20
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Makna rumah secara sosiologis dan kultural Dalam pengertian yang luas, rumah bukan hanya sebuah bangunan (struktural), melainkan juga tempat kediaman yang memenuhi syarat-syarat kehidupan yang layak, dipandang dari berbagai segi kehidupan masyarakat. Rumah dapat dimengerti sebagai tempat perlindungan, untuk menikmati kehidupan, beristirahat dan bersuka ria bersama keluarga. Di dalam rumah, penghuni memperoleh kesan pertama dari kehidupannya di dalam dunia ini. Rumah harus menjamin kepentingan keluarga, yaitu untuk tumbuh, memberi kemungkinan untuk hidup bergaul dengan tetangganya, dan lebih dari itu, rumah harus memberi ketenangan, kesenangan, kebahagiaan, dan kenyamanan pada segala peristiwa hidupnya (Frick, 2006: 1). Rumah merupakan sebuah bangunan, tempat manusia tinggal dan melangsungkan kehidupannya. Disamping itu rumah juga merupakan tempat berlangsungnya proses sosialisasi pada saat seorang individu diperkenalkan kepada norma dan adat kebiasaan yang berlaku di dalam suatu masyarakat. Jadi setiap perumahan memiliki sistem nilai yang berlaku bagi warganya. Sistem nilai tersebut berbeda antara satu perumahan dengan perumahan yang lain, tergantung pada daerah ataupun keadaan masyarakat setempat (Sarwono dalam Budihardjo, 1998 : 148).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Makna rumah secara sosiologis ...eprints.umm.ac.id/40470/3/BAB II.pdf · kelas satu, sedang komponen konstruksi lainnya dibuat dari kayu kelas dua

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Makna rumah secara sosiologis dan kultural

Dalam pengertian yang luas, rumah bukan hanya sebuah bangunan

(struktural), melainkan juga tempat kediaman yang memenuhi syarat-syarat

kehidupan yang layak, dipandang dari berbagai segi kehidupan masyarakat. Rumah

dapat dimengerti sebagai tempat perlindungan, untuk menikmati kehidupan,

beristirahat dan bersuka ria bersama keluarga. Di dalam rumah, penghuni

memperoleh kesan pertama dari kehidupannya di dalam dunia ini. Rumah harus

menjamin kepentingan keluarga, yaitu untuk tumbuh, memberi kemungkinan untuk

hidup bergaul dengan tetangganya, dan lebih dari itu, rumah harus memberi

ketenangan, kesenangan, kebahagiaan, dan kenyamanan pada segala peristiwa

hidupnya (Frick, 2006: 1).

Rumah merupakan sebuah bangunan, tempat manusia tinggal dan

melangsungkan kehidupannya. Disamping itu rumah juga merupakan tempat

berlangsungnya proses sosialisasi pada saat seorang individu diperkenalkan kepada

norma dan adat kebiasaan yang berlaku di dalam suatu masyarakat. Jadi setiap

perumahan memiliki sistem nilai yang berlaku bagi warganya. Sistem nilai tersebut

berbeda antara satu perumahan dengan perumahan yang lain, tergantung pada

daerah ataupun keadaan masyarakat setempat (Sarwono dalam Budihardjo, 1998 :

148).

10

Setiap daerah di Indonesia memiliki kebudayaan masing-masing,

kebudayaan tersebut adalah sebagai identitas suatu suku maupun daerah. Rumah

yang memiliki kebudayaan disebut rumah adat. Rumah adat adalah bangunan yang

memiliki ciri khas khusus, digunakan untuk tempat hunian oleh suatu suku bangsa

tertentu. Rumah adat merupakan salah satu representasi kebudayaan yang paling

tinggi dalam sebuah komunitas suku/masyarakat.

Dalam konteks kultural perbedaan adat istiadat, suku dan agama juga dapat

berpengaruh pada tipe bangunan rumah yang mereka tinggali. Contohnya rumah

suku sasak di Nusa Tenggara Barat dan rumah adat Bali. Rumah adat Sasak pada

bagian atapnya berbentuk seperti gunungan, menukik ke bawah dengan jarak

sekitar 1,5 sampai 2 meter dari permukaan tanah. Atap dan bubungannya terbuat

dari alang-alang, dindingnya dari anyaman bambu, hanya mempunyai satu

berukuran kecil dan tidak ada jendelanya. Sedangkan Pada bangunan atau arsitektur

tradisional rumah adat Bali selalu dipenuhi hiasan, berupa ukiran, peralatan serta

pemberian warna. Ragam hias tersebut mengandung arti tertentu sebagai ungkapan

keindahan simbol-simbol dan penyampaian komunikasi. Bentuk-bentuk ragam hias

dari jenis fauna juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan dalam

patung.

Rumah berfungsi sebagai wadah untuk lembaga terkecil masyarakat

manusia,yang sekaligus dapat dipandang sebagai “shelter” bagi tumbuhnya rasa

aman atau terlindung. Rumah juga berfungsi sebagai wadah bagi berlangsungnya

segala aktivitas manusia yang bersifat intern dan pribadi. Jadi, rumah tidak semata-

mata merupakan tempat bernaung untuk melindungi diri dari segala bahaya,

gangguan dan pengaruh fisik belakang melainkan juga merupakan tempat bernaung

11

untuk melindungi diri dari segala bahaya, gangguan, dan pengaruh fisik belaka,

melainkan juga merupakan tempat tinggal, tempat berisitirahat setelah menjalani

perjuangan hidup sehari-hari (Ridho, 2001 : 18).

Sedangkan menurut Turner (dalam Jenie, 2001: 45), mendefinisikan tiga

fungsi utama yang terkandung dalam sebuah rumah tempat bermukim, yaitu:

a. Rumah sebagai penunjang identitas keluarga (identity) yang diwujudkan

pada kualitas hunian atau perlindungan yang diberikan oleh rumah.

Kebutuhan akan tempat tinggal dimaksudkan agar penghuni dapat

memiliki tempat berteduh guna melindungi diri dari iklim setempat.

b. Rumah sebagai penunjang kesempatan (opportunity) keluarga untuk

berkembang dalam kehidupan sosial budaya dan ekonomi atau fungsi

pengemban keluarga. Kebutuhan berupa akses ini diterjemahkan dalam

pemenuhan kebutuhan sosial dan kemudahan ke tempat kerja guna

mendapatkan sumber penghasilan.

c. Rumah sebagai penunjang rasa aman (security) dalam arti terjaminnya.

keadaan keluarga di masa depan setelah mendapatkan rumah. Jaminan

keamanan atas lingkungan perumahan yang ditempati serta jaminan

keamanan berupa kepemilikan rumah dan lahan (the form of tenure).

2.1.1 Rumah Tradisional Bugis Sulawesi Selatan

Di Sulawesi Selatan terdapat empat etnik: Bugis, Makassar, Mandar dan

Toraja. Bugis, Makassar, dan Mandar memiliki kesamaan dalam kebudayaan

dan cara hidup sehari-hari. Suku Bigis memiliki populasi terbesar dan mendiami

12

sebagian besar wilayah Sulawesi Selatan. Umumnya orang Bugis tinggal di

rumah panggung dari kayu.

Rumah panggung kayu adalah rumah tradisional Bugis yang berbentuk segi

empat panjang dengan tiang-tiang yang tinggi memikul lantai dan atap.

Konstruksi rumah dibuat secara lepas-pasang (knock down) sehingga bisa

dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Konsep empat persegi panjang ini

bermula dari pandangan hidup masyarakat Bugis pada zaman dahulu tentang

bagaimana memahami alam semesta secara universal.

Sistem struktur dan konstruksi rumah panggung kayu terdiri atas lima

komponen: (1) rangka utama (tiang dan balok induk), (2) konstruksi lantai, (3)

konstruksi dinding, (4) konstruksi atap, (5) konstruksi tangga. Semuanya dibuat

dengan sistem knock down. Tiang, balok induk, dan tangga dibuat dari kayu

kelas satu, sedang komponen konstruksi lainnya dibuat dari kayu kelas dua.

rumah adat bugis memiliki arti filosofi tersendiri bagi masyarakat

pemangkunya antara lain:

a. Dunia Atas (Botting langi) : kehidupan diatas alam sadar manusia yang

terkait dengan kepercayaan yang tidak nampak (suci, kebaikan,sugesti,

sakral). Sebagaimana dalam pemahaman masyarakat pemangkunya (Bugis)

bahwa dunia atas adalah tempat bersemayamnya Dewi padi (Sange-Serri).

Dengan pemahaman ini banyak masyarakat Bugis menganggap bahwa

bagian atas rumah (Botting langi) dijadikan sebagai tempat penyimpanan

padi atau hasil pertanian lainnya. Selain itu biasa juga dimanfaatkan untuk

tempat persembunyian anak-anak gadis yang sedang dipingit.

13

b. Dunia Tengah (Ale-Kawa) : Kehidupan dialam sadar manusia yang terkait

dengan aktivitas keseharian. Ale-Kawa atau badan rumah dibagi menjadi

tiga bagian: 1.) Bagian Depan dimanfaatkan untuk menerima para

kerabat/keluarga serta tempat kegiatan adat. 2.) Bagian Tengah

dimanfaatkan untuk ruang tidur orang-orang yang dituakan termasuk kepala

keluarga (Bapak/ibu). 3.) Ruang Dalam dimanfaatkan untuk kamar tidur

anak-anak.

c. Dunia Bawah (Awa Bola/kolong rumah): Terkait dengan media yang

digunakan untuk mencari rejeki, termasuk alat-alat pertanian, tempat

menenun, kandang binatang dan tempat bermain bagi anak-anak.

2.2 Youtube Sebagai Media Sosial Baru

Media massa telah berubah begitu banyak. Istilah ‘media baru’ telah

digunakan sejak tahun 1960-an dan telah mencakup seperangkat teknologi

komunikasi terapan yang semakin berkembang dan beragam. Ciri utama dari media

baru yang paling utama adalah kesalinghubungan, aksesnya terhadap khalayak

(audiens) individu sebagai penerima maupun pengirim pesan, interaktivisnya,

kegunaannya yang beragam sebagai karakter yang terbuka, dan sifatnya yang ada

‘di mana-mana’ (McQuail, 2011). Perubahan dari media lama ke media baru di

awali dengan penggunaan teknologi komunikasi itu sendiri, dimana dalam media

baru teknologi yang digunakan sudah mulai menggunakan digital. Contohnya pada

surat kabar yang mulai beralih dari media cetak ke media online, pengiriman pesan

yang tadinya menggunakan media kertas kini sudah beralih juga menjadi pesan

elektronik atau biasa disebut email. Internet membuat media baru mampu

14

mengalahkan media lama. Salah satunya pada bidang jaringan komunikasi yang

berbentuk media sosial.

Kemunculan internet telah memberikan banyak pengaruh dan perubahan

pada kehidupan masyarakat. Jika awalnya hubungan komunikasi antar manusia

terbatas ruang dan waktu, maka kehadiran internet telah mengikis batas-batas

tersebut hingga terwujudlah sebuah arus informasi dan komunikasi tanpa batas.

Dengan adanya internet, situasi di sebuah wilayah atau negara bisa dengan cepat

tersebar ke seluruh penjuru dunia secara langsung tanpa harus menunggu lama.

Kemunculan internet secara otomatis turut pula mempengaruhi perkembangan

penggunaan media sosial di masyarakat.

Media sosial adalah media online yang mendukung interaksi sosial. Media

sosial menggunakan teknologi berbasis web yang mengubah komunikasi menjadi

dialog interaktif. Melalui media sosial, setiap orang bisa membuat, menyunting

sekaligus mempublikasikan sendiri konten berita, promosi, artikel, foto, dan video.

Selain lebih fleksibel dan luas cakupannya, lebih efektif, dan efisien, cepat

interaktif dan variatif (Nurudin, 2012).

Menurut Afandi dalam Nurudin (2012) melalui bukunya Media Sosial Baru,

media sosial secara subtansial mengubah cara komunikasi antar organisasi,

masyarakat, serta individu. Adapun jenis – jenis dari media sosial, sebagai berikut:

a. Collaborative Projects

Collaborative projects merupakan suatu media sosial yang dapat

membuat konten. Khalayak pun dapat mengakses konten tersebut secara

15

global. Ada dua subkategori yang masuk dalam Collaborative projects

dalam media sosial, yaitu Wiki dan Bookmark Sosial.

b. Blogs and Microblogs

Blogs adalah sebuah website yang memfasilitasi penyampaian sebuah opini,

pengalaman, atau kegiatan sehari – hari dari penulisnya. Pada

kenyataannya, blogs dan microblogs banyak digunakan oleh perusahaan

untuk memasarkan sebuah produk. Begitu pula para selebritis. Mereka

memanfaatkan blogs sebagai sarana untuk menginformasikan kegiatan-

kegiatan yang mereka lakukan. Beberapa contoh yang memanfaatkan blogs

dan microblogs diantaranya kaskus, Wordpress, Multiply dan Plurk.

c. Content Communities

Content Community merupakan sebuah aplikasi yang bertujuan untuk

saling berbagi foto dan video dengan orang yang dituju, yang termasuk

dalam subkategori Content Community, yaitu Youtube.

d. Sosial Networking

Situs jejaring sosial adalah aplikasi yang memungkinkan pengguna untuk

terhubung dengan pengguna lain melalui profil pribadi atau akun

pribadinya. Profil pribadi mencakup semua jenis informasi termasuk foto,

video, file, audio, dan blog. Situs jejaring sosial pada umumnya memiliki

fitur seperti pesan instan dan email. Selain itu, situs tersebut juga dapat

membantu seseorang untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Dalam

jejaring sosial in terdapat beberapa macam jenis, diantaranya Geocities, Six

Degrees, Friendster, Yahoo Messenger, Facebook, Twitter, Goodreads,

MySpace, Blackberry Messenger, WhatsApp, Google Plus, Instagram,

16

Skype, Gizmo, Camfrog, Yahoo Koprol, Yuwie, Virtual Games Worlds dan

Virtual Sosial Worlds.

Salah satu dari sekian banyak media sosial yang sedang naik daun adalah

Youtube. Youtube merupakan situs berbagi video yang didirikan oleh Steve Shih

Chen, Jawed Karim, Chad Hurley. Mereka medirikan Youtube pada 2005. Pada

Oktober 2006 Youtube diakuisisi oleh Google. Nilainya 1,65 miliar dollar AS

(Rp16,9 Triliun). Pada tahun 2007 Youtube mencapai puncak kesuksesannya dalam

persaingan bisnis di internet setelah memiliki ribuan bahkan jutaan member, baik

yang aktif maupun pasif di seluruh dunia.

Pada tahun 2012 mulai bermunculan Youtuber (sebutan pengelola akun

Youtube), mereka menyebut dirinya Youtuber karena sangat aktif mengunggah

video melalui akun pribadinya. Mulai dari video blog (vlog), dokumentasi jalan-

jalan, kuliner, review suatu barang, dll. Sampai saat ini banyak sekali netizen

berlomba-lomba menjadi Youtuber, mulai dari remaja sampai orang dewasa. Tidak

hanya itu, berbagai macam instansi dan perusahaan besar juga memanfaatkan

Youtube sebagai media promosi utama mereka. Mulai dari iklan pendek sampai

iklan panjang, bahkan beberapa perusahaan brand tertentu membuat film pendek

dan juga web series (film pendek yeng memiliki episode).

2.3 Film Sebagai Media Komunikasi Massa

Film dikatakan sebagai media komunikasi massa karena merupakan bentuk

komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan

komunikator dan komunikan secara massal, dalam arti berjumlah banyak, tersebar

dimana-mana, khalayaknya heterogen dan anonym, dan menimbulkan efek

17

tertentu. Film mampu menjangkau populasi dalam jumlah besar dengan cepat,

bahkan diwilayah pedesaan. Sebagai media massa, film merupakan bagian dari

respons terhadap penemuan waktu luang, waktu libur dari kerja, dan sebuah

jawaban atas tuntutan untuk cara menghabiskan waktu luang keluarga yang sifatnya

terjangkau. (Mcquail, 2011)

Menurut Himawan Pratista, film secara umum dapat dibagi atas dua unsur

pembentuk yaitu, unsur naratif dan unsur sinematik. Kedua unsur tersebut saling

berkesinambungan dan berinteraksi satu sama lain untuk membentuk sebuah film.

Unsur naratif berhubungan dengan aspek cerita atau tema film (tokoh, masalah,

konflik). Sedangkan unsur sinematik merupakan aspek-aspek teknis dalam

produksi sebuah film (sinematografi, editing, suara). Dalam beberapa kasus, sebuah

film bisa saja tanpa menggunakan unsur sama sekali seperti dalam film era bisu

yang lebih disebabkan karena keterbatasan teknologi (Pratista, 2008: 1-2).

Film dalam pandangan ilmu komunikasi merupakan media yang telah

diuraikan dalam bentuk dramaturgi (tema, karakter, plot), akting dan dialog para

tokoh dan pemain. Sebagai penggunaan film sebagai media untuk berkomunikasi,

dalam sebuah film pasti ada suatu pesan yang ingin disampaikan kepada penonton.

Cara berkomunikasinya film dengan media elektronik lainya terdapat perbedaan

yang dimana film akan menggunakan proses komunikasi atau menyampaikan

pesannya melalui tema, cerita, dan konflik dan dikemas dalam bentuk audio visual,

yang pada akhirnya mengkomunikasikan suatu pesan tersebut secara dramatik.

Pada dasarnya film dapat dikelompokan ke dalam dua pembagian dasar,

yaitu kategori film cerita dan non cerita. Pendapat lain menggolongkan menjadi

18

film fiksi dan non fiksi. Film cerita adalah film yang diproduksi berdasarkan cerita

yang dikarang, dan dimainkan oleh aktor dan aktris. Pada umumnya film cerita

bersifat komersial, artinya dipertunjukan di bioskop dengan harga karcis tertentu

atau diputar di televisi dengan dukungan sponsor iklan tertentu. Film non cerita

adalah film yang mengambil kenyataan sebagai subyeknya, yaitu merekam

kenyataan yang terjadi dalam kehidupan manusia tanpa adanya rekayasa.

Walaupun media film telah dinomorduakan terhadap televisi, film juga

menjadi lebih menyatu dengan media lain, terutama penerbitan buku, musik pop,

dan televisi. Dalam buku McQuail, (Jowett dan Linton, 1980) mengatakan film

telah mendapatkan peran yang besar, walaupun berkurangnya khalayak mereka

sendiri sebagai sebuah pajangan bagi media lain dan sumber kebudayaan yang

darinya menghasilkan buku, kartun strip, lagu, dan bintang televisi, serta serial.

Oleh karena itu film kemudian dikompensasikan oleh para penonton film domestik

yang dijangkau oleh televisi, rekaman digital, kabel dan saluran satelit (McQuail,

2011: 37).

2.4 Film Sebagai Karya Seni

Film sebagai karya seni, merupakan hasil dari proses kreatif berbagai unsur

diantaranya seni musik, seni rupa, seni suara, teater serta teknologi dengan kekuatan

gambar sebagai bentuk visualisasinya. Film masuk ke dalam jajaran seni yang

ditopang oleh industri hiburan yang menawarkan impian kepada penonton yang

ikut menunjang lahirnya karya film (Baksin, 2003: 3).

Pengertian film itu juga meluas menurut Undang-Undang Perfilman No. 6

tahun 1992, Bab 1, Pasal 1, yang ditulis pada buku Askurifai Baksin (2003: 6),

19

menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan film adalah karya cipta seni dan

budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang dengar yang dibuat

berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita selluloid, pita video,

piringan video dan atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam bentuk,

jenis, ukuran, melalui kimiawi, proses elektronik atau proses lainnya atau tanpa

suara yang dapat dipertunjukkan dan atau ditayangkan dengan sistem proyeksi

mekanik, elektronik dan atau lainnya.

2.5 Film Sebagai Representasi Budaya

Pada era globalisasi ini kebudayaan yang ada mulai tergeser karena

pesatnya perkembangan teknologi. Tergesernya budaya setempat dari

lingkungannya disebarkan oleh kemunculannya sebuah kebudayaan baru yang

konon katanya lebih atarktif, fleksibel dan mudah dipahami sebagian masyarakat,

bahkan masyarakat rendah status sosianya dapat dengan mudah menerapkannya

dalam aktifitas kehidupan.

Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk

mengkomunikasikan tentang suatu realita yang terjadi dalam kehidupan seharihari,

film memiliki realitas yang kuat salah satunya menceritakan tentang realitas

masyarakat. Film sebagai hasil budaya dan alat ekpresi kesenian. Film sebagai

komunikasi massa merupakan gabungan dari berbagai teknologi seperti fotografi

dan rekaman suara, kesenian baik seni rupa dan seni teater sastra dan arsitektur serta

seni musik.

Film dapat didefinisikan sebagai representasi budaya, film sebagai karya

seni budaya yang terwujud berdasarkan kaidah sinematografi merupakan fenomena

20

kebudayaan. Hal itu bermakna bahwa film merupakan hasil proses kreatif warga

negara yang dilakukan dengan memadukan keindahan, kecanggihan, teknologi,

serta sistem nilai, gagasan, norma, dan tindakan manusia dalam bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara.

Melalui film sebenarnya kita banyak belajar tentang budaya. Baik itu

budaya masyarakat dimana kita hidup didalamnya, atau bahkan budaya yang sama

sekali asing buat kita. Film digunakan sebagai cerminan untuk mengaca atau untuk

melihat bagaimana budaya bekerja atau hidup di dalam suatu masyarakat. Sehingga

kita dapat mengetahui bagaimana budaya itu bekerja atau hidup di dalam suatu

masyarakat.

Ketika kita melihat film Ali Topan maka kita pada dasarnya sedang melihat

cerminan dari budaya remaja yang terjadi pada era dimana Ali Topan itu hidup.

Dan ketika kita melihat film Ada Apa Dengan Cinta maka kita juga sedang melihat

representasi budaya remaja era Dian Sastro dan Nicolas Saputra. Sehingga film

sebagai representasi budaya, film tidak hanya mengkonstruksikan nilai-nilai

budaya tertentu didalam dirinya sendiri, tapi juga tentang bagaimana nilai-nilai

tersebut diproduksi dan bagaimana nilai itu dikonsumsi oleh masyarakat yang

menyaksikan film tersebut. Sehingga terjadi proses pertukaran kode-kode

kebudayaan dalam tindakan menonton film sebagai representasi budaya.

2.6 Istilah Film Pendek

Dalam buku Mari Membuat Film Panduan Menjadi Produser (2002: 13), Heru

Effendy mengatakan film pendek adalah film yang berdurasi pendek, biasanya di

bawah 60 menit. Di banyak negara seperti Jerman, Australia, Kanada, dan Amerika

21

Serikat, film pendek ini dijadikan laboratorium eksperimen dan batu loncatan bagi

seseorang/sekelompok orang untuk kemudian memproduksi film cerita panjang.

Jenis film ini banyak dihasilkan oleh para mahasiswa jurusan film atau

orang/kelompok yang menyukai dunia film dan ingin berlatih membuat film dengan

baik. Sekalipun demikian, ada juga yang memang mengkhususkan diri untuk

memproduksi film pendek, umumnya hasil produksi ini dipasok ke rumah-rumah

produksi atau saluran televisi.

Ditambahkan dalam buku Membuat Film Indie itu Gampang (2003: 10-16),

Askurifai Baksin mengutip pernyataan Gotot Prakoso dalam buku Ketika Film

Pendek Bersosialisasi. Gotot Prakosa banyak memberikan gambaran sejarah dan

perkembangan film independen di Indonesia, yang oleh Gotot disebutnya sebagai

film pendek. Bagi Gotot, film pendek merupakan film yang durasinya pendek,

tetapi dengan kependekan waktu tersebut para pembuatnya semestinya bisa lebih

selektif mengungkapkan materi yang ditampilkan. Dengan demikian, setiap “shot”

akan memiliki makna yang cukup besar untuk ditafsirkan oleh penontonnya. ketika

pembuat film terjebak ingin mengungkapkan cerita saja, film pendek seperti ini

hanya akan menjadi film panjang yang dipendekkan karena hanya terikat oleh

waktu yang pendek.

Oleh kalangan akademisi dan seniman film Institut Kesenian Jakarta (IKJ),

film independen memang lebih banyak disebut sebagai film pendek. Seperti diakui

Gotot, soal penamaan istilah ini memang beragam. Ada orang menyebut film indie,

independen, dan juga film pendek. Bahkan kalangan seniman film Yogyakarta, film

semacam ini disebut sebagai film “wayang”. Istilah “wayang” ini diadopsi dari

pengertian film masa lampau yang menyebut bintang film (artis) sebagai “anak

22

wayang” sehingga jika jenis film ini dianggap sebagai semacam wacana, Gotot

membiarkan peristilahan itu berkembang sebebas-bebasnya. Jika hanya dipatok

dengan istilah indie, nanti bisa jadi orang akan menghubungkannya dengan film

masa lampau Indonesia. Kalau menyebut independen, bisa jadi orang akan

mempertanyakan independen dalam soal apa. Sampai saat ini, Gotot yang sering

menjadi juri film pendek di tingkat nasional ataupun internasional, masih

menggunakan istilah film pendek.

Memang benar saat ini masih banyak yang beranggapan bahwa film pendek

adalah film independen, dengan anggapan saat pembuatan film pendek atau

independen tersebut tanpa adanya bantuan baik dana ataupun alat produksi.

Memang sulit untuk membedakan istilah penyebutan film pendek dengan film

independen tapi pada dasarnya film pendek adalah film yang berdurasi dibawah 60

menit.

Seiring perkembangan festival film pendek atau independen saat ini,

membuat film pendek sering menjadi topik yang hangat utuk dibicarakan atau

bahkan diproduksi. Sampai saat ini sudah banyak film pendek yang bekerjasama

dengan instansi atau lembaga-lembaga untuk dijadikan sebagai media publikasi

instansi tertentu. Karena menurut lembaga atau instansi tersebut dengan

menggunakan media film pendek sangat efektif dalam mempromosikan produknya.

Sebab pada film yang memiliki cerita kokoh pasti punya kekuatan besar untuk

mengubah persepsi dan perilaku penontonnya.

Sehingga dapat dikatakan film pendek sudah bisa “dijual” seperti film-film

yang diputar dibioskop-bioskop. Dijual dalam hal ini maksudnya kita sebagai

23

pembuat film bisa menjual jasa dalam membuat film untuk kepentingan umum,

bukan lagi hanya membuat film sebagai karya seni melainkan untuk menghasilkan

uang dan itulah kenyataannya. Semua itu masuk dalam perkembangan film dan

berjalan dengan seharusnya. Kita hanya bisa berharap semoga perfilman di

Indonesia ini baik film pendek, animasi, film panjang, dll tetap bisa kita lihat,

berkembang dan lebih kreatif.

2.7 Penyampaian Pesan dalam Film

Penyampaian pesan atau sering kita sebut proses komunikasi dalam film itu

hampir sama dengan komunikasi yang kita lakukan sehari-hari dengan orang lain,

tapi bedanya kalau kita komunikasi sehari-harinya itu menggunakan media udara,

telepon genggam, sedangkan di film medianya adalah film itu sendiri.

Menurut Harold D. Lasswell dalam buku Komunikasi Massa Suatu

Pengantar Edisi Revisi (Ardianto, 2007: 28) mengungkapkan suatu ungkapan yang

sangat terkenal dalam teori dan penelitian komunikasi massa. Ungkapan tersebut

merupakan suatu formula dalam menentukan suatu proses komunikasi massa

dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: who (siapa), says what

(berkata apa), in which channel (melalui saluran apa), to whom (kepada siapa) dan

with what effect (dengan efek apa).

Berdasarkan formula Harold D. Lasswell tersebut kita bisa jabarkan proses

penyampaian pesan yang terjadi dalam sebuah film, yakni : Who, siapa disini bisa

kita sebut para pembuat film. Says what, berkata apa maksudnya adalah pesan,

pesan yang disampaikan oleh komunikatornya tadi. In which channel, saluran atau

media, media yang digunakan dalam film adalah film itu sendiri dan film dianggap

24

sebagai media penyalur pesan. To whom, kepada siapa pesan film itu disampaikan

atau siapa penerima pesan film itu. Dan yang terakhir With what effect, efek apa

yang ditimbulkan setelah pesan film itu sampai, terjadi perubahan sikap,

pengetahuan, atau perasaan.

Pesan (message) terdiri dari dua aspek, yakni isi atau isi pesan (the content

of message) dan lambang (symbol) untuk mengekspresikannya. Lambang utama

pada media radio adalah bahasa lisan; pada surat kabar bahasa tulisan; ada juga

gambar; pada film dan televisi lambang utama adalah gambar. Penataan pesan

bergantung pada media sifat yang berbeda antara satu sama lainnya. Disini dimensi

seni tampak berperan. Tanpa dimensi seni menata pesan, tak mungkinlah media

surat kabar, majalah, radio, televisi, film dapat memikat perhatian dan memukau

khalayak, yang pada gilirannya mengubah sikap, pandangan dan perilaku mereka

(Effendy, 2003: 312-313).

Dalam film yang menjadi komunikator bisa berasal dari script writer atau

penulis naskah, lalu dikembangkan oleh sutradara dan bisa pula dikembangkan

kembali oleh seorang editor. Pesan dalam film biasanya tergantung dalam

pengkategorian genre film tersebut. Seperti yang peneliti jelaskan di latar belakang,

genre dalam film itu banyak sekali kategorinya mulai dari komedi, action, horor,

drama. Pesan yang disampaikan dalam film kebanyakan berbentuk dialog atau

percakapan dalam film, adapula dalam bentuk gambar, yang menunjukkan sebuah

tempat, waktu dan lingkungan adegan.

25

2.8 Makna Film dalam Perspektif Teori Resespsi

Film adalah salah satu media komunikasi massa yang sangat besar

pengaruhnya terhadap masyarakat. Film juga merupakan bentuk pesan yang terdiri

dari berbagai tanda dan simbol yang membentuk sebuah sistem makna sehingga

bisa diinterpretasikan oleh orang secara berbeda-beda, tergantung kepada referensi

dan kemampuan berpikir orang tersebut. Sebagai sebuah media, film tentunya

mewakili pandangan-pandangan yang dimiliki oleh kelompok tertentu, termasuk

ideologi serta gagasan yang dibawa oleh kelompok tersebut.

Studi resepsi adalah studi yang terfokus pada bagaimana pemaknaan

audience terhadap teks media yang disajikan oleh media massa. Studi resepsi dilihat

sebagai kajian terhadap khalayak yang sebenarnya ingin menempatkan khalayak

tidak semata pasif namun aktif dan bisa menghasilkan makna sendiri dari wacana

yang ditawarkan oleh teks media. Sedangkan film merupakan media campuran dari

medium audio dan visual, karena film merupakan medium audio visual, suarapun

mengambil peranan didalamnya, apakah itu suara manusia (dialog, monolog), suara

musik atau hanya sound effect. Suara manusia tentu karena pelaku-pelaku film

adalah manusia. Sedangkan musik dibutuhkan untuk memperkuat irama film.

(Eneste, 1991). Makna dari pendekatan resepsi yaitu untuk menemukan kontruksi

makna yang berasal dari media yang disampaikan kepada audiens. Sedangkan film

sendiri memiliki makna sebagai media yang memiliki arti dan ditafsirkan sesuai

dengan kontek dan budaya penerima (audiens).

2.9 Memaknai Pesan Film dengan Teori Resepsi

26

Studi resepsi ialah studi yang mencoba memberikan sebuah makna atas

pemahaman teks media (cetak, elektronik, internet) dengan memahami bagaimana

karakter teks media dibaca oleh khalayak. Individu yang menganalisis media

melalui kajian reception memfokuskan pada pengalaman dan pemirsaan khalayak

(penonton/pembaca), serta bagaimana makna diciptakan melalui pengalaman

tersebut. Konsep teoritik terpenting dari reception studies adalah bahwa teks media

penonton/ pembaca atau program televisi bukanlah makna yang melekat pada teks

media tersebut, tetapi makna diciptakan dalam interaksinya antara khalayak

(penonton/ pembaca) dan teks. Dengan kata lain, makna diciptakan karena

menonton atau membaca dan memproses teks media.

Studi resepsi merupakan kajian alternative dari tradisi khalayak. Berbeda

dengan riset khalayak yang lain, pemanfaatan studi resepsi sebagai pendukung

dalam kajian terhadap khalayak sesungguhnya hendak menempatkan khalayak

tidak semata pasif, namun dilihat dari agen kultural (cultural agent) yang memiliki

kuasa tersendiri dalam hal menghasilkan majna dari berbagai wacana yang

ditawarkan media (Mcquail, 2011).

Dalam bukunya, McQuail (2010: 73) menjelaskan bahwa:

“The essence of the ‘reception approach’ is to locate the attribution

and contraction of meaning (derived from media) with the receiver. Media

messages are always open and ‘polysemic’ having multiple meaning and

are interpreted according to the context and the culture of receivers. Among

the forerunners of reception analysis was a persuasive variant of critical

theory formulated by Stuart Hall (1974/1980) which emphasized the stage

of transformation trought which any media message passes on the way from

its origins to its reception and interpretation. It drew from, but also

challenged, the basic principles of structuralism and semiology which

presumed that any meaningful ‘message’ is 33 constructed from signs

which can have denotative and connotative meanings, depending on the

choices made by encoder.”

27

“Esensi dari ‘pendekatan resepsi’ adalah untuk menemukan atribusi dan

kontruksi makna (berasal dari media) dengan penerima. Pesan media selalu terbuka

dan polysemic memiliki beberapa arti dan ditafsirkan sesuai dengan konteks dan

budaya penerima. Diantara pelopor analisis resepsi adalah varian persuasif teori

kritis yang dirumuskan oleh Stuart Hall (1974/1980) yang menekankan tahap

trought transformasi yang melewati setiap pesan media dalam perjalanan dari asal

usulnya ke resepsi dan interpretasi. Hal menarik dari resepsi, tetapi juga menantang,

prinsip-prinsip dasar strukturalisme dan semiologi yang diduga bahwa ‘pesan’

apapun yang berarti dibangun dari tanda-tanda yang dapat memiliki makna

denotatif dan konotatif, tergantung pada pilihan yang dibuat oleh encoder.”

Berkaitan dengan penerimaan dan pemaknaan pesan media oleh audiens,

menurut Stuart Hall dalam Eriyanto (2000: 9), terdapat tiga tipe decoding yang bisa

dilakukan oleh khalayak, yaitu Dominant, Negotiated, dan Oppositional:

1. Dominant Hegemonic Position

Penulis menggunakan kode-kode umum sehingga dapat ditafsirkan dengan

baik oleh pembacanya. Artinya, tida ada perbedaan penafsiran antara

penulis dan pembaca.

2. Negotiated Code/position

Kode yang ditransformasikan kemudian ditafsirkan secara terus menerus

oleh kedua belah pihak. Namun, pembaca akan menerima kode tersebut

secara umum dengan menggunakan kepercayaan dan keyakinannya dan

dibandingkan dengan kode penulis.

28

3. Oppositional Code/ Position

Pembaca akan berseberangan penafsiran dengan penulis. Pembacaan

oposisi ini muncul kalua penulis tidak menggunakan acuan budaya atau

kepercayaan politik khalayak pembacanya, sehingga akan menggunakan

acuan budaya dan kepercayaan politiknya sendiri.