Upload
lydieu
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Skizofrenia
2.1.1 Pengertian Skizofrenia
Menurut Yosep & Sutiani (2014), skizofrenia (scizophrenia) adalah gangguan
yang terjadi pada fungsi otak. Bukti-bukti terkini tentang serangan skizofrenia
merupakan suatu hal yang melibatkan banyak faktor. Faktor-faktor itu meliputi
perubahan struktur fisik otak, perubahan struktur kimia otak, dan faktor
genetik. Skizofrenia merupakan penyakit neorologis yang mempengaruhi
persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya
Skizofrenia adalah sindrom dengan berbagai presentasi dan satu variabel,
perjalanan penyakit umumnya jangka panjang, serta sering kambuh. Skizofrenia
merupakan bentuk gangguan psikotik (penyakit mental berat) yang relatif
sering. Prevalensi seumur hidup hampir mencapai 1%. Insiden setiap tahunnya
sekitar 10-15 per 100.000, dan perawatan rata-rata di dokter umum adalah 10-
20 pasien skizofrenia, bergantung pada lokasi dan lingkungan sosial tempat
praktik (Kaplan & Sadock, 2007). Skizofrenia merupakan gangguan psikotik
yang bersifat kronis atau kambuh ditandai dengan terdapatnya perpecahan
(schism) antara pikiran, emosi dan perilaku pasien yang terkena (Kaplan &
Sadock, 2007). Perpecahan pada pasien digambarkan dengan adanya gejala
fundamental (primer) spesifik, yaitu gangguan pikiran yang ditandai dengan
gangguan asosiasi, khususnya kelonggaran sosiasi. Gejala fundamental lainnya
12
13
adalah gangguan afektif, autisme, dan ambivalensi. Sedangkan gejala
sekundernya adalah waham dan halusinasi (Kaplan & Sadock, 2007).
2.1.2 Penyebab Skizofrenia
Menurut Simanjuntak (2008), skizofrenia adalah sejenis penyakit yang
disebabkan oleh faktor-faktor yang sampai hari ini belum diketahui dengan
pasti. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penderita umumnya mengalami
ketidakseimbangan pada cairan kimia otak, khusunya ketidakseimbangan pada
dua jenis cairan kimia otak, yakni dopamine dan serotonin. Dopamine adalah
cairan kimia yang bertanggung jawab terhadap emosi dan penyebab penyakit
ini. Oleh karena itu, sampai saat ini terdapat banyak konsep tentang faktor-
faktor penyebabnya.
Menurut Ingram, Timbury, & Mowbray (1993, dalam Hidayati, 2011)
penyebab skizofrenia belum diketahui dengan jelas dan merupakan suatu
tantangan riset terbesar bagi pengobatan kontemporer. Telah banyak riset yang
dilakukan dan telah banyak faktor presdisposisi dan pencetus yang diketahui.
Menurut Simanjuntak (2008), penyebab skizofrenia adalah sebagai berikut:
1. Faktor Genetis
Bukti keterlibatan genetik sebagai penyebab skizofrenia semakin kuat.
Hingga 50% kembar identik (homozigotik) menderita diagnosis yang sama,
dibandingkan dengan kembar non identik (dizigotik) sekitar 15%. Kekuatan
faktor genetik bervariasi pada setiap keluarga, tetapi sekitar 10% kerabat
langsung pasien (orang tua, saudara kandung, dan anak) juga menderita
skizofrenia, demikian pula pada 50% anak yang kedua orang tuanya menderita
skizofrenia (Kaplan & Sadock, 2007).
14
Pada studi anak kembar dijumpai kemungkinan yang cukup besar jika
saudara kandung penderita adalah skizoprenik. Dari faktor genetis skizofrenia
diwariskan secara multifaktorial, yang artinya penyakit ini tidak hanya
dipengaruhi atau disebabkan oleh faktor genetis tetapi juga lingkungan
(Simanjuntak, 2008)
2. Faktor Non-genetis
a. Faktor Lingkungan
Sebagian dari para ahli menyatakan bahwa faktor lingkungan yang
menjadi penyebab utama skizofrenia. Faktor-faktor lingkungan yang
mempengaruhi atau menimbulkan penyakit skizofrenia antara lain adalah
kebudayaan, ekonomi, pendidikan, faktor sosial, penggunaan obat-obatan,
stress karena pemerkosaan, penganiayaan yang berat, perceraian, dan lain
sebagainya (Simanjuntak, 2008).
b. Faktor Biologi
Faktor biologi adalah faktor sebagai penyebab suatu kepribadan yang
peka terhadap stress. Teori psikoanalisis beranggapan bahwa berbagai gejala
skizofrenia mempunyai arti simbolik untuk penderita secara individu,
misalnya fantasi tentang kiamatnya dunia menunjukkan bahwa alam internal
penderita telah hancur (Simanjuntak, 2008).
15
2.1.3 Gejala Skizofrenia
Menurut Varvarolis, Carson dan Shoemaker (2006, dalam Hidayati, 2011),
gejala skizofrenia dikategorikan menjadi 2 yaitu:
1. Gejala Positif
Skizofrenia gejala positif yaitu bertambahnya atau distorsi dari fungsi
normal tubuh, gejala ini sering responsive terhadap obat antipsikosis tipikal
atau tradisional. Gejala positif yaitu halusinasi, delusi, perilaku kekerasan,
agresif, agitasi, repetisi, perilaku stereotip dan disorganisasi bicara (Stuart,
2009). Survey yang dilakukan oleh “The National Institute of Nursing Health’s
Epidemiologic Cathchment Area “ terhadap 10000 orang yang pernah melakukan
perilaku kekerasan sebanyak 11,7 % terdiagnosa skizofrenia (Kaplan & Sadock,
2007).
2. Gejala Negatif
Gejala negatif skizofrenia yaitu penurunan afek, alogia, kurang motivasi,
anhedonia, penurunan interaksi sosial dan penurunan perhatian. Gejala negatif
terkadang ditandai dengan berkurangnya atau hilangnya fungsi norma
seseorang sering kurang responsif terhadap antipsikotik tradisional dan lebih
responsif terhadap antibiotik atipikal.
Menurut American Psychiatric Associations (2000, dalam Hidayati 2011),
beberapa penelitian melaporkan bahwa kelompok individu yang didiagnosis
skizofrenia mempunyai insiden lebih tinggi untuk melakukan perilaku
kekerasan. Perilaku kekerasan meningkat risikonya pada pasien skizofrenia
dengan gejala postif. Menurut Stuart (2009), gejala skizofrenia secara umum
adalah sebagai berikut :
16
a. Kemampuan kognitif
Terjadinya kemampuan kognitif menurut Sulistyowati (2009) adalah faktor
neuroanatomi, psikologis, lingkungan, dan faktor lainnya. Sedangkan menurut
Stuart (2009) kognitif merupakan tindakan atau proses pengetahuan yang
melibatkan kesadaran dan penilaian yang memungkinkan otak untuk
memproses informasi dengan cara yang menjamin akurasi, penyimpanan, dan
pengambilan.
Proses pengetahuan yang melibatkan kesadaran diperlukan untuk
mengetahui kondisi otak untuk proses informasi dalam hal ketelitian,
penyimpangan. Seseorang dengan skizofrenia seringkali tidak sanggup untuk
menghasilkan logika berfikir yang kompleks dan mengungkapkan kalimat yang
berhubungan kerane neurotransmitter dalam proses sistem informasi otak
mengalami kelainan fungsi (Stuart, 2009).
b. Emosi
Emosi yang menggambarkan sebagai suasana hati dan afek. Suasana hati
atau Mood merupakan sebagian nada perasaan yang luas dan berkelanjutan yang
dapat dialami selama beberapa jam atau selama bertahun-tahun dan terasa
dapat mempengaruhi pandangan dunia seseorang. Afek mengacu pada perilaku
yang seperti gerakan tangan dan tubuh, ekspresi wajah, dan nada suara yang
dapat diamati ketika seseorang mengekspresikan dan mengalami perasaan dan
emosi (Stuart, 2009).
Pasien skizofrenia umumnya memiliki gejala, pasien merasakan bahwa
mereka tidak lagi memiliki perasaan dan bahwa mereka memiliki kemampuan
menurun untuk merasakan keintiman dan kedekatan dengan orang lain.
17
Menurut Videbeck (2008), emosi yang biasanya terlihat pada skizofrenia adalah
ketidakmampuan untuk mengalami kesenangan, sukacita, dan kedekatan,
kurangnya perasaan emosi, kepentingan, atau keprihatinan.
c. Perilaku
Perilaku adalah respon individu terhadap stimulus baik yang berasal dari
luar maupun dari dalam dirinya. Perilaku adalah aktivitas yang timbul dari
stimulus dan respon serta dapat diamati secara langsung maupun tidak
langsung, perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap
organisme, dan organisme tersebut tersebut menstimulus atau meresponnya.
Dengan eksplorasi banyak perilaku dapat dijelaskna dan gerakan dapat
dipahami. Perilaku maladaptif dalam skizofrenia termasuk memburuk
penampilan, kurangnya ketekunan di tempat kerja atau sekolah, perilaku
berulang atau stereotip, agresi. Agitasi dan negatif (Stuart, 2009).
Menurut Turkingto (2004, dalam Hidayati, 2011) perilaku agresif, agitasi,
dan perilaku kekerasan sering digunakan untuk menggambarkan pasien dengan
skizofrenia. Namun, pasien skizofrenia umunya adalah korban, pasien
mengalami psikosis melakukan kekerasan, terutama ketika penyakit pasien
berada di luar kendali atau pasien berhenti memakai obat-obatan. Perilaku
kekerasan merupakan salah satu dari respon maladaptif.
Menurut Townsend (2009), tanda dan gejala perilaku kekerasan dapat
diketahui secara afektif yaitu akan ditemukan iritabilitas, ketidaknyamanan dan
ketegangan terus-menerus, suasana hati marah, cemas, rasa bersalah, frustasi
serta kecurigaan. Seseorang yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak
berdaya, jengkel, merasa ingin berkelahi, mengamuk, bermusuhan, sakit hati,
18
menyalahkan, menuntut, mudah tersinggung, euforia yang berlebihan atau tidak
tepat, dan afek yang labil pada pasien.
d. Sosial
Seseorang dalam kontak sosial akan mempelajari tingkah laku orang lain
kemudian juga akan melakukan tingkah laku orang tersebut. Sosialisai
merupakan kemampuan untuk membentuk hubungan kerjasama dan saling
bergantung dengan orang lain. Masalah sosial yang biasanya terjadi dari
penyakit secara langsung maupun tidak langsung, efek langsung terjadi ketika
gejala mencegah orang dari sosialisasi yang berlaku dalam norma-norma budaya
sosial atau ketika motivasi memburuk, yang mengakibatkan penarikan sosial
dan isolasi dari kegiatan kehidupan (Townsend, 2009).
2.1.4 Tipe Skizofrenia
Tipe Skizofrenia menurut Copel (2007) sebagai berikut :
a. Skizofrenia Paranoid
Ditemukan tanda berupa pikiran dipenuhi dengan waham sistemik,
halusinasi pendengaran, ansietas, marah, argumentative, berpotensi
melakukan perilaku kekerasan.
b. Skizofrenia Takterorganisasi
Ditemukan tanda berupa perilaku kacau, kurang memiliki hubungan,
kehilangan asosiasi, bicara tidak teratur, perilaku kacau, bingung, gangguan
kognitif.
19
c. Skizofrenia Katatonia
Ditemukan tanda berupa gangguan psikomotor, mutisme, ekolalia,
ekopraksia.
d. Skizofrenia Takterinci
Ditemukan tanda berupa waham, halusinasi, tidak koheren, perilaku
tidak terorganisasi.
e. Skizofrenia Residual
Ditemukan tanda berupa minimal mengalami satu episode skizoprenik,
emosi tumpul, menarik diri dari realita, keyakinan aneh Pemikiran tidak
logis, kehilangan asosiasi, perilaku eksentrik.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Keliat, dkk (2008) tentang
karakteristik pasien yang dirawat di bangsal MPKP, dari 79 orang pasien
ditemukan pasien perilaky kekerasan sebesar 68,57 % atau sebanyak 35
orang, 43,7 % atau 31 orang lainnya didiagnosis skizofrenia paranoid.,
sedangkan sisanya termasuk skizofrenia jenis lain.
2.2 Perilaku Kekerasan
2.2.1 Pengertian Perilaku Kekerasan
Perilaku kekerasan merupakan respon terhadap stressor yang dihadapi oleh
seseorang, yang ditunjukkan dengan perilaku aktual melakukan kekerasan, baik
pada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan, secara verbal maupun
nonverbal, bertujuan melukai orang lain secara fisik maupun psilologis.
Suatu keadaan dimana seorang individu mengalami perilaku yang dapat
melukai secara fisik baik terhadap diri sendiri atau orang lain (Towsend, 2009).
20
Suatu keadaan dimana pasien mengalami perilaku yang dapat membahayakan
pasien sendiri, lingkungan termasuk orang lain dan barang-barang.
2.2.2 Rentang Kemarahan
Perilaku kekerasan merupakan status rentang emosi dan ungkapan
kemarahan yang dimanifestasikan dalm bentuk fisik. Kemarahan tersebut
merupakan suatu bentuk komunikasi dan proses penyampaian pesan dari
individu. Orang yang mengalami kemarahan sebenarnya ingin menyampaikan
pesan bahwa ia “tidak setuju, tersinggung, merasa tidak dianggap, merasa tidak
dituruti atau diremehkan” rentang respons kemarahan individu dimulai dari
respons normal (asertif) sampai pada respons sangat tidak normal (maladaktif)
Respons Adaktif Respons Maladaktif
Tabel 2.1 Tabel Rentang Kemarahan
Sumber : Putra (2012)
Asertif Frustuasi Pasif Agresif Kekerasan
Pasien mampu mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan memberikan kelegaan
Pasien gagal mencapai tujuan kepuasan /saat marah dan tidak dapat menemukan alternatif
Pasien merasa tidak dapat mengungkapkan perasaannya, tidak berdaya dan menyerah
Pasien mengekspresikan secara fisik, tapi masih terkontrol, mendorong orang lain dengan ancaman
Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat dan hilang kontrol, disertai amuk, merusak lingkungan
21
2.2.3 Proses Terjadinya Perilaku Kekerasan
2.2.3.1 Faktor Predisposisi
a. Teori Biologis
1. Teori dorogan naluri (Intinctual drive theory)
Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebabkan oleh
suatu dorongan kebutuhan dasar yang kuat.
2. Teori Psikomatik (Psycomatic theory)
Pengalaman marah adalah akibat dari respon psikologis terhadap
stimulus eksternal, internal maupun lingkungan. Dalam hal ini system
limbic berperan sebagai pusat untuk mengekspresikan maupun
menghambat rasa marah.
b. Faktor Psikologis
1. Teori agresif frustasi (Frustasion aggression theory)
Menurut teori ini perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil akumulasi
frustasi yang terjadi apabila keinginan individu untuk mencapai sesuatu
gagal atau terhambat. Keadaan tersebut dapat mendorong ondividu
berperilaku agresif karena perasaan frustasi akan berkurang melalui
perilaku kekerasan.
2. Teori Perilaku (Behavioral theory)
Kemarahan adalah proses belajar, hal ini dapat dicapai apabila
tersedia fasilitas atau situasi yang mendukung reinforcement yang
diterima pada saat melakukan kekerasan, sering mengobservasi
22
kekerasan di rumah atau di luar rumah. Semua aspek ini menstimulasi
individu mengadopsi perilaku kekerasan.
3. Teori eksistensi (Existential theory)
Bertindak sesuai perilaku adalah kebutuhan yaitu kebutuhan dasar
manusia apabila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi melalui
perilaku konstruktif maka individu akan memenuhi kebutuhannya
melalui perilaku destruktif.
c. Faktor sosiokultural
1. Social enviroment theory ( teori lingkungan )
Lingkungan sosial akan mempengaruhi sikap individu dalam
mengekspresikan marah. Budaya tertutup dan membalas secara diam
(pasif agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku
kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan
diterima.
2. Social learning theory ( teori belajar sosial )
Perilaku kekerasan dapat dipelajari secara langsung maupun melalui
proses sosialisasi.
2.2.3.2 Faktor Presipitasi
Stressor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu
bersifat buruk. Stressor tersebut dapat disebabkan dari luar maupun dalam.
Contoh stressor yang berasal dari luar antara lain serangan fisik, kehilangan,
kematian, krisis dan lain-lain. Sedangkan dari dalam adalah putus hubungan
dengan seseorang yang berarti, kehilangan rasa cinta, ketakutan terhadap
penyakit fisik, hilang kontrol, menurunnya percaya diri dan lain-lain. Selain itu
23
lingkungan yang terlalu ribut, padat, kritikan yang mengarah pada
penghinaan, tindakan kekerasan dapat memicu perilaku kekerasan
2.2.4 Tanda dan gejala perilaku kekerasan
2.2.4.1 Fisik
Tanda dan gejala secara fisik pada pasien perilaku kekerasan dapat berupa
ketegangan tubuh, muka merah, pandangan tajam, nadi dan pernafasan
meningkat (Keliat, dkk, 2008). Gejala fisik lainnya yaitu tidur terganggu, sakit
kepala, sakit perut, rahang mengatup, sikap tubuh kaku/rigit, mengepalkan
jari, rahang terkunci, hiperaktifita, denyu jantung cepat, nafas terengah-engah
dan cara berdiri mengancam (Stuart, 2009). Tanda dan gejala fisik secara
umum yang dapat diamati pada pasien perilku kekerasan adalah muka merah,
pandangan tajam, tekanan darah meningkat, nadi meningkat, pernafasan
meningkat, tidur terganggu, rahang mengatup dan tangan mengepal.
2.2.4.2 Emosional
Tanda dan gejala secara emosional pada pasien dengan perilaku kekerasan
berupa : agitasi meningkat, cemas, mudah frustasi, tempertantrum, merasa
tidak aman, merasa terganggu, jengkel, cepat marah, muram, lesu, cemas,
suara keras, mengeluarkan sumpah serapah, berteriak, memaksa meminta
hak istimewah dan menolak intruksi (Stuart, 2009). Tanda gejala emosional
secara umum ditemukan pada pasien perilaku kekerasan adalah jengkel, cepat
marah, muram, lesu, cemas, suara keras, memaksa, memaksa hak istimewah
dan menolak intruksi.
24
2.2.4.3 Kognitif
Keliah, dkk (2008) menyatakan secara kognitif gejala pasien dengan
perilaku kekerasan adalah: mudah bingung, penuh hayalan, senang
membantah, menentang, mengancam secara verbal dan merencanakan
perilaku kekerasan yang akan dilakukan. Gejela kognitif lainnya: senang
berdebat, bawel, pembicaraan mendominasi, meremehkan, menekan pikiran
untuk menyerang, mengacaukan pikiran, ketidakmampuan belajar, penurunan
perhatian, penurunan fungsi intelektual (Stuart, 2009). Tanda dan gejala
kognitif yang dapat diamati pada pasien perilaku kekerasan diantaranya: suka
membantah, menentang, mengancam secara verbal, merencanakan tindakan
kekerasan, senang berdebat, bawel, mendominasi pembicaraan, meremehkan
dan penurunan perhatian.
2.2.4.4 Sosial
Tanda dan gejala secara sosial ditemukan pada pasien perilaku kekerasan
adalah menggertak, suara keras, kata-kata menekan, marah. Gejala lain seperti
menarik diri dari hubungan sosial, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan,
mengabaikan hak orang lain (Keliat, 2008; Stuart, 2009).
2.2.4.5 Perilaku
Perilaku yang tampak pada pasien dengan perilku kekerasan diantaranya:
mondar mandir, tidak mampu duduk diam, merusak benda, melukai orang
lain (Stuart, 2009). Kaplan (2007) menambahkan gejala yang muncul berupa
serangan fisik terhadap diri sendiri, benda atau orang lain, mengancam
dengan senjata di tangan, menggigit, menendang, meninju, menggaruk,
meremas, menusuk, menembak, memperkosa, mendorong dan melempar.
25
Gejala lainnya: berteriak, melempak objek, memecahkan kaca, membanting
pintu, memukul, menendang, meludahi, mencakar, menggigit, melempar
objek pada seseorang.
2.2.5 Karakteristik Perilaku Kekerasan
Pada pengkajian awal dapat diketahui alasan utama pasien dibawa ke
rumah sakit adalah perilaku kekerasan di rumah. Menurut (Stuart, 2009)
pasien dengan perilaku kekerasan sering menunjukkan adanya tanda dan
gejala sebagi berikut:
1. Data Objektif
Muka merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara tinggi, berdebat,
sering pula tampak pasien memaksakan kehendak, merampas makanan,
memukul jika tidak senang.
2. Data Subjektif
1) Mengeluh perasaan terancam
2) Mengungkapkan perasaan tidak berguna
3) Mengungkapkan perasaan jengkel
4) Mengungkapkan adanya keluhan fisik, berdebar-debar, merasa tercekik,
dada sesak, binggung.
Menurut (Stuart, 2009) tanda dan gejala perilaku kekerasan akan
ditunjukkan pada tabel 2.3 di bawah ini:
26
Tabel 2.2 Tabel Tanda dan Gejala Perilaku Kekerasan
Aspek Tanda/Gejala
Fisik Muka merah, pandangan tajam, tekanan darah meningkat, nadi meningkat, pernafasan meningkat, tidur terganggu, rahang mengatup dan tangan mengepal.
Emosional Jengkel, cepat marah, muram, lesu, cemas, suara keras, memaksa,
memaksa hak istimewah dan menolak intruksi Kognitif Suka membantah, menentang, mengancam secara verbal,
merencanakan tindakan kekerasan, senang berdebat, bawel, mendominasi pembicaraan, meremehkan dan penurunan perhatian
Sosial Menarik diri dari hubungan sosial, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, mengabaikan hak orang lain.
Perilaku Mondar mandir, tidak mampu duduk diam, merusak benda, melukai orang lain.
Sumber: Sudiatmika (2011)
27
2.2.6 Dinamika Kejadian Marah dan Mekanisme Adaptasi
Gambar 2.1 Dinamika Kejadian Marah dan Mekanisme Adaptasi
Rasa bermusuhan menahun Marah pada diri sendiri Marah pada orang lain
Depresi psikosomatik Agresif / marah
Ancaman atau kebutuhan
Stress
Cemas
Marah
Mengungkapkan secara vertikal
Menjaga keutuhan orang lain
Rasa marah teratasi
Ketegangan menurun
Lega
Muncul rasa bermusuhan
Merasa kuat
Menantang
Marah berkepanjangan
Merasa tidak adekuat
Menantang
Mengingkari marah
Marah tidak terungkap
28
2.3 Terapi Musik
2.3.1 Sejarah terapi musik
Teknologi terapi musik mulai dikenal diakhir abad 18. Kemudian tahun
1950 dibentuk organisasi professional yang dikenal sebagai organisasi NANT
(National Asociation for Music Therapy). Pada tahun 1998 kemudian berganti nama
menjadi AMTA (Ameican Music Terapi Asosiation, 2008)
2.3.2 Pengertian Terapi Musik
Menurut Djohan (2016), terapi musik didefinisikan sebagai sebuah aktivitas
terapiutik yang menggunakan musik sebagai media untuk memperbaiki,
memelihara, mengembangkan mental, fisik, dan kesehatan emosi. Terapis
musik sudah memiliki banyak metode dan pendekatan, beberapa menggunakan
alat yang berorientasi pada perilaku interaksi, berimprovisasi sambil
mendengarkan dan atau aktif bermain musik (Wimpory dalam Djohan, 2016).
Otak manusia adalah otak yang musikal dan irama musik memiliki kekuatan
langsung untuk memengaruhi kinerja kognitif. Musik menyediakan proses
belajar melalui model sensori aural kinetik, dan visual yang sekaligus
mengembangkan inteligensi musical. Musik mampu menghadirkan rasa aman,
mendukung dan mengurangi stress karena musik memiliki daya Tarik alamia
sebagai stimulus dan sebagai bagian proses belajar (Djohan, 2016).
Terapi musik sebagai teknik yang digunakan untuk penyembuhan suatu
penyakit dengan menggunakan bunyi atau irama tertentu. Terapi musik
merupakan terapi yang bersifat non verbal, penyembuhan melalui suara yaitu
penggunaan vibrasi frekuensi atau bentuk suara yang dikombinasikan (Djohan,
2016). Terapi musik adalah sebuah teknik pelengkap pengobatan dengan
menggunakan perintah musik oleh pelatih terapis.
29
Sedangkan menurut Sulistyowati (2009) terapi musik adalah kontrol
penggunaan musik di bawah panduan pelatih terapi musik untuk membantu
orang mengatasi kondisi bermasalah. Terapi musik adalah sebuah terapi kesehatan
yang menggunakan musik yang bertujuan untuk meningkatkan atau memperbaiki
kondisi fisik, emosi, kognitif dan sosial bagi individu dari bebagai kalangan usia.
Dari berbagai difinisi di atas dapat disimpulkan bahwa terapi musik adalah teknik
penyembuhan baik fisik, emosi, kognitif dan sosial bagi individu dari berbagai
kalangan usia serta bersifat non verbal dengan menggunakan bunyi atau irama,
dibawah pelatih terapi musik.
2.3.3 Mekanisme Musik Terhadap Tubuh Manusia dan Perilaku
Gambaran mekanisme sensorik musik terhadap fisiologi tubuh manusia otak
bagian kiri adalah proses analisa kognitif dan aktifitas, sedangkan otak bagian
kanan sebagai proses artistik, aktifitas imajinasi. Unsur unsur musik yaitu irama,
nada dan intensitasnya masuk ke kanalis iuditorus telinga luar yang disalurkan
ketulang-tulang pendengaran, musik tersebut akan dihantarkan ke thalamus
berkurang (Djohan, 2016).
Musik mampu mengaktifkan memori yang tersimpan di limbik dan
mempengaruhi sistem syaraf otonom melalui neuritransmiter yang akan
memengaruhi hipotalamus lalu ke hipofise. Musik yang telah masuk ke kelenjar
hipofise mampu memberikan tanggapan terhadap emosi oral melalui feeback
negatif ke kelenjar adrenal untuk menekan pengeluaran hormon pinepris,
neropineprin dan dopamin yang disebut hormon-hormon stres. Masalah mental
seperti ketegangan dan stres berkurang (Djohan, 2016). Pengaruh musik dalam
perilaku di gambarkan pada gambar 2.5 sebagai berikut :
30
Gambar 2.2 Pengaruh Musik dalam Perilaku
Sumber : Stuart (2009)
2.3.4 Manfaat Terapi Musik
Menurut Sulistyowati (2009) terapi musik dapat meningkatkan inteligensi
seseorang, dapat menenangkan dan menyegarkan pikiran memotifasi dari segala
yang dilakukan, perkembangan kepribadian, memberi kekuatan komunikasi.
Terapi musik bertujuan untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan,
mengendalikan stress, mengurangi rasa sakit, mengekspresikan perasaan,
meningkatkan memori, meningkatkan kemampuan komunikasi, mempercepat
rehabilitasi (Pratiwi, 2008).
American Music Therapy Association (2008) mengungkapkan tujuan terapi
musik yaitu untuk meningkatkan kesehatan secara menyeluruh dalam fungsi
fisik dan fungsi sosial. Sedangkan tujuan spesifik untuk menurunkan
ketegangan otot, menurunkan kecemasan, menurunkan agresi, memperbaiki
hubungan interpersonal, meningkatkan motivasi, meningkatkan konsep diri,
meningkatkan kelompok yang kohesif, meningkatkan kemampuan verbal,
melepaskan emosi dengan nyaman.
Pengaruh musik
dalam perilaku
individu
Fisik
Inteligen
Emosi
Irama denyut nadi, denyut jantung, logat dan intonasi bicara, aliran darah,
tarikan nafas, kedipa mata, ayunan langkah dsb
Irama kerja, cepat-lambat berfikir, pola berfikir, sistematis, logis, linier,
harmonis dsb
Ekspresi meledak-ledak, datar, tenang, monoton, impulsive, tiba-tiba, agresif,
tak berdaya (dalam kondisi emosi)
31
Sedangkan menurut Sulistyowati (2009) manfaat terapi musik adalah untuk
memberikan rasa nyaman, menurunkan stress, kecemasan dan kegelisahan,
melepaskan tekanan emosi yang dialami, meningkatkan control diri dan
perasaan berharga pasien, meningkatkan kreatifitas, serta memotifasi pasienagar
dapat berinteraksi dan meningkatkan sosialisasi dengan orang lain, sehingga
dapat meningkatkan citra dirinya dan menghindarkan pasien dari keterasingan.
Dari penjelasan diperoleh tujuan terapi musik yaitu untuk meningkatkan
kesehatan secara menyeluruh dalam fungsi mental, fungsi fisik dan fungsi sosial.
Tujuan spesifikasi terapi musik enurut Stuart (2009) sebagai berikut:
1. Sebagai sarana mengekpresikan perasaan
2. Menurunkan tegangan otot
3. Menurunkan kecemasan
4. Menurunkan stress
5. Melepaskan tekanan emosiMenurunkan agitasi/kegelisahan
6. Memberikan rasa nyaman
7. Memotifasi pasien dapat berinteraksi dan meningkatkan sosialisasi dengan
orang lain
8. Meningkatkan kemampuan verbal
9. Meningkatkan kreatifitas
10. Meningkatkan kontrol diri
11. Meningkatkan perasaan berharga
12. Meningkatkan konsep diri
13. Mendengarkan musik di bagian kiri dan kanan telinga, dapat membuat
pikiran berkonsentrasi dan rileks
32
Sifat musik yang non verbal, menjangkau sistem limbik yang secara langsung
memengaruhi emosional dan reaksi fisik manusia seperti detak jantung, tekanan
darah, sirkulasi nafas, temperature tubuh (Sulistyowati, 2009). Penggunaan terapi
musik sebagai kesatuan kekuatan dan isyarat stimulus untuk untuk meningkatkan
atau memotifasi perilaku adaptif dan menghilangkan perilaku maladaptif. Dari
beberapa paraparan diatas disimpulkan bahwa terapi musik adalah terapi non
verbal, teknik penyembuhan yang memakai bunyi irama yang dapat dipakai untuk
mempengaruhi perubahan fisik, emosi, pikiran dan perilaku (Brucia, 1998 dalam
Djohan, 2016).
Menurut Djohan (2016), beberapa kriteria jenis musik yang dapat dijadikan
sebagai jenis musik terapis antara lain: musik yang dapat meningkatkan energi tubuh,
musik yang menstimulasi otak, musik yang membangkitkan suasana hati, musik
yang membangkitkan semangat, musik yang menenangkan pikiran, musik yang
melepaskan emosi, musik yang memulihkan semangat dan memotifasi perilaku, dan
musik yang mampu mengembangkan pikiran.
Suara dan musik dapat menjadi media penting dalam proses penyembuhan.
Gaynort dalam Djohan (2016), penulis buku Saund of Healing: A Physician Refeals the
Therapiutic Power of Saunds, Foice, and Music, mengatakan, “suara merasuk kedalam
kesehatan dengan cara mengubah fungsi sel melalui pengaruh energetik. Sistem
niologis kefungsi homeostatis; menenangkan pikiran dan tubuh; atau memiliki efek
emosional yang dapat memengaruhi neurotransmiter dan neuropeptides. Kondisi
tersebut pada gilirannya sangat membantu mengatur sistem kekebalan tubuh sebagai
penyembuh.”
33
2.3.5 Indikasi Terapi Musik
Terapi musik merupakan salah satu metode alternatif yang mendukung terapi
pada pasien gangguan jiwa. Indikasi terapi musik telah menjadi salah satu pelengkap
pada terapi gangguan jiwa seperti skizofrenia, gangguan emosional, stress dan
kecemasan (Sulistyowati, 2009). Penelitian tentang efek terapi musik pada anak
dengan perilaku kekerasan. Dilaporkan hasil yang didapatkan bahwa terdapat
perbaikan perilaku pada perilaku kekerasan dan peningkatan harga diri pada anak
setelah mendapat terapi musik.
Gold (2007) melakukan penelitian terapi musik untuk memperbaiki gejala pada
pasien skizofrenia dewasa di rumah sakit. Dilaporkan setelah mengikuti terapi musik
terjadi perbaikan gejala dibanding standar perawatan dalam 12 minggu Perubahan
Positive Negative Syndrome Scale (PANSS) dengan total skor -9.00 dengan musik
terapi ditambah standar perawatan (okupasi, sosial, aktivitas, dan asuhan
keperawatan) dibanding hanya memakai standar keperawatan (-2,96) dengan
P=0.045. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada pasien skizofrenia,
perilaku kekerasan, diberi tindakan dengan terapi musik hasilnya menunjukkan lebih
positif terjadi dibanding dengan pasien yang tidak menerima tindakan terapi musik.
2.3.6 Jenis Terapi Musik
Pusat Terapi Indonesia tahun 2016 menyatakan bahwa pada dasarnya hampir
semua jenis musik dapat digunakan untuk keperluan terapi musik. Namun, setiap
musik sebelumnya harus diketahui dapat memberikan pengaruh terhadap pikiran
manusia. Setiap nada, melodi, ritme, harmoni, timbre, bentuk dan gaya musik
akan memberi pengaruh yang berbeda terhadap pikiran dan tubuh. Dalam terapi
musik, komposisi musik disesuaikan dengan masalah atau tujuan yang ingin
dicapai.
34
“Music therapists utilize music as a therapeutic tool; the genre and type of instrument is
tailored to the individual and to the goals that are established between the client and the music
therapist. Since music choice/usage is tailored to each client’s needs and preferences, there is
really no "most common" type of music or instrument. All styles of music have the potential to
be useful in effecting change in a client’s or a patient's life. The individual's preferences,
circumstances and need for treatment, and the goals established will help the trained music
therapist determine what music to use’’ (American Music Therapy Association, 2008).
Menurut asosiasi terapi musik Amerika pada tahun 2008 terapi musik
menggunakan musik sebagai alat terapi, genre dan jenis instrumen disesuaikan
dengan individu berdasarkan tujuan yang ditetapkan antara klien dan terapis
musik. Karena pilihan/penggunaan musik disesuaikan dengan kebutuhan dan
preferensi masing-masing klien, tidak ada jenis terapi musik "paling umum" dari
musik atau instrumen. Semua gaya musik memiliki potensi untuk menjadi
berguna dalam mempengaruhi perubahan klien atau hidup pasien. preferensi,
keadaan individu dan kebutuhan untuk perawatan, dan tujuan yang ditetapkan
akan membantu terapis musik terlatih menentukan jenis musik apa yang cocok
digunakan untuk pasien.
2.3.7 Terapi Musik Tradisional Jawa
Terapi kejiwaan dapat dilakukan dengan mengembangkan berpikir positif
melalui pendekatan budaya. Produk budaya Jawa yang dapat dijadikan alternatif
terapi kejiwaan adalah dengan mendengarkan musik tradisional jawa yang dapat
dipadukan dengan terapi yang lain (Jatirahayu, 2015).
Banyak penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan musik tradisional
jawa sebagai musik terapi kejiwaan antara lain penelitian yang dilakukan oleh
35
Firdawati & Sujono Riyadi yakni tentang hubungan terapi musik keroncong
dengan tingkat depresi pada lansia di Panti Wredha Budhi Dharma Yogyakarta
pada tahun 2014 (Firdawati & Sujono, 2014) dan penelitian yang dilakukan oleh
Jatirahayu tentang terapi depresi dengan gamelan jawa (Jatirahayu, 2015).
Selain itu, terapi musik tradisional juga telah digunakan sebagai terapi musik
kejiwaan di beberapa Rumah Sakit Jiwa (RSJ) salah satunya adalah RSJ Soerojo
Kota Magelang, Jawa Tengah, yakni dengan memperdengarkan pasien dalam
bentuk pagelaran seni tradisional seperti jatilan. Hasilnya cukup signifikan bagi
pasien yang memiliki latar belakang budaya Jawa. Ini membuktikan bahwa terapi
budaya (yang disesuaikan dengan pola pikir dan tata nilai) dapat digunakan untuk
terapi kejiwaan (Kusuma, 2015).
Ada beberapa alasan gamelan Jawa dapat digunakan sebagai terapi kejiwaan
(Kusuma, 2015), antara lain:
1. Gamelan Jawa mampu mempengaruhi, menggerakkan alam sekitar.
Dengan mendengarkan gamelan Jawa dapat tercipta atmosfir yang di
kehendaki oleh irama gamelan ini. Sejak abad 5-6, masyarakat jawa
mengenal alat musik gamelan. Gamelan dibuat sebagai alat musik
pentatonis yang mampu menciptakan gelombang elektro magnetis.
2. Gamelan juga dipakai sebagai terapi jiwa pada manusia. Gamelan adalah
alat musik tradisional Jawa. Gamelan semacam simponi atau orkestra ala
barat, karena gamelan juga menggunakan banyak instrumen. Ini
membuktikan bahwa nilai rasa musikal dapat mempengaruhi pola
pertumbuhan syaraf otak. Gamelan dapat digunakan untuk terapi
gangguan kejiwaan. Gamelan Jawa kini telah dipakai sebagai salah satu
36
bentuk pengobatan komplementer bagi pasien-pasien dengan gangguan
kejiwaan pada beberapa rumah sakit di Inggris.
3. Gamelan di Eropa juga dikembangkan sebagai terapi. Di Paris sudah ada
beberapa penjara yang mengembangkan program gamelan untuk terapi
bagi penghuni penjara. ”Penghuni penjara (Eropa), yang biasanya
individualis dan tak mau mendengarkan orang, melalui gamelan bisa
bekerjasama. Mereka menabuh demung, misalnya, harus menguping yang
menabuh bonang dan sebagainya. Mereka jadi belajar hidup kolektif,”
kata Supanggah yang pada pementasan Megalitikum Kuantum dalam
rangka ulang tahun ke-40 harian Kompas di Jakarta Convention Center,
Jakarta, tanggal 29-30 Juni 2005 dalam tugas menggarap gamelan saat
mengetengahkan Ketawang Puspowarno ciptaan Mangkunegara IV.
4. Gamelan di Inggris juga dikenal melalui program Good Vibrations.
Program ini dibuat di penjara Top Security Prison Wakefield untuk mengatasi
masalah kejiwaan dan perilaku manusia yang putus asa karena terjerat
narkoba, kriminalitas dan psikologi berat. Dengan konsep berekspresi
lewat musik gamelan yang mengutamakan kebersamaan, toleransi,
kerjasama, dan pengendalian emosi, program ini telah berhasil dijalankan.
Hingga saat ini telah lebih dari 14 penjara mengadopsi sistem ini. Walau
dalam berbagai bidang prestasi Indonesia masih belum berkumandang,
setidaknya dengan berkumandangnya gamelan diberbagai penjuru dunia
mampu melantunkan tembang perdamaian di dunia.
37
Selain terapi musik gamelan, terapi musik keroncong juga dapat
digunakan pada pasien kejiwaan seperti penelitian yang dilakukan oleh
Firdawati & Sujono (2014) menyimpulkan bahwa dalam permainan musik
keroncong dapat menenangkan pikiran, menghilangkan perasaan bosan dan
jenuh, kebebasan dalam mengekspresikan perasaan ke dalam musik, baik
bernyanyi, menari ataupun dengan hanya mendengarkan. Sependapat dengan
teori Djohan, (2016) yang menyatakan bahwa penggunaan terapi musik
ditentukan oleh intervensi musikal dengan maksud memulihkan, menjaga,
memperbaiki emosi, fisik, psikologis, dan kesehatan serta kesejahteraan
spiritual.
2.3.8 Proses Terapi Musik
Di Indonesia, secara formal akademis bidang terapi musik belum banyak
memperoleh penelitian sebaliknya praktik terapi musik dinegara-negara maju telah
dibakukan sebagai ilmu pengetahuan dan bagian dari terapi sehingga sudah memilki
panduan tahapan yang perlu dilakukan untuk mengaplikasikan.
Seorang terapis musik dituntut untuk memamahami benar mengapa dan oleh
siapa seorang klien untuk dirujuk untuk memperoleh terapi. Terapis musik perlu
mempelajari lebih dulu riwayat kesehatan seperti data rekam medis dan data
pemeriksaan psikologis. Selian data-data klien, dibutuhkan kreatifitas terapis untuk
mengembangkan rancangan terapi yang sesuai dengan klien serta kemampuan untuk
bersikap lentur terhadap keadaan dilapangan.
38
Menurut Djohan (2016), proses-proses dalam terapi musik antara lain:
1) Asesmen
Asesmen adalah serangkaian analisis terhadap kemampuan, kebutuhan
dan permasalahan klien yang harus dilengkapi sebelum seseorang menjalani
terapi. Di dalam asesmen, terapis musik melakukan observasi meyeluruh
terhadap kliennya sehingga ia memperoleh gambaran yang lengkap tentang
latar belakang, keadaan sekarang, keterbatasan klien dan potensi-potensi
yang masih dapat dikembangkan.
2) Perencana perlakuan
Setelah data asesmen terkumpul dan dianalisis, langkah berikutnya
adalah mematangkan rencana perlakuan terapi musik. Hal-hal yang perlu
ditentukan dalam proses ini yakni menentukan sasaran dan objek terapiutik
serta sistem pengumpulan data. Metode pengumpulan data yang termudah
dan terpopuler adalah melalui rekaman frekuensi dan durasi (Ottenbacher
dalam Djohan, 2016). Terapi musik dapat dilakukan dengan frekuensi 7 kali
perlakuan berupa pemberian terapi musik dengan tiap kali pelaksaan
dilakukan dengan durasi waktu 30 menit (Candra & Ekawati, 2013).
3) Pencatatan
Sebuah proses terapi musik perlu mempertimbangkan riwayat kesehatan
klien dari banyak sisi. Selain riwayat sebelum terapi seluruh proses terapi
juga harus dicatat sehingga terapis musik perlu mempelajari hasil rekam
diagnosis dan hal-hal yang berkaitan dengan rekam medis. Informasi ini
harus ditulis dengan jelas, ringkas tidak bersifat memihak dan mengadili
serta menggunakan terminologi objekstif. Salah satu metode dokumentasi
39
yang banyak digunakan dirumah sakit disebut APIP (Luksch dalam Djohan
2016) yang terdiri dari:
A= Asesmen. Pada bagian ini terapis menuliskan kebutuhan klien sesuai
penilaian awal yang dilakukan serta seberapa jauh klien masih dapat
berfungsi secara fisik dan sosial. Terapis juga memberikan gambaran
tentang sejumlah assesment spesifik yang sesuai kebutuhan klien.
P= Perencanaan. Terapis membuat daftar semua sasaran yang ingin dicapai
melalui terapi dan membuat rincian untuk setiap sesi dan intervensi yang
digunakan
I= Intervensi. Dengan terminologi yang mudah dipahami, terapis
menuliskan secara objektif hasil obserfasi selama terapi berlangsung, proses
intervensi, lamanya sebuah sesi berlangsung, jumlah klien dalam kelompok,
kualitas sesi dan ekspresi-ekspresi efektif yang terlihat.
E= Evaluasi. Pada bagian akhir ini terapis melakukan evaluasi terhadap
kesesuaian antara sasaran yang ingin dicapai dengan hasil akhir setiap sesi,
kemajuan klien secara umum, serta pengalaman-pengalaman yang spesifik
yang dialami klien.
4) Evalusai dan terminasi perlakuan
Pada bagian ini terapis menyiapkan kesimpulan akhir dari proses
perlakuan dan membuat rekomendasi untuk ditindak lanjuti. Beberapa hal
pennting yang perlu diperhatikan adalah mengembangkan sasaran dan
objek. Sasaran adalah pernyataan secara luas sedangkan objek menjelaskan
secara rinci perlakuan yang akan diterima oleh klien. Selama perlakuan
kemajuan klien dimonitor secara menyeluruh melalui data subjektif dan
objektif ketika klien mencapai target perlakuan maka perlakuan dihentikan.
40
Pada saat itu, terapis membuat efaluasi keseluruhan proses terapi musik
termasuk sasaran yang direncang dan kemajuan yang diperoleh. Setelah itu
akan dibuat rekomendasi untuk perlakuan selanjutnya atau perlakuan lain
bila suatu saat diperlukan.
2.3.9 Langkah-Langkah Terapi Musik
Menurut Goog, et. al dalam Sulistyowati (2009) menyatakan bahwa terapi musik
dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a) Menetapkan sasaran terapi.
Sasaran dalam repi musik diindikasikan melalui target yang akan dituju.
Target harus jelas berdasarkan alasan-alasan dan informasi yang dikumpulkan
dari hasil penelitian. Beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan ketika
memilh sasaran dan target perilaku adalah nilai atau manfaat, prasyarat,
hambatan, proses penilaian, proses awal peralihan terapi, persetujuan,
keberhasilan data-data awal dan efesiensi.
b) Membangun relasi
Saat pertama kali bertatap muka dengan klien merupakan awal dari
pengalaman baru, hubungan baru dan dinamika yang baru. Perjumpaan awal
diupayakan menggunakan waktu yang seproduktif mungkin dan menjalin
hubungan terapeutik yang sehat sehingga dapat menentukan peran dan espektasi
yang akan datang. Salah satu unsur terpenting dalam keberhasilan program
terapi adalah terjadinya hubungan saling percaya antara terapis dan klien. setelah
tercapai kesepakatan, pertemuan pertama diakhiri dengan kontrak yang berisi
tanggung jawab kedua belah pihak termasuk jadwal, waktu, cara pembayaran,
lama terapi dan kebijakan yang menyangkup kerahasiaan klien.
41
Bebapa pedoman guna mengembangkan hubungan antara lain:
1) Memperkenalkan diri dan mengusahakan agar klien merasa nyaman dengan
menemukan topik pembicaraan yang dapat menjadi pembuka,
menginformasikan tentang identitas terapis, terapi musik dan pemahaman
mengapa klien berada ditempat terapi.
2) Kegiatan terapi lebih dititik beratkan pada observasi mengamati dan
mendengarkan
3) Gunakan bahasa tubuh yang menunjukkan ketertarikan, salam yang positif
dan perhatian.
4) Ajukan pertanyaan dalam rangka mengklarifikasi apa yang hendak
dikomunikasikan klien.
5) Menawarkan kesempatan kepada klien untuk memilih dan mengikutsertakan
aktifitas musik.
6) Memaksimalkan aktifitas interaksi musikal yang ada dengan memberikan
dukungan yang dibutuhkan
7) Melatih kesabaran
c) Proses asesmen awal
Pada tahap ini seorang terapis harus sedapat mungkin mencari gambaran
yang lengkap dan menyeluruh mengenai kliennya. Salah satunya adalah
melakukan uji keterampilan musik yang telah dirancang.
d) Asesmen komprehensif
Sebelum klien menjalani terapi musik perlu diberikan assesmen konprehensif
mengenai manfaat yang diperoleh dari terapi musik. Laporan konprehensif
assesmen adalah garis besar dari assesmen awal tetapi lebih mendalam.
42
e) Target perilaku
Pada tahap ini berguna untuk mengetahui perubahan klien melalui sebuah
pengukuran. Beberapa pedoman dalam merancang sasaran baik dalam jangka
panjang maupun jangka pendek antara lain:
1) Mejelaskan hasil pengamatan terhadap perilaku yang terukur: menggunakan
kata-kata yang mudah diinterpretasikan dan jelaskan apa yang telah
dilakukan.
2) Pastikan petunjuk ada tidaknya perubahan: apakah ada peningkatan perilaku,
penurunan perilaku atau tetap saja dan secara tepat seberapa banyak.
3) Gambarkan batasan-batasan: sebutkan setiap kondisi, spesifikasi dan kriteria
keberhasilan.
f) Strategi terapi
Berbagai strategi musik dapat dilakukan dalam terapi musik dengan
menggunakan aneka macam alat musik, genrde musik, pendekatan, sistem,
metode, aliran maupun falsafah. Mekanisme pelaksanaan terapi musik
berdasarkan beberapa penelitian, bentuk, dan perencanaan mendengarkan
musik secara struktur berbeda-beda, para ahli medikal riset dalam beberapa
tahun ini telah mengetahu pengaruh yang positif dalam medikal resonansi
musik. Prosedur terapi musik yang dapat digunakan sebagai dasar pembuatan
sesi terapi musik menurut Pratiwi (2008) sebagai berikut :
a. Pilih tempat yang tenang jauh dari gangguan
b. Kegiatan mendengarkan dapat disertai dengan aroma terapi
c. Sebelum mulai pasien didengarkan berbagai musik, untuk membantu
menenangkan tubuh sehingga lebih mudah untuk pemilihan.
43
d. Posisi tubuh duduk bersila dengan posisi tegak kaki bersilang, ambil nafas
dalam-dalam dan keluarkan
e. Saat musik diperdengarkan, arahkan pasien untuk mendengarkan dengan
seksama dan resapi musik
f. Posisi dapat duduk lurus, didepan speaker, biarkan musik mengalir
keseluruh tubuh, biarkan suaranya hanya bergaung ditelinga
g. Bayangkan gelombang suara datang mengalir ke seluruh tubuh, musik
dirasakan secara spesifik, fisik, difokuskan ke jiwa. Musik difokuskan
ditempat yang ingin disembuhkan melalui suara yang mengalir kesana
h. Musik didengarkan, membayangkan aliran musik mengalir melewati seluruh
tubuh diteruskan ke sel-sel lapisan dan organ dalam tubuh
i. Idealnya terapi musik difokuskan kurang lebih 30 menit. Terapi musik 10
menit sehingga cukup membuat otak beristirahat.
Durasi dan frekuensi dalam pelaksanaan terapi musik beberapa penelitian
mengungkapkan bentuk dan perencanaan mendengarkan musik secara
struktur berbeda-beda. Siedleck (2008, dalam Sulistyowati, 2009) mengatakan
bahwa dalam pelaksanaan pemberian durasi dalam terapi musik dilaporkan
berbeda-beda dari 10 menit, 15 menit, 20 menit, 30 menit, sampai 90 menit.
Frekuensi dalam pelaksanaan terapi musik diberikan satu atau dua kali dalam
sehari. Lehrman (2008, dalam Sulistyowati, 2009) menyebutkan bahwa
mendengar musik lebih baik kurang dari 15-20 menit sudah cukup. Frekuensi
dalam pelaksanaan terapi musik diberikan satu atau dua kali dalam satu hari
(Goog et all, 1999 dalam Sulistyowati, 2009).