32
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Skizofrenia 2.1.1 Pengertian Skizofrenia Menurut Yosep & Sutiani (2014), skizofrenia (scizophrenia) adalah gangguan yang terjadi pada fungsi otak. Bukti-bukti terkini tentang serangan skizofrenia merupakan suatu hal yang melibatkan banyak faktor. Faktor-faktor itu meliputi perubahan struktur fisik otak, perubahan struktur kimia otak, dan faktor genetik. Skizofrenia merupakan penyakit neorologis yang mempengaruhi persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya Skizofrenia adalah sindrom dengan berbagai presentasi dan satu variabel, perjalanan penyakit umumnya jangka panjang, serta sering kambuh. Skizofrenia merupakan bentuk gangguan psikotik (penyakit mental berat) yang relatif sering. Prevalensi seumur hidup hampir mencapai 1%. Insiden setiap tahunnya sekitar 10-15 per 100.000, dan perawatan rata-rata di dokter umum adalah 10- 20 pasien skizofrenia, bergantung pada lokasi dan lingkungan sosial tempat praktik (Kaplan & Sadock, 2007). Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang bersifat kronis atau kambuh ditandai dengan terdapatnya perpecahan (schism) antara pikiran, emosi dan perilaku pasien yang terkena (Kaplan & Sadock, 2007). Perpecahan pada pasien digambarkan dengan adanya gejala fundamental (primer) spesifik, yaitu gangguan pikiran yang ditandai dengan gangguan asosiasi, khususnya kelonggaran sosiasi. Gejala fundamental lainnya 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

  • Upload
    lydieu

  • View
    223

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Skizofrenia

2.1.1 Pengertian Skizofrenia

Menurut Yosep & Sutiani (2014), skizofrenia (scizophrenia) adalah gangguan

yang terjadi pada fungsi otak. Bukti-bukti terkini tentang serangan skizofrenia

merupakan suatu hal yang melibatkan banyak faktor. Faktor-faktor itu meliputi

perubahan struktur fisik otak, perubahan struktur kimia otak, dan faktor

genetik. Skizofrenia merupakan penyakit neorologis yang mempengaruhi

persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

Skizofrenia adalah sindrom dengan berbagai presentasi dan satu variabel,

perjalanan penyakit umumnya jangka panjang, serta sering kambuh. Skizofrenia

merupakan bentuk gangguan psikotik (penyakit mental berat) yang relatif

sering. Prevalensi seumur hidup hampir mencapai 1%. Insiden setiap tahunnya

sekitar 10-15 per 100.000, dan perawatan rata-rata di dokter umum adalah 10-

20 pasien skizofrenia, bergantung pada lokasi dan lingkungan sosial tempat

praktik (Kaplan & Sadock, 2007). Skizofrenia merupakan gangguan psikotik

yang bersifat kronis atau kambuh ditandai dengan terdapatnya perpecahan

(schism) antara pikiran, emosi dan perilaku pasien yang terkena (Kaplan &

Sadock, 2007). Perpecahan pada pasien digambarkan dengan adanya gejala

fundamental (primer) spesifik, yaitu gangguan pikiran yang ditandai dengan

gangguan asosiasi, khususnya kelonggaran sosiasi. Gejala fundamental lainnya

12

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

13

adalah gangguan afektif, autisme, dan ambivalensi. Sedangkan gejala

sekundernya adalah waham dan halusinasi (Kaplan & Sadock, 2007).

2.1.2 Penyebab Skizofrenia

Menurut Simanjuntak (2008), skizofrenia adalah sejenis penyakit yang

disebabkan oleh faktor-faktor yang sampai hari ini belum diketahui dengan

pasti. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penderita umumnya mengalami

ketidakseimbangan pada cairan kimia otak, khusunya ketidakseimbangan pada

dua jenis cairan kimia otak, yakni dopamine dan serotonin. Dopamine adalah

cairan kimia yang bertanggung jawab terhadap emosi dan penyebab penyakit

ini. Oleh karena itu, sampai saat ini terdapat banyak konsep tentang faktor-

faktor penyebabnya.

Menurut Ingram, Timbury, & Mowbray (1993, dalam Hidayati, 2011)

penyebab skizofrenia belum diketahui dengan jelas dan merupakan suatu

tantangan riset terbesar bagi pengobatan kontemporer. Telah banyak riset yang

dilakukan dan telah banyak faktor presdisposisi dan pencetus yang diketahui.

Menurut Simanjuntak (2008), penyebab skizofrenia adalah sebagai berikut:

1. Faktor Genetis

Bukti keterlibatan genetik sebagai penyebab skizofrenia semakin kuat.

Hingga 50% kembar identik (homozigotik) menderita diagnosis yang sama,

dibandingkan dengan kembar non identik (dizigotik) sekitar 15%. Kekuatan

faktor genetik bervariasi pada setiap keluarga, tetapi sekitar 10% kerabat

langsung pasien (orang tua, saudara kandung, dan anak) juga menderita

skizofrenia, demikian pula pada 50% anak yang kedua orang tuanya menderita

skizofrenia (Kaplan & Sadock, 2007).

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

14

Pada studi anak kembar dijumpai kemungkinan yang cukup besar jika

saudara kandung penderita adalah skizoprenik. Dari faktor genetis skizofrenia

diwariskan secara multifaktorial, yang artinya penyakit ini tidak hanya

dipengaruhi atau disebabkan oleh faktor genetis tetapi juga lingkungan

(Simanjuntak, 2008)

2. Faktor Non-genetis

a. Faktor Lingkungan

Sebagian dari para ahli menyatakan bahwa faktor lingkungan yang

menjadi penyebab utama skizofrenia. Faktor-faktor lingkungan yang

mempengaruhi atau menimbulkan penyakit skizofrenia antara lain adalah

kebudayaan, ekonomi, pendidikan, faktor sosial, penggunaan obat-obatan,

stress karena pemerkosaan, penganiayaan yang berat, perceraian, dan lain

sebagainya (Simanjuntak, 2008).

b. Faktor Biologi

Faktor biologi adalah faktor sebagai penyebab suatu kepribadan yang

peka terhadap stress. Teori psikoanalisis beranggapan bahwa berbagai gejala

skizofrenia mempunyai arti simbolik untuk penderita secara individu,

misalnya fantasi tentang kiamatnya dunia menunjukkan bahwa alam internal

penderita telah hancur (Simanjuntak, 2008).

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

15

2.1.3 Gejala Skizofrenia

Menurut Varvarolis, Carson dan Shoemaker (2006, dalam Hidayati, 2011),

gejala skizofrenia dikategorikan menjadi 2 yaitu:

1. Gejala Positif

Skizofrenia gejala positif yaitu bertambahnya atau distorsi dari fungsi

normal tubuh, gejala ini sering responsive terhadap obat antipsikosis tipikal

atau tradisional. Gejala positif yaitu halusinasi, delusi, perilaku kekerasan,

agresif, agitasi, repetisi, perilaku stereotip dan disorganisasi bicara (Stuart,

2009). Survey yang dilakukan oleh “The National Institute of Nursing Health’s

Epidemiologic Cathchment Area “ terhadap 10000 orang yang pernah melakukan

perilaku kekerasan sebanyak 11,7 % terdiagnosa skizofrenia (Kaplan & Sadock,

2007).

2. Gejala Negatif

Gejala negatif skizofrenia yaitu penurunan afek, alogia, kurang motivasi,

anhedonia, penurunan interaksi sosial dan penurunan perhatian. Gejala negatif

terkadang ditandai dengan berkurangnya atau hilangnya fungsi norma

seseorang sering kurang responsif terhadap antipsikotik tradisional dan lebih

responsif terhadap antibiotik atipikal.

Menurut American Psychiatric Associations (2000, dalam Hidayati 2011),

beberapa penelitian melaporkan bahwa kelompok individu yang didiagnosis

skizofrenia mempunyai insiden lebih tinggi untuk melakukan perilaku

kekerasan. Perilaku kekerasan meningkat risikonya pada pasien skizofrenia

dengan gejala postif. Menurut Stuart (2009), gejala skizofrenia secara umum

adalah sebagai berikut :

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

16

a. Kemampuan kognitif

Terjadinya kemampuan kognitif menurut Sulistyowati (2009) adalah faktor

neuroanatomi, psikologis, lingkungan, dan faktor lainnya. Sedangkan menurut

Stuart (2009) kognitif merupakan tindakan atau proses pengetahuan yang

melibatkan kesadaran dan penilaian yang memungkinkan otak untuk

memproses informasi dengan cara yang menjamin akurasi, penyimpanan, dan

pengambilan.

Proses pengetahuan yang melibatkan kesadaran diperlukan untuk

mengetahui kondisi otak untuk proses informasi dalam hal ketelitian,

penyimpangan. Seseorang dengan skizofrenia seringkali tidak sanggup untuk

menghasilkan logika berfikir yang kompleks dan mengungkapkan kalimat yang

berhubungan kerane neurotransmitter dalam proses sistem informasi otak

mengalami kelainan fungsi (Stuart, 2009).

b. Emosi

Emosi yang menggambarkan sebagai suasana hati dan afek. Suasana hati

atau Mood merupakan sebagian nada perasaan yang luas dan berkelanjutan yang

dapat dialami selama beberapa jam atau selama bertahun-tahun dan terasa

dapat mempengaruhi pandangan dunia seseorang. Afek mengacu pada perilaku

yang seperti gerakan tangan dan tubuh, ekspresi wajah, dan nada suara yang

dapat diamati ketika seseorang mengekspresikan dan mengalami perasaan dan

emosi (Stuart, 2009).

Pasien skizofrenia umumnya memiliki gejala, pasien merasakan bahwa

mereka tidak lagi memiliki perasaan dan bahwa mereka memiliki kemampuan

menurun untuk merasakan keintiman dan kedekatan dengan orang lain.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

17

Menurut Videbeck (2008), emosi yang biasanya terlihat pada skizofrenia adalah

ketidakmampuan untuk mengalami kesenangan, sukacita, dan kedekatan,

kurangnya perasaan emosi, kepentingan, atau keprihatinan.

c. Perilaku

Perilaku adalah respon individu terhadap stimulus baik yang berasal dari

luar maupun dari dalam dirinya. Perilaku adalah aktivitas yang timbul dari

stimulus dan respon serta dapat diamati secara langsung maupun tidak

langsung, perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap

organisme, dan organisme tersebut tersebut menstimulus atau meresponnya.

Dengan eksplorasi banyak perilaku dapat dijelaskna dan gerakan dapat

dipahami. Perilaku maladaptif dalam skizofrenia termasuk memburuk

penampilan, kurangnya ketekunan di tempat kerja atau sekolah, perilaku

berulang atau stereotip, agresi. Agitasi dan negatif (Stuart, 2009).

Menurut Turkingto (2004, dalam Hidayati, 2011) perilaku agresif, agitasi,

dan perilaku kekerasan sering digunakan untuk menggambarkan pasien dengan

skizofrenia. Namun, pasien skizofrenia umunya adalah korban, pasien

mengalami psikosis melakukan kekerasan, terutama ketika penyakit pasien

berada di luar kendali atau pasien berhenti memakai obat-obatan. Perilaku

kekerasan merupakan salah satu dari respon maladaptif.

Menurut Townsend (2009), tanda dan gejala perilaku kekerasan dapat

diketahui secara afektif yaitu akan ditemukan iritabilitas, ketidaknyamanan dan

ketegangan terus-menerus, suasana hati marah, cemas, rasa bersalah, frustasi

serta kecurigaan. Seseorang yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak

berdaya, jengkel, merasa ingin berkelahi, mengamuk, bermusuhan, sakit hati,

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

18

menyalahkan, menuntut, mudah tersinggung, euforia yang berlebihan atau tidak

tepat, dan afek yang labil pada pasien.

d. Sosial

Seseorang dalam kontak sosial akan mempelajari tingkah laku orang lain

kemudian juga akan melakukan tingkah laku orang tersebut. Sosialisai

merupakan kemampuan untuk membentuk hubungan kerjasama dan saling

bergantung dengan orang lain. Masalah sosial yang biasanya terjadi dari

penyakit secara langsung maupun tidak langsung, efek langsung terjadi ketika

gejala mencegah orang dari sosialisasi yang berlaku dalam norma-norma budaya

sosial atau ketika motivasi memburuk, yang mengakibatkan penarikan sosial

dan isolasi dari kegiatan kehidupan (Townsend, 2009).

2.1.4 Tipe Skizofrenia

Tipe Skizofrenia menurut Copel (2007) sebagai berikut :

a. Skizofrenia Paranoid

Ditemukan tanda berupa pikiran dipenuhi dengan waham sistemik,

halusinasi pendengaran, ansietas, marah, argumentative, berpotensi

melakukan perilaku kekerasan.

b. Skizofrenia Takterorganisasi

Ditemukan tanda berupa perilaku kacau, kurang memiliki hubungan,

kehilangan asosiasi, bicara tidak teratur, perilaku kacau, bingung, gangguan

kognitif.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

19

c. Skizofrenia Katatonia

Ditemukan tanda berupa gangguan psikomotor, mutisme, ekolalia,

ekopraksia.

d. Skizofrenia Takterinci

Ditemukan tanda berupa waham, halusinasi, tidak koheren, perilaku

tidak terorganisasi.

e. Skizofrenia Residual

Ditemukan tanda berupa minimal mengalami satu episode skizoprenik,

emosi tumpul, menarik diri dari realita, keyakinan aneh Pemikiran tidak

logis, kehilangan asosiasi, perilaku eksentrik.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Keliat, dkk (2008) tentang

karakteristik pasien yang dirawat di bangsal MPKP, dari 79 orang pasien

ditemukan pasien perilaky kekerasan sebesar 68,57 % atau sebanyak 35

orang, 43,7 % atau 31 orang lainnya didiagnosis skizofrenia paranoid.,

sedangkan sisanya termasuk skizofrenia jenis lain.

2.2 Perilaku Kekerasan

2.2.1 Pengertian Perilaku Kekerasan

Perilaku kekerasan merupakan respon terhadap stressor yang dihadapi oleh

seseorang, yang ditunjukkan dengan perilaku aktual melakukan kekerasan, baik

pada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan, secara verbal maupun

nonverbal, bertujuan melukai orang lain secara fisik maupun psilologis.

Suatu keadaan dimana seorang individu mengalami perilaku yang dapat

melukai secara fisik baik terhadap diri sendiri atau orang lain (Towsend, 2009).

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

20

Suatu keadaan dimana pasien mengalami perilaku yang dapat membahayakan

pasien sendiri, lingkungan termasuk orang lain dan barang-barang.

2.2.2 Rentang Kemarahan

Perilaku kekerasan merupakan status rentang emosi dan ungkapan

kemarahan yang dimanifestasikan dalm bentuk fisik. Kemarahan tersebut

merupakan suatu bentuk komunikasi dan proses penyampaian pesan dari

individu. Orang yang mengalami kemarahan sebenarnya ingin menyampaikan

pesan bahwa ia “tidak setuju, tersinggung, merasa tidak dianggap, merasa tidak

dituruti atau diremehkan” rentang respons kemarahan individu dimulai dari

respons normal (asertif) sampai pada respons sangat tidak normal (maladaktif)

Respons Adaktif Respons Maladaktif

Tabel 2.1 Tabel Rentang Kemarahan

Sumber : Putra (2012)

Asertif Frustuasi Pasif Agresif Kekerasan

Pasien mampu mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan memberikan kelegaan

Pasien gagal mencapai tujuan kepuasan /saat marah dan tidak dapat menemukan alternatif

Pasien merasa tidak dapat mengungkapkan perasaannya, tidak berdaya dan menyerah

Pasien mengekspresikan secara fisik, tapi masih terkontrol, mendorong orang lain dengan ancaman

Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat dan hilang kontrol, disertai amuk, merusak lingkungan

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

21

2.2.3 Proses Terjadinya Perilaku Kekerasan

2.2.3.1 Faktor Predisposisi

a. Teori Biologis

1. Teori dorogan naluri (Intinctual drive theory)

Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebabkan oleh

suatu dorongan kebutuhan dasar yang kuat.

2. Teori Psikomatik (Psycomatic theory)

Pengalaman marah adalah akibat dari respon psikologis terhadap

stimulus eksternal, internal maupun lingkungan. Dalam hal ini system

limbic berperan sebagai pusat untuk mengekspresikan maupun

menghambat rasa marah.

b. Faktor Psikologis

1. Teori agresif frustasi (Frustasion aggression theory)

Menurut teori ini perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil akumulasi

frustasi yang terjadi apabila keinginan individu untuk mencapai sesuatu

gagal atau terhambat. Keadaan tersebut dapat mendorong ondividu

berperilaku agresif karena perasaan frustasi akan berkurang melalui

perilaku kekerasan.

2. Teori Perilaku (Behavioral theory)

Kemarahan adalah proses belajar, hal ini dapat dicapai apabila

tersedia fasilitas atau situasi yang mendukung reinforcement yang

diterima pada saat melakukan kekerasan, sering mengobservasi

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

22

kekerasan di rumah atau di luar rumah. Semua aspek ini menstimulasi

individu mengadopsi perilaku kekerasan.

3. Teori eksistensi (Existential theory)

Bertindak sesuai perilaku adalah kebutuhan yaitu kebutuhan dasar

manusia apabila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi melalui

perilaku konstruktif maka individu akan memenuhi kebutuhannya

melalui perilaku destruktif.

c. Faktor sosiokultural

1. Social enviroment theory ( teori lingkungan )

Lingkungan sosial akan mempengaruhi sikap individu dalam

mengekspresikan marah. Budaya tertutup dan membalas secara diam

(pasif agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku

kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan

diterima.

2. Social learning theory ( teori belajar sosial )

Perilaku kekerasan dapat dipelajari secara langsung maupun melalui

proses sosialisasi.

2.2.3.2 Faktor Presipitasi

Stressor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu

bersifat buruk. Stressor tersebut dapat disebabkan dari luar maupun dalam.

Contoh stressor yang berasal dari luar antara lain serangan fisik, kehilangan,

kematian, krisis dan lain-lain. Sedangkan dari dalam adalah putus hubungan

dengan seseorang yang berarti, kehilangan rasa cinta, ketakutan terhadap

penyakit fisik, hilang kontrol, menurunnya percaya diri dan lain-lain. Selain itu

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

23

lingkungan yang terlalu ribut, padat, kritikan yang mengarah pada

penghinaan, tindakan kekerasan dapat memicu perilaku kekerasan

2.2.4 Tanda dan gejala perilaku kekerasan

2.2.4.1 Fisik

Tanda dan gejala secara fisik pada pasien perilaku kekerasan dapat berupa

ketegangan tubuh, muka merah, pandangan tajam, nadi dan pernafasan

meningkat (Keliat, dkk, 2008). Gejala fisik lainnya yaitu tidur terganggu, sakit

kepala, sakit perut, rahang mengatup, sikap tubuh kaku/rigit, mengepalkan

jari, rahang terkunci, hiperaktifita, denyu jantung cepat, nafas terengah-engah

dan cara berdiri mengancam (Stuart, 2009). Tanda dan gejala fisik secara

umum yang dapat diamati pada pasien perilku kekerasan adalah muka merah,

pandangan tajam, tekanan darah meningkat, nadi meningkat, pernafasan

meningkat, tidur terganggu, rahang mengatup dan tangan mengepal.

2.2.4.2 Emosional

Tanda dan gejala secara emosional pada pasien dengan perilaku kekerasan

berupa : agitasi meningkat, cemas, mudah frustasi, tempertantrum, merasa

tidak aman, merasa terganggu, jengkel, cepat marah, muram, lesu, cemas,

suara keras, mengeluarkan sumpah serapah, berteriak, memaksa meminta

hak istimewah dan menolak intruksi (Stuart, 2009). Tanda gejala emosional

secara umum ditemukan pada pasien perilaku kekerasan adalah jengkel, cepat

marah, muram, lesu, cemas, suara keras, memaksa, memaksa hak istimewah

dan menolak intruksi.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

24

2.2.4.3 Kognitif

Keliah, dkk (2008) menyatakan secara kognitif gejala pasien dengan

perilaku kekerasan adalah: mudah bingung, penuh hayalan, senang

membantah, menentang, mengancam secara verbal dan merencanakan

perilaku kekerasan yang akan dilakukan. Gejela kognitif lainnya: senang

berdebat, bawel, pembicaraan mendominasi, meremehkan, menekan pikiran

untuk menyerang, mengacaukan pikiran, ketidakmampuan belajar, penurunan

perhatian, penurunan fungsi intelektual (Stuart, 2009). Tanda dan gejala

kognitif yang dapat diamati pada pasien perilaku kekerasan diantaranya: suka

membantah, menentang, mengancam secara verbal, merencanakan tindakan

kekerasan, senang berdebat, bawel, mendominasi pembicaraan, meremehkan

dan penurunan perhatian.

2.2.4.4 Sosial

Tanda dan gejala secara sosial ditemukan pada pasien perilaku kekerasan

adalah menggertak, suara keras, kata-kata menekan, marah. Gejala lain seperti

menarik diri dari hubungan sosial, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan,

mengabaikan hak orang lain (Keliat, 2008; Stuart, 2009).

2.2.4.5 Perilaku

Perilaku yang tampak pada pasien dengan perilku kekerasan diantaranya:

mondar mandir, tidak mampu duduk diam, merusak benda, melukai orang

lain (Stuart, 2009). Kaplan (2007) menambahkan gejala yang muncul berupa

serangan fisik terhadap diri sendiri, benda atau orang lain, mengancam

dengan senjata di tangan, menggigit, menendang, meninju, menggaruk,

meremas, menusuk, menembak, memperkosa, mendorong dan melempar.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

25

Gejala lainnya: berteriak, melempak objek, memecahkan kaca, membanting

pintu, memukul, menendang, meludahi, mencakar, menggigit, melempar

objek pada seseorang.

2.2.5 Karakteristik Perilaku Kekerasan

Pada pengkajian awal dapat diketahui alasan utama pasien dibawa ke

rumah sakit adalah perilaku kekerasan di rumah. Menurut (Stuart, 2009)

pasien dengan perilaku kekerasan sering menunjukkan adanya tanda dan

gejala sebagi berikut:

1. Data Objektif

Muka merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara tinggi, berdebat,

sering pula tampak pasien memaksakan kehendak, merampas makanan,

memukul jika tidak senang.

2. Data Subjektif

1) Mengeluh perasaan terancam

2) Mengungkapkan perasaan tidak berguna

3) Mengungkapkan perasaan jengkel

4) Mengungkapkan adanya keluhan fisik, berdebar-debar, merasa tercekik,

dada sesak, binggung.

Menurut (Stuart, 2009) tanda dan gejala perilaku kekerasan akan

ditunjukkan pada tabel 2.3 di bawah ini:

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

26

Tabel 2.2 Tabel Tanda dan Gejala Perilaku Kekerasan

Aspek Tanda/Gejala

Fisik Muka merah, pandangan tajam, tekanan darah meningkat, nadi meningkat, pernafasan meningkat, tidur terganggu, rahang mengatup dan tangan mengepal.

Emosional Jengkel, cepat marah, muram, lesu, cemas, suara keras, memaksa,

memaksa hak istimewah dan menolak intruksi Kognitif Suka membantah, menentang, mengancam secara verbal,

merencanakan tindakan kekerasan, senang berdebat, bawel, mendominasi pembicaraan, meremehkan dan penurunan perhatian

Sosial Menarik diri dari hubungan sosial, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, mengabaikan hak orang lain.

Perilaku Mondar mandir, tidak mampu duduk diam, merusak benda, melukai orang lain.

Sumber: Sudiatmika (2011)

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

27

2.2.6 Dinamika Kejadian Marah dan Mekanisme Adaptasi

Gambar 2.1 Dinamika Kejadian Marah dan Mekanisme Adaptasi

Rasa bermusuhan menahun Marah pada diri sendiri Marah pada orang lain

Depresi psikosomatik Agresif / marah

Ancaman atau kebutuhan

Stress

Cemas

Marah

Mengungkapkan secara vertikal

Menjaga keutuhan orang lain

Rasa marah teratasi

Ketegangan menurun

Lega

Muncul rasa bermusuhan

Merasa kuat

Menantang

Marah berkepanjangan

Merasa tidak adekuat

Menantang

Mengingkari marah

Marah tidak terungkap

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

28

2.3 Terapi Musik

2.3.1 Sejarah terapi musik

Teknologi terapi musik mulai dikenal diakhir abad 18. Kemudian tahun

1950 dibentuk organisasi professional yang dikenal sebagai organisasi NANT

(National Asociation for Music Therapy). Pada tahun 1998 kemudian berganti nama

menjadi AMTA (Ameican Music Terapi Asosiation, 2008)

2.3.2 Pengertian Terapi Musik

Menurut Djohan (2016), terapi musik didefinisikan sebagai sebuah aktivitas

terapiutik yang menggunakan musik sebagai media untuk memperbaiki,

memelihara, mengembangkan mental, fisik, dan kesehatan emosi. Terapis

musik sudah memiliki banyak metode dan pendekatan, beberapa menggunakan

alat yang berorientasi pada perilaku interaksi, berimprovisasi sambil

mendengarkan dan atau aktif bermain musik (Wimpory dalam Djohan, 2016).

Otak manusia adalah otak yang musikal dan irama musik memiliki kekuatan

langsung untuk memengaruhi kinerja kognitif. Musik menyediakan proses

belajar melalui model sensori aural kinetik, dan visual yang sekaligus

mengembangkan inteligensi musical. Musik mampu menghadirkan rasa aman,

mendukung dan mengurangi stress karena musik memiliki daya Tarik alamia

sebagai stimulus dan sebagai bagian proses belajar (Djohan, 2016).

Terapi musik sebagai teknik yang digunakan untuk penyembuhan suatu

penyakit dengan menggunakan bunyi atau irama tertentu. Terapi musik

merupakan terapi yang bersifat non verbal, penyembuhan melalui suara yaitu

penggunaan vibrasi frekuensi atau bentuk suara yang dikombinasikan (Djohan,

2016). Terapi musik adalah sebuah teknik pelengkap pengobatan dengan

menggunakan perintah musik oleh pelatih terapis.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

29

Sedangkan menurut Sulistyowati (2009) terapi musik adalah kontrol

penggunaan musik di bawah panduan pelatih terapi musik untuk membantu

orang mengatasi kondisi bermasalah. Terapi musik adalah sebuah terapi kesehatan

yang menggunakan musik yang bertujuan untuk meningkatkan atau memperbaiki

kondisi fisik, emosi, kognitif dan sosial bagi individu dari bebagai kalangan usia.

Dari berbagai difinisi di atas dapat disimpulkan bahwa terapi musik adalah teknik

penyembuhan baik fisik, emosi, kognitif dan sosial bagi individu dari berbagai

kalangan usia serta bersifat non verbal dengan menggunakan bunyi atau irama,

dibawah pelatih terapi musik.

2.3.3 Mekanisme Musik Terhadap Tubuh Manusia dan Perilaku

Gambaran mekanisme sensorik musik terhadap fisiologi tubuh manusia otak

bagian kiri adalah proses analisa kognitif dan aktifitas, sedangkan otak bagian

kanan sebagai proses artistik, aktifitas imajinasi. Unsur unsur musik yaitu irama,

nada dan intensitasnya masuk ke kanalis iuditorus telinga luar yang disalurkan

ketulang-tulang pendengaran, musik tersebut akan dihantarkan ke thalamus

berkurang (Djohan, 2016).

Musik mampu mengaktifkan memori yang tersimpan di limbik dan

mempengaruhi sistem syaraf otonom melalui neuritransmiter yang akan

memengaruhi hipotalamus lalu ke hipofise. Musik yang telah masuk ke kelenjar

hipofise mampu memberikan tanggapan terhadap emosi oral melalui feeback

negatif ke kelenjar adrenal untuk menekan pengeluaran hormon pinepris,

neropineprin dan dopamin yang disebut hormon-hormon stres. Masalah mental

seperti ketegangan dan stres berkurang (Djohan, 2016). Pengaruh musik dalam

perilaku di gambarkan pada gambar 2.5 sebagai berikut :

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

30

Gambar 2.2 Pengaruh Musik dalam Perilaku

Sumber : Stuart (2009)

2.3.4 Manfaat Terapi Musik

Menurut Sulistyowati (2009) terapi musik dapat meningkatkan inteligensi

seseorang, dapat menenangkan dan menyegarkan pikiran memotifasi dari segala

yang dilakukan, perkembangan kepribadian, memberi kekuatan komunikasi.

Terapi musik bertujuan untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan,

mengendalikan stress, mengurangi rasa sakit, mengekspresikan perasaan,

meningkatkan memori, meningkatkan kemampuan komunikasi, mempercepat

rehabilitasi (Pratiwi, 2008).

American Music Therapy Association (2008) mengungkapkan tujuan terapi

musik yaitu untuk meningkatkan kesehatan secara menyeluruh dalam fungsi

fisik dan fungsi sosial. Sedangkan tujuan spesifik untuk menurunkan

ketegangan otot, menurunkan kecemasan, menurunkan agresi, memperbaiki

hubungan interpersonal, meningkatkan motivasi, meningkatkan konsep diri,

meningkatkan kelompok yang kohesif, meningkatkan kemampuan verbal,

melepaskan emosi dengan nyaman.

Pengaruh musik

dalam perilaku

individu

Fisik

Inteligen

Emosi

Irama denyut nadi, denyut jantung, logat dan intonasi bicara, aliran darah,

tarikan nafas, kedipa mata, ayunan langkah dsb

Irama kerja, cepat-lambat berfikir, pola berfikir, sistematis, logis, linier,

harmonis dsb

Ekspresi meledak-ledak, datar, tenang, monoton, impulsive, tiba-tiba, agresif,

tak berdaya (dalam kondisi emosi)

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

31

Sedangkan menurut Sulistyowati (2009) manfaat terapi musik adalah untuk

memberikan rasa nyaman, menurunkan stress, kecemasan dan kegelisahan,

melepaskan tekanan emosi yang dialami, meningkatkan control diri dan

perasaan berharga pasien, meningkatkan kreatifitas, serta memotifasi pasienagar

dapat berinteraksi dan meningkatkan sosialisasi dengan orang lain, sehingga

dapat meningkatkan citra dirinya dan menghindarkan pasien dari keterasingan.

Dari penjelasan diperoleh tujuan terapi musik yaitu untuk meningkatkan

kesehatan secara menyeluruh dalam fungsi mental, fungsi fisik dan fungsi sosial.

Tujuan spesifikasi terapi musik enurut Stuart (2009) sebagai berikut:

1. Sebagai sarana mengekpresikan perasaan

2. Menurunkan tegangan otot

3. Menurunkan kecemasan

4. Menurunkan stress

5. Melepaskan tekanan emosiMenurunkan agitasi/kegelisahan

6. Memberikan rasa nyaman

7. Memotifasi pasien dapat berinteraksi dan meningkatkan sosialisasi dengan

orang lain

8. Meningkatkan kemampuan verbal

9. Meningkatkan kreatifitas

10. Meningkatkan kontrol diri

11. Meningkatkan perasaan berharga

12. Meningkatkan konsep diri

13. Mendengarkan musik di bagian kiri dan kanan telinga, dapat membuat

pikiran berkonsentrasi dan rileks

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

32

Sifat musik yang non verbal, menjangkau sistem limbik yang secara langsung

memengaruhi emosional dan reaksi fisik manusia seperti detak jantung, tekanan

darah, sirkulasi nafas, temperature tubuh (Sulistyowati, 2009). Penggunaan terapi

musik sebagai kesatuan kekuatan dan isyarat stimulus untuk untuk meningkatkan

atau memotifasi perilaku adaptif dan menghilangkan perilaku maladaptif. Dari

beberapa paraparan diatas disimpulkan bahwa terapi musik adalah terapi non

verbal, teknik penyembuhan yang memakai bunyi irama yang dapat dipakai untuk

mempengaruhi perubahan fisik, emosi, pikiran dan perilaku (Brucia, 1998 dalam

Djohan, 2016).

Menurut Djohan (2016), beberapa kriteria jenis musik yang dapat dijadikan

sebagai jenis musik terapis antara lain: musik yang dapat meningkatkan energi tubuh,

musik yang menstimulasi otak, musik yang membangkitkan suasana hati, musik

yang membangkitkan semangat, musik yang menenangkan pikiran, musik yang

melepaskan emosi, musik yang memulihkan semangat dan memotifasi perilaku, dan

musik yang mampu mengembangkan pikiran.

Suara dan musik dapat menjadi media penting dalam proses penyembuhan.

Gaynort dalam Djohan (2016), penulis buku Saund of Healing: A Physician Refeals the

Therapiutic Power of Saunds, Foice, and Music, mengatakan, “suara merasuk kedalam

kesehatan dengan cara mengubah fungsi sel melalui pengaruh energetik. Sistem

niologis kefungsi homeostatis; menenangkan pikiran dan tubuh; atau memiliki efek

emosional yang dapat memengaruhi neurotransmiter dan neuropeptides. Kondisi

tersebut pada gilirannya sangat membantu mengatur sistem kekebalan tubuh sebagai

penyembuh.”

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

33

2.3.5 Indikasi Terapi Musik

Terapi musik merupakan salah satu metode alternatif yang mendukung terapi

pada pasien gangguan jiwa. Indikasi terapi musik telah menjadi salah satu pelengkap

pada terapi gangguan jiwa seperti skizofrenia, gangguan emosional, stress dan

kecemasan (Sulistyowati, 2009). Penelitian tentang efek terapi musik pada anak

dengan perilaku kekerasan. Dilaporkan hasil yang didapatkan bahwa terdapat

perbaikan perilaku pada perilaku kekerasan dan peningkatan harga diri pada anak

setelah mendapat terapi musik.

Gold (2007) melakukan penelitian terapi musik untuk memperbaiki gejala pada

pasien skizofrenia dewasa di rumah sakit. Dilaporkan setelah mengikuti terapi musik

terjadi perbaikan gejala dibanding standar perawatan dalam 12 minggu Perubahan

Positive Negative Syndrome Scale (PANSS) dengan total skor -9.00 dengan musik

terapi ditambah standar perawatan (okupasi, sosial, aktivitas, dan asuhan

keperawatan) dibanding hanya memakai standar keperawatan (-2,96) dengan

P=0.045. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada pasien skizofrenia,

perilaku kekerasan, diberi tindakan dengan terapi musik hasilnya menunjukkan lebih

positif terjadi dibanding dengan pasien yang tidak menerima tindakan terapi musik.

2.3.6 Jenis Terapi Musik

Pusat Terapi Indonesia tahun 2016 menyatakan bahwa pada dasarnya hampir

semua jenis musik dapat digunakan untuk keperluan terapi musik. Namun, setiap

musik sebelumnya harus diketahui dapat memberikan pengaruh terhadap pikiran

manusia. Setiap nada, melodi, ritme, harmoni, timbre, bentuk dan gaya musik

akan memberi pengaruh yang berbeda terhadap pikiran dan tubuh. Dalam terapi

musik, komposisi musik disesuaikan dengan masalah atau tujuan yang ingin

dicapai.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

34

“Music therapists utilize music as a therapeutic tool; the genre and type of instrument is

tailored to the individual and to the goals that are established between the client and the music

therapist. Since music choice/usage is tailored to each client’s needs and preferences, there is

really no "most common" type of music or instrument. All styles of music have the potential to

be useful in effecting change in a client’s or a patient's life. The individual's preferences,

circumstances and need for treatment, and the goals established will help the trained music

therapist determine what music to use’’ (American Music Therapy Association, 2008).

Menurut asosiasi terapi musik Amerika pada tahun 2008 terapi musik

menggunakan musik sebagai alat terapi, genre dan jenis instrumen disesuaikan

dengan individu berdasarkan tujuan yang ditetapkan antara klien dan terapis

musik. Karena pilihan/penggunaan musik disesuaikan dengan kebutuhan dan

preferensi masing-masing klien, tidak ada jenis terapi musik "paling umum" dari

musik atau instrumen. Semua gaya musik memiliki potensi untuk menjadi

berguna dalam mempengaruhi perubahan klien atau hidup pasien. preferensi,

keadaan individu dan kebutuhan untuk perawatan, dan tujuan yang ditetapkan

akan membantu terapis musik terlatih menentukan jenis musik apa yang cocok

digunakan untuk pasien.

2.3.7 Terapi Musik Tradisional Jawa

Terapi kejiwaan dapat dilakukan dengan mengembangkan berpikir positif

melalui pendekatan budaya. Produk budaya Jawa yang dapat dijadikan alternatif

terapi kejiwaan adalah dengan mendengarkan musik tradisional jawa yang dapat

dipadukan dengan terapi yang lain (Jatirahayu, 2015).

Banyak penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan musik tradisional

jawa sebagai musik terapi kejiwaan antara lain penelitian yang dilakukan oleh

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

35

Firdawati & Sujono Riyadi yakni tentang hubungan terapi musik keroncong

dengan tingkat depresi pada lansia di Panti Wredha Budhi Dharma Yogyakarta

pada tahun 2014 (Firdawati & Sujono, 2014) dan penelitian yang dilakukan oleh

Jatirahayu tentang terapi depresi dengan gamelan jawa (Jatirahayu, 2015).

Selain itu, terapi musik tradisional juga telah digunakan sebagai terapi musik

kejiwaan di beberapa Rumah Sakit Jiwa (RSJ) salah satunya adalah RSJ Soerojo

Kota Magelang, Jawa Tengah, yakni dengan memperdengarkan pasien dalam

bentuk pagelaran seni tradisional seperti jatilan. Hasilnya cukup signifikan bagi

pasien yang memiliki latar belakang budaya Jawa. Ini membuktikan bahwa terapi

budaya (yang disesuaikan dengan pola pikir dan tata nilai) dapat digunakan untuk

terapi kejiwaan (Kusuma, 2015).

Ada beberapa alasan gamelan Jawa dapat digunakan sebagai terapi kejiwaan

(Kusuma, 2015), antara lain:

1. Gamelan Jawa mampu mempengaruhi, menggerakkan alam sekitar.

Dengan mendengarkan gamelan Jawa dapat tercipta atmosfir yang di

kehendaki oleh irama gamelan ini. Sejak abad 5-6, masyarakat jawa

mengenal alat musik gamelan. Gamelan dibuat sebagai alat musik

pentatonis yang mampu menciptakan gelombang elektro magnetis.

2. Gamelan juga dipakai sebagai terapi jiwa pada manusia. Gamelan adalah

alat musik tradisional Jawa. Gamelan semacam simponi atau orkestra ala

barat, karena gamelan juga menggunakan banyak instrumen. Ini

membuktikan bahwa nilai rasa musikal dapat mempengaruhi pola

pertumbuhan syaraf otak. Gamelan dapat digunakan untuk terapi

gangguan kejiwaan. Gamelan Jawa kini telah dipakai sebagai salah satu

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

36

bentuk pengobatan komplementer bagi pasien-pasien dengan gangguan

kejiwaan pada beberapa rumah sakit di Inggris.

3. Gamelan di Eropa juga dikembangkan sebagai terapi. Di Paris sudah ada

beberapa penjara yang mengembangkan program gamelan untuk terapi

bagi penghuni penjara. ”Penghuni penjara (Eropa), yang biasanya

individualis dan tak mau mendengarkan orang, melalui gamelan bisa

bekerjasama. Mereka menabuh demung, misalnya, harus menguping yang

menabuh bonang dan sebagainya. Mereka jadi belajar hidup kolektif,”

kata Supanggah yang pada pementasan Megalitikum Kuantum dalam

rangka ulang tahun ke-40 harian Kompas di Jakarta Convention Center,

Jakarta, tanggal 29-30 Juni 2005 dalam tugas menggarap gamelan saat

mengetengahkan Ketawang Puspowarno ciptaan Mangkunegara IV.

4. Gamelan di Inggris juga dikenal melalui program Good Vibrations.

Program ini dibuat di penjara Top Security Prison Wakefield untuk mengatasi

masalah kejiwaan dan perilaku manusia yang putus asa karena terjerat

narkoba, kriminalitas dan psikologi berat. Dengan konsep berekspresi

lewat musik gamelan yang mengutamakan kebersamaan, toleransi,

kerjasama, dan pengendalian emosi, program ini telah berhasil dijalankan.

Hingga saat ini telah lebih dari 14 penjara mengadopsi sistem ini. Walau

dalam berbagai bidang prestasi Indonesia masih belum berkumandang,

setidaknya dengan berkumandangnya gamelan diberbagai penjuru dunia

mampu melantunkan tembang perdamaian di dunia.

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

37

Selain terapi musik gamelan, terapi musik keroncong juga dapat

digunakan pada pasien kejiwaan seperti penelitian yang dilakukan oleh

Firdawati & Sujono (2014) menyimpulkan bahwa dalam permainan musik

keroncong dapat menenangkan pikiran, menghilangkan perasaan bosan dan

jenuh, kebebasan dalam mengekspresikan perasaan ke dalam musik, baik

bernyanyi, menari ataupun dengan hanya mendengarkan. Sependapat dengan

teori Djohan, (2016) yang menyatakan bahwa penggunaan terapi musik

ditentukan oleh intervensi musikal dengan maksud memulihkan, menjaga,

memperbaiki emosi, fisik, psikologis, dan kesehatan serta kesejahteraan

spiritual.

2.3.8 Proses Terapi Musik

Di Indonesia, secara formal akademis bidang terapi musik belum banyak

memperoleh penelitian sebaliknya praktik terapi musik dinegara-negara maju telah

dibakukan sebagai ilmu pengetahuan dan bagian dari terapi sehingga sudah memilki

panduan tahapan yang perlu dilakukan untuk mengaplikasikan.

Seorang terapis musik dituntut untuk memamahami benar mengapa dan oleh

siapa seorang klien untuk dirujuk untuk memperoleh terapi. Terapis musik perlu

mempelajari lebih dulu riwayat kesehatan seperti data rekam medis dan data

pemeriksaan psikologis. Selian data-data klien, dibutuhkan kreatifitas terapis untuk

mengembangkan rancangan terapi yang sesuai dengan klien serta kemampuan untuk

bersikap lentur terhadap keadaan dilapangan.

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

38

Menurut Djohan (2016), proses-proses dalam terapi musik antara lain:

1) Asesmen

Asesmen adalah serangkaian analisis terhadap kemampuan, kebutuhan

dan permasalahan klien yang harus dilengkapi sebelum seseorang menjalani

terapi. Di dalam asesmen, terapis musik melakukan observasi meyeluruh

terhadap kliennya sehingga ia memperoleh gambaran yang lengkap tentang

latar belakang, keadaan sekarang, keterbatasan klien dan potensi-potensi

yang masih dapat dikembangkan.

2) Perencana perlakuan

Setelah data asesmen terkumpul dan dianalisis, langkah berikutnya

adalah mematangkan rencana perlakuan terapi musik. Hal-hal yang perlu

ditentukan dalam proses ini yakni menentukan sasaran dan objek terapiutik

serta sistem pengumpulan data. Metode pengumpulan data yang termudah

dan terpopuler adalah melalui rekaman frekuensi dan durasi (Ottenbacher

dalam Djohan, 2016). Terapi musik dapat dilakukan dengan frekuensi 7 kali

perlakuan berupa pemberian terapi musik dengan tiap kali pelaksaan

dilakukan dengan durasi waktu 30 menit (Candra & Ekawati, 2013).

3) Pencatatan

Sebuah proses terapi musik perlu mempertimbangkan riwayat kesehatan

klien dari banyak sisi. Selain riwayat sebelum terapi seluruh proses terapi

juga harus dicatat sehingga terapis musik perlu mempelajari hasil rekam

diagnosis dan hal-hal yang berkaitan dengan rekam medis. Informasi ini

harus ditulis dengan jelas, ringkas tidak bersifat memihak dan mengadili

serta menggunakan terminologi objekstif. Salah satu metode dokumentasi

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

39

yang banyak digunakan dirumah sakit disebut APIP (Luksch dalam Djohan

2016) yang terdiri dari:

A= Asesmen. Pada bagian ini terapis menuliskan kebutuhan klien sesuai

penilaian awal yang dilakukan serta seberapa jauh klien masih dapat

berfungsi secara fisik dan sosial. Terapis juga memberikan gambaran

tentang sejumlah assesment spesifik yang sesuai kebutuhan klien.

P= Perencanaan. Terapis membuat daftar semua sasaran yang ingin dicapai

melalui terapi dan membuat rincian untuk setiap sesi dan intervensi yang

digunakan

I= Intervensi. Dengan terminologi yang mudah dipahami, terapis

menuliskan secara objektif hasil obserfasi selama terapi berlangsung, proses

intervensi, lamanya sebuah sesi berlangsung, jumlah klien dalam kelompok,

kualitas sesi dan ekspresi-ekspresi efektif yang terlihat.

E= Evaluasi. Pada bagian akhir ini terapis melakukan evaluasi terhadap

kesesuaian antara sasaran yang ingin dicapai dengan hasil akhir setiap sesi,

kemajuan klien secara umum, serta pengalaman-pengalaman yang spesifik

yang dialami klien.

4) Evalusai dan terminasi perlakuan

Pada bagian ini terapis menyiapkan kesimpulan akhir dari proses

perlakuan dan membuat rekomendasi untuk ditindak lanjuti. Beberapa hal

pennting yang perlu diperhatikan adalah mengembangkan sasaran dan

objek. Sasaran adalah pernyataan secara luas sedangkan objek menjelaskan

secara rinci perlakuan yang akan diterima oleh klien. Selama perlakuan

kemajuan klien dimonitor secara menyeluruh melalui data subjektif dan

objektif ketika klien mencapai target perlakuan maka perlakuan dihentikan.

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

40

Pada saat itu, terapis membuat efaluasi keseluruhan proses terapi musik

termasuk sasaran yang direncang dan kemajuan yang diperoleh. Setelah itu

akan dibuat rekomendasi untuk perlakuan selanjutnya atau perlakuan lain

bila suatu saat diperlukan.

2.3.9 Langkah-Langkah Terapi Musik

Menurut Goog, et. al dalam Sulistyowati (2009) menyatakan bahwa terapi musik

dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a) Menetapkan sasaran terapi.

Sasaran dalam repi musik diindikasikan melalui target yang akan dituju.

Target harus jelas berdasarkan alasan-alasan dan informasi yang dikumpulkan

dari hasil penelitian. Beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan ketika

memilh sasaran dan target perilaku adalah nilai atau manfaat, prasyarat,

hambatan, proses penilaian, proses awal peralihan terapi, persetujuan,

keberhasilan data-data awal dan efesiensi.

b) Membangun relasi

Saat pertama kali bertatap muka dengan klien merupakan awal dari

pengalaman baru, hubungan baru dan dinamika yang baru. Perjumpaan awal

diupayakan menggunakan waktu yang seproduktif mungkin dan menjalin

hubungan terapeutik yang sehat sehingga dapat menentukan peran dan espektasi

yang akan datang. Salah satu unsur terpenting dalam keberhasilan program

terapi adalah terjadinya hubungan saling percaya antara terapis dan klien. setelah

tercapai kesepakatan, pertemuan pertama diakhiri dengan kontrak yang berisi

tanggung jawab kedua belah pihak termasuk jadwal, waktu, cara pembayaran,

lama terapi dan kebijakan yang menyangkup kerahasiaan klien.

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

41

Bebapa pedoman guna mengembangkan hubungan antara lain:

1) Memperkenalkan diri dan mengusahakan agar klien merasa nyaman dengan

menemukan topik pembicaraan yang dapat menjadi pembuka,

menginformasikan tentang identitas terapis, terapi musik dan pemahaman

mengapa klien berada ditempat terapi.

2) Kegiatan terapi lebih dititik beratkan pada observasi mengamati dan

mendengarkan

3) Gunakan bahasa tubuh yang menunjukkan ketertarikan, salam yang positif

dan perhatian.

4) Ajukan pertanyaan dalam rangka mengklarifikasi apa yang hendak

dikomunikasikan klien.

5) Menawarkan kesempatan kepada klien untuk memilih dan mengikutsertakan

aktifitas musik.

6) Memaksimalkan aktifitas interaksi musikal yang ada dengan memberikan

dukungan yang dibutuhkan

7) Melatih kesabaran

c) Proses asesmen awal

Pada tahap ini seorang terapis harus sedapat mungkin mencari gambaran

yang lengkap dan menyeluruh mengenai kliennya. Salah satunya adalah

melakukan uji keterampilan musik yang telah dirancang.

d) Asesmen komprehensif

Sebelum klien menjalani terapi musik perlu diberikan assesmen konprehensif

mengenai manfaat yang diperoleh dari terapi musik. Laporan konprehensif

assesmen adalah garis besar dari assesmen awal tetapi lebih mendalam.

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

42

e) Target perilaku

Pada tahap ini berguna untuk mengetahui perubahan klien melalui sebuah

pengukuran. Beberapa pedoman dalam merancang sasaran baik dalam jangka

panjang maupun jangka pendek antara lain:

1) Mejelaskan hasil pengamatan terhadap perilaku yang terukur: menggunakan

kata-kata yang mudah diinterpretasikan dan jelaskan apa yang telah

dilakukan.

2) Pastikan petunjuk ada tidaknya perubahan: apakah ada peningkatan perilaku,

penurunan perilaku atau tetap saja dan secara tepat seberapa banyak.

3) Gambarkan batasan-batasan: sebutkan setiap kondisi, spesifikasi dan kriteria

keberhasilan.

f) Strategi terapi

Berbagai strategi musik dapat dilakukan dalam terapi musik dengan

menggunakan aneka macam alat musik, genrde musik, pendekatan, sistem,

metode, aliran maupun falsafah. Mekanisme pelaksanaan terapi musik

berdasarkan beberapa penelitian, bentuk, dan perencanaan mendengarkan

musik secara struktur berbeda-beda, para ahli medikal riset dalam beberapa

tahun ini telah mengetahu pengaruh yang positif dalam medikal resonansi

musik. Prosedur terapi musik yang dapat digunakan sebagai dasar pembuatan

sesi terapi musik menurut Pratiwi (2008) sebagai berikut :

a. Pilih tempat yang tenang jauh dari gangguan

b. Kegiatan mendengarkan dapat disertai dengan aroma terapi

c. Sebelum mulai pasien didengarkan berbagai musik, untuk membantu

menenangkan tubuh sehingga lebih mudah untuk pemilihan.

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41784/3/jiptummpp-gdl-rusmansidd-48286-3-babii.pdf · persepsi pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya

43

d. Posisi tubuh duduk bersila dengan posisi tegak kaki bersilang, ambil nafas

dalam-dalam dan keluarkan

e. Saat musik diperdengarkan, arahkan pasien untuk mendengarkan dengan

seksama dan resapi musik

f. Posisi dapat duduk lurus, didepan speaker, biarkan musik mengalir

keseluruh tubuh, biarkan suaranya hanya bergaung ditelinga

g. Bayangkan gelombang suara datang mengalir ke seluruh tubuh, musik

dirasakan secara spesifik, fisik, difokuskan ke jiwa. Musik difokuskan

ditempat yang ingin disembuhkan melalui suara yang mengalir kesana

h. Musik didengarkan, membayangkan aliran musik mengalir melewati seluruh

tubuh diteruskan ke sel-sel lapisan dan organ dalam tubuh

i. Idealnya terapi musik difokuskan kurang lebih 30 menit. Terapi musik 10

menit sehingga cukup membuat otak beristirahat.

Durasi dan frekuensi dalam pelaksanaan terapi musik beberapa penelitian

mengungkapkan bentuk dan perencanaan mendengarkan musik secara

struktur berbeda-beda. Siedleck (2008, dalam Sulistyowati, 2009) mengatakan

bahwa dalam pelaksanaan pemberian durasi dalam terapi musik dilaporkan

berbeda-beda dari 10 menit, 15 menit, 20 menit, 30 menit, sampai 90 menit.

Frekuensi dalam pelaksanaan terapi musik diberikan satu atau dua kali dalam

sehari. Lehrman (2008, dalam Sulistyowati, 2009) menyebutkan bahwa

mendengar musik lebih baik kurang dari 15-20 menit sudah cukup. Frekuensi

dalam pelaksanaan terapi musik diberikan satu atau dua kali dalam satu hari

(Goog et all, 1999 dalam Sulistyowati, 2009).