Upload
others
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
13
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Tinjauan Teori Tentang Kepatuhan Hukum
1. Pengertian Kepatuhan Hukum
Hukum merupakan salah satu instrumen untuk mengatur tingkah laku
masyarakat dalam mengatur pergaulan hidup. Secara sosiologis hukum
mengandung berbagai unsur antara lain rencana-rencana tindakan atau perilaku,
kondisi dan situasi tertentu.
Definisi hukum umumnya telah banyak dikemukakan oleh para ahli
dengan pendapatnya masing-masing, seperti menurut Abdul Manan:
“Hukum adalah suatu rangkaian peraturan yang menguasai tingkah laku
dan perbuatan tertentu dari manusia dalam hidup bermasyarakat. Hukum itu
sendiri mempunyai ciri yang tetap yakni hukum merupakan suatu organ
peraturan-peraturan abstrak, hukum untuk mengatur kepentingan-kepentingan
manusia, siapa saja yang melanggar hukum akan dikenakan sanksi sesuai dengan
apa yang telah ditentukan”5.
S. M. Amin, seorang ahli hukum juga mengemukakan pendapatnya
sebagai berikut:
“Hukum adalah kumpulan-kumpulan peraturan-paraturan yang terdiri dari
norma dan sanksi-sanksi itu disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah
mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan
ketertiban terpelihara”6
5 Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, hlm. 2.
6 S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
1992, hlm. 11.
14
Menurut J. C. T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto sebagai
berikut:
“Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang
mengatur tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh
badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-
peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu”7
Hukum juga didefinisikan oleh M. H. Tirtaamidjaja seperti sebagai
berikut:
“Hukum adalah semua aturan (norma) yang harus diturut dalam tingkah
laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti
kerugian, jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau
harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan
sebagainya”.8
Berbagai definisi para ahli tersebut diatas memporoleh kesimpulan bahwa
pada dasarnya hukum adalah segala peraturan yang di dalamnya berisi peraturan-
peraturan yang wajib ditaati oleh semua orang dan terdapat sanksi yang tegas di
dalamnya bagi yang melanggar.
Ketaatan adalah sikap patuh pada aturan yang berlaku. Bukan di sebabkan
oleh adanya sanksi yang tegas atau hadirnya aparat negara, misalnya polisi.
Kepatuhan adalah sikap yang muncul dari dorongan tanggung jawab kamu
sebagai warga negara yang baik.
7 Ibid hlm 11-12
8 Ibid hlm 12.
15
Kepatuhan hukum adalah kesadaran kemanfaatan hukum yang melahirkan
bentuk "kesetiaan" masyarakat terhadap nilai-nilai hukum yang diberlakukan
dalam hidup bersama yang diwujudkan dalam bentuk prilaku yang senyatanya
patuh terhadap nilai-nilai hukum itu sendiri yang dapat dilihat dan dirasakan oleh
sesama anggota masyarakat.9
Kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang
terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang
diharapkan ada. Sebenarnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi
hukum dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit
dalam masyarakat yang bersangkutan.10
2. Teori kepatuhan Hukum
Menurut Soerjono, Salman, hakikat kepatuhan hukum memiliki 3 (tiga)
faktor yang menyebabkan warga masyarakat mematuhi hukum, antara lain: a.
Compliance, b. Identification, c Internalization.
a. Compliance
“An overt acceptance induced by expectation of rewards and an attempt to avoid
possible punishment – not by any conviction in the desirability of the enforced
nile. Power of the influencing agent is based on „means-control” and, as a
consequence, the influenced person conforms only under surveillance”.
Suatu kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan
usaha untuk menghindari diri dari hukuman atau sanksi yang mungkin
dikenakan apabila seseorang melanggar ketentuan hukum. Kepatuhan ini
9S.Maronie, Kesadarandan Kepatuhan Hukum. Dalam https://www.zriefmaronie.blospot.
com. Diakses pada tanggal 20 Mei 2014. 10
Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, Edisi Pertama,
CV. Rajawali, Jakarta, Hlm, 152
16
sama sekali tidak didasarkan pada suatu keyakinan pada tujuan kaidah
hukum yang bersangkutan, dan lebih didasarkan pada pengendalian dari
pemegang kekuasaan.. Sebagai akibatnya, kepatuhan hukum akan ada
apabila ada pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kaidah-kaidah
hukum tersebut.
b. Identification
“An acceptance of a rule not because of its intrinsic value and appeal but
because of a person‟s desire to maintain membership in a group or relationship
with the agent. The source of power is the attractiveness of the relation which the
persons enjoy with the group or agent, and his conformity with the rule will be
dependent upon the salience of these relationships”
Terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan karena nilai
intrinsiknya, akan tetapi agar keanggotaan kelompok tetap terjaga serta ada
hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan
kaidah hukum tersebut. Daya tarik untuk patuh adalah keuntungan yang
diperoleh dari hubungan-hubungan tersebut, dengan demikian kepatuhan
tergantung pada baik-buruk interaksi.
c. Internalization,:
“The acceptance by an individual of a rule or behavior because he finds its
content intrinsically rewarding … the content is congruent with a person‟s
values either because his values changed and adapted to the inevitable”.
Pada tahap ini seseorang mematuhi kaidah hukum karena secara intrinsik
kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isi kaidah tersebut adalah sesuai
dengan nilai-nilainya dari pribadi yang bersangkutan, atau karena Ia
mengubah nilai-nilai semula dianutnya. Hasil dari proses tersebut adalah
suatu konformitas yang didasarkan pada motivasi secara intrinsik. Titik
17
sentral dari kekuatan proses ini adalah kepercayaan orang tadi terhadap
tujuan dari kaidah-kaidah yang bersangkutan, terlepas dari pengaruh atau
nilainilainya terhadap kelompok atau pemegang kekuasaan maupun
pengawasannya. Tahap ini merupakan derajat kepatuhan tertinggi, dimana
ketaatan itu timbul karena hukum yang berlaku sesuai dengan nilai-nilai
yang dianut11
Dengan ini dapat di simpulkan bahwa bentuk hakikat kepatuhan hukum
pada intinya seperti :
a. Compliance, bentuk kepatuhan hukum masyarakat yang disebabkan karena
adanya sanksi bagi pelanggar aturan tersebut, sehingga tujuan dari kepatuhan
hanya untuk terhindar dari sanksi hukum yang ada, seperti apabila polisi
sebagai penegak hukum melakukan operasi yang bertujuan memeriksa
kelengkapan berkendara para pelanggar akan memilih jalan lain agar
terhindar dari operasi tersebut.
b. Identification, bentuk kepatuhan hukum di masyarakat yang di sebabkan
karena untuk mempertahankan hubungan yang menyenangkan dengan orang
atau kelompok lain, seperti seorang anak di bawah yang memiliki keinginan
berkendara tetapi di karenakan salah satu dari kedua orang tua anak tersebut
adalah penegak hukum maka anak di bawah umur tersebut lebih memilih
tidak menggunakan kendaraan bermotor.
c. Internalization, bentuk kepatuhan hukum masyarakat di karenakan masyarakat
mengetahui tujuan dan fungsi dari kaidah hukum tersebut, sehingga
11
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta. Hal -10
18
menyebabkan masyarakat patuh kepada peraturan tersebut, seperti orang tua
anak di bawah umur yang melarang anaknya menggunakan kendaraan bermotor
di karenakan anak usia di bawah umur biasanya masih kurang mampu
mengontrol emosi, kematangan berfikir kurang, kesadaran akan tanggung jawab
rendah dan di tambah lagi kurngnya pemahaman akan pentingnya keselamatan.
Dengan mengetahui ketiga jenis ketaatan ini maka kita dapat mengidentifikasi
seberapa efektivnya suatu peraturan perundang-undangan. Semakin banyak warga
masyarakat yang menaati suatu undang-undang hanya dengan ketaatan yang bersifat
compliance atau identification, berarti kualitas keefektivan aturan undang-undang itu
masih rendah, sebaliknya semakin banyak warga masyarakat yang menaati suatu aturan
perundang-undangan dengan ketaatan yang bersifat internalization, maka semakin
tinggi kualitas keefektivan aturan atau undang-undang itu.
B. Tinjauan Teoritis Tentang Kesadaran Hukum
1. Pengertian kesadaran Hukum
Kesadaran hukum dan hukum itu mempunyai kaitan yang erat sekali demi
untuk meningkatkan kesadaran hukum yang positif, baik dari warga masyarakat
secara keseluruhan, maupun dari kalangan penegak hukum. Sebagaimana
diketahui bahwa kesadaran hukum ada dua macam :
a. Kesadaran hukum positif, identik dengan „ketaatan hukum‟.
b. Kesadaran hukum negatif, identik dengan „ketidaktaatan hukum‟.12
12
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, :Rajawali Pers, Jakarta, 2012,
Hlm.13
19
Jadi, istilah “kesadaran hukum” digunakan oleh para ilmuwan sosial untuk
mengacu ke cara-cara di mana orang-orang memaknakan hukum dan institusi-
institusi hukum, yaitu, pemahaman-pemahaman yang memberikan makna kepada
pengalaman dan tindakan orang-orang.13
Selaras dengan pendapat-pendapat tersebut di atas, Beni Ahmad Saebeni
juga menyatakan pendapatnya, kesadaran hukum artinya :
“Keadaan ikhlas yang muncul dari hati nurani dalam mengakui dan
mengamalkan sesuatu sesuai dengan tuntunan yang terdapat di dalamnya, yang
muncul dari hati nurani dan jiwa yang terdalam dari manusia sebagai individu
atau masyarakat untuk melaksanakan pesan-pesan yang terdapat dalam hukum”.14
Soerjono Soekanto mengemukakan empat unsur kesadaran hukum yaitu:
1. Pengetahuan tentang hokum
2. Pengetahuan tentang isi hukum
3. Sikap hukum
4. Pola perilaku hukum.15
Dengan demikian, maka kesadaran hukum adalah kesadaran bahwa hukum
itu melindungi kepentingan manusia dan oleh karena itu harus dilaksanakan serta
pelanggarnya akan terkena sanksi. Pada hakekatnya kesadaran hukum adalah
kesadaran akan adanya atau terjadinya „kebatilan‟ atau „onrecht‟, tentang apa
hukum itu atau apa seharusnya hukum itu.
13
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judical
Prudence), Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hlm 298. 14
Beni Ahmad Saebeni, Sosiologi Hukum, Pustaka Setia, Bandung, 2006, hlm 197. 15
Achmad Ali, op.cit, hlm 194.
20
Asas hukum yang berbunyi “setiap orang dianggap tahu akan undang-
undang” menunjukkan bahwa kesadaran hukum itu pada dasarnya ada pada diri
manusia. Asas hukum merupakan persangkaan, merupakan cita-cita, sebagai
sesuatu yang tidak nyata, sebagai presumption yang banyak terdapat di dunia
hukum. Setiap orang di anggap tahu akan undang-undang agar melaksanakan dan
menghayatinya, agar kepentingan diri sendiri dan masyarakat terlindungi terhadap
gangguan atau bahaya dari sekitarnya.16
2. Teori kesadaran Hukum
Berbicara mengenai kesadaran hukum tidak terlepas dari indikator
kesadaran hukum. Indikator itu yang nantinya akan berpengaruh besar terhadap
kesadaran hukum. Oleh karena itu, kesadaran hukum adalah konsepsi-konsepsi
abstrak di dalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dengan
ketentraman yang dikehendaki atau sepantasnya. Teori dalam faktor yang
berpengaruh dikemukakan oleh B. Kutschincky dalam bukunya Soerjono
Soekanto, antara lain:
1. Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum;
2. Pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum;
3. Sikap terhadap peraturan-peraturan hukum;
4. Pola-pola perikelakuan hukum.17
16
Beni Ahmad Saebeni, op.cit, hlm 1 17
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, CV. Rajawali, Jakarta,
1982, hlm. 159.
21
Berkaitan dengan indikator diatas, Otje Salman menjelaskan indikator
seperti dibawah ini, antara lain:
1. Indikator pertama adalah pengetahuan tentang hukum. Seseorang mengetahui
bahwa perilaku-perilaku tertentu itu telah diatur oleh hukum. Peraturan
hukum yang dimaksud disini adalah hukum tertulis maupun hukum yang
tidak tertulis. Perilaku tersebut menyangkut perilaku yang dilarang oleh
hukum maupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum.
2. Indikator yang kedua adalah pemahaman hukum, yaitu sejumlah informasi
yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu.
Pemahaman hukum disini adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan
suatu peraturan dalam hukum tertentu serta manfaatnya bagi pihak-pihak
yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut. Seseorang warga
masyarakat mempunyai pengetahuan dan pemahamannya masing-masing
mengenai aturan-aturan tertentu, misalnya adanya pengetahuan dan
pemahaman yang benar mengenai pentingnya Undang-Undang No.22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pemahaman ini diwujudkan
melalui sikap mereka terhadap tingkah laku sehari-hari.
3. Indikator yang ketiga adalah sikap hukum, yaitu suatu kecenderungan untuk
menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai
sesuatu yang bermanfaat atau menguntungkan jika hukum tersebut ditaati.
Seseorang disini yang nantiya akan mempunyai kecenderungan untuk
mengadakan penilaian tertentu terhadap hokum
22
4. Indikator yang keempat adalah pola perilaku, yaitu dimana seseorang atau
dalam suatu masyarakat warganya mematuhi peraturan yang berlaku.
Indikator ini merupakan indikator yang paling utama, karena dalam indikator
tersebut dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam
masyarakat, sehingga seberapa jauh kesadaran hukum dalam masyarakat
dapat dilihat dari pola perilaku hukum.18
Secara menyeluruh, yang paling berpengaruh adalah terhadap pengetahuan
tentang isi, sikap hukum dan pola perikelakuan hukum. Pengetahuan yang
dimilikinya kebanyakan diperoleh dari pengalaman kehidupan sehari-hari,
sehingga kesadaran hukum yang meningkat tergantung pada meningkatnya materi
ilmu hukum yang disajikan. Jadi, setiap indikator kesadaran hukum menunjukan
taraf kesadaran hukum, apabila masyarakat hanya mengetahui adanya suatu
hukum maka kesadaran hukum yang dimiliki masih rendah. Pengertian dan
pemahaman hukum yang berlaku perlu dipertegas secara mendalam agar
masyarakat dapat memiliki suatu pengertian terhadap tujuan dari peraturan
tersebut untuk dirinya sendiri dan masyarakat pada umumunya.
C. Tinjauan Umum Pengemudi Kendaraan Bermotor
Penggunaan kendaraan bermotor diatur di dalam Undang-undang Nomor 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam Undang-undang ini
diatur mengenai subjek atau pengemudi dari kendaraan bermotor. Pengemudi
merupakan orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang telah
memiliki Surat Izin Mengemudi. Pasal 77 ayat 1 berbunyi:
18
Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Alumni,
Bandung, 1993, hlm. 40-42.
23
“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib
memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang
dikemudikan.”19
Dalam pasal ini jelas diatur bahwa seseorang yang mengemudikan
kendaraan bermotor haruslah dilengkapi dengan Surat Izin Mengemudi. SIM
sendiri merupakan bukti registrasi administrasi dan identifikasi yang diberikan
oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kepada seseorang yang telah
memenuhi persyaratan administratif, sehat jasmani dan rohani, serta memahami
peraturan lalu lintas dan terampil mengemudikan kendaraan bermotor. Setiap
orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan, wajib memiliki SIM
sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikannya.
SIM Kendaraan Bermotor sendiri dibagi menjadi dua bagian, yakni SIM
Kendaraan bermotor perorangan dan umum. Adapun penggolongan SIM untuk
perorangan diatur dalam pasal 80 dalam undang-undang ini :
1. Surat Izin Mengemudi A berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang
dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak
melebihi 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram;
2. Surat Izin Mengemudi B I berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang
dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari
3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram;
3. Surat Izin Mengemudi B II berlaku untuk mengemudikan Kendaraan alat
berat, Kendaraan penarik, atau Kendaraan Bermotor dengan menarik kereta
tempelan atau gandengan perseorangan dengan berat yang diperbolehkan
untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari 1.000 (seribu) kilogram;
19
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan
24
4. Surat Izin Mengemudi C berlaku untuk mengemudikan Sepeda Motor; dan
5. Surat Izin Mengemudi D berlaku untuk mengemudikan kendaraan khusus
bagi penyandang cacat.
Adapun yang menjadi syarat untuk mempeloleh SIM perorangan adalah
memenuhi persyaratan dari segi usia, administrasi, kesehatan dan 23 melulusi
ujian yang dilaksanakan oleh Polri kepada calon pemilik SIM perorangan. Dari
segi usia diatur dalam pasal 81 ayat 2, yakni:
1. Usia 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin
Mengemudi C, dan Surat Izin Mengemudi D;
2. Usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I; dan
3. Usia 21 (dua puluh satu) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II.
Sedangkan penggolongan SIM kendaraan bermotor umum diatur pada
pasal 82, yakni:
1. Surat Izin Mengemudi A Umum berlaku untuk mengemudikan kendaraan
bermotor umum dan barang dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak
melebihi 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram;
2. Surat Izin Mengemudi B I Umum berlaku untuk mengemudikan mobil
penumpang dan barang umum dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih
dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram; dan
3. Surat Izin Mengemudi B II Umum berlaku untuk mengemudikan Kendaraan
penarik atau Kendaraan Bermotor dengan menarik kereta tempelan atau
gandengan dengan berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau
gandengan lebih dari 1.000 (seribu) kilogram.
25
Syarat atau batasan umur bagi seseorang yang ingin memperoleh SIM
kendaraan bermotor umum. Diatur pada Pasal 83 ayat 2,yakni: “Syarat usia untuk
mendapatkan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling rendah sebagai berikut:
1. usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A Umum;
2. usia 22 (dua puluh dua) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I Umum; dan
3. usia 23 (dua puluh tiga) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II Umum.”
Dari ketentuan ini jelaslah bahwa sesorang yang belum mencukupi usia
yang ditentukan sesuai dengan jenis SIM yang diinginkan, maka tidak dapat
memperoleh SIM. Melihat pada kenyataan bahwa telah terjadi 24 pelanggaran lalu
lintas, di mana terdapat anak yang mengemudikan kendaraan bermotor padahal
mereka belum mencapai usia untuk memperoleh SIM.
Bagi seseorang yang melanggar ketentuan pasal Pasal 77 ayat (1) diancam
dengan hukuman pidana yang diatur dalam Pasal 281 undangundang ini yang
berbunyi: “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang
tidak memiliki Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat
(1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda
paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)
D. Tinjauan Umum Kendaraan bermotor
1. Pengertian Kendaraan bermotor
Kendaraan bermotor sebagaimana termaksud Undang-undang Nomor 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yaitu :
26
1. Pasal 1 Butir (7)
adalah Kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas
Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.
2. Pasal 1 Butir (8)
adalah Kendaraan Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh
peralatan mekanik berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan di atas rel.
3. Pasal 1 Butir (9)
adalah Kendaraan Tidak Bermotor adalah setiap Kendaraan yang
digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan.
4. Pasal 1 Butir (10)
adalah Kendaraan Bermotor Umum adalah setiap Kendaraan yang
digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran.
Pengertian kendaraan bermotor tersebut dapat diartikan bahwa pada
dasarnya dinamakan dengan kendaraan bermotor adalah sarana transportasi yang
digerakkan dengan mesin yang melekat pada kendaraan namun penggunaannya
bukan di rel. Peralatan teknik dalam ketentuan ini dapat berupa motor atau
peralatan lainnya yang berfungsi untuk merubah suatu sumber daya energi
tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
Pengertian kata berada dalam ketentuan ini adalah terpasang pada tempat
sesuai dengan fungsinya. Termasuk dalam pengertian kendaraan bermotor adalah
kereta gandengan atau kereta tempelan yang dirangkaikan dengan kendaraan
umum bermotor sebagai penariknya.
27
Secara umum kendaraan yang dipergunakan oleh masyarakat sebagai
sarana transportasi dapat dibedakan menjadi dua jenis kendaraan yaitu kendaraan
pribadi dan kendaraan umum. Kendaraan pribadi dapat diartikan kendaraan atau
sarana transportasi yang dimiliki oleh seseorang dan dipergunakan secara pribadi
pula. Sedangkan untuk kendaraan umum seperti halnya yang tercantum dalam
Pasal 1 butir (10) UU No. 22 Tahun 2009, bahwa:
”Kendaraan Bermotor Umum adalah setiap Kendaraan yang digunakan
untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran”.
Beberapa penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan kendaraan
tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya kendaraan terdiri dari
dua jenis yaitu kendaraan umum dan kendaraan pribadi. Setiap kendaraan harus
dilengkapi dengan surat-surat kepemilikan, di mana hal ini merupakan suatu bukti
yang dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Kendaraan yang tidak
dilengkapi dengan surat-surat atau bukti kepemilikan, maka dapat dikatakan
bahwa kendaraan yang dipergunakan sebagai sarana transportasi tidak layak 16
untuk dioperasionalkan. Setiap pengendara yang tidak dapat menunjukkan surat
kelengkapan kendaraan, maka merupakan pelanggaran dan dapat dijerat sesuai
dengan hukum yang berlaku.
E. Sepeda Motor
Sepeda motor adalah sebuah kendaraan beroda dua yang terdiri dari
kerangka, roda, tangki bahan bakar, tangkai kemudi atau setir dan digerakkan oleh
mesin. Istilah sepeda motor ini merupakan gabungan dua kata, yaitu sepeda dan
28
motor. Sepeda adalah bagian dari kerangkanya dan motor adalah mesin yang
menggerakkan. Akan tetapi menurut penulis, sepeda motor adalah alat transportasi
yang digerakkan oleh peralatan teknik untuk pergerakannya, dan biasanya
digunakan untuk memudahkan berpergian dari satu tempat ke satu tempat lainnya.
Biasanya kendaraan bermotor menggunakan mesin pembakaran dalam (perkakas
atau alat untuk menggerakkan atau membuat sesuatu yang dijalankan dengan
roda, 9 digerakkan oleh tenaga manusia atau motor penggerak, menggunakan
bahan bakar minyak atau tenaga alam). Kendaraan bermotor memiliki roda, dan
biasanya berjalan di jalanan berlalu lintas. Sepeda motor merupakan kendaraan
yang paling diminati oleh masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor yaitu, sepeda motor merupakan kendaraan kelas menengah, tidak seperti
mobil yang harganya terlalu mahal, sepeda motor termasuk kendaraan yang
harganya cukup terjangkau oleh masyarakat Indonesia.
F. Ketentuan Hukum Mengenai Pengguna Kendaraan Bermotor
Beberapa pasal yang mengatur mengenai Penggunaan Kendaraaan
Bermotor di Indonesia yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yaitu:
1. Sebagaimana di atur di dalam pasal 77 Undang-undang Nomor 22 tahun 2009
tentang lalu lintas dan angkutan jalan bahwa untuk mengemudikan kendaraan
bermotor setiap orang yang menggunakan kendaraan bermotor harus
memenuhi persyaratan pengemudi kendaraan bermotor.
29
2. Menrut pasal 78 Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan
angkutan jalan bahwa setiap orang yang memenuhi persyaratan pengemudi
kendaraan bermotor wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan pengemudi
kendaraan bermotor yang diselenggarakan oleh lembaga yang mendapat izin
dan terakreditasi oleh pemerintah.
3. Menurut pasal 79 Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 tentang lalulintas
dan angkutan jalan bahwa untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan
pengemudi, calon pengemudi wajib di dampingi oleh instruktur atau penguji.
Instruktur atau penguji bertanggung jawab atas pelanggaran lalulintas yang
terjadi saat calon pengemudi belajar atau menjalani ujian.
4. Menurut pasal 80 Undang-undang no 22 tahun 2009 tentang lalulintas dan
angkutan jalan bahwa bentuk dan penggolongan surat izin mengemudi di
golongkan menjadi ;
a. Surat Izin Mengemudi A berlaku untuk mengemudikan mobil
penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang
diperbolehkan tidak melebihi 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram;
b. Surat Izin Mengemudi B I berlaku untuk mengemudikan mobil
penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang
diperbolehkan lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram;
c. Surat Izin Mengemudi B II berlaku untuk mengemudikan Kendaraan alat
berat, Kendaraan penarik, atau Kendaraan Bermotor dengan menarik kereta
tempelan atau gandengan perseorangan dengan berat yang diperbolehkan
untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari 1.000 (seribu) kilogram;
30
d. Surat Izin Mengemudi C berlaku untuk mengemudikan Sepeda Motor; dan
e. Surat Izin Mengemudi D berlaku untuk mengemudikan kendaraan
khusus bagi penyandang cacat.
5. Menurut pasal 81 undang-undang no 22 tahun 2009 tentang lalulintas dan
angkutan jalan bahwa untuk mendapatkan surat izin mengemudi, setiap orang
harus memenuhi persyratan usia, administratif, kesehatan dan lulus ujian.
Persyaratan usia yang di maksud adalah sebagai berikut;
a. Usia 17 tahun untuk surat izin mengemudi A, SIM C dan SIM D
b. Usia 20 tahun untuk mendapatkan surat izin mengemudi B I dan usia 21
tahun untuk mendapatkan surat izin mengemudi B II.
6. Menurut pasal 86 Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 Tentang Lalu lintas
Dan Angkutan Jalan funsi Surat Izin Mengemudi yaitu sebagai bukti
Kompetensi Mengemudi, Registrasi Pengemudi Kendaraan bermotor yang
memuat keterangan lengkap identitas pengemudi, dan mendukung kegiatan
penyelidikan, penyidikan dan identifiksi forensik kepolisian.
7. Sebagaimana yang di atur pada pasal 87 Undang-undang Nomor 22 Tahun
2009 Tentang Lalu lintas Dan Angkutan Jalan, bahwa Surat Izin Mengemudi
di berikan kepada setiap calon pengemudi yang lulus ujian mengemudi.
G. Pengertian Anak
Anak adalah manusia yang masih kecil,misalnya: berusia 6 tahun. Usia 6
tahun bagi anak disini masih bersifat umum, belum mempunyai makna yang dapat
dikaitkan dengan tanggung jawab yuridis. Black‟s Law Dictionary, menjelaskan:
31
“Child is one who had not attained the age of fourteen years, thought the
meaning now various in different statutes, e.g. child labor, support, criminal etc.”
Usia 14 tahun dalam konteks ini, sudah dipakai dalam ketentuan yang
berbeda, misalnya: untk bekerja, membantu sesuatu, perbuatan yang dapat
dikategorikan tindak pidana dan sebagainya. Perbuatan anak itu sudah
mengandung nilai yuridis.20
Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, tidak terdapat
pengaturan yang tegas tentang kriteria anak. Lain peraturan perundangundangan,
lain pula kriteria anak. Beberapa pengertian anak dan batasan umur anak yang
tertuang dalam peraturan perundang-undangan di indonesia antara lain :
1. Undang-undang No.23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pasal 1 ayat
(1) menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun.
2. Undang-undang No.3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak pasal 1 ayat (1)
anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8
tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. Anak
nakal dalam hal ini adalah anak yang melakukan tindak pidana atau anak
yang melakukan perbuatan yang yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik
menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum
lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
3. Undang-undang No. 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pasal 1
ayat (5) ditentukan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia 18 tahun
dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal
tersebut adalah demi kepentingannya.
20
Bunadi Hidayat. Pemidanaan Anak dibawah Umur. Bandung. Alumni. 2010. hlm 55.
32
4. Undang-undang No. 4 tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak pasal 1 ayat
(2) ditentukan bahwa anak adalah seorang yang belum mencapai 21 tahun
atau belum kawin.
5. Undang-undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 47 ayat (1)
ditentukan bahwa batasan untuk disebut seorang anak adalah belum
mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melakukan perkawinan.
6. Undang-undang No. 8 tahun 1981 Tentang Kitab Undangundang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) pasal 171 bahwa batasan umur anak disidang
pengadilan yang boleh diperiksa 18 tanpa sumpah dipergunakan batasan
umur di bawah 15 tahun dan belum pernak kawin dan dalam hal-hal tertentu
hakim dapat menentukan anak yang belum mencapai umur 17 tahun tidak
diperkenankan menghadiri sidang (pasal 153 ayat (5) KUHAP )
7. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 45 ditentukan bahwa
batasan anak adalah orang yang berumur di bawah 16 tahun terhadap hal ini
baik secara teoritik dan praktik maka apabila anak melakukan tindak pidana
hakim dapat menentukan anak tersebut dikembalikan kepada orang tuanya,
wali atau pemeliharaannya tanpa penjatuhan pidana, diserahkan kepada
pemerintah sebagai anak negara atau juga dapat dijatuhi pidana. Akan tetapi
ketentuan pasal 45, pasal 46, pasal 47 KUHP ini berdasarkan ketentuan
pasal 67 Undang-undang No. 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Jadi, yang dimaksudkan anak dalam penulisan ini adalah anak yang belum
mencapai usia minimal untuk memperoleh SIM, yaitu 17 tahun.
33
H. Pengertian kenakalan Anak
Juvenile Delinquent atau yang lebih dikenal dengan istilah kenakalan
remaja secara harfiah berasal dari bahasa Latin. Juvenile berasal dari kata juvenilis
yang artinya: anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat sifat
khas pada periode remaja. Delinquent berasal dari kata delinquere yang berarti:
terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, anti
sosial, kriminal, pelanggaran aturan, pembuat ribut, pengacau, peneror, tidak
dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila dan lain-lain.21
Menurut Romli Atmasasmita , delinkuensi adalah suatu tindakan atau
perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh
masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.
Dalam Kamus Besar Bahasa Insonesia, delinkuensi diartikan sebagai tingkah laku
yang menyalahi secara ringan norma dan hukum yang berlaku dalam suatu
masyarakat. Kenakalan remaja adalah terjemahan kata “juvenile delinquency” dan
dirumuskan sebagai suatu kelainan tingkah laku, perbuatan ataupun tindakan
remaja yang bersifat anti sosial, bertentangan dengan agama, dan ketentuan-
ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Remaja adalah yang dalam usia
di antara dua belas tahun dan di bawah delapan belas tahun serta belum menikah.
Wiiliam G. Kvaraceus (Maidin Gultom, 2008:55-56) mengatakan:
“Most statutes point out that delinquent behavior contitutes a violation of the law
or municipal ordinance by a young person under a certain age”. Menurut
21
Kartini Kartono. Patologi Sosial: Kenakalan Remaja . Jakarta. Grafindo. 2008. hal 6.
34
Sudarsono, suatu perbuatan dianggap delinkuen apabila perbuatan-perbuatan
tersebut bertentangan dengan norma yang ada dalam masyarakat di mana ia hidup
atau suatu perbuatan yang anti sosial yang di dalamnya terkandung unsur-unsur
normatif.22
Paul Moedikno dalam buku Supramono (2007:9), memberikan perumusan
mengenai pengertian Juveline Deliquency, yaitu sebagai berikut:
a. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan,
bagi anak-anak delinquency. Jadi semua tindakan yang dilarang oleh hukum
pidana, seperti mencuri, menganiaya, membunuh dan sebagainya.
b. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang
menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya memakai celana
jangkis tidak sopan, mode you can see dan sebagainya.
c. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial,
termasuk gelandangan, pengemis dan lain-lain.
Maud A. Merril dalam buku Gerungan, merumuskan Juvenile Delinquency
sebagai berikut :
“A child is classified as a delinquent when his anti social tendencies appear to
be so grave that he become or ought to become the subject of official action.”
Seorang anak digolongkan anak delinkuen apabila tampak adanya
kecenderungan-kecenderungan anti sosial yang demikian memuncaknya sehingga
yang berwajib terpaksa atau hendaknya mengambil tindakan terhadapnya, dalam
arti menahannya atas mengasingkannya.23
22
Maidin Gultom. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Anak di
Indonesia. Bandung. Refika Aditama. 2008. Hal 55-56. 23
Wagiati Sutedjo. Hukum Pidana Anak. Bandung. Refika Aditama. 2010. hal 9-10.
35
Kusumanto mengatakan bahwa Juvenile Delinquency atau kenakalan anak
atau remaja ialah tingkah laku individu yang bertentangan dengan syarat-syarat
dan pendapat umum yang dianggap sebagai aksep tabel dan baik oleh suatu
lingkungan atau hukum yang berlaku di suatu masyarakat yang berkebudayaan.24
I. Teori Kausalitas
Tindak pidana dapat di bedakan atas tindak pidana formil dan tindak
pidana materil. Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang telah di anggap
selesai voltoid delict dengan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang dalam
rumusan Undang-undang tanpa memepersoalkan akibat dari perbuatan yang
dilarang itu. Sedang tindak pidana materill adalah tindak pidana yang
perumusannya dititik beratkan pada akibat yang dilarang, atau dengan kata lain
dapat dikatakan, bahwa tindak pidana materil adalah tindak pidana yang
mempersyaratkan timbulnya akibat (yang dilarang) untuk terjadinya.
Pada tindak pidana formil, oleh karena perumusannya dititikberatkan pada
perbuatan yang dilarang, maka rumusan tindak pidana formil biasanya hanyan
menguraikan perbuatannya, yaitu perbuatan-perbutan yang dilarang dalam tindak
pidana itu tanpa menguraikan akibatnya. Akibat perbuatannya tidk diuraikan
dalam rumusan tindak pidana, sebab jenis tindak pidana ini sudah di anggap
selesai dengan telah dilakukkannya perbutan yang di larang tersebut ( dengan
tanpa mempersoalkan akibat dari perbuatan itu). Sebaliknya dalam tindak pidana
materil, oleh karena perumusannya di tiitikberatkan pada akibat yang dilarang,
24
Sofyan S. Willis. Problema Remaja Pemecahannya. Bandung. Angkasa . 1994. hal 59
36
maka rumusan tindak pidana materil niasanya hanya menguaraikan akibatnya,
yaitu akibat yang dilarang dalam tindak pidana itu tanpa merumuskan perbuatan
yang menimbulkan akibat yang dilarang dan di ancam pidana itu.
Uraian sekilas tentang pembedaan tindak pidana atas tindak pidana formil
dan tindak pidana materil ini hakekatnya dimaksudkan untuk menunjukan bahwa
pembedaan tindak pidana formil dan tindak pidana materil mempunyai relevansi
dengan persoalan yang akan di bahas dalam bab ini yaitu ajaran kausalitas.
Ajaran kausalitas akan menunjukan perbuatan mana sebenarnya yang
harus dianggap sebagai „penyebab‟ dari timbulnya „akibat‟, sementara dalam
tindak pidana materil timbulnya „akibat‟ itu merupakan „ukuran‟ untuk
menentukan apakah suatu tindak pidana materil itu dianggap telah terjadi atau
belum. Oleh karena dalam tindak pidana materil „akibat‟ merupakan untuk
menentukan „selesainya‟ tindak pidana, maka mencari tahu tentang perbuatan
mana yang harus dianggap sebagai‟penyebab‟ timbulnya „akibat‟ menjadi hal
yang sangat penting.
Sebagaimana telah disinggunng, bahwa ajaran kausalitas yang juga sering
disebut dengan istilah “ ajarang tentang penyebab dari suatu akibat” pada
hakikkatnya bertujuan untuk mencari tahu tentang perbutan mana yang di anggap
sebagai „penyebab‟ dari timbulnya suatu „akibat‟. Dengan diketahuinya perbuatan
mana yang menjadi penyebab dari timbulnyasuatu akibat, maka dapat tentukan
pula orang yang melakukan perbutan itu. Sehingga dapat di tentukan siapa yang
harus di pertanggung jawabkan terhadap timbulnya akibat itu.
37
Teori individualisasi
Teori individualisasi berusaha membuat perbedaan antara “syarat” dan
“sebab” . menurut teori ini tiap-tiap suatu peristiwa itu hanya ada satu sebab, yaitu
syarat yang paling menentukan untuk timbulnya suatu akibat.25
Teori ini meliat
semua syarat yang ada setelah perbuatan terjadi (post factum) dan berusaha untuk
menemukan satu syarat yang dapat dianggap sebagai syarat yang paling
menentukan atas timbulnya suatu akibat. Beberapa teori yang dapat di
kelompokan kedalam teori individualisasi adalah :
1. Teori dari Birkmayer
Meurut Birkmayer, diantara syarat yang ada itu, yang dapat dianggap sebagai
suatu penyebab, hanyalah syarat yang paling berperan atas timbulnya
akibat.26
Dengan kata lain “sebab” adalah „syarat yang paling kuat‟.27
2. Teori dari Binding
Menurut teori ini, sebab dari suatu perbuatan adalah identik dengan
perubahan dalam keseimbangan antara faktor yang menahan (negatif) dan
faktor yang positif, dimana faktor yang positif itu lebih unggull.28
Yang
disebut „sebab‟ adalah „syarat-syarat positif dalam keuggulannya (in ihrem
ubergewichts = bobot yang melebihi) terhadap yang negatif‟. Satu- satunya
sebab adalah syarat terakhir yang menghilangkan keseimbangan dan
memenangkan faktor positif itu.29
Dengan demikian, Binding telah
melukiskan seolah-olah terdapat dua macam syarat, dimana yang pertama itu
25
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997 26
Ibid 27
Soedarto, Hukum Pidana Jilid 1 A-B, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang 1975 28
Ibid 29
ibid
38
merupakan syarat-syarat mempunyai peranan atas timbulnya suatu akibat dan
yang kedua merupakan syarat-syarat yang menghambat timbulnya akibat.30
3. Teori Generalis
Teori generalis berusaha membuat pemisahan antara syarat yang satu
dengan syarat yang lain untuk kemudian pada masing-masing syarat tersebut
diberikan penilaian sesuai dengan pengertiannya yang umum atau yang layak
untuk di pandang sebagai penyebab dari peristiwa yang terjadi.31
Teori ini
melihat syarat-syarat sebelum kejadian/ peristiwa terjadi (ante factum)
dengan menilai apakah di antara serentetan syarat itu ada perbuatan manusia
yang pada umumnya dapat menimbulkan akibat semacam itu.32
30 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997
31 Ibid
32 Soedarto, Hukum Pidana Jilid 1 A-B, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang 1975