16
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Ginjal Kronik 1. Definisi Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan keadaan klinis yang ditandai dengan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2014). Penyakit ginjal kronik menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) adalah abnormalitas fungsi atau struktur ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan dengan implikasi pada kesehatan yang ditandai dengan adanya satu atau lebih tanda kerusakan ginjal seperti yang terdapat pada Tabel 2. di bawah ini (KDIGO, 2013). Tabel 2. Kriteria PGK (kerusakan fungsi atau struktur ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan) Petanda kerusakan ginjal (satu atau lebih) Albuminuria (AER > 30 mg/24 jam) Penurunan LFG ACR >30 mg/g [ >3 mg/mmol]) Abnormalitas pada sedimen urin Gangguan elektrolit dan abnormalitas yang berhubungan dengan kerusakan tubulus Abnormalitas pada pemeriksaan histologi Abnormalitas struktural pada pemeriksaan imaging Riwayat transplantasi ginjal LFG < 60 ml/min/1.73 m2 (kategori LFG G3aG5) Sumber : KDIGO, 2013 2. Etiologi Penyebab terbesar penyakit ginjal kronis secara global, yaitu diabetes melitus. Glomerulonefritis merupakan faktor terbesar penyebab penyakit ginjal kronis di Indonesia hingga tahun 2000, namun menurut IRR sejak beberapa tahun terakhir penyebab terbesar penyakit ginjal kronis yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Ginjal Kronik 1.repository.setiabudi.ac.id/4070/2/BAB II.pdf · Menurut Suwitra (2014) klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal

  • Upload
    others

  • View
    18

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Ginjal Kronik 1.repository.setiabudi.ac.id/4070/2/BAB II.pdf · Menurut Suwitra (2014) klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Ginjal Kronik

1. Definisi

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi

yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada

umumnya berakhir dengan keadaan klinis yang ditandai dengan fungsi ginjal yang

irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang

tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2014). Penyakit ginjal

kronik menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) adalah

abnormalitas fungsi atau struktur ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan

dengan implikasi pada kesehatan yang ditandai dengan adanya satu atau lebih

tanda kerusakan ginjal seperti yang terdapat pada Tabel 2. di bawah ini (KDIGO,

2013).

Tabel 2. Kriteria PGK (kerusakan fungsi atau struktur ginjal yang berlangsung lebih dari 3

bulan)

Petanda kerusakan

ginjal (satu atau lebih)

Albuminuria (AER > 30 mg/24 jam)

Penurunan LFG

ACR >30 mg/g [ >3 mg/mmol])

Abnormalitas pada sedimen urin

Gangguan elektrolit dan abnormalitas yang berhubungan dengan

kerusakan tubulus

Abnormalitas pada pemeriksaan histologi

Abnormalitas struktural pada pemeriksaan imaging

Riwayat transplantasi ginjal

LFG < 60 ml/min/1.73 m2 (kategori LFG G3a–G5)

Sumber : KDIGO, 2013

2. Etiologi

Penyebab terbesar penyakit ginjal kronis secara global, yaitu

diabetes melitus. Glomerulonefritis merupakan faktor terbesar penyebab

penyakit ginjal kronis di Indonesia hingga tahun 2000, namun menurut IRR

sejak beberapa tahun terakhir penyebab terbesar penyakit ginjal kronis yaitu

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Ginjal Kronik 1.repository.setiabudi.ac.id/4070/2/BAB II.pdf · Menurut Suwitra (2014) klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal

7

disebabkan oleh hipertensi (Infodatin, 2017). Faktor lain yang dapat

meningkatkan kejadian penyakit ginjal kronis antara lain merokok, penggunaan

obat analgetik dan OAINS, serta minuman suplemen berenergi. Riwayat dari

suatu penyakit dapat pula menjadi penyebab penyakit ginjal kronis seperti

hipertensi, diabetes melitus, serta gangguan metabolik yang dapat menyebabkan

penurunan fungsi ginjal. Usia dan jenis kelamin juga diketahui menjadi faktor

resiko penyakit ginjal kronis (Pranandari, 2015)

3. Patofisiologi

Ginjal terdiri dari sekitar satu juta nefron yang berkontribusi dalam

laju filtrasi ginjal. Ginjal memiliki kemampuan untuk melakukan

kompensasi untuk mempertahankan laju filtrasi ginjal apabila terjadi

kerusakan pada nefron secara progresif. Kemampuan adaptasi nefron ini

memungkinkan dilakukan pembersihan darah secara normal sehingga zat

seperti urea dan kreatinin mulai menunjukkan peningkatan kadar plasma

yang signifikan setelah total laju filtrasi glomerulus menurun sebanyak

50%. Nilai kreatinin plasma meningkat dua kali lipat dengan penurunan laju

filtrasi glomerulus sebanyak 50%. Kenaikan nilai kreatinin plasma dari 0,6

mg/ dL menjadi 1,2 mg/dL dapat merepresentasikan kerusakan ginjal

sebanyak 50% walaupun nilai tersebut masih dapat dikatakan pada range

normal (UBM Medica, 2011).

Hiperfiltrasi dan hipertrofi yang terjadi pada nefron yang masih

berfungsi dengan normal, meskipun bermanfaat dalam mempertahankan

laju filtrasi glomerulus namun dapat dikatakan bahwa hal tersebut

merupakan penyebab utama dari disfungsi ginjal secara pogresif. Kerusakan

ginjal tersebut terjadi akibat tekanan kapiler glomerulus meningkat, dan

merusak kapiler yang pada awalnya mengarah pada glomerulosklerosis

sekmental menjadi glomerulosklerosis global (UBM Medica, 2011).

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Ginjal Kronik 1.repository.setiabudi.ac.id/4070/2/BAB II.pdf · Menurut Suwitra (2014) klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal

8

Menurut Dipiro et al (2015) patofisiologi penyakit ginjal kronik terdiri dari:

1. Faktor kerentanan meningkatkan resiko penyakit ginjal tetapi menyebabkan

kerusakan ginjal. Ini termasuk usia lanjut, massa ginjal berkurang, berat badan

lahir rendah, ras atau etnis minoritas, riwayat keluarga, ekonomi

berpenghasilan rendah, pendidikan, peradangan sistemik dan dislipidemia.

2. Faktor awal yang mengakibatkan kerusakan ginjal dan dapat dimodifikasi

dengan terapi obat. Ini termasuk diabetes mellitus, hipertensi, pembengkakan

glomelurus, penyakit ginjal polikistik, granulomatosis Wegener, penyakit

vaskular dan HIV nefropati.

3. Faktor yang mempercepat penurunan fungsi ginjal setelah awal kerusakan

ginjal, ini termasuk glikemia penderita diabetes, hipertensi, proteinurea,

hiperlipid, obesitas dan merokok.

4. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik

Menurut Suwitra (2014) klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas

dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.

Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG (Laju Filtrasi

Glomerular), yang dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai

berikut :

LFG (ml/mnt/1,73m2

= ( )

(

)

*) pada perempuan dikalikan 0,85

Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat penyakit

Derajat Penjelasan Laju filtrasi Glumerolus (GFR)*

(mL/menit/1,73m2)

1

2

3

4

5

Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau

meningkat

Kerusakan ginjal dengan LFG meningkat

ringan

Kerusakan ginjal dengan LFG meningkat

sedang

Kerusakan ginjal dengan LFG meningkat

berat

Gagal ginjal

≥90

60 – 89

30 – 59

15 – 29

< 15 atau dialysis

(Suwitra , 2014).

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Ginjal Kronik 1.repository.setiabudi.ac.id/4070/2/BAB II.pdf · Menurut Suwitra (2014) klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal

9

Definisi KDOQI dan klasifikasi CKD memungkinkan komunikasi dan

intervensi yang lebih baik pada berbagai tahap. Pada CKD stadium 1 dan 2, GFR

saja tidak dapat menegakkan diagnosis. Penanda kerusakan ginjal lainnya,

termasuk kelainan komposisi darah atau urin kelainan dalam tes, juga harus ada

dalam menegakkan diagnosis tahap 1 dan tahap 2 CKD (Coresh J, et al. 2001).

5. Manifestasi Klinik

Penderita penyakit ginjal kronik stadium 1 dan 2 tidak mengalami gejala

apapun atau perubahan metabolik yang nampak pada penderita penyakit ginjal

kronik stadium 3-5 seperti anemia, hiperparatiroid sekunder, penyakit

kardiovaskuler, malnutrisi, dan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (Wells et

al., 2009).

Pasien dengan gangguan ginjal kronis mulai muncul gejala ketika terjadi

penumpukan produk sisa metabolisme seperti ureum, kreatinin, elektrolit dan

cairan. Peningkatan kadar ureum darah merupakan penyebab umum terjadinya

kumpulan gejala yang disebut sindroma uremia pada pasien gangguan ginjal

kronis. Sindroma uremia terjadi saat laju filtrasi glomerulus kurang dari 10

ml/menit/1,73 m2. Peningkatan kadar ureum darah akibat gangguan fungsi

ekskresi ginjal menyebabkan gangguan pada multi sistem. Sehingga

memunculkan gejala yang bersifat sistemik (Lewis et al., 2011).

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronis meliputi : a). Sesuai dengan

penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksitraktus urinarius, batu

traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemia, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES),

dan lain sebagainya. b). Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi,

anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload)

neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.

c). Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah

jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium

klorida) (Suwitra, 2014).

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Ginjal Kronik 1.repository.setiabudi.ac.id/4070/2/BAB II.pdf · Menurut Suwitra (2014) klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal

10

6. Komplikasi

Komplikasi penyakit ginjal kronik (PGK) yang dapat muncul adalah

anemia, neuropati perifer, komplikasi kardiopulmunal, komplikasi GI

(gastrointestinal), disfungsi seksual, defek skeletal, parastesia, disfungsi saraf

motorik seperti foot drop dan paralisis flasid, serta fraktur patologis (Kowalak,

Weish, & Mayer, 2011).

Komplikasi penyakit ginjal kronik terjadi sesuai dengan derajat penurunan

fungsi ginjal. Beberapa di antara komplikasi tersebut adalah anemia, yang terjadi

pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit ginjal kronik

terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoitin. Evaluasi terhadap anemia

dimulai saat kadar hemoglobin <10 g% atau hematocrit <30%, meliputi evaluasi

terhadap status besi ( kadar besi serum, kapasitas ikat besi total, ferritin serum),

mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolysis

dan lain sebagainya (Suwitra, 2014).

7. Komorbid

Komorbid biasanya disebabkan karena komplikasi dari CKD maupun

penyebab utama CKD. Namun, tidak jarang adanya komorbid tidak berhubungan

langsung dengan penyakit utamanya (CKD). Komorbid yang biasa terjadi pada

pasien usia lanjut dengan CKD seperti diabetes melitus, hipertensi, penyakit

karidovaskular, gagal jantung kongestif, penyakit paru, dan lain–lain (KDOQI,

2012).

Komorbiditas mempengaruhi berbagai dimensi kualitas hidup.

Komorbiditas memiliki pengaruh yang negatif terhadap kesehatan fisik pada

kualitas hidup pasien hemodialisa (Sathvik, B., et al., 2010). Pasien

yang memiliki banyak penyakit penyerta selama menjalankan hemodialisa akan

mengalami kondisi kesehatan fisik yang lebih buruk, karena terkait dengan

gangguan multipel organ. Komorbiditas juga memiliki pengaruh yang signifikan

terhadap psikologis pada kualitas hidup pasien hemodialisa. Komorbiditas

berhubungan kebutuhan berbagai macam obat, dan akan terjadi interaksi obat.

Hal ini dapat menyebabkan depresi ataupun kecemasan, yang merupakan salah

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Ginjal Kronik 1.repository.setiabudi.ac.id/4070/2/BAB II.pdf · Menurut Suwitra (2014) klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal

11

satu tanda adanya masalah psikologis pada pasien hemodialisa (Abraham S., et

al.,2012; Pakpour, A., et al.,2010).

8. Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik

Menurut Suwitra (2014) penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :

8.1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya. Waktu yang paling

tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG,

sehingga pemburukkan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal ang masih

normal secara ultrasonografi, biopsy, dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat

menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG

sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah

tidak banyak bermanfaat.

8.2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid. Penting sekali

untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien penyakit

ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed factors)

yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain,

gangguan keseimbangan cairan, hipertensi ang tidak terkontrol, infeksi traktus

urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras,

atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.

8.3. Menghambat perburukan fungsi ginjal. Faktor utama penyebab

perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara

penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah pembatasan asupan

protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤60 ml/mnt,

sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu

dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8/kg.bb/hari, yang 0,35-0,50 gr diantaranya

merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-

35 kkal/kg bb/ hari, dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi

pasien.

8.4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular.

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang

penting, karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Ginjal Kronik 1.repository.setiabudi.ac.id/4070/2/BAB II.pdf · Menurut Suwitra (2014) klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal

12

penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi

penyakit kardiovaskular adalah, pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi,

pengandalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia,

dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.

Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit

ginjal kronik secara keseluruhan.

8.5. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi. Penyakit ginjal kronik

mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat

penurunan fungsi ginjal yang terjadi. Salah satu komplikasi penyakit ginjal kronik

adalah anemia dan osteodistrofi renal. Anemia terjadi pada 80-90% pasien

penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoitin.

Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, disamping

penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal yang

dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi harus selalu mendapat

perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Komplikasi

selanjutnya yaitu osteodistrofi renal yang merupakan komplikasi penyakit ginjal

kronik yang sering terjadi. Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan

dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol.

Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian

pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorbs fosfat di saluran cerna.

8.6. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi. Terapi

pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG

kurang dari 15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis,

peritoneal dialysis atau transplantasi ginjal.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Ginjal Kronik 1.repository.setiabudi.ac.id/4070/2/BAB II.pdf · Menurut Suwitra (2014) klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal

13

B. Kualitas Hidup

1. Definisi

Menurut WHO kualitas hidup didefinisikan sebagai persepsi individu dari

posisi mereka di kehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai di tempat

mereka tinggal dan hidup dalam hubungannya pada tujuan mereka, harapan,

standar, dan kekhawatiran (Mabsusah, 2016). Menurut Anbarasan (2015) kualitas

hidup dapat disamakan dengan keadaan kesehatan, fungsi fisik, perceived health

status, kesehatan subjektif, persepsi mengenai kesehatan, simtom, kepuasan

kebutuhan, kognisi individu, ketidakmampuan fungsional, gangguan psikiatri,

kesejahteraan dan bahkan terkadang dapat bermakna lebih dari satu pada saat

yang sama.

Konsep multidimensional mencakup domain yang berkaitan dengan fungsi

fisik, mental, emosional, dan sosial disebut sebagai health related quality of life

(HRQOL). Ini melampaui tindakan langsung kesehatan penduduk, harapan hidup,

dan penyebab kematian serta berfokus pada status kesehatan yang berdampak

pada kualitas hidup. Konsep terkait HRQOL adalah kesejahteraan yang menilai

aspek-aspek positif dari kehidupan seseorang, seperti emosi positif dan kepuasan

hidup. HRQOL merupakan bagian dari kualitas hidup seseorang yang

menggambarkan efek fungsional dari penyakit dan konsekuensi terapi dari pasien

yang dirasakan oleh pasien itu sendiri (Andayani, 2013).

Pengukuran HRQOL adalah salah satunya menilai utilitas. Utilitas adalah

nilai pada tingkat status kesehatan atau perbaikan status kesehatan yang lebih

disukai oleh individu masyarakat (Andayani, 2013). Nilai utilitas berkisar dari 1

(status kesehatan sangat sehat) sampai 0 (status kesehatan yang terburuk, serta

dengan meninggal) (Thavorncharoensap, 2014). Dalam menentukan nilai utilitas

dapat dibagi menjadi dua metode yaitu langsung dan tidak langsung. Metode

langsung menawarkan manfaat dalam menentukan nilai utilitas tetapi memakan

waktu dan sulit dalam aplikasinya, sebaliknya metode yang menggunakan status

kesehatan sistem klasifikasi multiattribute untuk mendapatkan nilai utility seperti

EuroQol five dimensions (EQ5D), health utility index (HUI), SF-6D, dan Quality

Of Well Being (QWB), semuanya lebih mudah dan banyak digunakan.

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Ginjal Kronik 1.repository.setiabudi.ac.id/4070/2/BAB II.pdf · Menurut Suwitra (2014) klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal

14

Berdasarkan international society for pharmacoeconomics and outcome research

(ISPOR), standard gamble (SG), time trade off (TTO), dan EQ-5D adalah tiga

instrumen yang paling banyak digunakan untuk mengukur utilitas

(Thavorncharoensap, 2014).

2. Pengukuran Kualitas Hidup

Kualitas hidup dapat diketahui dengan melakukan pengukuran. Instrumen

yang biasa digunakan untuk pengukuran kualitas hidup yaitu instrumen generik

dan instrumen spesifik.

2.1. Instrumen generik. Instrumen generik merupakan instrumen yang

fokusnya lebih pada status kesehatan umum yang biasa digunakan untuk

mengetahui profil kesehatan dan pengukuran utilitas (Andayani, 2013).

Pengukuran HRQOL yang paling umum digunakan yaitu antara lain EQ-5D, SF-

6D, QWB-SA, HUI2 dan HUI3 (Pietersma et al., 2013).

2.1.1. Euro Quality of Life (EQ-5D). Euro Quality of Life EQ-5D adalah

instrumen general yang dikembangkan oleh EuroQol Group, digunakan secara

luas untuk mengukur status kesehatan pada suatu populasi (Rabin & Charro,

2001). EQ-5D-5L descriptive system memiliki 5 kategori tingkatan respon pada

masing-masing domain. Tingkat respon 1 menunjukkan no problem (tidak ada

masalah), tingkat respon 2 menunjukkan slight problems (sedikit bermasalah),

tingkat respon 3 menunjukkan moderate problems (cukup bermasalah), tingkat

respon 4 menunjukkan severe problems (sangat bermasalah, dan tingkat respon 5

menunjukkan extreme problems (amat sangat bermasalah) (Reenen & Janssen,

2015).

2.1.2. Short form six dimensions (SF-6D). Short Form 6-Dimensions (SF-

6D) merupakan instrumen kualitas hidup yang mengacu pada Medical Outcomes

Study (MOS) 36-Item Short Form (SF-36). Instrumen SF-6D merupakan hasil dari

klasifikasi ulang 8 dimensi dari instrumen SF-36 menjadi 6 dimensi (SF-6D)

sehingga item pertanyaan serta tingkatan respon yang dimiliki instrumen SF-6D

lebih sedikit daripada instrumen SF-36 (Craig et al., 2013). Instrumen SF-6D

memiliki 4 hingga 6 tingkatan respon sehingga instrumen ini dapat

mendefinisikan sebanyak 18.000 status kesehatan yang berbeda. Dimensi yang

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Ginjal Kronik 1.repository.setiabudi.ac.id/4070/2/BAB II.pdf · Menurut Suwitra (2014) klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal

15

terdapat pada instrumen SF-6D terdiri dari fungsi fisik, keterbatasan peran, fungsi

sosial, nyeri, kesehatan mental, dan vitalitas. Data-data yang dikumpulkan dari

responden diubah menjadi nilai utility menggunakan SF-6D utility algorithm

(Ferreira et al., 2008).

2.1.3. Quality of Well-Being Scale (QWB SA). QWB dikembangkan di

University of California San Diego, merupakan instrumen kualitas hidup secara

umum yang meliputi gejala atau masalah ditambah tiga dimensi status kesehatan

yaitu mobilitas, aktivitas fisik dan aktivitas sosial (Andayani, 2013).

2.1.4. Health Utilities Index (HUI). HUI dikembangkan oleh DI

MCMAster University, merupakan instrumen umum yang menggambarkan status

kesehatan seseorang pada suatu waktu, yaitu fungsional dalam rangkaian dimensi

status kesehatan (Andayani, 2013). HUI telah digunakan dalam ratusan studi

klinis, dibanyak negara digunakan untuk menyelidiki berbagai masalah kesehatan.

HUI terdiri dari Mark (HUI1), Mark (HUI2) dan Mark (HUI3). HUI mengacu

pada instrumen HUI Mark 2 (HUI2) dan HUI Mark 3 (HUI3) (Furlong et al.,

2000). HUI versi kedua dan HUI versi ketiga sama-sama menggunakan teknik

pengukuran utility yaitu standard gamble dan visual analog scales. HUI2 terdiri

dari 7 dimensi sedangkan HUI3 terdiri dari 6 dimensi (Andayani, 2013). Tujuan

HUI adalah mengukur status kesehatan, melaporkan kualitas hidup yang

berhubungan dengan kesehatan, dan menghasilkan nilai utilitas. Skor utilitas

HRQOL keseluruhan untuk pasien juga digunakan dalam analisis biaya utilitas

dan efektivitas biaya. Penggunaan HUI secara luas memfasilitasi interpretasi hasil

dan memungkinkan perbandingan hasil penyakit dan pengobatan (Horsman et al.,

2003).

3.1 Instrumen Spesifik. Instrumen spesifik diutamakan untuk mengukur

HRQoL dalam keadaan spesifik. Instrumen spesifik yang digunakan untuk

penyakit ginjal kronik adalah Kidney Disease Quality of Life Short Form

(KDQOL-SF versi 1.3) yang merupakan kuesioner yang dirancang untuk

mengukur kualitas hidup penderita PGK secara spesifik (Hays dkk., 1997), karena

beberapa aspek khusus pada penderita PGK yang menjalani hemodialisis tidak

dapat diukur dengan kuesioner yang dirancang untuk penyakit umum. KDQOL-

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Ginjal Kronik 1.repository.setiabudi.ac.id/4070/2/BAB II.pdf · Menurut Suwitra (2014) klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal

16

SF versi 1.3 merupakan instrumen untuk mengukur Health Related Quality of Life

(HRQOL) pada individu dengan penyakit ginjal dan dialisis yang dikembangkan

oleh Research and Development (RAND) dan Universitas Arizona. KDQOL-SF

versi 1.3 mencakup 43 item pertanyaan terkait penyakit ginjal dan 36 item

pertanyaan terkait kondisi kesehatan secara umum. Kidney Disease Quality of Life

Short Form (KDQOL-SF) merupakan pengembangan dari Short Form 36 (SF-36).

Alat ukur ini merupakan alat ukur khusus yang digunakan untuk menilai kualitas

hidup pasien PGK dan pasien yang menjalani dialisis (Hays, 2002). Berdasarkan

Hays dkk. (1997), kuesioner KDQOL-SF mempunyai reliabilitas di atas 0,8 untuk

pertanyaan terkait penyakit ginjal kecuali aspek fungsi kognitif (0,68) dan aspek

interaksi sosial (0,61). Pertanyaan terkait kondisi kesehatan secara umum

memiliki reliabilitas 0,78-0,92. Hal ini menandakan bahwa kuesioner KDQOL

memiliki nilai reliabilitas yang baik.

C. Properti Psikometri

Psikometri merupakan penyusunan dan validasi suatu instrumen pengukur

serta menilai apakah suatu instrumen reliabel dan valid untuk digunakan dalam

proses pengukuran. Dalam perilaku kedokteran, psikometri biasanya dikaitkan

dengan pengetahuan individu, kemampuan, kepribadian, dan tipe perilaku.

Psikometri biasanya melibatkan penggunaan suatu instrumen seperti kuesioner

dan evaluasi kuesioner perlu dilakukan untuk mengetahui apakah kuesioner

tersebut memiliki properti psikometri yang baik (Ginty, 2013). Reliabilitas dan

validitas merupakan dua properti psikometri utama yang harus dimiliki sebuah

instrumen. Reliabilitas menggambarkan reprodusibilitas atau stabilitas hasil

pengukuran kualitas hidup pada populasi yang tidak mengalami perubahan

kesehatan atau perubahan pada kualitas hidupnya sedangkan validitas

mengungkapkan sejauh mana suatu instrumen dapat mengukur apa yang ingin

diukur. Properti psikometri yang dapat dianalisis untuk menunjukkan reliabilitas

instrumen antara lain agreement, internal consistency, dan test-retest reliability

sedangkan face validity, content validity, dan construct validity merupakan

properti psikometri yang dapat menunjukkan validitas instrumen (Walters, 2009).

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Ginjal Kronik 1.repository.setiabudi.ac.id/4070/2/BAB II.pdf · Menurut Suwitra (2014) klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal

17

1. Agreement

Penilaian agreement dilakukan untuk menunjukkan stabilitas hasil

pengukuran suatu konsep yang sama menggunakan 2 alat ukur yang berbeda.

Agreement dapat dianalisis melalui nilai Intra-class Correlation Coefficient (ICC)

untuk data kontinu atau weighted Cohen’s Kappa coefficient untuk data ordinal

(Terwee et al., 2007). Dua alat ukur yang berbeda namun mengukur konsep yang

sama seharusnya memiliki tingkat agreement yang tinggi, ditunjukkan dengan

nilai ICC atau koefisien Kappa (κ) yang mendekati angka 1 (Walters, 2009).

2. Internal consistency

Instrumen kualitas hidup biasanya terdiri dari lebih dari satu item

pertanyaan untuk menghasilkan estimasi respon yang lebih reliabel. Masing-

masing item pertanyaan dinilai kemudian nilai-nilai yang diperoleh dikonversikan

menjadi satu unit angka (Walters, 2009). Internal consistency menilai apakah

item-item yang digunakan semuanya homogen sehingga dapat mengukur satu

konsep yang sama (Terwee et al., 2007).

3. Face dan content validity

Face validity sering dianggap sebagai bentuk dari content validity. Face

validity lebih melihat apakah instrumen kualitas hidup nampak mengukur apa

yang ingin diukur sedangkan content validity melihat secara lebih rinci apakah

item-item pada instrumen tersebut dapat mencakup domain secara komprehensif,

jelas, dan tidak menimbulkan makna yang ambigu (Walters, 2009). Face validity

berfokus pada critical review terhadap item-item di setiap domain dari suatu

instrumen baru sebelum instrumen tersebut digunakan untuk pengukuran

sedangkan cakupan dan relevansi antar item biasanya dinilai selama proses

penyusunan instrumen (Walters, 2009). Tes terhadap kedua macam validitas ini

melibatkan penilaian kualitatif mengenai apakah item-item pada instrumen

merefleksikan secara jelas dimensi kualitas hidup dan apakah item-item tersebut

dapat mewakili domain kualitas hidup yang diteliti (Walters, 2009).

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Ginjal Kronik 1.repository.setiabudi.ac.id/4070/2/BAB II.pdf · Menurut Suwitra (2014) klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal

18

4. Construct validity

Construct validity menilai hubungan antara satu konsep dengan konsep

yang lain pada suatu instrumen secara lebih kuantitatif. Sebagai contoh, subjek

yang merasakan nyeri lebih berat diperkirakan membutuhkan analgesik yang lebih

banyak, individu dengan disabilitas yang lebih berat memiliki kemampuan

bergerak yang lebih rendah (Fitzpatrick, 1998). Construct validity dapat dibagi

menjadi 3 macam yaitu known-groups validity, convergent validity, dan

discriminant validity (Walters, 2009).

4.1 Known-groups validity. Known Group merupakan salah satu properti

psikometri yang bisa mengukur tingkat validitas dari instrumen yang digunakan.

Known Group menilai kemampuan instrumen dalam membedakan subjek

berdasarkan perbedaan kondisi kliniknya (Deng et al., 2013). Perbedaan utilitas

didasarkan pada kelompok keparahan penyakit (misalnya: tidak ada penyakit,

kelompok penyakit akut, kelompok penyakit kronis). Semakin tinggi

signifikansinya maka semakin baik validitas (Terwee et al., 2007).

4.2 Convergent validity. Convergent validity merupakan salah satu aspek

dari construct validity yang menilai hubungan antar instrumen (Pattanaphesaj &

Thavorncharoensap, 2015). Convergent validity menilai korelasi antara instrumen

kualitas hidup yang satu dengan instrumen kualitas hidup yang lain. Dua

instrumen yang berbeda seharusnya memiliki korelasi yang kuat jika keduanya

mengukur satu konsep yang sama. Convergent validity juga dapat digunakan

untuk menilai hubungan antara dimensi kualitas hidup dengan dimensi yang lain

yang secara teoritis memang dinilai memiliki hubungan. Sebagai contoh,

penelitian yang dilakukan oleh Walters et al. (1999) terhadap pasien venous leg

ulcer menggunakan 4 macam instrumen menganalisis convergent validity dengan

menilai korelasi antara dimensi fungsi fisik instrumen SF-36 dengan Frenchay

Activities Index (FAI) yang merupakan instrumen pengukur fungsi fisik.

4.3 Floor dan ceiling effect. Instrumen kualitas hidup dikatakan responsif

jika instrumen tersebut dapat mendeteksi perubahan tingkatan respon yang sekecil

mungkin. Proporsi pasien pada ‘floor’ dan ‘ceiling’ dapat digunakan untuk

melihat tingkat responsivitas suatu instrumen. Proporsi respon subjek yang tinggi

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Ginjal Kronik 1.repository.setiabudi.ac.id/4070/2/BAB II.pdf · Menurut Suwitra (2014) klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal

19

pada akhir skala respon terburuk disebut sebagai floor effect sedangkan ceiling

effect diukur sebagai proporsi respon subjek yang tinggi pada akhir skala respon

terbaik (Walters, 2009). Penurunan ceiling effect menghasilkan sensitivitas yang

meningkat terhadap perubahan tingkatan respon (Jia et al., 2014).

D. Landasan Teori

Reliabilitas dan validitas merupakan dua properti psikometri utama yang

harus dimiliki sebuah instrumen. Properti psikometri yang dapat dianalisis untuk

menunjukkan reliabilitas instrumen antara lain agreement, internal consistency,

dan test-retest reliability sedangkan face validity, content validity, dan construct

validity merupakan properti psikometri yang dapat menunjukkan validitas

instrumen. Reliabilitas menggambarkan reprodusibilitas atau stabilitas hasil

pengukuran kualitas hidup pada populasi yang tidak mengalami perubahan

kesehatan atau perubahan pada kualitas hidupnya sedangkan validitas

mengungkapkan sejauh mana suatu instrumen dapat mengukur apa yang ingin

diukur (Walters, 2009).

Menurut WHO kualitas hidup didefinisikan sebagai persepsi individu dari

posisi mereka di kehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai di tempat

mereka tinggal dan hidup dalam hubungannya pada tujuan mereka, harapan,

standar, dan kekhawatiran (Mabsusah, 2016). Dalam menentukan nilai utilitas

dapat dibagi menjadi dua metode yaitu langsung dan tidak langsung. Metode

langsung menawarkan manfaat dalam menentukan nilai utilitas tetapi memakan

waktu dan sulit dalam aplikasinya, sebaliknya metode yang menggunakan status

kesehatan sistem klasifikasi multiattribute untuk mendapatkan nilai utilitas seperti

EuroQol five dimensions (EQ5D), health utility index (HUI), SF-6D, dan Quality

Of Well Being (QWB), semuanya lebih mudah dan banyak digunakan.

Berdasarkan international society for pharmacoeconomics and outcome research

(ISPOR), standard gamble (SG), time trade off (TTO), dan EQ-5D adalah tiga

instrumen yang paling banyak digunakan untuk mengukur utility

(Thavorncharoensap, 2014).

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Ginjal Kronik 1.repository.setiabudi.ac.id/4070/2/BAB II.pdf · Menurut Suwitra (2014) klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal

20

Nilai utilitas pasien penyakit ginjal kronis jauh lebih rendah mengenai

kesehatan fisik, pasien juga mengalami keterbatasan diri terhadap kegiatan rumah

tangga dan pekerjaan, hal ini disebabkan oleh keadaan kesehatan fisik mereka

(rasa sakit somatik, kelelahan) dan masalah emosional (depresi dan cemas)

(Gerson et al., 2004). Kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronis dipengaruhi

oleh beberapa faktor diantaranya usia, jenis kelamin, hemodialisa, komorbid dan

komplikasi (Anindya, 2018).

E. Kerangka Konsep

Gambar 1. Kerangka Konsep

Kuesioner EQ-5D-5L

Validitas dan realibilitas :

1. Convergent validity

2. Internal consistency

3. Floor and ceiling effect

Kuesioner SF-6D

HRQOL :

1. Kualitas hidup

2. Nilai utilitas

1. Usia

2. Jenis kelamin

3. Komorbid

4. Komplikasi

5. Stadium

6. Faktor resiko

a. Hipertensi

b. Diabetes mellitus

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Ginjal Kronik 1.repository.setiabudi.ac.id/4070/2/BAB II.pdf · Menurut Suwitra (2014) klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal

21

F. Keterangan Empiris

Dengan penelitian ini dapat diketahui validitas dan realibilitas kuesioner EQ-5D-

5L dan SF-6D pada pasien penyakit ginjal kronik.

G. Hipotesis

1. Terdapat perbedaan nilai utilitas pasien penyakit ginjal kronik yang dinilai

dengan menggunakan kuesioner EQ-5D-5L dan SF-6D.

2. Usia, jenis kelamin, faktor resiko, komplikasi, stadium dan komorbid

berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik.