Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Praktek Manajemen Sumber Daya Manusia
Resource-based View theory (RBV) atau pandangan berbasis sumber daya
perusahaan merupakan kerangka kerja yang menekankan pada pemahaman
sumber-sumber keunggulan kompetitif berkelanjutan perusahaan (Barney, 1991).
Sumber daya perusahaan dapat meliputi seluruh asset, kapabilitas, proses
administrasi, atribut perusahaan, informasi, knowledge dan lainnya yang
dikendalikan perusahaan dan memungkinkan perusahaan untuk merumuskan dan
mengimplementasikan strategi yang akan meningkatkan efisiensi dan
efektifitasnya (Barney, 1991). Lebih lanjut Barney mengelompokan sumber daya
perusahaan ke dalam tiga katagori yaitu 1) physical capital resources meliputi
tehnologi yang digunakan perusahaan, pabrik, peralatan, lokasi usaha dan akses ke
bahan baku, 2) human capital resources meliputi pengalaman, kemampuan,
kecerdasan individu yang ada didalam perusahaan, dan 3) organizational capital
resources meliputi struktur pelaporan, perencanaan, pengawasan baik di dalam
maupun hubungan dengan lingkungan luar perusahaan.
Sumber daya merupakan bagian yang sangat penting dalam organisasi,
karena merupakan kompetensi inti untuk mencapai keunggulan bersaing serta
sebagai penentu apa yang dapat dilakukan organisasi selanjutnya (Suardhika,
2011). Sumber daya dan kemampuan internal dapat mempengaruhi penetapan
18
pilihan-pilihan strategis yang dibuat oleh perusahaan saat berkompetisi
dilingkungan bisnis eksternalnya.
Warnelfelt (1984) menyebutkan bahwa sumber daya yang dimiliki
organisasi meliputi seluruh sumber daya yang bisa dianggap sebagai kekuatan dan
kelemahan organisasi berbentuk tangible dan intangible aset yang terikat pada
perusahaan, Lebih lanjut Barney (1991) menjelaskan bahwa sumber daya adalah
sekumpulan faktor yang dimiliki atau dikontrol oleh perusahaan yang terdiri dari
tangible assets maupun intangible assets dan kapabilitas yang metupakan
kemampuan berlandaskan pengetahuan sserta pengalaman dalam mengelola
sumber daya agar dapat tumbuh dengan tingkat yang lebih tinggi dibanding
perusahaan lain untuk menghasilkan produk atau jasa yang sama.
Sumber daya merupakan salah satu faktor yang bisa dikendalikan oleh
perusahaan. Sedangkan kapabilitas dipahami sebagai sebuah kemampuan untuk
menggunakan sumber daya dalam kombinasi proses dan organisasi untuk
mencapai kinerja yang diinginkan. Selanjutnya kompetensi merupakan
ketrampilan khusus dan sumber daya yang dimiliki oleh organisasi dengan
menggunakan cara yang sangat efektif.
RBV memberikan perhatian untuk menganalisis kinerja organisasional
dari sumber daya mereka dibandingkan dengan aktivitas pasar produk
(Wernerfelt, 1984; Carmeli dan Tishler, 2004). Ketika sumber daya yang dimiliki,
kemampuan dan kompetensi menghasilkan keunggulan bersaing yang
berkelanjutan dan dapat meningkatkan kinerja organisasional diatas normal.
Wernerfelt (1984) lebih lanjut menjelaskan bahwa RBV merupakan dasar
19
keunggulan kompetitif organisasi yang utamanya terletak pada sekumpulan aset
berwujud atau tidak berwujud perusahaan. RBV menggambarkan kemampuan
perusahaan untuk memberikan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan ketika
sumber daya dikelola sedemikian rupa sehingga apa yang dihasilkan sulit untuk
ditiru oleh pesaing. Ditambahkan oleh Carmeli (2004) bahwa sumber daya yang
strategik merupakan aset spesifik dalam organisasi publik dan salah satu aset
strategik perusahaan adalah memiliki human capital yang strategik.
Sumber daya manusia sebagai salah satu unsur penunjang organisasi, dapat
diartikan sebagai manusia yang bekerja di lingkungan suatu organisasi atau
potensi manusiawi sebagai penggerak organisasi dalam mewujudkan
eksistensinya, atau potensi yang merupakan asset dan berfungsi sebagai modal
non-material dalam organisasi bisnis, yang dapat diwujudkan menjadi potensi
nyata secara fisik dan non-fisik dalam mewujudkan tujuannya (Nawawi, 2000).
Sumber daya manusia disebutkan sebagai aset yang paling penting dalam
organisasi, namun banyak yang tidak sepenuhnya memanfaatkan sisi potensial
mereka (Ahmad ddan Schroeder, 2003)
Manajemen sumber daya manusia merupakan bagian dari fungsi
manajemen yang berfokus pada pengelolaan manusia atau orang-orang dalam
organisasi yang direncanakan (planning), diorganisasikan (organizing),
dilaksanakan (directing) dan dikendalikan (controlling) agar tujuan yang dicapai
organisasi dapat diperoleh dengan optimal, efisien dan efektif. Manajemen sumber
daya manusia harus dipandang tidak sebagai proses pegelolaan manusia secara
20
tradisional namun harus dilakukan proses pengelolaan secara efektif sesuai tujuan
organisasi (Dessler, 2006).
Mengingat peningkatan kompetensi sumber daya manusia dalam
organisasi merupakan elemen utama untuk mencapai kesuksesan perusahaan dan
keterlibatan mereka dalam pengembangan dan pelaksanaan strategi bisnis akan
menciptakan efektifitas organisasi dalam industri (Karami, 2001). Hal yang sama
juga disampaikan oleh Wright et al., (2001) bahwa pengembangan dan
peningkatan kompetensi karyawan akan mempengaruhi pencapaikan kinerja
organisasi dan keunggulan bersaingnya. Dalam penelitiannya ditemukan terdapat
hubungan positif signifikan praktek manajemen sumber daya manusia khususnya
program pengembangan karyawan terhadap kinerja organisasi.
Dessler (2006) menyebutkan manajemen sumber daya manusia adalah
sebuah kegiatan atau proses untuk memperoleh, melatih, menilai dan memberikan
kompensasi kepada karyawan, memperhatikan hubungan kerja mereka, kesehatan
dan keamanan, serta masalah keadilan. Selanjutnya disebutkan fungsi dari
manajemen sumber daya manusia adalah menjalankan setiap fungsi dengan
aktivitas unggul sehingga karyawan dapat memberikan kontribusi yang optimal
menuju kesuksesan organisasi.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa manajemen sumber
daya manusia merupakan suatu sistim yang terdiri dari banyak kegiatan yang satu
dan lainnya saling berhubungan dari perencanaan hingga pengawasan terhadap
sumber daya manusia. Tujuan dari sistem pengembangan sumber daya manusia
adalah untuk dapat meningkatkan kemampuan, keterampilan dan sikap karyawan
21
atau anggota organisasi sehingga lebih efektif dan efisien dalam mencapai
sasaran-sasaran program ataupun tujuan organisasi.
Proses mengelola sumber daya dalam organisasi diperlukan beberapa
aktifitas didalamnya, aktifitas tersebut sering disebut sebagai fungsi atau praktek-
praktek manajemen sumber daya manusia yang terdiri dari berbagai proses
kegiatan. Minbaeva (2005) melihat praktek manajemen sumber daya manusia
sebagai seperangkat praktek-praktek yang digunakan oleh organisasi untuk
mengelola sumber daya manusia melalui memfasilitasi pengembangan
kompetensi untuk menghasilkan hubungan sosial yang kompleks dan
menghasilkan pengetahuan organisasi untuk mempertahankan keunggulan
kompetitif. Tan dan Nasurdin (2011) menyebutkan praktek-praktek manajemen
sumber daya manusia berkaitan dengan kegiatan yang spesifik dan kebijakan yang
dirancang untuk mengembangkan, memotivasi, dan mempertahankan karyawan
serta memastikan berfungsi secara efektif untk keberlangsungan hidup organisasi.
Kegiatan dari praktek manajemen sumber daya manusia pada sebuah perusahaan
memiliki pengaruh penting pada kinerja organisasi tersebut (Irianto, 2011).
Telah bertahun-tahun penelitian terkait praktek manajemen sumber daya
manusia dilakukan dan banyak diantaranya menemukan bahwa praktek
manajemen sumber daya manusia sangat potensial untuk meningkatkan dan
mempertahankan keberlanjutan dari kinerja organisasi (Ahmad dan Schroeder,
2003). Fungsi praktek manajemen sumber daya manusia dapat menghasilkan
pengetahuan, peningkatan motivasi, sinergi, dan komitmen karyawan, serta
menghasilkan sumber keunggulan kompetitif berkelanjutan bagi perusahaan
22
(Harter, Schmidt, dan Hayes, 2002). Disamping itu juga dapat meningkatkan
knowledge, skill dan abilities, peningkatan produktifitas dan penurunan turn over
yang pada akhirnya pencapaian kinerja organisasi (Appelbaum et al. 2000).
Kegiatan praktek manajemen sumber daya manusia menurut para ahli ada
beberapa jenis. Ahmad dan Schroeder (2003) menyebutkan mencakup penekanan
pada pemilihan karyawan atau proses perekrutan (yang cocok dengan budaya
organisasi, mencari karyawan yang memiliki prilaku baik, sikap dan
keterampilan), kegiatan pemberian kompensasi dan proses mengembangkan
karyawan melalui training, dimana semua ini akan menimbulkan dorongan kerja
diantara team mereka. Schermerhorn (2002) dalam studinya menggunakan
kegiatan perekrutan, pengembangan, dan mempertahankan tenaga kerja yang
berbakat untuk mendukung misi dan tujuan organisasi. Sementara Havenga
(2009) menekankan pada empat bagian pokok kegiatan yaitu seleksi dan
rekrutmen, komunikasi dan motivasi, pelatihan dan pengembangan, serta
kesejahteraan dan kompensasi. Irianto (2011) menguraikan kegiatan praktek
manajemen sumberdaya manusia terdiri dari seluruh kegiatan yang dimulai dari
perencanaan hingga pemberhentian karyawan. Diantara kegiatan tersebut terdapat
kegiatan lain meliputi penyusunan analisis jabatan, rekrutmen, dilanjutkan dengan
seleksi dan penempatan, kemudian berturut-turut fungsi penggajian, penilaian
kinerja, pelatihan dan pengembangan, pengelolaan karir, pembinaan hubungan
antar individu (employee relationships), serta perancangan berbagai program
kualitas kehidupan kerja (quality of working life).
23
Lebih lanjut Demo et al., (2014) dalam penelitiannya terkait dengan
kinerja karyawan di Brasil menggunakan kegiatan perekrutan dan seleksi,
involvement, training, development and education, work condition, competency
base performance, dan compensation and reward . Tan dan Nasurdin (2011) pada
penelitiannya di perusahaan manufaktur Malaysia menggunakan penilaian kinerja
(performance appraisal), manajemen kariri (career management), training,
reward system, dan rekrutmen. Praktek manajemen sumber daya manusia ini
dikaitkan terhadap inovasi organisasi dan ditemukan adanya hubungan yang kuat
dan positif.
Penerapan praktek manajemen sumber daya manusia dapat berpengaruh
baik secara individu maupun organisasi. Jacob dan Jolly (2012) dalam
penelitiannya menemukan komitment kerja karyawan dapat ditingkatkan apabila
organisasi menerapkan praktek manajemen sumber daya manusia dengan tepat.
Pfeffer (2000) menyatakan bahwa penerapan praktek manajemen sumber daya
manusaia merupakan faktor penting untuk mempertahankan kinerja organisasi
yang berkelanjutan. Hal ini membuktikan bahwa penerapan praktek manajemen
sumber daya manusia sangat penting bagi sebuah organisasi mengingat
peranannya yang sangat kuat yang dapat mempengaruhi kinerja organisasi
maupun keunggulan bersaingnya (Adner dan Helfat, 2003).
Kinerja tinggi dari praktek kerja manajemen sumber daya manusia yang
meliputi perekrutan, seleksi, kompensasi, kinerja manajemen, keterlibatan
karyawan dan training dapat meningkatkan pengetahuan, keahlian, kemampuan
dari organisasi dan karyawan disamping dapat meningkatkan motivasi kerja,
24
mengurangi kelalaian dan meningkatkan retensi karyawan berkualitas. Katou
(2008) menyebutkan praktek manajemen sumber daya manusia berdampak
langsung terhadap kemampuan, tingkah laku dan prilaku karyawan yang mana
akan mempengaruhi kinerja organisasi. Sementara Gavino (2005) mendapatkan
praktek manajemen sumber daya manusia berdampak pada peningkatan kinerja
akhir karyawan yang menyangkut kinerja individu, prilaku kerja, produktivitas,
dan absensi serta berdampak pula pada hasil kinerja organisasi yang meliputi
kualitas, produktivitas dan turnover.
Quansah (2013) menjelaskan lebih detail tujuh kegiatan praktek
manajemen sumber daya manusia yang ditemukannya sangat kuat berdampak
pada kinerja organisasi. Ketujuh kegiatan dimaksuk meliputi rekrutmen dan
seleksi, kompensasi, training dan pengembangan, keamanan karyawan
(employment security), penilaian kinerja, partisipasi karyawan dan perencanaan
karir.
Jenis kegiatan praktek manajemen sumber daya manusia yang dilakukan
oleh para peneliti diatas berbeda-beda, namun secara umum dapat digaris bawahi
kegiatan tersebut menyangkut perekrutan hingga pemutusan hubungan kerja.
Diantara didalamnya termasuk kegiatan penyusunan analisis jabatan, rekrutmen,
seleksi dan penempatan, kemudian berturut-turut fungsi penggajian, penilaian
kinerja, pelatihan dan pengembangan, pengelolaan karir, pembinaan hubungan
antar individu (employee relationships), serta perancangan berbagai program
kualitas kehidupan kerja (quality of working life). Berbeda-bedanya penggunaan
jenis kegiatan praktek manajemen sumber daya manusia yang digunakan baik di
25
dalam perusahaan maupun oleh peneliti, yang terpenting adalah disesuaikan
dengan keadaan yang ada. Karena apabila penerapan praktek-praktek manajemen
sumber daya manusia benar disesuaikan, akan dapat memainkan peran penting
dalam memberikan kontribusi untuk manajemen dan organisasi, serta inovasi
melalui kemampuan karyawan untuk menggunakan pengetahuan demi pencapaian
tujuan akhir organisasi (Tan dan Nasurdin, 2011).
Lebih lainjut penelitian ini akan merujuk penelitian Lansbergen (2010)
menggunakan empat indikator yaitu pelaksanaan kegiatan perekrutan, seleksi dan
orientasi karyawan baru, pelaksanaan kegiatan pelatihan dan pengembangan
pelaksanaan pengawasan karyawan, pemberian kompensasi dan pengembangan
karir serta pelaksanaan penilaian kinerja karyawan. Dimana keempat kegiatan ini
telah menyangkut keseluruhan dari kegiatan praktek manajemen sumber daya
manusia dari tahap awal (perekrutan) hingga mempertahankan (retensi) karyawan.
Perekrutan yang benar, pelaksanaan program pelatihan dan pengembangan serta
perhatian terhadap kesejahteraan baik karir maupun kompensasi karyawan
merupakan kegiatan yang penting dilakukan demi mempertahankan (retention)
karyawan untuk meningkatkan produktifitasnya.
2.2. Dukungan Manajer Lini
Bergeraknya roda bisnis sebuah organisasi membutuhkan peran dari
berbagai pihak yang ada didalamnya, utamanya dari dukungan seorang manajer.
Manajer adalah seorang yang memegang kunci hidup dan jalannya organisasi, dia
yang memastikan organisasi mencapai tujuannya, menjalankan rencana,
26
mengawasi pelaksanaannya dan memastikan seluruh karyawan mencapai yang
telah ditetapkan organisasi (Sunday dan Somoye, 2011).
Menurut Katou (2008) dan Gerhart (2005) keberadaan manajer sangat
diperlukan dalam pencapaian tujuan organisasi. Sebagai pemediasi antara arah
kerja organisasi dan peningkatan kinerja karyawannya. Manajer
bertanggungjawab atas seluruh aktifitas dan produktifitas karyawan, memegang
peran yang sangat penting atas keberhasilan kerja mereka (Sunday dan
Somoye, 2011). Teori pertukaran sosial atau social exchange theory menyebutkan
bahwa apabila harapan arah kerja karyawan dan manajer dapat berhubungan
dengan baik maka mereka akan dapat membangun dan menghasilkan sebuah
prilaku positif diantara keduanya. Bagi karyawan akan terbangun prilaku positif
ditempat kerja terhadap atasannya, dan atasannya akan dapat membantu dan
mendorong mereka mencapai tujuan organisasi. Disini hubungan timbal balik
akan terjadi pada hubungan yang positif namun juga dapat terjadi sebaliknya
(Bakhshi, Kumar, dan Rani, 2009).
Manajer lini menurut Boxall dan Purcell (2008) adalah mereka yang
membawahi langsung karyawan pada tingkat operasional organisasi, yang terlibat
langsung dalam pelaksanaan manajemen sumber daya manusia dan selalu
memonitor kinerja team yang dipimpinnya. Manajer lini meliputi seorang atasan
yang mengawasi karyawan di setiap bagian organisasi seperti di bagian keuangan,
bagian pemasaran, bagian penjualan dan bagian produksi juga termasuk bagian
sumber daya manusia (Papalexandris dan Panayotopoulo 2005). Dalam aktifitas
pekerjaannya seorang manajer lini dikenal banyak terlibat dalam kegiatan
27
manajemen sumber daya manusia (Renwick, 2003) dan penanganan kerja
bawahannya. Papalexandris dan Panayotopoulo (2005) menyebutkan bahwa
aktifitas manajemen sumber daya manusia merupakan bagian dari tanggungjawab
pekerjaan seorang manajer lini.
Dapat dikatakan bahwa manajer lini adalah orang-orang yang berada di
bawah middle manager yang bertanggungjawab dan membawahi langsung
karyawan di departemenya. Mereka yang bekerja langsung dengan karyawannya
untuk membangun prilaku positif ditempat kerja dan membantu serta mendorong
mereka mencapai tujuan organisasi. Manajer lini dalam penelitian ini akan
merujuk pada Nehles et al,.(2006) seorang manajer lini yang berada pada divisi
berbeda, bertanggung jawab selain atas pekerjaan sehari-hari juga dalam aktifitas
pelaksanaan praktek manajemen sumber daya manusia.
Dalam manajemen modern, penerapan praktek manajemen sumber daya
manusia tidak lagi difokuskan pada departemen personalia saja namun untuk hasil
yang efektif dan maksimal penerapannya melibatkan seorang manajer lini
(Brewster dan Larsen, 2003). Manajer lini yang menjadi agent atau penengah
dalam pengimplementasian praktek manajemen sumber daya manusia merupakan
fungsi yang sangat fundamental untuk meningkatkan pengertian karyawan,
pengetahuan karyawan dan memberikan respon positif terhadap praktek
manajemen sumber daya manusia di lapangan (Brewster dan Larsen, 2003).
Peran manajer lini pada aktifitas praktek manajemen sumber daya manusia
telah ditemukan di beberapa area kerja termasuk penilaian kinerja, perekrutan,
seleksi, training dan pengembangan, penanganan keluhan dan disiplin, penggajian
28
serta pengembangan karir bawahan (Renwick, 2003). Di Inggris, Budhwar (2000)
mengidentifikasi aktifitas praktek manajemen sumber daya manusia yang
melibatkan manajer lini meliputi kegiatan penggajian, rekrutmen, hubungan
ketenagakerjaan, kesehatan dan keselamatan kerja, serta pengembangan kerja dan
karir.
Keterlibatannya pada penilaian kinerja, hubungan kekaryawanan,
kesehatan dan keselamatan kerja serta pada mutasi dan promosi membuat
perannya semakin diperlukan pada kegiatan praktek manajemen sumber daya
manusia dalam organisasi (Currie dan Procter, 2001; Larsen dan Brewster, 2003).
Berdasarkan uraian tersebut dapat dilihat bahwa keberadaan manajer lini
memegang kunci penting dalam pengimplementasian kegiatan praktek manajemen
sumber daya manusia khususnya pada pelaksanaan pendekatan kemanusiaan yang
komprehensif dalam penanganan permasalahan karyawan pada kegiatan seleksi,
training dan pengembangan, kompensasi, motivasi, penilaian kinerja di bagiannya
masing-masing.
Dampak utama yang terlihat dari keterlibatan manajer lini pada kegiatan
praktek manajemen sumber daya manusia adalah pada mempengaruhi sikap dan
prilaku kerja karyawan (Boxall dan Purcell, 2011). Sikap dan prilaku kerja
karyawan merupakan hal utama yang berpengaruh langsung terhadap kinerja
manajemen sumber daya manusia dan kinerja organisasi, sehingga dari sini dapat
dilihat bahwa peran manajer lini sangat penting dari yang diperkirakan (Currie
dan Procter, 2007). Manajer lini merupakan posisi yang sangat penting pada
penerapan peraturan serta praktek manajemen sumber daya manusia sebagai
29
arahan kerja team mereka untuk mencapai tujuan organisasi (Townsend et al.,
2012). Karyawan pada umumnya menjalani perintah dan menerima dukungan dari
manajer lininya, sikap dan prilaku kerjanya dapat didorong untuk mencapai tujuan
organisasinya karena peran sang manajer lini (McConviller, 2006). Namun sayang
banyak manajer lini masih bingung dan tidak tahu hal yang mendalam dalam
keterlibatannya pada kegiatan praktek manajemen sumber daya manusi mereka.
Oleh karenanya sulit mengukur apakah keterlibatan mereka berdampak pada
efektifitas kegiatan manajemen sumber daya manusia dan memberikan kontribusii
untuk peningkatan kinerja organisasi (Larsen & Brewster, 2003)
Karyawan yang merasakan manfaat dari dukungan atasan atau organisasi
akan dapat membangun dalam dirinya sebuah rasa dan tanggung jawab yang lebih
bagi atasan maupun organisasinya (Linna et al., 2010). Manajer dalam mengelola
sumber daya manusia juga harus menangani kualitas, pengetahuan, keterampilan
dan kemampuannya dan memastikan organisasi untuk merekrut dan
mempertahankannya (Vemic, 2007).
Hasil akhir dari sebuah penerapan praktek manajemen sumber daya
manusia sangat ditentukan oleh bagaimanan manajer lini menjawab pertanyaan
dan mengimplementasikan seluruh praktek yang diarahkan oleh manajemen
sumber daya manusia (Hutchinson dan Purcell, 2003). Manager lini merupakan
sebuah posisi yang penting dalam pengimplementasian manajemen sumber daya
manusia dari rencana strategis menjadi praktek nyata di lapangan sebagai arah
kerja team mencapai tujuan organisasi (Townsend et al., 2012). Berdasarkan
pendapat para ahli tersebut, peran manajer lini pada praktek manajemen sumber
30
daya manusia terlihat sangat penting dan dapat memperkuat hubungan praktek
manajemen sumber daya manusia terhadap kinerja organisasi.
Meskipun keberadaan manajer lini sangat dirasakan dalam penerapan
praktek manajemen sumber daya manusia, namun masih ditemui berbagai
kendala di lapangan seperti manajer lini merasa kesulitan mengatasi permasalahan
sumber daya manusia dan memberikan prioritas yang rendah dibanding pekerjaan
utamanya (Cunningham et al., 2004). Ditemui juga beberapa manajer lini tidak
sepenuhnya berkomitmen dalam aktifitas manajemen sumber daya manusia, tidak
mampu menjadi seorang trainer atau ahli dibidang manajemen sumber daya
manusia, kesulitan dalam memberlakukan karyawannya sebagai asset yang perlu
dikembangkan (Whittaker dan Marchington, 2003).
Dengan demikian, seorang manajer lini yang memiliki kompetensi dalam
penerapan praktek manajemen sumber daya manusia merupakan sebuah nilai
lebih yang dapat dikontribusikan untuk mengatasi permasalahan karyawan
(Whittaker dan Marchington, 2003). Peran seorang manajer lini menurut
Platonova (2005) dapat dilihat dari kegiatan komunikasi yang dilakukan kepada
bawahannya, pembinaan yang efektif yang diberikan, penilaian kinerja yang
diterapkan secara obyektif, serta pemberian bantuan kepada staffnya. Sementara
menurut Lansbergen (2010) menjelaskan peran manajer lini dalam praktek
manajemen sumber daya manusia dapat dilihat pada pelaksanaan kegiatan
perekrutan, seleksi dan orientasi karyawan baru, pelaksanaan pelatihan dan
pengembangan, pelaksanaan keadilan serta pelaksanaan pengawasan karyawan
31
yangmana seluruhnya diyakini dapat menentukan besarnya peran seorang manajer
lini pada pelaksanaan praktek manajemen sumber daya manusia.
Beberapa penelitian terkait peran manajer lini pada pelaksanaan praktek
sumber daya manusi telah dilakukan sebelumnya, diantaranya Okpara (2004)
menemukan bahwa kepuasan kerja karyawan dapat ditingkatkan dengan bantuan
dari seorang manajer lini. Meningkatnya produktifitas dan kinerja bawahan
dicapai berkat adanya peran penting dari para manajer dan supervisornya.
Didapati juga produktivitas dan kinerja bawahan berhubungan signifikan terhadap
tindakan dukungan para menejer dan peran supervisornya. Brunetto dan Farr-
Warton (2004) pada penelitiannya juga menemukan supervisor atau manajer lini
dapat meningkatan kepuasan kerja karyawan. Sehingga disini dapat dilihat
besarnya peran seorang manajer lini pada pelaksanaan praktek manajemen sumber
daya manusia untuk mencapai kepuasan kerja dan peningkatan kinerja karyawan
dan kinerja organisasinya.
Uraian para ahli tersebut menunjukkan bahwa keberadaan seorang manajer
lini pada kegiatan praktek manajemen sumber daya manusia tidak dapat
dipandang rendah. Posisi manajer lini sangat penting pada penerapan peraturan
dan pelaksanaan praktek manajemen sumber daya manusia sebagai arahan kerja
bagi team mereka untuk mencapai tujuan organisasi. Kerjasama manajer sumber
daya manusia terhadap manajer lini juga diperlukan, jika tidak, maka akan dapat
mengakibatkan kesalahan pengambilan keputusan pada tingkat operasional.
Penilaian peran manajer lini menurut para ahli dapat dilihat dari berbagai
indikator yang berbeda. Pada penelitian ini akan merujuk pada Lansbergen (2010)
32
yang melihat peran manajer lini dalam praktek manajemen sumber daya manusia
pada pelaksanaan kegiatan perekrutan, seleksi dan orientasi karyawan baru,
pelaksanaan pelatihan dan pengembangan, pelaksanaan keadilan serta
pelaksanaan pengawasan karyawan. Rujukan ini diprediksi dapat mengetahui
sejauh mana peran seorang manajer lini yang diberikan dalam pelaksanaa praktek
manajemen sumber daya manusia dapat mencapai hasil akhir yang ditetapkan oleh
organisasi hotel berbintang di Bali.
2.3. Keadilan Organisasional (Organizational Justice)
Menciptakan situasi kerja yang nyaman dalam sebuah otganisasi
merupakan dambaan para anggotanya, situasi kerja dengan lingkungan yang
nyaman akan berdampak pada rasa senang dan puasnya mereka melaksanakan
pekerjaann. Menurut Elamin dan Alomaim (2011) salah satu faktor yang dapat
meningkatkan kepuasan seorang karyawan dalam bekerja adalah faktor keadilan.
Setiap orang meyakini bahwa untuk menjadi adil tergantung pada kesepakatan
yang telah disepakati bersama. Perilaku yang memenuhi kesepakatan tersebut
diinterpretasikan sebagai tindakan adil, sedangkan yang melanggar dianggap tidak
adil (Greenberg, 2001).
Karyawan yang merasa dan menganggap organisasi tempatnya bekerja
adil ketika yakin bahwa hasil dan prosedur yang diterimanya adalah adil (Noruzi
et al., 2010). Beberapa penelitian menemukan dengan menciptakan persepsi
keadilan bagi karyawannya, akan mendorong mereka merasakan emosional yang
positif pada pekerjaan yang dilakukannya, yang pada akhirnya menciptakan
33
kepuasan mereka dalam bekerja (Elamin dan Alomaim, 2011). Cropanzano dan
Gilliland (2007) menyebutkan bahwa keadilan organisasional dapat meningkatkan
kinerja individu, melahirkan perilaku kewarganegaraan, kesehatan mental yang
baik, menurunkan tingkat stres dan berbagai sikap individu yang lebih baik
lainnya
Istilah keadilan organisasional (organizational justice) telah banyak diulas
dan diteliti oleh para ahli. Pengertiannyapun banyak diuraikan, keadilan
organisasional dapat mencakup masalah yang berkaitan dengan persepsi gaji yang
adil, kesempatan yang sama untuk mendapatkan promosi kenaikan jenjang karir
dan prosedur seleksi yang benar (Tabibnia et al., 2008). Menurut Colquitt (2001)
keadilah organisasi berpusat pada dampak dari pengambilan keputusan
manajerial, persepsi kualitas, efek keadilan, hubungan antara faktor individu dan
situasional serta menjelaskan persepsi keadilan individu dalam organisasi. Usmani
dan Jamal (2013) menyebutkan semakin tinggi rasa keadilan yang diterima oleh
karyawan, akan menciptakan rasa keterikatan yang tinggi karyawan tersebut
terhadap organisasinya. Sementara Lind dan Tyler (1992) memberi gambaran
tentang keadilan organisasional sebagai situasi sosial ketika norma tentang hak
dan kelayakan karyawan dipenuhi oleh organisasi (Yuwono, et al., 2005). Gibson
et al., (2012) mendefinisikan keadilan organisasional sebagai suatu tingkat
individu merasa diperlakukan sama dalam organisasi tempatnya bekerja.
Griffin dan Moorhead (2012) memberi uraian tentang keadilan organisasi
adalah sebuah ukuran dari tingkat kewajaran yang diterima oleh karyawan
sehubungan dengan pengambilan keputusan. Selanjutnya menurut Greenberg
34
(1990), keadilan organisasi merupakan sejauh mana para pekerja percaya bahwa
mereka sedang diperlakukan adil. Keadilan bisa berhubungan dengan seleksi,
promosi penilaian kinerja, meningkatkan, manfaat, dan lain lain. Sementara
Robbins et al. (2000) menjelaskan keadilan organisasional meliputi persepsi
anggota organisasi tentang kondisi keadilan yang mereka alami dalam organisasi,
secara khusus tentang rasa keadilan yang terkait dengan alokasi penghargaan
organisasi seperti gaji dan promosi. Rasa keadilan akan muncul ketika otoritas
organisasi konsisten dan tidak bias dalam pengambilan keputusan organisasi
terutama terkait dengan alokasi gaji dan promosi.
Berdasarkan pandangan beberapa ahli diatas, maka dapat disarikan bahwa
keadilan organisasional merupakan wujud yang mengacu pada persepsi karyawan
terhadap keadilan yang diterimanya dalam organisasi atau bentuk evaluasi
karyawan terhadap perlakuan organisasi terhadap dirinya dalam hal upaya yang
adil untuk mendapatkan hasil, proses yang dilakukan secara adil, serta bentuk-
bentuk keadilan perlakuan interpersonal terhadap masing-masing karyawannya.
Keadilan menurut Equity Theory (teori ekuiti) adalah bahwa seorang
individu membuat perbandingan di antara sumbangan yang diberikan dan
ganjaran yang diterimanya, yang menurut karyawan, prihal sumbangan dan
ganjaran itu haruslah seimbang. Karyawan akan termotivasi apabila output yang
diterima seimbang dengan input (usaha dan kerja keras) yang dilakukannya. Teori
ini mementingkan keseimbangan antara input dan output. Input adalah sumbangan
yang diberikan dalam suatu tugas atau kerja, sementara output adalah ganjaran
yang diterima daripada input.
35
Pengukuran tingkat keadilan organisasional menurut Cropanzano dan
Gilliland (2007) menyebutkan bahwa karyawan akan mengevaluasi keadilan
organisasional dalam tiga klasifikasi peristiwa berbeda, yakni (1) hasil yang
mereka terima dari organisasi (keadilan distributif), (2) kebijakan formal atau
proses dengan mana suatu pencapaian dialokasikan (keadilan prosedural), dan (3)
perlakuan yang diambil oleh pengambil keputusan antar personal dalam organisasi
(keadilan interaksional). Senada yang disebutkan oleh Nadiri dan Tanova (2010)
bahwa konsep dari keadilan organisasi berfokus pada bagaimana karyawan
diberlakukan dalam organisasi dan perlakuan ini dapat dinilai dalam tiga bagian
yaitu keadilan procedural, distributive dan interactional.
Lebih spesifik Griffin dan Moorhead (2012) merinci jenis-jenis keadilan
organisasi dibedakan ke dalam tiga bentuk, yaitu keadilan Distributif, keadilan
Prosedural dan keadilan Interaksional
(1) Keadilan Distributif adalah mengacu pada persepsi karyawan terhadap
keadilan dengan imbalan dan hasil yang bernilai lainnya yang didistribusikan
dalam organisasi. Persepsi ini mempengaruhi kepuasan individu dengan
berbagai pekerjaan yang berhubungan dengan hasil yang dicapai seperti gaji,
tugas kerja, pengakuan, dan kesempatan untuk maju.
Menurut Bakhshi, Kumar, dan Rani (2009), keadilan distributif tidak hanya
berkaitan dengan imbalan tetapi juga dengan hukuman, akan tetapi hukuman
dalam organisasi juga harus diberikan secara adil sesuai dengan perilaku
negatif karyawan. Artinya keadilan distributif merupakan keadilan atas hasil
kerja baik individu maupun kelompok, yang bukan hanya semua karyawan
36
mendapatkan keadilan imbalan saja, akan tetapi keadilan hukuman juga harus
diberlakukan secara adil bagi mereka.
Ada tiga cara yang dipakai untuk menilai Keadilan Distributif ini yaitu (a)
Equity, hasil yang didapat individu harus sesuai dengan kontribusi yang
diberikannya, misalnya: semakin tinggi produktivitas kerja individu, semakin
tinggi bonus yang didapat. (b) Equality, semua orang mempunyai kesempatan
yang sama dalam mendapatkan hasil/keputusan, m isalnya: semua pegawai
mendapatkan jumlah bonus yang sama di akhir tahun. (c) Need,
pengalokasian hasil yang ideal sesuai dengan kebutuhan individu, misalnya:
dalam pembagian bonus, individu yang sedang membutuhkan bantuan
finansial mendapat bonus lebih besar.
(2) Keadilan Prosedural adalah keadilan yang berfokus pada proses yang
digunakan untuk membuat keputusan yang dapat berbentuk pembuatan
peraturan yang ada di organisasi, pemberian hukuman, dan lainnya. Ketika
pekerja menganggap keadilan prosedural tinggi, maka mereka akan lebih
termotivasi untuk berpartisipasi dalan kegiatan, mengikuti aturan, dan
menganggap hasil yang relavan adalah adil. Tetapi sebaliknya apabila para
pekerja merasa adanya ketidakadilan procedural, maka mereka cenderung
menarik diri untuk berpartisipasi, cenderung mengabaikan aturan dan
kebijakan, serta hasil capaian dalam organisasi dianggap kurang fair.
Menurut Kreitner dan Kinicki (2001) keadilan prosedural adalah keadilan
yang dirasakan dari proses dan prosedur yang digunakan untuk
mengalokasikan keputusan. Artinya keadilan prosedural merupakan persepsi
37
dan pandangan karyawan terhadap keadilan semua proses, maupun prosedur
keputusan dalam organisasi seperti keharusan membayar imbalan, evaluasi,
promosi dan tindakan disipliner
Ada empat cara yang dipakai untuk menilai Keadilan Prosedural ini, yaitu: (a)
Voice, kesempatan pegawai untuk menyampaikan aspirasinya. (b) Trust,
kepercayaan pegawai terhadap pembuatan keputusan. (c) Neutrality, persepsi
pegawai tentang kejujuran dan ketidakbiasan pembuatan keputusan. (d)
Standing, perlakuan yang didapat oleh pegawai dari otoritas yang membuat
keputusan.
(3) Keadilan Interaksional adalah interaksi antara sumber alokasi dan orang-
orang yang akan dipengaruhi oleh alokasi keputusan, atau metode yang
menceritakan bagaimana untuk melakukan sesuatu dan apa yang harus
dilakukan kepada orang-orang dalam proses pengambilan keputusan.
Sementara menurut Seyed, Faraahi, dan Taheri (2009), keadilan
organisasi dapat diketahui dengan melakukan pengukuran tiga hal berikut, yaitu :
Keadilan yang berkaitan dengan kewajaran alokasi sumber daya, keadilan dalam
proses pengambilan keputusan dan keadilan dalam persepsi kewajaran atas
pemeliharaan hubungan antar pribadi.
(1) Keadilan yang berkaitan dengan kewajaran alokasi sumber daya. Organisasi
dapat dikatakan adil oleh karyawan, jika memberikan gaji sesuai dengan hasil
kerja yang dilakukan oleh karyawan. Apabila perbandingan antara gaji yang
diterima dengan hasil kerja yang dilakukan karyawan dirasa tidak sebanding,
maka karyawan akan merasa bahwa tidak terjadi keadilan.
38
(2) Keadilan dalam proses pengambilan keputusan. Organisasi dapat dikatakan
adil oleh karyawan apabila dalam pengambilan keputusan, karyawan
diberikan kesempatan untuk menyuarakan pendapat dan pandangannya.
Selain itu, setelah pengambilan keputusan dilakukan, apabila pelaksanaan
keputusan tersebut dinilai sama pada tiap karyawan, maka karyawan akan
merasa bahwa terjadi keadilan.
(3) Keadilan dalam persepsi kewajaran atas pemeliharaan hubungan antar
pribadi. Organisasi dapat dikatakan adil oleh karyawan apabila hubungan
antar atasan dengan bawahan baik, seperti mendapatkan perlakuan yang baik
dan sewajarnya. Selain itu, kejujuran dan kebenaran informasi yang
didapatkan dari atasan juga mempengaruhi persepsi keadilan organisasional
dari karyawan.
Sementara skala pengukuran Moorman (Inoue et al., 2009) hanya
menggunakan dua alat ukur yaitu prosedural dan interaksional. Pengukuran ini
kemudian dikembangkan dan dilengkapi oleh Colquitt (2001) dengan
menambahkan dua alat ukur lagi yaitu interpersonal dan informasional namun
tetap menggunakan keadilan prosedural dan distributif dalam pengukurannya.
Keempat alat ukur ini juga digunakan oleh Shibaoka, et al (2010) dalam
penelitiannya pada perusahaan manufaktur di Jepang.
Pengukuran keadilan organisasional pada penelitian ini akan merujuk pada
Shibaoka, et al (2010), menggunakan empat alat ukur yaitu (a) prosedural, (b)
distributif, (c) interpersonal dan (d) informasional, alat ukur ini sebelumnya
digunakan dan dikembangkan oleh Colquitt (2001) dan Inoue et al., (2009).
39
Keempat alat ukur ini dipandang sesuai digunakan dalam industri
perhotelan yang mengalami perkembangan pesat di bidang tehnologi dan
pelayanan. Keadilan prosedural digunakan untuk mengetahui keadilan dalam
proses pengambilan keputusan. Item yang digunakan dalampenelitian ini termasuk
didalamnya terkait jadwal kerja, kelayakan imbalan dan keadilan pemberian
reward dari hasil kerja karyawan. Keadilan distributif berguna untuk mengetahui
keadilan pada tingkat operasional usaha, meliputi item kejelasan pemberian
informasi, keakuratan akurat dan perberlakuan peraturan kerja. Keadilan
interpersonal dipakai untuk mengetahui keadilan tentang bagaimana atasan
memperlakukan bawahan. Item yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
penghargaan, penghormatan dan diskusi kerja yang diberikan oleh seorang atasan.
Keadilan informasional berguna untuk mengetahui keadilan tentang bagaimana
bawahan diberlakukan oleh atasan menggunakan item terkait pemberian informasi
dan evaluasi. Keempat alat ukur ini diprediksi dapat melihat sejauh mana tingkat
keadilah organisasional yang dirasakan karyawan pada organisasi hotel berbintng
di Bali.
2.4. Efektifitas Organisasi
Suatu organisasi yang berhasil dapat diukur dengan melihat pada
sejauhmana organisasi tersebut dapat mencapai tujuan yang sudah ditetapkan
atau efektif dalam pencapaian tujuan dari rencana yang telah disusun. Konsep
tentang efektifitas organisasi telah mulai dianggap penting sejak tahun 1980an,
dimana saat pencapain tujuan oranisasi lebih menitik beratkan dan menonjolkan
40
dicapai melalui efektifitas organisasi tersebut (Ashraf dan Kadir, 2012). Konsep
ini berkaitan dengan penggunaan kemampuan sebuah organisasi untuk
memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya untuk mencapai tujuan organisasi
dan menilai akibat yang ditimbulkan dalam pencapaiannya (Federman, 2006).
Pengertian efektifitas organisasi banyak dilontarkan oleh para ahli,
Schermerhorn et al. (2004) mengemukakan efektivitas adalah keadaan atau
kemampuan suatu kerja yang dilaksanakan oleh manusia untuk memberikan guna
yang diharapkan. Balduck dan Buelens (2008) menyebutkan efektifitas organisasi
dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan organisasi dalam usaha untuk
mencapai tujuan dan sasarannya. Lawler (2005) dalam kajiannya menyebutkan
efektifitas organisasi dapat dilihat dari hasil akuntabilitas dan pencapaian program
yang direncanakan. Hal ini ditekankan pada pencapaian tujuan dan sasaran yang
sesuai dengan visi dan misi organisasi, pencapaian hasil yang sesuai tujuan serta
penunjukan kepada para pemangku kepentingan bahwa hasil yang dijanjikan telah
dicapai. Sementara itu Baker dan Branch (2002) menyatakan bahwa efektivitas
organisasi adalah sejauh mana organisasi telah mencapai tujuannya dan seberapa
baik proses dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.
Pengertian yang diberikan oleh para ahli tersebut memperlihatkan
bahwa efektivitas organisasi merupakan suatu konsep yang sangat penting dalam
penilaian sebuah organisasi karena mampu memberikan gambaran mengenai
keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai sasarannya. Dapat dikatakan bahwa
efektivitas organisasi merupakan tingkat ketercapaian tujuan dari aktifitas yang
telah dilaksanakan dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya.
41
Tingkat efektivitas organisasi menunjukkan pada tingkat sejauhmana organisasi
melaksanakan kegiatan atau fungsi-fungsinya sehingga tujuan yang telah
ditetapkan dapat tercapai melalui penggunaan alat-alat dan sumber-sumber
yang ada secara optimal. Sehingga dapat disarikan bahwa efektifitas organisasi
memiliki dua aspek didalamnya yaitu: (1) tujuan organisasi dan (2) pelaksanaan
fungsi atau cara untuk mencapai tujuan tersebut (atau tingkat ketercapaian
tujuan dari aktifitas yang telah dilaksanakan dibandingkan dengan target yang
telah ditetapkan sebelumnya).
Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat efektifitas organisasi, Khan
dan Habib (2012) menyebutkan bahwa beberapa faktor yang dapat dinilai untuk
melihat sebuah organisasi telah mencapai kinerja yang maksimum yaitu dari sisi
kinerja, motivasi, lingkungan organisasi, keahlian manajerial dan sinergi team
yang kreatif. Malik et al. (2011) menyebutkan faktor kinerja, motivasi,
lingkungan kerja, pengalaman manajerial termasuk training dan kesempatan kerja
merupakan faktor yang dapat mempengaruhi efektifitas sebuah organisasi
Berbagai pendekatan dilontarkan oleh para ahli terkait dengan pelaksanaan
penilaian efektifitas organisasi dan pengukurannya. Balduck dan Buelens (2008),
menguraikan ada empat pendekatan utama yang dapat dipakai alat ukur efektifitas
organisasi yaitu the goal approach, the system resource approach, the internal
process approach dan the strategic constituency approach.
1) Pendekatan Tujuan (the goal approach) adalah pendekatan yang paling tua
dan paling luas digunakan. Menurut pendekatan ini, keberadaan organisasi
dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Pendekatan tujuan
42
menekankan peranan sentral dari pencapaian tujuan sebagai kriteria untuk
menilai efektifitas. Schermerhorn et al. (2004) menyebutkan bahwa
pendekatan ini secara ekstensif digunakan terlebih dahulu dalam organisasi
sebelum pendekatan lainnya. Fokus dari pendekatan ini adalah pada hasil
akhir (output) untuk mengetahui tujuan-tujuan operasional yang penting
seperti keuntungan (profit), inovasi (innovation) dan kualitas produk (product
quality).
2) Pendekatan Sistem (the system resources approach) menjelaskan efektifitas
dari sudut pandang kemampuan untuk memperoleh sumber daya yang
diperlukan dari lingkungan di luar organisasi (Schermerhorn et al., 2004).
Teori menekankan pada pertahanan elemen dasar masukan-proses-
pengeluaran (input-process-output) dan mengadaptasi terhadap lingkungan
yang lebih luas yang menopang organisasi. Penerapan sistem dapat efektif
dicapai apabila hubungan yang ada antara sumber daya yang diterima dari
luar dapat menghasilkan barang atau jasa yang direncanakan. Teori ini
menggambarkan hubungan organisasi terhadap sistem yang lebih besar,
dimana organisasi menjadi bagiannya. Konsep organisasi sebagian suatu
sistem yang berkaitan dengan sistem yang lebih besar memperkenalkan
pentingnya umpan balik yang ditujukan sebagai informasi mencerminkan
hasil dari suatu tindakan atau serangkaian tindakan oleh seseorang, kelompok
atau organisasi. Sikap yang mendominasi dalam pendekatan ini adalah bahwa
setiap kegiatan dari sumber daya yang dimiliki organisasi memiliki efek yang
besar pada semua bagian yang ada (Mullins, 2008).
43
3) Pendekatan Proses Internal (the internal process approach) dikenal sebagai
pendekatan yang memperhatikan proses transformasi dalam organisasi untuk
melihat sejauhmana sumber daya digunakan untuk memberikan layanan atau
menghasilkan barang (Schermerhorn et al., 2004). Hal ini dimaksudkan
bahwa organisasi secara internal dapat dilihat sehat dan efisien serta prosedur
dijalankan secara optimal. Hubungan yang terjadi antara sesama anggota
organisasi didasarkan pada kepercayaan, kejujuran, dan niat baik. Arus
informasi yang terjadi adalah ke segala arah baik horizontal maupun vertikal
(Mullins, 2008). Oleh karena itu, manajemen informasi dan komunikasi
sangatlah penting dalam pendekatan ini.
4) Pendekatan Statejik (the strategic constituency approach) adalah pendekatan
berkenaan dengan pengaruh organisasi terhadap pemangku kepentingan dan
stakeholder lainnya (Schermerhorn et al., 2004). Didasarkan pada pendekatan
ini, efektifitas merujuk kepada kepuasan semua konstituen strategis organisasi
tersebut. Pendekatan ini melibatkan semua orang-orang yang terhubung
dengan organisasi seperti konsumen atau pengguna layanan atau pemakai
produk organisasi, penanggung jawab organisasi. Pendekatan ini
mengasumsikan sikap efektivitas dan mengevaluasi faktor-faktor terkait
lingkungan internal dan lingkungan eksternal organisasi.
Lubis dan Huseini (1999) menyebutkan alat ukur efektifitas organisasi
dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu: (1) pendekatan sasaran (goal
approach) yaitu dalam pengukuran pengukuran efektifitas organisasi memusatkan
perhatian terhadap aspek output atau mengukur keberhasilan dalam usaha
44
mencapai tingkatan output yang direncanakan dan (2) pendekatan sistem sumber
daya (sytem resources approach) yaitu mengukur efektifitas dari sisi input dengan
mengukur keberhasilan organisasi dalam usaha memperoleh berbagai sumber
yang dibutuhkan, untuk mencapai performansi yang baik dan menghasilkan
barang atau jasa.
Zheng et al., (2010) mengungkapkan beberapa hal yang menjadi kriteria
dalam pengukuran efektifitas organisasi yaitu adanya kejelasan tujuan yang
hendak dicapai, kejelasan strategi pencapaian tujuan, proses analisa dan
perumusan kebijakan, perencanaan yang matang, penyusunan program yang tepat,
tersedianya sarana dan prasarana kerja, pelaksanaan yang efektif dan efisien,
sistem pengawasan dan pengendalian. Sementara Kraipetch et al. (2011) dalam
pengukuran efektifitas organisasi pada institusi pendidikan di Thailand berfokus
pada input, proses, output dan feedback yang dilakukan oleh organisasi. Seberapa
infput sumber daya yang dimilikinya melakukan proses untuk mendapatkan hasil
yang direncakan dan umpan balik dari stakeholder yang terlibat.
Lebih lanjut Martz (2013) menguraikan empat alat ukur yang dipakainya
mengukut efektifitas organisasi melipui (1) ketercapaian tujuan organisasi (2)
tingkat perkembangan usaha (3) tingkat keberlanjutan usaha dan (4) tingkat
kerugian perusahaan). Keempat indikator ini ditemukan sangat efektif dalam
melihat kefektifan organisasi secara keseluruhan dari berbagai perspektif.
Sementara Wisnu (2005) menggunakan tiga pendekatan yang dipakai untuk
mengukur efektifitas organisasi yaitu : (1) pendekatan sumber daya eksternal
untuk menilai kemampuan organisasi dalam menyelamatkan, mengatur,
45
mengendalikan skill sumber daya yang langka, (2) pendekatan sistem internal
untuk mengevaluasi kemampuan organisasi terhadap inovasi dan fungsi yang
cepat melalui peningkatan koordinasi, motivasi karyawan dan penghematan waktu
(3) pendekatan teknis untuk mengevaluasi kemampuan organisasi dalam
mengubah skill dan sumber daya menjadi barang dan jasa dengan menngkatkan
kualitas dan menghemat biaya produksi, meningkatkan pelayanan konsumen dan
mempercepat pengiriman.
Pengukuran tingkat efektifitas organisasi hotel berbintang di Bali pada
penelitian ini akan merujuk pada tiga indikator alat ukur dari Robichao dan Lynn
Jr (2009) yang mengedepankan penilaian dari awal perencanaan, selama proses
berlangsung dan hasil akhir yang dicapai. Alat ukur ini mencerminkan proses
usaha yang berkelanjutan dan berkesinambungan. Indikaor yang digunakan
melipui (1) struktural (2) proses (3) outcomes/hasli akhir.
Dalam penelitian ini, indikator struktural akan menggunakan item tingkat
penjualan kamar dan pengaturan kerja sesuai prosedur. Proses menggunakan item
tingkat kamar hotel yang terjuan dan kualitas layanan karyawan pada tiga tahun
terakhit. Sedangkan outcomes menggunakan item keterlibatan karyawan dalam
pengambilan keputusan, tingkat keluhan karyawan dan kejelasan aturan
oeorusahaan. Rujukan pengukuran efektifitas organisasi ini diyakini dapat
mengukur tingkat efektifitas hotel berbintand di Bali mengingat keempat alat ukur
ini dapat memprediksi efektifitas organisasi dari berbagai persepektif baik melalui
internal maupun ekstrenal organisasi.
46
2.5. Kinerja Organisasi
Hakikatnya, setiap organisasi atau perusahaan senantiasa berupaya untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan dari aktifitas-aktifitas operasinya. Tujuan
merupakan hasil akhir yang dikejar perusahaan melalui eksistensi dan operasinya,
misalnya: kesinambungan, keuntungan, efisiensi, kepuasan dan pembinaan
karyawan, mutu produk atau pelayanan bagi konsumen, pertanggung-jawaban
sosial, kepemimpinan pasar, dan lain sebagainya. Pada organisasi hotel saat ini
menjadikan kepuasan pelanggan sebagai orientasi sebagai pilar utama dalam
mewujudkan tujuannya memperoleh laba. Pelanggan yang terpuaskan menjadi
aset besar untuk kelangsungan hidup organisasi hotel sehingga perlu dilakukan
pengelolaan terhadap kualitas pelayanan yang ditawarkan demi memenuhi
kepuasan pelanggan. Kualitas pelayanan yang dikelola secara baik akan
memberikan hasil yang baik untuk memenuhi kepuasan pelanggan (Utama, 2015)
sehingga dapat dikatakan bahwa kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan
merupakan indikator yang digunakan untuk menilai tingkat kinerja industri
perhotelan.
Lusthaus et al. (2002) menyebutkan untuk mencapai hasil kerja organisasi
secara maksimal, setiap organisasi harus berusaha memenuhi tujuannya dengan
memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya sambil menjamin keberlanjutan
organisasi jangka panjang. Artinya kinerja organisasi tercapai apabila tugas atau
pekerjaan dilakukan secara efektif dan efisien dan tetap relevan dengan
stakeholder (pemangku kepentingan). Disini ditekankan komponen utama kinerja
adalah memahami dengan baik kinerja organisasi melalui pemahaman pencapaian
47
tujuan dengan kesesuaian tujuannya (efektivitas) dan menggunakan sumberdaya
yang relatif sedikit dalam melakukannya (efisiensi).
Dalam pendekatan perilaku manajemen, hasil kerja merupakan tingkat
kuantitas atau kualitas yang dihasilkan atau jasa yang diberikan oleh seseorang
yang melakukan pekerjaan dalam organisasi (Luthans, 2006). Menurut Nurlaila
(2010) kinerja disebutkan sebagai hasil atau prestasi yang dicapai oleh individu,
kelompok maupun organisasi berupa keluaran dari sebuah proses. Lebih luas
Rivai (2011) mendifinisikan kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok
orang untuk melakukan sesuatu kegiatan dalam organisasi dan
menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan hasil seperti yang
diharapkan.
Menurut Fahmi (2011), kinerja merupakan hasil yang diperoleh oleh suatu
organisasi yang dihasilkan selama satu periode tertentu. Moeheriono (2012)
memberi difinisi kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian
pelaksanaan suatu program kegiatan atau kebijakan dalam mewujudkan sasaran,
tujuan, visi dan misi organisasi yang dituangkan dalam perencanaan strategik.
Sedangkan menurut Mathis dan Jackson (2011) menyebutkan kinerja pada
dasarnya adalah merupakan apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh
karyawan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Rees dan
McBrain (2007) menyebutkan kinerja adalah tentang mencapai sasaran-sasaran
sulit sekaligus cara melahirkan hasil kerja yang terukur. Sementara Bahua (2010)
mengemukakan pengertian kinerja sebagai aksi atau perilaku individu yang
berupa bagian dari fungsi kerja aktualnya dalam suatu organisasi, yang sesuai
48
dengan tugas dan tanggung jawabnya dalam periode waktu tertentu untuk
mencapai tujuan organisasi.
Oleh karena itu, upaya-upaya yang dilakukan organisasi untuk mencapai
tujuan biasanya diukur melalui penilaian kinerja. Penilaian kinerja merupakan
usaha untuk mengetahui tingkat keberhasilan sebuah organisasi, ini dapat
dilakukan penilaian terhadap kinerja yang telah dilakukannya. Penilaian kinerja
organisasi tidak saja dilakukan dari sisi keuangan saja, Yip et al., (2009)
menyarankan beberapa sisi juga harus dilihat untuk menyeimbangkan hasil
penilaian kinerja organisasi seperti penilaian terhadap asset intangible (karyawan)
yang dimiliki dan juga dari persepsi ekternal organisasi atau pihak luar yang
menggunakan jasa organisasi. Chenhall (2003) serta Garengo dan Bititci (2007)
menyebutkan faktor yang tidak kalah penting yang dapat dijadikan dasar
kesuksesan sebuah organisasi yaitu dinilai dari internal (seperti strategi, tujuan,
struktur dan budaya) dan eksternal (seperti: konsumen, kompetitor, politik, legal)
dan faktor sosial. Dengan kata lain penilaian kinerja organisasi dapat dilakukan
dari sisi keuangan, penilaian asset tangible, intangible, dari sisi internal maupnn
eksternal organisasi.
Menurut Hugh (2002), penilaian kinerja organisasi dapat dilakukan
dengan empat cara yaitu (1) tingkat pencapaian kinerja pemangku kepentingan
atas pemenuhan kebutuhan mereka seperti kebutuhan pemegang saham,
kebutuhan pelanggan atas layanan dan produk, kebutuhan kepuasan kerja
karyawan, (2) Efektifitas yaitu tingkat seberapa suksesnya organisasi mencaai
tujuan yang ditetapkan, (3) Effisiensi yaitu tingkat bagaimana organisai
49
menggunakan sumber daya yang dimilikinya (4) Kinerja Finansial yaitu
bagaimana organisasi dapat bertahan jangka pendek maupun jangka panjang,
dilihat dari tingkat profit, investasi dan sebagainya.
Menurut Gaspersz (2005) penilaian kinerja organisasi dapat dilihat dari
fokus kinerja yang dicapai oleh sebuah organisasi. Penilain kinerja ini dapat
dilihat berdasarkan metode total quality management meliputi (1) fokus
pelanggan, (2) kualitas kerjasama team, (3) pendidikan dan pelatihan, serta (4)
hubungan dengan pemasok.
Pada Penilaian kinerja organisasi dengan kriteria Baldrige atau lebih
dikenal penilaian kinerja berdasarkan The Malcolm Baldrige disebutkan area
kunci indikator kinerja yang dipakai mencakup dua hal yaitu customer and market
knowledge dan customer satisfaction and relationship. Mengenai customer and
market knowladge mencakup deteksi terhadap pasar untuk masa sekarang dan
yang akan datang, mempelajari strategi, segmentasi dan membandingkan dengan
kompetitor, sedangkan customer satisfaction and relationship meliputi strategi
dengan relasi, kemudahan akses, standar pelayanan, pengelolaan, komplain,
dukungan terhadap front-line, kepuasan pelanggan dan follow-up system (Hitt et
al., 2011).
Camison dalam Antonio dan Gregorio (2005) mengukur kinerja usaha
mengacu pada tiga aspek, yaitu profitability, productivity, dan market. Aspek
profitabilitas (profitability) melihat kinerja usaha dari sudut tercapainya target
keuangan sebagaimana telah direncanakan perusahaan. Tujuan finansial umumnya
ditekankan pada pencapaian pendapatan, keuntungan, arus kas (cash flow), tingkat
50
pengembalian modal yang digunakan (return on capital employed), tingkat
pengembalian investasi (return on investment), atau nilai tambah ekonomis
(economic value added). Dalam aspek produktivitas (productivity) didasarkan
pada pencapaian perusahaan dalam aktivitas-aktivitas usahanya untuk memenuhi
keinginan dan kebutuhan pelanggan, serta produktivitas pegawainya. Sedangkan,
kinerja usaha pada aspek pasar (market) ditinjau dari pencapaian penjualan
produk, posisi pasar, dan pangsa pasar. Lebih lanjut, Camison menyampaikan
bahwa pengukuran kinerja perusahaan didasarkan pada keinginan responden
terhadap ukuran-ukuran kinerja tersebut (seberapa besar responden
mempertimbangkan atau menilai pentingnya ukuran-ukuran tersebut) dan
penilaiannya terhadap ukuranukuran tersebut sesuai dengan apa yang dicapai
perusahaan (seberapa besar tingkat kepuasan terhadap pencapaian kinerja
usahanya)
Penelitian oleh Wright et al. (2005) menggunakan faktor internal dan
ekternal untuk mengidentifikasi kinerja organisasi. Faktor eksternal meliputi (1)
kepuasan supplier, (2) kepuasan konsumen, (3) kepuasan institusi keuangan, (4)
kepuasan pemerintah, (5) kepuasan asosiasi perdaganan. Faktor internal meliputi
(1) sales dan marketing, (2) research dan pengembangan, (3) produksi dan
operasional, (4) sumber daya manusia. Lumpkin dan Dess (2001) menggunakan
sales growth, return on sales, net profit dan gross profit sebagai indikator dalam
menentukan kinerja sebuah organisasi. Lusthaus et al. (2002) mengidentifikasi
beberapa hal dalam organisasi yang berhubungan dengan kinerja, meliputi (1)
kinerja dalam kaitannya dengan efektivitas, (2) kinerja dalam kaitannya dengan
51
efisiensi, (3) kinerja dalam kaitannya dengan relevansi /operasional yang sedang
berlangsung dan (4) kinerja dalam kaitannya dengan keuangan.
Secara umum, konsepsi kinerja organisasi/perusahaan didasarkan pada
gagasan bahwa perusahaan merupakan sekumpulan aset produktif, yang meliputi
sumber daya manusia, sumber daya fisik dan modal untuk mencapai tujuan
bersama (Carton dan Hofer, 2006). Kinerja organisasi selain sebagai cerminan
keberhasilan atau kegagalan dari suatu perusahaan, juga dapat menggambarkan
hasil yang dicapai perusahaan dari serangkaian pelaksanaan fungsi kerja atau
aktivitas dalam periode tertentu (Wheelen dan Hunger, 2011). Penilaian kinerja
memiliki nilai penting bagi perusahaan, karena selain digunakan sebagai ukuran
keberhasilan dalam periode tertentu, dapat juga dijadikan masukan untuk
perbaikan atau peningkatan kinerja perusahaan di masa yang akan datang.
Akhir-akhir ini, peningkatan persaingan, globalisasi dan ledakan
teknologi, kapabilitas inovasi dan penciptaan pengetahuan muncul sebagai faktor-
faktor dominan dari penilain kinerja organisasi (Crossan dan Berdrov, 2003)
konsekwensinya, ukuran kinerja keuangan tradisional yang lebih menekankan
aspek finansial tidak memadai lagi dalam dunia bisnis dewasa ini yang didominasi
oleh perusahaan yang memiliki kompetensi dan keterampilan (Kaplan dan Norton,
2010).
Carton dan Hofer (2006) mengkaji secara mendalam penggunaan ukuran
kinerja organisasi atau perusahaan dalam riset-riset empris pada bidang
kewirausahaan dan manajemen strategik, menggunakan kinerja perusahaan
sebagai variabel dependen, serta menggunakan 133 ukuran yang berbeda dalam
52
mengukur kinerja perusahaan. Hasil kajiannya, Carton dan Hofer (2006)
menyatakan bahwa kinerja perusahaan adalah konstruk multi-dimensi, yang
intinya meliputi dimensi: profitability, operational, market-based, growth,
efficiency, liquidity, size, survival, dan lainnya, dimana masing-masing dimensi
mengandung sejumlah indikator.
Dalam kajian empiris Widener (2006), pengukuran kinerja perusahaan
dilakukan dengan mengkombinasikan ukuran finansial dan non-finansial. Lebih
lanjut, Widener (2006) menyampaikan bahwa pengukuran kinerja usaha pada
aspek finansial menggunakan ukuran: pertumbuhan laba, pertumbuhan
pendapatan, tingkat pengembalian investasi, tingkat pengembalian penjualan dan
lain-lain. Ukuran finansial ini umumnya lebih obyektif, simple, mudah dipahami
dan dihitung, namun dalam banyak kasus data keuangan sulit didapat maupun
diakses, serta cenderung tidak lengkap dan akurat. Oleh karena itu, ukuran dari
aspek non-finansial memungkinkan digunakan sebagai suplemen ukuran-ukuran
finansial.
Pandangan dari berbagai peneliti tentang pengukuran kinerja organisasi
sebagian besar menyimpulkan bahwa kinerja organisasi adalah multidimensi dan
kompleks namun belum ada dari mereka yang mengusulkan secara empirik model
pengukuran multi dimensi dari berbagai arah secara menyeluruh. Penelitian ini
akan mengacu pada alat pengukuran dari perspektif balance scorecard mengingat
kinerja organisasi sebaiknya dilihat dari berbagai arah atau berbagai persepektif
baik dari segi finansial maupun non finansial termasuk dari dalam dan luar
organisasi yait u pelanggan.
53
Balance Scorecard yang dicetuskan oleh Kaplan dan Norton (1996) yang
kemudian di gunakan juga dalam penelitian Sintaasih (2011) memakai empat
perspektif yang digunakan untuk mengukur kinerja suatu perusahaan yang dikenal
dengan perspektif finansial dan non finansial. Teori ini menjelaskan yaitu:
1) Perspektif keuangan memandang kinerja organisasi dari sudut pandang
profitabilitas, tercapainya target keuangan yang direncanakan organisasi.
Perspektif ini terdiri dari: pertumbuhan pendapatan, pertumbuhan
produktivitas, penghematan biaya dan pemanfaatan aktiva;
2) Perspektif proses bisnis internal bertujuan untuk mengungkapkan segenap
proses baru yang harus dikuasai dengan baik oleh perusahaan. Perspektif ini
meliputi: meningkatkan inovasi, proses operasi, pelayanan purna jual;
3) Perspektif pelanggan, merupakan indikator bagaimana pelanggan organisasi
dan sebaliknya, ini dapat diketahui dari tingkat kepuasan pelanggan yang
dimiliki. Perspektif ini meliputi kepuasan pelanggan, akuisisi pelanggan
(sejauh mana perusahaan dapat menarik pelanggan), retensi pelanggan,
pangsa pasar, kemampulabaan pelanggan;
4) Perpektif pembelajaran dan pertumbuhan. Bersumber dari faktor sumber daya
manusia dan prosedur organisasi yang berperan dalam pertumbuhan jangka
panjang. Perspektif ini meliputi meningkatkan kapabilitas personil,
meningkatkan kapabilitas sistem informasi serta motivasi, pemberdayaan dan
keselarasan
54
2.6. Resource-based view Theory (RBV) dan Teori Ekuiti (Equity Theory)
Teori yang membahas mengenai sumber daya dan kemampuan internal
perusahaan serta hubungannya dengan pengambilan keputusan strategis dijelaskan
dalam Resource-based view theory (RBV). Pondasi teori dari RBV dapat
ditemukan dalam berbagai studi manajemen sumber daya manusia strategis. RBV
meyakini bahwa peneliti memberikan perhatian untuk menganalisis kinerja
organisasional dari sumber daya mereka dibandingkan dengan aktivitas pasar
produk (Wernerfelt, 1984; Carmeli dan Tishler, 2004), ketika sumber daya yang
dimiliki, kemampuan dan kompetensi menghasilkan keunggulan bersaing yang
berkelanjutan dan dapat meningkatkan kinerja organisasional diatas normal.
Sementara yang menjadi fokus RBV yaitu apa yang dapat membuat sumber daya
menjadi superior dan mengapa para pesaing tidak bisa mendapatkan, menciptakan
atau meniru sumber daya yang lebih baik dengan mudah. Jawabannya adalah
karakteristik sumber daya dan kemampuan yang disebut sebagai ’aset strategis’
(Amit dan Schoemaker, 1993).
Wernerfelt (1984) lebih lanjut menjelaskan bahwa RBV merupakan dasar
keunggulan kompetitif organisasi yang utamanya terletak pada sekumpulan aset
berwujud atau tidak berwujud perusahaan. RBV menggambarkan kemampuan
perusahaan untuk memberikan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan ketika
sumber daya dikelola sedemikian rupa sehingga apa yang dihasilkan sulit untuk
ditiru oleh pesaing. Pendekatan RBV juga menyatakan bahwa kinerja usaha yang
tinggi akan lebih mudah diraih apabila perusahaan memiliki kompetensi
sumberdaya dan daya saing yang handal (Wernelfelt, 1984; Barney, 1991: Amit
55
and Schoemaker, 1993). RBV juga menekankan bahwa perusahaan yang
menekankan pada keunggulan kompetitif dapat memperolehnya melalui
pengembangan dan pemanfaatan sumber daya secara efektif baik sumber daya
manusia dan sumber daya lainnya dengan menambahkan nilai unik yang sulit
ditiru oleh pesaing (Barney,1991),
Pandangan RBV merupakan pandangan yang menganalisis dan
mengidentifikasikan keunggulan strategis suatu organisasi yang didasarkan pada
tinjauan terhadap kombinasi dari aset, keahlian, kapabilitas, dan aset tidak
berwujud yang spesial bagi organisasi. Asumsi yang mendasari RBV adalah
perusahaan berbeda secara fundamental karena setiap organisasi memiliki
‘kumpulan’ sumber daya yang unik berupa aset berwujud dan tidak berwujud
serta kapabilitas organisasional untuk memanfaatkan aset tersebut. Tiap organisasi
mengembangkan kompetensi dari sumber-sumber daya ini dan ketika
dikembangkan dengan maksimal maka kompetensi ini dapat menjadi sumber
keunggulan bersaing organisasi. Adapun kriteria RBV diturunkan dari gagasan
bahwa sumber daya akan lebih bernilai jika sumber daya tersebut adalah; penting,
langka, menghasilkan, berkesinambungan (Pearce & Robinson, 2008), tidak ada
pengganti, tidak dapat ditiru, dan tidak dapat ditransfer (Carmeli, 2004).
Ditambahkan oleh Carmeli (2004) bahwa sumber daya yang strategik merupakan
aset spesifik dalam organisasi publik dan salah satu aset strategik perusahaan
adalah memiliki human capital yang strategik.
Teori Ekutit (Equity Theory) merupakan salah satu teori dalam teori
motivasi. Teori ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1963 oleh John Stacey
56
Adams seorang ahli psikologi tempat kerja dan perilaku. Ada kemiripan
dengan pengembangan dan interpretasi yang dilakukan oleh Charles Handy
terhadap teori awal Maslow, Herzberg dan perintis psikologi tempat kerja lainnya,
yang semuanya mengakui adanya faktor dan variabel yang mempengaruhi
penilaian masing-masing individu dan persepsi hubungan mereka dengan
pekerjaan mereka, dan dengan majikan mereka. Namun, JC Adams menekankan
lebih jauh tentang kesadaran dan tanggung jawab dari situasi yang lebih luas dan
lebih kuat dibandingkan teori lain dalam banyak model teori motivasi
sebelumnya.
Maksud utama dari teori ekuiti ini adalah bahwa seorang individu
membuat perbandingan di antara sumbangan yang diberikan dan ganjaran yang
diterimanya, yang menurut karyawan, prihal sumbangan dan ganjaran itu haruslah
seimbang. Karyawan akan termotivasi apabila output yang diterima seimbang
dengan input (usaha dan kerja keras) yang dilakukannya. Teori ini mementingkan
keseimbangan antara input dan output. Input adalah sumbangan yang diberikan
dalam suatu tugas atau kerja sementara output adalah ganjaran dari apa yang
diterima daripada input.
Pengembangan teori keunggulan kompetitif berkelanjutan (sustainable
competitive advantage) kebanyakan dilakukan dengan mengadopsi RBV of the
firm (Ollavarrieta & Ellinger, 1997). Esensi penciptaan keunggulan kompetitif
berkelanjutan dalam RBV diawali dengan proses perusahaan dalam
mengidentifikasi, menggenerasi dan mengembangkan sumber daya yang dimiliki
sebagai kompetensi inti (Barney,1995). Sumber daya yang dijadikan kompetensi
57
inti bagi perusahaan dikenal sebagai sumber daya strategis (Collis &
Montgomery, 2004), selanjutnya dikembangkan menjadi instrumen strategik
yang bermakna bagi operasi dan kompetisi untuk meraih keunggulan kompetitif
dan mewujudkan kinerja perusahaan yang optimal (Aaker, 2001). Perusahaan
mampu menciptakan keunggulan kompetitif yang berkesinambungan dan kinerja
superior, apabila sumber daya strategis dikembangkan, dipelihara dan
dikendalikan dari waktu ke waktu menghasilkan sumber daya yang bernilai, sulit
untuk dipindahkan, sulit untuk ditiru disebabkan langka dan khas, serta sulit untuk
digantikan (Barney, 1991; Amit & Schoemaker, 1993; Dierickx & Cool, 1989).
Collis & Montgomery (2004) dan Hitt et al. (2011) menyampaikan bahwa
sumber daya (resources) yang berperan strategis dalam menghasilkan keunggulan
kompetitif bagi perusahaan adalah sumber daya (tangible dan intangible) dan
kapabilitas. Sumber daya tangible dapat berupa aset finansial dan aset fisik,
sedangkan sumber daya intangible mencakup: orang, reputasi perusahaan, budaya,
teknologi, pengetahuan, paten, merek dagang, kumpulan pembelajaran dan
pengalaman, aset kekayaan intelektual, serta aset organisasional. Sementara,
kapabilitas merupakan kombinasi kompleks dari aset, orang, dan proses yang
digunakan perusahaan untuk mentransformasi input menjadi output.
Dollinger (2002) dan Grant (2010) menjabarkan aset dan kapabilitas
menjadi enam kelompok sumber daya yang mampu menciptakan keunggulan
kompetitif bagi perusahaan, yaitu: (1) Sumber daya fisik merupakan harta
berwujud seperti gedung, peralatan, dan harta berwujud lainnya. (2) Sumber daya
reputasi adalah persepsi masyarakat terhadap perusahaan atau sebagai determinan
58
persepsi loyalitas konsumen terhadap produk atau perusahaan. (3) Sumber daya
organisasi adalah sumber daya yang dimiliki perusahaan untuk mengukur struktur
organisasi dalam pelaporan formal dan perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan. (4) Sumber daya keuangan adalah segala aktivitas perusahaan yang
berhubungan dengan bagaimana memperoleh, menggunakan, memelihara, dan
mengelola dana sesuai dengan tujuan perusahaansecara menyeluruh. (5) Sumber
daya teknologi merupakan investasi yang digunakan untuk efisiensi dan
meningkatkan produktivitas perusahaan. (6) Sumber daya manusia adalah sumber
daya yang dimiliki perusahaan untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya
dalam aktivitas bisnis yang menurut Gimeno-Gascon et al., (1997) mempunyai
tiga karakteristik utama yang harus dimiliki sumber daya manusia sebagai sumber
daya yang mempunyai keunggulan bersaing, yaitu mempuyai kecakapan, bakat,
dan pengetahuan yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
Berdasarkan paparan diatas dapat dilihat pentingnya posisi manusia dalam
konteks operasional sebuah organisasi. David (2010) menyebutkan bahwa sumber
daya manusia merupakan gabungan fungsi dari motivasi yang menekankan
pembentukan tingkah laku karyawan, dan penyusunan staff yang memfokuskan
bagaimana karyawan tersebut dikelola.
Proses pengelolaan sumber daya manusia bertujuan guna mendapatkan
kualitas sumber daya manusia yang maksimal dan peningkatan produktifitas
mereka. Yangmana pada pelaksanaan proses tersebut diperlukan beberapa
aktifitas didalamnya. Aktifitas tersebut sering disebut sebagai fungsi atau praktek-
praktek manajemen sumber daya manusia yang terdiri dari berbagai proses
59
kegiatan. Minbaeva (2005) melihat praktek manajemen sumber daya manusia
sebagai seperangkat praktek-praktek yang digunakan oleh organisasi untuk
mengelola sumber daya manusia melalui memfasilitasi pengembangan
kompetensi untuk menghasilkan hubungan sosial yang kompleks dan
menghasilkan pengetahuan organisasi untuk mempertahankan keunggulan
kompetitif. Praktek manajemen sumber daya manusia sangat potensial untuk
meningkatkan dan mempertahankan keberlanjutan dari kinerja organisasi melalui
orang-orang di dalamnya (Ahmad dan Schroeder, 2003).
Menurut Katou (2008) dan Gerhart (2005) keberadaan seorang manajer
sangat diperlukan dalam pencapaian tujuan organisasi yang tidak saja dalam
pelaksanaan pekerjaan utama mereka namun juga dalam perannya pada praktek
manajemen sumber daya manusia. Manajer lini memiliki fungsi yang fundamental
dalam meningkatkan pengertian karyawan, pengetahuan karyawan dan
memberikan respon positif terhadap praktek manajemen sumber daya manusia di
lapangan (Brewster dan Larsen, 2003). Disamping itu mereka juga berperan
dalam menjaga hubungan antara motivasi karyawan dan persepsinya terhadap
perlakuan adil atau tidak adil di tempat kerjanya.
Dengan menciptakan persepsi keadilan bagi karyawannya, akan
mendorong mereka merasakan emosional yang positif pada pekerjaan yang
dilakukannya, yang pada akhirnya menciptakan kepuasan mereka dalam bekerja
(Elamin dan Alomaim, 2011).
Dalam lingkungan perusahaan, hubungan yang terjadi antara karyawan
dan atasannya mengasumsikan bahwa karyawan berusaha untuk mempertahankan
60
rasio adil antara input yang mereka berikan ke perusahaan terhadap hasil yang
mereka terima. Dalam teori ekuiti (equity theory), disebutkan input dalam konteks
ini termasuk waktu, keahlian, kualifikasi, pengalaman, kualitas pribadi, dan
keterampilan interpersonal. Sedangkan hasil mencakup kompensasi, tunjangan,
imbalan dan pengaturan kerja yang fleksibel. Karyawan yang memandang
ketidakadilan akan berusaha untuk mengambil cara mengabaikannya ataupun
dengan meninggalkan organisasi (Carrell dan Dittrich, 1978). Teori ekuiti ini
memiliki implikasi bagi semangat kerja karyawan, efisiensi, produktivitas, dan
omset atau pendapatan organisasi.
Apabila harapan arah kerja karyawan dan manajer dapat berhubungan
dengan baik maka mereka akan dapat membangun dan menghasilkan sebuah
prilaku positif diantara keduanya. Bagi karyawan akan terbangun prilaku positif
ditempat kerja terhadap atasannya, dan atasannya akan dapat membantu dan
mendorong mereka mencapai tujuan organisasi. Disini hubungan timbal balik
akan terjadi pada hubungan yang positif namun juga dapat terjadi sebaliknya
(Bakhshi, Kumar, dan Rani, 2009). Sehingga disini peran manajer akan dapat
dijalankan untuk merubah persepsi kerja karyawan dalam pencapaian efektifitas
dan kinerja organisasi.
Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat dipetakan variabel-variabel
penelitian dari penelitian-penelitian terdahulu pada tabel 2.1, sehingga
menggambarkan posisi dari penelitian ini.
61
Tabel 2.1 Pemetaan Variabel Penelitian dari Penelitian-Penelitian Terdahulu
NO Penelitian Terdahulu
VARIABEL PENELITIAN Hasil Temuan PMS
DM DML KO EO KOrg
1
Vermeeren et al., 2014
X
-
-
-
X
PMSDM berpengaruh terhadap KOrg (kinerja keuangan), kepuasan pelanggan dan absensi karyawan
2
\ Mat dan Susomrith., 2014
X
X
-
-
-
ML mendukung kegiatan PMSDM. Dukungan yang diberikan berupa proses prilaku kerja, disiplin, pengaturan kerja dan training agar efektif mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
3
Kafayat dan Ali, 2014
-
-
X
X
-
KO (keadilan distributive, procedural interactional) berhubungan positif signifikan terhadap EO
4
Alfes et al., 2013
X X - - X DML berpengaruh signifikan terhadap pencapaian KO dan kinerja PMSDM
5
Iqbal Ali, 2012
X - - X - PMSDM (program reward system) berpengaruh positif dan signifikan terhadap EO
6
Ume-Amen, 2012
X - - X - PMSDM (program sistem penilaian kinerja) berhubungan erat dengan EO.
7
Khan dan Habib, 2012
-
-
X
-
X
KO (keadilan procedural) berhubungan positif terhadap KOrg (pada indikator kepuasan kerja karyawan, tingkat turn over, trust terhadap manajemen)
8
Choudhry, 2011
-
-
X
X
-
EO (kepuasan kerja dan komitmen organisasi) berhubungan positif signifikan terhadap KO (keadilan distributive dan procedural)
9 Kim dan Robert, 2011
- X -
- X DML berhubungan positif signifikan terhadap KOrg hotel
62
NO Penelitian Terdahulu
VARIABEL PENELITIAN Hasil Temuan PMS
DM DML KO EO KOrg
10 Tymon, Stumpf dan Smith, 2011
X
X
-
-
-
DML berhubungan signifikan langsung terhadap PMSDM program kesuksesan karir dan retensi karyawn)
\11
Springer, 2011
-
X
-
-
X
Peran manajer lini dapat meningkatkan motivasi bawahan dalam bekerja untuk mencapai kinerja individu dan kinerja organisasi secara maksimal
12
Kim dan Brymer, 2011
-
X
-
-
X
DML berhubungan positif terhadap KOrg hotel. Semakin tinggi dukungan yang diberikan oleh manajer lini semakin tinggi kinerja hotel yang kompetitif dapat dicapai.
13
Suff, 2011
X
X
-
-
-
DML berpengaruh signifikan terhadap prilaku kerja karyawan sebab dia yang berhadapan langsung setiap hari dengan karyawan dan teamnya khususnya dalam penerapan PMSDM
14 Acquaah dan Tukamushaba, 2010
-
-
X
X
-
KO berhubungan signifikan terhadap EO
15
Gohar et al., 2010
-
-
X
-
X
KO (keadiilan distributive dan Procedural) berhubungan sangat kuat terhadap KOorg ( indikator motivasi karyawan, komitmen karyawan dan turn over karyawan)
16
Righ Management Study, 2010
-
-
-
X
X
EO berhubungan kuat terhadap KOrg. Dengan melakukan engagement, hasil dalam kinerja keuangan akan lebih tinggi, kepuasan pelanggan lebih meningkat dan retensi karyawan dapat dipertahankan.
17
Fatt et al., 2010
-
-
X
-
X
KO (keadilan proseduran dan Interaksional) berhubungan sangat kuat terhadap KOrg ( indikator motivasi karyawan,
63
NO Penelitian Terdahulu
VARIABEL PENELITIAN Hasil Temuan PMS
DM DML KO EO KOrg
komitmen karyawan dan turn over karyawan) pada level managerial and non-managerial
18 Mumin dan Dayan, 2008
-
-
X
X
-
KO (keadilan procedural dan interactional) berhubungan langsung terhadap EO
19
Hutchinson, 2008
X
X
-
-
X
DML pada kegiatan PMSDM (proses coaching dan pengarahan komunikasi dan involvement) berhubungan posititf terhadap KOrg
20 Watson et al.,2006
X X - - - PMSDM berhubungan signifikan terdapat DML
21
Acquaah, 2004
X
-
-
X
X
PMSDM (proses rekrutmen, pengidentifikasian dan mempertahankan/retaining karyawan) berhubungan kuat terhadao EO dan OP
22 Arthur et al, 2003
X - - - X PMSDM (program training) berhubungan positif terhadap KOrg
23 Yoon dan Suh, 2003
- X - - X DML yang kuat berpengaruh pada KOrg (kualitas layanan)
24
Allen et al., 2003
X
-
-
-
X
PMSDM (program partisipasi, reward dan kesempatan berkembangI) berpengaruh terhadap KOrg (menurunkan tingkat turn over)
25 Peng et al, 2003
- X - - X DML berhubungan positif terhadap KOrg
26
Pareke, 2003
-
-
X
-
X
KO (keadilan distributif dan procedural) memiliki peran penting dalam meningkatkan komitmen dan KOrg
27
Batt, 2002
X
-
-
-
X
PMSDM (program peningkatan skill, employee participation, kompensasi, employment security) berpengaruh terhadap KOrg (penurunan turn over dan peningkatan sales growth)
64
NO Penelitian Terdahulu
VARIABEL PENELITIAN Hasil Temuan PMS
DM DML KO EO KOrg
28
Renwick Douglas, 2002
X
X
-
-
X
DML pada PMSDM berpengaruh signifikan terhadap KOrg (peningkatan benefit, penurunan biaya)
29
Masterson, 2000
-
\ -
X
-
X
KO (keadilan prosedural dan interactional) berhubungan positif terhadat KOrg (indikator kepuasan kerja karyawan dan hubungan kerja sosial)
30
Suryani, 2017
X
X
X
X
X
PMSDM berhub tidak sig terhadap KOrg DML, KO, EO memediasi penuh pada hub PMSDM thd KOrg
Keterangan : PMSDM = Praktek Manajemen Sumber Daya Manusia, DML = Dukungan Manajer Lini, KO = Keadilan Organisasional, EO = Efektifitas Organisasi, KOrg = Kinerja Organisasi