Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Prokrastinasi Akademik
2.1.1 Pengertian Prokrastinasi Akademik
Pada kalangan ilmuwan, istilah prokrastinasi
digunakan untuk menunjukkan suatu kecenderungan
menunda-nunda penyelesaian suatu tugas. Istilah ini
pertama kali digunakan oleh Brown & Holzman pada tahun
1967 (Ghufron & Risnawati, 2012). Menurut Wibowo
(2015) prokrastinasi merupakan kebiasaan untuk
melakukan penundaan terhadap pekerjaan yang penting
dan seharusnya diselesaikan sekarang, tetapi lebih memilih
untuk melakukan hal yang lebih menyenangkan.
Hidayah & Atmoko (2014) menjelaskan bahwa
prokrastinasi merupakan kegagalan dalam melakukan apa
yang semestinya dilakukan untuk dapat mencapai suatu
tujuan. Prokrastinasi juga berarti penundaan
menyelesaikan tugas yang seharusnya diselesaikan.
Selanjutnya menurut Sirois & Pychyl (2016) prokrastinasi
adalah suatu penundaan karena penghindaran terhadap
tugas. Sebagian besar penghindaran itu dilakukan karena
tidak menyukai tugas. Menurut Pradityarahman (2020)
prokrastinasi adalah kecenderungan untuk menunda suatu
tugas atau pekerjaan baik karena untuk mencapai tujuan
lain ataupun dikarenakan melakukan aktivitas lain yang
menyenangkan daripada melakukan tugas yang harus
dikerjakan. Penundaan hampir selalu membuat hal-hal
menjadi lebih sulit dan menyebabkan stres.
19
Kata akademik berasal dari bahasa Inggris yaitu
academy, sedangkan dari bahasa Latin ialah academia,
kata yang disebut terakhir berasal dari bahasa Yunani
academeia yang mempunyai beberapa makna salah
satunya bermakna suatu masyarakat atau kumpulan orang-
orang terpelajar (Pauzi, 2019). Sedangkan dalam Kamus
Bahasa Indonesia kata akademik ialah bersifat akademi
(ilmiah) (dalam Mangunsuwito, 2011). Yong (dalam
Hidayah & Atmoko, 2014) menyatakan bahwa prokrastinasi
akademik adalah kecenderungan irasional untuk melakukan
penundaan dalam memulai maupun menyelesaikan tugas-
tugas akademik.
Berdasarkan penjelasan dari beberapa pengertian
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa prokrastinasi
akademik itu ialah suatu perilaku yang dilakukan oleh
invidivu untuk menunda-nunda baik dalam memulai
mengerjakan maupun menyelesaikan tugas-tugas
akademik yang di berikan oleh dosen dan memilih
melakukan hal lain yang lebih menyenangkan daripada
membuat tugas.
2.1.2 Aspek-aspek Prokrastinasi Akademik
Ferrari, Johnson, & McCown (1995) menyebutkan
bahwa prokrastinasi akademik terdiri dari beberapa aspek-
aspek berikut ini:
1. Penundaan dalam proses mengerjakan maupun
menyelesaikan tugas. Suatu kondisi ketika seseorang
mengetahu bahwa memiliki tugas yang sangat
penting untuk diselesaikan, namun lebih memilih
untuk melakukan penundaan dalam proses memulai
20
untuk mengerjakan bahkan saat proses
menyelesaikan.
2. Melakukan kegiatan lain yang lebih menyenangkan
daripada menyelesaikan tugas. Suatu kondisi dimana
seorang prokrastinator secara sengaja lebih memilih
untuk melakukan kegiatan lain yang lebih
menyenangkan, dibandingkan menyelesaikan tugas
atau bahkan memulai untuk mengerjakan tugas
yang seharusnya diselesaikan.
3. Adanya kelambanan yang disengaja dalam
mengerjakan tugas. Suatu kondisi dimana seorang
prokrastinator membutuhkan waktu yang lebih
banyak untuk melakukan persiapan yang berlebihan,
bahkan tidak berhubungan dengan tugas, hal ini
dilakukan tanpa memperhitungkan batas waktu yang
dimiliki untuk menyelesaikan tugas.
4. Ketidakselarasan waktu antara rencana pengerjaan
tugas dengan kinerja aktual. Suatu kondisi dimana
pelaku prokrastinasi sering mengalami kesulitan
untuk melakukan sesuatu dengan batas waktu yang
telah ditentukan sebelumnya.
Menurut Burka & Yuen (2008) ada empat aspek
yang mendasari perilaku prokrastinasi (menunda-nunda).
1. Aspek Biologikal, prokrastinasi melibatkan tubuh,
otak, dan faktor genetik. Semuanya memiliki peran
dalam terjadinya prokrastinasi. Apa yang terjadi
didalam otak akan memengaruhi perilaku seseorang
untuk menghindar, dan begitupun sebaliknya
perilaku menghindar akan memengaruhi stuktur dan
fungsi otak.
21
2. Aspek Emosional, prokrastinasi yang dilakukan
melibatkan perasaan batin, memori, kekuatan,
harapan dan tekanan serta keraguan. Tetapi banyak
individu yang melakukan prokrastinasi tidak
menyadarinya. Individu melakukan penundaan
untuk menghindari perasaan tidak nyaman.
3. Aspek Nilai-nilai diri, menerima diri sendiri apa
adanya juga berkaitan dengan nilai-nilai diri. Nilai-
nilai mewakili sikap yang paling penting dalam
kehidupan. Nilai adalah arah untuk hidup. Nilai-nilai
tersebut tercermin dari tindakan yang dilakukan.
4. Aspek integrasi, perasaan harmoni ini mencerminkan
fungsi sistem yang sehat. Sistem yang sehat adalah
sistem yang terintegrasi, juga tidak kaku. Ketika
sisitem diri terlalu kaku, maka akan menahan diri
dengan cepat terhadap tuntutan perfeksionis yang
mengarah pada penundaan dan melakukannya
secara berulang-ulang.
Milgram (dalam Ferrari, Johnson, & McCown, 1995)
menekankan empat komponen (aspek-aspek) penting dari
prokrastinasi:
1. Serangkaian perilaku penundaan (menunda).
2. Menghasilkan perilaku dibawah standar.
3. Yang melibatkan suatu tugas yang dirasakan penting
oleh individu sebagai hal yang penting untuk
dilakukan.
4. Mengakibatkan keadaan emosional yang tidak
menyenangkan.
Berdasarkan aspek-aspek yang telah disebutkan
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek dari
prokrastinasi akademik meliputi penundaan untuk mulai
22
mengerjakan tugas-tugas akademik, lebih menyukai
kegiatan lain yang menyenangkan, adanya kelambanan
yang disengaja dalam mengerjakan tugas, ketidak
selarasan waktu antara rencana pengerjaan tugas dengan
kinerja aktual, aspek nilai-nilai diri, emosional, aspek
integrasi dan biologikal.
2.1.3 Faktor-faktor Prokrastinasi Akademik
Prokrastinasi terdiri dari beberapa faktor-faktor yang
mempengaruhi seperti yang dikemukakan oleh Hidayah &
Atmoko (2014) menyebutkan bahwa perilaku prokrastinasi
akademik terjadi karena beberapa hal, yaitu: (1) gangguan
lingkungan atau anteseden, (2) kegagalan fasilitasi dan
kegagalan inhibisi, (3) asosiasi tugas-tugas akademik
dengan hal-hal yang tidak menyenangkan yang pernah
dialami di masa lalu, (4) kurangnya konsekuensi sebagai
outcome perilaku itu, serta (5) hasil peniruan terhadap
perilaku yang diamati dari orang lain. Di sisi lain, sebagai
respon meniru, prokrastinasi akademik sering terjadi
karena meniru perilaku teman sebayanya, orang tua, atau
orang lain yang sering melakukan hal yang sama. Misalnya
ketika seseorang mendapatkan informasi bahwa temannya
belum mengerjakan tugas, maka ia ikut menunda
mengerjakan tugas-tugas akademik.
Menurut Pradityarahman (2020) ada beberapa point
yang dapat membuat kita melakukan prokrastinasi sebagai
berikut:
1. Menginginkan kepuasan yang instan
Rebahan dirasa lebih nyaman daripada berlari.
Memeriksa sosial media dirasa lebih mudah daripada
melakukan pekerjaan yang telah ditunda. Itulah
23
beberapa contoh kepuasan instan yang membuat
seseorang terlena akan dampak yang ditimbulkan.
2. Melebih-lebihkan diri di masa depan
Seseorang sering membuat rencana yang akan
dilakukan, dan berpikir bahwa semua rencana yang
dibuat dapat terlaksana. Namun dalam realitanya
akan menjadi lebih buruk karena melakukan
prokrastinasi. seseorang selalu berharap lebih dimasa
depan tapi tidak berusaha semaksimal mungkin.
3. Tidak termotivasi
Prokrastinasi bisa menjadi cara untuk menjelaskan
bahwa seseorang tidak ingin melakukan sesuatu.
Motivasi dan prokrastinasi itu berbanding terbalik.
Untuk menaklukan prokrastinasi maka yang sering
dilakukan ialah memotivasi diri.
Faktor-faktor prokratinasi menurut Ghufron &
Risnawati (2012) menurutnya ada dua faktor internal
individu yang dapat memengaruhi munculnya perilaku
prokrastinasi, yaitu kondisi psikologis dan kondisi fisik
individu.
1. Kondisi Psikologis, kondisi psikologis individu ini
sebagaimana dikemukakan oleh Ferrari, menyebutkan
bahwa prokrastinasi akademik dipengaruhi oleh
adanya keyakinan yang tidak irasional dan
perfeksionisme. Trait kepribadian yang ada pada
individu turut memengaruhi munculnya prokrastinasi,
misalnya hubungan kemampuan sosial dan tingkat
kecemasan dalam berhubungan sosial.
2. Kondisi Fisiologis, kondisi fisik yang dapat
menyebabkan prokrastinasi adalah kondisi kesehatan.
Sebagaimana yang dijelaskan Ferrari, bahwa kondisi
24
kesehatan seseorang dapat menentukan tingkat
prokrastinasnya.
Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari
luar diri individu yang dapat memengaruhi terjadinya
perilaku prokrastinasi. Faktor tersebut meliputi:
pengasuhan orangtua dan lingkungan yang kondusif, yaitu
lingkungan yang lenient.
1. Pengasuhan orangtua, hasil penelitian yang dilakukan
oleh Ferrari dan Ollivete menemukan bahwa tingkat
pengasuhan otoriter ayah yang menyebabkan
munculnya kecenderungan perilaku prokrastinasi yang
kronis pada subjek penelitian anak perempuan,
sedangkan tingkat pengasuhan otoritatif ayah
menghasilkan anak perempuan yang bukan
prokrastinator.
2. Kondisi lingkungan, kondisi lingkungan yang lanient
prokrastinasi akdemik lebih banyak dilakukan pada
lingkungan yang rendah dalam pengawasan daripada
lingkungan yang penuh pengawasan, di dalam
lingkungan terdapat adanya teman sebaya ataupun
kelompok yang memengaruhi seseorang untuk
melakukan prokrastinasi.
Menurut Burka & Yuen (2008) menjelaskan terdapat
beberapa hal yang memengaruhi prokrastinasi, antara lain:
Pertama, faktor internal berupa kecemasan, stres,
ketakutan dan kondisi fisik. Kedua, faktor eksternal yaitu
kondisi lingkungan berupa dukungan ataupun tekanan yang
di dapatkan dari hubungan sosial atau tempat tinggal
individu.
25
Cuan (2015) menyebutkan beberapa faktor
prokrastinasi, yaitu: perfeksionis, takut gagal, menunggu
mood. Menurut Demir & Kutlu (2018) alasan seseorang
untuk melakukan prokrastinasi akademik dapat bervariasi
dari individu ke individu. Dalam konteks ini, beberapa
penelitian mengaitkan perilaku prokrastinasi akademik
dengan rendahnya motivasi, depresi, stress, dan tugas-
tugas akademik yang tidak disukai.
Berdasarkan faktor-faktor prokrastinasi diatas, maka
dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya perilaku prokrastinasi dapat disebabkan dari
dalam dirinya sendiri (faktor internal) dan dari pengaruh
dari luar diri individu (faktor eksternal). Faktor internal
seperti takut gagal, kurang percaya diri, rendahnya
motivasi, depresi, kondisi kesehatan pikiran irasional.
Sedangkan faktor eksternal meliput pola asuh orangtua dan
pengaruh teman sebaya (peer group).
2.1.4 Dampak dari Prokrastinasi Akademik
Menurut Hidayah & Atmoko (2014) perilaku
prokrastinasi banyak dilakukan sebagian besar peserta
didik, hal itu sendiri dapat berdampak buruk terhadap
prestasi akademik serta pembentukan kebiasaan
belajarnya. Jika ini dibiarkan, maka pembentukan
kebiasaan disiplin diri akan terhambat, prestasi akademik
tidak optimal dan pada gilirannya kualitas pendidikan
menjadi rendah.
Menurut Praditya (2020) ada beberapa hal buruk
yang dapat ditimbulkan dari prokrastinasi akademik sebagai
berikut:
1. Dapat membuat pekerjaan kita tidak selesai.
26
2. Walaupun pekerjaan dapat diselesaikan, namun
sering melakukannya dengan tergesa-gesa, ataupun
tidak menyelesaikannya dengan maksimal sehingga
hasil yang didapatkan akan tidak maksimal atau
buruk.
3. Dapat menyebabkan membutuhkan waktu yang
lebih lama dalam menyelesaikan pekerjaan, yang
membuat harus mengurangi waktu yang ingin
dilakukan selain pekerjaan (tugas), misalkan seperti
melakukan hobi, bermain game, kumpul dengan
keluarga.
4. Dapat meningkatkan stres.
5. Dapat menghindari dalam mencapai tujuan.
6. Dapat mencegah dalam mengejar impian.
7. Dapat merusak harga diri
Menurut Burka & Yuen (2008) prokrastinasi
memberikan dua konsekuensi (masalah), yaitu:
konsekuensi eksternal, yaitu masalah yang muncul di luar
diri meliputi, kehilangan pekerjaan, menimbulkan konflik,
tanggung jawab berkurang, kehilangan pertemanan.
Sedangkan konsekuensi internal, yaitu masalah yang
muncul dalam diri meliputi, kurang konsentrasi, depresi,
insomnia, kecemasan.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat
disimpulkan bahwa prokrastinasi akademik dapat
memberikan dampak buruk, baik itu dalam segi prestasi
akademik seseorang, bahkan dapat berdampak buruk
terhadap diri dan kehidupannya seperti tanggung jawab
berkurang, depresi, menimbulkan kecemasan,
meningkatkan stres, merusak harga diri, kurangnya
konsentrasi.
27
2.1.5 Perspektif Islam Tentang Prokrastinasi
Akademik
Menurut perspektif Islam (dalam Ilyas & Suryadi,
2017)perilaku prokrastinasi akademik juga dilarang. Allah
SWT Senantiasa menuntut kepada seluruh manusia agar
selalu memanfaatkan waktu semaksimal mungkin dan
mengisinya dengan berbagai amal atau perbuatan-
perbuatan yang positif. Bukannya menunda-nunda
pekerjaan atau tugas yang seharusnya bisa dikerjakan
sekarang, tapi ditunda-tunda dengan atau tanpa alasan. Di
dalam Al-Qur‟an banyak disebutkan ayat dalam redaksi
yang menyeru manusia untuk lebih menghargai waktu,
tidak menyianyiakannya dan mengisinya dengan ibadah,
seperti yang termaktub dalam Surah Al-Insyirah ayat 1-7,
Allah juga memerintahkan manusia untuk mengerjakan
tugas yang lain setelah selesai dari tugas yang lain.
1. Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?,
2. dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu,
3. yang memberatkan punggungmu?
4. dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu
5. karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan,
6. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
28
7. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan),
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain
(QS. Al-Insyirah: 1-7)
Secara tersurat ayat tersebut tidak memberikan
peluang bagi seorang muslim untuk menganggur
sepanjang masih memiliki waktu atau usia. Akibat
seseorang melakukan perilaku prokrastinasi akademik yang
sering terjadi adalah stres. Mengingat bahwa stres
melibatkan pengendalian yang rendah dari rangsangan
yang tidak menyenangkan. Penundaan mengalami stress
karena rendahnya persepsi diri, kontrol diri dan efikasi diri.
Pada surah ini juga dijelaskan bahwa disetiap
kesulitan itu senantiasa disertai kemudahan, dalam susah
ada mudahnya, dalam sempit ada lapangnya. Bahaya yang
mengancam adalah menjadi sebab akal berjalan, fikiran
mencari jalan keluar. Dan pada surah ini juga dijelaskan
bahwa bila telah selesai suatu pekerjaan maka bersiaplah
buat memulai pekerjaan yang baru. Dengan kesadaran
bahwa segala pekerjaan yang telah selesai atau yang akan
dimulai tidaklah terlepas dari kesulitan, tapi dalam kesulitan
itu kemudahan pun akan turut serta. Ada saja nanti
kemudahan yang didapatkan asal selalu menyertakan Allah
dalam segala pekerjaan (Hamka, 1982).
Sebagian ulama menjelaskan bahwa jika kamu
sudah selesai dengan urusan dunia, maka kerjakanlah
urusan akhirat, atau kalau sudah selesai shalat maka
berdo‟alah. Pesan tersirat dari ayat tersebut adalah kita
dituntut untuk menuntaskan pekerjaan, dan melanjutkan
ke perkerjaan berikutnya. Akhirat adalah hasil perniagaan
di dunia, maka selesaikan urusan dunimu untuk kau temui
di akhirat kelak (Imaduddin, 2018).
29
“jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang
sesuatu: Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok
pagi”. Jelas sekali bahwa Allah tidak suka kepada orang
yang selalu menunda-nunda pekerjaan. Namun dalam
melakukannya pun jangan tergesa-gesa. Inilah ciri manusia
dalam al-Quran surah al-An‟biyaa: 37. Carilah jalan
diantaranya. Jangan tergesa-gesa, namun juga jangan
menunda-nunda. Lakukanlah dengan yakin, selalu
menggunakan akal dan ilmu. Berikut peringatannya dalam
al-Quran surah Al-Israa: 36 (Marlo, 2013).
Ibnu Jauzi (dalam Khalili, 2006) menyarankan:
“dalam hal ini, sisi kehati-hatian (al ihtiyah) harus benar-
benar di jaga, dan hukum kehati-hatian adalah membuang
jauh-jauh ungkapan sekarang dan besok serta angan-
angan panjang. Karena usia manusia tidak akan kembali
lagi, dan kita tidak akan selamat dari sesuatu yang kita
takutkan, yaitu kematian. Dan jika kita menunda-nunda
suatu pekerjaan, maka kita akan menghadapi beberapa
halangan. Juga harus memiliki keyakinan kuat bahwa
kematian adalah suatu perkara yang serius dan nyata,
maka segeralah bertobat dan berbuat kebajikan. Seseorang
yang tertipu „sekarang dan besok-nya nafsu dan setan,
sungguh ia akan merasakan penyesalan yang dalam.”
Dalam hadis Qudsi juga disebutkan mengenai aksi kecil
akan mendatangkan akibat besar. Begini redaksi hadis
Qudsinya, “Bila hambaku datang dengan berjalan, maka
aku akan datang dengan berlari”. Oleh karena itu,
bersegeralah melakukan kebaikan di hari inidan di hari-hari
selanjutnya (Arjuna, 2018).
30
Berdasarkan pendapat di atas, bahwa perilaku
prokrastinasi sangat merugikan individu dan Allah SWT
menganjurkan kepada umatnya untuk selalu mengerjakan
hal lain setelah pekerjaan yang lain selesai. Menunda-
nunda pekerjaan merupakan hal yang di benci Allah SWT
dan dilarang-Nya.
2.2 Konformitas
2.2.1 Pengertian Konformitas
Menurut Chaplin (2014) konformitas adalah
kecendrungan untuk memperbolehkan satu tingkah laku
seseorang dikuasai oleh sikap dan pendapat yang sudah
berlaku. Lebih lanjut Chaplin menjelaskan konformitas
sebagai ciri pembawaan kepribadian yang cenderung
membiarkan sikap dan pendapat orang lain menguasai
hidupnya.
Menurut Kiesler dan Kiesler (Aronson, Wilson, Akert,
& Sommers, 2013) konformitas adalah perubahan perilaku
atau keyakinan karena adanya tekanan dari kelompok, baik
yang sungguh-sungguh ada maupun yang dibayangkan
saja. Menurut Sears, Freedman, & Peplau (1985)
konformitas diartikan sebagai situasi dimana seseorang
berusaha menyesuaikan dirinya dengan keadaan di dalam
kelompok sosialnya karena individu merasa ada tekanan
atau desakan untuk menyesuaikan diri. Seseorang
menampilkan perilaku tertentu disebabkan karena orang
lain menampilkan perilaku tersebut.
Zimbardo & Leippe (dalam Gross, 2013)
mendefinisikan konformitas sebagai perubahan dalam
keyakinan atau perilaku sebagai respons terhadap tekanan
kelompok, nyata maupun yang dibayangkan, padahal tidak
31
ada permintaan secara langsung untuk konform kepada
kelompok atau tidak ada alasan untuk menjustifikasi
perubahan perilaku itu. Santrock (2007) menyatakan
bahwa konformitas muncul ketika individu meniru sikap
atau tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan yang
nyata maupun yang dibayangkan. Konformitas (conformity)
terjadi apabila individu mengadopsi sikap atau perilaku
orang lain karena merasa didesak oleh orang lain. Desakan
untuk konform pada kawan-kawan sebaya cenderung
sangat kuat selama masa remaja. Konformitas terhadap
desakan kawan-kawan sebaya dapat bersifat positif
ataupun negatif.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa konformitas adalah suatu perubahan sikap atau
perilaku seorang individu agar sesuai (sama) dengan
perilaku kelompok (peer group) sebagai akibat adanya
tekanan dari kelompok sosial.
2.2.2 Aspek-aspek Konformitas
Menurut Menurut Sears, Freedman, & Peplau (dalam
Elvigro, 2014) ada beberapa aspek yang dapat
memengaruhi konformitas pada remaja, yaitu:
1. Kurangnya informasi, seringkali orang lain lebih
mengetahui sesuatu yang tidak kita ketahui.
2. Kepercayaan terhadap kelompok, ketika kepercayaan
diri dan penilaian terhadap diri tergolong lemah, maka
tingkat konformitas akan semakin tinggi.
3. Rasa takut terhadap celaan sosial, ketika lingkungan
mencela biasanya individu akan cenderung
mengupayakan persetujuan untuk menghindari celaan.
32
4. Rasa takut terhadap penyimpangan, kebanyakan
individu tidak ingin dipandang sebagai orang yang lain
dari yang lain.
5. Kekompakan kelompok, semakin tinggi kekompakan
antara satu dengan yang lain semakin tinggi pula
konformitas diantara mereka.
6. Kesepakatan kelompok, suatu pendapat kelompok yang
telah dibuat memiliki tekanan yang kuat sehingga
anggotanya harus menyesuaikan.
7. Ukuran kelompok, pengaruh ukuran kelompok terhadap
tingkat konformitas tidaklah besar, tapi jumlah
pendapat dari kelompok yang berbeda atau individu
dalam kelompok tersebut merupakan pengaruh utama.
8. Keterikatan pada penilaian bebas, karena adanya
keputusan yang telah disepakati bersama dalam
kelompok maka keterikatan dalam kelompok akan
semakin kuat.
9. Keterikatan pada non-konformitas, individu yang sejak
awal tidak menyesuaikan diri dengan konformitas,
biasanya lama-kelamaan justru terikat pada perilaku
konformitas.
Baron dan Byrne (2005) membagi konformitas
menjadi dua aspek, yaitu:
a. Aspek normatif
Aspek ini disebut juga pengaruh sosial normatif, aspek
ini mengungkap adanya perbedaan atau penyesuaian
persepsi, keyakinan, maupun tindakan individu sebagai
akibat dari pemenuhan penghargaan positif kelompok
agar memperoleh persetujuan, disukai dan terhindar
dari penolakan.
33
b. Aspek informatif
Aspek ini disebut juga pengaruh sosial informatif, aspek
ini mengungkap adanya perubahan atau penyesuaian
persepsi, keyakinan maupun perilaku individu sebagai
akibat adanya kepercayaan terhadap informasi yang
dianggap bermanfaat yang berasal dari kelompok.
Berdasarkan aspek-aspek konformitas di atas, maka
dapat disimpulkan aspek-aspek yang terdapat dalam
konformitas meliputi aspek normatif dan informatif, aspek
rasa takut terhadap penyimpangan, kurangnya informasi,
kepercayaan terhadap kelompok, rasa takut terhadap
celaan sosial, keterikatan pada penilaian bebas,
kekompakan, dan kesepakatan kelompok.
2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Konformitas
Menurut Myers (2014) faktor-faktor yang
mempengaruhi individu untuk melakukan konformitas
adalah sebagai berikut:
1. Group size. Semakin besar jumlah anggota kelompok,
semakin besar juga pengaruhnya terhadap kelompok.
2. Cohession, merupakan perasaan yang dimiliki oleh
anggota dari kelompok dimana mereka merasa ada
ketertarikan terhadap kelompok. Myers menambahkan
semakin seseorang memiliki kohesif dengan
kelompoknya maka semakin besar pengaruh dari
kelompok pada individu tersebut.
3. Status. Dalam sebuah kelompok bila seseorang
memiliki status yang tinggi cenderung memiliki
pengaruh yang lebih besar, sedangkan orang yang
34
memiliki status yang rendah cenderung untuk
mengikuti pengaruh yang ada.
4. Public response. Ketika seseorang diminta untuk
menjawab secara langsung pertanyaan di hadapan
publik, individu cenderung akan lebih konfrom,
daripada individu tersebut diminta untuk menjawab
dalam bentuk tulisan.
5. No prior commitment. Seseorang yang sudah
memutuskan untuk memiliki pendiriannya sendiri, akan
cenderung mengubah pendiriannya saat individu
terserbut dipertunjukkan pada adanya aspek tekanan
sosial.
Menurut Gross (2013) faktor-faktor yang
memengaruhi konformitas sebagai berikut:
1. Ukuran mayoritas dan kebulatan suara, kebulatan
suara mayoritaslah yang penting (semua kaki tangan
sepakat memberikan jawaban yang sama), dan bukan
ukuran aktual mayoritasnya (jumlah kaki tangan).
2. Takut ejekan, individu takut diejek oleh seluruh
anggota kelompok jika memberikan jawaban yang
mereka yakini benar.
3. Tingkat kesulitan tugas, individu lebih cenderung
mengikuti jawaban mayoritas yang salah khususnya
jika mereka yakin bahwa ada jawaban yang benar.
4. Memberikan jawaban secara rahasia, individu conform
karena mereka enggan atau terlalu malu untuk
mengekspos pandangan pribadinya dalam situasi tatap
muka.
Menurut Baron, Branscombe, dan Byrne (dalam
Meinarno & Sarwono, 2018) menjelaskan tiga faktor yang
memengaruhi konformitas: kohesivitas, ukuran kelompok,
35
norma sosial deskriptif dan norma sosial injungtif.
Kohesivitas adalah sejauh mana kita tertarik pada
kelompok sosial tertentu dan ingin menjadi bagian darinya.
Ketika kohesitivas tinggi tekanan untuk melakukan
konformitas bertambah besar. Begitu juga dengan ukuran
kelompok. Semakin besar ukuran kelompok, berarti
semakin banyak orang yang berperilaku dengan cara-cara
tertentu, sehingga semakin banyak yang mau
mengikutinya. Sedangkan Norma yang bersifat injungtif
cenderung diabaikan, sementara norma yang bersifat
deskriptif cenderung diikuti.
Menurut Suryanto, Putra, Herdiana, & Alfian (2012)
ada dua kajian yang menunjukkan bahwa individu
cenderung melakukan konformitas dengan dua alasan yang
berbeda, yaitu: informasional dan normatif. Melalui
pengaruh informasional, individu melakukan konformitas
karena mereka ingin agar keputusan yang diambil benar
dan mereka mengandaikan bahwa orang lain yang setuju
tentang sesuatu mestinya benar. Pengaruh normatif
mengarahkan individu untuk konformitas karena adanya
kecemasan atas konsekuensi negatif dari sesuatu yang
menyimpang.
Menurut Deutsch & Gerrard (dalam Sarwono, 2005)
ada dua faktor penyebab seseorang berperilaku konform,
sebagai berikut: Pengaruh norma, yaitu disebabkan oleh
keinginan untuk memengaruhi harapan orang lain sehingga
dapat diterima oleh orang lain. Pengaruh informasi, yaitu
karena adanya bukti-bukti dan informasi mengenai realitas
yang diberikan oleh orang yang dapat diterimanya atau
tidak dapat dielakkan lagi.
36
Berdasarkan faktor-faktor di atas, maka dapat
disimpulkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
seseorang untuk melakukan konformitas ialah, ukuran
kelompok, kohesi (kesesuaian),status, norma sosial,
informasional dan normatir, status serta respon publik,
takut ejekan, tingkat kesulitan tugas, ukuran mayoritas dan
kebulatan suara.
2.2.4 Perspektif Islam Tentang Konformitas
Mengikut atau menyamai perilaku agar sesuai
dengan kelompok disebut dengan konfomitas. Dalam islam
konformitas disebut sebagai orang yang tidak mempunyai
pendirian atau munafik. Di lingkungan manapun ia akan
menyesuaikan diri sesuai dengan lingkungan tersebut.
Artinya: 14. dan bila mereka berjumpa dengan
orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami
telah beriman". dan bila mereka kembali kepada syaitan-
syaitan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya Kami
sependirian dengan kamu, Kami hanyalah berolok-olok."
(Q.S. Al-Baqarah: 14).
Pada ayat ini dijelaskan di antara sifat-sifat orang
munafik ialah bermuka dua. Jika mereka bertemu dengan
orang-orang islam mereka menyatakan keislamannya,
dengan demikian mereka memperoleh segala apa yang
diperoleh kaum Muslimin pada umumnya. Tapi bila berada
di tengah teman-teman (setan-setan) mereka, mereka pun
menjelaskan apa yang telah mereka lakukan itu
37
sebenarnya hanyalah untuk memperdaya dan memperolok-
olokkan kaum Muslimin. Itikad mereka tidak berubah,
mereka tetap dalam agama mereka. Orang-orang munafik
itu dikatakan setan karena mereka amat jauh dari petunjuk
Allah, jauh dari kebajikan dan kebaikan Setan itu mungkin
berupa manusia atau jin, seperti tersebut dalam firman
Allah SWT surah al-An‟am: 112 (Kementerian Agama RI,
2012).
Ayat ini juga memperingatkan kita supaya jangan
sampai tersihir (tertipu) dari sikap seseorang. Tetapi lebih
baiknya kita lihat terlebih dahulu dengan siapa kita bergaul
dan berteman dekat karena adanya hal yang dapat
diterima dan tidak. Seperti hadits berikut, “Seseorang itu
dikenali menurut agama teman dekatnya, maka hendaklah
melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya” (HR. Abu
Daud dan Tirmidzi). Selektif dalam menentukan dengan
siapa bergaul itu penting. Maksudnya selektif di sini ialah
bukan memilih teman karena status sosialnya, tetapi dari
kepribadian seseorang, tidak masalah kita berkenalan
dengan teman yang merokok, suka berantem, atau sering
berbuat keburukan lainnya. namun, jangan sampai kita
melakukan hal yang sama atau mengikutinya (Elvigro,
2014).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa konformitas dalam islam disebut sebagai orang yang
tidak mempunyai pendirian atau munafik. Di lingkungan
manapun ia akan menyesuaikan diri sesuai dengan
lingkungan tersebut dan orang-orang munafik itu dikatakan
setan karena mereka amat jauh dari petunjuk Allah, jauh
dari kebajikan dan kebaikan.
38
2.3 Hubungan Konformitas dengan Prokrastinasi
Akademik
Konformitas merupakan suatu situasi dimana
seseorang berusaha menyesuaikan dirinya dengan keadaan
didalam kelompok sosialnya karena individu merasa ada
tekanan atau desakan untuk menyesuaikan diri. Seseorang
menampilkan perilaku tertentu disebabkan karena orang
lain menampilkan perilaku tersebut (Sears, Freedman, &
Peplau, 1985). Shiraev & Levy (2012) mendefinisikan
konformitas sebagai bentuk pengaruh sosial di mana
individu mengubah sikap atau perilakunya untuk mengikuti
norma kelompok atau sosial.
Konformitas yang tinggi pada teman sebaya (peer
group) di lingkungan kehidupan kampus akan berdampak
pada perilaku individu dalam mengerjakan dan
menyelesaikan tugas-tugas akademik. Apabila dalam suatu
kelompok teman sebaya (peer group) melakukan
penundaan terhadap tugas-tugas yang diberikan oleh
dosen, maka individu akan cenderung mengikuti perilaku
yang ada dalam kelompok tersebut. Individu melakukan
penundaan tugas karena berusaha menyesuaikan diri
dengan keadaan di dalam kelompok sosialnya. Hal ini
dikarenakan individu merasa ada tuntutan serta tekanan
untuk menyesuaikan diri, terutama dalam hal melakukan
prokratinasi jika kelompok sosialnya tersebut melakukan
penundaan tugas akademik.
Hal ini sejalan dengan faktor-faktor prokrastinasi
yang dikemukakan oleh Hidayah & Atmoko (2014)
menyebutkan bahwa perilaku prokrastinasi akademik
terjadi karena beberapa hal, yaitu: (1) gangguan
lingkungan atau anteseden, (2) kegagalan fasilitasi dan
39
kegagalan inhibisi, (3) asosiasi tugas-tugas akademik
dengan hal-hal yang tidak menyenangkan yang pernah
dialami di masa lampau, (4) kurangnya konsekuensi
sebagai outcome perilaku itu, serta (5) hasil peniruan
terhadap perilaku yang diamati dari orang lain. Di sisi lain,
sebagai respon meniru, prokrastinasi akademik sering
terjadi karena meniru perilaku teman sebayanya, orang
tua, atau orang lain yang sering melakukan hal yang sama.
Misalnya ketika seseorang mendapatkan informasi bahwa
temannya belum mengerjakan tugas, maka ia ikut
menunda mengerjakan tugas-tugas akademik.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh penelitian dari
Avico & Mujidin (2014) mengatakan bahwa adanya
hubungan positif antara konformitas dengan perilaku
prokrastinasi akademik. Semakin tinggi konformitas yang
dilakukan maka semakin tinggi pula perilaku prokrastinasi
akademik dan sebaliknya semakin rendahnya konformitas
yang terjadi maka semakin rendah juga terjadinya perilaku
prokrastinasi akademik. Pada penelitian yang dilakukan
oleh Chintia & Kustanti (2017) menunjukkan bahwa ada
hubungan positif dan signifikan antara konformitas dengan
prokrastinasi akademik.
Individu yang memiliki konformitas tinggi terhadap
lingkungan (temannya) akan selalu berusaha menjadi sama
dengan temannya. Apabila teman sebaya malas dalam
menyelesaikan tugas-tugas akademik, maka individu juga
cenderung mengikut untuk malas dalam menyelesaikan
tugas-tugas akademik. Jika individu tidak mampu
mengontrol diri dengan baik maka akan berdampak buruk
dalam kegiatan akademiknya. Tugas-tugas yang
semestinya selesai tepat waktu, karena adanya konformitas
40
yang tinggi, maka tugas tersebut dikerjakan secara
deadline yang akhirnya akan mempengaruhi hasil yang
diperoleh.
Sebaliknya, individu yang memiliki tingkat konformitas
teman sebaya yang rendah cenderung memiliki perilaku
prokratinasi yang rendah juga dikarenakan individu
tersebut mampu mengontrol diri sehingga tidak mudah
untuk terpengaruh oleh teman sebaya. Hal ini juga dapat
menghindari individu dalam melakukan penundaan tugas-
tugas akademik di kampus. Dari penjelasan diatas dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa semakin tinggi tingkat
konformitas teman sebaya (peer group) makan akan
semakin tinggi pula tingkat prokratinasi yang dilakukan
individu. Sebaliknya, jika tingkat konformitasnya rendah
maka perilaku prokratinasi juga rendah.
Tanpa adanya tuntutan atau tekanan yang tinggi dari
suatu kelompok sosial, maka individu pun tidak akan
mudah terpengaruh maupun meniru perilaku yang
ditampilkan oleh kelompok sosialnya. Setiap individu
berhak untuk mengatur perilakunya sendiri-sendiri dalam
lingkungan sosial. Tetapi, perilaku yang ditampilkan oleh
individu bisa bersifat positif maupun negatif, karena
tergantung pada diri individu itu sendiri dalam menyikapi
suatu hal. Konformitas teman sebaya semakin tinggi jika
individu itu sendiri membuka diri untuk meniru atau
mengikuti perilaku dari kelompok sosialnya tanpa disaring
lagi oleh individu tersebut, jadi jika individu tidak mampu
mengontrol diri maka ia akan mudah untuk meniru perilaku
prokratinasi yang ada dalam kelompok sosialnya.
Santrock (2007) menyatakan bahwa konformitas
muncul ketika individu meniru sikap atau tingkah laku
41
orang lain dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang
dibayangkan. Konformitas (conformity) terjadi apabila
individu mengadopsi sikap atau perilaku orang lain karena
merasa didesak oleh orang lain. Desakan untuk konform
pada kawan-kawan sebaya cenderung sangat kuat selama
masa remaja. Konformitas terhadap desakan kawan-kawan
sebaya dapat bersifat positif ataupun negatif.
Berdasarkan pendapat di atas, bahwa konformitas
teman sebaya tidak akan terjadi jika dari diri individu itu
sendiri tidak memiliki keinginan untuk mengikuti
kelompoknya. Karena adanya keinginan dari diri individu
untuk mengikuti kelompok, maka jika kelompok tersebut
melakukan prokratinasi individu tersebut juga akan
mengikutinya dengan melakukan prokratinasi. Konformitas
yang dilakukan oleh individu ini bisa berdampak positif
maupun negatif. Seperti halnya, jika individu mengikuti
perilaku kelompoknya yang sering melakukan prokratinasi,
maka individu pun akan mengikutinya hal ini akan
membuat individu kurang merasa percaya diri dengan
kemampuan dirinya sendiri dan akan berdampak pada
akademik individu tersebut. Tetapi sebaliknya jika
konformitas yang dilakukan individu dalam bentuk perilaku
yang positif, seperti selalu mengerjakan tugas tepat waktu,
maka hal ini akan berdampak lebih baik bagi diri individu
tersebut.
42
2.4 Kerangka Konseptual
Kerangka Konseptual penelitian yang di ajukan
dalam penelitian ini sebagai berikut:
Menurut Hidayah & Atmoko
(2014) prokrastinasi adalah
kegagalan untuk melakukan
apa yang seharusnya
dilakukan untuk mencapai
tujuan. Prokrastinasi
merupakan penundaan
menyelesaikan tugas yang
seharusnya diselesaikan.
Menurut Sears, Freedman, & Peplau (1985), konformitas
diartikan sebagai situasi dimana
seseorang melakukan perilaku
tertentu karena disebabkan orang lain melakukan
perilaku tersebut.
Menurut Hidayah & Atmoko (2014) menyebutkan
bahwa perilaku prokrastinasi akademik terjadi karena
beberapa hal, yaitu: (1) gangguan lingkungan atau
anteseden, (2) kegagalan fasilitasi dan kegagalan
inhibisi, (3) asosiasi tugas-tugas akademik dengan hal-
hal yang tidak menyenangkan yang pernah dialami di
masa lampau, (4) kurangnya konsekuensi sebagai
outcome perilaku itu, serta (5) hasil peniruan terhadap
perilaku yang diamati dari orang lain. Di sisi lain, sebagai
respon meniru, prokrastinasi akademik sering terjadi
karena meniru perilaku teman sebayanya, orang tua,
atau orang lain yang sering melakukan hal yang sama.
43
2.5 Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
adanya hubungan antara konformitas dengan prokrastinasi
akademik pada mahasiswa Bimbingan Penyuluhan Islam
Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Raden Fatah
Palembang.