Upload
rika-susanti
View
224
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
bab3
Citation preview
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Defenisi
Meningitis adalah terjadinya suatu proses peradangan atau inflamasi pada
selaput otak (meninges), meliputi duramater, araknoidmater, dan piamater(7).
Ketiganya berfungsi sebagai pelapis otak dan medulla spinalis. Proses peradangan
atau inflamasi ini dapat didasari oleh beberapa etiologi (infeksi dan non-infeksi), serta
dapat diidentifikasi oleh adanya peningkatan kadara leukosit di dalam likuor
cerebrospinal (LCS).
Gambar 5. lapisan meningean (3)
3.2 Etiologi
Penyebab dari meningitis, berdasarkan mikroorganismenya, dapat dibagi
menjadi bakteri, virus, dan jamur (8). Mikroorganisme ini menginfeksi darah dan
liquor cerebrospinal. Selain didasari oleh infeksi itu sendiri, meningitis juga dapat
diakibatkan oleh penyakit non-infeksi, seperti pada penyakit HIV dan keganasan.
9
3.2.1 Virus
Meningitis septic, dikenal sebagai sindrom inflamasi meningeal, adalah suatu
kondisi dimana patogen bakterialnya tidak dapat teridentifikasi. Berdasarkan
penelitian, 1 dari 4 kasus meningitis septic, disebabkan oleh virus.
Meningitis virus pada umunya tidak menimbulkan gejala yang terlalu berat dan
dapat sembuh sendiri, tanpa pengobatan spesifik (8). Infeksi virus yang dapat
menyebabkan meningitis, adalah:
- Genus enterovirus (coxsackie-virus, echo-virus, rhino-virus, polio-virus)
- Virus mumps
- Varicella-zoster virus
- Haemophillus influenza
- Virus herpes simplex
- Virus Epstein-Barr
Dari keseluruh etiologi virus ini, yang insidensinya tertinggi adalah
enteriovirus, mengenai terutama anak berusia lebih muda dari 1 tahun. Dari sekian
banyak septic enterovirus, yang paling sering teridentifikasi sebagai etiologi
meningitis adalah septic coksackie-virus A9, B2, B4, dan echo-virus 6, 9, 11, 30.
Enterovirus ditransmisikan melalui jalur fekal-oral. Kasus meningitis enterovirus,
biasanya tidak disertai komplikasi apapun, bersifat jinak, dan jarang terdapat sekuel.
10
Insidensi meningitis oleh virus herpes simplex juga cukup tinggi, dengan 75%
di antaranya disebabkan oleh HSV-2. Pada neonatus, biasanya bermanifestasi sebagai
lesi kulit lokal. Transmisinya dapat terjadi ketika bayi dilahirkan secara per vaginam,
melalui jalan lahir yang terinfeksi, ataupun infeksi asendes melalui septic amnion
yang utuh. Infeksi ini lebih sering terjadi pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita
infeksi primer aktif (50%), dibandingkan dengan ibu yang menderita herpes genital
rekuren (5%).
Selain infeksi secara langsung, meningitis septic non-infeksius juga dapat
dadasari oleh obat atau penyakit vaskuler. Obat yang paling sering terlibat adalah
golongan NSAID, seperti ibuprofen, immunoglobulin IV, dan antimikroba seperti
trimethoprim-sulfametoksazol. Sedangkan untuk penyakit vaskuler, yang sering
terkait adalah penyakit sistemik lupus eritematosus dan penyakit Kawasaki.
3.2.2 Bakteri
Meningitis bakteri insidensinya lebih tinggi dibandingkan dengan meningitis
virus. Bakteri penyebabnya juga bervariasi sesuai dengan kelompok umur. Selain itu,
gejala yang ditimbulkan oleh meningitis bakteri, pada umumnya lebih berat
dibandingkan meningitis virus.
Pada masa neonatus (1 bulan pertama kehidupan), bakteri yang sering
menyebabkan meningitis adalah Streptococcus group B dan Listeria monocytogenes.
Berdasarkan penelitian yang ada, terdapat cukup banyak kasus, di mana traktus
genitalia maternal merupakan sumber dari patogen pada meningitis di neonatus. Di
sini, meningitis dibagi menjadi 2 fase, yaitu fase onset dini (7 hari pertama
kehidupan) dan fase onset lambat (7-31 hari pertama kehidupan). Insidensi fase onset
dini adalah 1 dari 1.000 bayi lahir hidup, sedangkan fase onset lambat adalah 0,3
kasus per 1.000 bayi lahir hidup. Fakto resiko meningitis neonatus adalah bayi yang
dilahirkan preterm (7,9).
Sedangkan pada kelompok anak usia 2 bulan – 12 tahun, biasanya disebabkan
oleh Haemophillus influenza tipe B, Streptococcus pneumonia, dan Neisseriae
11
meningitides. Data dari Center for Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun
2000, memaparkan bahwa terdapat 700 kasus meningitis bakteri, dengan 200
kematian di Amerika Serikat. Oleh karena itu, sejak Februari 2000, vaksin konjugasi
protein polisakarida 7-valen (Prevnar®, Wyeth Pharmaceuticals, Philadephia)
dimasukkan ke dalam jadwal vaksinasi anak. Semenjak implementasi ini, jumlah
infeksi pneumokokus invasive yang disbabkan oleh ke-7 serotipe pneumokokus
tersering (14, 6B, 19F, 18C, 23F, 4, dan 9V), telah berkurang banyak. Sedangkan dari
seluruh bakteri, insidensi tertinggi secara keseluruhan, adalah akibat Mycobacterium
tuberculosis (7,9).
.
12
3.2.3 Jamur
Meningitis jamur menduduki insidensi terendah, dibandingkan dengan 2
kelompok etiologi lainnya. Biasanya sering pada anak dengan imunosupresif dan
penderita leukemia. Etiologi jamur yang sering ditemukan adalah Cryptococcus
neoformans, Coccidioides immits, Candida albicans, dan Aspergillus.Infeksi jamur
pada susunan saraf pusat, dapat mengakibatkan meningitis akut, subaktus, dan
kronis(1).
13
3.3
Patofisiologi
Meningitis viral
Virus dapat memasuki tubuh melalui beberapa jalan, contohnya adalah kulit,
saluran pernafasan, dan saluran pencernaan. Setelah masuk ke dalam tubuh, virus
akan menyebar dan menimbulkan viremia, melalui cara-cara seperti berikut: (10)
- Penyebaran virus bersifat setempat, terbatas pada beberapa organ tertentu
- Penyebaran secara hematogen, virus masuk ke dalam darah, menyebar langsung
ke organ, dan berkembang biak di dalam organ tersebut
- Penyebaran melalui sistem limfatik, virus masuk ke dalam sistem drainase
limfatik, lalu menyebar ke organ-organ
14
- Penyebaran melalui saraf, dimana virus yang sebelumnya berada di sistem
limfatik, menyebar ke saraf dan bereplikasi di saraf, lalu menginfeksi organ
yang diinervasi oleh saraf tersebut
Kerusakan neurologis pada meningitis virus dapat diakibatkan oleh beberapa
mekanisme, yakni:
- Invasi secara langsung dan jaringan dihancurkan akibat translokasi DNA dari
virus ke jaringan
- Reaksi tubuh kita terhadap antigen virus tersebut, mengakibatkan demyelinisasi
dan penghancuran vaskuler
3.4 Manifestasi Klinis
Meninigitis memiliki trias gejala klinis yang cukup khas, yaitu onset demam
yang mendadak, sakit kepala, dan kaku kuduk. Selain itu, pasien juga dapat
mengeluhkan gejala lainnya seperti:
- Mual dan muntah
- Kejang
- Fotofobia
- Penurunan kesadaran
Meningitis Bakterial
Tidak terdapat satupun gejala patognomonik dari meningitis bakterial. Gejala
klinis meningitis bakterial sangatlah luas, tidak spesifik, sehingga ada kalanya
beberapa kasus dimana anak tersebut menderita meningitis, namun tidak ada gejala.
Gejala klinisnya bervariasi pada usia pasien, lama sakit, dan respon tubuh terhadap
infeksi (1,3).
Meningitis yang terjadi pada bayi baru lahir amatlah sulit untuk didiagnosis.
Hal ini dikarenakan tidak adanya gejala khas. Biasanya pasien mengeluhkan demam,
namun itupun hanya ditemukan pada sekitar 50% dari seluruh kasus meningitis.
15
Selain itu, keluhan pasien adalah tampak lemah, tidak mau makan, muntah,
penurunan kesadaran, leher yang kaku, serta respirasi yang tidak beraturan, dan
gejala-gejala sepsis. Oleh karena itu, pada setiap pasien sepsis, kita harus mencurigai
adanya kemungkinan meningitis (7,8).
Pada bayi berusia di kisaran 3 bulan – 2 tahun, gejala yang biasanya timbul
adalah demam, kejang, muntah, dan gelisah. Selain itu, tumbuh dan kembang anak
juga dapat terhambat. Diagnosis baru dapat lebih ditegakkan melalui pemeriksaan
fisik. Dapat ditemukan tanda-tanda yang jelas, seperti ubun-ubun yang tegang dan
menonjol, serta dapat ditemukan tanda kaku kuduk. Perlu ditekankan bahwa gejala
klinis dan pemeriksaan fisik yang bermakna pada anak berusia kurag dari 1 tahun,
tidak dapat diandalkan sebagai dasar diagnosis. Disarankan untuk dilakukan pungsi
lumbal untuk mendapatkan liquor cerebrospinal, lalu dianalisis. Kembali lagi, bahwa
pada setiap anak yang demam berkepanjangan ataupun berulang, perlu dicurigai
kemungkinan adanya meningitis.
Pada anak yang telah lebih dewasa, berusia di atas 2 tahun, dapat ditemui gejala
yang lebih khas, berupa gangguan tingkah laku, dan penurunan kesadaran yang lebih
jelas. Pada pemeriksaan fisik, selain kaku kuduk yang positif, tanda Kernig dan
Brudzinski dapat ditemukan positif secara lebih nyata.
16
Terdapat juga pembagian gejala klinis yang didasarkan sesuai stadiumnya,
terbagi menjadi tiga, yaitu:
- Stadium prodromal:
o Gejala biasanya diawali dengan terjadinya iritasi selaput otak
o Meningitis mulai perlahan, biasanya kenaikan suhu hanya hingga batasan
sub-febris
o Gejala klinis yang dapat timbul adalah anak menjadi apatis dan tidurnya
sering terganggu
o Pada stadium ini, kelainan neurologis belum ada yang tampak
- Stadium transisi:
o Stadium prodromal akan berlanjut menjadi stadium transisi
o Gejala klinis yang dikeluhkan biasanya adalah demam yang lebih jelas dan
mungkin terdapat penurunan kesadaran, serta adanya kejang
o Biasanya pada stadium ini, telah ditemukan reflex fisiologis yang meninggi
(hiperrefleksia), dan terdapat kelumpuhan nervus III, IV, dan VI, dengan
manifestasi klinis berupa nistagmus
- Stadium terminal
o Pada stadium ini, segala kelumpuhan telah terlihat lebih nyata
17
o Penurunan kesadaran semakin parah, pupil melebar, serta pasien dapat tidak
bereaksi sama sekali terhadap stimulus suara ataupun nyeri
o Pada inspeksi, dapat terlihat pernafasan Cheyne-Stokes (cepat dan dalam)
o Suhu tubuh pasien semakin lama semakin tinggi, hingga timbullah
hiperpireksia (suhu tubuh > 41.5OC) dan anak akan meninggal
Secara keseluruhan, kelainan-kelainan yang berasal dari susunan saraf pusat ini,
disebabkan oleh inflamasi lokal pada meninges dan gangguan suplai darah ke saraf.
Saraf kranial yang paling sering terkena adalah nervus IV, VI, dan VII.
Ditemukannya tanda meningeal, diakibatkan karena adanya nekrosis korital dan
vaskulitis oklusif.
Meningitis Viral
Pada umumnya, gejala klinis yang ditimbulkan meningitis viral, tidaklah
seberat meningitis bakterial.
Penyakit biasanya berlangsung mendadak, walaupun tidak menutupi
kemungkinan adanya demam, beberapa hari sebelumnya. Gejala klinis yang
dikeluhkan juga tidak ada yang spesifik, contohnya adalah demam, nyeri kepala, dan
leher yang kaku, serta muntah. Gejala lainnya yang lebih jarang ditemukan adalah
penurunan kesadaran, fotofobia, paresthesia, myalgia, dan kejang. Bila etiologi
meningitisnya adalah Echovirus atau Coxsackie, maka dapat ditemui ruam pada
kulit(2,10)..
18
Sedangkan pada pemeriksaan fisik, temuannya juga sama dengan meningitis
bakteri. Tanda-tanda rangsang meningeal seperti kaku kudu, Kernig, dan Brudzinski,
positif (2,10).
Berikut ini dilampirkan table gejala yang secara kasar dapat membantu
mengarahkan dalam mencari etiologi meningitis viral.
Etiologi Gejala Klinis
Enterovirus Gastroenteritis, rash, faringitis
Morbilivirus Koplik spot, rash makulopapular
Herpes simplesk virus Erupsi vesikel
Epstein-barr virus Faringitis, limfadenopati, dan
splenomegaly
HIV Imunodefisiensi dan pneumonia
Mumps virus Parotitis
Koplik spot pada infeksi
Morbilivirus
Meningitis Jamur
Gejala klinis yang ditimbulkan meningitis jamur, sama seperti dengan
meningitis viral ataupun bakterial. Sedikit perbedaan yang ditemukan adalah
timbulnya gejala lebih bertahap. Tambahan gejala yang mungkin didapatkan pada
meningitis jamur adalah pasien dapat mengeluhkan halusinasi (2,3,8).
19
3.5 Pemeriksaan Penunjang
Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal dilakukan untuk memperoleh liquor cerebrospinal, untuk nanti
dianalisa lebih lanjut. Hal ini cukup sering dilakukan untuk menegakkan etiologi
meninigitis (11).
Indikasi
Indikasi untuk dilakukan tindakan ini adalah(11):
- Terdapat kejang
- Ditemukannya defisit neurologis berupa paresis ataupun paralisis nervus
kranialis
- Penurunan kesadaran hingga koma
- Ubun-ubun yang besar dan menonjol
- Kaku kuduk (+)
- Leukemia
- Sepsis
Kontraindikasi dan Komplikasi
Kontraindikasi mutlak untuk dilakukannya pungsi lumbal adalah jika pasien
sedang pada fase syok, terdapat infeksi di daerah sekitar pungsi, dan adanya tanda-
tanda tekanan intrakranial meninggi.
Komplikasi dari dilakukannya tindakan ini adalah dapat terjadinya infeksi dan
sakit kepala. Selain itu, perlu hati-hati juga akan tertusuknya saraf oleh jarum pungsi
karena penusukan yang tidak tepat ataupun jarum yang patah (11).
20
Alat, Bahan, dan Prosedur
Alat-alat yang perlu disiapkan untuk tidakan ini adalah:
- Sarung tangan sterik
- Duk berlubang
- Kassa steril, kapas, dan plester
- Jarum pungsi lumbal
- Antiseptik: Alkohol 70%
- Tabung reaksi untuk menampung liquor cerebrospinal
Prosedur untuk melakukan tindakan ini akan dibahas secara bertahap (11):
1. Pasien diposisikan memiring ke salah satu sisi tubuh. Leher diflelsikan
maksimal (dahi ditempelkan ke dinding dada) dan ekstremitas bawah
difleksikan maksimal juga (lutut ditempelkan ke dinding abdomen), serja
kolumna vertebralis disejajarkan dengan tempat tidur
2. Tentukan daerah pungsi lumbal, yaitu L4-L5, dengan menemukan garis potong
sumbu kolumna vertebralis dan garis antara kedua spina ishdkiadika anterior
superior (SIAS) kiri dan kanan.
3. Lakukan tindakan antiseptic pada kulit di sekitar daerah pungsi, dengan alcohol
70%. Lalu, tutup dengan duk steril berlubang, posisikan dimana daerah pungsi
lumbal dibiarkan terbuka.
4. Pastikan kembali daerah pungsi lumbal dengan menekankan ibu jari tangan
yang telah menggunakan sarung tangan steril. Berikanlah kekuatan yang cukup
pada penekanan, lakukan selama 15-30 detik, untuk menandai titik pungsi
tersebut.
5. Tusukkan jarum spinal pada tempat yang telah ditentukan. Masukkan jarum
secara perlahan, sampai menembus duramater.
6. Lepaskan stylet perlahan-lahan dan liquor cerebrospinal akan keluar.
7. Cabut jarum dan tutup lubang tusukan dengan plester steril.
21
Pengukuran tekanan LCS
Hal pertama yang perlu dianalisis adalah tekanan dari liquor cerebrospinal.
Ketika jarum telah ditusukkan dan LCS telah mengalir keluar, manometer pengukur
tekanan LCS dihubungkan dengan pangkal jarum pungsi lumbar tersebut. LCS
dibiarkan mengalir mengisi manometer, dan tingginya cairan diukur dalam satuan
millimeter air. Nilai normal tekanan LCS adalah 50-200mm pada keadaan tenang.
Peningkatan tekanan LCS dapat ditemukan pada anak yang memberontak, menangis,
dan batuk (11).
Analisis LCS
Pada pungsi lumbal yang berhasil, LCS yang keluar ditampung dalam botol
steril untuk dianalisis secara lengkap. Perlu diperhatikan adalah kejernihan dan warna
dari LCS tersebut. Pada keadaan normal, LCS berwarna jernih. Setelah itu, ditentukan
akan adanya peningkatan protein pada LCS dengan menggunakan uji Pandy dan
Nonne.
Pada uji Pandy, LCS diteteskan ke dalam tabung reaksi yang sebelumnya telah
diisi dengan 1 ml carbolic acid. Bila kadar protein meninggi, akan didapatkan warna
putih keruh pada tabung reaksi tersebut. Sedangkan pada uji Nonne, 0.5 ml LCS
diteteskan ke dalam tabung reaksi yang sebelumnya diisi dengan 1 ml larutan
ammonium-sulfat. BIla kadar protein meninggi, didapati cincin putih pada perbatasan
antara cairan ammonium-sulfat dan LCS tersebut (11).
22
Meningitis Bakterial (1,9)
- Didapatkan cairan LCS yang keruh (cloudy)
- Hasil tes Nonne dapat negatif ataupun positif, namun tes Pandy menunjukkan
(+) atau (++)
- Pada analisis, biasanya jumlah sel adalah 100-10.000/m3 dengan hitung jenis
predominan polimorfonuklear (PMN)
- Protein meningkat cukup tinggi, berkisar di 200-500 mg/dL
- Glukosa:< 40 mg/dL
Meningitis Viral (1,9)
- Ditemukan sel pleositosis
- Hitung jenis sel, biasanya didominasi oleh limfosit
- Kadar protein tidak terlalu meningkat, biasanya < 200 mg/dL
Meningitis Jamur(1,9)
- Ditemukan sel pleositosis, namun tidak sebanyak pada meningitis viral
- Hitung jenis sil, biasanya didominasi oleh limfosit
- Glukosa biasanya agak menurun (< 40 mg/dL)
- Kadar protein dapat meningkat, menyerupai meningitis bakterial, biasanya 100-
200 mg/dL
23
3.6 Diagnosis
Meningitis Viral
Diagnosis meningitis viral hanya dapat ditegakkan melalui isolasi virus.
Namun, pada praktek sehari-hari, jarang dilakukan pemeriksaan serologis, oleh
karena banyaknya jenis virus yang dapat menyebabkan meningitis.
Diagnosis biasanya dapat didasarkan atas usia pasien dan gejala klinis yang ada.
Walaupun, sekali lagi, gejala klinis tidak dapat menggambarkan etiologi pasti
meningitis virus. Biakan LCS dapat dilakukan, guna menyingkirkan kemungkinan
penyebab lainnya (1,8,10).
3.7 Komplikasi (1)
a. Kejang
Kejang merupakan komplikasi yang penting, sangat ditakutkan oleh keluarga
pasien, dan insidensinya cukup tinggi (hampir 1 dari 5 pasien). Kemungkinan kejang
lebih tinggi pada anak berusia kurang dari 1 tahun, mencapai 40$. Pada pasien yang
sampai di fase kejang ini, biasanya aka nada komplikasi neurologis yang sifatnya
dapat menjadi permanen.
b. Edema serebral
Komplikasi ini paling sering terjadi pada kasus-kasus meningitis bakterial.
Serta merupakan penyebab kematian yang penting.
Kelumpuhan saraf kranial dan infark serebri.
Kelumpuhan saraf kranial serta terganggunya aliran darah, merupakan sekunder
dari adanya peningkatan tekanan intrakranial. Pada beberapa kasus yang cuku parahm
pungsi lumbal mungkin diperlukan untuk mengurangi tekanan intrakranial.
Pada infark serebri, terjadi pembengkakan sel endotel dan proliferasi ke dalam
lumen pembuluh darah, serta infiltrasi dinding pembuluh darah oleh sel-sel inflamasi.
24
Secara umum, infark diakibatkan oleh thrombosis pembuluh darah, dengan vena lebih
sering terkena dibandingkan arteri.
c. Efusi Subdural
Pada setiap kasus meningitis, harus dipikarkan akan adanya kemunginan efusi
subdural, terutama pada kasus dengan demam terus menerus selama 72 jam,
walaupun telah diberikan pengobatan yang adekuat. Selain itu, pasien yang
berpredileksi mengalami komplikasi efusi subdural, biasanya mengeluhkan ubun-
ubun yang besar dan membenjol, timbul kelainan neurologis fokal, serta muntah
proyektil. Selanjutnyam efusi subdural memiliki 3 kemungkinan, yaitu kering sendiri
(bila jumlahnya sedikit), menetap ataupun bertambah banyak, dan menjadi
empyema(8).
Pengobatan efusi subdural, masih kontroversial, tetapi biasanya dilakukan tap
subdural apabila terjadi penekanan jaringan otak, demam yang menetap, dan
penurunan kesadaran tanpa perbaikan. Jika setelah 2 minggu, tetap tidak kering,
pasien perlu dikonsulkan ke bedah saraf, untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.
d. Gangguan cairan dan elektrolit
Komplikasi ini paling sering ditemukan pada meningitis bakterial, kadang
disertai dengan hypervolemia, oliguria, gelisah, iritabel, dan kejang. Hal ini
diakibatkan oleh sekresi anti-diuretic hormone yang berlebihan. Oleh karena itu,
harus dipastikan bahwa dilakukan cek elektrolit yang rutin pada pasien meningitis.
3.8 Pengobatan
Meningitis Viral
Kebanyakan kasus meningitis virus bersifat self-limited dan terapi yang
diberikan cukup terapi simtomatik. Bahkan, pada beberapa kasus, pasien tidak
diindikasikan untuk rawat inap. Pada pasien dengan defisiensi imunitas ataupun
sepsis berat pada neonatus, dapat diberikan immunoglobulin intravena.
25
Bukti anekdotla mendukung pemberian asiklovir untuk bagian dari terapi
meningitis Herpes Simplex virus, Epstein-barr virus, dan Varicella zoster virus.
Terapi ini biasanya diindikasikan untuk pasien dengan meningitis HSV primar dan
pasien meningitis viral yang memiliki gejala dan defisit neurologis yang berat. Selain
asiklovir, dapat diberikan juga famsiklovir, dan valasiklovir. Studi membuktikkan
bahwa penggunaan ketiga golongan ini, memiliki efektifitas yang sama-sama baik.
Dosis asiklovir yang biasa digunakan adalah 10 mg/kg BB, diberikan setiap 8 jam.
Hingga saat ini, belum ada rumusan pasti untuk penggunaan famsiklovir, karena
memang penggunaan obat ini masih jarang, tetapi, suatu studi menyimpulkan bahwa
dosis famsiklovir untuk anak-anak berkisar di 150-500 mg/hari. Untuk valaskilovir,
dosis yang direkomendasikan adalah 20mg / kg BB, 3x sehari, dengan dosis
maximum adalah 1000mg dalah 1 hari (8,9,10).
3.9 Pencegahan
Meningitis Viral
Seseorang yang menderita infeksi virus dapat sewaktu-waktu berkembang
menjadi meningitis. Tidak terdapat vaksin untuk penyebab tersering dari meningitis
virus. Cara terbaik untuk mencegahnya adalah dengan mencegah terjadinya infeksi
virus. Namun, hal ini sulit dilakukan oleh karena seseorang dapat menderita infeksi
virus dan menyebarkan virus tersebut walaupun tidak terlihat sakit.
Berikut beberapa cara untuk mengurangi resiko terserang infeksi virus atau
menyebarkannya ke orang lain (9):
- Cuci tangan dengan benar dan sering, terutama setelah mengganti popok,
menggunakan toilet, batuk atau bersin dan memegang hidung.
- Bersihkan benda-benda yang mungkin terkontaminasi, seperti pegangan pintu
dan remote control tv dengan sabun dan air, lakukan desinfeksi dengan
mengencerkannya dengan cairan pemutih yang mengandung klorin.
26
- Hindari berciuman atau bertukar gelas minuman, alat makan, lipstick atau
benda lain dengan seseorang yang sakit atau dengan orang lain saat kita sakit.
- Pastikan seluruh anggota keluarga sudah divaksin.
- Pastikan bahwa jadwal imunisasi anak berjalan dengan tepat waktu. Karena
vaksinasi lainnya, misalnya vaksin MMR, terbukti dapat membantu mencegah
terjadinya meningitis
- Hindari gigitan nyamuk atau serangga lain yang dapat menjadi vector penyakit
27