Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Makna rumah secara sosiologis dan kultural
Dalam pengertian yang luas, rumah bukan hanya sebuah bangunan
(struktural), melainkan juga tempat kediaman yang memenuhi syarat-syarat
kehidupan yang layak, dipandang dari berbagai segi kehidupan masyarakat. Rumah
dapat dimengerti sebagai tempat perlindungan, untuk menikmati kehidupan,
beristirahat dan bersuka ria bersama keluarga. Di dalam rumah, penghuni
memperoleh kesan pertama dari kehidupannya di dalam dunia ini. Rumah harus
menjamin kepentingan keluarga, yaitu untuk tumbuh, memberi kemungkinan untuk
hidup bergaul dengan tetangganya, dan lebih dari itu, rumah harus memberi
ketenangan, kesenangan, kebahagiaan, dan kenyamanan pada segala peristiwa
hidupnya (Frick, 2006: 1).
Rumah merupakan sebuah bangunan, tempat manusia tinggal dan
melangsungkan kehidupannya. Disamping itu rumah juga merupakan tempat
berlangsungnya proses sosialisasi pada saat seorang individu diperkenalkan kepada
norma dan adat kebiasaan yang berlaku di dalam suatu masyarakat. Jadi setiap
perumahan memiliki sistem nilai yang berlaku bagi warganya. Sistem nilai tersebut
berbeda antara satu perumahan dengan perumahan yang lain, tergantung pada
daerah ataupun keadaan masyarakat setempat (Sarwono dalam Budihardjo, 1998 :
148).
10
Setiap daerah di Indonesia memiliki kebudayaan masing-masing,
kebudayaan tersebut adalah sebagai identitas suatu suku maupun daerah. Rumah
yang memiliki kebudayaan disebut rumah adat. Rumah adat adalah bangunan yang
memiliki ciri khas khusus, digunakan untuk tempat hunian oleh suatu suku bangsa
tertentu. Rumah adat merupakan salah satu representasi kebudayaan yang paling
tinggi dalam sebuah komunitas suku/masyarakat.
Dalam konteks kultural perbedaan adat istiadat, suku dan agama juga dapat
berpengaruh pada tipe bangunan rumah yang mereka tinggali. Contohnya rumah
suku sasak di Nusa Tenggara Barat dan rumah adat Bali. Rumah adat Sasak pada
bagian atapnya berbentuk seperti gunungan, menukik ke bawah dengan jarak
sekitar 1,5 sampai 2 meter dari permukaan tanah. Atap dan bubungannya terbuat
dari alang-alang, dindingnya dari anyaman bambu, hanya mempunyai satu
berukuran kecil dan tidak ada jendelanya. Sedangkan Pada bangunan atau arsitektur
tradisional rumah adat Bali selalu dipenuhi hiasan, berupa ukiran, peralatan serta
pemberian warna. Ragam hias tersebut mengandung arti tertentu sebagai ungkapan
keindahan simbol-simbol dan penyampaian komunikasi. Bentuk-bentuk ragam hias
dari jenis fauna juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan dalam
patung.
Rumah berfungsi sebagai wadah untuk lembaga terkecil masyarakat
manusia,yang sekaligus dapat dipandang sebagai “shelter” bagi tumbuhnya rasa
aman atau terlindung. Rumah juga berfungsi sebagai wadah bagi berlangsungnya
segala aktivitas manusia yang bersifat intern dan pribadi. Jadi, rumah tidak semata-
mata merupakan tempat bernaung untuk melindungi diri dari segala bahaya,
gangguan dan pengaruh fisik belakang melainkan juga merupakan tempat bernaung
11
untuk melindungi diri dari segala bahaya, gangguan, dan pengaruh fisik belaka,
melainkan juga merupakan tempat tinggal, tempat berisitirahat setelah menjalani
perjuangan hidup sehari-hari (Ridho, 2001 : 18).
Sedangkan menurut Turner (dalam Jenie, 2001: 45), mendefinisikan tiga
fungsi utama yang terkandung dalam sebuah rumah tempat bermukim, yaitu:
a. Rumah sebagai penunjang identitas keluarga (identity) yang diwujudkan
pada kualitas hunian atau perlindungan yang diberikan oleh rumah.
Kebutuhan akan tempat tinggal dimaksudkan agar penghuni dapat
memiliki tempat berteduh guna melindungi diri dari iklim setempat.
b. Rumah sebagai penunjang kesempatan (opportunity) keluarga untuk
berkembang dalam kehidupan sosial budaya dan ekonomi atau fungsi
pengemban keluarga. Kebutuhan berupa akses ini diterjemahkan dalam
pemenuhan kebutuhan sosial dan kemudahan ke tempat kerja guna
mendapatkan sumber penghasilan.
c. Rumah sebagai penunjang rasa aman (security) dalam arti terjaminnya.
keadaan keluarga di masa depan setelah mendapatkan rumah. Jaminan
keamanan atas lingkungan perumahan yang ditempati serta jaminan
keamanan berupa kepemilikan rumah dan lahan (the form of tenure).
2.1.1 Rumah Tradisional Bugis Sulawesi Selatan
Di Sulawesi Selatan terdapat empat etnik: Bugis, Makassar, Mandar dan
Toraja. Bugis, Makassar, dan Mandar memiliki kesamaan dalam kebudayaan
dan cara hidup sehari-hari. Suku Bigis memiliki populasi terbesar dan mendiami
12
sebagian besar wilayah Sulawesi Selatan. Umumnya orang Bugis tinggal di
rumah panggung dari kayu.
Rumah panggung kayu adalah rumah tradisional Bugis yang berbentuk segi
empat panjang dengan tiang-tiang yang tinggi memikul lantai dan atap.
Konstruksi rumah dibuat secara lepas-pasang (knock down) sehingga bisa
dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Konsep empat persegi panjang ini
bermula dari pandangan hidup masyarakat Bugis pada zaman dahulu tentang
bagaimana memahami alam semesta secara universal.
Sistem struktur dan konstruksi rumah panggung kayu terdiri atas lima
komponen: (1) rangka utama (tiang dan balok induk), (2) konstruksi lantai, (3)
konstruksi dinding, (4) konstruksi atap, (5) konstruksi tangga. Semuanya dibuat
dengan sistem knock down. Tiang, balok induk, dan tangga dibuat dari kayu
kelas satu, sedang komponen konstruksi lainnya dibuat dari kayu kelas dua.
rumah adat bugis memiliki arti filosofi tersendiri bagi masyarakat
pemangkunya antara lain:
a. Dunia Atas (Botting langi) : kehidupan diatas alam sadar manusia yang
terkait dengan kepercayaan yang tidak nampak (suci, kebaikan,sugesti,
sakral). Sebagaimana dalam pemahaman masyarakat pemangkunya (Bugis)
bahwa dunia atas adalah tempat bersemayamnya Dewi padi (Sange-Serri).
Dengan pemahaman ini banyak masyarakat Bugis menganggap bahwa
bagian atas rumah (Botting langi) dijadikan sebagai tempat penyimpanan
padi atau hasil pertanian lainnya. Selain itu biasa juga dimanfaatkan untuk
tempat persembunyian anak-anak gadis yang sedang dipingit.
13
b. Dunia Tengah (Ale-Kawa) : Kehidupan dialam sadar manusia yang terkait
dengan aktivitas keseharian. Ale-Kawa atau badan rumah dibagi menjadi
tiga bagian: 1.) Bagian Depan dimanfaatkan untuk menerima para
kerabat/keluarga serta tempat kegiatan adat. 2.) Bagian Tengah
dimanfaatkan untuk ruang tidur orang-orang yang dituakan termasuk kepala
keluarga (Bapak/ibu). 3.) Ruang Dalam dimanfaatkan untuk kamar tidur
anak-anak.
c. Dunia Bawah (Awa Bola/kolong rumah): Terkait dengan media yang
digunakan untuk mencari rejeki, termasuk alat-alat pertanian, tempat
menenun, kandang binatang dan tempat bermain bagi anak-anak.
2.2 Youtube Sebagai Media Sosial Baru
Media massa telah berubah begitu banyak. Istilah ‘media baru’ telah
digunakan sejak tahun 1960-an dan telah mencakup seperangkat teknologi
komunikasi terapan yang semakin berkembang dan beragam. Ciri utama dari media
baru yang paling utama adalah kesalinghubungan, aksesnya terhadap khalayak
(audiens) individu sebagai penerima maupun pengirim pesan, interaktivisnya,
kegunaannya yang beragam sebagai karakter yang terbuka, dan sifatnya yang ada
‘di mana-mana’ (McQuail, 2011). Perubahan dari media lama ke media baru di
awali dengan penggunaan teknologi komunikasi itu sendiri, dimana dalam media
baru teknologi yang digunakan sudah mulai menggunakan digital. Contohnya pada
surat kabar yang mulai beralih dari media cetak ke media online, pengiriman pesan
yang tadinya menggunakan media kertas kini sudah beralih juga menjadi pesan
elektronik atau biasa disebut email. Internet membuat media baru mampu
14
mengalahkan media lama. Salah satunya pada bidang jaringan komunikasi yang
berbentuk media sosial.
Kemunculan internet telah memberikan banyak pengaruh dan perubahan
pada kehidupan masyarakat. Jika awalnya hubungan komunikasi antar manusia
terbatas ruang dan waktu, maka kehadiran internet telah mengikis batas-batas
tersebut hingga terwujudlah sebuah arus informasi dan komunikasi tanpa batas.
Dengan adanya internet, situasi di sebuah wilayah atau negara bisa dengan cepat
tersebar ke seluruh penjuru dunia secara langsung tanpa harus menunggu lama.
Kemunculan internet secara otomatis turut pula mempengaruhi perkembangan
penggunaan media sosial di masyarakat.
Media sosial adalah media online yang mendukung interaksi sosial. Media
sosial menggunakan teknologi berbasis web yang mengubah komunikasi menjadi
dialog interaktif. Melalui media sosial, setiap orang bisa membuat, menyunting
sekaligus mempublikasikan sendiri konten berita, promosi, artikel, foto, dan video.
Selain lebih fleksibel dan luas cakupannya, lebih efektif, dan efisien, cepat
interaktif dan variatif (Nurudin, 2012).
Menurut Afandi dalam Nurudin (2012) melalui bukunya Media Sosial Baru,
media sosial secara subtansial mengubah cara komunikasi antar organisasi,
masyarakat, serta individu. Adapun jenis – jenis dari media sosial, sebagai berikut:
a. Collaborative Projects
Collaborative projects merupakan suatu media sosial yang dapat
membuat konten. Khalayak pun dapat mengakses konten tersebut secara
15
global. Ada dua subkategori yang masuk dalam Collaborative projects
dalam media sosial, yaitu Wiki dan Bookmark Sosial.
b. Blogs and Microblogs
Blogs adalah sebuah website yang memfasilitasi penyampaian sebuah opini,
pengalaman, atau kegiatan sehari – hari dari penulisnya. Pada
kenyataannya, blogs dan microblogs banyak digunakan oleh perusahaan
untuk memasarkan sebuah produk. Begitu pula para selebritis. Mereka
memanfaatkan blogs sebagai sarana untuk menginformasikan kegiatan-
kegiatan yang mereka lakukan. Beberapa contoh yang memanfaatkan blogs
dan microblogs diantaranya kaskus, Wordpress, Multiply dan Plurk.
c. Content Communities
Content Community merupakan sebuah aplikasi yang bertujuan untuk
saling berbagi foto dan video dengan orang yang dituju, yang termasuk
dalam subkategori Content Community, yaitu Youtube.
d. Sosial Networking
Situs jejaring sosial adalah aplikasi yang memungkinkan pengguna untuk
terhubung dengan pengguna lain melalui profil pribadi atau akun
pribadinya. Profil pribadi mencakup semua jenis informasi termasuk foto,
video, file, audio, dan blog. Situs jejaring sosial pada umumnya memiliki
fitur seperti pesan instan dan email. Selain itu, situs tersebut juga dapat
membantu seseorang untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Dalam
jejaring sosial in terdapat beberapa macam jenis, diantaranya Geocities, Six
Degrees, Friendster, Yahoo Messenger, Facebook, Twitter, Goodreads,
MySpace, Blackberry Messenger, WhatsApp, Google Plus, Instagram,
16
Skype, Gizmo, Camfrog, Yahoo Koprol, Yuwie, Virtual Games Worlds dan
Virtual Sosial Worlds.
Salah satu dari sekian banyak media sosial yang sedang naik daun adalah
Youtube. Youtube merupakan situs berbagi video yang didirikan oleh Steve Shih
Chen, Jawed Karim, Chad Hurley. Mereka medirikan Youtube pada 2005. Pada
Oktober 2006 Youtube diakuisisi oleh Google. Nilainya 1,65 miliar dollar AS
(Rp16,9 Triliun). Pada tahun 2007 Youtube mencapai puncak kesuksesannya dalam
persaingan bisnis di internet setelah memiliki ribuan bahkan jutaan member, baik
yang aktif maupun pasif di seluruh dunia.
Pada tahun 2012 mulai bermunculan Youtuber (sebutan pengelola akun
Youtube), mereka menyebut dirinya Youtuber karena sangat aktif mengunggah
video melalui akun pribadinya. Mulai dari video blog (vlog), dokumentasi jalan-
jalan, kuliner, review suatu barang, dll. Sampai saat ini banyak sekali netizen
berlomba-lomba menjadi Youtuber, mulai dari remaja sampai orang dewasa. Tidak
hanya itu, berbagai macam instansi dan perusahaan besar juga memanfaatkan
Youtube sebagai media promosi utama mereka. Mulai dari iklan pendek sampai
iklan panjang, bahkan beberapa perusahaan brand tertentu membuat film pendek
dan juga web series (film pendek yeng memiliki episode).
2.3 Film Sebagai Media Komunikasi Massa
Film dikatakan sebagai media komunikasi massa karena merupakan bentuk
komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan
komunikator dan komunikan secara massal, dalam arti berjumlah banyak, tersebar
dimana-mana, khalayaknya heterogen dan anonym, dan menimbulkan efek
17
tertentu. Film mampu menjangkau populasi dalam jumlah besar dengan cepat,
bahkan diwilayah pedesaan. Sebagai media massa, film merupakan bagian dari
respons terhadap penemuan waktu luang, waktu libur dari kerja, dan sebuah
jawaban atas tuntutan untuk cara menghabiskan waktu luang keluarga yang sifatnya
terjangkau. (Mcquail, 2011)
Menurut Himawan Pratista, film secara umum dapat dibagi atas dua unsur
pembentuk yaitu, unsur naratif dan unsur sinematik. Kedua unsur tersebut saling
berkesinambungan dan berinteraksi satu sama lain untuk membentuk sebuah film.
Unsur naratif berhubungan dengan aspek cerita atau tema film (tokoh, masalah,
konflik). Sedangkan unsur sinematik merupakan aspek-aspek teknis dalam
produksi sebuah film (sinematografi, editing, suara). Dalam beberapa kasus, sebuah
film bisa saja tanpa menggunakan unsur sama sekali seperti dalam film era bisu
yang lebih disebabkan karena keterbatasan teknologi (Pratista, 2008: 1-2).
Film dalam pandangan ilmu komunikasi merupakan media yang telah
diuraikan dalam bentuk dramaturgi (tema, karakter, plot), akting dan dialog para
tokoh dan pemain. Sebagai penggunaan film sebagai media untuk berkomunikasi,
dalam sebuah film pasti ada suatu pesan yang ingin disampaikan kepada penonton.
Cara berkomunikasinya film dengan media elektronik lainya terdapat perbedaan
yang dimana film akan menggunakan proses komunikasi atau menyampaikan
pesannya melalui tema, cerita, dan konflik dan dikemas dalam bentuk audio visual,
yang pada akhirnya mengkomunikasikan suatu pesan tersebut secara dramatik.
Pada dasarnya film dapat dikelompokan ke dalam dua pembagian dasar,
yaitu kategori film cerita dan non cerita. Pendapat lain menggolongkan menjadi
18
film fiksi dan non fiksi. Film cerita adalah film yang diproduksi berdasarkan cerita
yang dikarang, dan dimainkan oleh aktor dan aktris. Pada umumnya film cerita
bersifat komersial, artinya dipertunjukan di bioskop dengan harga karcis tertentu
atau diputar di televisi dengan dukungan sponsor iklan tertentu. Film non cerita
adalah film yang mengambil kenyataan sebagai subyeknya, yaitu merekam
kenyataan yang terjadi dalam kehidupan manusia tanpa adanya rekayasa.
Walaupun media film telah dinomorduakan terhadap televisi, film juga
menjadi lebih menyatu dengan media lain, terutama penerbitan buku, musik pop,
dan televisi. Dalam buku McQuail, (Jowett dan Linton, 1980) mengatakan film
telah mendapatkan peran yang besar, walaupun berkurangnya khalayak mereka
sendiri sebagai sebuah pajangan bagi media lain dan sumber kebudayaan yang
darinya menghasilkan buku, kartun strip, lagu, dan bintang televisi, serta serial.
Oleh karena itu film kemudian dikompensasikan oleh para penonton film domestik
yang dijangkau oleh televisi, rekaman digital, kabel dan saluran satelit (McQuail,
2011: 37).
2.4 Film Sebagai Karya Seni
Film sebagai karya seni, merupakan hasil dari proses kreatif berbagai unsur
diantaranya seni musik, seni rupa, seni suara, teater serta teknologi dengan kekuatan
gambar sebagai bentuk visualisasinya. Film masuk ke dalam jajaran seni yang
ditopang oleh industri hiburan yang menawarkan impian kepada penonton yang
ikut menunjang lahirnya karya film (Baksin, 2003: 3).
Pengertian film itu juga meluas menurut Undang-Undang Perfilman No. 6
tahun 1992, Bab 1, Pasal 1, yang ditulis pada buku Askurifai Baksin (2003: 6),
19
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan film adalah karya cipta seni dan
budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang dengar yang dibuat
berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita selluloid, pita video,
piringan video dan atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam bentuk,
jenis, ukuran, melalui kimiawi, proses elektronik atau proses lainnya atau tanpa
suara yang dapat dipertunjukkan dan atau ditayangkan dengan sistem proyeksi
mekanik, elektronik dan atau lainnya.
2.5 Film Sebagai Representasi Budaya
Pada era globalisasi ini kebudayaan yang ada mulai tergeser karena
pesatnya perkembangan teknologi. Tergesernya budaya setempat dari
lingkungannya disebarkan oleh kemunculannya sebuah kebudayaan baru yang
konon katanya lebih atarktif, fleksibel dan mudah dipahami sebagian masyarakat,
bahkan masyarakat rendah status sosianya dapat dengan mudah menerapkannya
dalam aktifitas kehidupan.
Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk
mengkomunikasikan tentang suatu realita yang terjadi dalam kehidupan seharihari,
film memiliki realitas yang kuat salah satunya menceritakan tentang realitas
masyarakat. Film sebagai hasil budaya dan alat ekpresi kesenian. Film sebagai
komunikasi massa merupakan gabungan dari berbagai teknologi seperti fotografi
dan rekaman suara, kesenian baik seni rupa dan seni teater sastra dan arsitektur serta
seni musik.
Film dapat didefinisikan sebagai representasi budaya, film sebagai karya
seni budaya yang terwujud berdasarkan kaidah sinematografi merupakan fenomena
20
kebudayaan. Hal itu bermakna bahwa film merupakan hasil proses kreatif warga
negara yang dilakukan dengan memadukan keindahan, kecanggihan, teknologi,
serta sistem nilai, gagasan, norma, dan tindakan manusia dalam bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Melalui film sebenarnya kita banyak belajar tentang budaya. Baik itu
budaya masyarakat dimana kita hidup didalamnya, atau bahkan budaya yang sama
sekali asing buat kita. Film digunakan sebagai cerminan untuk mengaca atau untuk
melihat bagaimana budaya bekerja atau hidup di dalam suatu masyarakat. Sehingga
kita dapat mengetahui bagaimana budaya itu bekerja atau hidup di dalam suatu
masyarakat.
Ketika kita melihat film Ali Topan maka kita pada dasarnya sedang melihat
cerminan dari budaya remaja yang terjadi pada era dimana Ali Topan itu hidup.
Dan ketika kita melihat film Ada Apa Dengan Cinta maka kita juga sedang melihat
representasi budaya remaja era Dian Sastro dan Nicolas Saputra. Sehingga film
sebagai representasi budaya, film tidak hanya mengkonstruksikan nilai-nilai
budaya tertentu didalam dirinya sendiri, tapi juga tentang bagaimana nilai-nilai
tersebut diproduksi dan bagaimana nilai itu dikonsumsi oleh masyarakat yang
menyaksikan film tersebut. Sehingga terjadi proses pertukaran kode-kode
kebudayaan dalam tindakan menonton film sebagai representasi budaya.
2.6 Istilah Film Pendek
Dalam buku Mari Membuat Film Panduan Menjadi Produser (2002: 13), Heru
Effendy mengatakan film pendek adalah film yang berdurasi pendek, biasanya di
bawah 60 menit. Di banyak negara seperti Jerman, Australia, Kanada, dan Amerika
21
Serikat, film pendek ini dijadikan laboratorium eksperimen dan batu loncatan bagi
seseorang/sekelompok orang untuk kemudian memproduksi film cerita panjang.
Jenis film ini banyak dihasilkan oleh para mahasiswa jurusan film atau
orang/kelompok yang menyukai dunia film dan ingin berlatih membuat film dengan
baik. Sekalipun demikian, ada juga yang memang mengkhususkan diri untuk
memproduksi film pendek, umumnya hasil produksi ini dipasok ke rumah-rumah
produksi atau saluran televisi.
Ditambahkan dalam buku Membuat Film Indie itu Gampang (2003: 10-16),
Askurifai Baksin mengutip pernyataan Gotot Prakoso dalam buku Ketika Film
Pendek Bersosialisasi. Gotot Prakosa banyak memberikan gambaran sejarah dan
perkembangan film independen di Indonesia, yang oleh Gotot disebutnya sebagai
film pendek. Bagi Gotot, film pendek merupakan film yang durasinya pendek,
tetapi dengan kependekan waktu tersebut para pembuatnya semestinya bisa lebih
selektif mengungkapkan materi yang ditampilkan. Dengan demikian, setiap “shot”
akan memiliki makna yang cukup besar untuk ditafsirkan oleh penontonnya. ketika
pembuat film terjebak ingin mengungkapkan cerita saja, film pendek seperti ini
hanya akan menjadi film panjang yang dipendekkan karena hanya terikat oleh
waktu yang pendek.
Oleh kalangan akademisi dan seniman film Institut Kesenian Jakarta (IKJ),
film independen memang lebih banyak disebut sebagai film pendek. Seperti diakui
Gotot, soal penamaan istilah ini memang beragam. Ada orang menyebut film indie,
independen, dan juga film pendek. Bahkan kalangan seniman film Yogyakarta, film
semacam ini disebut sebagai film “wayang”. Istilah “wayang” ini diadopsi dari
pengertian film masa lampau yang menyebut bintang film (artis) sebagai “anak
22
wayang” sehingga jika jenis film ini dianggap sebagai semacam wacana, Gotot
membiarkan peristilahan itu berkembang sebebas-bebasnya. Jika hanya dipatok
dengan istilah indie, nanti bisa jadi orang akan menghubungkannya dengan film
masa lampau Indonesia. Kalau menyebut independen, bisa jadi orang akan
mempertanyakan independen dalam soal apa. Sampai saat ini, Gotot yang sering
menjadi juri film pendek di tingkat nasional ataupun internasional, masih
menggunakan istilah film pendek.
Memang benar saat ini masih banyak yang beranggapan bahwa film pendek
adalah film independen, dengan anggapan saat pembuatan film pendek atau
independen tersebut tanpa adanya bantuan baik dana ataupun alat produksi.
Memang sulit untuk membedakan istilah penyebutan film pendek dengan film
independen tapi pada dasarnya film pendek adalah film yang berdurasi dibawah 60
menit.
Seiring perkembangan festival film pendek atau independen saat ini,
membuat film pendek sering menjadi topik yang hangat utuk dibicarakan atau
bahkan diproduksi. Sampai saat ini sudah banyak film pendek yang bekerjasama
dengan instansi atau lembaga-lembaga untuk dijadikan sebagai media publikasi
instansi tertentu. Karena menurut lembaga atau instansi tersebut dengan
menggunakan media film pendek sangat efektif dalam mempromosikan produknya.
Sebab pada film yang memiliki cerita kokoh pasti punya kekuatan besar untuk
mengubah persepsi dan perilaku penontonnya.
Sehingga dapat dikatakan film pendek sudah bisa “dijual” seperti film-film
yang diputar dibioskop-bioskop. Dijual dalam hal ini maksudnya kita sebagai
23
pembuat film bisa menjual jasa dalam membuat film untuk kepentingan umum,
bukan lagi hanya membuat film sebagai karya seni melainkan untuk menghasilkan
uang dan itulah kenyataannya. Semua itu masuk dalam perkembangan film dan
berjalan dengan seharusnya. Kita hanya bisa berharap semoga perfilman di
Indonesia ini baik film pendek, animasi, film panjang, dll tetap bisa kita lihat,
berkembang dan lebih kreatif.
2.7 Penyampaian Pesan dalam Film
Penyampaian pesan atau sering kita sebut proses komunikasi dalam film itu
hampir sama dengan komunikasi yang kita lakukan sehari-hari dengan orang lain,
tapi bedanya kalau kita komunikasi sehari-harinya itu menggunakan media udara,
telepon genggam, sedangkan di film medianya adalah film itu sendiri.
Menurut Harold D. Lasswell dalam buku Komunikasi Massa Suatu
Pengantar Edisi Revisi (Ardianto, 2007: 28) mengungkapkan suatu ungkapan yang
sangat terkenal dalam teori dan penelitian komunikasi massa. Ungkapan tersebut
merupakan suatu formula dalam menentukan suatu proses komunikasi massa
dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: who (siapa), says what
(berkata apa), in which channel (melalui saluran apa), to whom (kepada siapa) dan
with what effect (dengan efek apa).
Berdasarkan formula Harold D. Lasswell tersebut kita bisa jabarkan proses
penyampaian pesan yang terjadi dalam sebuah film, yakni : Who, siapa disini bisa
kita sebut para pembuat film. Says what, berkata apa maksudnya adalah pesan,
pesan yang disampaikan oleh komunikatornya tadi. In which channel, saluran atau
media, media yang digunakan dalam film adalah film itu sendiri dan film dianggap
24
sebagai media penyalur pesan. To whom, kepada siapa pesan film itu disampaikan
atau siapa penerima pesan film itu. Dan yang terakhir With what effect, efek apa
yang ditimbulkan setelah pesan film itu sampai, terjadi perubahan sikap,
pengetahuan, atau perasaan.
Pesan (message) terdiri dari dua aspek, yakni isi atau isi pesan (the content
of message) dan lambang (symbol) untuk mengekspresikannya. Lambang utama
pada media radio adalah bahasa lisan; pada surat kabar bahasa tulisan; ada juga
gambar; pada film dan televisi lambang utama adalah gambar. Penataan pesan
bergantung pada media sifat yang berbeda antara satu sama lainnya. Disini dimensi
seni tampak berperan. Tanpa dimensi seni menata pesan, tak mungkinlah media
surat kabar, majalah, radio, televisi, film dapat memikat perhatian dan memukau
khalayak, yang pada gilirannya mengubah sikap, pandangan dan perilaku mereka
(Effendy, 2003: 312-313).
Dalam film yang menjadi komunikator bisa berasal dari script writer atau
penulis naskah, lalu dikembangkan oleh sutradara dan bisa pula dikembangkan
kembali oleh seorang editor. Pesan dalam film biasanya tergantung dalam
pengkategorian genre film tersebut. Seperti yang peneliti jelaskan di latar belakang,
genre dalam film itu banyak sekali kategorinya mulai dari komedi, action, horor,
drama. Pesan yang disampaikan dalam film kebanyakan berbentuk dialog atau
percakapan dalam film, adapula dalam bentuk gambar, yang menunjukkan sebuah
tempat, waktu dan lingkungan adegan.
25
2.8 Makna Film dalam Perspektif Teori Resespsi
Film adalah salah satu media komunikasi massa yang sangat besar
pengaruhnya terhadap masyarakat. Film juga merupakan bentuk pesan yang terdiri
dari berbagai tanda dan simbol yang membentuk sebuah sistem makna sehingga
bisa diinterpretasikan oleh orang secara berbeda-beda, tergantung kepada referensi
dan kemampuan berpikir orang tersebut. Sebagai sebuah media, film tentunya
mewakili pandangan-pandangan yang dimiliki oleh kelompok tertentu, termasuk
ideologi serta gagasan yang dibawa oleh kelompok tersebut.
Studi resepsi adalah studi yang terfokus pada bagaimana pemaknaan
audience terhadap teks media yang disajikan oleh media massa. Studi resepsi dilihat
sebagai kajian terhadap khalayak yang sebenarnya ingin menempatkan khalayak
tidak semata pasif namun aktif dan bisa menghasilkan makna sendiri dari wacana
yang ditawarkan oleh teks media. Sedangkan film merupakan media campuran dari
medium audio dan visual, karena film merupakan medium audio visual, suarapun
mengambil peranan didalamnya, apakah itu suara manusia (dialog, monolog), suara
musik atau hanya sound effect. Suara manusia tentu karena pelaku-pelaku film
adalah manusia. Sedangkan musik dibutuhkan untuk memperkuat irama film.
(Eneste, 1991). Makna dari pendekatan resepsi yaitu untuk menemukan kontruksi
makna yang berasal dari media yang disampaikan kepada audiens. Sedangkan film
sendiri memiliki makna sebagai media yang memiliki arti dan ditafsirkan sesuai
dengan kontek dan budaya penerima (audiens).
2.9 Memaknai Pesan Film dengan Teori Resepsi
26
Studi resepsi ialah studi yang mencoba memberikan sebuah makna atas
pemahaman teks media (cetak, elektronik, internet) dengan memahami bagaimana
karakter teks media dibaca oleh khalayak. Individu yang menganalisis media
melalui kajian reception memfokuskan pada pengalaman dan pemirsaan khalayak
(penonton/pembaca), serta bagaimana makna diciptakan melalui pengalaman
tersebut. Konsep teoritik terpenting dari reception studies adalah bahwa teks media
penonton/ pembaca atau program televisi bukanlah makna yang melekat pada teks
media tersebut, tetapi makna diciptakan dalam interaksinya antara khalayak
(penonton/ pembaca) dan teks. Dengan kata lain, makna diciptakan karena
menonton atau membaca dan memproses teks media.
Studi resepsi merupakan kajian alternative dari tradisi khalayak. Berbeda
dengan riset khalayak yang lain, pemanfaatan studi resepsi sebagai pendukung
dalam kajian terhadap khalayak sesungguhnya hendak menempatkan khalayak
tidak semata pasif, namun dilihat dari agen kultural (cultural agent) yang memiliki
kuasa tersendiri dalam hal menghasilkan majna dari berbagai wacana yang
ditawarkan media (Mcquail, 2011).
Dalam bukunya, McQuail (2010: 73) menjelaskan bahwa:
“The essence of the ‘reception approach’ is to locate the attribution
and contraction of meaning (derived from media) with the receiver. Media
messages are always open and ‘polysemic’ having multiple meaning and
are interpreted according to the context and the culture of receivers. Among
the forerunners of reception analysis was a persuasive variant of critical
theory formulated by Stuart Hall (1974/1980) which emphasized the stage
of transformation trought which any media message passes on the way from
its origins to its reception and interpretation. It drew from, but also
challenged, the basic principles of structuralism and semiology which
presumed that any meaningful ‘message’ is 33 constructed from signs
which can have denotative and connotative meanings, depending on the
choices made by encoder.”
27
“Esensi dari ‘pendekatan resepsi’ adalah untuk menemukan atribusi dan
kontruksi makna (berasal dari media) dengan penerima. Pesan media selalu terbuka
dan polysemic memiliki beberapa arti dan ditafsirkan sesuai dengan konteks dan
budaya penerima. Diantara pelopor analisis resepsi adalah varian persuasif teori
kritis yang dirumuskan oleh Stuart Hall (1974/1980) yang menekankan tahap
trought transformasi yang melewati setiap pesan media dalam perjalanan dari asal
usulnya ke resepsi dan interpretasi. Hal menarik dari resepsi, tetapi juga menantang,
prinsip-prinsip dasar strukturalisme dan semiologi yang diduga bahwa ‘pesan’
apapun yang berarti dibangun dari tanda-tanda yang dapat memiliki makna
denotatif dan konotatif, tergantung pada pilihan yang dibuat oleh encoder.”
Berkaitan dengan penerimaan dan pemaknaan pesan media oleh audiens,
menurut Stuart Hall dalam Eriyanto (2000: 9), terdapat tiga tipe decoding yang bisa
dilakukan oleh khalayak, yaitu Dominant, Negotiated, dan Oppositional:
1. Dominant Hegemonic Position
Penulis menggunakan kode-kode umum sehingga dapat ditafsirkan dengan
baik oleh pembacanya. Artinya, tida ada perbedaan penafsiran antara
penulis dan pembaca.
2. Negotiated Code/position
Kode yang ditransformasikan kemudian ditafsirkan secara terus menerus
oleh kedua belah pihak. Namun, pembaca akan menerima kode tersebut
secara umum dengan menggunakan kepercayaan dan keyakinannya dan
dibandingkan dengan kode penulis.