Upload
nguyenxuyen
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
UJI DINI KETAHANAN BEBERAPA
KULTIVAR PISANG TERHADAP PENYAKIT LAYU
Fusarium oxysporum f.sp. cubense VCG 01213/16 (TR4)1
Abstrak
Layu fusarium adalah salah satu penyakit utama tanaman pisang di Indonesia.
Penyakit tersebut telah menghancurkan pertanaman pisang di hampir seluruh
wilayah Indonesia dan sangat sulit dikendalikan baik secara agronomi maupun
secara kimia. Namun demikian, beberapa kultivar menunjukkan sifat toleran atau
tahan terhadap layu fusarium. Hal ini menunjukkan bahwa kultivar tersebut secara
genetik mempunyai gen ketahanan. Pengujian ketahanan tanaman pisang terhadap
layu fusarium dapat dilakukan secara terkontrol menggunakan tanaman muda
hasil perbanyakan kultur jaringan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengevaluasi ketahanan tanaman muda hasil perbanyakan kultur jaringan
terhadap penyakit layu yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum f.sp. cubense
(FOC). Penelitian ini menggunakan 5 kultivar pisang, yaitu Calcuta-4 (Aaw),
Ketan (AA), Klutuk Wulung (BB), Kepok (ABB) dan Ambon Hijau (AAA), dan
menggunakan teknik wadah ganda. Sebelum ditanam pada cangkir plastik berisi
media pasir steril, akar planlet direndam dalam larutan yang mengandung konidia
cendawan FOC dengan kepadatan 106 selama 5 menit. Semua cangkir yang telah
ditanami kemudian diletakkan pada tray plastik. Data dikumpulkan 5 minggu
setelah tanam. Berdasarkan nilai DSI (disease severity index) dari RDI (rhizome
discoloration index) dan LSI (leaf symptom index), kultivar-kultivar tersebut
dikelompokkan dalam kategori sangat rentan, rentan, tahan dan sangat tahan.
Hasil penelitian menunjukkan Klutuk Wulung, Calcuta-4, Ketan dan Kepok
termasuk kategori tahan terhadap FOC, sedangkan Ambon Hijau adalah rentan.
Semua tanaman tahan mempunyai gejala penyakit pada daun (LSI) dan/atau
bonggol (RDI) yang rendah, dan tanaman masih mampu tumbuh dengan baik.
Kata kunci: pengujian dini, pisang, ketahanan, layu fusarium.
1Bagian bab ini telah dipublikasi dalam Proceedings of the 7
th Asian Crop Science Association
Conference, 2011, dengan judul: The study and early evaluation of resistance banana accessions
for wilt disease caused by Fusarium oxysporum f.sp. cubense VCG 01213/16 (TR4).
26
EARLY EVALUATION OF RESISTANCE OF BANANA
CULTIVARS FOR WILT DISEASE CAUSED BY
Fusarium oxysporum f.sp. cubense VCG 01213/16 (TR4)1
Abstract
Fusarium wilt is one of main diseases of banana in Indonesia. This disease has
destroyed banana plantation in almost all parts of Indonesia and it is difficult to
be managed by agronomic and chemical controls. However, some
species/cultivars show tolerance or resistance to fusarium wilt. It indicates that
those species/cultivars have resistance genes in their genomic DNA. The
evaluation of banana plants for fusarium wilt resistance can be carried out
artificially using young plants from tissue culture. The objectives of this research
were to evaluate young acclimatized tissue culture plants for fusarium wilt
resistance. The experiment used five banana cultivars; there were Calcuta-4
(AAw), Ketan (AA), Klutuk Wulung (BB), Kepok (ABB) and Ambon Hijau (AAA),
and double compartment for planting system. Before planting on the plastic cup
containing sterile sand medium, roots of the plantlets were dipped into 106
conidia suspension of Fusarium oxysporum f.sp. cubense for 5 minutes. All of the
cups containing inoculated plants were put on the plastic trays. The data were
collected 5 weeks after planting. Base on the value of DSI (disease severity index)
of RDI (rhizome discoloration index) and LSI (leaf symptom index), cultivars will
be categorized into highly susceptible, susceptible, resistant and highly resistant.
Result showed that Klutuk Wulung, Calcuta-4, Ketan and Kepok were categorized
as resistant, while Ambon Hijau was susceptible. All of resistant cultivars had
symptom on leaves (LSI) and/or rhizome (RDI) at low level, and they still grew
well.
Keywords: banana, early evaluation, fusarium wilt, resistance
1Part of this chapter has been published in the Proceedings of the 7
th Asian Crop Science
Association Conference, 2011, entitled: The study and early evaluation of resistance banana
accessions for wilt disease caused by Fusarium oxysporum f.sp. cubense VCG 01213/16 (TR4)
27
Pendahuluan
Salah satu tahapan penting dalam kegiatan pemuliaan tanaman adalah
seleksi tanaman untuk memilih karakter yang dikehendaki (Jacobsen 1992).
Sehubungan dengan seleksi ketahanan tanaman pisang terhadap penyakit layu
Fusarium oxysporum f.sp. cubense (FOC) yang ditularkan melalui tanah, seleksi
yang paling sering dilakukan adalah dengan mengevaluasi ketahanan tanaman
pisang di lapang yang tanahnya telah terinfeksi oleh cendawan FOC. Dengan cara
ini akan diperoleh respon tanaman yang merupakan interaksi dari tanaman inang,
cendawan patogen dan faktor lingkungan (Agrios 2005).
Namun demikian, evaluasi tanaman di lapang memerlukan biaya yang
relatif tinggi, tempat yang luas dan resiko cekaman lingkungan lainnya, seperti
kekeringan, kelebihan air, serangan hama dan penyakit lain selain penyakit yang
diuji. Selain itu munculnya gejala penyakit biasanya lebih lama (4-5 bulan)
tergantung dari kepadatan inokulum dan faktor lingkungan yang mempengaruhi
perkembangan penyakit yang sangat sulit dikendalikan (Morpugo et al. 1994).
Usaha untuk menyederhanakan prosedur seleksi telah banyak dilakukan
seperti menggunakan tanaman yang masih muda, atau kalus biakan in vitro
sebagai materi seleksi (Chand et al., 2008), menggunakan ras patogen atau racun
spesifik sebagai agensia seleksi (Hadrami et al. 2005), dan menggunakan rumah
kasa atau rumah kaca atau kondisi in vitro sebagai metode seleksi (ŠVábová &
Lebeda 2005).
Prados-Ligero et al. (2007) mengevaluasi ketahanan tanaman anyelir
menggunakan materi stek tunas yang dicelup suspensi konidia Fusarium
oxysporum f.sp. dianthi dan selanjutnya menanamnya dalam pot. Dalam waktu 3
bulan sudah bisa diperoleh status ketahanan kultivar anyelir yang diuji. Severn-
Ellis et al. (2003) menggunakan metode aeroponik dalam persiapan materi
tanaman pisang untuk pengujian dan merawat tanaman setelah diinokulasi
cendawan FOC atau nematoda. Kolonisasi patogen dalam akar tanaman terjadi
dalam waktu yang relatif singkat, yaitu 2 minggu untuk cendawan FOC, dan 28
hari untuk nematoda.
Evaluasi dini ketahanan pisang terhadap layu FOC menggunakan wadah
ganda (double compartment) pertama kali dikenalkan oleh Liew (1996),
menggunakan 2 buah cangkir plastik (cup). Salah satu cangkir yang dilubangi
alasnya digunakan sebagai tempat tanaman dan media tanam, sedangkan satu
cangkir lagi tidak berlubang sebagai tempat penampungan kelebihan air dan
nutrisi. Tanaman yang digunakan adalah planlet hasil in vitro yang telah
diaklimatisasi dan diinokulasi cendawan FOC dengan cara perendaman akar
dalam suspensi konidia cendawan tersebut.
Mohamed et al. (2001) melakukan modifikasi dengan menggunakan tray
ganda, yaitu tray berlubang tempat tanaman diletakkan di atas tray kedua (tanpa
lubang) sebagai penampungan kelebihan air siraman dan nutrisi. Dengan kedua
metode di atas, konidia cendawan yang berasal dari akar tanaman karena inokulasi
buatan, tidak mengalir ke sembarang tempat, melainkan ditampung pada pot
kedua, dan selanjutnya dipanaskan untuk mematikan konidia sebelum dibuang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi ketahanan planlet pisang hasil
perbanyakan in vitro terhadap penyakit layu Fusarium oxysporum f.sp. cubense
(FOC) dan mempelajari mekanisme ketahanan tanaman terhadap patogen.
28
Bahan dan Metode
Penelitian dilaksanakan di laboratorium Pemuliaan dan Biologi Molekuler
Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB pada
bulan April sampai Agustus 2011. Tanaman yang digunakan adalah 6 kultivar
pisang, yaitu Calcuta-4 (AAw), Ketan (AA), Klutuk Wulung (BB), Rejang (AA),
Ambon Hijau (AAA) dan Kepok (ABB) yang diperoleh dari Balai Penelitian
Tanaman Buah Tropika. Bahan tanaman yang dipakai adalah planlet hasil
perbanyakan kultur jaringan yang sudah diaklimatisasi dan ditanam dalam media
optimum selama satu bulan dengan tinggi mencapai 10-15 cm. Setiap kultivar
diperlukan planlet sebanyak 12 tanaman.
Isolat FOC TR4 diperoleh dari pisang Barangan yang terserang cendawan
tersebut dan diisolasi pada media PDA. Kemudian inokulum dipindah ke media
cair Amstrong (Brake et al., 1995) yang mengandung 20 g l-1
sukrosa; 400 mg l-1
MgSO4.7H2O; 1.6 g l-1
KCl; 1.1 g l-1
KH2PO4; 5.9 g l-1
Ca(NO3)2, 0.2 ug ml-1
FeCl3; 0.2 ug ml-1
MnSO4, 0.2 ug ml-1
ZnSO4. Kultur diinkubasi dalam suhu
ruang dan dikocok 2 kali sehari selama 7 hari dan disaring dengan 2 lapis kain
katun. Konsentrasi inokulum yang dikehendaki sebesar 106 konidia ml
-1, dihitung
menggunakan Haemocytometer dan segera digunakan untuk inokulasi akar
planlet.
Pengujian menggunakan teknik double compartment atau wadah ganda
yang merupakan modifikasi dari Mohamed et al. (2001) seperti ditampilkan pada
Gambar 6. Cangkir plastik tempat media tanam dilubangi bagian bawahnya untuk
mengeluarkan kelebihan air dan nutrisi, sedangkan bak plastik (tray) berukuran
30×40×12 cm yang berfungsi sebagai bak penampung kelebihan air dan nutrisi.
Sebelum ditanam, planlet diinokulasi dengan larutan konidia (106 konidia
ml-1
) dengan cara merendam bagian akar selama 5 menit, kemudian ditanam pada
cangkir plastik berisi campuran pasir dan arang sekam steril. Penyiraman
dilakukan setiap hari dan pemupukan menggunakan pupuk cair Hyponex
dilakukan seminggu sekali.
Pengamatan gejala luar yang muncul pada daun (leaf symptom index =
LSI) dan gejala bagian dalam pada bonggol (rhizome discoloration index = RDI)
menggunakan sistem skoring yang buat oleh Mak (2004), ditampilkan pada
Gambar 7 dan 8. Pengamatan LSI dilakukan pada 2 minggu setelah penanaman
dan diulangi lagi 4 minggu setelah penanaman. Pengamatan visual terakhir pada
minggu kelima dengan menghitung LSI dan RDI.
Gambar 6 Pengaturan teknik penempatan wadah ganda
Media steril
Penampung kelebihan
air/nutrisi
29
Gambar 7 Skor Leaf Symptom Index (LSI)
Gambar 8 Skor Rhizome Discoloration Index (RDI)
Pengamatan gejala luar pada daun atau disebut leaf symptom index (LSI)
berdasarkan kriteria yang dibuat oleh Mak (2004), ditampilkan pada Gambar 7
terdiri atas 5 skor yaitu dari 1-5 dengan kriteria sebagai berikut:
1. Tanaman sehat (tidak ada pewarnaan kuning pada daun)
2. Sedikit pewarnaan kuning atau penguningan daun bagian bawah.
3. Penguningan pada sebagian besar daun bagian bawah.
4. Penguningan secara ekstensif pada sebagian besar daun.
5. Tanaman mati.
Pengamatan gejala pada bonggol atau disebut rizhome discoloration index
(RDI) berdasarkan kriteria yang dibuat oleh Mak (2004), ditampilkan pada
Gambar 8 terdiri atas 8 skor yaitu dari 1-8 dengan kriteria sebagai berikut:
1. Tidak ada diskolorasi jaringan pada daerah stellar bonggol atau sekitarnya.
2. Tidak ada diskolorasi jaringan pada daerah stellar bonggol; diskolorasi pada
daerah pertemuan akar dan bonggol.
3. Diskolorasi sampai 5% dari daerah stellar bonggol.
4. 6-20% dari daerah stellar bonggol.
5. 21-50% dari daerah stellar bonggol.
6. Lebih dari 50% dari daerah stellar bonggol.
7. Seluruh bonggol diskolorasi.
8. Tanaman mati.
Setelah diamati dan dicatat LSI dan RDI, kemudian dihitung Disease
Severity Index untuk masing-masing LSI dan RDI, dengan rumus:
1 2 3 4 5
( )
( )andiperlakuk yangaman Jumlah tan
butskor terse padaaman Jumlah tanSkor
Σ
×Σ=DSI
30
Tabel 1 Translasi nilai DSI
Nilai DSI untuk LSI Nilai DSI untuk RDI Translasi
1 1 Sangat Tahan
Antara 1.1 - 2 Antara 1.1 - 3 Tahan
Antara 2.1 - 3 Antara 3.1 - 5 Rentan
Antara 3.1 - 4 Antara 5.1 - 8 Sangat Rentan
Dengan didapatkannya nilai DSI untuk LSI dan RDI dari masing-masing
aksesi, maka dapat ditentukan apakah aksesi tersebut termasuk dalam kategori
Sangat Tahan, Tahan, Rentan dan Sangat Rentan berdasakan hasil translasi nilai
DSI. Penentuan kategori berdasarkan nilai DSI ditampilkan pada Tabel 1.
Hasil dan Pembahasan
Respon Ketahanan Beberapa Kultivar Pisang Terhadap Penyakit Layu FOC
VCG 01213/16 (TR4)
Pada kultivar rentan seperti Ambon Hijau, gejala penyakit berupa klorosis
pada daun muncul 2 minggu setelah inokulasi. Klorosis dimulai dari daun yang
lebih tua ke daun yang muda, sedangkan pada kultivar tahan Klutuk Wulung tidak
ada gejala penyakit pada daun sampai 5 minggu setelah inokulasi. Dalam Tabel 2
diperlihatkan DSI dari LSI dan RDI pada 5 kultivar pisang dan status
ketahanan/kerentanan terhadap penyakit layu FOC.
Berdasarkan nilai DSI dari LSI dan RDI (Tabel 2), semua kultivar kecuali
Ambon Hijau dikategorikan sebagai kultivar tahan. Hanya satu tanaman Ambon
Hijau yang tidak bergejala, sementara yang lainnya menunjukkan gejala pada
klorosis pada daun (LSI=2-4) dan diskolorasi pada bonggol (RDI=2-5) (Gambar
9B). Ambon Hijau adalah termasuk dalam subgroup Cavendish, yang secara alami
rentan terhadap layu FOC TR4. Hal ini sesuai dengan survey yang dilakukan oleh
peneliti dari Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika (Hermanto et al. 2011),
bahwa 81% FOC yang menyerang Ambon Hijau di Indonesia adalah isolat VCG
01213/16 atau disebut ras 4 tropika (TR4).
Gejala luar yang menyerang daun dan gejala dalam pada bonggol Ambon
Hijau diperlihatkan pada Gambar 9B. Sementara itu, hanya 2 dari 12 tanaman
Calcuta-4 menunjukkan gejala FOC (DSILSI=1.25 dan DSIRDI=1.33) dan status
dari kultivar ini adalah kategori tahan (Gambar 9C). Calcuta-4 adalah spesies liar
Musa acuminata subsp. burmanicoides dan sering digunakan dalam program
pemuliaan tanaman untuk menghasilkan kultivar pisang tahan terhadap layu
Fusarium (Tomekpe et al. 2004).
Sebanyak 5 dari 12 tanaman Ketan menunjukkan gejala pada daun
(LSI=2-3) dan bonggol (RDI=2-3), namun demikian nilai DSI dari LSI dan
RDI ditranslasi sebagai kategori tahan (Gambar 9E). Secara alami Ketan
merupakan kultivar yang agak tahan sampai tahan terhadap layu FOC.
Kenyataan di lapangan menunjukkan adanya tanaman yang terserang FOC di
Lampung, Sumatera Barat dan Jawa Barat, meskipun dengan intensitas yang
31
rendah (Jumjunidang et al. 2008). Ketan mempunyai sinonim di beberapa
daerah, seperti Janten (Lampung), Jantan (Sumatera Barat), Uli (Jawa Barat),
dan Ketip (Nusa Tenggara Barat dan Bali). Kultivar tersebut populer sebagai
pisang olah. Suatu hal yang menarik tampak pada Klutuk Wulung. Sebanyak
2 dari 12 tanaman menghasilkan gejala pada bonggol (RDI=3), namun
demikian semua tanaman tidak menghasilkan gejala pada daun (Gambar 9A),
oleh karena itu DSI dari LSI dan RDI ditranslasikan ke dalam kategori tahan.
Klutuk Wulung dan variannya Klutuk Awu adalah Musa balbisiana yang
tersebar di pulau Jawa, yang biasanya ditanam untuk dimanfaatkan daunnya
untuk pembungkus, jantungnya untuk sayur, dan buah mudanya untuk rujak.
Musa balbisiana banyak diteliti terutama pada aspek molekuler, karena
diduga merupakan tetua alami dari pisang-pisang komersial yang ada
sekarang (Christelova et al. 2011; Wang et al. 2011).
Kultivar tahan FOC lainnya adalah Kepok, sebanyak 2 dari 12
tanaman menunjukkan gejala pada daun dan bonggol (Gambar 9D), dan
translasi dari DSI adalah tahan. Kepok adalah kultivar pisang olah yang
sangat populer dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Kasus serangan
penyakit layu pada pisang Kepok pernah ditemukan di Jawa Barat,
Yogjakarta, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, walaupun intensitas
serangannya relatif rendah. Dalam temuan tersebut Kepok tidak hanya
terserang oleh VCG 01213/16 (TR4), tetapi juga VCG 0120 dan 01218
(Hermanto et al. 2011).
Tabel 2 Status ketahanan/kerentanan 5 kultivar pisang terhadap penyakit layu
FOC
Sampel Calcuta-4 Ketan Klutuk Wulung Ambon Hijau Kepok
LSI RDI LSI RDI LSI RDI LSI RDI LSI RDI
1 1 1 1 1 1 1 2 4 2 2
2 1 1 1 1 1 1 2 2 1 1
3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
4 1 1 3 3 1 4 4 5 1 1
5 1 1 2 3 1 1 2 4 1 1
6 1 1 2 2 1 1 2 5 1 1
7 3 3 2 3 1 1 3 5 1 1
8 1 1 1 1 1 1 2 4 1 1
9 2 3 2 3 1 3 2 5 1 1
10 1 1 1 1 1 1 2 4 1 1
11 1 1 1 1 1 1 2 3 1 1
12 1 1 1 1 1 1 2 3 2 2
DSI 1.25 1.33 1.50 1.75 1.00 1.42 2.17 3.75 1.17 1.17
Status Tahan Tahan Tahan Rentan Tahan
Keterangan: LSI = Leaf Symptom Index, RDI = Rhizome Discoloration Index, DSI = Disease
Severity Index
32
Gambar 9 Gejala luar (daun) dan dalam (bonggol) Fusarium oxysporum f.sp.
cubense VCG 01213/16 pada Klutuk Wulung (A), Ambon Hijau (B),
Calcuta-4 (C), Kepok (D) dan Ketan (E), 5 minggu setelah inokulasi.
Mekanisme Ketahanan Tanaman Terhadap Penyakit Layu Fusarium
Mekanisme ketahanan tanaman terhadap patogen dimulai sebelum infeksi
patogen ke dalam jaringan tanaman. Fusarium oxysporum f.sp. cubense masuk ke
tanaman melalui sistem perakaran. Sejak konidia menempel ke akar rambut, akan
berkecambah dan masuk ke dalam sel epidermis akar. Akar dari kultivar tahan
akan menghasilkan eksudat yang menghambat perkecambahan dan pertumbuhan
konidia, sebaliknya eksudat dari tanaman rentan akan merangsang perkecambahan
dan pertumbuhan konidia (Li et al. 2011).
Patogen cendawan dapat masuk ke dalam akar tanaman melalui berbagai
cara, yaitu dengan menembus sel epidermis akar secara langsung, sel epidermis
tudung akar dan daerah pemanjangan akar, dan luka alami pada pangkal akar
lateral. Selama masa invasi, hifa cendawan menghasilkan enzim yang akan
mendegradasi dinding sel dan masuk ke ruang antar sel, tumbuh dan membentuk
cabang dan masuk ke sel yang lain. Selain enzim, cendawan patogen juga
menghasilkan micotoxin seperti fusaric acid dan beauvericin yang akan
A CB
D E
33
mempengaruhi potensial listrik antar membran sel, kebocoran elektrolit, dan
respirasi sel akar (Pavlovkin 2006). Membran sel yang rusak menyebabkan
dihasilkannya reactive oxygen species (ROS) dan memicu diproduksinya
antioksidan seperti superoxide dismutase (SOD), catalase (CAT), peroxidase
(POD) (Kuzniak 2001), dan molekul signal transduksi yang akan memicu
diproduksinya protein-protein pathogenesis related seperti chitinase dan β-1,3-
glucanase. Enzim-enzim tersebut akan mendegradasi dinding sel dari cendawan
dan menghambat pertumbuhan dan perkembangan patogen di dalam sel tanaman
(Wu et al. 2008).
Khusus pada kasus Klutuk Wulung dalam penelitian ini, gejala infeksi
FOC tampak pada potongan melintang bonggol, tetapi tidak tampak pada daun
(Gambar 9A), menunjukkan terjadinya mekanisme ketahanan dan pertahanan
melawan patogen. Perkembangan cendawan dapat dilokalisasi hanya pada bagian
bonggol dan dicegah untuk ekspansi lebih lanjut.
Simpulan
Dari hasil pengujian kultivar Calcuta-4, Ketan, Klutuk Wulung dan Kepok
adalah kultivar yang tahan layu FOC dan Ambon Hijau adalah kultivar yang
rentan.
Teknik evaluasi ini sangat sesuai untuk menyeleksi kultivar pisang tahan
layu Fusarium. Ekspresi penyakit dapat diperoleh dalam waktu 4 sampai 8
minggu. Penggunaan tanaman yang berukuran kecil dapat mengurangi kebutuhan
tempat bila dibandingkan dengan seleksi di lapang. Selain itu penggunaan
tanaman yang masih muda akan mempercepat waktu karena pengujian dapat
dilakukan sedini mungkin tanpa harus menunggu tanaman tumbuh besar.
Daftar Pustaka
Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Ed ke-5. Burlington: Elsevier Academic
Pr. hlm 125-174.
Brake VM, Pegg KG, Irwin JAG, Chaseling J. 1995. The influence of
temperature, inoculum level and race of Fusarium oxysporum f.sp.
cubense on the disease of banana cv Cavendish. Aust J Agric Res
46:673-685
Chand R, Sen D, Prasad KD, Singh AK, Bashyal BM, Prasad LC, Joshi K.
2008. Screening for disease resistance in barley cultivars against
Bipolar sorokiniana using callus culture method. Indian J Exp Biol
46:249-253.
Christelová P, Valárik M, Hřibová E, van den Houwe I, Channelière S, Roux
N, Doležel J. 2011. A platform for efficient genotyping in Musa using
microsatellite markers. AoB PLANTS plr024 doi:10.1093/aobpla/
plr024
Hadrami AE, Idrissi-Tourane AE, Hassni ME, Daayf F, Hadrami IE. 2005.
Toxin-based in-vitro selection and its potential application to date palm
for resistance to the bayoud Fusarium wilt. C R Biol 328:732–744.
34
Hermanto C, Sutanto A, Jumjunidang, Edison HS, Daniells JW, Neill WTO,
Sinohin VGO, Molina AB, Taylor P. 2011. Incidence and distribution
of fusarium wilt Molina disease of banana in Indonesia. Acta Hort
897:313-322.
Jacobsen E 1992. Conventional Plant Breeding. Di dalam: Jones L, van Dam-
Mieras MCE, Leach CK, editor. Biotechnological Innovations in Crop
Improvement. Oxford: Butterworth-Hetnemann Ltd. hlm 37-65.
Jumjunidang, Usman F, Yasir H, Sumardi, Sumardiyono, 2008. Laporan
Survey Penyakit Layu Pisang di Sumatera Barat, Jawa Barat dan
Lampung. Solok: Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika.
Kuzniak E. 2001. Effects of fusaric acid on reactive oxygen species and
antioxidants in tomato cell cultures. J Phytopathol 149(10):575-582.
Li C, Chen S, Zuo C, Sun Q, Ye Q, Yi G, Huang BZ. 2011. The use of GFP-
transformed isolates to study infection of banana with Fusarium
oxysporum f.sp. cubense race 4. Eur J Plant Pathol 131:327-340.
Liew KW. 1996. Screening for disease resistance in banana plantlets against
fusarium wilt. Part B: Modified whole plant screening for resistance
against fusarium wilt in bananas. Di dalam: Regional Training Course
on Molecular Approaches, Mutation and Other Biotechnologies for
the Improvement of Vegetatively Propagated Plants (FAO-UKM);
Bangi, 28 Oct - 8 Nov 1996. Malaysia: UKM.
Mak C, Mohamed AA, Liew KW, Ho YW. 2004. Early screening technique
for Fusarium wilt resistance in banana micropropagated plants. Di
dalam: Mohan JS, Swennen R, editor. Banana improvement: cellular,
molecular biology, and induced mutations. Italy: FAO Science
Publishers, Inc.
Mohamed AA, Mak C, Liew KW, Ho YW. 2001. Early evaluation of banana
plant at nursery stage for fusarium wilt tolerant. Di dalam: Molina
AB, Masdek NH, Liew KW, editor. Banana Fusarium Wilt
Management: Toward sustainable cultivation. Los Banos: INIBAP-
ASPNET. hlm 174-185.
Morpugo R, Lopato SV, Afza R, Novak FJ. 1994. Selection parameters for
resistance to Fusarium oxysporum f.sp. cubense race 1 and race 4 on
diploid banana (Musa acuminata Colla). Euphytica 75:121-129.
Pavlovkin J, Mistríková I, Luxová M, Mistrík I. 2006. Effects of beauvericin
on root cell transmembrane electric potential, electrolyte leakage and
respiration of maize roots with different susceptibility to Fusarium.
Plant Soil Environ 52(11):492–498.
Prados-Ligero AM, Basallote-Ureba MJ, López-Herrera CJ, Melero-Vara MJ.
2007. Evaluation of susceptibility of carnation cultivars to fusarium
wilt and determination of Fusarium oxysporum f.sp. dianthi races in
Southwest Spain. HortScience 42(3):596–599.
Severn-Ellis AA, Daneel M, de Jager K, de Waele D. 2003. Development of
an aeroponic system to study the response of banana roots to infection
with Fusarium oxysporum f. sp. cubense and Radopholus similis.
InfoMusa 12(1):22-24
ŠVábová L, Lebeda A. 2005. In vitro selection for improved plant resistance
to toxin-producing pathogens. J Phytopathol 153(1):52-64.
35
Tomekpe K, Jenny C, Escalant JV. 2004. A review of conventional
improvement strategies for Musa. InfoMusa 13(2):2-6.
Wang JY, Huang BZ, Chen YY, Feng SP, Wu YT. 2011. Identification and
characterization of microsatellite markers from Musa balbisiana.
Plant Breed 130(5):584-590.
Wu HS, Yin XM, Liu DY, Ling N, Bao W, Ying RR, Zhu YY, Guo SW,
Shen QR. 2008. Effect of fungal fusaric acid on the root and leaf
physiology of watermelon (Citrullus lanatus) seedlings. Plant Soil
308:255-266.