26
13 BAB II TINJAUAN TEORI A. Tinjauan Teori Tentang Kepatuhan Hukum 1. Pengertian Kepatuhan Hukum Hukum merupakan salah satu instrumen untuk mengatur tingkah laku masyarakat dalam mengatur pergaulan hidup. Secara sosiologis hukum mengandung berbagai unsur antara lain rencana-rencana tindakan atau perilaku, kondisi dan situasi tertentu. Definisi hukum umumnya telah banyak dikemukakan oleh para ahli dengan pendapatnya masing-masing, seperti menurut Abdul Manan: “Hukum adalah suatu rangkaian peraturan yang menguasai tingkah laku dan perbuatan tertentu dari manusia dalam hidup bermasyarakat. Hukum itu sendiri mempunyai ciri yang tetap yakni hukum merupakan suatu organ peraturan-peraturan abstrak, hukum untuk mengatur kepentingan-kepentingan manusia, siapa saja yang melanggar hukum akan dikenakan sanksi sesuai dengan apa yang telah ditentukan” 5 . S. M. Amin, seorang ahli hukum juga mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: “Hukum adalah kumpulan-kumpulan peraturan-paraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi itu disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara” 6 5 Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, hlm. 2. 6 S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1992, hlm. 11.

BAB II TINJAUAN TEORI A. Tinjauan Teori Tentang Kepatuhan ...eprints.umm.ac.id/38918/3/BAB II.pdfBerbagai definisi para ahli tersebut diatas memporoleh kesimpulan bahwa pada dasarnya

  • Upload
    others

  • View
    14

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

13

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Tinjauan Teori Tentang Kepatuhan Hukum

1. Pengertian Kepatuhan Hukum

Hukum merupakan salah satu instrumen untuk mengatur tingkah laku

masyarakat dalam mengatur pergaulan hidup. Secara sosiologis hukum

mengandung berbagai unsur antara lain rencana-rencana tindakan atau perilaku,

kondisi dan situasi tertentu.

Definisi hukum umumnya telah banyak dikemukakan oleh para ahli

dengan pendapatnya masing-masing, seperti menurut Abdul Manan:

“Hukum adalah suatu rangkaian peraturan yang menguasai tingkah laku

dan perbuatan tertentu dari manusia dalam hidup bermasyarakat. Hukum itu

sendiri mempunyai ciri yang tetap yakni hukum merupakan suatu organ

peraturan-peraturan abstrak, hukum untuk mengatur kepentingan-kepentingan

manusia, siapa saja yang melanggar hukum akan dikenakan sanksi sesuai dengan

apa yang telah ditentukan”5.

S. M. Amin, seorang ahli hukum juga mengemukakan pendapatnya

sebagai berikut:

“Hukum adalah kumpulan-kumpulan peraturan-paraturan yang terdiri dari

norma dan sanksi-sanksi itu disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah

mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan

ketertiban terpelihara”6

5 Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, hlm. 2.

6 S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,

1992, hlm. 11.

14

Menurut J. C. T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto sebagai

berikut:

“Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang

mengatur tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh

badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-

peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu”7

Hukum juga didefinisikan oleh M. H. Tirtaamidjaja seperti sebagai

berikut:

“Hukum adalah semua aturan (norma) yang harus diturut dalam tingkah

laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti

kerugian, jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau

harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan

sebagainya”.8

Berbagai definisi para ahli tersebut diatas memporoleh kesimpulan bahwa

pada dasarnya hukum adalah segala peraturan yang di dalamnya berisi peraturan-

peraturan yang wajib ditaati oleh semua orang dan terdapat sanksi yang tegas di

dalamnya bagi yang melanggar.

Ketaatan adalah sikap patuh pada aturan yang berlaku. Bukan di sebabkan

oleh adanya sanksi yang tegas atau hadirnya aparat negara, misalnya polisi.

Kepatuhan adalah sikap yang muncul dari dorongan tanggung jawab kamu

sebagai warga negara yang baik.

7 Ibid hlm 11-12

8 Ibid hlm 12.

15

Kepatuhan hukum adalah kesadaran kemanfaatan hukum yang melahirkan

bentuk "kesetiaan" masyarakat terhadap nilai-nilai hukum yang diberlakukan

dalam hidup bersama yang diwujudkan dalam bentuk prilaku yang senyatanya

patuh terhadap nilai-nilai hukum itu sendiri yang dapat dilihat dan dirasakan oleh

sesama anggota masyarakat.9

Kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang

terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang

diharapkan ada. Sebenarnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi

hukum dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit

dalam masyarakat yang bersangkutan.10

2. Teori kepatuhan Hukum

Menurut Soerjono, Salman, hakikat kepatuhan hukum memiliki 3 (tiga)

faktor yang menyebabkan warga masyarakat mematuhi hukum, antara lain: a.

Compliance, b. Identification, c Internalization.

a. Compliance

“An overt acceptance induced by expectation of rewards and an attempt to avoid

possible punishment – not by any conviction in the desirability of the enforced

nile. Power of the influencing agent is based on „means-control” and, as a

consequence, the influenced person conforms only under surveillance”.

Suatu kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan

usaha untuk menghindari diri dari hukuman atau sanksi yang mungkin

dikenakan apabila seseorang melanggar ketentuan hukum. Kepatuhan ini

9S.Maronie, Kesadarandan Kepatuhan Hukum. Dalam https://www.zriefmaronie.blospot.

com. Diakses pada tanggal 20 Mei 2014. 10

Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, Edisi Pertama,

CV. Rajawali, Jakarta, Hlm, 152

16

sama sekali tidak didasarkan pada suatu keyakinan pada tujuan kaidah

hukum yang bersangkutan, dan lebih didasarkan pada pengendalian dari

pemegang kekuasaan.. Sebagai akibatnya, kepatuhan hukum akan ada

apabila ada pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kaidah-kaidah

hukum tersebut.

b. Identification

“An acceptance of a rule not because of its intrinsic value and appeal but

because of a person‟s desire to maintain membership in a group or relationship

with the agent. The source of power is the attractiveness of the relation which the

persons enjoy with the group or agent, and his conformity with the rule will be

dependent upon the salience of these relationships”

Terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan karena nilai

intrinsiknya, akan tetapi agar keanggotaan kelompok tetap terjaga serta ada

hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan

kaidah hukum tersebut. Daya tarik untuk patuh adalah keuntungan yang

diperoleh dari hubungan-hubungan tersebut, dengan demikian kepatuhan

tergantung pada baik-buruk interaksi.

c. Internalization,:

“The acceptance by an individual of a rule or behavior because he finds its

content intrinsically rewarding … the content is congruent with a person‟s

values either because his values changed and adapted to the inevitable”.

Pada tahap ini seseorang mematuhi kaidah hukum karena secara intrinsik

kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isi kaidah tersebut adalah sesuai

dengan nilai-nilainya dari pribadi yang bersangkutan, atau karena Ia

mengubah nilai-nilai semula dianutnya. Hasil dari proses tersebut adalah

suatu konformitas yang didasarkan pada motivasi secara intrinsik. Titik

17

sentral dari kekuatan proses ini adalah kepercayaan orang tadi terhadap

tujuan dari kaidah-kaidah yang bersangkutan, terlepas dari pengaruh atau

nilainilainya terhadap kelompok atau pemegang kekuasaan maupun

pengawasannya. Tahap ini merupakan derajat kepatuhan tertinggi, dimana

ketaatan itu timbul karena hukum yang berlaku sesuai dengan nilai-nilai

yang dianut11

Dengan ini dapat di simpulkan bahwa bentuk hakikat kepatuhan hukum

pada intinya seperti :

a. Compliance, bentuk kepatuhan hukum masyarakat yang disebabkan karena

adanya sanksi bagi pelanggar aturan tersebut, sehingga tujuan dari kepatuhan

hanya untuk terhindar dari sanksi hukum yang ada, seperti apabila polisi

sebagai penegak hukum melakukan operasi yang bertujuan memeriksa

kelengkapan berkendara para pelanggar akan memilih jalan lain agar

terhindar dari operasi tersebut.

b. Identification, bentuk kepatuhan hukum di masyarakat yang di sebabkan

karena untuk mempertahankan hubungan yang menyenangkan dengan orang

atau kelompok lain, seperti seorang anak di bawah yang memiliki keinginan

berkendara tetapi di karenakan salah satu dari kedua orang tua anak tersebut

adalah penegak hukum maka anak di bawah umur tersebut lebih memilih

tidak menggunakan kendaraan bermotor.

c. Internalization, bentuk kepatuhan hukum masyarakat di karenakan masyarakat

mengetahui tujuan dan fungsi dari kaidah hukum tersebut, sehingga

11

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta. Hal -10

18

menyebabkan masyarakat patuh kepada peraturan tersebut, seperti orang tua

anak di bawah umur yang melarang anaknya menggunakan kendaraan bermotor

di karenakan anak usia di bawah umur biasanya masih kurang mampu

mengontrol emosi, kematangan berfikir kurang, kesadaran akan tanggung jawab

rendah dan di tambah lagi kurngnya pemahaman akan pentingnya keselamatan.

Dengan mengetahui ketiga jenis ketaatan ini maka kita dapat mengidentifikasi

seberapa efektivnya suatu peraturan perundang-undangan. Semakin banyak warga

masyarakat yang menaati suatu undang-undang hanya dengan ketaatan yang bersifat

compliance atau identification, berarti kualitas keefektivan aturan undang-undang itu

masih rendah, sebaliknya semakin banyak warga masyarakat yang menaati suatu aturan

perundang-undangan dengan ketaatan yang bersifat internalization, maka semakin

tinggi kualitas keefektivan aturan atau undang-undang itu.

B. Tinjauan Teoritis Tentang Kesadaran Hukum

1. Pengertian kesadaran Hukum

Kesadaran hukum dan hukum itu mempunyai kaitan yang erat sekali demi

untuk meningkatkan kesadaran hukum yang positif, baik dari warga masyarakat

secara keseluruhan, maupun dari kalangan penegak hukum. Sebagaimana

diketahui bahwa kesadaran hukum ada dua macam :

a. Kesadaran hukum positif, identik dengan „ketaatan hukum‟.

b. Kesadaran hukum negatif, identik dengan „ketidaktaatan hukum‟.12

12

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, :Rajawali Pers, Jakarta, 2012,

Hlm.13

19

Jadi, istilah “kesadaran hukum” digunakan oleh para ilmuwan sosial untuk

mengacu ke cara-cara di mana orang-orang memaknakan hukum dan institusi-

institusi hukum, yaitu, pemahaman-pemahaman yang memberikan makna kepada

pengalaman dan tindakan orang-orang.13

Selaras dengan pendapat-pendapat tersebut di atas, Beni Ahmad Saebeni

juga menyatakan pendapatnya, kesadaran hukum artinya :

“Keadaan ikhlas yang muncul dari hati nurani dalam mengakui dan

mengamalkan sesuatu sesuai dengan tuntunan yang terdapat di dalamnya, yang

muncul dari hati nurani dan jiwa yang terdalam dari manusia sebagai individu

atau masyarakat untuk melaksanakan pesan-pesan yang terdapat dalam hukum”.14

Soerjono Soekanto mengemukakan empat unsur kesadaran hukum yaitu:

1. Pengetahuan tentang hokum

2. Pengetahuan tentang isi hukum

3. Sikap hukum

4. Pola perilaku hukum.15

Dengan demikian, maka kesadaran hukum adalah kesadaran bahwa hukum

itu melindungi kepentingan manusia dan oleh karena itu harus dilaksanakan serta

pelanggarnya akan terkena sanksi. Pada hakekatnya kesadaran hukum adalah

kesadaran akan adanya atau terjadinya „kebatilan‟ atau „onrecht‟, tentang apa

hukum itu atau apa seharusnya hukum itu.

13

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judical

Prudence), Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hlm 298. 14

Beni Ahmad Saebeni, Sosiologi Hukum, Pustaka Setia, Bandung, 2006, hlm 197. 15

Achmad Ali, op.cit, hlm 194.

20

Asas hukum yang berbunyi “setiap orang dianggap tahu akan undang-

undang” menunjukkan bahwa kesadaran hukum itu pada dasarnya ada pada diri

manusia. Asas hukum merupakan persangkaan, merupakan cita-cita, sebagai

sesuatu yang tidak nyata, sebagai presumption yang banyak terdapat di dunia

hukum. Setiap orang di anggap tahu akan undang-undang agar melaksanakan dan

menghayatinya, agar kepentingan diri sendiri dan masyarakat terlindungi terhadap

gangguan atau bahaya dari sekitarnya.16

2. Teori kesadaran Hukum

Berbicara mengenai kesadaran hukum tidak terlepas dari indikator

kesadaran hukum. Indikator itu yang nantinya akan berpengaruh besar terhadap

kesadaran hukum. Oleh karena itu, kesadaran hukum adalah konsepsi-konsepsi

abstrak di dalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dengan

ketentraman yang dikehendaki atau sepantasnya. Teori dalam faktor yang

berpengaruh dikemukakan oleh B. Kutschincky dalam bukunya Soerjono

Soekanto, antara lain:

1. Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum;

2. Pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum;

3. Sikap terhadap peraturan-peraturan hukum;

4. Pola-pola perikelakuan hukum.17

16

Beni Ahmad Saebeni, op.cit, hlm 1 17

Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, CV. Rajawali, Jakarta,

1982, hlm. 159.

21

Berkaitan dengan indikator diatas, Otje Salman menjelaskan indikator

seperti dibawah ini, antara lain:

1. Indikator pertama adalah pengetahuan tentang hukum. Seseorang mengetahui

bahwa perilaku-perilaku tertentu itu telah diatur oleh hukum. Peraturan

hukum yang dimaksud disini adalah hukum tertulis maupun hukum yang

tidak tertulis. Perilaku tersebut menyangkut perilaku yang dilarang oleh

hukum maupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum.

2. Indikator yang kedua adalah pemahaman hukum, yaitu sejumlah informasi

yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu.

Pemahaman hukum disini adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan

suatu peraturan dalam hukum tertentu serta manfaatnya bagi pihak-pihak

yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut. Seseorang warga

masyarakat mempunyai pengetahuan dan pemahamannya masing-masing

mengenai aturan-aturan tertentu, misalnya adanya pengetahuan dan

pemahaman yang benar mengenai pentingnya Undang-Undang No.22 Tahun

2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pemahaman ini diwujudkan

melalui sikap mereka terhadap tingkah laku sehari-hari.

3. Indikator yang ketiga adalah sikap hukum, yaitu suatu kecenderungan untuk

menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai

sesuatu yang bermanfaat atau menguntungkan jika hukum tersebut ditaati.

Seseorang disini yang nantiya akan mempunyai kecenderungan untuk

mengadakan penilaian tertentu terhadap hokum

22

4. Indikator yang keempat adalah pola perilaku, yaitu dimana seseorang atau

dalam suatu masyarakat warganya mematuhi peraturan yang berlaku.

Indikator ini merupakan indikator yang paling utama, karena dalam indikator

tersebut dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam

masyarakat, sehingga seberapa jauh kesadaran hukum dalam masyarakat

dapat dilihat dari pola perilaku hukum.18

Secara menyeluruh, yang paling berpengaruh adalah terhadap pengetahuan

tentang isi, sikap hukum dan pola perikelakuan hukum. Pengetahuan yang

dimilikinya kebanyakan diperoleh dari pengalaman kehidupan sehari-hari,

sehingga kesadaran hukum yang meningkat tergantung pada meningkatnya materi

ilmu hukum yang disajikan. Jadi, setiap indikator kesadaran hukum menunjukan

taraf kesadaran hukum, apabila masyarakat hanya mengetahui adanya suatu

hukum maka kesadaran hukum yang dimiliki masih rendah. Pengertian dan

pemahaman hukum yang berlaku perlu dipertegas secara mendalam agar

masyarakat dapat memiliki suatu pengertian terhadap tujuan dari peraturan

tersebut untuk dirinya sendiri dan masyarakat pada umumunya.

C. Tinjauan Umum Pengemudi Kendaraan Bermotor

Penggunaan kendaraan bermotor diatur di dalam Undang-undang Nomor 22

Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam Undang-undang ini

diatur mengenai subjek atau pengemudi dari kendaraan bermotor. Pengemudi

merupakan orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang telah

memiliki Surat Izin Mengemudi. Pasal 77 ayat 1 berbunyi:

18

Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Alumni,

Bandung, 1993, hlm. 40-42.

23

“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib

memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang

dikemudikan.”19

Dalam pasal ini jelas diatur bahwa seseorang yang mengemudikan

kendaraan bermotor haruslah dilengkapi dengan Surat Izin Mengemudi. SIM

sendiri merupakan bukti registrasi administrasi dan identifikasi yang diberikan

oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kepada seseorang yang telah

memenuhi persyaratan administratif, sehat jasmani dan rohani, serta memahami

peraturan lalu lintas dan terampil mengemudikan kendaraan bermotor. Setiap

orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan, wajib memiliki SIM

sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikannya.

SIM Kendaraan Bermotor sendiri dibagi menjadi dua bagian, yakni SIM

Kendaraan bermotor perorangan dan umum. Adapun penggolongan SIM untuk

perorangan diatur dalam pasal 80 dalam undang-undang ini :

1. Surat Izin Mengemudi A berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang

dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak

melebihi 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram;

2. Surat Izin Mengemudi B I berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang

dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari

3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram;

3. Surat Izin Mengemudi B II berlaku untuk mengemudikan Kendaraan alat

berat, Kendaraan penarik, atau Kendaraan Bermotor dengan menarik kereta

tempelan atau gandengan perseorangan dengan berat yang diperbolehkan

untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari 1.000 (seribu) kilogram;

19

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan

24

4. Surat Izin Mengemudi C berlaku untuk mengemudikan Sepeda Motor; dan

5. Surat Izin Mengemudi D berlaku untuk mengemudikan kendaraan khusus

bagi penyandang cacat.

Adapun yang menjadi syarat untuk mempeloleh SIM perorangan adalah

memenuhi persyaratan dari segi usia, administrasi, kesehatan dan 23 melulusi

ujian yang dilaksanakan oleh Polri kepada calon pemilik SIM perorangan. Dari

segi usia diatur dalam pasal 81 ayat 2, yakni:

1. Usia 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin

Mengemudi C, dan Surat Izin Mengemudi D;

2. Usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I; dan

3. Usia 21 (dua puluh satu) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II.

Sedangkan penggolongan SIM kendaraan bermotor umum diatur pada

pasal 82, yakni:

1. Surat Izin Mengemudi A Umum berlaku untuk mengemudikan kendaraan

bermotor umum dan barang dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak

melebihi 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram;

2. Surat Izin Mengemudi B I Umum berlaku untuk mengemudikan mobil

penumpang dan barang umum dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih

dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram; dan

3. Surat Izin Mengemudi B II Umum berlaku untuk mengemudikan Kendaraan

penarik atau Kendaraan Bermotor dengan menarik kereta tempelan atau

gandengan dengan berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau

gandengan lebih dari 1.000 (seribu) kilogram.

25

Syarat atau batasan umur bagi seseorang yang ingin memperoleh SIM

kendaraan bermotor umum. Diatur pada Pasal 83 ayat 2,yakni: “Syarat usia untuk

mendapatkan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling rendah sebagai berikut:

1. usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A Umum;

2. usia 22 (dua puluh dua) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I Umum; dan

3. usia 23 (dua puluh tiga) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II Umum.”

Dari ketentuan ini jelaslah bahwa sesorang yang belum mencukupi usia

yang ditentukan sesuai dengan jenis SIM yang diinginkan, maka tidak dapat

memperoleh SIM. Melihat pada kenyataan bahwa telah terjadi 24 pelanggaran lalu

lintas, di mana terdapat anak yang mengemudikan kendaraan bermotor padahal

mereka belum mencapai usia untuk memperoleh SIM.

Bagi seseorang yang melanggar ketentuan pasal Pasal 77 ayat (1) diancam

dengan hukuman pidana yang diatur dalam Pasal 281 undangundang ini yang

berbunyi: “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang

tidak memiliki Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat

(1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda

paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)

D. Tinjauan Umum Kendaraan bermotor

1. Pengertian Kendaraan bermotor

Kendaraan bermotor sebagaimana termaksud Undang-undang Nomor 22

Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yaitu :

26

1. Pasal 1 Butir (7)

adalah Kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas

Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.

2. Pasal 1 Butir (8)

adalah Kendaraan Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh

peralatan mekanik berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan di atas rel.

3. Pasal 1 Butir (9)

adalah Kendaraan Tidak Bermotor adalah setiap Kendaraan yang

digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan.

4. Pasal 1 Butir (10)

adalah Kendaraan Bermotor Umum adalah setiap Kendaraan yang

digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran.

Pengertian kendaraan bermotor tersebut dapat diartikan bahwa pada

dasarnya dinamakan dengan kendaraan bermotor adalah sarana transportasi yang

digerakkan dengan mesin yang melekat pada kendaraan namun penggunaannya

bukan di rel. Peralatan teknik dalam ketentuan ini dapat berupa motor atau

peralatan lainnya yang berfungsi untuk merubah suatu sumber daya energi

tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.

Pengertian kata berada dalam ketentuan ini adalah terpasang pada tempat

sesuai dengan fungsinya. Termasuk dalam pengertian kendaraan bermotor adalah

kereta gandengan atau kereta tempelan yang dirangkaikan dengan kendaraan

umum bermotor sebagai penariknya.

27

Secara umum kendaraan yang dipergunakan oleh masyarakat sebagai

sarana transportasi dapat dibedakan menjadi dua jenis kendaraan yaitu kendaraan

pribadi dan kendaraan umum. Kendaraan pribadi dapat diartikan kendaraan atau

sarana transportasi yang dimiliki oleh seseorang dan dipergunakan secara pribadi

pula. Sedangkan untuk kendaraan umum seperti halnya yang tercantum dalam

Pasal 1 butir (10) UU No. 22 Tahun 2009, bahwa:

”Kendaraan Bermotor Umum adalah setiap Kendaraan yang digunakan

untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran”.

Beberapa penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan kendaraan

tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya kendaraan terdiri dari

dua jenis yaitu kendaraan umum dan kendaraan pribadi. Setiap kendaraan harus

dilengkapi dengan surat-surat kepemilikan, di mana hal ini merupakan suatu bukti

yang dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Kendaraan yang tidak

dilengkapi dengan surat-surat atau bukti kepemilikan, maka dapat dikatakan

bahwa kendaraan yang dipergunakan sebagai sarana transportasi tidak layak 16

untuk dioperasionalkan. Setiap pengendara yang tidak dapat menunjukkan surat

kelengkapan kendaraan, maka merupakan pelanggaran dan dapat dijerat sesuai

dengan hukum yang berlaku.

E. Sepeda Motor

Sepeda motor adalah sebuah kendaraan beroda dua yang terdiri dari

kerangka, roda, tangki bahan bakar, tangkai kemudi atau setir dan digerakkan oleh

mesin. Istilah sepeda motor ini merupakan gabungan dua kata, yaitu sepeda dan

28

motor. Sepeda adalah bagian dari kerangkanya dan motor adalah mesin yang

menggerakkan. Akan tetapi menurut penulis, sepeda motor adalah alat transportasi

yang digerakkan oleh peralatan teknik untuk pergerakannya, dan biasanya

digunakan untuk memudahkan berpergian dari satu tempat ke satu tempat lainnya.

Biasanya kendaraan bermotor menggunakan mesin pembakaran dalam (perkakas

atau alat untuk menggerakkan atau membuat sesuatu yang dijalankan dengan

roda, 9 digerakkan oleh tenaga manusia atau motor penggerak, menggunakan

bahan bakar minyak atau tenaga alam). Kendaraan bermotor memiliki roda, dan

biasanya berjalan di jalanan berlalu lintas. Sepeda motor merupakan kendaraan

yang paling diminati oleh masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan oleh beberapa

faktor yaitu, sepeda motor merupakan kendaraan kelas menengah, tidak seperti

mobil yang harganya terlalu mahal, sepeda motor termasuk kendaraan yang

harganya cukup terjangkau oleh masyarakat Indonesia.

F. Ketentuan Hukum Mengenai Pengguna Kendaraan Bermotor

Beberapa pasal yang mengatur mengenai Penggunaan Kendaraaan

Bermotor di Indonesia yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009

tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yaitu:

1. Sebagaimana di atur di dalam pasal 77 Undang-undang Nomor 22 tahun 2009

tentang lalu lintas dan angkutan jalan bahwa untuk mengemudikan kendaraan

bermotor setiap orang yang menggunakan kendaraan bermotor harus

memenuhi persyaratan pengemudi kendaraan bermotor.

29

2. Menrut pasal 78 Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan

angkutan jalan bahwa setiap orang yang memenuhi persyaratan pengemudi

kendaraan bermotor wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan pengemudi

kendaraan bermotor yang diselenggarakan oleh lembaga yang mendapat izin

dan terakreditasi oleh pemerintah.

3. Menurut pasal 79 Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 tentang lalulintas

dan angkutan jalan bahwa untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan

pengemudi, calon pengemudi wajib di dampingi oleh instruktur atau penguji.

Instruktur atau penguji bertanggung jawab atas pelanggaran lalulintas yang

terjadi saat calon pengemudi belajar atau menjalani ujian.

4. Menurut pasal 80 Undang-undang no 22 tahun 2009 tentang lalulintas dan

angkutan jalan bahwa bentuk dan penggolongan surat izin mengemudi di

golongkan menjadi ;

a. Surat Izin Mengemudi A berlaku untuk mengemudikan mobil

penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang

diperbolehkan tidak melebihi 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram;

b. Surat Izin Mengemudi B I berlaku untuk mengemudikan mobil

penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang

diperbolehkan lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram;

c. Surat Izin Mengemudi B II berlaku untuk mengemudikan Kendaraan alat

berat, Kendaraan penarik, atau Kendaraan Bermotor dengan menarik kereta

tempelan atau gandengan perseorangan dengan berat yang diperbolehkan

untuk kereta tempelan atau gandengan lebih dari 1.000 (seribu) kilogram;

30

d. Surat Izin Mengemudi C berlaku untuk mengemudikan Sepeda Motor; dan

e. Surat Izin Mengemudi D berlaku untuk mengemudikan kendaraan

khusus bagi penyandang cacat.

5. Menurut pasal 81 undang-undang no 22 tahun 2009 tentang lalulintas dan

angkutan jalan bahwa untuk mendapatkan surat izin mengemudi, setiap orang

harus memenuhi persyratan usia, administratif, kesehatan dan lulus ujian.

Persyaratan usia yang di maksud adalah sebagai berikut;

a. Usia 17 tahun untuk surat izin mengemudi A, SIM C dan SIM D

b. Usia 20 tahun untuk mendapatkan surat izin mengemudi B I dan usia 21

tahun untuk mendapatkan surat izin mengemudi B II.

6. Menurut pasal 86 Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 Tentang Lalu lintas

Dan Angkutan Jalan funsi Surat Izin Mengemudi yaitu sebagai bukti

Kompetensi Mengemudi, Registrasi Pengemudi Kendaraan bermotor yang

memuat keterangan lengkap identitas pengemudi, dan mendukung kegiatan

penyelidikan, penyidikan dan identifiksi forensik kepolisian.

7. Sebagaimana yang di atur pada pasal 87 Undang-undang Nomor 22 Tahun

2009 Tentang Lalu lintas Dan Angkutan Jalan, bahwa Surat Izin Mengemudi

di berikan kepada setiap calon pengemudi yang lulus ujian mengemudi.

G. Pengertian Anak

Anak adalah manusia yang masih kecil,misalnya: berusia 6 tahun. Usia 6

tahun bagi anak disini masih bersifat umum, belum mempunyai makna yang dapat

dikaitkan dengan tanggung jawab yuridis. Black‟s Law Dictionary, menjelaskan:

31

“Child is one who had not attained the age of fourteen years, thought the

meaning now various in different statutes, e.g. child labor, support, criminal etc.”

Usia 14 tahun dalam konteks ini, sudah dipakai dalam ketentuan yang

berbeda, misalnya: untk bekerja, membantu sesuatu, perbuatan yang dapat

dikategorikan tindak pidana dan sebagainya. Perbuatan anak itu sudah

mengandung nilai yuridis.20

Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, tidak terdapat

pengaturan yang tegas tentang kriteria anak. Lain peraturan perundangundangan,

lain pula kriteria anak. Beberapa pengertian anak dan batasan umur anak yang

tertuang dalam peraturan perundang-undangan di indonesia antara lain :

1. Undang-undang No.23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pasal 1 ayat

(1) menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun.

2. Undang-undang No.3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak pasal 1 ayat (1)

anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8

tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. Anak

nakal dalam hal ini adalah anak yang melakukan tindak pidana atau anak

yang melakukan perbuatan yang yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik

menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum

lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

3. Undang-undang No. 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pasal 1

ayat (5) ditentukan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia 18 tahun

dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal

tersebut adalah demi kepentingannya.

20

Bunadi Hidayat. Pemidanaan Anak dibawah Umur. Bandung. Alumni. 2010. hlm 55.

32

4. Undang-undang No. 4 tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak pasal 1 ayat

(2) ditentukan bahwa anak adalah seorang yang belum mencapai 21 tahun

atau belum kawin.

5. Undang-undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 47 ayat (1)

ditentukan bahwa batasan untuk disebut seorang anak adalah belum

mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melakukan perkawinan.

6. Undang-undang No. 8 tahun 1981 Tentang Kitab Undangundang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) pasal 171 bahwa batasan umur anak disidang

pengadilan yang boleh diperiksa 18 tanpa sumpah dipergunakan batasan

umur di bawah 15 tahun dan belum pernak kawin dan dalam hal-hal tertentu

hakim dapat menentukan anak yang belum mencapai umur 17 tahun tidak

diperkenankan menghadiri sidang (pasal 153 ayat (5) KUHAP )

7. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 45 ditentukan bahwa

batasan anak adalah orang yang berumur di bawah 16 tahun terhadap hal ini

baik secara teoritik dan praktik maka apabila anak melakukan tindak pidana

hakim dapat menentukan anak tersebut dikembalikan kepada orang tuanya,

wali atau pemeliharaannya tanpa penjatuhan pidana, diserahkan kepada

pemerintah sebagai anak negara atau juga dapat dijatuhi pidana. Akan tetapi

ketentuan pasal 45, pasal 46, pasal 47 KUHP ini berdasarkan ketentuan

pasal 67 Undang-undang No. 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

dinyatakan tidak berlaku lagi.

Jadi, yang dimaksudkan anak dalam penulisan ini adalah anak yang belum

mencapai usia minimal untuk memperoleh SIM, yaitu 17 tahun.

33

H. Pengertian kenakalan Anak

Juvenile Delinquent atau yang lebih dikenal dengan istilah kenakalan

remaja secara harfiah berasal dari bahasa Latin. Juvenile berasal dari kata juvenilis

yang artinya: anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat sifat

khas pada periode remaja. Delinquent berasal dari kata delinquere yang berarti:

terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, anti

sosial, kriminal, pelanggaran aturan, pembuat ribut, pengacau, peneror, tidak

dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila dan lain-lain.21

Menurut Romli Atmasasmita , delinkuensi adalah suatu tindakan atau

perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan

ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh

masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.

Dalam Kamus Besar Bahasa Insonesia, delinkuensi diartikan sebagai tingkah laku

yang menyalahi secara ringan norma dan hukum yang berlaku dalam suatu

masyarakat. Kenakalan remaja adalah terjemahan kata “juvenile delinquency” dan

dirumuskan sebagai suatu kelainan tingkah laku, perbuatan ataupun tindakan

remaja yang bersifat anti sosial, bertentangan dengan agama, dan ketentuan-

ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Remaja adalah yang dalam usia

di antara dua belas tahun dan di bawah delapan belas tahun serta belum menikah.

Wiiliam G. Kvaraceus (Maidin Gultom, 2008:55-56) mengatakan:

“Most statutes point out that delinquent behavior contitutes a violation of the law

or municipal ordinance by a young person under a certain age”. Menurut

21

Kartini Kartono. Patologi Sosial: Kenakalan Remaja . Jakarta. Grafindo. 2008. hal 6.

34

Sudarsono, suatu perbuatan dianggap delinkuen apabila perbuatan-perbuatan

tersebut bertentangan dengan norma yang ada dalam masyarakat di mana ia hidup

atau suatu perbuatan yang anti sosial yang di dalamnya terkandung unsur-unsur

normatif.22

Paul Moedikno dalam buku Supramono (2007:9), memberikan perumusan

mengenai pengertian Juveline Deliquency, yaitu sebagai berikut:

a. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan,

bagi anak-anak delinquency. Jadi semua tindakan yang dilarang oleh hukum

pidana, seperti mencuri, menganiaya, membunuh dan sebagainya.

b. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang

menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya memakai celana

jangkis tidak sopan, mode you can see dan sebagainya.

c. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial,

termasuk gelandangan, pengemis dan lain-lain.

Maud A. Merril dalam buku Gerungan, merumuskan Juvenile Delinquency

sebagai berikut :

“A child is classified as a delinquent when his anti social tendencies appear to

be so grave that he become or ought to become the subject of official action.”

Seorang anak digolongkan anak delinkuen apabila tampak adanya

kecenderungan-kecenderungan anti sosial yang demikian memuncaknya sehingga

yang berwajib terpaksa atau hendaknya mengambil tindakan terhadapnya, dalam

arti menahannya atas mengasingkannya.23

22

Maidin Gultom. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Anak di

Indonesia. Bandung. Refika Aditama. 2008. Hal 55-56. 23

Wagiati Sutedjo. Hukum Pidana Anak. Bandung. Refika Aditama. 2010. hal 9-10.

35

Kusumanto mengatakan bahwa Juvenile Delinquency atau kenakalan anak

atau remaja ialah tingkah laku individu yang bertentangan dengan syarat-syarat

dan pendapat umum yang dianggap sebagai aksep tabel dan baik oleh suatu

lingkungan atau hukum yang berlaku di suatu masyarakat yang berkebudayaan.24

I. Teori Kausalitas

Tindak pidana dapat di bedakan atas tindak pidana formil dan tindak

pidana materil. Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang telah di anggap

selesai voltoid delict dengan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang dalam

rumusan Undang-undang tanpa memepersoalkan akibat dari perbuatan yang

dilarang itu. Sedang tindak pidana materill adalah tindak pidana yang

perumusannya dititik beratkan pada akibat yang dilarang, atau dengan kata lain

dapat dikatakan, bahwa tindak pidana materil adalah tindak pidana yang

mempersyaratkan timbulnya akibat (yang dilarang) untuk terjadinya.

Pada tindak pidana formil, oleh karena perumusannya dititikberatkan pada

perbuatan yang dilarang, maka rumusan tindak pidana formil biasanya hanyan

menguraikan perbuatannya, yaitu perbuatan-perbutan yang dilarang dalam tindak

pidana itu tanpa menguraikan akibatnya. Akibat perbuatannya tidk diuraikan

dalam rumusan tindak pidana, sebab jenis tindak pidana ini sudah di anggap

selesai dengan telah dilakukkannya perbutan yang di larang tersebut ( dengan

tanpa mempersoalkan akibat dari perbuatan itu). Sebaliknya dalam tindak pidana

materil, oleh karena perumusannya di tiitikberatkan pada akibat yang dilarang,

24

Sofyan S. Willis. Problema Remaja Pemecahannya. Bandung. Angkasa . 1994. hal 59

36

maka rumusan tindak pidana materil niasanya hanya menguaraikan akibatnya,

yaitu akibat yang dilarang dalam tindak pidana itu tanpa merumuskan perbuatan

yang menimbulkan akibat yang dilarang dan di ancam pidana itu.

Uraian sekilas tentang pembedaan tindak pidana atas tindak pidana formil

dan tindak pidana materil ini hakekatnya dimaksudkan untuk menunjukan bahwa

pembedaan tindak pidana formil dan tindak pidana materil mempunyai relevansi

dengan persoalan yang akan di bahas dalam bab ini yaitu ajaran kausalitas.

Ajaran kausalitas akan menunjukan perbuatan mana sebenarnya yang

harus dianggap sebagai „penyebab‟ dari timbulnya „akibat‟, sementara dalam

tindak pidana materil timbulnya „akibat‟ itu merupakan „ukuran‟ untuk

menentukan apakah suatu tindak pidana materil itu dianggap telah terjadi atau

belum. Oleh karena dalam tindak pidana materil „akibat‟ merupakan untuk

menentukan „selesainya‟ tindak pidana, maka mencari tahu tentang perbuatan

mana yang harus dianggap sebagai‟penyebab‟ timbulnya „akibat‟ menjadi hal

yang sangat penting.

Sebagaimana telah disinggunng, bahwa ajaran kausalitas yang juga sering

disebut dengan istilah “ ajarang tentang penyebab dari suatu akibat” pada

hakikkatnya bertujuan untuk mencari tahu tentang perbutan mana yang di anggap

sebagai „penyebab‟ dari timbulnya suatu „akibat‟. Dengan diketahuinya perbuatan

mana yang menjadi penyebab dari timbulnyasuatu akibat, maka dapat tentukan

pula orang yang melakukan perbutan itu. Sehingga dapat di tentukan siapa yang

harus di pertanggung jawabkan terhadap timbulnya akibat itu.

37

Teori individualisasi

Teori individualisasi berusaha membuat perbedaan antara “syarat” dan

“sebab” . menurut teori ini tiap-tiap suatu peristiwa itu hanya ada satu sebab, yaitu

syarat yang paling menentukan untuk timbulnya suatu akibat.25

Teori ini meliat

semua syarat yang ada setelah perbuatan terjadi (post factum) dan berusaha untuk

menemukan satu syarat yang dapat dianggap sebagai syarat yang paling

menentukan atas timbulnya suatu akibat. Beberapa teori yang dapat di

kelompokan kedalam teori individualisasi adalah :

1. Teori dari Birkmayer

Meurut Birkmayer, diantara syarat yang ada itu, yang dapat dianggap sebagai

suatu penyebab, hanyalah syarat yang paling berperan atas timbulnya

akibat.26

Dengan kata lain “sebab” adalah „syarat yang paling kuat‟.27

2. Teori dari Binding

Menurut teori ini, sebab dari suatu perbuatan adalah identik dengan

perubahan dalam keseimbangan antara faktor yang menahan (negatif) dan

faktor yang positif, dimana faktor yang positif itu lebih unggull.28

Yang

disebut „sebab‟ adalah „syarat-syarat positif dalam keuggulannya (in ihrem

ubergewichts = bobot yang melebihi) terhadap yang negatif‟. Satu- satunya

sebab adalah syarat terakhir yang menghilangkan keseimbangan dan

memenangkan faktor positif itu.29

Dengan demikian, Binding telah

melukiskan seolah-olah terdapat dua macam syarat, dimana yang pertama itu

25

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997 26

Ibid 27

Soedarto, Hukum Pidana Jilid 1 A-B, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang 1975 28

Ibid 29

ibid

38

merupakan syarat-syarat mempunyai peranan atas timbulnya suatu akibat dan

yang kedua merupakan syarat-syarat yang menghambat timbulnya akibat.30

3. Teori Generalis

Teori generalis berusaha membuat pemisahan antara syarat yang satu

dengan syarat yang lain untuk kemudian pada masing-masing syarat tersebut

diberikan penilaian sesuai dengan pengertiannya yang umum atau yang layak

untuk di pandang sebagai penyebab dari peristiwa yang terjadi.31

Teori ini

melihat syarat-syarat sebelum kejadian/ peristiwa terjadi (ante factum)

dengan menilai apakah di antara serentetan syarat itu ada perbuatan manusia

yang pada umumnya dapat menimbulkan akibat semacam itu.32

30 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997

31 Ibid

32 Soedarto, Hukum Pidana Jilid 1 A-B, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang 1975