Upload
trannguyet
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pajak
Salah satu sumber yang digunakan oleh pemerintah dalam memenuhi
kebutuhan pembiayaan sehubungan dengan kegiatan pembangunan di
Indonesia adalah melalui sektor pajak. Pemasukan dari sector ini cukup
besar, sehingga sebaiknya pemerintah memberikan perhatian khusus dan
pengelolaan yang lebih terarah pada sektor pajak agar pembangunan dapat
berjalan dengan lancer.
2.1.1 Pengertian Pajak
Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk
membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan. Sebagai sumber
keuangan Negara, pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak-
banyaknya untuk kas Negara. Saat ini pemerintah sedang mensosialisasikan
kepada masyarakat untuk bisa ikut berpartisipasi untuk taat dalam membayar
pajak. Hal tersebut dilakukan dengan cara menyempurnakan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku dan pengenaaan sanksi yang
memberatkan jika wajib pajak tidak bisa membayar pajak terutangnya
kepada kas Negara secara tepat waktu.
Banyak definisi dari para ahli mengenai pengertian pajak. Namun
demikian definisi tersebut mempunyai inti dan tujuan yang sama. Untuk
lebih jelasnya penulis mengemukakan pengertian pajak yang dikemukakan
oleh beberapa ahli, yaitu :
1. Definisi pajak menurut Rochmat Soemitro (2007,11) menyatakan bahwa:
“iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut :
“Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment” .
2. Definisi pajak menurut Soeparman Soemahamidjaja (2005,10) menyatakan
bahwa :
“Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”.
3. Definisi pajak menurut N. J. Feldmann (2005,9) menyatakan bahwa :
“Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum”.
Dari definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa ada dua hal yang
penting terdapat pada pengertian pajak,yaitu:
a. Iuran yang dapat dipaksakan, artinya iuran yang mau tidak mau harus
dibayar oleh rakyat yang dikenakan kewajiban membayar iuran tersebut.
Kalau rakyat atau badan hokum oleh pemeintah dikenakan kewajiban
membayar iuran tersebut (lazim disebut wajib pajak) tidak melaksanakan
pembayaran tersebut, maka wajib bayar yang bersangkutan dapat
dikenakan tindakan hokum oleh pemerintah berdasarkan undang-undang
atau dengan perkataan lain wajib pajak tersebut dapat dipaksa oleh
pemerintah untuk memenuhi kewajiban perpajakannya dengan
menggunakan surat paksa atau sita.
b. Tanpa jasa timbale/kontrak prestasi/imbalan langsung, yang dapat
ditujukan mengandung arti bahwa wajib pajak yang membayar iuran
kepada Negara tidak ditunjukan secara langsung imbalan apa yang
diperolehnya dari pemerintah atas pembayaran iuran tersebut. Berbeda
dengan pembayaran iuran kebersihan, kita akan langsung ditunjukan atau
diberikan imbalan berupa diangkutnya pada waktu-waktu tertentu sampah
yang kita tempatkan pada tempat sampah umum pada suatu komplek
perumahan.
Dari berbagai definisi tersebut diatas, baik pengertian secara
ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sector swasta ke sector
pemerintah) atau pengertian yuridis (pajak ialah iuran yang dapat
dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang cirri-ciri yang terdapat pada
pengertian pajak antara lain sebagai berikut:
1. Pajak dipungut oleh Negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah berdasarkan atas undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
2. Pemungutan pajak mengisyaratkan adanya alih guna (sumber daya) dari
sector swasta (wajib pajak membayar pajak) ke sector Negara (pemungutan
pajak/administrator pajak).
3. Pemungutan pajak diperuntukan bagi keperluan pembiayaan umum
pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin
maupun tidak rutin.
4. Tidak dapat ditunjukan adanya imbalan (kontraprestasi) individual oleh
pemerintah terhadap pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak.
5. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi kas Negara/anggaran
Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan
pemerintah, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengetur atau
melaksanakan kebijakan Negara dalam lapangan ekonomi dan social (fungsi
mengatur/regulative).
2.1.2 Dasar Pemungutan Pajak
Menurut Erly Suandy (2005;28),ada 5 macam teori pajak yang digunakan
sebagai dasar pengenaan pajak,yaitu:
“ 1. Teori Asuransi 2.Teori Kepentingan 3. Teori Daya Pikul 4. Teiri Daya Beli 5. Teori Bhakti”.
Dari kutipan dasar pemungutan pajak tersebut dapat di uraikan sebagai berikut:
1. Teori Asuransi
Teori ini mengatakan bahwa pajak itu diibaratkan sebagai suatu premi
asuransi yangharus dibayar setiap orang (warga negara), karena warga Negara
tersebut telah mendapatkan perlindungan atas hak-haknya dari pemerintah
yaitu keselamatan jiwa dan bendanya. Dengan perkataan lain karena negara
melindungi rakyat, maka rakyat harus membayar premi kepada negara dalam
bentuk pajak (hampir sama dengan premi asuransi). Sekarang teori ini sudah
tidak dipakai lagi karena tidak tepat lagi dan bertentangan dengan sifat pajak
yang diartikan bahwa untuk pembayaran pajak tersebut rakyat tidak meminta
imbalannya secara langsung bagaimana layaknya yang dilakukan oleh
perusahaan asuransi.
2. Teori Kepentingan
Menurut teori ini, yang harus membayar pajak adalah orang yang
berkepentingan wajib pajak yang dilindungi. Teori ini tidak sesuai lagi dan
ditinggalkan orang, karena tidak sesuai dengan sifat pajak, dimana kadang-
kadang yang berkepentingan adalah orang yang tidak mampu yang justru
perlu dilindungi oleh negara, misalnya rakyat miskin yang memerlukan
kepentingan. Dimana satu pihak, negara mempunyai kepentingan untuk
menghimpun dana dari pajak, tetapi dilain pihak orang yang mempunyai
kepentingan ini tidak mampu membayarnya. Sedangkan menurut teori
seharusnya merekalah yang lebih banyak membayar pajak, oleh karena itu
tidak sesuai dengan kenyataannya.
3. Teori Gaya Pikul
Menurut teori gaya pikul semua warga Negara harus membayar pajak,
dimana besar kecilnya pajak tersebut harus sesuai dengan gaya (daya) pikul
seseorang. Gaya pikul adalah besarnya kekuatan seseorang untuk mencapai
pemuasan kebutuhan setinggi-tingginya, setelah dikurangi dengan yang
mutlak yang untuk kebutuhan yang primer. Yang termasuk dalam gaya pikul
ini adalah segala macam beban pengeluaran dan tanggungan keluarganya, dan
ini baru dapat dipikul bila seseorang mempunyai penghasilan. Gaya pikul
seseorang tergantung dari pendapatan yang diperolehnya, susunan keluarga
dan dari jumlah kekayaan yang dimilikinya. Teori ini disebut juga teori
modern pemungutan pajak dan hampir dipakai semua Negara.
4. Teori Daya Beli
Teori ini mengatakan bahwa setiap warga Negara harus membayar
berdasarkan kemampuan membelinya, apabila daya belinya besar berarti
pendapatan cukup besar pula, kemudian dari daya beli tersebut oleh Negara
dalam bentuk pajak, kemudian yang disalurkan kembali kepada masyarakat.
Jadi pihak ini berasal dari rakyat sesuai dengan kemampuannya yang
kemudian kembali kepada rakyat yang disalurkan Negara melalui
pembangunan dan sebagainnya.
5. Teori Bhakti
Teori ini mengutamakan kepentingan negara yang merupakan satu
kesatuan dari individu dimana setiap warga negara terikat kepada
pemerintahannya, sehingga negara mempunyai hak atas warganya dan
memungkinkan secara mutlak untuk memungut pajak dari rakyatnya.
Sebaliknya rakyat secara sadar membayar pajak karena menginsafinya
sebagai kewajiban asli untuk membuktikantanda buktinya kepada negara.
2.1.3 Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak yang digunakan menurut Mardiasmo (2006;6),
yaitu:
“ a. Self Assessment System
b.Official Assessment System
c. With Holding System”.
Dari kutipan system pemungutan pajak tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut:
a. Self Assessment System
Sistem ini memberikan wewenang, kepercayaan, tanggungjawab kepada
wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar,
danmelaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.
b. Official Assessment System
Sistem ini member kewenangan pemerintah untuk menentukan besarnya
pajak terutang. Ciri-ciri Official Assessment adalah:
1. Wewenang untuk menetapkan besarnya pajak terutang bereda pada
fiskus.
2. Wajib pajak bersifat pasif.
3. Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak
oleh fiskus.
c. With Holding System
Arti kata With Holding adalah pemotongan pajak dengan bantuan pihak
ketiga untuk menghitung dan menetapkan pajak yang terutang dan
membantu pemerinyahan memungut pajak dari wajib pajak.
Yang dimaksud dengan pihak ketiga ini adalah orang atau badan yang
bukan merupakan badan public sebenarnya tidak mempunyai wewenang
memungut pajak, tetapi melalui undang-undang diberi tugas serta
wewenang untuk memungut pajak atas jumlah uang yang dibayarkan
kepada karyawan, pemegang saham dan sebagainnya. Hasil jangka waktu
tertentu dan dijelaskan dalam undang-undang yang disertai dengan
sanksi-sanksi tertentu apabila ia lalai dalam kewajiban tersebut.
2.1.4 Fungsi Pajak
Menurut Erly Suandy (2005 : 14) terdapat 2 (dua) fungsi pajak,
yaitu :
1. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara)
2. Fungsi Regulerend (mengatur)
Dari dua kutipan fungsi pajak tersebut dapat di uraikan sebagai berikut :
1. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara)
Pajak mempunyai fungsi budgetair artinya pajak merupakan salah satu
sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin
maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan Negara, pemerintah
berupaya memasukkan uang sebanyak-banyaknya untuk kas Negara.
Upaya tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi
pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak
seperti Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas
Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan lain-lain.
2. Fungsi Regulerend (mengatur)
Pajak mempunyai fungsi mengatur artinya pajak sebagai alat untuk
mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan
ekonomi, dan mencapai tujuan-tujuan di luar bidang keuangan.
Contoh fungsi regulerend seperti pemberian tarif yang rendah atau
pembebasan kepada Badan-badan Koperasi yang berkedudukan di Indonesia,
pemberian tarif yang tinggi atas hasil produksi barang-barang mewah, dimana
selain dikenakan PPN, juga dikenakan pajak penjualan sebagai suatu upaya
nyata untuk menegakkan keadilan dalam pembebanan pajak yang sekaligus
upaya untuk mengurangi pola konsumsi tinggi yang tidak produktif.
2.1.5 Asas Pemungutan Pajak
Menurut Rimsky K. Judisseno (2004 : 16) bahwa dalam
pemungutan pajak agar diupayakan adanya keadilan objektif. Artinya, asas
pemungutan yang mendasarinya bersifat umum dan merata. Asas
pemungutan pajak ini dikenal dengan The Four Maxims atau Smith’s
Cannon, yaitu :
1. Keadilan (Equality) 2. Kepastian (Certainty) 3. Kelayakan (Convenience) 4. Efisien (Efficiency/economy)
Dari empat kutipan asas pemungutan pajak tersebut dapat di uraikan
sebagai berikut :
1. Keadilan (Equality)
Dalam asas ini ditekankan pentingnya keseimbangan berdasarkan
kemampuan masing-masing subjek pajak. Yang dimaksud keseimbangan atas
kemampuan subjek pajak adalah hendaknya dalam pemungutan pajak tidak
ada diskriminasi di antara sesama wajib pajak. Pemungutan pajak yang
dilakukan terhadap semua subjek pajak harus sesuai dengan batas
kemampuan masing-masing, sehingga dalam asas equality ini untuk setiap
orang yang mempunyai kondisi yang sama harus dikenakan pajak yang sama
pula.
2. Kepastian (Certainty)
Dalam asas ini ditekankan pentingnya kepastian mengenai pemungutan
pajak yaitu : kepastian hukum yang mengaturnya, kepastian mengenai subjek
pajak, kapasitas mengenai objek pajak, dan kapasitas mengenai tata cara
pemungutannya. Kepastian ini menjamin setiap orang untuk tidak ragu-ragu
dalam menjalankan kewajiban membayar pajak, karena segala sesuatunya
sudah jelas.
3. Kelayakan (Convenience)
Dalam asas ini ditekankan pentingnya saat dan waktu yang tepat dalam
memenuhi kewajiban perpajakan. Sangat bijaksana jika pemotongan pajak
dilakukan pada saat wajib pajak menerima penghasilan dan yang sudah
memenuhi syarat objektifnya (yaitu suatu syarat di mana wajib pajak
mempunyai penghasilan di atas penghasilan minimumnya).
4. Efisiensi (Efficiency/economy)
Dalam asas ini ditekankan pentingnya efisiensi pemungutan pajak, artinya
biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan pemungutan pajak tidak boleh
lebih besar daripada jumlah pajak yang dipungut. Dalam asas ini diberi
pengertian bahwa pemungutan pajak sebaiknya memperhatikan kondisi
subjek dan objek pajaknya.
2.1.6 Jenis Pajak
Pembagian pajak menurut Erly Suandy (2005:38) dapat dilakukan
berdasarkan golongan, wewenang pemungut maupun sifatnya.
1. Berdasarkan Golongan
a. Pajak Langsung
Pajak langsung adalah pajak yang bebannya harus ditanggung sendiri oleh
wajib pajak yang bersangkutan dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain
serta dipungut secara berkala.
b. Pajak Tidak Langsung
Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dialihkan kepada
pihak lain serta pajak ini tidak mempergunakan surat ketetapan pajak.
2. Berdasarkan Wewenang Pemungut
a. Pajak Pusat/Negara
Pajak Pusat/Negara adalah pajak yang wewenang pemungutannya atau
dikelola oleh Pemerintah pusat atau Departemen Keuangan melalui
Direktorat Jendral Pajak dan hasilnya dipergunakan untuk membiayai
pengeluaran rutin Negara dan pembangunan (APBN).
b. Pajak Daerah
Pajak Daerah adalah pajak yang wewenang pemungutannya atau dikelola
oleh Pemerintah Daerah (baik Pemerintah Propinsi maupun Pemerintah
Kabupaten/Kota) atau Dinas Pendapatan Daerah dan hasilnya dipergunakan
untuk membiayai pengeluaran rutin dan pembangunan daerah (APBD).
3. Berdasarkan Sifat
a. Pajak Subjektif
Pajak Subjektif adalah pajak yang memperhatikan kondisi/keadaan wajib
pajak. Dalam menentukan pajaknya harus ada alasan-alasan objektif yang
berhubungan erat dengan keadaan materialnya, yaitu gaya pikul.
b. Pajak Objektif
Pajak Objektif adalah pajak yang pada awalnya memperhatikan objek yang
menyebabkan timbulnya kewajiban membayar, kemudian baru dicari
subjeknya baik orang pribadi maupun badan. Jadi dengan kata lain pajak
objektif adalah pengenaan pajak yang hanya memperhatikan kondisi
objeknya saja.
2.2 Pajak Daerah
Setelah sumber pendapatan daerah dapat dikenai pajak, maka perlu
juga dipertimbangkan apakah suatu pajak yang telah dapat secara efektif
digali, dikenakan, dinilai atau dipungut tersebut mampu diadministrasikan
oleh Pemerintah Daerah. Kesit Bambang Prakosa (2003 : 23) berpendapat
bahwa orang akan lebih bersedia membayar pajak kepada Pemerintah
Daerah daripada Pemerintah Pusat karena mereka dapat secara mudah
melihat manfaat langsung dalam pembangunan di daerah mereka.
Semakin rendah tingkat pemerintahan maka semakin dekat hubungan
antara rakyat dengan pemerintahnya, sehingga mereka mengenakan pajak
dengan mereka yang membayar pajak sangat dekat. Karena kedekatan inilah,
dasar pengenaan pajak dan tarif pajak menjadi rendah tingkat keadilannya.
2.2.1 Pengertian Pajak Daerah
Menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana diubah dengan Undang-undang
Nomor 34 Tahun 2000 mendefinisikan pajak daerah sebagai berikut :
“Iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang. Pajak Daerah dapat dipaksakan berdasar peraturan perundang-undangan yang berlaku, dimana hasilnya digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah Daerah dan pembangunan Daerah”.
Pengertian Pajak Daerah menurut Erly Suandy (2005:38) sebagai
berikut :
“Pajak Daerah adalah pajak yang wewenang pemungutannya atau dikelola oleh Pemerintah Daerah (baik Pemerintah Propinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota) atau Dinas Pendapatan Daerah dan hasilnya dipergunakan untuk membiayai pengeluaran rutin dan pembangunan daerah (APBD)”.
Kriteria pajak daerah tidak jauh berbeda dengan kriteria pajak pusat,
yang membedakan keduanya adalah pihak pemungutnya. Pajak pusat yang
memungut adalah Pemerintah Pusat, sedangkan pajak daerah yang
memungut adalah Pemerintah Daerah. Kriteria pajak daerah menurut Kesit
Bambang Prakosa (2003:2) terdiri dari 4 hal, yaitu :
1. Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah berdasarkan pengaturan dari daerah sendiri,
2. Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan pemerintah pusat tetapi penetapan tarifnya dilakukan oleh pemerintah daerah,
3. Pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh pemerintah daerah, dan 4. Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah pusat tetapi
hasil pungutannya diberikan kepada pemerintah daerah. Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak daerah merupakan
pajak yang ditetapkan dan atau dipungut di wilayah daerah dan dapat
dipaksakan berdasarkan perundang-undangan yang hasilnya digunakan
untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.
2.2.2 Jenis Pajak Daerah
Dalam literatur pajak, pajak dapat diklasifikasikan berdasarkan
golongan, wewenang pemungut dan sifatnya. Pajak daerah termasuk
klasifikasi pajak menurut wewenang pemungutnya. Artinya, pihak yang
berwenang dan berhak memungut pajak daerah adalah pemerintah daerah.
Selanjutnya, pajak daerah ini dapat diklasifikasikan kembali menurut
wilayah kekuasaan pihak pemungutnya. Menurut Undang-undang nomor
34 Tahun 2000 pajak daerah dibagi menjadi :
1. Pajak Propinsi Pajak propinsi adalah pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah daerah
tingkat propinsi. Pajak propinsi yang berlaku di Indonesia terdiri dari : 1. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air. 2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air. 3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 4. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan. Dari empat kutipan jenis pajak propinsi tersebut dapat di uraikan sebagai
berikut :
1. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air. Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air adalah pajak atas
kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air.
Kendaraan bermotor adalah semua kendaraan beroda dua atau lebih beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan
digerakkan oleh peralatan teknis berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang bergerak.
Kendaraan di atas air merupakan semua kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknis berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan yang digunakan di atas air.
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air. Bea balik nama kendaraan di atas air merupakan pajak yang
dikenakan terhadap penyerahan hak milik kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air sebagai akibat perjanjian dua pihak atau sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor merupakan pajak atas bahan
bakar yang disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan di atas air. Bahan bakar kendaraan bermotor dan/atau kendaraan di atas air adalah bahan bakar yang digunakan untuk menggerakkan kendaraan bermotor dan/atau kendaraan di atas air.
4. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
Pajak yang dikenakan terhadap pengambilan dan pemanfaatan air, baik air bawah tanah maupun air permukaan untuk digunakan bagi orang pribadi maupun badan, kecuali untuk keperluan dasar rumah tangga dan pertanian rakyat. Air bawah tanah adalah air yang berada di perut bumi, termasuk mata air yang muncul secara alamiah di atas permukaan tanah. Air permukaan adalah air yang berada di atas permukaan bumi, tidak termasuk air laut.
2. Pajak Kabupaten/Kota
Pajak Kabupaten/Kota adalah pajak daerah yang dipungut oleh
pemerintah daerah tingkat Kabupaten/Kota. Pajak Kabupaten/Kota yang
berlaku di Indonesia sampai saat ini, terdiri dari :
1. Pajak Hotel 2. Pajak Restoran 3. Pajak Hiburan 4. Pajak Reklame 5. Pajak Parkir 6. Pajak Penerangan Jalan 7. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C
Dari tujuh kutipan jenis pajak Kabupaten/Kota tersebut dapat di uraikan
sebagai berikut :
1. Pajak Hotel Pajak hotel adalah pajak atas pelayanan hotel. Hotel adalah bangunan
yang khusus disediakan bagi orang untuk dapat menginap/istirahat, memperoleh pelayanan, dan/atau fasilitas lainnya dengan dipungut bayaran, termasuk bangunan lainnya yang menyatu, dikelola dan dimiliki oleh pihak yang sama, kecuali untuk pertokoan dan perkantoran.
2. Pajak Restoran Pajak restoran adalah pajak atas pelayanan restoran. Restoran adalah
tempat menyantap makanan dan/atau minuman, yang disediakan dengan dipungut bayaran, tidak termasuk usaha jasa boga atau katering.
3. Pajak Hiburan Pajak hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Hiburan
adalah semua jenis pertunjukan, permainan, ketangkasan, dan/atau keramaian dengan nama dan bentuk apapun, yang ditonton atau dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut bayaran, tidak termasuk penggunaan fasilitas untuk berolah raga.
4. Pajak Reklame Pajak reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame. Reklame
adalah benda, alat, perbuatan atau media yang menurut bentuk susunan dan corak ragamnya untuk tujuan komersial, dipergunakan. untuk memperkenalkan, menganjurkan atau memujikan suatu barang, jasa atau orang yang ditempatkan atau dapat dilihat, dibaca atau didengar dan suatu tempat oleh umum, kecuali yang dilakukan oleh Pemerintah.
5. Pajak Parkir Pajak parkir adalah pajak yang dikenakan atas tempat parkir yang
disediakan oleh orang pribadi atau badan, baik yang disediakan berkaitan atas pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor dan garasi kendaraan bermotor yang memungut bayaran.
6. Pajak Penerangan Jalan Pajak penerangan jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik
dengan ketentuan bahwa di wilayah daerah tersebut tersedia penerangan jalan yang rekeningnya dibayar oleh pemerintah daerah.
7. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C Pajak pengambilan bahan galian golongan C adalah pajak atas
kegiatan pengambilan bahan galian golongan C sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahan galian golongan C terdiri dari asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomite, feldspar garam batu, grafi, granit, marmer, gips, tanah liat, tawas, basal, dan trakit.
2.3 Pengertian Kontribusi dan Pajak Restoran
2.3.1 Pengertian Kontribusi
Kata Kontribusi menurut kamus Bahasa Indonesia (2000 : 592) berarti :
Iuran atau sumbangan
Sedangkan menurut Graham Mott (1996 : 126) , Kontribusi
mempunyai arti khusus dalam akuntansi dan dapat didefinisikan sebagai
selisih antara nilai penjualan dengan biaya variabel.
Definisi ini dapat diterapkan, baik untuk satu unit produksi atau lini
produk dan jasa. Kontribusi adalah laba sebelum semua biaya tetap
diperhitungkan, dan mungkin ada diantara laba kotor dan laba bersih pada
kebanyakan perusahaan.
2.3.2 Pajak Restoran
2.3.3 Pengertian Pajak Restoran
Pajak restoran adalah pajak yang dikenakan atas pelayanan tang disediakan
restoran dengan pembayaran oleh orang pribadi atau badan. Pengenaan pajak
restoran tidak mutlak ada pada seluruh daerah kabupaten atau kota yang ada di
Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kewenangan yang berkaitan dengan kewenangan
yang diberikan kepada pemerintah kabupaten atau kota untuk mengenakan atau tidak
mengenakan suatu jenis pajak kabupaten/kota. Oleh karena itu, untuk dapat dipungut
pada suatu daerah kabupaten/kota, pemerintah daerah harus terlebih dahulu
menerbitkan peraturan daerah tentang pajak restoran. Peraturan ini akan menjadi
landasan hokum tradisional dalam teknis pelaksanaan pengenaan dan pemungutan
pajak restoran di daerah atau kabupaten atau kota yang bersangkutan.
2.3.4 Objek Pajak Restoran
Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 03 tahun 2003 ayat (1) pasal (2)
mengenai Objek Pajak Restoran, adalah semua pembayaran atas pelayanan yang
disediakan oleh restoran dengan pembayaran.
Objek Pajak Restoran meliputi:
1. Restoran 2. Rumah makan 3. Bar 4. Café 5. Bakery 6. Pujasera,dan 7. Sejenisnya
Objek Pajak Restoran yang dikecualikan sebagaimana dimaksudkan
pada ayat (10) dan (2) pasal 2 ini adalah pelayanan jasa Boga/catering.
Pelayanan di restoran meliputi penjualan makanan dan/atau minuman
yang diantar/dibawa pulang.
2.3.5 Subjek Pajak dan Wajib Pajak Restoran
Pada pajak restoran, menurut Peraturan Daerah No.26 tahun 2003 yang
menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan tang melakukan pembayaran
atas pelayanan restoran. Secara sederhana yang menjadi subjek pajak adalah
konsumen yang menikmati dan membayar pelayanan yang diberikan pengusaha
restoran. Sementara itu yang menjadi wajib pajak adalah pengusaha restoran, yaitu
orang pribadi atau badan yang mengusahakan restoran yang menurut peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah diwajibkan untuk melakukan pemungutan
atau pemotongan pajak terhadap subjek pajak. Dengan demikian, subjek pajak dan
wajib pajak pada pajak restoran tidak sama. Konsumen yang menikmati pelayanan
restoran merupakan subjek pajak yang membayar (menanggung) pajak sedangkan
pengusaha restoran bertindak sebagai wajib pajak yang diberi kewenangan untuk
memungut pajak dari konsumen (subjek pajak) dan melaksanakan kewajiban pajak
lainnya.
Dalam menjalankan kewajiban perpajakannya wajib pajak dapat diwakili oleh pihak
tertentu yang diperkenankan oleh undang-undang dan peraturan daerah tentang pajak
hotel. Wakil pajak bertanggungjawab secara pribadi dan atau secara langsung
rentang atas pembayaran pajak terutang. Selain itu, wajib pajak dapat menunduk
seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi
kewajiban perpajakannya.
2.3.6 Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan Pajak Restoran
Dasar pengenaan pajak restoran menurut Peraturan Daerah No.26 tahun 2003
tentang pajak restoran adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar
kepada restoran. Jika pembayaran dipengaruhi istimewa, harga jual atau penggantian
dihitung atas dasar harga pasar yang wajar pada saat pemakaian jasa restoran. Contoh
hubungan istimewa adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan jasa restoran
dengan pengusaha restoran, baik langsung atau tidak langsung berada dibawah
pemilikan atau penguasaan orang pribadi atau badan yang sama.
Pembayaran adalah jumlah uang yang harus dibayar oleh subjek pajak kepada
wajib pajak untuk harga jumlah baik jumlah uang yang dibayarkan maupun jumlah
penggantian yang seharusnya diminta wajib pajak sebagai penukaran atau pemakaian
jasa makanan dan minuman dan fasilitas penunjang termasuk pula semua tambahan
dengan nama apapun juga dilakukan berkaitan dengan usaha restoran.
Tarif pajak ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan
ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten atau kota yang bersangkutan. Hal ini
dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan kepada pemerintah kabupaten/kota
untuk menetapkan tariff yang dipandang sesuai dengan kondisi masing-masing
daerah kabupaten/kota. Dengan demikian, setiap daerah kabupaten/kota yang
diberikan kewenangan untuk menetapkan tariff pajak yang mungkin berbeda dengan
kabupaten/kota lainnya,asalkan tidak lebih dari 10% (sepuluh persen).
Besarnya pajak restoran yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tariff
pajak dengan Dasar Pengenaan Pajak. Secara umum perhitungan pajak restoran
adalah sesuai dengan rumus berikut:
Pajak terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak
= Tarif Pajak x Omzet
2.3.7 Penetapan Pajak Restoran
Menurut Peraturan Daerah Nomor 26 tahun 2003 setiap pengusaha restoran
(yang menjadi wajib pajak) wajib menghitung, memperhitungkan, membayar, dam
melaporkan sendiri pajak restoran yang terutang dengan menggunakan Surat
Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD). Ketentuan ini menunjukan system
pemungutan pajak restoran pada dasarnya merupakan system self assessment, yaitu
wajib pajak diberikan kepercayaan penuh untuk menghitung, memperhitungkan,
membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.
Pada beberapa daerah, penetapan pajak tidak diserahkan sepenuhnya kepada
wajib pajak, tetapi ditetapkan oleh kepala daerah. Terhadap wajib pajak yang
pajaknya ditetapkan oleh bupati/walikota, jumlah pajak yang terutang ditetapkan
dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD). Wajib pajak tetap
memasukan SPTPD, tetapi tanpa perhitungan pajak. SKPD harus dilunasi oeh wajib
pajak paling lama 30 hari sejak diterimanya SKPD oleh wajib pajak paling lama 30
hari sejak diterimanya SKPD oleh wajib pajak atau jangka waktu lain yang
ditetapkan oleh bupati/walikota. Apabila setelah lewat waktu yang ditentukan wajib
pajak tidak atau kurang membayar pajak terutang dalam SKPD, wajib pajak
dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah
kekurangan pajak tersebut.
2.3.8 Sanksi Pajak Restoran
Restoran harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku, apabila
melakukan peelanggaran dikenekan sanksi menurunan Waluyu (2005;28) dan
menurut Peraturan Daerah Nomor 26 tahun 2003, sanksi yang dapat dikenakan
yaitu:
1. Sanksi Administrasi Sanksi administrasi dapat berupa bunga maupun kenaikan yang dikenakan
terhadap wajib pajak dalam hal: a. Setiap wajib pajak yang tidak mau kurang membayar pajak restoran yang
terutang setelah lewat waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya SKPD akan dikenakan sanksi administrasi berupa sebesar 2% (dua persen) setiap bulan. Denda berupa bunga ini ditagih dengn menerbitkan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD).
b. Setiap wajib pajak dikenakan sanksi adminitrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari pajak yang tidak, kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu selama–lamanya 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak saat terutang pajak apabila melakukan pelanggaran: 1. Tidak atau kurang bayar pajak setelah dilakukan pemeriksaan atau
adanya keterangan lain. 2. Tidak menyampaikan SPTPD dalam jangka waktu yang ditentukan
dan telah ditegur secara tertulis. Denda beruapa bunga ini ditagih dengan menerbitkan SKPDKB.
c. Setiap wajib pajak yang tidak melakukan pengisian SPTPD, pajak terutangnya dihitung secara jabatan, dan dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan 23% (dua puluh tiga persen) dari pokok pajak, dan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen)setiap bulan dari pajak.
d. Yang tidak, kurang atau terlambat byar atau jangka waktu selama-lamanya 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak saat trerhutangnya pajak.
Denda berupa kenaikan dan bunga ini gitagih dengan menerbitkan SKPDKB.
e. Setiap wajib pajak yang karena ditemukannya data baru atau data yang semula belum terungkap sehingga menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terhutang, dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut. Kenaikan ini tidak dikenakan apabila wajib pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
f. Setiap wajib pajak karena tidak melaksanakan kewajiban membayar pajak terutang dalam SKPDKB dan SKPDKBT serta tidak atau tidak sepenuhnya membayar dalam jangka waktu yang ditentukan, ditagih dengan menerbitkan STPD ditambah dengan sanki administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan. Denda bunga ini tidak dikenakan apabila wajib pajak melaporkan sendiri adanya kekurangan pajak terutang sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
2. Sanksi Pidana
Sanksi pidana berupa kurungan penjara dan/atau denda dapat dikenakan kepada Wajib Pajak dalam hal:
a. Wajib pajak karena kealpaannya tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak yang terutang.
b. Wajib pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang.
2.4 Struktur APBD
Tujuan pembentukan otonomi daerah antara lain adalah untuk lebih
mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat dan memudahkan
masyarakat untuk menata dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber
dari Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Selain itu untuk
menciptakan persaingan yang sehat antar daerah dan mendorong timbulnya
inovasi. Sejalan dengan kewenangan tersebut Pemerintah Daerah diharapkan
lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan khususnya untuk
memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintah dan pembangunan di
daerahnya melalui pendapatan daerah.
Berdasarkan Kepmendagri nomor 29 Tahun 2002, dijelaskan bahwa
struktur APBD terdiri dari :
1. Pendapatan Daerah
2. Belanja Daerah
3. Pembiayaan Daerah
Dari tiga kutipan struktur APBD tersebut dapat di uraikan sebagai
berikut :
1. Pendapatan Daerah
Pendapatan daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai
penambahan nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang
bersangkutan. Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui
rekening kas umum daerah, yang menambah ekuitas dana lancar, yang
merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar
kembali oleh daerah. APBD mengelompokkan pendapatan daerah menjadi 3
kelompok, yaitu sebagai berikut :
a. Pendapatan Asli Daerah
b. Dana Perimbangan
c. Lain-lain PAD yang sah
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah, pengelompokkan pendapatan daerah tersebut
dapat di uraikan sebagai berikut :
a. Pendapatan Asli Daerah
Dalam upaya meningkatkan pendapatan asli daerah, agar tidak
menetapkan kebijakan yang memberatkan dunia usaha dan masyarakat.
Upaya tersebut dapat ditempuh melalui penyederhanaan sistem dan prosedur
administrasi pemungutan pajak dan retribusi daerah, meningkatkan
pengendalian dan pengawasan atas pemungutan pendapatan asli daerah yang
diikuti dengan peningkatan kualitas, kemudahan, ketepatan dan kecepatan
pelayanan. Kelompok pendapatan asli daerah dapat dikelompokkan sebagai
berikut :
1. Hasil pajak daerah;
2. Hasil retribusi daerah;
3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
4. Lain-lain PAD yang sah
8. Dana Perimbangan
Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi penyelenggaraan
pemerintahan daerah, kepada daerah diberikan dana perimbangan memalui
APBN yang bersifat transfer dengan prinsip money follows fungtion. Salah
satu tujuan pemberian dana perimbangan tersebut adalah untuk mengurangi
kesenjangan fiskal antara pemerintah dengan daerah dan antar daerah, serta
meningkatkan kapasitas daerah dalam menggali potensi ekonomi daerah.
Dana perimbangan terdiri dari :
1. Dana bagi hasil;
2. Dana alokasi umum;
3. Dana alokasi khusus
9. Lain-lain PAD yang sah
Lain-lain PAD yang sah adalah pendapatan lain-lain yang di hasilkan
dari bantuan dan dana penyeimbang dari pemerintah pusat. Lain-lain PAD
yang sah merupakan seluruh pendapatan daerah selain PAD dan dana
perimbangan yang meliputi hibah, dana darurat dan lain-lain pendapatan
yang ditetapkan pemerintah. Lain-lain PAD yang sah mencakup :
1. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;
2. Hasil pemanfaatan atau pendayagunaan kekayaan daerah yang tidak
dipisahkan;
3. Jasa giro;
4. Pendaptan bunga;
5. Tuntutan ganti rugi;
6. Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;
7. Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan
dan/atau pengadaan barang dan/atau oleh daerah.
2. Belanja Daerah
Belanja daerah disusun dengan pendekatan prestasi kerja yang
berorientasi pada pencapaian hasil dari input yang direncanakan, oleh karena
itu dalam penyusunan APBD mengutamakan pada pencapaian hasil melalui
program dan kegiatan (belanja langsung) dari pada belanja tidak langsung.
Belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang
bersangkutan. Saat ini belanja tidak lagi dikategorikan menjadi belanja rutin
dan pembangunan, tetapi telah berubah menjadi belanja aparatur dan belanja
publik.
Belanja daerah meliputi semua pengeluaran dari rekening kas umum
daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar yang merupakan kewajiban
daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya
kembali oleh daerah. Belanja daerah dipergunakan dalam rangka
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau
kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang
ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja daerah dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
a. Belanja daerah menurut organisasi
Klasifikasi belanja daerah menurut organisasi disesuaikan dengan
susunan organisasi pemerintah daerah.
b. Belanja daerah menurut fungsi
Klasifikasi belanja daerah menurut fungsi terdiri dari :
1. Klasifikasi berdasarkan urusan pemerintah, yaitu menurut
kewenangan pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota.
2. Klasifikasi fungsi pengelolaan keuangan Negara, yaitu yang
digunakan untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan pengelolaan
keuangan Negara seperti : pelayanan umum, ketertiban dan
keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas
umum, kesehatan, pariwisata dan budaya, agama, pendidikan dan
perlindungan sosial.
c. Belanja daerah menurut program dan kegiatan
Klasifikasi belanja daerah menurut program dan kegiatan disesuaikan
dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
d. Belanja daerah menurut jenis belanja
Klasifikasi belanja daerah menurut jenis belanja terdiri dari :
1. Belanja pegawai;
2. Belanja barang dan jasa;
3. Belanja modal;
4. Bunga;
5. Subsidi;
6. Hibah;
7. Bantuan sosial;
8. Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, dan
9. Belanja tidak terduga.
3. Pembiayaan Daerah
Menurut Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, menyatakan
Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau
pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang
bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan
daerah merupakan transaksi keuangan daerah yang dimaksudkan untuk
menutup defisit atau untuk memanfaatkan surplus.
Dalam rangka menutup defisit anggaran, pemerintah daerah dapat
melakukan pinjaman daerah, yang bersumber dari pemerintah, pemerintah
daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank dan
masyarakat (obligasi daerah). Pencantuman jumlah pinjaman dalam APBD
harus didasarkan pada keputusan kepala daerah atas persetujuan DPRD yang
telah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan berdasarkan
pertimbangan Menteri Dalam Negeri.
Pembiayaan daerah meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar
kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun
anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
Pembiayaan daerah terdiri dari penerimaan pembiayaan dan
pengeluaran pembiayaan. Penerimaan pembiayaan mencakup :
a. SiLPA tahun anggaran sebelumnya;
b. Pencairan dana cadangan;
c. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan;
d. Penerimaan pinjaman;
e. Penerimaan kembali pemberian pinjaman.
Pengeluaran pembiayaan yang dimaksud mencakup :
a. Pembentukan dana cadangan;
b. Penyertaan modal pemerintah daerah;
c. Pembayaran pokok utang; dan
d. Pemberian pinjaman.