Upload
duongthuan
View
229
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pajak
1. Pengertian Pajak
Soemitro yang dikutip Mardiasmo,23 menyatakan bahwa pajak adalah
iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang
langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar
pengeluaran umum. Dijelaskan bahwa “dapat dipaksakan” berarti bahwa
utang pajak tidak dibayar maka utang itu tidak dapat ditagih dengan
menggunakan kekerasan, seperti surat paksa dan sita, dan juga
penyanderaan; terhadap pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukkan adanya
jasa timbal balik tertentu seperti halnya di dalam retribusi.
Menurut P.J.A. Adriani yang dikutip Thomas Sumarsan mengatakan
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang
oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak
mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.24
Adapun menurut M.H.J. Smeets yang dikutip Santoso Brotodiharjo
mengatakan “Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang
23 Mardiasmo. 2009. Perpajakan Edisi Revisi Tahun 2009. Yogyakarta: Andi Offset, hlm.1.
24 Thomas Sumarsan, Perpajakan Indonesia, Vol. 3, (Jakarta: Indeks, 2013), hlm. 3.
21
melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa ada
kalanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual;
maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah”.25
Sementara berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun
2007 Tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan Pajak disebutkan
bahwa: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-
undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”.26
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa pajak adalah iuran wajib rakyat kepada negara (pemerintah) yang
bersifat memaksa berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan (peraturan
perundang-undangan) tanpa adanya kontraprestasi secara langsung yang
dapat dirasakan oleh rakyat dan digunakan untuk menyelenggarakan
kesejahteraan umum.
2. Pengelompokan Pajak
Menurut Etty Muyassaroh,27 ada beberapa jenis kelompok pajak yang
berlaku di Indonesia, antara lain:
25 R. Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung: Refika Aditama, 2010),
hlm. 4.
26 Pasal 1 Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Tata Cara
Perpajakan Pajak
27 Etty Muyassaroh, Perpajakan: Konsep, Brevet A dan B, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia,
2012), hlm. 8.
22
a. Menurut golongannya:
1) Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib
pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang
lain. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh).
2) Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang akhirnya dapat dibebankan
atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Pertambahan
Nilai (PPN).
b. Menurut sifatnya:
1) Pajak subjektif, yaitu pajak yang berdasarkan pada subjeknya, dalam
arti memerhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh: Pajak
Penghasilan (PPh).
2) Pajak objektif, yaitu pajak yang berdasar pada objeknya, tanpa
memerhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh: Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
c. Menurut lembaga pemungutannya:
1) Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
2) Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga pemerintah daerah.
3. Fungsi Pajak
Menurut Thomas Sumarsan,28 pajak mempunyai peranan yang sangat
penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan
28 Thomas Sumarsan, Op.cit, hlm. 5.
23
pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk
membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan.
Berdasarkan hal di atas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
a. Fungsi Penerimaan (Budgetair)
Pajak berfungsi untuk menghimpun dana dari masyarakat bagi kas
negara, yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran
pemerintah. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan
melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini
dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan
untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang,
pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan,
uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam
negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun
ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan
pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan
dari sektor pajak.
b. Fungsi mengatur (Regulerend)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur struktur pendapatan di
tengah masyarakat dan struktur kekayaan antara para pelaku ekonomi.
Fungsi mengatur ini sering menjadi tujuan pokok dari sistem pajak,
paling tidak dalam sistem perpajakan yang benar tidak terjadi
pertentangan dengan kebijaksanaan negara dalam bidang ekonomi dan
sosial. Sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu di luar bidang
24
keuangan, terutama banyak ditujukan terhadap sektor swasta.
Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam
negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas
keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri,
pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar
negeri.
B. Asas Kepastian Hukum, Keadilan, dan Kemanfaatan Hukum
1. Asas Kepastian Hukum
Menurut Syafruddin Kalo, “kepastian hukum dapat kita lihat dari dua
sudut, yaitu kepastian dalam hukum itu sendiri dan kepastian karena
hukum”.29 Lebih lanjut beliau memaparkan:
Kepastian dalam hukum dimaksudkan bahwa setiap norma hukum itu
harus dapat dirumuskan dengan kalimat-kalimat di dalamnya tidak
mengandung penafsiran yang berbeda-beda. Akibatnya akan
membawa perilaku patuh atau tidak patuh terhadap hukum. Dalam
praktek banyak timbul peristiwaperistiwa hukum, di mana ketika
dihadapkan dengan substansi norma hukum yang mengaturnya,
kadangkala tidak jelas atau kurang sempurna sehingga timbul
penafsiran yang berbedabeda yang akibatnya akan membawa kepada
ketidakpastian hukum. Sedangkan kepastian karena hukum
dimaksudkan, bahwa karena hukum itu sendirilah adanya kepastian,
misalnya hukum menentukan adanya lembaga daluarsa, dengan lewat
waktu seseorang akan mendapatkan hak atau kehilangan hak. Berarti
hukum dapat menjamin adanya kepastian bagi seseorang dengan
lembaga daluarsa akan mendapatkan sesuatu hak tertentu atau akan
kehilangan sesuatu hak tertentu.30
Apabila kepastian hukum diidentikkan dengan perundang-undangan,
maka salah satu akibatnya adalah kalau ada bidang kehidupan yang belum
29 Syafruddin Kalo, Op.cit., hlm. 4.
30 Ibid.
25
diatur dalam perundang-undangan, maka hukum akan tertinggal oleh
perkembangan masyarakat. Oleh sebab itu dalam proses penegakan hukum
perlu memperhatikan kenyataan hukum yang berlaku.31 Sehingga
kepastian hukum dalam hal ini berguna untuk menciptakan ketertiban
masyarakat. Menurut Satjipto Rahardjo sebagaimana dikutip oleh
Syafruddin Kalo mengatakan:
Salah satu aspek dalam kehidupan hukum adalah kepastian, artinya,
hukum berkehendak untuk menciptakan kepastian dalam hubungan
antar orang dalam masyarakat. Salah satu yang berhubungan erat
dengan masalah kepastian tersebut adalah masalah dari mana hukum
itu berasal. Kepastian mengenai asal atau sumber hukum menjadi
penting sejak hukum menjadi lembaga semakin formal.32
Menurut Sudikno Mertukusumo,33 kepastian hukum merupakan
jaminan bahwa hukum tersebut dapat dijalankan dengan baik. Sudah tentu
kepastian hukum sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan hal ini lebih
diutamakan untuk norma hukum tertulis. Karena kepastian sendiri
hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Kepastian hukum ini
menjadi keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian itu sendiri
karena esensi dari keteraturan akan menyebabkan seseorag hidup secara
berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam melakukan
aktivitas kehidupan masyarakat itu sendiri.
Dalam hal kepastian hukum ini menurut Gunter Teubner yang dikutip
Teguh Prasetyo dan A.H. Barkatullah,34 hukum yang dapat memuaskan
31 Ibid.
32 Ibid., hlm. 16.
33 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 2009), hlm. 21.
34 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum, (Jakarta:
Raja Grafindo, 2012), hlm. 317-318.
26
semua pihak adalah hukum yang responsif dan hukum yang responsif
hanya lahir dari jika ada demokratisasi legislasi. Tanpa demokrasi
(partisipasi masyarakat) dalam proses legislasi hasilnya tidak akan pernah
melahirkan hukum yang mandiri. Hukum hanya sebagai legitimasi
keinginan pemerintah, dalam kondisi seperti itu ada tindakan pemerintah
dianggap bertentangan dengan hukum. Kepentingan-kepentingan
masyarakat menjadi terabaikan karena hukum bersifat mandiri karena
makna-maknanya mengacu pada dirinya sendiri (keadilan, kepastian,
kemanfaatan).
Kepastian hukum merupakan suatu jaminan bahwa suatu hukum harus
dijalankan dengan cara yang baik atau tepat. Kepastian pada intinya salah
satu tujuan dari hukum. Kepastian hukum kerap sekali mengarah kepada
aliran positivime karena jika hukum tidak memiliki jati diri maka tidak
lagi digunakan sebagai pedoman atau panutan perilaku setiap orang.
Namun hukum sangat erat kaitanya dengan politik kekuasaan berhembus
maka disitulah hukum berlabuh.35
2. Asas Keadilan
Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak
dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum.36 Hal yang paling
fundamental ketika membicarakan hukum tidak terlepas dengan keadilan
Dewi Keadilan dari Yunani. Dari zaman Yunani hingga zaman modern
para pakar memiliki disparitas konsep keadilan, hal ini disebabkan pada
35 Awaludin Marwan, Teori Hukum Kontemporer: Suatu Pengantar Posmoderenisme Hukum,
(Yogyakarta: Rangkang Education, 2010), hlm. 24
36 Darmodiharjo, Darji, dan Shidarta, Op.cit., hlm. 155.
27
kondisi saat itu. Pada konteks ini sebagaimana telah dijelaskan pada
pendahuluan, bahwa tidak secara holistik memberikan definisi keadilan
dari setiap pakar di zamannya akan tetapi akan disampaikan parsial sesuai
penulisan yang dilakukan.
Aristoteles dalam bukunya Nichomacen Ethics, sebagaimana dikutip
oleh Darmodiharjo, Darji, dan Shidarta telah menulis secara panjang lebar
tentang keadilan. Ia menyatakan, keadilan adalah kebajikan yang berkaitan
dengan hubungan antar manusia. Kata adil mengandung lebih dari satu
arti. Adil dapat berarti menurut hukum, dan apa yang sebanding, yaitu
yang semestinya. Disini ditunjukkan, bahwa seseorang dikatakan berlaku
tidak adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang
semestinya.37
Keadilan menurut Socrates sebagaimana dikutip Ahmad Fadlil
Sumadi mengatakan bahwa, “hakekat hukum dalam memberikan suatu
keputusan yang berkeadilan haruslah: tidak berat sebelah, berpegang pada
fakta yang benar, dan tidak bertindak sewenang-wenang atas
kekuasaannya.38 Adapun menurut Satjipto Rahardjo sebagaimana dikutip
oleh Syafruddin Kalo mengatakan bahwa, “keadilan adalah inti atau
hakikat hukum”.39 Keadilan tidak hanya dapat dirumuskan secara
matematis bahwa yang dinamakan adil bila seseorang mendapatkan bagian
yang sama dengan orang lain. Karena keadilan sesungguhnya terdapat
37 Ibid., hlm. 156.
38 Ahmad Fadlil Sumadi, “Hukum dan Keadilan Sosial dalam Perspektif Hukum
Ketatanegaraan” Jurnal Konstitusi, Vol. 12, No. 4, Desember 2015, hlm. 5.
39 Syafruddin Kalo, “Penegakan Hukum yang Menjamin Kepastian Hukum dan Rasa keadilan
Masyarakat” dikutip dari http://www.academia.edu.com diakses 8 Pebruari 2018, hlm. 5.
28
dibalik sesuatu yang tampak dalam angka tersebut (metafisis), terumus
secara filosofis oleh penegak hukum yaitu hakim.40
Menurut L.J Van Apeldoorn mengatakan, ”keadilan tidak boleh
dipandang sama arti dengan persamarataan, keadilan bukan berarti bahwa
tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama”.41 Maksudnya keadilan
menuntut tiap-tiap perkara harus ditimbang tersendiri, artinya adil bagi
seseorang belum tentu adil bagi yang lainnya. Tujuan hukum adalah
mengatur pergaulan hidup secara damai jika ia menuju peraturan yang
adil, artinya peraturan dimana terdapat keseimbangan antara kepentingan-
kepentingan yang dilindungi, dan setiap orang memperoleh sebanyak
mungkin yang menjadi bagiannya.42
Keadilan tidak boleh dipandang sama arti dengan persamarataan.
Keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian
yang sama....Jika hukum semata-mata menghendaki keadilan, jadi
semata-mata mempunyai tujuan memberi tiap-tiap orang apa yang
patut diterimanya, maka ia tak dapat membentuk peraturan-peraturan
umum....Tertib hukum yang tak mempunyai peraturan umum, bertulis
atau tidak bertulis adalah tidak mungkin. Tak adanya peraturan umum,
berarti ketidaktentuan yang sungguh-sungguh, mengenai apa yang
disebut adil atau tidak adil. Ketidaktentuan itu akan menyebabkan
perselisihan. Jadi hukum harus menentukan peraturan umum, harus
menyamaratakan. Keadilan melarang menyamaratakan; keadilan
menuntut supaya tiap-tiap perkara harus ditimbang tersendiri....makin
banyak hukum memenuhi syarat, peraturan yang tetap, yang sebanyak
mungkin meniadakan ketidakpastian, jadi makin tepat dan tajam
peraturan hukum itu, makin terdesaklah keadilan. Itulah arti summum
ius, summa iniuria, keadilan yang tertinggi adalah ketidakadilan yang
tertinggi.43
40 Ibid.
41 L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, terj. Oetarid Sadino, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1993), hlm. 11.
42 Ibid.
43 Ibid., hlm.11-13.
29
Dalam pengertian lain, menurut Satjipto Rahardjo sebagaimana
dikutip oleh Syafruddin Kalo menekankan bahwa, “merumuskan konsep
keadilan bagaimana bisa menciptakan keadilan yang didasarkan pada nilai-
nilai keseimbangan atas persamaan hak dan kewajiban”.44 Sementara
menurut Ahmad Ali MD mengatakan bahwa, “keadilan sebuah putusan
hukum yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pencari keadilan haruslah
diambil berdasatkan kebenaran substantif, memberikan sesuatu kepada
yang berhak menerimanya”.45
Namun harus juga diperhatikan kesesuaian mekanisme yang
digunakan oleh hukum, dengan membuat dan mengeluarkan peraturan
hukum dan kemudian menerapkan sanksi terhadap para anggota
masyarakat berdasarkan peraturan yang telah dibuat itu, perbuatan apa saja
yang boleh dan tidak boleh dilakukan yaitu substantif. Namun juga harus
dikeluarkan peraturan yang mengatur tata cara dan tata tertib untuk
melaksanakan peraturan substantif tersebut yaitu bersifat prosedural,
misalnya hukum perdata (substantif) berpasangan dengan hukum acara
perdata (prosedural).46
Lebih lanjut untuk mengukur sebuah keadilan, menurut Fence M.
Wantu mengatakan, “adil pada hakekatnya menempatkan sesuatu pada
tempatnya dan memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya,
yang didasarkan pada suatu asas bahwa semua orang sama kedudukannya
44 Syafruddin Kalo, Op.cit., hlm. 5.
45 Ahmad Ali MD, “Keadilan Hukum Bagi Orang Miskin,” Jurnal Mimbar Hukum dan
Keadilan, (Yogyakarta) Edisi 1, 2012, hlm. 132.
46 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 77-78.
30
di muka hukum (equality before the law)”.47 Oleh karena itu penekanan
yang lebih cenderung kepada asas keadilan dapat berarti harus
mempertimbangkan hukum yang hidup di masyarakat, yang terdiri dari
kebiasaan dan ketentuan hukum yang tidak tertulis. Hakim dalam alasan
dan pertimbangan hukumnya harus mampu mengakomodir segala
ketentuan yang hidup dalam masyarakat berupa kebiasaan dan ketentuan
hukum yang tidak tertulis, manakala memilih asas keadilan sebagai dasar
memutus perkara yang dihadapi.48
3. Asas Kemanfaatan
Hukum merupakan urat nadi dalam kehidupan suatu bangsa untuk
mencapai cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Bagi Hans Kelsen
sebagaimana dikutip Mohamad Aunurrohim mengatakan bahwa,
“...hukum itu dikonstruksikan sebagai suatu keharusan yang mengatur
tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional”.49 Dalam hal ini yang
dipersoalkan oleh hukum bukanlah, bagaimana hukum itu seharusnya,
melainkan apa hukumnya.50
Eksistensi hukum bertujuan untuk memberikan keamanan dan
ketertiban serta menjamin adanya kesejahteraan yang diperoleh
masyarakat dari negara sebagai payung bermasyarakat. Kaidah hukum di
samping kepentingan manusia terhadap bahaya yang mengancamnya, juga
47 Fence M. Wantu, “Mewujukan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam
Putusan Hakim di Peradilan Perdata,” Jurnal Dinamika Hukum, (Gorontalo) Vol. 12, No. 3,
September 2012.
48 Ibid.
49 Mohamad Aunurrohim, “Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan Hukum di Indonesia”
dikutip dari http://www.academia.edu.com diakses 8 Pebruari 2018, hlm. 6 dan 7.
50 Ibid, hlm. 7.
31
mengatur hubungan di antara manusia.51 Identifikasi setiap permasalahan
merupakan tugas dari hukum untuk memberikan jaminan adanya kepastian
hukum. Masyarakat berkembang secara pesat di dunia komunitasnya atau
dalam bernegara, hal ini dipengaruhi oleh perkembangan zaman sehingga
kebutuhan harus dipenuhi sesuai zamanya. Keberlakuan ini secara
langsung tidak memiliki relevansi dengan kepastian hukum, karenannya
hukum akan bersifat statis tanpa adanya penyesuaian antara hukum dan
perilaku masyarakat kekinian atau terjadi kekacuan hukum.
Untuk itu perlu hukum yang kontekstual, dalam arti dapat
mengakomodir praktik-praktik sosial di masyarakat dengan diatur oleh
norma hukum. Ajaran-ajaran hukum yang dapat diterapkan, menurut
Johnson, agar tercipta korelasi antara hukum dan masyarakatnya, yaitu
hukum sosial yang lebih kuat dan lebih maju daripada ajaran-ajaran yang
diciptakan oleh hukum perseorangan.52 Artikulasi hukum ini akan
menciptakan hukum yang sesuai cita-cita masyarakat.Karenanya muara
hukum tidak hanya keadilan dan kepastian hukum, akan tetapi aspek
kemanfaatan juga harus terpenuhi. Penganut mazhab utilitarianisme
memperkenalkan tujuan hukum yang ketiga, di samping keadilan dan
kepastian hukum. Dilanjutkannya, tujuan hukum itu adalah untuk
kemanfaatan bagi seluruh orang.53
51 Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Cetakan ke 1(Yogyakarta: Universitas Atma Jaya,
2011) hlm. 16.
52 Alvin S. Johnson, Sosiologi Hukum, Cetakan ke 3 (Jakarta: Asdi Mahastya, 2006) hlm. 204.
53 Darmodiharjo, Darji, dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Cet. VI, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 60.
32
Kemanfaatan merupakan hal yang paling utama di dalam sebuah
tujuan hukum, mengenai pembahasan tujuan hukum terlebih dahulu
diketahui apakah yang diartikan dengan tujuannya sendiri dan yang
mempunyai tujuan hanyalah manusia akan tetapi hukum bukanlah tujuan
manusia, hukum hanyalah salah satu alat untuk mencapai tujuan dalam
hidup bermasyarakat dan bernegara. Tujuan hukum bisa terlihat dalam
fungsinya sebagai fungsi perlindungan kepentingan manusia, hukum
mempunyai sasaran yang hendak dicapai.54
Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau
penegakan hukum. Hukum itu untuk manusia, maka pelaksanaan hukum
atau penegakkan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi
masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau
ditegakkan malah akan timbul keresahan di dalam masyarakat itu sendiri.55
Menurut Jeremy Bentham sebagaimana dikutip oleh Mohamad
Aunurrohim mengatakan, “hukum barulah dapat diakui sebagai hukum,
jika ia memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya terhadap
sebanyak-banyaknya orang”.56
C. Peraturan Perundang-undangan Tentang Pajak Rumah Kos
Rumah kos atau sering juga disebut dengan kos-kosan merupakan salah
satu kebutuhan bagi para mahasiswa yang sedang menempuh ilmu di daerah
54 Said Sampara dkk, Pengantar Ilmu Hukum, (Yogyakarta: Total Media, 2011), hlm. 40.
55 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2005),
hlm. 160.
56 Mohamad Aunurrohim, op.cit, hlm. 7.
33
lain dari luar kampung halaman, dan rumah kos merupakan kebutuhan utama.
Pada umumnya mahasiswa yang memiliki perekonomian tinggi akan tinggal
di sebuah apartemen atau guest house atau hotel, namun bagi mahasiswa yang
memiliki kondisi ekonomi menengah ke bawah, biasanya akan tinggal di
sebuah kamar tinggal yang biasanya disebut dengan rumah kos, atau sering
juga disebut dengan kos-kosan.57
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun
1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah secara eksplisit belum
menyebutkan rumah kos sebagai bagian dari kategori hotel. Namun seiring
dengan kebijakan pemerintah tentang otonomi daerah, maka kedua undang-
undang tersebut dianggap perlu disesuaikan dengan kebijakan otonomi
daerah. Oleh karena itu, dikeluarkanlah Undang-Undang No. 28 Tahun 2009
Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menyebut tentang pajak
hotel yang mencakup rumah kos.
Rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh) merupakan
bagian dari kategori hotel sebagai fasilitas penyedia jasa penginapan atau
peristirahatan dengan dipungut bayaran. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal
1 ayat 21 Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah yang berbunyi : Hotel adalah fasilitas penyedia jasa
penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut
57 Dadi Rosadi dan Febi Oktarista Andriawan, “Aplikasi Sistem Informasi Pencarian Tempat
Kos di Kota Bandung Berbasis Android”, Jurnal Computech & Bisnis, Edisi 10, No. 1, Juni 2016,
hlm. 50.
34
bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma
pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos
dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh).58
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka
dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah (PP) No. 65 Tahun 2001 Tentang Pajak
Daerah. Pasal 38 ayat (1) huruf a PP No. 65 Tahun 2001 Tentang Pajak
Daerah yang berbunyi : Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan
hotel dengan pembayaran, termasuk fasilitas penginapan atau fasilitas tinggal
jangka pendek;59
Terkait dengan penginapan atau fasilitas tinggal jangka pendek tersebut
dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 38 ayat (1) huruf a PP No. 65 Tahun 2001
Tentang Pajak Daerah bahwa dalam pengertian rumah penginapan termasuk
rumah kos dengan jumlah kamar 10 (sepuluh) atau lebih yang menyediakan
fasilitas seperti rumah penginapan. Fasilitas penginapan/fasilitas tinggal
jangka pendek, antara lain, gubuk pariwisata (cottage), motel, wisma
pariwisata, pesanggrahan (hostel), losmen, dan rumah penginapan.60
Sementara itu, setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 28 Tahun
2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka Pemerintah juga
58 Pasal 1 ayat 21 Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah.
59 Pasal 38 ayat (1) Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah.
60 Penjelasan Pasal 38 ayat (1) Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 Tahun 2001 Tentang Pajak
Daerah.
35
mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 91 Tahun 2010 Tentang Jenis
Pajak Daerah yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau
Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak. Pasal 1 ayat 1 PP No. 91 Tahun 2010
berbunyi : Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi
wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.61
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) PP No. 91 Tahun 2010 Tentang Jenis Pajak
Daerah yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar
Sendiri oleh Wajib Pajak bahwa pajak yang dimaksud tersebut terdiri dari dua
jenis, yakni pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota.62 Sementara itu, Pasal 2
ayat (3) huruf a Pasal 2 ayat (1) PP No. 91 Tahun 2010 tersebut menyatakan
bahwa jenis pajak kabupaten/kota yang dimaksud salah satunya adalah Pajak
Hotel.63 Kemudian Pasal 4 PP No. 91 Tahun 2010 tersebut menyatakan
bahwa jenis pajak hotel dibayar sendiri oleh Wajib Pajak.64
Berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang disebutkan
di atas, maka Pemerintah Kota Malang mengeluarkan Peraturan Daerah
(Perda) Kota Malang No. 2 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Perda Kota
Malang No. 16 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah. Oleh karena hotel yang
61 Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah RI Nomor 91 Tahun 2010 Tentang Jenis Pajak Daerah.
62 Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah RI Nomor 91 Tahun 2010 Tentang Jenis Pajak
Daerah.
63 Pasal 2 ayat (3) huruf a Peraturan Pemerintah RI Nomor 91 Tahun 2010 Tentang Jenis
Pajak Daerah.
64 Pasal 4 Peraturan Pemerintah RI Nomor 91 Tahun 2010 Tentang Jenis Pajak Daerah.
36
ada di Kota Malang dikenakan pajak hotel oleh Pemerintah Kota Malang,
maka demikian pula halnya dengan rumah kos tersebut. Seperti yang termuat
dalam Pasal 1 ayat 9 Perda Kota Malang No. 2 Tahun 2015 Tentang
Perubahan atas Perda Kota Malang No. 16 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah,
yang berbunyi : Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan
hotel dan pasal 1ayat 10 Perda Kota Malang No. 2 Tahun 2015 Tentang
Perubahan atas Perda Kota Malang No. 16 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah
yang berbunyi : Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan
termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga
motel, losmen, rumah penginapan dan sejenisnya serta rumah kos dengan
jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh).65 `
Hotel merupakan objek yang dikenakan pajak hotel, sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) Perda Kota Malang No. 2 Tahun 2015
Tentang Perubahan atas Perda Kota Malang No. 16 Tahun 2010 tentang Pajak
Daerah diatur tentang objek pajak hotel di Kota Malang, yang berbunyi:
Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh hotel dengan
pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan hotel yang
sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan.66
Dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Perda Kota Malang No. 2 Tahun 2015
Tentang Perubahan atas Perda Kota Malang No. 16 Tahun 2010 tentang Pajak
Daerah, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pelayanan yang disediakan
65 Pasal 1 ayat 9 dan 10 Perda Kota Malang No. 2 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Perda
Kota Malang No. 16 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah.
66 Pasal 4 ayat (1) Perda Kota Malang No. 2 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Perda Kota
Malang No. 16 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah.
37
oleh hotel dengan pembayaran yaitu sewa kamar, layanan kamar (room
service), restoran, fasilitas pertemuan (meeting room), fasilitas olahraga,
fasilitas hiburan dan jasa penunjang kelengkapan hotel yang sifatnya
memberikan kemudahan dan kenyamanan. Fasilitas hiburan yang disediakan
hotel dengan mengundang bintang tamu dan/atau dikerjasamakan dengan
pihak ketiga dimana terdapat tiket/charge dan yang sejenis, dipisahkan dari
Pajak Hotel.67
Salah satu objek pajak hotel tersebut adalah rumah kos dengan jumlah
kamar lebih dari sepuluh kamar. Pajak rumah kos tersebut diatur dalam Pasal
4 ayat (3) huruf d Perda Kota Malang No. 2 Tahun 2015 Tentang Perubahan
atas Perda Kota Malang No. 16 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah, yang
berbunyi: Termasuk dalam objek Pajak Hotel sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), adalah:
a. motel;
b. losmen;
c. rumah penginapan;
d. rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh);
e. ruang apartemen yang berubah fungsi sebagai hotel maupun tempat
kost; dan/atau
f. kegiatan usaha lainnya yang sejenis.68
Adapun terkait dengan dasar pengenaan, tarif dan cara penghitungan
pajak hotel tersebut diatur dalam Pasal 6, 7, dan 8 Perda Kota Malang No. 2
Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Perda Kota Malang No. 16 Tahun 2010
67 Pasal 4 ayat (1) Perda Kota Malang No. 2 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Perda Kota
Malang No. 16 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah.
68 Pasal 4 ayat (3) huruf d Perda Kota Malang No. 2 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas
Perda Kota Malang No. 16 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah.
38
tentang Pajak Daerah, yang berbunyi : Pasal 6 : Dasar pengenaan Pajak Hotel
adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada hotel.
Pasal 7 ayat (1) Tarif Pajak Hotel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e, ditetapkan sebesar 10%
(sepuluh persen). Ayat (2) Tarif Pajak Hotel sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf d, ditetapkan sebesar 5% (lima persen),
Pasal 8: Besarnya pokok Pajak Hotel yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dengan dasar
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Pasal 7 ayat (2) Perda Kota Malang No. 2 Tahun 2015 Tentang
Perubahan atas Perda Kota Malang No. 16 Tahun 2010 di atas menunjukkan
besarnya tarif pajak hotel untuk kategori rumah kos dengan jumlah kamar
lebih dari 10 (sepuluh) atau pajak rumah kos, yaitu sebesar 5% (lima persen).
Besarnya pokok pajak rumah kos yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif pajak rumah kos sebesar 5% dengan jumlah pembayaran
atau yang seharusnya dibayar oleh para penyewa rumah kos kepada pemilik
rumah kos tersebut.
D. Efektivitas Penegakan Hukum
Kesadaran hukum dan ketaatan hukum merupakan dua hal yang sangat
menentukan efektif atau tidaknya pelaksanaan perundang-undangan atau
aturan hukum dalam masyarakat.69 Efektivitas mengandung arti keefektifan
69 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hlm.375
39
pengaruh efek keberhasilan atau kemanjuran/kemujaraban, membicarakan
keefektifan hukum tentu tidak terlepas dari penganalisisan terhadap
karakteristik dua variabel terkait yaitu: karakteristik atau dimensi dari obyek
sasaran yang dipergunakan.70 Ketika berbicara sejauh mana efektivitas hukum
maka kita pertama-tama harus dapat mengukur sejauh mana aturan hukum itu
ditaati atau tidak ditaati.jika suatu aturan hukum ditaati oleh sebagian besar
target yang menjadi sasaran ketaatannya maka akan dikatakan aturan hukum
yang bersangkutan adalah efektif.71
Derajat dari efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto, ditentukan
oleh taraf kepatuhan masyarakat terhadap hukum, termasuk para penegak
hukumnya, sehingga dikenal asumsi bahwa taraf kepatuhan yang tinggi
adalah indikator suatu berfungsinya suatu sistem hukum. Berfungsinya
hukum merupakan pertanda hukum tersebut mencapai tujuan hukum yaitu
berusaha untuk mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam
pergaulan hidup.72
Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa
efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu:73
1. Faktor hukumnya sendiri atau peraturan itu sendiri
Dapat dilihat dari adannya peraturan undang-undang, yang dibuat oleh
pemerintah dengan mengharapkan dampak positif yang akan didapatkan
70 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung, 2013, hlm. 67.
71 H.S Salim dan Erlis Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Tesis dan Disertasi,
Rajawali Press, Jakarta, 2013, hlm.375
72 Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi, Remaja Karya, Bandung,
1988, hlm.7
73 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Press,
Jakarta, 2010, hlm.35
40
dari penegakan hukum. Dijalankan berdasarkan peraturan undang-undang
tersebut, sehingga mencapai tujuan yang efektif. Di dalam undang-undang
itu sendiri masih terdapat permasalahan-permasalahan yang dapat
menghambat penegakan hukum, yakni:
a. Tidak diikuti asas-asas berlakunya undang-undang.
b. Belum adanya peraturan-pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk
menerapkan undang-undang.
c. Ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang
mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta
penerapannya.
2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk dan
menerapkan hukum
Istilah penegakan hukum mencakup mereka yang secara langsung
maupun tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum,
seperti: di bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan dan
permasyarakatan. Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam
masyarakat, yang sudah seharusnya mempunyai kemampuan-kemampuan
tertentu guna menampung aspirasi masyarakat. Penegak hukum harus peka
terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya dengan dilandasi
suatu kesadaran bahwa persoalan tersebut ada hubungannya dengan
penegakan hukum itu sendiri.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
41
Kepastian penanganan suatu perkara senantiasa tergantung pada
masukan sumber daya yang diberikan di dalam program-program
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana. Di dalam pencegahan dan
penanganan tindak pidana prostitusi yang terjadi melalui alat komunikasi,
maka diperlukan yang namanya teknologi deteksi kriminalitas guna
memberi kepastian dan kecepatan dalam penanganan pelaku prostitusi.
Tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar tanpa
adanya sarana atau fasilitas tertentu yang ikut mendukung dalam
pelaksanaannya. Maka menurut Purnadi Purbacaraka,74 dan Soerjono
Soekanto,75 sebaiknya untuk melengkapi sarana dan fasilitas dalam
penegakan hukum perlu dianut jalan pikiran sebagai berikut:
a. Yang tidak ada, harus diadakan dengan yang baru
b. Yang rusak atau salah, harus diperbaiki atau dibetulkan.
c. Yang kurang, harus ditambah
d. Yang macet harus dilancarkan
e. Yang mundur atau merosot, harus dimajukan dan ditingkatkan.
4. Faktor masyarakat, yaitu faktor lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku dan diterapkan.
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk
mencapai kedamaian di dalam masyarakat itu sendiri. Secara langsung
masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum. Hal ini dapat dilihat
dari pendapat masyarakat mengenai hukum. Maka muncul kecendrungan
74 Purnadi Purbacaraka, Penegakan Hukum dan Mensukseskan Pembangunan, Alumni,
Bandung, 1977, hlm. 34.
75 Soerjono Soekanto, Op.cit.
42
yang besar pada masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas,
dalam hal ini adalah penegak hukumnya sendiri. Ada pula dalam golongan
masyarakat tertentu yang mengartikan hukum sebagai tata hukum atau
hukum positif tertulis. Pada setiap tindak pidana atau usaha dalam rangka
penegakan hukum, tidak semuanya diterima masyarakat sebagai sikap
tindak yang baik, ada kalanya ketaatan terhadap hukum yang dilakukan
dengan hanya mengetengahkan sanksi-sanksi negatif yang berwujud
hukuman atau penjatuhan pidana apabila dilanggar. Hal itu hanya
menimbulkan ketakutan masyarakat terhadap para penegak hukum semata
atau petugasnya saja.
Faktor-faktor yang memungkinkan mendekatnya penegak hukum pada
pola isolasi adalah:76
a. Pengalaman dari warga masyarakat yang pernah berhubungan dengan
penegak hukum dan merasakan adanya suatu intervensi terhadap
kepentingan-kepentingan pribadinya yang dianggap sebagai gangguan
terhadap ketentraman (pribadi).
b. Peristiwa-peristiwa yang terjadi yang melibatkan penegak hukum dalam
tindakan kekerasan dan paksaan yang menimbulkan rasa takut.
c. Pada masyarakat yang mempunyai taraf stigmatisasi yang relatif tinggi
atau cap yang negatif pada warga masyarakat yang pernah berhubungan
dengan penegak hukum.
76 Ibid, hlm. 70
43
d. Adanya haluan tertentu dari atasan penegak hukum agar membatasi
hubungan dengan warga masyarakat, oleh karena ada golongan tertentu
yang diduga akan dapat memberikan pengaruh buruk kepada penegak
hukum.
Misalnya penanggulangan atau pemberantasan tindak pidana prostitusi
melalui alat komunikasi harus ditujukan kepada pelaku pembuat konten
terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar ia bertanggung jawab atas
perbuatannya. Bagi para gadis-gadis yang ikut dijajakan di dalam konten
dapat diberi efek jera meskipun tidak berupa penjatuhan pidana, tetapi
lebih cenderung pada hukuman non pidana.
5. Faktor kebudayaan, yaitu sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kebudayaan atau sistem hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai
yang mendasari hukum yang berlaku bagi pelaksana hukum maupun
pencari keadilan. Nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak
mengenai apa yang dianggap baik seharusnya diikuti dan apa yang
dianggap buruk seharusnya dihindari. Mengenai faktor kebudayaan
terdapat pasangan nilai-nilai yang berpengaruh dalam hukum, yakni:
a. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman
b. Nilai jasmaniah dan nilai rohaniah (keakhlakan).
c. Nilai konservatisme dan nilai inovatisme.
Kelima faktor-faktor tersebut mempunyai pengaruh terhadap penegakan
hukum, baik pengaruh positif maupun pengaruh yang bersifat negatif. Dalam
44
hal ini faktor penegak hukum bersifat sentral. Hal ini disebabkan karena
undang-undang yang disusun oleh penegak hukum, penerapannya
dilaksanakan oleh penegak hukum itu sendiri dan penegak hukum dianggap
sebagai golongan panutan hukum oleh masyarakat luas.
Hukum yang baik adalah hukum yang mendatangkan keadilan dan
bermanfaat bagi masyarakat. Penetapan tentang perilaku yang melanggar
hukum senantiasa dilengkapi dengan pembentukan organ-organ
penegakannya. Hal ini tergantung pada beberapa faktor, di antaranya: 77
a. Harapan masyarakat yakni apakah penegakan tersebut sesuai atau tidak
dengan nilai-nilai masyarakat.
b. Adanya motivasi warga masyarakat untuk melaporkan terjadinya
perbuatan melanggar hukum kepada organ-organ penegak hukum tersebut.
c. Kemampuan dan kewibawaan dari pada organisasi penegak hukum.
77 M. Husen Harun, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta,
1990, hlm.41