Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
43
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
1.1 HASIL PENELITIAN
Dalam penelitian ini akan dilakukan studi kasus gugatan perdata yang
terjadi dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Gresik berkaitan dengan perkara
pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Perkara ini telah diputuskan dalam
tingkat Pengadilan Negeri Gresik dengan nomor 61/PDT.G/2016/PN. Gsk dan
selanjutnya pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi Surabaya dengan nomor
05/PDT/2018/PT. Sby. Oleh karena itu dibawah ini akan penulis paparkan tentang
kedua putusan tersebut.
1. Putusan Perkara Perdata Nomor 61/PDT.G/2016/PN. Gsk di Pengadilan
Negeri Gresik.
Putusan perkara perdata ini merupakan gugatan perdata yang di putuskan
oleh Pengadilan Negeri Gresik yang dalam gugatan perdata ini berisi mengenai
ganti kerugian pengadaan tanah. Dalam perkara ini, sebagai pihak Penggugat
yaitu Enny Chasanah dan pihak Tergugat yaitu Badan Pertanahan Nasional
Kabupaten Gresik sebagai Tim Pelaksana Pengadaan Tanah Jalan tol Surabaya-
Mojokerto II28 yang selanjutnya disebut Tergugat I, serta Tergugat II yaitu Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK) Jalan Tol Surabaya-Mojokerto wilayah II pada
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Direktorat Jendral Bina
28 Berdasarkan perkara nomor 61/PDT.G/2016/PN.GSK di Pengadilan Negeri Gresik
44
Marga, Direktorat Bina Teknik, Satuan kerja Inventarisasi dan Pengadan Lahan,
Pengadaan Tanah Jalan Tol Surabaya-Mojokerto II. Dalam hal ini penggugat
merupakan pihak yang menolak untuk melepaskan atau menyerahkan hak atas
tanahnya, bangunan serta tanaman yang ada diatasnya karena penggugat menolak
nilai atau besaran ganti kerugian pengadaan tanah pembangunan ruas jalan tol
Surabaya-Mojokerto II. Dengan tidak tercapainya kesepakatan perihal besarnya
ganti kerugian dan tidak melaluinya musyawarah antara Penggugat dan Tergugat,
maka Penggugat mengajukan gugatan kepada Para Tergugat di Pengadilan Negeri
Gresik.
Selanjutnya penulis akan menyampaikan tentang duduk perkara dari
gugatan perdata nomor 61/PDT.G/2016/PN. Gsk di Pengadilan Negeri Gresik.
Pada perkara tersebut menurut Penggugat undangan terkait tentang musyawarah
untuk menetapkan ganti kerugian pengadaan tanah telah penggugat terima pada
tanggal 25 November 2015 dan musyawarah ganti kerugian tersebut akan
dilaksanakan pada tanggal 5 Desember 2015 bertempat di Balai Desa Tanjungan,
Kecamatan Driyorejo, Kabupaten Gresik. Namun dalam pertemuan musyawarah
tersebut tidak ada musyawarah melainkan langsung disodorkan lampiran dari
berita acara kesepakatan untuk menetapkan ganti kerugian pengadaan tanah
dengan nomor: 124/PPT-SUMO II/35.25/XII/2015. Selain itu terdapat beberapa
kesalahan dari berita acara tersebut antara lain pada kolom Surat Tanda
Bukti/Alas Hak tertulis C Desa 236 sedangkan bukti alas hak adalah sertifikat hak
milik, kemudian pada kolom Nilai Pasar Bangunan tertulis kosong padahal
terdapat bangunan permanen seluas ± 100 M2.
45
Pada tanggal 9 Januari 2016, Tergugat kembali memberikan undangan
musyawarah ganti kerugian pengadaan tanah yang akan dilaksanakan pada
tanggal 13 Januari 2016 bertempat di kantor Kecamatan Driyorejo, Kabupaten
Gresik. Seperti yang telah terjadi pada musyawarah ganti kerugian yang pertama
pada tanggal 5 Desember 2015, tanpa danya musyawarah tentang besaran ganti
kerugian tim pengadaan tanah hanya menyodorkan berita acara kesepakatan ganti
kerugian pengadaan tanah dengan nomor: 696/SK/SIH/XI/2015 tanggal 1
Desember 2015 dan nomor: 08/SK/SIH/I2016 tanggal 8 Januari 2016. Dalam
berita acara tersebut terdapat perubahan data, namun dalam hal nilai/besaran dari
tanah tidak terjadi perubahan sedangkan hanya terjadi perubahan status tanah
sudah berubah yang semula tertulis C Desa 236 berubah menjadi HM (Hak Milik)
dan menurut Penggugat besaran dari Nilai Penggantian Wajar yang selanjutnya
disebut NPW tidak adanya kewajaran harga karena menurut Penggugat nilai dari
tanah yang bersertifikat dan tanah yang belum bersertifikat memiliki nilai/harga
yang sama.
Karena tidak adanya kesepakatan dari Penggugat selaku pihak yang berhak
dengan Para Tergugat selaku penyelenggara dari Pengadaan tanah Jalan Tol
Surabaya-Mojokerto II, maka melalui Kepala Badan Pertanahan Kabupaten
Gresik29, Pengugat menyerahkan keberatan untuk ditulis di halaman bawah berita
acara penyerahan hasil penilaian pengadaan tanah untuk kepentingan umum
pembangunan Jalan Tol Surabaya-Mojokerto II namun tidak ada tanggapan dari
penyelenggara pengadaan tanah atau dalam hal ini Para Tergugat. Namun setelah
penyerahan tersebut setelah 7 bulan berlalu dan tidak adanya tanggapan dari
29 Ibid.,
46
keberatan yang Pengugat sampaikan tersebut. Tetapi selanjutnya Penggugat
mengirimkan surat kepada Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Gresik yang
selanjutnya disebut BPN Kabupaten Gresik pada tanggal 29 Agustus 2016 dan
diterima pada tanggal 30 Agustus 2016 dengan agenda nomor 1233. Namun
setetlah diserahkannya keberatan kembali tidak ada jawaban atau tindak lanjut
dari keberatan Penggugat dari pihak BPN Kabupaten Gresik terhadap surat
tersebut, akhirnya Penggugat mengirim kembali surat pada tanggal 1 September
2016 dan diterima oleh BPN Kabupaten Gresik pada 2 September 2016 dengan
agenda nomor 1247. Tanpa adanya tanggapan atau tindak lanjut dari surat
keberatan yang Tergugat sampaikan kepada pihak BPN Kabupaten Gresik Tetapi
tiba-tiba Penggugat justru mendapat panggilan sidang dengan agenda Penetapan
Konsinyasi dari Pengadilan Negeri Gresik pada tanggal 27 September 2016.
Dengan adanya peristiwa diatas Pengugat merasa dirugikan karena
keberatan yang ia sampaikan tidak ditanggapi oleh pihak BPN Kabupaten Gresik
namun Para Tergugat langsung menetapkan konsinyasi terhadap ganti kerugian
sehingga Pengugat selaku pihak yang berhak dalam pengadaan tanah mengajukan
gugatan di Pengadilan Negeri Gresik pada tanggal 7 Oktober 2016. Dalam
gugugatan tersebut tuntutan Penggugat intinya menyatakan bahwa Para Tergugat
yaitu Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan perbuatan melawan hukum dan
menyatakan bahwa Nilai Penggantian Wajar yang selanjutnya disebut NPW yang
telah ditetapkan oleh tim pengadaan tanah adalah salah, serta menginginkan harga
yang layak terhadap tanah tersebut yaitu sesuai dengan harga pasar tanah sebesar
Rp. 3.500.000 permeter.
47
Di lain sisi para Tergugat menanggapi bahwa terkait tentang besaran ganti
kerugian pengadaan tanah, menurut Para Tergugat berdasarkan Pasal 63 Perpres
No. 99 Tahun 2014 joncto Perpres No. 71 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa
penetapan nilai ganti kerugian dilakukan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah
berdasarkan hasil Jasa Penilai atau Penilai Publik. Sehingga menurut para
Tergugat yang berhak untuk menentukan besaran atau nilai ganti kerugian
pengadaan tanah adalah Jasa Penilai atau Penilai Publik dan nilai ganti kerugian
berdasarkan hasil penilaian dari Penilai menjadi dasar musyawarah penetapan
ganti kerugian Para Tergugat berpendapat bahwa konsinyasi yang ia lakukan
adalah perbuatan yang sesuai dengan Pasal 39 dan Pasal 42 UU No. 2 Tahun 2012
yang menyatakan apabila pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya
ganti kerugian, tetapi tidak mengajukan keberatan maka ganti kerugian dititipkan
di Pengadilan Negeri setempat. Dari eksepsi yang Para Tergugat sampaikan, Para
Tergugat menyatakan bahwa telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan
ketentuan yang berlaku berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.
Terhadap gugatan tersebut Para Majelis Hakim memutuskan sebagai
berikut:
Dalam pokok perkara:
• Menyatakan Para Tergugat yaitu Tergugat I dan Tergugat
II telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum;
• Menyatakan Nilai Penggantian Wajar yang ditetapkan
oleh tim pengadaan tanah adalah salah;
• Menghukum Para Tergugat untuk membayar nilai ganti
rugi pengadaan tanah kepada Penggugat sebesar Rp.
1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah) Per Meter
Persegi;
• …
Dari putusan tersebut pertimbangan dari Majelis Hakim yaitu bahwa
adanya perbuatan melawan hukum dari Para Tergugat karena walaupun secara
48
formal prosedural tahap dari pengadaan tanah telah dilakukan oleh Para Tergugat
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun menurut Majelis Hakim secara
materiel Para Tergugat melakukan tahapan pengadaan tanah tersebut tanpa
mempertimbangkan maksud dan isi dari setiap tahapan tersebut dalam hal
memberikan ganti kerugian terhadap pihak yang berhak. Berdasarkan fakta
persidangan Majelis Hakim berpendapat bahwa tidak pernah ditemukan bentuk
dari musyawarah sebagaimana diamanatkan undang-undang namun hanyalah
penjelasan atas nilai atau besaran ganti kerugian yang ditetapkan oleh Tim Penilai
untuk kemudian pihak yang berhak diminta untuk menandatangani dalam suatu
berita acara setuju atau tidak setuju. Dari bukti yang ada dalam persidangan
Majelis Hakim menyimpulkan bahwa tidak pernah dilakukan musyawarah yang
sesungguhnya untuk menemukan kata mufakat mengenai bentuk dan besaran
ganti kerugian akan tetapi Para Tergugat hanya melakukan sosialisasi sekaligus
meminta persetujuan dari pihak yang berhak untuk pembangunan jalan tol dalam
hal ini tentang bentuk dan besaran nilai ganti kerugian yang telah ditetapkan
terlebih dahulu oleh Tim Penilai.
Selanjutnya memang benar bahwa Para Tergugat telah menyampaikan
undangan kepada Penggugat sebanyak 2 (dua) kali dengan tujuan untuk
musyawarah penetapan ganti kerugian yaitu pada tanggal 5 Desember 2015 di
Balai Desa Sumput dan tanggal 13 Januari 2016 di Kantor Kecamatan Driyorejo
namun demikian dalam fakta hukum jika musyawarah tidak tercapai kata mufakat,
artinya belum ada kesepakatan nilai ganti kerugian. Melihat dari penetapan harga
tanah dari penggugat tidak didasarkan kepada hasil musyawarah, sehingga secara
otomatis surat keputusan penetapan ganti kerugian yang dicantumkan dalam berita
49
acara kesepakatan menurut Majelis Hakim tidak sesuai dengan prosedur karena
tidak memenuhi Pasal 37 ayat 2 UU No. 2 Tahun 2012 dan Pasal 72 ayat 1, ayat
2, ayat 3 Perpres No. 71 Tahun 2012. Dengan demikian maka Majelis Hakim
berpendapat bahwa semua surat-surat yang dibuat oleh Para Tergugat atau dalam
hal ini berita acara penetapan ganti kerugian tidak relevan dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat karena bersumber dari produk hukum yang dikeluarkan
tidak sesuai dengan prosedur.
2. Putusan Perkara Perdata Nomor 05/PDT/2018/PT Sby di Pengadilan
Tinggi Surabaya.
Putusan merupakan putusan pada tingkat banding yang berkaitan dengan
putusan sebelumnya pada tingkat Pengadilan Negeri. Putusan ini di ajukan oleh
Tergugat I sebagai Pembanding II dan Tergugat II sebagai Pembanding II dan
Penggugat sebagai Terbanding. Seperti yang telah disampaikan pada sub bab 3.1
sebelumnya mengenai putusan dari Pengadilan Negeri menyatakan bahwa Para
Tergugat telah melakukan perbuatan hukum dan menyatakan bahwa NPW yang
telah ditetapkan oleh tim pengadaan tanah adalah salah. Dengan adanya putusan
tersebut maka Pembanding I melakukan upaya banding terhadap putusan tersebut.
Dalam memori bandingnya Pembanding I berpendapat bahwa penetapan besarnya
ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian dari Tim Penilai, bukan penilaian dari
hasil musyawarah atau tawar menawar antara pemilik tanah/Pihak yang Berhak
dengan pelaksana pengadaan tanah. Selanjutnya berdasarkan Pasal 68 Perpres No.
71 Tahun 2012 musyawarah yang dilakukan secara langsung untuk menetapkan
ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian dari Penilai bukan musyawarah untuk
menetukan nilai/besarnya ganti kerugian. Menyambung dari penyataan
50
sebelumnya penggugat menyatakan bahwa penilaian ganti kerugian berdasarkan
hasil penilaian dari penilai bukan didasarkan pada hasil musyawarah antara pihak
yang berhak karena yang dimusyawarahkan adalah untuk menetapkan bentuk ganti
kerugian.
Sementara itu Pembanding II berpendapat bahwa dirinya selaku Pejabat
Pembuat Komitmen yang selanjutnya disebut PPK hanyalah sebagai juru bayar
saja terhadap apa yang telah ditetapkan oleh Tim Penilai sehingga ia berpendapat
bahwa musyawarah ganti kerugian pengadaan tanah tidak terdapat peristiwa tawar
menawar harga hal ini dapat dipahami karena dalam kedudukannya sebagai PPK,
Pembanding II hanya memberikan ganti kerugian terhadap apa yang telah
ditetapkan oleh Tim Penilai. Selanjutnya menurut Pembanding II berdasarkan
sosialisasi Peraturan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum dan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2016 menyatakan bahwa apabila musyawarah
harus ada peristiwa tawar menawar dan adanya kesepakatan dengan warga maka
ada potensi seluruh pembangunan jalan Tol di seluruh wilayah Indonesia ini akan
terhambat pembangunannya. Pembanding II berpendapat bahwa dengan
berlakunya UU No. 2 Tahun 2012 dan Perpres No, 71 Tahun 2012 maka BPN
selaku Tim Pengadaan Tanah hanyalah menyampaikan besaran ganti rugi didalam
musyawarah. Dari pernyataan yang Pembanding II samapaikan maka dapat
disimpulkan bahwa Pembanding II menganggap musyawarah ganti kerugian
pengadaan tanah hanya penyampaian besarnya ganti kerugian tanpa adanya tawar
menawar terkait dengan besaran ganti kerugian.
Dalam putusannya di tingkat banding ini Majelis Hakim memutuskan
antara lain:
51
• Menerima permohonan banding dari Tergugat I dan Tergugat
II/Pembanding juga Terbanding;
• Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Gresik tanggal 11 April
2017 Nomor 61/Pdt.G/2016/PN Gsk;
• …
Majelis Hakim dalam Pertimbangannya menyatakan bahwa pada intinya
secara formal prosedur bentuk dan besaran ganti kerugian, telah dilakukan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, sehingga Majelis Hakim Tingkat Banding tidak
menemukan adanya pelanggaran prosedur dan tidak terdapat adanya perbuatan
melawan hukum. Dengan demikian maka ada alasan untuk tidak sependapat
dengan Putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama dari Pengadilan Negeri Gresik
karena salah dalam pertimbangan hukumnya dan menyatakan menerima
permohonan banding dari Para Tergugat selaku pembanding dan Terbanding sera
menyatakan Gugatan Penggugat tidak dapat diterima.
Selanjutnya agar lebih jelas akan disajikan dalam bentuk tabel terhadap
dua perkara tersebut, sebagai berikut:
Pengadilan Perkara Tingkat Pertama di
Pengadilan Negeri Gresik
Perkara Tingkat Banding di
Pengadilan Tinggi Surabaya
Para Pihak Pengugat/Terbanding: Enny Chasanah selaku Pihak Yang Berhak
Tergugat I/ Pembanding I: Badan Pertanahan Nasional Kabupaten
Gresik sebagai Tim Pelaksana Pengadaan Tanah Jalan tol Surabaya-
Mojokerto II30
Tergugat II/ Pembanding II: Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
Jalan Tol Surabaya-Mojokerto wilayah II pada Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Direktorat Jendral Bina
Marga, Direktorat Bina Teknik, Satuan kerja Inventarisasi dan
30 Ibid.,
52
Pengadan Lahan, Pengadaan Tanazh Jalan Tol Surabaya-Mojokerto
II
Para Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum karena
melaksanakan musyawarah tidak dilakukan dengan tawar menawar
tentang nilai ganti kerugian, menyatakan nilai ganti kerugian yang
ditetapkan oleh para tergugat adalah salah.
Dalil
Tergugat
I/Pembanding
I
Berdasarkan Pasal 63 Perpres No. 99 Tahun 2014 joncto Perpres No.
71 Tahun 2012 yang berhak untuk menentukan ganti kerugian
adalah Tim Pengadaan Tanah bukan dari Hasil Musyawarah
Penetapan Ganti Kerugian.
Dalil
Tergugat II
Berdasarkan Pasal 63 Perpres
No. 99 Tahun 2014 joncto
Perpres No. 71 Tahun 2012
yang berhak untuk
menentukan ganti kerugian
adalah Tim Pengadaan Tanah
bukan dari Hasil Musyawarah
Penetapan Ganti Kerugian.
Dalam Musyawarah penetapan
ganti kerugian pengadaan tanah
tidak terdapat proses tawar
menawar terkait harga karena
apabila dilakukan akan memakan
waktu yang lama sehingga
berakibat terhambatnya proses
pembangunan jalan tol di
Indonesia
Putusan Menyatakan Para Tergugat
telah melakukan Perbuatan
Melawan Hukum dan
menyatakan berita acara
kesepakatan ganti kerugian
tidak bersifat mengikat.
Menerima Permohonan Banding
dan membatalkan Putusan
Pengadilan Negeri Gresik
Pertimbangan
Majelis
Hakim
Dalam perkara ini belum terjadi
musyawarah penetapan ganti
kerugian. Hal ini karna secara
formil memang Para Tergugat
telah melaksanakan
musyawarah tetapi tidak
memperhatikan setiap maksud
dan tujuan dari tahapan tersebut
sehingga musyawarah hanya
sekedar sosialisasi tentang nilai
ganti kerugian.
Para Tergugat secara formal
prosedur bentuk dan besaran ganti
kerugian, telah dilakukan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku,
sehingga Majelis Hakim Tingkat
Banding tidak menemukan adanya
pelanggaran prosedur dan tidak
terdapat adanya perbuatan
melawan hukum.
Dari kedua putusan di atas maka dapat di lihat bahwa terdapat
perbedaan prinsip tentang musyawarah penetapan ganti kerugian pengadaan
tanah. Hal ini karena Para Tergugat selaku Pantia Pengadaan Tanah berpendapat
bahwa penetapan nilai ganti kerugian tidak dilakukan pada tahap musyawarah
penetapan ganti kerugian tetapi dilakukan oleh tim penilai yang ditetapkan oleh
53
Ketua Pengadaan Tanah sementara itu Majelis Hakim tingkat pertama
berpendapat bahwa penetapan ganti kerugian dilakukan pada saat musyawarah
penetapan ganti kerugian dan selain itu Majelis Hakim tingkat pertama
menyatakan bahwa dalam musyawarah harus ada peristiwa tawar menawar
tentang nilai ganti kerugian sehingga musyawarah penetapan ganti kerugian tidak
hanya sebatas legitimasi semata.
Sementara itu Majelis Hakim tingkat banding berpendapat bahwa panitia
pengadaan tanah atau Para Tergugat telah melakukan musyawarah pengadaan
tanah sesuasi dengan prosedur dengan peraturan pengadaan tanah yang ada. Dari
uraian maka terjadi perbendaan tentang konsep musyawarah penetapan ganti
kerugian berkaitan dengan pengertian dan fungsi dari musyawarah penetapan
ganti kerugian.
54
1.2 Analisis
Dari kedua putusan tersebut dapat dilihat pada Putusan tingkat pertama
dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim menyatakan bahwa dalam pekara
tersebut belum terjadinya musyawarah penetepan ganti kerugian. Hal ini karena
dalam perkara tersebut tidak terdapat proses tawar-menawar besaran ganti
kerugian sehingga berita acara kesepakatan atau kesepakatan ganti kerugian tidak
didasarkan pada musyawarah penetapan ganti kerugian yang mengakibatkan
berita acara kesepakatan tersebut tidak bersifat mengikat. Sementara pada Putusan
tingkat Banding dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim berpendapat
dalam perkara tersebut para Tergugat atau Tim pelaksana pengadaan tanah telah
melakukan musyawarah sesuai dengan prosedur menurut peraturan perundang-
undangan. Dari kedua putusan tersebut muncul sebuah masalah hukum tentang
prinsip dari musyawarah penetapan ganti kerugian pengadaan tanah.
Berdasarkan kedua putusan tersebut baik Putusan tingkat pertama dan
Putusan tingkat banding yang telah diuraikan pada sub bab sebelumnya, maka dari
kedua putusan tersebut penulis sependapat dengan Putusan tingkat pertama di
Pengadilan Negeri Gresik karena sesuai dengan prinsip musyawarah penetapan
ganti kerugian dan tidak sependapat terhadap putusan tingkat banding di
Pengadilan Tinggi Surabaya karena tidak sesuai dengan prinsip musyawarah
penetapan ganti kerugian. Pendapat penulis ini di dasarkan pada prinsip-prinsip
dan tujuan dari musyawarah penetapan ganti kerugian menurut UU No. 2 Tahun
2012. Menurut penulis dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim tingkat
Pertama melihat atau mempertimbangkan prinsip dan tujuan dari musyawarah
penetapan ganti kerugian sedangkan pertimbangan hukumnya Majelis Hakim
55
tingkat banding tidak melihat dari prinsip dan tujuan musyawarah penetapan ganti
kerugian.
Hal di atas dapat dilihat atau disimpulkan dari prinsip dan tujuan
musyawarah menurut UU No. 2 Tahun 2012. Menurut penulis apabila dilihat
secara keseluruhan dari UU No. 2 Tahun 2012 dan Pepres No. 71 Tahun 2012
tentang prinsip dari musyawarah penetapan ganti kerugian maka terdapat tiga
prinsip yang harus di penuhi dalam musyawarah penetapan ganti kerugian
pengadaan tanah.
Pertama, yaitu adanya hasil penilaian dari tim penilai yang didasarkan
Nilai Penggantian Wajar yang selanjutnya disebut NPW. Hasil penilaian ini
digunakan sebagai dasar untuk dibahas dalam musyawarah penetapan ganti
kerugian sehingga hasil penilaian ini digunakan sebagai patokan atau dasar dalam
musyawarah penetapan ganti kerugian. Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 31
sampai Pasal 36 UU No. 2 Tahun 2012 dan Pasal 63 sampai Pasal 67 Pepres No.
71 Tahun 2012. Hasil penilaian dari Tim Penilai ini tidak bersifat final dan bisa
berubah karena ini hanya berfungsi sebagai nilai dasar atau patokan dalam
menetapkan nilai atau besaran ganti kerugian.
Kedua, adalah peristiwa tawar menawar atau berunding tentang nilai atau
besaran ganti kerugian antara panitia pelaksana pengadaan tanah dengan pihak
yang berhak. Proses tawar menawar ini berdasarkan pada nilai yang sebelumnya
telah di tetapkan oleh Tim Penilai yang digunakan sebagai dasar atau patokan
dalam menentukan nilai ganti kerugian. Prinsip ini menjadi penting karena
disinilah esensi dari musyawarah penetapan ganti kerugian terjadi. Secara
pengertian umum musyawarah adalah adanya perundingan tentang suatu
56
permasalahan untuk mencapai kesepakatan, hal ini sesuai dengan pendapat
Koentjoro Poerbopranoto musyawarah adalah suatu sistem tertentu melalui
berunding dan berunding hingga memperoleh kata sepakat.31 Musyawarah
penetapan ganti kerugian diatur dalam Pasal 37 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2012
dan Pasal 68 sampai Pasal 71 Perpres No. 71 Tahun 2012.
Ketiga, yaitu adanya kesepakatan, dalam musyawarah penetapan ganti
kerugian hasil dari proses tawar menawar atau perundingan tersebut yang
nantinya menjadi hasil final dari besaran atau nilai ganti kerugian yang telah
disepakati oleh Panitia Penyelenggara Pengadaan Tanah dan Pihak yang berhak.
Dalam kesepakatan tersebut harus didasarkan dengan tidak adanya unsur paksaan
serta adanya prinsip kesetaraan antara pihak yang berhak dan tim pelaksana
pengadaan tanah. Hasil kesepakatan tersebut di tuangkan dalam berita acara
kesepakatan sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2012
dan Pasal 72 Pepres No. 71 Tahun 2012.
Selain prinsip-prinsip dari musyawarah penetapan ganti kerugian,
Menurut UU No. 2 Tahun 2012 tujuan dari musyawarah pengadaan tanah adalah
untuk memperoleh kesepakatan tentang besaran atau nilai ganti kerugian
pengadaan tanah. Sehingga tujuan dari sebenarnya dari musyawarah adalah
adanya kesepakatan atau dapat disebut asas kesepakatan yang menjadi asas dalam
pelaksanaan pengadaan tanah. Dalam Penjelasan Pasal 1 huruf f UU No. 2 Tahun
2012 yang dimaksud dengan “asas kesepakatan” adalah bahwa proses Pengadaan
Tanah dilakukan dengan musyawarah para pihak tanpa unsur paksaan untuk
mendapatkan kesepakatan bersama. Selain itu menurut Gunanegara esensi
31 Koentjoro Poerbopranoto, Loc. Cit.
57
musyawarah adalah kesepakatan secara bulat antara pemilik tanah dengan negara
mengenai mengenai nilai ganti rugi.32 Melihat dari perkara tersebut maka dapat
dilihat bahwa kesepakatan yang terjadi hanya kesepakatan legitimasi saja yaitu
berupa penandatanganan berita acara kesepaktan namun latar belakang dari
penandatangan berita acara kesepakatan tersebut tidak didasari dari proses
perundingan atau tawar-menawar. Sehingga kesepakatan tentang ganti kerugian
ini seharusnya lahir dari proses perundingan atau tawar menawar antara Tim
pelaksana pengadaan tanah dengan pihak yang berhak tetapi dalan perkara ini
kesepakatan diperoleh dari penetapan ganti kerugian yang telah ditetapkan oleh
tim penilai saja. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa antara musyawarah
penetapan ganti kerugian dan kesepaktan memiliki keterkaitan sehingga apabila
musyawarah penetapan ganti kerugian tidak dilakukan sesuai dengan prinsip-
prinsipnya maka secara otomatis asas kesepakatan yang merupakan tujuan dari
musyawarah tidak terjadi dalam perkara ini.
Musyawarah penetapan ganti kerugian merupakan kegiatan untuk
menetapkan besaran atau nilai ganti kerugian yang dilakukan oleh Tim pelaksana
pengadaan tanah dengan pihak yang berhak untuk menghasilkan kesepakatan
bersama. Kesepakatan dalam kegiatan musyawarah penetapan ganti kerugian
diperoleh dari proses tawar-menawar atau perundingan tentang nilai ganti
kerugian yang sebelumnya telah ditetapkan oleh Tim Penilai. Hasil kesepakatan
antara Tim pelaksana pengadaan tanah dengan pihak yang berhak dinyatakan
dalam berita acara kesepakatan, sehingga berita acara kesepakatan ini merupakan
suatu ketetapan yang dibuat antara Tim pelaksana pengadaan tanah dengan pihak
32 Gunanegara, Loc. Cit.
58
yang berhak. Oleh karena itu dalam ketetapan tersebut harus dibuat sesuai dengan
UU No. 2 Tahun 2012, tentang unsur formil maupun unsur materiil yang
didasarkan pada hasil musyawarah penetapan ganti kerugian, hal ini karena
ketetapan tersebut akan menimbulkan akibat hukum. Dalam perkara ini berita
acara kesepaktan yang dibuat oleh Para Tergugat atau Tim pelaksana pengadaan
tanah tidak didasarkan pada hasil tawar-menawar atau perundingan nilai ganti
kerugian sehingga ketetapan tersebut tidak terpenuhi secara materiil. Menurut Van
der Wel, terdapat enam akibat dari ketetapan yang mengalami kekurangan,
yakni:33
1. batal karena hukum;
2. kekurangan itu menjadi sebab atau menimbulkan kewajiban
untuk membatalkan ketetapan itu untuk sebagiannya atau
seluruhnya;
3. kekurangan itu menyebabkan bahwa alat pemerintah yang
lebih tinggi dan yang berkompeten untuk menyetujui atau
meneguhkannya, tidak sanggup memberi persetujuan atau
peneguhan itu;
4. kekurangan itu tidak mempengaruhi berlakunya ketetapan;
5. karena kekurangan itu, ketetapan yang bersangkutan
dikonversi ke dalam ketetapan lain;
6. hakim sipil mengganggap ketetapan yang bersangkutan tidak
mengikat
Dari uraian tersebut penulis menyimpulkan maka berita acara
kesepakatan atau ketetapan yang dibuat oleh Tim pelaksana pengadaan batal demi
hukum yang mengakibatkan tidak bersifat mengikat. Hal ini karena tidak
terpenuhinya prinsip musyawarah penetapan ganti kerugian sehingga
mengakibatkan tidak sahnya ketetapan yang dihasilkan dari musyawarah
penetapan ganti kerugian ketetapan tersebut tidak didasari dengan hal yang benar
yaitu dengan cara tawar-menawar atau perundingan tetang besaran ganti kerugian.
33 Ridwan HR, Loc.Cit.
59
Majelis Hakim tingkat pertama pun menyatakan demikian bahwa besarnya nilai
ganti kerugian yang telah ditetapkan oleh Tim pelaksana pengadaan tanah dalam
berita acara kesepakatan tidak bersifat mengikat. Mengacu dari pendapat Van der
Wel tersebut berkaitan dengan putusan Majelis Hakim tingkat banding maka
penulis berpendapat bahwa putusan tingkat banding tersebut tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat karena dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim
tingkat banding tidak melihat secara keseluruhan tentang prinsip musyawarah
penetapan ganti kerugian tetapi hanya melihat berdasarkan aspek formilnya tanpa
melihat aspek materiil dari musyawarah penetapan ganti kerugian. Putusan
Majelis Hakim tingkat banding tidak didasarkan oleh hal yang benar karena dalam
pertimbangan hukumnya menganggap musyawarah penetapan ganti kerugian
sebagai formalitas saja tanpa melihat prinsip dan tujuan dari musyawarah
penetapan ganti kerugian.
Melihat dari kedua putusan tersebut, baik itu di tingkat pertama di
Pengadilan Negeri Gresik dan tingkat banding di Pengadilan Tinggi Surabaya,
maka pertimbangan hukum putusan di tingkat pertama menurut penulis telah
sesuai dengan prinsip musyawarah menurut UU No. 2 Tahun 2012. Hal ini karena
dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim tingkat pertama melihat tentang
prinsip dan tujuan dari musyawarah penetapan ganti kerugian belum terpenuhi.
Hal ini karena Para Tergugat tidak melaksanakan prinsip kedua yaitu adanya
tawar menawar atau perundingan tentang nilai yang telah ditetapkan oleh tim
penilai sehingga mengakibatkan hasil kesepakatan tidak didasari kegiatan tawar-
menawar atau perundingan tentang nilai ganti kerugian yang mengakibatkan
berita acara kesepakatan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Menurut penulis
60
Majelis Hakim tingkat pertama menyatakan hal benar yaitu bahwa dalam perkara
ini tidak terjadi proses musyawarah penetapan ganti kerugian tetapi hanyalah
legitimasi formalitas semata yang mengakibatkan tidak sahnya kesepakatan ganti
kerugian tersebut.
Pada pertimbangan hukum putusan tingkat banding, penulis tidak
sependapat dengan Majels Hakim tingkat banding karena dalam pertimbangan
hukumnya Majelis Hakim tidak menjelaskan secara lebih jauh tentang
musyawarah penetapan ganti kerugian yang dilakukan oleh Para Tergugat telah
sesuai secara formil tetapi hanya menyatakan bahwa dalam perkara tersebut telah
terjadi musyawarah penetapan ganti kerugian. Secara formil memang musyawarah
telah dilakukan karena ada undangan musyawarah penetapan ganti kerugian, nilai
ganti kerugian dari tim penilai, dan berita acara kesepakatan namun tidak
melaksanakan prinsip dan tujuan dari musyawarah penetapan ganti kerugian yaitu
tidak adanya proses tawar menawar atau perundingan tentang nilai ganti kerugian
untuk mencapai kesepakatan. Karena apabila Majelis Hakim berpendapat bahwa
musayawarah tidak harus ada peristiwa tawar menawar atau perundingan maka
hasil penilaian Penilai yang menyangkut besarnya ganti kerugian telah bersifat
final, hanya ada pilihan setuju atau tidak setuju, sehingga tidak ada proses saling
mendengar, saling memberi dan saling menerima pendapat atas dasar
kesukarelaan dan kesetaraan.
Sehingga apabila Majelis Hakim tingkat banding berpikir demikian maka
menurut sesuai dengan pendapat Djoni Sumardi Gozali proses musyawarah
penetapan ganti kerugian direduksi menjadi proses setuju atau tidak setuju dan
61
hasil kesepakatan ditentukan dengan menghitung jumlah terbanyak (mayoritas)34.
Penulis sependapat dengan pernyataan ini karena Majelis Hakim tingkat banding
dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa musyawarah yang dilakukan
oleh Para Tergugat secara formal prosedur telah sesuai tetapi Majelis Hakim
tingkat banding tidak melihat fungsi dan tujuan atau secara meteriilnya dari
musyawarah penetapan ganti kerugian. Seturut dengan itu penulis juga mengutip
pendapat Eman Ramelan menyatakan bahwa apabila hasil penilain dari Penilai
mengenai besarnya ganti kerugian bersifat final, maka proses musyawarah
sekedar proses legitimasi semata atas hasil penilaian dari penilai tanpa
mempertimbangkan pendapat dan kepentingan dari pemegang hak atas tanah.35
Oleh karena itu menurut penulis pertimbangan hukum Majelis Hakim tingkat
banding tidak melihat prinsip dan tujuan dari musyawarah penetapan ganti
kerugian menurut UU No. 2 Tahun 2012. Sehingga menurut penulis dalam
pertimbangan hukumnya Majelis Hakim tingkat banding tidak sesuai dengan
prinsip musyawarah penetapan ganti kerugian menurut UU No. 2 Tahun 2012.
34 Djoni Sumardi Gozali, Op. Cit. Hlm. 160 35 Eman Ramelan, Loc. Cit.