berbagai negara kurikulum ini memang yang diacu25

. Kurikulum berbasis kompetensi

disusun berdasarkan kebutuhan akan pelayanan dan sistem kesehatan.

Di dalam buku Standar Pendidikan Dokter Indonesia oleh KKI terdapat definisi

kurikulum sebagai berikut:

Kurikulum Pendidikan Kedokteran berbasis kompetensi yang dilakukan dengan

pendekatan terintegrasi baik horisontal maupun vertikal, serta berorientasi pada masalah

kesehatan individu, keluarga, dan masyarakat.

Definisi ini belum begitu jelas sehingga menimbulkan perdebatan mengenai

kurikulum pendidikan kedokteran:Bagaimana pemahaman dan konsep dasarnya; Siapa

yang menyusun dan bagaimana prosesnya; Apakah akan kurikulum berbasis kompetensi

yang tunggal atau bisa lebih dari satu sesuai kondisi daerah setempat; dan Siapa yang

menetapkan untuk dipergunakan sebagai kurikulum nasional untuk pendidikan

kedokteran?

Pemahaman kurikulum saat ini perlu untuk melihat beberapa kata kunci sebagai

berikut:

Berbasis kompetensi. Dalam UU praktek kedokteran jelas bahwa kompetensi

dokter yang disahkan oleh KKI menjadi target pencapaian kurikulum. Standar

Kompetensi Dokter ini merupakan standar nasional keluaran program studi dokter dan

telah divalidasi oleh Perkumpulan Dokter Keluarga Indonesia, Kolegium Dokter

Indonesia, Kolegium-Kolegium Spesialis terkait serta seluruh Bagian atau Departemen

terkait dari seluruh institusi pendidikan kedokteran di Indonesia. Standar Kompetensi

Dokter ini merupakan satu kesatuan dengan Standar Pendidikan Profesi Dokter. Standar

Kompetensi Dokter adalah standar output atau keluaran dari program studi dokter.

Kurikulum dirancang agar dapat mencapai standar kompetensi dokter. Akan tetapi

masalah kurikulum ini masih menyisakan masalah penting yaitu tentang konsep dokter

keluarga dan dokter umum.

24

UU Sisdiknas 2003 25

Gruppen I.D. Mangrulkar RS, Kolars JC. Competence based education in the health professions: implication for

improving global health. Commission paper 2010. http://www.globalcommehp.com

Siapa penyusun kurikulum. Penyusun kurikulum adalah perguruan tinggi yang

dapat dikelompokkan menjadi berbagai tipe: berada di daerah yang mempunyai pengaruh

global yang kuat dan ada yang berada di daerah pedalaman. Kurikulum selalu terkait

dengan kebutuhan setempat, dan mengacu pada kompetensi profesi dokter yang

ditetapkan KKI. Dengan demikian ada kemungkinan kurikulum dapat lebih dari satu

versinya. Sebagai gambaran bagaimana memperoleh lulusan fakultas kedokteran yang

mampu bersaing dalam pelayanan kesehatan global, sementara itu di berbagai daerah

terjadi kekurangan dokter yang sangat akut. Pembedaan kurikulum dimungkinkan oleh

UU Sisdiknas. Namun saat ini yang ada baru 1 jenis kurikulum berbasis kompetensi.

Sebagai gambaran, berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi, kurikulum

fakultas kedokteran yang berencana meluluskan dokter dengan kompetensi di daerah sulit

mungkin perlu menyusun kurikulum yang berbeda. Ada kemungkinan kurikulum berbeda

dengan mengacu standar kompetensi yang sama. Hal ini penting mengingat lulusan

fakultas kedokteran di Indonesia berada di berbagai tempat yang berbeda situasinya26

.

Kurikulum ditetapkan/disusun oleh PT yang bersangkutan sesuai dengan filosofi

pendidikan yang dianut dan sesuai dengan kemampuannya. Prinsip penting adalah

kurikulumnya harus dapat memfasilitasi mahasiswa untuk menguasai standard

kompetensi minimal dengan cara yang efisien27

.

Kurikulum yang mempunyai sifat diversifikasi. Di sisi lain ada kemungkinan

kurikulum berbeda dengan mengacu pada kompetensi yang lebih dibanding yang ada

sekarang. Sebagai gambaran Section Caesarian. Kompetensi sekarang berada pada Level

2. Karena kebutuhan di lapangan, untuk menyiapkan dokter di daerah sulit mungkin perlu

sampai Level 4 (lebih tinggi dari standar kompetensi). Sedangkan untuk menjawab

tuntutan perkembangan masyarakat global, kesesuaian antara kurikulum dengan

pendidikan kedokteran masih harus disesuaikan28

.

Dalam konteks pelaksanaan kurikulum, belum ada kejelasan penetapannya

walaupun berdasarkan UU Sisdiknas, pemerintah merupakan penanggung-jawab sistem

pendidikan. Menjadi isu kebijakan adalah siapa yang berwenang menetapkan kurikulum

untuk dilaksanakan oleh perguruan tinggi termasuk dana pelaksanaannya. Oleh karena itu

diharapkan pemerintah dapat berperan untuk menetapkan kurikulum yang dikembangkan

oleh berbagai perguruan tinggi dengan mengacu pada standar kompetensi dokter dan

dokter spesialis yang ditetapkan oleh KKI.

26

Pendapat dari Prof Soenarto Sastrowijoto, mantan Dekan Fakultas Kedokteran UGM. 27

Pendapat dari Dr. Rossi Sanusi PhD, seorang pakar pendidikan kedokteran. 28

Berdasarkan hasil wawancara di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, tanggal 1 Desember 2008.