Upload
hoangnguyet
View
235
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Struktur Normal Payudara
2.1.1 Anatomi Makroskopis Payudara Dewasa
Payudara perempuan dewasa berkembang ketika terjadi pengeluaran siklus
estrogen dan progesteron pada saat pubertas. Payudara dewasa memiliki
konfigurasi eksentrik dengan aksis diagonal terpanjang terletak pada dinding dada
menyilang musculus pectoralis mayor hingga ke aksila sebagai tail of Spence.
Bagian terdalam payudara berbatasan dengan fascia pectoralis. Di bagian lateral,
payudara terletak di atas musculus serratus anterior, bagian inferior payudara
berbatasan dengan musculus obliquus eksternus dan selubung musculus rectus
superior, sedangkan bagian medial payudara berbatasan dengan sternum (Schnitt
dan Collins, 2009; Hoda, 2014).
Secara anatomi, payudara terdapat pada ruang di dalam fascia superfisial. Di
bagian superior, lapisan ini berlanjut menjadi fasia servikal dan di bagian inferior
berlanjut sebagai fasia abdominal superfisial dari Cooper. Jaringan ikat fibrosa
meluas dari dermis ke dalam payudara membentuk ligamentum suspensorium dari
Cooper yang melekatkan kulit dan puting susu pada payudara. Ligamentum
Cooper ini meluas pada payudara bagian atas. Distorsi atau kontraksi pada
ligamentum ini oleh lesi di parenkim payudara menyebabkan adanya retraksi kulit
atau retraksi puting susu (Hoda (a), 2014).
8
Sirkulasi arterial payudara berasal dari arteria thoracica interna, arteria
axillaris dan arteria intercostalis. Aliran darah vena umumnya mengikuti
distribusi arteri. Vena-vena superfisial umumnya mengalirkan darahnya ke vena
thoracica interna yang alirannya sesuai dengan aliran arteri thoracica interna
(Hoda (a), 2014).
Aliran limfatik payudara lebih kompleks dibandingkan organ lain, sebab
berasal dari hubungan dua sistem yaitu pleksus subepitel pada kulit dan aliran
limfatik dari parenkim payudara. Pada parenkim payudara, aliran limfatik berada
pada stroma khusus periduktal (Tavassoli dan Eusebi, 2009).
2.1.2 Anatomi Mikroskopis Payudara Dewasa
Anatomi normal payudara dewasa terdiri dari dua struktur utama yaitu duktus dan
lobulus, dua tipe sel yaitu sel luminal dan mioepitel serta dua tipe stroma yaitu
interlobular dan intralobular. Enam sampai sepuluh duktus bermuara pada kulit
permukaan puting. Lapisan superfisial terdiri dari sel skuamus yang kemudian
berubah menjadi dua lapisan epitel yaitu sel luminal dan mioepitel pada duktus
atau lobulus. Cabang-cabang duktus besar selanjutnya akan menjadi unit lobular
duktus terminal (Gambar 2.1). Pada wanita dewasa, duktus terminal bercabang-
cabang menjadi asini kecil memberikan gambaran yang menyerupai buah anggur
dan bersama-sama membentuk satu lobulus (Rosai, 2011; Lester, 2015).
Stroma intralobular mengandung lebih banyak pembuluh darah kapiler dan
dengan kolagen yang kurang padat dibandingkan stroma interlobular. Stroma
intralobular membungkus asini dari lobulus dan tersusun atas sel-sel fibroblas
9
yang responsif terhadap hormon spesifik dan sedikit sebaran limfosit, sedangkan
stroma interlobular, terdiri dari jaringan ikat fibrus padat dan jaringan lemak.
(Gallagher, 2007; Lester, 2015).
Gambar 2.1
Gambar anatomi payudara normal (Lester, 2015)
2.2 Apoptosis
2.2.1 Penyebab Apoptosis
Apoptosis adalah jalur kematian sel yang disebabkan oleh program kematian sel
yang diatur dengan ketat, dimana sel yang diharuskan untuk mati mengaktifkan
enzim yang memecah DNA nukleus sel itu sendiri dan protein pada nukleus serta
sitoplasma. Sel yang mengalami apoptosis dipecah menjadi bagian-bagian kecil
disebut badan apoptosis, kemudian mengalami fagositosis (Kumar et al., 2015).
Penyebab apoptosis adalah keadaan fisiologis atau patologis (Tabel 2.1).
10
Tabel 2.1
Penyebab Apoptosis (Wong, 2011)
Keadaan fisiologis:
Program kematian sel dalam perkembangan embrional dengan tujuan pengurangan
jaringan.
Involusi fisiologis seperti pada pelepasan endometrium, regresi payudara laktasi.
Kerusakan sel normal akibat proliferasi pergantian seperti pada epitel usus.
Regresi dari timus pada usia anak-anak.
Keadaan patologis:
Obat anti kanker yang menginduksi kematian sel pada tumor.
Sel T sitotoksik menginduksi kematian sel seperti pada penolakan imunitas dan
penyakit graft melawan host.
Kematian sel progresif dan deplesi sel CD4+ pada AIDS.
Beberapa bentuk kematian sel yang diinduksi virus seperti hepatitis B atau C.
Atrofi patologis organ dan jaringan sebagai hasil dari stimulus seperti atrofi prostat
setelah orchidectomy.
Apoptosis akibat agen penyebab injuri seperti radiasi, hipoksia, dan panas ringan.
Apoptosis pada penyakit degeneratif seperti Penyakit Alzheimer dan Parkinson.
Apoptosis yang terjadi pada penyakit jantung seperti infark myokardium.
2.2.2 Perubahan Morfologi dan Biokimia pada Apoptosis
Perubahan morfologi pada sel akibat apoptosis terjadi pada nukleus dan
sitoplasma. Pada nukleus terjadi kondensasi kromatin dan fragmentasi nukleus,
kemudian diikuti oleh pembulatan sel, pengurangan volume sel dan retraksi
pseudopoda. Kondensasi kromatin diawali pada bagian perifer membran nukleus,
membentuk struktur seperti bulan sabit atau menyerupai cincin. Kromatin
selanjutnya mengalami kondensasi sampai terjadi pemecahan di dalam sel dengan
membran yang masih utuh, hal ini disebut karioreksis. Membran plasma tetap
utuh selama proses ini. Pada tahap akhir apoptosis, terjadi beberapa perubahan
11
morfologi seperti pembengkakan membran, modifikasi ultrastruktur organella
sitoplasma dan kehilangan integritas membran. Biasanya sel fagositik menelan sel
apoptosis sebelum terbentuknya badan apoptosis. Jika sisa sel apoptosis tidak
difagositosis seperti pada lingkungan kultur sel buatan, maka akan mengalami
degradasi menyerupai nekrosis dan disebut nekrosis sekunder (Wong, 2011).
Secara umum ada tiga perubahan biokimia utama pada apoptosis yaitu
aktivasi caspase, pemecahan DNA dan protein serta perubahan membran dan
pengenalan oleh sel fagosit. Pada awal apoptosis, terdapat ekspresi
phosphatidylserine (PS) pada lapisan terluar membran sel. Ini menyebabkan
pengenalan awal kematian sel oleh makrofag dan menghasilkan fagositosis tanpa
pelepasan komponen proinflamasi sel. Kemudian diikuti oleh pemecahan DNA
dari 50 menjadi 300 kilobasa. Terjadi pemecahan DNA internucleosome menjadi
oligonucleosome pada penggandaan dari 180 menjadi 200 pasangan basa oleh
endonuclease. Walaupun gambaran ini merupakan karakteristik apoptosis, hal ini
tidak spesifik seperti tahapan DNA pada gel agar-agar elektoforesis yang terlihat
pada sel nekrosis. Gambaran spesifik lain dari apoptosis adalah aktivasi kelompok
ensim dari keluarga protease sistein yang disebut caspase. Caspase teraktivasi
memecah banyak protein penting sel dan memecah nukleus serta cytoskleton.
Mereka juga mengaktifkan DNAase, yang kemudian akan mendegradasi DNA
nukleus. Walaupun perubahan biokimia menjelaskan beberapa bagian perubahan
pada apoptosis, sangat penting untuk diingat bahwa analisis biokimia dari
pemecahan DNA atau aktivasi caspase tidak dapat digunakan untuk mengenali
12
apoptosis, sebab apoptosis dapat terjadi tanpa pemecahan DNA oligonucleosome
dan tidak tergantung caspase (Wong, 2011; Kumar et al., 2015).
2.2.3 Mekanisme Apoptosis
Semua sel mempunyai mekanisme intrinsik bahwa sinyal kematian atau
kelangsungan hidup dan apoptosis berasal dari keseimbangan pada sinyal-sinyal
ini. Apoptosis yang terlalu banyak atau terlalu sedikit mendasari terjadinya
banyak penyakit seperti penyakit degeneratif dan kanker. Proses apoptosis dibagi
menjadi fase inisiasi, dimana caspase menjadi katalisis aktif dan fase eksekusi,
dimana caspase lain mencetuskan degradasi dari komponen penting sel. Inisiasi
apoptosis terjadi dari dua jalur yaitu jalur intrinsik atau mitokondria dan jalur
ekstrinsik atau reseptor kematian (Gambar 2.2). Kedua jalur ini akan mengarah ke
fase eksekusi dari apoptosis (Choene et al., 2012; Kumar et al., 2015).
13
Gambar 2.2
Mekanisme apoptosis. Ada dua jalur apoptosis yang berbeda pada induksi serta
regulasinya, dan puncaknya pada aktivasi caspase. Pada jalur mitokondria, protein
dari keluarga Bcl2, yang mengatur permeabilitas mitokondria, menjadi tidak
seimbang dan mengeluarkan beberapa zat dari mitokondria yang memulai aktivasi
caspase. Pada jalur reseptor kematian, sinyal dari reseptor membran plasma
menyebabkan adaptor protein menjadi kompleks sinyal yang menginduksi
kematian, kemudian mengaktifkan caspase dan hasil akhirnya adalah sama
(Kumar et al., 2015).
2.2.3.1 Jalur intrinsik (mitokondria) apoptosis
Jalur intrinsik dimulai di dalam sel. Stimulus internal seperti kerusakan genetik
yang tidak dapat diperbaiki, hipoksia, konsentrasi cytosolic Ca2+
yang sangat
tinggi dan beberapa stres oksidatif yang berat adalah beberapa pencetus
dimulainya jalur intrinsik. Tanpa adanya stimulus, jalur ini adalah hasil dari
peningkatan permeabilitas mitokondria dan pengeluaran molekul pro apoptosis
seperti sitokrom c ke sitoplasma (Wang et al., 2012). Jalur ini secara khusus
diregulasi oleh suatu kelompok protein yang merupakan keluarga Bcl-2,
dinamakan setelah gen Bcl-2 awalnya diobservasi pada kromosom breakpoint dari
14
translokasi kromosom 18 ke 14 pada follicular non-Hodgkin lymphoma. Ada dua
kelompok utama dari keluarga protein Bcl-2 yaitu protein pro apoptosis (misalnya
Bax, Bak, Bad, Bcl-Xc, Bid, Bik, Bim dan Hrk) dan protein anti apoptosis
(misalnya Bcl-2, Bcl-Xl, Bcl-W, Bfl-1 dan Mcl-1). Ketika protein anti apoptosis
meregulasi apoptosis dengan menghambat pengeluaran sitokrom c dari
mitokondria, protein pro apoptosis bekerja menyebabkan pengeluaran sitokrom c.
Keseimbangan antara protein pro apoptosis dan anti apoptosis akan menentukan
dimulainya proses apoptosis (Gambar 2.3). Faktor apoptosis lain yang dikeluarkan
dari ruang intermembran mitokondria ke sitoplasma adalah apoptosis inducing
factor (AIF), second mitochondria-derivered activator of caspase (Smac), direct
IAP Binding protein with low pI (DIABLO) dan Omi/high temperature
requirement protein A (HtrA2). Sitokrom c yang dikeluarkan ke sitoplasma
kemudian mengaktifkan cascade 3 melalui pembentukan suatu kompleks yang
disebut apoptosom yang terdiri dari sitokrom c, Apaf-1, dan caspase 9. Sedangkan
Smac/DIABLO atau Omi/HtrA2 menyebabkan aktivasi caspase dengan berikatan
kepada inhibitor of apoptosis protein (IAPs) yang menyebabkan gangguan pada
interaksi IAPs dengan caspase 3 atau caspase 9 (Wong, 2011; Kumar et al., 2015).
15
Gambar 2.3
Jalur intrinsik (mitokondria) apoptosis. A. Kelangsungan hidup sel dipelihara
oleh induksi protein anti apoptosis seperti Bcl2 oleh sinyal kelangsungan hidup.
Protein ini memelihara integritas membran mitokondria dan mencegah kebocoran
dari protein membran. B. Kehilangan sinyal kelangsungan hidup, kerusakan
DNA, dan kehilangan sensor aktif yang melawan protein anti apoptosis serta
mengaktifkan protein pro apoptosis Bax dan Bak, yang membentuk saluran pada
membran mitokondria. Selanjutnya kebocoran dari sitokrom c (dan protein
lainnya) menyebabkan aktivasi caspase dan apoptosis (Kumar et al.,
2015).
2.2.3.1 Jalur ekstrinsik (inisiasi reseptor kematian) apoptosis
Jalur reseptor kematian ekstrinsik dimulai ketika ligand kematian berikatan
dengan reseptor kematian. Walaupun beberapa reseptor kematian telah diketahui,
tetapi reseptor kematian yang paling dikenali adalah TNF reseptor tipe 1 (TNFR1)
dan protein yang berhubungan disebut Fas (CD95) dan ligand yang disebut TNF
dan Fas ligand (FasL). Reseptor kematian ini mempunyai daerah kematian
interselular yang menarik protein adaptor seperti TNF receptor-associated death
domain (TRADD) dan Fas-associated death domain (FAAD), seperti sistein
protease yang menyerupai caspase 8. Ikatan ligand kematian pada reseptor
16
kematian menghasilkan suatu bentuk sisi ikatan untuk suatu adaptor protein dan
keseluruhan kompleks ligand protein-adaptor-reseptor yang disebut sebagai death
inducing signalling complex (DISC). DISC menyebabkan inisiasi dan aktivasi pro
caspase 8 (Gambar 2.4). Bentuk teraktivasi dari caspase 8 adalah caspase inisiator
yang memulai apoptosis dengan membelah aliran atau memutus caspase (Wong,
2011; Kumar et al., 2015).
Gambar 2.4
Jalur ekstrinsik (inisiasi reseptor kematian) apoptosis, digambarkan oleh adanya
kejadian yang mengikuti pengikatan fas. FAAD, Fas-associated death domain;
FasL, Fas ligand (Kumar et al., 2015).
2.2.4 Apoptosis dan Karsinogenesis
Kanker merupakan akibat dari suatu rangkaian perubahan genetik dimana sel
normal berubah menjadi ganas ketika terjadi pengingkaran terhadap kematian sel.
Pengurangan apoptosis atau resistensinya mempunyai peranan yang sangat
penting dalam karsinogenesis. Ada banyak jalan sel ganas dapat memperoleh
pengurangan pada apoptosis atau resistensi terhadap apoptosis (Gambar 2.5).
17
Secara umum, mekanismenya dapat dibedakan menjadi gangguan keseimbangan
antara protein proapoptosis dengan antiapoptosis, pengurangan fungsi caspase
dan kemunduran sinyal reseptor kematian (Wong, 2011).
Gambar 2.5
Mekanisme yang berperan dalam karsinogenesis dan penghindaran apoptosis
(Wong, 2011).
Penekanan apoptosis adalah ciri khas dari kebanyakan kanker yang biasanya
mempunyai ketidakstabilan genetik. Sesuai dengan hal tersebut, pada kanker
ditemukan peningkatan ekspresi beberapa anggota keluarga inhibitor of apoptosis
protein (IAP) dan terjadi ekspresi berlebihan dari IAP akan meningkatkan
resistensi terhadap stimulus apoptosis pada banyak keganasan (Owens, et al.,
2013). Bcl-2 adalah protein pertama yang ditemukan pada kelangsungan hidup sel
yang panjang dengan mencegah apoptosis. Beberapa inhibitor apoptosis yang
berhubungan dengan gen IAP baculovirus telah diidentifikasi pada manusia
18
(Gambar 2.6). Pada tahun 1997 terdapat penemuan baru gen yang mengkode
suatu struktur unik IAP dan saat ini masih terus dikembangkan, yaitu survivin
(Kruyt et al., 2008; Mohabat et al., 2014).
Gambar 2.6
Struktur inhibitor apoptosis protein pada mamalia. Protein keluarga IAP terdiri
dari delapan protein termasuk Apollon, ML-IAP (Melanoma IAP)/Livin, ILP2
(IAP-like protein-2), NAIP (neuronal apoptosis-inhibitory protein), c-IAP1, c-
IAP-2, XIAP (X-linked IAP) dan survivin (Mohabat et al., 2014).
2.3 Karsinoma Payudara Invasif
Karsinoma payudara invasif adalah kelompok tumor epitelial ganas dengan
karakteristik invasif ke jaringan sekitarnya dan memiliki kecenderungan yang
tinggi untuk bermetastasis. Sebagian besar merupakan adenokarsinoma yang
berasal dari epitel parenkim payudara, terutama sel-sel dari terminal duct lobular
unit (TDLU) (Tavassoli dan Eusebi, 2009; Colditz dan Chia, 2012).
19
2.3.1 Klasifikasi Karsinoma Payudara Invasif
Macam-macam karsinoma payudara invasif menurut klasifikasi WHO (Ellis et al.
2012):
1. Karsinoma invasif tipe tidak spesifik
2. Karsinoma lobuler invasif
3. Karsinoma tubuler
4. Karsinoma kribriform
5. Karsinoma musinus
6. Karsinoma dengan gambaran meduler
7. Karsinoma dengan diferensiasi apokrin
8. Karsinoma dengan diferensiasi signet-ring-cell
9. Karsinoma mikropapiler invasif
10. Karsinoma metaplastik tipe tidak spesifik
Karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik yang sebelumnya disebut juga
karsinoma duktal invasif tipe tidak spesifik adalah keganasan yang terjadi pada
sel-sel epitel duktuli payudara, terutama sel-sel dari terminal duct lobular unit
(TDLU) yang ditandai adanya invasi ke stroma jaringan dan tumor tidak
membentuk suatu pola tipe histologi tertentu (Ellis et al, 2012).
Karsinoma dapat diklasifikasikan sebagai karsinoma invasif tipe tidak
spesifik, jika gambaran tidak spesifiknya lebih dari 50% massa tumor dengan
pemeriksaan dari potongan yang representatif. Jika gambaran tidak spesifik adalah
10%-49% dari massa tumor dan sisanya adalah tipe spesifik maka disebut
20
kelompok campuran yaitu campuran karsinoma invasif tipe tidak spesifik dan tipe
spesifik (Ellis et al, 2012).
2.3.2 Epidemiologi
Karsinoma payudara invasif adalah karsinoma tersering pada wanita. Insiden
kanker payudara meningkat cepat sesuai umur, hanya 5% kanker payudara terjadi
pada wanita dibawah umur 40 tahun. Data dari National Cancer Institute yang
dirangkum dalam laporan American Cancer Society menyebutkan insiden kanker
payudara pada wanita dilaporkan stabil tahun 1975 sampai 1980. Insiden
meningkat 4% pertahun dari 1980-1987 dan terus meningkat sekitar 0,3%
pertahun pada 2002. Kematian akibat kanker payudara naik 0,4% setiap tahun dari
1975-1990. Pada tahun 1990-2002, tingkat kematian menurun 2-3%. Penurunan
pertahun kematian akibat kanker payudara lebih banyak terjadi pada wanita usia
muda dibandingkan usia 50 tahun (3,3% pertahun) dibandingkan diatas usia 50
tahun dan yang lebih tua (2,0% pertahun). Peningkatan dan stabilnya insiden serta
berkurangnya tingkat kematian berhubungan dengan screening menggunakan
mammografi, pemeriksaan klinik dan meningkatnya metode terapi. Penurunan
mortalitas yang berhubungan dengan kanker payudara pada wanita yang lahir
setelah tahun 1920 ditemukan pada beberapa negara (Colditz dan Chia, 2012;
Hoda (b), 2014).
Insiden kanker di Indonesia masih belum dapat diketetahui secara pasti.
Berdasarkan data dari Badan Registrasi Kanker Ikatan Dokter Ahli Patologi
Indonesia (IAPI) tahun 1998 di 13 Rumah Sakit di Indonesia, kanker payudara
21
menempati peringkat kedua dari seluruh kasus kanker sebesar 12,2%. Dari data
Globocan 2002, IARC didapatkan estimasi insiden kanker payudara di Indonesia
sebesar 26 per 100.000 perempuan. Sedangkan dari Sistem Informasi Rumah
Sakit (SIRS) di Indonesia tahun 2007 diketahui bahwa kanker payudara
menempati urutan pertama pasien rawat inap (16,85%) dan pasien rawat jalan
(21,69%) (Anonim, 2010).
2.3.3 Etiologi dan Karsinogenesis
Faktor-faktor etiologi yang berhubungan dengan karsinoma payudara dapat
dikelompokkan menjadi faktor genetik yaitu termasuk riwayat keluarga dengan
karsinoma payudara, faktor diet dan yang berhubungan dengan diet, faktor
hormonal dan reproduksi serta faktor terpapar radiasi. Beberapa faktor diet dan
yang berhubungan dengan diet meliputi peningkatan berat badan pada wanita
postmenopause, westernized diet, kurangnya aktifitas fisik (olahraga), asupan
buah dan sayuran, merokok dan alkohol. Faktor hormonal dan reproduksi antara
lain meliputi usia menarche, nulliparitas, persalinan pertama pada usia tua, usia
menopause, penggunaan kontrasepsi oral (Colditz dan Chia, 2012).
Sekitar 5-20% kanker payudara mempunyai patogenesis familial yang
disebabkan mutasi germline pada gen tunggal. Kebanyakan kanker payudara
adalah sporadic dan disebabkan oleh mutasi somatik karena agen yang
berhubungan dengan gaya hidup dan faktor lingkungan. Beberapa langkah
perkembangan kanker payudara adalah melalui hubungan dengan mutasi satu atau
lebih gen-gen pengatur. Aktivasi mutasi dari protoonkogen ke onkogen diikuti
22
oleh inaktivasi gen penekan tumor adalah kemungkinan abnormalitas pertama
yang terjadi. Perubahan pada gen yang penting untuk mengatur proliferasi,
apoptosis dan mekanisme perbaikan DNA dapat menyebabkan ketidakstabilan
genetik. Beberapa gen yang terlibat didalam karsinogenesis payudara adalah gen
penekan tumor yaitu BRCA1, BRCA2 dan gen P53 serta onkogen yang terdiri
dari gen HER2, gen apoptosis, gen reseptor steroid (ER dan PR), gen adhesi sel
dan invasif, serta gen angiogenesis. Peranan apoptosis dalam onkogenesis telah
banyak dipelajari. Apoptosis diperlukan untuk menghancurkan sel-sel dengan
kerusakan DNA, atau sel-sel yang telah menjadi kanker. Beberapa onkogen
seperti Bax dan Bcl2, c-myc dan P53 terlibat dalam pengaturan sinyal
proapoptosis dan anti-apoptosis yang dikontrol oleh beberapa gen. Bcl2 mengatur
pelepasan protein mitokondria seperti sitokrom. Sitokrom c berikatan dengan
faktor lainnya untuk membentuk kompleks aktivasi disebut apoptosom.
Apoptosom yang aktif akan mengaktifkan caspase yang akhirnya akan
menyebabkan apoptosis. Hormon-hormon steroid juga dikenal dapat
menyebabkan up-regulation atau down-regulation apoptosis dengan jalan
mengontrol kematian sel yang dimediasi P53 (Boder, 2013).
Perubahan genetik dan epigenetik yang diperlukan untuk karsinogenesis
menimbulkan perubahan morfologi yang dikenali sebagai lesi payudara, yang
berhubungan dengan meningkatnya resiko perkembangan kanker. Perubahan awal
tersebut adalah perubahan proliferatif, yang berasal dari hilangnya sinyal
menghambat pertumbuhan, menyimpangan kenaikan sinyal pro-pertumbuhan,
atau penurunan apoptosis. Selama perkembangan tumor, klonal ganas menjadi
23
abadi dan memperoleh kemampuan pembentukan neo-angiogenesis. Gambaran
morfologi dan biologis karsinoma biasanya terbentuk pada tahap insitu, karena di
sebagian besar kasus lesi insitu mirip karsinoma invasif yang menyertai. Langkah
akhir dari karsinogenesis adalah perubahan lesi insitu menjadi karsinoma invasif
(Lester, 2015).
Berdasarkan jalur molekular terdapat tiga jalur utama dalam perkembangan
kanker payudara (Gambar 2.7). Jalur yang terbanyak adalah terjadinya karsinoma
ER positif, HER2 negatif. Terjadi pada individu dengan mutasi germline BRCA2.
Jalur ini berhubungan dengan delesi pada kromosom 16q dan penambahan
kromosom 1q serta aktivasi mutasi PIK3CA. Lesi prekursor yang sering
ditemukan adalah flat epithelial atypia dan atypical hyperplasia. Jalur kedua yaitu
karsinoma HER2 positif. Ditemukan pada penderita dengan mutasi germline TP53
dan terjadi amplifikasi gen HER2. Lesi prekursor yang ditemukan adalah atypical
apocrine adenosis. Jalur yang paling jarang adalah karsinoma ER dan HER2
negatif. Pada karsinoma ini lesi prekursor tidak jelas, kemungkinan karena
perkembangan lesi yang sangat cepat menjadi karsinoma. Sering ditemukan pada
penderita dengan mutasi germline BRCA1, sedangkan pada tumor sporadic
terjadi mutasi pada TP53. Terjadi ekspresi berlebihan survivin adalah sebagai
respon aktivasi onkogen dan mutasi TP53 (Tamaki et al., 2013; Lester, 2015).
24
Gambar 2.7
Jalur utama perkembangan kanker payudara (Lester, 2015).
2.3.4 Gejala Klinik
Karsinoma payudara lebih sering ditemukan pada payudara kiri dibandingkan
kanan, dengan perbandingan 110/100. Kurang lebih 50% ditemukan pada kuadran
luar atas, 20% pada bagian sentral atau subareola dan 10% pada kuadran lainnya.
(Moelans dan Diest, 2013).
Gejala dan tanda klinik yang paling sering ditemukan adalah adanya massa
padat, berbatas tidak tegas, terfiksir, dengan atau tanpa nyeri. Tanda lain yang bisa
ditemukan adalah gambaran peau d’ orange pada kulit, ulkus, keluar cairan dari
puting susu, dan retraksi puting susu. Sering pula ditemukan pembesaran kelenjar
getah bening aksila (Morrow dan Rutgers, 2012; Hoda (b), 2014).
Untuk menegakkan diagnosis definitif kanker payudara harus dievaluasi
dengan pemeriksaan fisik, radiologi (mammografi dan ultrasonografi) dan
pengambilan sampel jaringan (baik dengan biopsi aspirasi jarum halus, needle
25
core biopsy maupun biopsi terbuka). Mammografi adalah metode pencitraan dasar
untuk mendeteksi kanker payudara pada wanita berusia lebih dari 40 tahun. Pada
wanita usia kurang dari 40 tahun dapat mempergunakan ultrasonografi. Magnetic
resonance imaging (MRI) adalah metode yang paling sensitif untuk mendeteksi
kanker payudara, tetapi terbatas digunakan untuk screening wanita dengan resiko
tinggi (Morrow dan Rutgers, 2012).
2.3.5 Subtipe Molekular Karsinoma Payudara Invasif
Profil ekspresi gen utama pada kanker payudara yaitu gen yang berhubungan
dengan reseptor hormonal, gen yang berhubungan dengan HER2 dan gen yang
berhubungan dengan proliferasi dikelompokkan dalam subtipe molekular
berdasarkan gambaran ekspresi gen menggunakan pengelompokan bertingkat.
Karsinoma payudara invasif dibagi menjadi tiga subtipe molekular utama
berdasarkan perubahan genom dan gen serta ekspresi protein, yaitu luminal,
HER2 positif dan basal like atau triple negative (Tabel 2.2). Subtipe molekular
sangat berhubungan dengan gambaran klinis, respon terhadap terapi dan
perjalanan akhir penyakit (Allison, 2012; Lester, 2015).
2.3.5.1 Luminal.
Merupakan bentuk paling sering dari karsinoma payudara invasif (50% sampai
60%). Berdasarkan tingkat proliferasinya dibagi menjadi ER positif, HER2
negatif, proliferasi rendah dan ER positif, HER2 negatif/positif, proliferasi tinggi.
ER positif, HER2 negatif, proliferasi rendah kebanyakan ditemukan pada wanita
tua dan pada stadium awal. Ekspresi gen pada kelompok ini didominasi oleh gen
yang secara langsung diatur oleh reseptor estrogen. Insiden kekambuhan lokal
26
rendah dan beberapa kasus sembuh dengan pembedahan. Karsinoma payudara ini
berespon baik terhadap terapi hormonal. Pada ER positif, HER2 negatif/positif,
proliferasi tinggi, walaupun tumor ini mempunyai ER positif tetapi biasanya
ekspresi ER rendah dan ekspresi PR rendah atau negatif. Berhubungan dengan
mutasi BRCA2. Terapi sistemik dengan kemoterapi dan diikuti terapi hormonal
(Falck et al., 2013; Lester, 2015).
2.3.5.2 HER2 positif.
Merupakan bentuk kedua tersering dari karsinoma payudara invasif (kurang lebih
20%). Kelompok ini terdiri dari karsinoma dengan ER negatif dan HER2 positif,
sedangkan reseptor progesteron biasanya negatif. Sering ditemukan pada wanita
muda dan bukan wanita kulit putih. Profil mRNA menunjukkan peningkatan
ekspresi HER2. Kanker ini mempunyai translokasi interkromosom kompleks,
amplifikasi tingkat tinggi dari HER2 dan tingkat mutasi yang tinggi. Kanker
dalam kelompok ini bisa bermetastasis walaupun berukuran kecil, sering ke organ
dalam dan otak. Sebelum ditemukan targeting terapi terhadap HER2, kanker
dengan HER2 positif dihubungkan dengan perjalanan akhir yang buruk. Saat ini
sepertiga atau lebih berespon komplit terhadap antibodi yang berikatan dan
menghambat aktivitas HER2 sehingga mempunyai prognosis yang lebih baik
(Lester, 2015) .
2.3.5.3 ER negatif, HER2 negatif (basal like atau triple negative carcinoma).
Merupakan 15% dari kanker payudara invasif. Kanker ini mempunyai derajat
diferensiasi tinggi dengan gambaran histologi yaitu solid-pushing borders, area
nekrosis dan dengan infiltrat limfosit yang padat. Sering terjadi pada wanita yang
27
mengalami premenopause awal. Sebagian besar kanker ini terjadi pada wanita
dengan mutasi BRCA1. Kanker ini mempunyai tingkat proliferasi yang tinggi dan
pertumbuhan yang cepat sehingga sering ditemukan sebagai massa yang dapat
dipalpasi. Sekitar 30% kanker berespon terhadap kemoterapi. Berhubungan
dengan perjalanan akhir penyakit yang buruk karena kemampuan invasif yang
tinggi dan metastasis jauh. Kanker ini bisa bermetastasis ketika masih berukuran
kecil, biasanya ke otak dan organ dalam. Kekambuhan sering terjadi dalam waktu
5 tahun setelah terapi dan sering terjadi kekambuhan lokal walaupun sudah
dilakukan mastectomy (Allison, 2012; Lester, 2015).
Tabel 2.2
Subtipe Molekular Karsinoma Payudara Invasif (Lester, 2015)
Kriteria Luminal HER2 Positif
Triple Negative
Frekuensi ~40-55%
(proliferasi rendah)
~10% (proliferasi
tinggi)
~20% ~15%
Termasuk tipe
histologi
spesifik
Lobular derajat
diferensiasi baik
atau sedang, tubular,
musinus
Lobular derajat
diferensiasi
buruk
Apokrin Medullari,
adenoid kistik,
sekretori,
metaplastik
Kelompok
penderita
Wanita tua, laki-
laki, kanker yang
terdeteksi saat
screening
mammografi
Carrier mutasi
BRCA2
Wanita muda,
carrier mutasi
TP53
Wanita muda,
carrier mutasi
BRCA1
Gambaran
metastasis
Tulang (70%),
organ dalam (25%),
otak (<10%)
Tulang (80%),
organ dalam
(30%), otak
(<10%)
Tulang (70%),
organ dalam
(45%), otak
(30%)
Tulang (40%),
organ dalam
(35%), otak
(25%)
Kekambuhan Lambat Sedang Cepat Cepat
Respon
komplit
terhadap
kemoterapi
<10% ~10% ~30% ~30%
28
2.3.6 Stadium Kanker Payudara
Sistem staging kanker payudara yang dipergunakan adalah sistem TNM dari
American Joint Committee on Cancer (AJCC) berdasarkan evaluasi terhadap
tumor (T), keterlibatan kelenjar getah bening (N) dan metastasis jauh (M) (Ellis,
2012). T, N dan M dikombinasikan untuk membuat 5 stadium (stadium 0, I, II, III,
dan IV) yang memberikan informasi tentang keadaan penyakit ( ukuran tumor,
invasi kulit atau dinding dada, dan keterlibatan kelenjar getah bening) dan
metastasis jauh. Gambaran ini digunakan untuk mengklasifikasikan penderita
kanker payudara ke dalam kelompok prognosis demi kepentingan pengobatan,
konseling dan uji klinis (Ellis et al., 2012; Moelans dan Diest, 2012).
Stadium karsinoma payudara berdasarkan American Joint Committee on
Cancer Staging of Breast Carcinoma adalah:
Stadium 0 : Ductal carcinoma in situ (DCIS) atau Lobular carcinoma in situ
(LCIS); harapan hidup 5 tahun adalah 93%
Stadium I : Karsinoma invasif dengan ukuran 2 cm atau kurang tanpa
terkenanya kelenjar getah bening dan tanpa metastasis jauh;
harapan hidup 5 tahun adalah 88%.
Stadium II : Karsinoma invasif dengan ukuran 5 cm atau kurang disertai
metastasis ke kelenjar getah bening aksila yang tidak terfiksasi
dan tanpa metastasis jauh atau karsinoma invasif dengan ukuran
lebih dari 5 cm tanpa metastasis ke kelenjar getah bening atau
tanpa metastasis jauh; harapan hidup 5 tahun adalah 74-81%.
29
Stadium III : Karsinoma invasif dengan ukuran lebih dari 5 cm dengan
metastasis ke kelenjar getah bening atau karsinoma invasif ukuran
berapapun dengan metastasis ke kelenjar getah bening yang
terfiksir; atau karsinoma yang menginvasi dinding dada, kulit,
edema, serta beradang, jika tidak ditemukan metastasis jauh;
harapan hidup 5 tahun adalah 41-67%.
Stadium IV : Karsinoma invasif ukuran berapapun dengan metastasis ke tempat
jauh (termasuk kelenjar getah bening supraklavikula ipsilateral);
harapan hidup 5 tahun adalah 15% (Moelans dan Diest, 2013).
2.3.7 Prognosis
Informasi mengenai prognosis menjadi sangat penting dalam konseling pasien
untuk memperkirakan perjalanan penyakitnya dan memilih modalitas terapi yang
sesuai. Karsinoma payudara invasif tipe tidak spesifik merupakan bagian terbesar
dari kasus kanker payudara (50-80%) dengan karakteristik prognosis serta
penanganannya adalah sama atau sedikit lebih buruk dengan 10 tahun
kelangsungan hidup 35-50% dibandingkan keseluruhan kanker payudara dengan
10 tahun kelangsungan hidup 55%. Prognosis dipengaruhi oleh variabel klasik
seperti derajat diferensiasi histologi, ukuran tumor, keterlibatan kelenjar getah
bening dan invasi pembuluh darah serta prediksi respon terapi seperti status ER
dan PR atau subtipe molekular (Ellis et al. 2012). Molekul lain sedang diteliti
untuk mengetahui nilainya sebagai faktor prognosis dan prediktif. Beberapa
30
penelitian sedang dilakukan untuk menentukan kemungkinan survivin digunakan
sebagai faktor prognosis (Lv et al, 2010)
2.4 Survivin
2.4.1 Struktur dan Fungsi Survivin
Survivin adalah anggota dari keluarga gen inhibitor apoptosis protein (IAP), yang
berfungsi menghambat apaptosis dan regulasi mitosis. Survivin terdiri 16,5 kD
protein dari 142 asam amino, yang dikode oleh suatu gen tunggal yang berlokasi
pada kromososm 17q25 (Kelly et al., 2011). Terdiri dari pengulangan tunggal
baculovirus IAP dan suatu perluasan α-helical coiled-coil pada carboxy terminus.
Berfungsi sebagai homodimer, membutuhkan pengulangan tunggal baculovirus
IAP untuk dimerisasi dan menggabungkan protein lain seperti caspase 3, p21 dan
Cdk4 (Doolittle et al., 2010; Joanna et al.,2012) (Gambar 2.8).
Gambar 2.8
Struktur protein dan fungsi survivin (Doolittle et al., 2010)
31
Ada 5 varian survivin yaitu wild type survivin, survivin2B, survivin2α,
survivin3B dan survivinΔEx3 dengan struktur dan fungsi yang berbeda. Misalnya
survivin2α berperanan besar didalam aktivitas anti apoptosis tanpa stimulus anti
apoptosis. Hal ini berhubungan dengan prognosis yang buruk pada penderita
kanker payudara (Vegran et al., 2011). Survivin3B lebih sering ditemukan pada
karsinoma payudara derajat tinggi dan berhubungan dengan status mutasi gen
P53, menunjukkan peranan survivin3B pada inhibisi apoptosis. Survivin2B
kemungkinan berperan sebagai suatu faktor pro apoptosis pada karsinoma
payudara, dan ekspresinya berkurang pada tumor stage dependent way, pada
tumor berukuran kecil, ekspresinya meningkat pada dan berhubungan dengan
kelenjar getah bening aksila yang positif karsinoma. Secara teori jika survivin2B
terekspresi dominan, hal tersebut berhubungan dengan prognosis yang baik (Lv et
al., 2010;Vegran et al., 2011).
Survivin adalah suatu protein pembawa kromosom yang berlokasi pada
kinetochore pada metaphase, berpindah pada bagian pertengahan spindle sentral
pada anaphase dan berakumulasi pada mid bodies saat telophase. Suatu
peningkatan regulasi survivin pada ruang sel G2/M, ditemukan pada beberapa sel
tumor. Survivin pada ruang subseluler mitokondria berfungsi sebagai protein anti
apoptosis. Adanya survivin pada kolam mitokondria ditemukan sebagai respon
pada stimulasi kematian sel. Survivin mitokondria akan cepat berubah dan
dikeluarkan pada cytosol, dimana akan mencegah aktivasi caspase dan
menghambat apoptosis. Survivin tidak terlihat pada mitokondria jaringan normal,
sehingga menegaskan bahwa survivin mitokondria secara khusus berhubungan
32
dengan transformasi tumor. Penelitian terbaru menemukan bahwa survivin
mempunyai sinyal keluar nukleus dan sel kanker, peranan mitosis dan anti
apoptosis dapat dipisahkan melalui mutasi pada sinyal keluar nukleus yang
membatalkan aktivitas sitoprotektif protein tetapi mitosis tetap terjadi (Doolittle
et al., 2010; Joanna, 2012).
2.4.2 Peranan Survivin pada Pembelahan Sel
Survivin mempunyai peranan penting dalam pembelahan sel, ekspresinya diatur
dalam siklus sel. Survivin meningkat pada fase G1 dan puncaknya pada fase G2M
(Kelly et al, 2011). Berdasarkan ekspresi pada mitosis, survivin berlokasi pada
beberapa komponen apparatus mitosis, termasuk sentrosom, mikrotubulus pada
metaphase dan spindle anaphase, serta sisa dari apparatus mitosis yaitu midbodies.
Suatu hubungan langsung antara survivin dan tubulin polymerase telah
ditunjukkan invitro, meliputi –COOH terminus α-helix. Suatu lokasi kompleks
survivin pada apparatus mitosis menunjukkan fungsi penting pada pembelahan
sel. Survivin berfungsi sangat penting dalam tahap akhir pembelahan sel yaitu
sitokinesis, berpotensi terlibat dalam pembelahan jalur pembentukan. Survivin
menunjukkan suatu bentuk kompleks dengan molekul untuk meregulasi sitokin,
termasuk Aurora B kinase dan INCENP pada kinetochore dan spindle sentral
anaphase. Survivin berperanan dalam fase awal mitosis dibandingkan sitokinesis,
dan dibutuhkan untuk pengumpulan apparatus mitosis bipolar dengan
mengendalikan stabilitas mikrotubulus (Pennati et al., 2007; Mita et al., 2008).
33
Survivin berlokasi pada sentrosom/mikrotubulus dan kinetochore memediasi
fungsi nyata pada berbagai tahap pembelahan sel yaitu regulasi stabilitas
mikrotubulus dan berhubungan dengan pembentukan spindle telephase dan
pengawasan jalur pembentukan akhir telephase. Ini sesuai dengan pengamatan
bahwa mikrotubulus dan kinetochore yang berhubungan dengan survivin
diregulasi secara berbeda selama siklus sel, menunjukkan tidak ada gambaran
overlapping dari fosforilasi dan bisa dikenali dengan monoclonal antibody dalam
gambaran yang khas (Pennati et al., 2007; Mita et al., 2008).
Kemungkinan kelompok lain survivin menyediakan kelanjutan regulasi
dinamis dari checkpoint spindle mitosis dan dari kinetochore dinamis melalui
kumpulan spindle. Hal ini sesuai dengan data yang mengidentifikasikan peranan
Aurora B dalam penyatuan kromosom dan penyusunan mikrotubulus pada
stadium awal mitosis dibandingkan sitokin. Dalam hal ini, peranan kompleks
survivin/Aurora pada kinetochore dinamis akan berintegrasi dengan survivin
mikrotubulus dalam pembentukan spindle yang akan masuk ke metaphase.
Kelanjutan regulasi dari checkpoint spindle mitosis juga sesuai jalur data
mikroinjeksi antibodi. Dimana inhibisi dari siklus istirahat sel yang dihambat oleh
survivin berperan sebagai racun spindle. Aurora kinase ditemukan sering dengan
ekspresi berlebihan pada kanker dan mungkin berhubungan dengan transformasi
onkogen. Kombinasi ekspresi berlebihan survivin dan aurora pada kanker,
mungkin menghapus mekanisme surveillance dari checkpoint spindle,
menyebabkan sel dengan defek spindle, kumpulan kromosom yang menyimpang
34
atau kinetochore yang tidak sebaris untuk menghasilkan pembelahan sel (Pennati
et al., 2007; Mita et al., 2008).
2.4.3 Peranan Survivin pada Inhibisi Apoptosis
Apoptosis adalah mekanisme penting pada kematian sel dan merupakan bagian
dari nekrosis tumor. Pada potongan histologi rutin, sel apoptosis ditandai dengan
kondensasi kromatin dan sitoplasma. Peningkatan apoptosis bisa berhubungan
dengan karsinoma intraduktal yang mempunyai inti derajat tinggi serta area
nekrosis, dan karsinoma invasif (Hoda (b), 2014).
Akumulasi dari sel neoplastik bukan hanya berasal dari aktivasi growth-
promoting oncogenes atau inaktivasi dari growth-suppressing tumor suppressor
genes, tetapi juga berasal dari mutasi pada gen yang mengatur apoptosis.
Apoptosis adalah suatu barrier yang harus dikalahkan untuk terjadinya kanker.
Kematian sel akibat apoptosis adalah respon fisiologis untuk beberapa kondisi
patologis yang mungkin berkontribusi terhadap malignansi jika sel masih tetap
hidup (Kumar, 2015).
Apoptosis merupakan evolusi berkelanjutan dari program kematian sel yang
tergantung ATP, dilakukan oleh caspase (cysteine protease) yang menyebabkan
disrupsi progresif struktur sel dan pembentukan vesikel didalam membran yang
dinamakan badan apoptosis. Apoptosis dapat dicetuskan oleh sinyal kematian sel
intrinsik atau ektrinsik serta diregulasi oleh dua keluarga gen yaitu Bcl2 dan IAP
(Hmeljak dan Cor, 2012).
35
Peranan survivin dalam inhibisi apoptosis adalah melalui 3 jalur yaitu
ekspresi berlebihan survivin berhubungan dengan inhibisi kematian sel yang
dimulai melalui jalur apoptosis ekstrinsik dan intrinsik. Kedua adalah transgenik
ekspresi survivin dihasilkan pada inhibisi apoptosis invivo sebagai respon
terhadap ikatan Fas yang suboptimal. Ketiga yaitu yang termasuk molekul
antagonis survivin adalah antisense, ribozyme, siRNA, stimulus apoptosis dan
aktivitas antikanker secara invivo dihasilkan pada kematian sel yang tergantung
caspase, peningkatan stimulus apoptosis dan aktivitas antikanker. Akumulasi
survivin berperanan lebih selektif dibandingkan inhibitor apoptosis lainnya pada
antagonis apoptosis yang tergantung mitokondria. Ekspresi berlebihan survivin
lebih efisien saat menghambat mitokondria, tetapi bukan apoptosis yang diinduksi
kematian reseptor, yaitu suatu kompleks antara survivin dan mitokondria inisiator
caspase 9. Survivin juga menunjukkan hubungan dengan Smac/DIABLO, suatu
protein apoptogen yang dihasilkan oleh mitokondria yang mengeluarkan efek
inhibisi pada IAP saat aktivasi caspase (Hmeljak dan Cor, 2012).
Kematian sel yang diinduksi molekul antagonis survivin atau dengan
pengurangan heterozigot pada tingkat survivin, mempunyai karakteristik
apoptosis tergantung mitokondria dengan pengeluaran sitokrom c, aktivasi
caspase 9 dan keterlibatan dari komponen apoptosom, caspase 9 dan Apaf-1. Data
ini menunjukkan bahwa survivin berbeda dari inhibitor anti apoptosis lain yang
menghambat inisiator atau efektor caspase melalui BIRs independen. Jalur ini
kemungkinan berpusat pada interaksi antara survivin dengan Smac/DIABLO.
Survivin diinhibisi oleh Smac/DIABLO, yang menempatkan survivin pada posisi
36
sentral dalam keseimbangan dinamis dari faktor-faktor proapoptosis dan
antiapoptosis (Gambar 2.9). Model ini mendapatkan pertentangan dari penelitian
yang menemukan survivin mengalami kekurangan struktur yang memediasi ikatan
antara caspase yang ada pada IAP lain dan peranan survivin dalam pembelahan
sel, tetapi bukan pada sitoproteksi. Penelitian lain menemukan bahwa survivin
menghambat caspase 9 tetapi tidak pada caspase 3 dan 7. Kemampuan survivin
untuk menginhibisi apoptosis lebih rumit dibandingkan inhibisi caspase langsung
dan membutuhkan kerjasama dengan molekul lainnya seperti hepatitis B X-
interacting protein dan X-linked IAP (Mita et al., 2008).
Gambar 2.9
Fungsi survivin sebagai inhibitor apoptosis. Berdasarkan aktivasi sinyal sel
proapoptosis, survivin dikeluarkan dari mitokondria ke sitosol dan menghambat
caspase 9 aktif. Fungsi ini memerlukan hubungan dengan hepatitis B X-
interacting protein dan/atau dengan X-linked IAP serta dihambat oleh
Smac/Diablo (Mita et al., 2008).
37
2.4.4 Peranan Survivin pada Angiogenesis
Seperti jaringan normal, tumor memerlukan suplai oksigen dan nutrisi serta
pembuangan produksi yang tidak diperlukan. Sel kanker dapat menstimulasi
pembentukan neoangiogenesis, dimana pembuluh darah baru tumbuh dari
pembuluh darah kapiler yang sudah ada sebelumnya atau pada beberapa kasus
vaskulogenesis terjadi dengan pengambilan sel endothel dari sumsum tulang.
Vaskularisasi tumor adalah abnormal, dimana pembuluh darah biasanya lemah
dan berdilatasi serta mempunyai stuktur yang tidak teratur. Angiogenesis
diperlukan bukan hanya untuk melanjutkan pertumbuhan tumor tetapi merupakan
jalur untuk vaskularisasi dan metastasis (Kumar, 2015).
Survivin juga berperanan dalam angiogenesis. Hubungan antara sel endotel
dengan gen yang mengkode survivin spesifik siRNA atau bentuk phosphorylation
defective survivin menyebabkan regresi pembuluh darah selama angiogenesis
tumor. Ekspresi survivin meningkat (pada mRNA dan protein) sel endothel
pembuluh darah yang dikultur akibat paparan faktor angiogenesis seperti VEGF
dan bFGF. Mekanisme dimana survivin menyebabkan angiogenesis,
menunjukkan kemampuannya menyediakan integritas struktur mikrotubulus dan
menghambat apoptosis pada sel endothel, yang diperlukan untuk viabilitas dan
integritas sel endhothel (Lv et al., 2010).
2.4.5 Peranan Survivin pada Biologi Kanker
Survivin hampir tidak ditemukan pada kebanyakan jaringan dewasa, dan
ekspresinya terbatas pada perkembangan embrio dan hematopoietik, sel epitel dan
sel gonad, dimana ekspresinya tergantung pada siklus sel. Survivin tidak
38
terdeteksi pada diferensiasi akhir kebanyakan jaringan normal. Ekspresi
berlebihan survivin ditemukan pada keganasan manusia yaitu tumor paru,
payudara, kolon, lambung, esofagus, pankreas, hati, uterus, ovarium, non hodgkin
limfoma, hodgkin limfoma (Brennan et al., 2008; Doolittle et al., 2010). Insiden
ekspresi survivin pada kanker dilaporkan bervariasi dari 30% sampai 100%.
Ekspresi survivin yang tinggi dihubungkan dengan prognosis buruk pada
kebanyakan kanker (Yamashita et al., 2007; Sarti et al., 2013).
Beberapa penelitian retrospektif menggunakan protein dan strategi deteksi
asam nukleus (imunohistokimia, RT-PCR, in situ hibridisasi, DNA array
profiling) memetakan adanya survivin pada berbagai tumor dan menjelaskan
pengaruhnya pada parameter penyakit dan perjalanan akhir penyakit. Survivin
adalah suatu marker dari penyakit yang agresif dan unfavourable, menunjukkan
kelangsungan hidup yang singkat, peningkatan kekambuhan, resisten terhadap
kemoterapi dan pengurangan indeks apoptosis in vivo. Survivin berperan dalam
progresi tumor dibandingkan pada tahap awal transformasi onkogen, dan
konsekuensinya mungkin tidak terlihat sampai terdapatnya akumulasi mutasi
tambahan. Dasar molekular ekspresi berlebihan survivin pada kanker telah diteliti.
Transkripsi gen survivin berhubungan dengan progresi mitosis dan proliferasi sel
yang tinggi. Gen survivin secara keseluruhan berperanan dalam kanker,
menyebabkan ekspresi berlebihan protein pada semua fase siklus sel, bukan hanya
pada mitosis (Fukuda dan Pelus, 2006; Doolittle et al., 2010).
Peranan biologi survivin pada kanker bukan hanya menghambat apoptosis.
Survivin juga berperan dalam regulasi checkpoint spindle mitosis, dari
39
kinetochore berpasangan dengan spindle, menunjukkan ekspresi berlebihan pada
kanker yang dapat menyebabkan sel dengan defek spindle atau kesalahan barisan
kinetochore untuk melanjutkan pembelahan sel. Sebagai tambahan peranan
langsung pada karsinogenesis, survivin juga berperan penting pada angiogenesis
tumor sebab terekspresi kuat pada sel endotel selama fase remodeling dan
proliferasi dari angiogenesis. Penekanan yang diperantarai antisense dari survivin
selama angiogenesis menstimulasi involusi kapiler in vitro. Penelitian terbaru juga
mengungkapkan bahwa survivin berperanan dalam progresi dan kemoresisten
tumor. Penelitian in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa penghambatan survivin
mengurangi potensi pertumbuhan tumor dan meningkatkan kepekaan tumor
terhadap agen kemoterapi (Mita et al., 2008; Cheung et al., 2013).
2.4.6 Survivin pada Karsinoma Payudara
Pada penelitian terbaru, ekspresi survivin ditemukan pada 70,7%-90,2% kasus
karsinoma payudara dengan proporsi bervariasi dari sel tumor yang positif.
Sebaliknya, pada jaringan payudara normal disekitarnya tidak mengekspresikan
survivin. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian yang lain bahwa survivin
terekspresi pada beberapa keganasan termasuk karsinoma payudara, tetapi tidak
pada jaringan non neoplastik. Terdapat hubungan antara ekspresi survivin dengan
faktor prognosis buruk seperti ukuran tumor yang besar, derajat diferensiasi
histologi yang tinggi, metastase kelenjar getah bening, stadium tumor yang tinggi,
status hormonal ER negatif dan PR negatif (Tsai et al., 2008; Youssef et al.,
2008). Jha et al (2012), mengemukakan terdapat hubungan bermakna ekspresi
40
survivin dengan stadium tumor, derajat diferensiasi histologi, status ER dan
HER2. Penelitian lain tidak menemukan hubungan bermakna antara ekspresi
survivin dengan stadium klinis, ukuran tumor, derajat diferensiasi histologi,
metastasis kelenjar getah bening dan reseptor hormonal (ER, PR) menggunakan
analisis mRNA dan imunohistokimia (Goksel et al., 2007).
Berdasarkan subtipe molekular, survivin ditemukan pada ekspresi lebih
rendah pada luminal dan lebih tinggi pada HER2 positif serta triple negative
sebagai tanda perilaku kanker payudara yang agresif dan mempunyai perjalanan
akhir penyakit yang buruk (Youssef et al., 2008). Stres oksidatif yang tinggi akan
menghasilkan reactive oxygen species (ROS) yang akan menyebabkan kerusakan
DNA sehingga akan menginduksi apoptosis dan menurunkan ekspresi survivin
sehingga menyebabkan pembentukan kanker ER positif atau luminal (Pervin et
al., 2013). Mutasi TP53 dan ekspresi tinggi HER2 akan menekan apoptosis dan
meningkatkan ekspresi survivin sehingga terjadi proliferasi yang tidak terkontrol
dan pertumbuhan kanker dengan HER2 positif (Carpenter dan Lo., 2013). Mutasi
TP53 dan inaktivasi BRCA1 akan meningkatkan ekspresi survivin dan terjadi
resistensi apoptosis sehingga menyebabkan pertumbuhan kanker triple negative
(Blanchard et al., 2015).
2.4.7 Survivin dan Terapi Kanker
Saat ini sudah banyak usaha yang dilakukan untuk menjadikan survivin sebagai
target baru pada terapi kanker. Penghambatan survivin menyebabkan banyak jalur
proliferasi sel dan sitoproteksi secara bersamaan terganggu. Penghambatan
41
langsung terhadap survivin bisa dilakukan pada berbagai tingkat yaitu
menghambat transkripsi gen, menghambat translasi mRNA dan pemecahan
protein. Terapi gen dan imunoterapi saat ini masih dalam tahap pengembangan.
Terapi gen dengan menggunakan vektor virus atau plasmid untuk membawa
mutant survivin negatif dominan ke sel tumor dan penggunaan promoter gen
survivin untuk membawa ekspresi gen sitotoksik ke sel tumor.Vaksin survivin
saat ini sedang dalam penelitian klinis, secara bermakna memperlambat
pertumbuhan tumor dan memperpanjang harapan hidup dengan meningkatkan
infilrasi limfosit p ada tumor (Doolitle et al., 2010).
2.4.8 Pulasan Imunohistokimia
Pada pulasan imunohistokimia survivin yang dinilai adalah intensitas pulasan,
distribusi pada sitoplasma dan atau nukleus, dan persentase sel kanker yang
terpulas positif. Sel kanker yang dinyatakan terpulas positif adalah sel epitel ganas
yang terpulas coklat pada sitoplasma dan atau nukleus. Ekspresi protein dihitung
pada sampel menggunakan metode skoring yang telah digunakan sebelumnya.
Persentase berarti dari sel-sel tumor yang positif ditentukan paling sedikit pada
lima area dengan pembesaran 400x dan ditandai oleh satu dari lima kategori
berikut: 0: <5%, 1: 5%-20%, 2: 21%-50%, 3: 51%-75% dan 4: > 75%. Intensitas
imunuhistokimia diskoring berdasarkan: (a) lemah, 1+; (b) sedang, 2+; dan (c)
kuat, 3+. Persentase dari sel-sel yang positif dikalikan intensitas pulasan
menghasilkan skor untuk tiap kasus (Gambar 2.11). Kasus dengan skor <1 disebut
42
negatif dan skor ≥ 1 disebut positif. Setiap sediaan dinilai secara blind dan
independen oleh 2 orang dokter spesialias patologi anatomi (Youssef et al., 2008).
ER positif adalah ≥ 1% sel-sel tumor terpulas positif berwarna coklat pada
nukleus. PR positif adalah ≥ 1% sel-sel tumor terpulas positif berwarna coklat
pada nukleus. HER2 positif adalah jika lebih dari 10% sel-sel tumor terpulas
penuh berwarna coklat pada membran dengan intensitas kuat (pulasan 3+).
Berdasarkan imunohistokimia ER, PR dan HER2, maka subtipe molekular
diklasifikasikan sebagai berikut yaitu luminal (ER+ dan atau PR+, HER2- atau
HER2+); HER2 positif (HER2+, ER- dan atau PR-) dan triple negative (ER- dan
atau PR-, HER2-) (Youssef et al., 2008; Lester, 2015)
Gambar 2.10.
Imunohistokimia survivin pada karsinoma payudara. A. Pulasan positif pada
nukleus; B. Pulasan positif pada nukleus dan sitoplasma; C. Pulasan positif pada
sitoplasma (Jha et al, 2012).