Upload
vukhue
View
229
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kopi Robusta (Coffea canephora Pierre ex A. Froehner)
Tanaman kopi merupakan salah satu anggota dari familia Rubiaceae yang
banyak dibudidayakan di negara tropis termasuk Indonesia. Kopi arabika (Coffea
arabica L.) merupakan spesies kopi yang pertama kali dibudidayakan di
Indonesia pada sekitar abad ke-17 (Prastowo et al., 2006). Dua abad kemudian
kopi arabika mengalami kemunduran karena serangan penyakit karat daun
(Hemileia vastatrix) sehingga perkebunan kopi mulai membudidayakan kopi
liberika (C. liberica Bull ex. Hiern). Akan tetapi, kopi liberika juga tidak tahan
terhadap serangan penyakit karat daun, sehingga pada awal abad 20 mulai
dibudayakan kopi robusta (C. canephora var. Robusta) yang tahan terhadap
penyakit karat daun. Sampai saat ini, perkebunan kopi di Indonesia didominasi
oleh kopi jenis robusta dan telah diproduksi massal terutama di Jawa dan Sumatra
(van Steenis et al., 2008).
2.1.1 Morfologi Kopi
Kopi merupakan tanaman perdu yang memiliki batang kokoh dan kuat
dengan tinggi tanaman bisa mencapai 8 - 12 meter. Tanaman kopi memiliki
sistem perakaran tunggang yang tidak mudah rebah dengan kedalaman akar utama
kurang dari 1 meter. Akar lateral tumbuh dan berkembang dipermukaan tanah
dengan panjang yang dapat mencapai 3 - 4 meter (Gambar 2.1.A; van der
Vossen et al., 2000).
Pengaruh Substrat Tanam..., Isnaeni Nur Hasanah, FKIP UMP, 2016
10
Gambar 2.1 (A) Akar tunggang pada kopi ; (B) batang kopi; (C) daun kopi; (D)
bunga kopi ; (E) buah kopi (plantvillage.org); (F) biji kopi
(Prawirodirgo et al., 2005)
Tanaman kopi memiliki batang berkayu dengan sistem percabangan dua
arah, yaitu cabang yang pertumbuhannya mengarah ke atas, biasa disebut cabang
orthotrop dan cabang yang pertumbuhannya mengarah ke samping atau horizontal
dan biasa disebut cabang plagiotrop. Cabang plagiotrop berfungsi sebagai tempat
tumbuh bunga dan buah (Gambar 2.1.B; Kuit et al., 2004).
Tanaman kopi memiliki daun tunggal berbentuk memanjang (oblongus)
dengan ukuran panjang berkisar antara 20 - 30 cm dan lebar antara 10 - 16 cm
(Gambar 2.1.C). Pangkal daun membulat atau berbentuk baji dengan ujung daun
A B C
D E F
Pengaruh Substrat Tanam..., Isnaeni Nur Hasanah, FKIP UMP, 2016
11
meruncing dan tepi daun rata. Permukaan helaian daun sangat mengkilat dengan
permukaan daun bagian atas berwarna hijau gelap dan permukaan daun bagian
bawah berwarna hijau lebih terang (van der Vossen et al., 2000). Daun kopi
memiliki tangkai daun yang pendek dengan panjang sekitar 1 cm (van Steenis et
al., 2008).
Tanaman kopi memiliki bunga majemuk dengan anak payung terdiri dari
3-5 kuntum bunga sehingga membentuk gubahan semu yang berbunga banyak.
Setiap anak payung pada pangkalnya terdapat 2 daun penumpu berbentuk segitiga
dengan panjang sekitar 5 mm (van Steenis et al., 2008). Kopi memiliki bunga
berwarna putih dan berbau harum berbentuk tabung dengan panjang tabung
mahkota antara 15 - 18 mm dengan daun mahkota antara 5 - 7 buah (Gambar
2.1.D). Benang sari muncul di antara daun mahkota dengan panjang kepala sari
sekitar 5 mm dan tangkai sari 3 – 4 mm (van Steenis et al., 2008). Posisi tangkai
putik menjulang jauh di luar tabung mahkota dengan dua cabang yang
panjangnya sekitar 5 mm (Backer & Bakuizen van den Brink, 1965). Kedudukan
tangkai putik yang menjulang tinggi dari posisi benang sari akan menyebabkan
kemungkinan sulitnya benang sari jatuh di kepala putik, sehingga pada umumnya
kopi robusta melakukan penyerbukan silang (Sudarka et al, 2009). Selain itu, kopi
robusta memiliki sifat self-incompatibility yaitu apabila terjadi penyerbukan
sendiri, maka buluh sari tidak terbentuk sehingga tidak terjadi pembuahan (van
der Vossen et al., 2000).
Setelah terjadi penyerbukan dan pembuahan akan terbentuk buah yang
membutuhkan waktu sekitar 6 sampai 11 bulan untuk masak (Pohlan & Janssens,
Pengaruh Substrat Tanam..., Isnaeni Nur Hasanah, FKIP UMP, 2016
12
2009). Buah kopi tergolong buah batu dengan bentuk bulat telur bola (ovoid-
globose) dengan panjang 8 - 16 mm dan diameter kurang lebih 15 - 18 mm (van
der Vossen et al., 2000). Ketika belum masak (masih muda), buah kopi berwarna
hijau, sedangkan jika masak buah kopi berwarna merah (Gambar 2.1.E). Buah
kopi terdiri atas dinding buah (perikarp) dan biji. Dinding buah terdiri atas 3
bagian yaitu lapisan kulit luar (eksokarp), lapisan daging buah (mesokarp) dan
lapisan kulit tanduk (endokarp) yang biasanya mengandung dua buah biji
(Gambar 2.1.F). Biji kopi berbentuk elips dengan panjang antara 8-12 mm dan
pada umumnya dalam satu buah kopi mengandung dua butir biji (van der Vossen
et al., 2000).
2.1.2 Spesies Kopi
Pada saat ini telah ditemukan sekitar 80 spesies kopi, namun hanya dua
spesies yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan diperdagangkan secara komersil
yaitu kopi arabika (Coffea arabica L.) dan kopi robusta (C. canephora Pierre var
robusta; van Steenis et al., 2008). Sekitar 70% produksi kopi dunia dikuasai oleh
kopi arabika yang sebagian besar berasal dari Amerika Latin, Afrika bagian
tengah dan timur, India, Indonesia serta Papua Nugini, sedangkan 30% pasar kopi
dunia merupakan kopi robusta yang berasal Afrika dan Asia (van der Vossen et
al., 2000).
Kopi arabika (Gambar 2.2.A) pertama kali ditemukan di Ethiopia pada
abad ke-12 dan mulai dibudidayakan di Indonesia pada awal abad 17. Kopi
arabika merupakan salah satu jenis kopi yang dapat tumbuh baik pada temperatur
antara 18 - 22 oC dengan temperatur maksimal tidak melebihi 30
oC. Di daerah
Pengaruh Substrat Tanam..., Isnaeni Nur Hasanah, FKIP UMP, 2016
13
khatulistiwa (0o
LU - 7o
LS) seperti Indonesia dan Malaysia, kopi arabika tumbuh
dengan baik pada daerah dengan ketinggian antara 1000 - 2100 meter di atas
permukaan laut (dpl), sedangkan di daerah sub tropis (9o
LU - 23o
LU & 9o
LS -
23o
LS ) seperti di India, Vietnam, Thailand dan Amerika Selatan, kopi arabika
dapat tumbuh dengan baik di dataran yang lebih rendah dengan ketinggian 300 -
1100 m dpl (van der Vossen et al., 2000).
Secara morfologi, buah kopi arabika tergolong buah batu dengan bentuk
lonjong (ovoid-ellipsoidal) dengan panjang 12 - 18 mm dan diameter 8 - 15 mm
(van der Vossen et al., 2000). Di dalam satu buah kopi biasanya mengandung dua
biji kopi dengan berat sekitar 0,45 - 0,5 gram per biji (van der Vossen et al.,
2000). Kopi arabika memiliki aroma dan rasa yang enak sehingga memiliki nilai
jual yang tinggi dibanding kopi jenis lainnya (50 - 100% lebih tinggi dibanding
kopi robusta; van der Vossen et al., 2000).
Kopi Robusta (Gambar 2.2.B) pertama kali ditemukan di Kongo pada
akhir abad 18 dan mulai dibudidayakan di Indonesia abad 19 (van der Vossen et
al., 2000). Jenis kopi ini mampu beradaptasi dengan baik pada iklim yang hangat
serta dapat tumbuh subur pada ketinggian 100 – 800 meter di atas permukaan laut
(van der Vossen et al., 2000). Kopi robusta sudah banyak dibudidayakan di
Indonesia seperti di Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung dan Aceh (van der
Vossen et al., 2000).
Secara morfologi, kopi robusta tergolong buah batu yang berbentuk bulat
telur bola (ovoid-globose) memiliki biji yang berukuran lebih pendek
dibandingkan dengan kopi arabika (8 - 16 mm) namun memiliki diameter yang
Pengaruh Substrat Tanam..., Isnaeni Nur Hasanah, FKIP UMP, 2016
14
lebih besar (15 – 18 mm; van der Vossen et al., 2000). Pada umumnya kopi
robusta memiliki ukuran lebih ringan dibandingkan dengan kopi arabika (0,4 g per
biji kopi; van der Vossen et al., 2000). Kopi robusta memiliki rasa yang lebih
pahit dengan memiliki kandungan kafein hampir dua kali lebih tinggi
dibandingkan dengan kopi arabika, yaitu sekitar 1,5% - 3,3 % dibandingkan
dengan hanya 0,6% - 1,7 % (van der Vossen et al., 2000).
(Ciptaningsih, 2012).
Gambar 2.2 (A) kopi arabika (kew.org), (B) kopi robusta (ecofriendlycoffee.org)
dan (C) perbedaan biji kopi arabika dan robusta (Ciptaningsih,
2012)
2.1.3 Manfaat Kopi
Kopi merupakan tanaman perkebunan yang dibudidayakan untuk
dimanfaatkan bijinya. Namun demikian, bagian tanaman lain juga dapat
bermanfaat bagi manusia seperti batang yang banyak dimanfaatkan untuk kayu
bakar maupun arang (Gambar 2.3.A), daun dapat dimanfaatkan untuk minuman
seduh (Siringoringo, 2012), maupun kulit buah kopi yang dapat dimanfaatkan
untuk pakan ternak (Gambar 2.3.B) serta kompos organik (Widyotomo, 2012).
A C B
Pengaruh Substrat Tanam..., Isnaeni Nur Hasanah, FKIP UMP, 2016
15
Biji kopi merupakan bagian tanaman kopi yang memiliki manfaat paling
tinggi dibandingkan dengan bagian tanaman yang lain. Biji kopi yang telah
dikeringkan dapat dibuat bubuk dan digunakan sebagai bahan dasar pembuatan
berbagai olahan makanan seperti dalam industri makanan ringan dan permen serta
berbagai olahan minuman (Gambar 2.3.C; Murtafiah, 2012). Bubuk kopi juga
dapat digunakan untuk menghaluskan dan melembabkan kulit (Gambar 2.3.D;
Hertina & Dwiyanti, 2013).
Dalam bidang farmasi, biji kopi dapat digunakan untuk menurunkan resiko
diabetes mellitus (Salazar-Martinez et al., 2004) serta menurunkan resiko kanker
(Ganmaa et al., 2008). Kemampuan biji kopi dalam bidang kesehatan tersebut
karena biji kopi mengandung senyawa kafein dan asam klorogenat. Senyawa-
senyawa tersebut dikenal sebagai antioksidan yang dapat melawan molekul-
molekul radikal bebas penyebab berbagai penyakit (Yusmarini, 2011).
Pengaruh Substrat Tanam..., Isnaeni Nur Hasanah, FKIP UMP, 2016
16
Gambar 2.3 (A) Arang batang kopi, (B) kulit biji kopi sebagai pakan ternak, (C)
olahan makanan dan minuman terbuat dari kopi (dekuliner.com), (D)
bubuk kopi dapat digunakan sebagai masker wajah (Hertina &
Dwiyanti, 2013)
2.2 Budidaya Kopi dan Permasalahannya
2.2.1 Produksi Kopi Dunia dan Indonesia
Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan utama di dunia. Hal
tersebut dapat terlihat dari total produksi kopi di dunia pada tahun 2013 sebesar
8,7 juta ton yang dihasilkan dari lahan seluas 10 juta hektar dan tersebar di 78
negara (FAO, 2015).
Di Indonesia, kopi merupakan salah satu komoditas ekspor utama dari sub
sektor perkebunan. Pada tahun 2013, total ekspor komoditas perkebunan
Indonesia mencapai 27,6 milyard USD (BPS, 2014). Dari angka tersebut, kopi
A
D C
B
Pengaruh Substrat Tanam..., Isnaeni Nur Hasanah, FKIP UMP, 2016
17
memiliki kontribusi sebesar 3,9 % (1,1 milyard USD). Jika dibandingkan dengan
tanaman perkebunan lainnya, ekspor kopi tersebut menempati urutan ketiga
terbesar setelah kelapa sawit dan karet. Pada tahun 2013, kelapa sawit mampu
menghasilkan devisa mencapai 17,6 milyard USD, sedangkan karet mampu
menghasilkan devisa sebesar 6,9 milyard USD (BPS, 2014).
Peran kopi dalam perekonomian di Indonesia juga mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun. Hal tersebut dapat terlihat dari total ekspor kopi Indonesia
meningkat hampir dua kali lipat dalam kurun waktu 6 tahun. Pada tahun 2007,
total ekspor kopi Indonesia mencapai hampir 600 juta USD dan meningkat
menjadi hampir 1,2 milyard USD pada tahun 2013 (BPS, 2014).
Nilai ekspor kopi yang tinggi tersebut didukung oleh produksi kopi di
Indonesia yang tinggi juga. Total produksi kopi di Indonesia pada tahun 2013
sebesar 700 ribu ton per tahun (FAO,2015). Hal tersebut menempatkan Indonesia
sebagai negara produsen kopi terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dengan total
produksi mencapai 2,9 juta ton dan Vietnam dengan total produksi mencapai 1,4
juta ton (Gambar 2.4; FAO, 2015).
Pengaruh Substrat Tanam..., Isnaeni Nur Hasanah, FKIP UMP, 2016
18
Gambar 2.4 Produksi kopi 5 negara penghasil kopi terbesar di dunia pada tahun
2013 (FAO, 2015)
Tingginya produksi kopi Indonesia tersebut berkaitan erat dengan lahan
perkebunan kopi yang luas. Sejak tahun 2009 sampai sekarang, luas perkebunan
kopi di Indonesia mencapai hampir 1,3 juta Ha. Hal tersebut menempatkan
Indonesia sebagai negara dengan perkebunan kopi terluas kedua di dunia setelah
Brazil dengan luas areal perkebunan 2 juta Ha (FAO, 2015).
2.2.2 Permasalahan Budidaya Kopi di Indonesia
Indonesia dikenal sebagai negara penghasil kopi utama di dunia, namun
dalam hal besarnya produksi biji untuk setiap hektar lahan per tahunnya tergolong
rendah. Pada tahun 2013, produktivitas kopi di Indonesia hanya mencapai sekitar
500 kg biji kopi per hektar lahan setiap tahunnya. Jika dibandingkan dengan
negara lain, angka tersebut hanya seperempat produktivitas lahan kopi di negara
Malaysia, Vietnam, Sierra Leone, ataupun China dengan produktivitas mencapai
0
500000
1000000
1500000
2000000
2500000
3000000
Brazil Vietnam Indonesia Colombia India
Pro
du
ksi (
ton
)
Negara
Pengaruh Substrat Tanam..., Isnaeni Nur Hasanah, FKIP UMP, 2016
19
sekitar 2,4 ton biji kopi untuk setiap hektar lahan per tahunnya (Gambar 2.5). Hal
tersebut menempatkan Indonesia di urutan ke- 38 dari 78 negara penghasil kopi di
dunia dalam hal produktivitas lahan kopi (FAO, 2015).
Gambar 2.5 Produktivitas perkebunan kopi Indonesia dibandingkan dengan
empat negara dengan produktivitas kopi tertinggi di dunia (FAO,
2015).
Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya produktivitas
lahan kopi di Indonesia adalah teknik budidaya yang masih sederhana seperti
penanaman, pemupukan, pemangkasan, penaungan dan pengendalian hama
penyakit (Narulita et al., 2014), kondisi iklim maupun lingkungan yang kurang
cocok di beberapa daerah (Simanungkalit, 2001), minimnya sarana dan prasarana
pendukung seperti mesin pengolahan dan pengemasan (Narulita et al., 2014),
maupun sebagian perkebunan memiliki pohon kopi dengan umur yang sudah
relatif tua yaitu lebih dari 10 tahun (Simanungkalit, 2001). Faktor lain yang
diduga menyebabkan rendahnya produktivitas kopi di Indonesia adalah
terbatasnya penggunaan bibit kopi yang unggul (Priyono, 2010).
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
2009 2010 2011 2012 2013
Pro
du
ktiv
itas
ko
pi (
Kg
biji
/ H
a la
han
)
Tahun
Sierra Leone
China
Vietnam
Indonesia
Malaysia
Pengaruh Substrat Tanam..., Isnaeni Nur Hasanah, FKIP UMP, 2016
20
2.2.3 Pembibitan Kopi di Indonesia
Petani di Indonesia pada umumnya membudidayakan tanaman kopi
dengan menggunakan bibit yang berasal dari biji (Priyono, 2010). Biji
dikecambahkan selama 6 - 8 minggu, kemudian dipelihara selama 7 - 15 bulan
untuk menghasilkan benih kopi siap tanam (Gambar 2.6; van der Vossen et al.,
2000). Kebanyakan petani kopi menggunakan teknik pembibitan melalui biji
karena beberapa alasan, seperti biaya yang murah, tidak membutuhkan keahlian
khusus, dapat dihasilkan bibit dalam jumlah masal, maupun bibit yang dihasilkan
memiliki akar tunggang sehingga tahan terhadap kekeringan (Prastowo et al.,
2010) serta bibit yang dihasilkan tidak memiliki sifat genetik yang seragam. Hal
ini dikarenakan biji kopi robusta dihasilkan dari penyerbukan silang (Santoso &
Raharjo, 2011). Salah satu dampak penyerbukan silang adalah memunculkan alel-
alel resesif yang memungkinkan adanya sifat-sifat yang kurang baik dari salah
satu pohon muncul pada keturunannya sehingga pada biji-biji yang dihasilkan dari
pohon indukan yang unggul belum tentu menghasilkan keturunan yang unggul
pula apabila digunakan sebagai benih (Sunarti et al., 2012).
Cara lain yang dapat digunakan untuk menghasilkan bibit kopi unggul yang
memiliki sifat yang seragam secara genetik adalah dengan melakukan pembibitan
secara vegetatif melalui stek, okulasi, maupun sambung pucuk (Prastowo et al.,
2010). Stek dari pohon kopi unggul ditanam pada media kemudian disungkup
dengan plastik. Setelah 3 bulan, sungkup dibuka secara bertahap dan dilanjutkan
pemeliharaan selama kurang lebih 7 bulan sebelum bibit siap tanam di lahan
(Gambar 2.7.A; Prastowo et al., 2010). Teknik perbanyakan ini mudah untuk
Pengaruh Substrat Tanam..., Isnaeni Nur Hasanah, FKIP UMP, 2016
21
dilakukan, murah serta akan menghasilkan bibit yang mempunyai sifat genetik
yang sama dengan induknya sehingga dapat digunakan untuk menghasilkan bibit
unggul yang seragam (Prastowo et al., 2010). Namun demikian, teknik stek tidak
dapat menghasilkan bibit dalam jumlah banyak serta merusak tanaman induknya.
Selain itu, teknik ini akan menghasilkan tanaman yang memiliki akar serabut
sehingga pohon kopi menjadi kurang kokoh, mudah roboh serta tidak tahan
terhadap kekeringan (Prastowo et al., 2010).
Gambar 2.6 Pembibitan tanaman kopi secara generatif (kopimalabar.com , 2013)
Alternatif lain yang dapat digunakan untuk menghasilkan bibit unggul yang
seragam secara genetik serta memiliki akar tunggang adalah dengan menggunakan
teknik okulasi (Gambar 2.7.B). Okulasi dilakukan dengan cara menyiapkan
batang bawah yang berasal dari biji serta mata tunas yang berasal dari pohon
induk unggul. Mata tunas tersebut ditempel pada batang bawah, kemudian ditutup
atau diselubungi plastik dilanjutkan dengan pemeliharaan sekitar 20 hari. Bibit
akan siap dipindahkan ke lahan setelah 15 bulan (Prastowo et al., 2006). Teknik
pembibitan ini tidak membutuhkan ketrampilan yang tinggi serta murah untuk
Pengaruh Substrat Tanam..., Isnaeni Nur Hasanah, FKIP UMP, 2016
22
dilakukan. Namun demikian, teknik ini memiliki kelemahan diantaranya dapat
merusak tanaman induknya, jumlah mata tunas yang terbatas dan waktu yang
lama untuk menjadi menghasilkan bibit siap tanam sehingga tidak dapat
menghasilkan bibit dalam jumlah masal (Santoso & Raharjo, 2011).
Teknik lain yang dapat digunakan untuk memperbaiki kekurangan teknik
okulasi adalah teknik sambung pucuk (Gambar 2.7.C). Teknik ini dilakukan
dengan menyambungkan cabang yang masih muda yang diambil dari pohon induk
unggul dengan batang bawah yang berasal dari biji (Prastowo et al., 2010).
Sambungan diberi sungkup dengan kantung plastik transparan selama 15 hari dan
bibit siap tanam ke lahan setelah berumur 6 - 8 bulan atau dua kali lebih cepat
dibandingkan dengan teknik okulasi (Prastowo et al., 2010). Kendala yang
dihadap dalam pembibitan kopi yang dihasilkan sebagai akibat terbatasnya jumlah
pucuk bagian atas, tanaman induk yang digunakan sebagai sumber eksplan juga
rusak serta memiliki tingkat keberhasilan yang rendah (Oktavia et al., 2003).
Gambar 2.7 Perbanyakan kopi secara vegetatif, (A) stek (kopimalabar.com,
2013); (B) okulasi, dan; (C) sambung pucuk
(andyregos.wordpress.com, 2012)
A B C
Pengaruh Substrat Tanam..., Isnaeni Nur Hasanah, FKIP UMP, 2016
23
2.3 Embriogenesis Somatik kopi dan Permasalahannya
Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk menghasilkan bibit unggul
yang seragam secara genetik dalam jumlah yang banyak tanpa merusak tanaman
induknya serta bibit yang dihasilkan memiliki akar tunggang adalah melalui
teknik embriogenesis somatik. Teknik embriogenesis somatik adalah teknik
perbanyakan suatu tanaman dengan cara menginduksi embrio yang berasal dari
sel somatik tanpa melalui fusi sel gamet dan dilakukan pada lingkungan yang
steril (Srilestari, 2005).
Pada umumnya, teknik embriogenesis somatik dilakukan dengan
menggunakan empat tahap yaitu tahap induksi kalus , tahap induksi embrio
somatik, tahap perkecambahan, dan tahap aklimatisasi (Purnamaningsih, 2002).
Pada umumnya, induksi kalus dilakukan dengan cara eksplan diisolasi dan
ditanam pada medium tanam yang mengandung zat pengatur tumbuh (ZPT) yaitu
auksin yang mempunyai daya aktivitas yang kuat dengan konsentrasi yang tinggi
(Purnamaningsih, 2002). Tahap induksi kalus umumnya dilakukan selama 4 - 8
minggu untuk memperoleh kalus yang bersifat embriogenik. Pada tanaman kopi,
tingkat keberhasilan induksi kalus sudah relatif tinggi, yaitu sekitar 80 % (Lubis,
2013).
Tahapan kedua dari somatik embriogenesis adalah tahap induksi embrio
somatik, yaitu tahap induksi embrio somatik dari kalus embriogenik yang
diperoleh dari tahapan pertama. Kalus ditanam pada medium tanam dengan
penambahan auksin dengan konsentrasi rendah dan dikombinasikan dengan
sitokinin dengan konsentrasi tinggi sehingga terinduksi pembentukan embrio
Pengaruh Substrat Tanam..., Isnaeni Nur Hasanah, FKIP UMP, 2016
24
somatik (Purnamaningsih, 2002). Secara spesifik tahap perkembangan embrio
somatik meliputi empat fase, yaitu embrio globular (Gambar 2.8.C), embrio
tahap hati (Gambar 2.8.D), embrio tahap torpedo (Gambar 2.8.E), embrio
kotiledon (Gambar 2.8.F; Purnamaningsih, 2002). Pada tanaman kopi, tahap
induksi embrio somatik dilakukan selama 5 minggu kultur dengan tingkat
keberhasilan yang sangat tinggi (hampir 100%; Riyadi & Tirtoboma, 2004).
Tahap yang selanjutnya adalah tahap perkecambahan, yaitu berupa tahapan
pengecambahan embrio somatik yang diperoleh dari tahap sebelumnya pada
medium tanam yang mengandung zat pengatur tumbuh (ZPT) dengan konsentrasi
yang sangat rendah (Gambar 2.8.H; Purnamaningsih, 2002). Pada tanaman kopi,
tahap perkecambahan dilakukan dengan cara menanam embrio kepada medium
dasar MS dengan penambahan giberelin acid (GA3) dengan konsentrasi yang
rendah. Pemeliharaan dilakukan selama 4 minggu. Tingkat keberhasilan pada
tahap perkecambahan mencapai lebih dari 80% (Lubis, 2013).
Tahap paling akhir dari teknik embriogenesis somatik yaitu aklimatisasi.
Tahap aklimatisasi adalah tahap penyesuaian bibit dari kondisi in vitro ke ex
vitro (Purnamaningsih, 2002). Tahap aklimatisasi dilakukan dengan cara
memindahkan bibit ke media aklimatisasi dengan menurunkan kelembaban dan
meningkatkan intensitas cahayanya (Purnamaningsih, 2002). Pada tanaman kopi,
tahap aklimatisasi dilakukan dengan menggunakan medium steril campuran tanah,
pupuk kandang dan pasir dengan perbandingan 1:1:1 (v/v) selama 3 bulan.
Tingkat keberhasilan teknik aklimatisasi pada tanaman kopi dapat mencapai
sekitar 60 % (Oktavia et al., 2003).
Pengaruh Substrat Tanam..., Isnaeni Nur Hasanah, FKIP UMP, 2016
25
Gambar 2.8 Tahapan embriogenesis somatik; induksi kalus embriogenik (A-B),
induksi embrio globular (C), embrio tahap hati (D), embrio tahap
torpedo (E), embrio tahap kotiledon (F), pertumbuhan membentuk
tunas dan akar (G; Afreent et al., 2002; Lubis, 2013)
Namun demikian, aplikasi teknik embriogenesis somatik untuk
memproduksi bibit kopi menghadapi kendala utama di antaranya adalah waktu
yang dibutuhkan untuk memelihara kultur dalam kondisi in vitro cukup lama,
yaitu sekitar 12 bulan (Priyono & Zaenudin, 2002). Waktu kultur in vitro tersebut
terdiri atas tahap induksi kalus memerlukan waktu sekitar 1 bulan (Sumaryono,
2014), tahap induksi embrio somatik memerlukan waktu sekitar 8 bulan (Ibrahim,
2013), dan tahap perkecambahan embrio memerlukan waktu sekitar 3 bulan
(Murni, 2010). Kelemahan yang muncul sebagai akibat lamanya waktu kultur
yang relatif lama adalah tingginya tingkat kontaminasi dengan semakin lamanya
waktu kultur, medium kultur yang digunakan untuk memelihara embrio lebih
banyak, tenaga kerja yang dibutuhkan untuk melakukan subkultur lebih banyak
maupun penggunaan listrik yang tinggi untuk menjaga kondisi lingkungan
Pengaruh Substrat Tanam..., Isnaeni Nur Hasanah, FKIP UMP, 2016
26
(Ahloowalia & Savangikar, 2002). Hal tersebut menyebabkan tingginya biaya
produksi pada tahap kultur in vitro (Priyono & Zaenudin, 2002). Oleh karena itu
diperlukan inovasi teknik embriogenesis yang baru guna mempersingkat waktu
yang dibutuhkan oleh embrio kopi dalam kondisi in vitro sehingga mampu
menurunkan biaya produksi bibit kopi.
2.4 Aklimatisasi Embrio Somatik Secara Langsung (Direct Sowing)
Salah satu alternatif yang mulai dikembangkan untuk mengurangi biaya
produksi bibit kopi adalah dengan cara mengaklimatisasi embrio somatik secara
langsung ke dalam kondisi ex vitro (direct sowing) tanpa melalui tahap
perkecambahan. Teknik tersebut memiliki keunggulan yaitu mampu
mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk memelihara kultur dalam kondisi in
vitro. Dengan menggunakan teknik direct sowing, tahapan kultur embrio somatik
menjadi lebih singkat yaitu terdiri atas tiga tahap, yaitu tahap induksi kalus, tahap
induksi embrio somatik dan tahap perkecambahan embrio yang digabungkan
menjadi satu dengan tahap aklimatisasi.
Teknik direct sowing sudah banyak diaplikasikan untuk produksi bibit pada
beberapa tanaman, namun demikian, tingkat keberhasilannya masih bervariasi.
Pada tanaman alfalfa, teknik direct sowing mampu mempersingkat waktu kultur
menjadi 6 minggu lebih cepat dibandingkan dengan teknik embriogenesis somatik
konvensional. Namun demikian tingkat keberhasilannya masih sangat rendah
yaitu 6 % (Fujii et al., 1989). Tingkat keberhasilan yang rendah (10%) juga
dilaporkan pada aplikasi direct sowing untuk produksi bibit Theobroma cacao L.
Pengaruh Substrat Tanam..., Isnaeni Nur Hasanah, FKIP UMP, 2016
27
meskipun teknik tersebut mampu mempersingkat waktu kultur menjadi 12
minggu lebih cepat (Niemenak et al., 2008). Tingkat keberhasilan yang lebih
tinggi dilaporkan pada aplikasi teknik direct sowing pada tanaman anggur.
Disamping teknik tersebut mampu mempercepat waktu kultur menjadi dua kali
subkultur lebih cepat dari teknik konvensional, tingkat keberhasilannya juga
cukup tinggi, yaitu 80 % dari embrio yang ditanam berhasil berkecambah,
meskipun hanya sekitar 30 % kecambah yang mampu berkembang lebih lanjut
menjadi tanaman baru (Jayasankar et al., 2001).
Pada kopi arabika, tingkat keberhasilan teknik direct sowing dapat mencapai
sekitar 80 % (Etienne-Barry et al., 1999). Teknik tersebut juga mampu
mempersingkat waktu kultur 8 minggu lebih cepat dibandingkan dengan teknik
embriogenesis somatik konvensional. Pada tanaman kopi robusta, teknik direct
sowing memiliki tingkat keberhasilan yang relatif lebih rendah, yaitu sekitar 50
%, meskipun teknik tersebut mampu mempersingkat waktu kultur menjadi 12
minggu lebih cepat (Yenitasari, 2015). Salah satu faktor yang diduga menjadi
penyebab tingginya tingkat kegagalan teknik direct sowing adalah munculnya
kontaminasi algae pada substrat tanam sehingga menyebabkan terjadinya
kompetisi antara embrio yang ditanam dengan algae yang tumbuh dalam
mendapatkan nutrisi tanaman (Yenitasari, 2015).
Salah satu cara yang diduga dapat digunakan untuk meningkatkan
keberhasilan teknik direct sowing untuk perkecambahan embrio somatik kopi
robusta adalah dengan menggunakan substrat tanam yang tepat. Beberapa
penelitian telah melaporkan bahwa substrat tanam merupakan salah satu penentu
Pengaruh Substrat Tanam..., Isnaeni Nur Hasanah, FKIP UMP, 2016
28
keberhasilan perkecambahan embrio somatik secara langsung. Jayasankar et al.,
(2001) melaporkan bahwa medium pasir yang dikombinasikan dengan
commercial potting mixture (CPM) merupakan medium yang tepat untuk
mengecambahkan embrio somatik anggur secara langsung dibandingkan dengan
substrat tanam pasir ataupun CPM yang diaplikasikan secara sendiri-sendiri. Pada
tanaman kakao, embrio somatik yang ditanam pada substrat tanam pasir secara
langsung mampu tumbuh menjadi plantlet dengan tingkat keberhasilan mencapai
10 % serta embrio somatik mampu bertahan hidup sampai 2 bulan dibandingkan
dengan embrio somatik yang di tanam pada campuran antara pasir dan vermiculite
yang hanya mampu bertahan hidup selama 1 bulan (Niemenak et al., 2008). Pada
tanaman kopi robusta, upaya peningkatan keberhasilan perkecambahan embrio
somatik secara langsung melalui penggunaan substrat tanam yang tepat belum
pernah dilaporkan. Pada penelitian ini, tiga macam substrat tanam digunakan,
yaitu cocopeat, serbuk kopi dan arang sekam.
2.5 Substrat Tanam
2.5.1 Cocopeat
Cocopeat merupakan salah satu substrat tanam yang berasal dari sabut
kelapa dan memiliki kandungan kimia berupa lignin (50 %), selulosa (24 %),
pentosan (27 %), dan furfural (17 %; Tejano, 1985). Cocopeat banyak dilaporkan
berhasil digunakan untuk meningkatkan keberhasilan aklimatisasi seperti plantlet
Aloe percrassa berhasil diaklimatisasikan dengan tingkat keberhasilan tinggi
(hampir 100%) dibandingkan dengan dengan substrat yang lain seperti tanah
Pengaruh Substrat Tanam..., Isnaeni Nur Hasanah, FKIP UMP, 2016
29
kompos (94%) maupun manured soil (94%; Abraha et al., 2014). Substrat tanam
cocopeat juga berhasil digunakan untuk aklimatisasi plantlet Garcinia indica
dengan tingkat keberhasilan tinggi (96%) dibandingkan dengan substrat tanam
yang lain seperti campuran antara cocopeat, pasir, dan tanah (81%, 1:2:1 /v/v)
serta campuran cocopeat dan pasir (82%, 1:1 v/v; Chabukswar & Deodhar, 2005).
Uzaribara et al., (2015) juga melaporkan bahwa penggunaan substrat tanam
cocopeat pada aklimatisasi tanaman pisang merah (Musa acuminata) memiliki
tingkat keberhasilan yang lebih tinggi (95%) dibandingkan dengan substrat tanam
vermiculite (80%), pasir (65%), maupun vermicompost (25%).
Substrat tanam cocopeat telah dicobakan untuk menginduksi
perkecambahan dan aklimatisasi embrio somatik. Pada kopi robusta, substrat
tanam cocopeat berhasil digunakan untuk menginduksi perkecambahan dan
aklimatisasi embrio somatik secara langsung dengan tingkat keberhasilan
mencapai 39 %, sedangkan pada substrat tanam campuran tanah dan cocopeat
maupun pasir murni (1:1 v/v ) memiliki tingkat keberhasilan hanya 20 % dan 17
% (Priyono dan Zaenudin, 2002). Hal yang sama juga dilaporkan Ducos et al.,
(2010) bahwa aklimatisasi embrio somatik kopi robusta berhasil ditingkatkan dari
40% menjadi 70 % dengan menggunakan substrat tanam cocopeat.
Kemampuan cocopeat sebagai substat tanam yang ideal untuk aklimatisasi
bibit hasil kultur jaringan pada beberapa tanaman diduga berkaitan erat dengan
sifat fisik cocopeat yang memiliki porositas tinggi. Jika dibandingkan dengan
substrat tanam yang lain, cocopeat memiliki tingkat porositas mencapai sekitar
90%, sedangkan substrat tanam yang lain seperti arang sekam, serbuk kopi,
Pengaruh Substrat Tanam..., Isnaeni Nur Hasanah, FKIP UMP, 2016
30
pasir, kompos, maupun tanah liat memiliki tingkat porositas yang jauh lebih
rendah, yaitu 73 %, 64 %, , 38 %, 36 % dan 38 % (Walczak et al., 2002).
Tingginya porositas cocopeat dapat menyebabkan semakin besarnya persentase
ruang udara pada substrat tanam, sehingga semakin tinggi oksigen yang tersimpan
pada substrat tanam. Akibatnya, sistem perakaran suatu tanaman dapat
berkembang dengan baik sehingga tanaman dapat tumbuh dan berkembang
dengan baik pula (Mubarok et al., 2012).
Cocopeat juga sudah banyak diketahui memiliki kandungan senyawa lignin
yang tinggi, yaitu hampir 50% (Tejano, 1985). Senyawa tersebut banyak dikenal
sebagai metabolit sekunder golongan fenol yang memiliki aktivitas antimikroba
sehingga dapat menghambat tumbuhnya mikroorganisme pada substrat tanam.
Mekanisme antimikroba senyawa fenol dalam membunuh mikroorganisme yaitu
dengan mendenaturasi protein sel. Ikatan hidrogen yang terbentuk antara fenol
dan protein mengakibatkan struktur protein menjadi rusak. Ikatan hidrogen
tersebut akan mempengaruhi permeabilitas dinding sel dan membran sitoplasma
sebab keduanya tersusun atas protein. Permeabilitas dinding sel dan membran
sitoplasma yang terganggu dapat menyebabkan ketidakseimbangan makromolekul
dan ion dalam sel, sehingga sel menjadi lisis (Rijayanti, 2014). Oleh karena itu
penggunaan cocopeat sebagai substrat tanam mampu mencegah tumbuhnya jamur
ataupun algae yang banyak menggangu pertumbuhan embrio somatik kopi yang
diaklimatisasikan secara langsung (Yenitasari, 2015).
Pengaruh Substrat Tanam..., Isnaeni Nur Hasanah, FKIP UMP, 2016
31
2.5.2 Serbuk Kopi
Serbuk kopi merupakan hasil pengolahan biji kopi yang telah dikeringkan
dan dihancurkan serta memiliki komposisi kimia berupa kafein sebesar 2 %,
trigonelin sebesar 0,6 %, dan asam klorogenat mencapai hampir 5%
(Ciptaningsih, 2012). Sampai saat ini, penggunaan serbuk kopi telah digunakan
untuk aklimatisasi plantlet hasil kultur jaringan. Pada tanaman Anchote (Coccinia
abyssinica), aklimatisasi dengan menggunakan substrat tanam serbuk kopi yang
dicampur dengan substrat tanam pasir dan tanah (1:1, v/v) memiliki tingkat
keberhasilan yang lebih cukup tinggi mencapai 82% (Bekele et al., 2013). Hal
yang sama juga dilaporkan oleh Kebede & Abera (2014) pada aklimatisasi
tanaman Plectranthus edulis. Pada penelitian tersebut, aklimatisasi dengan
substrat tanam serbuk kopi yang dicampur dengan substrat tanam pasir dan tanah
(2:1, v/v) memiliki tingkat keberhasilan yang cukup tinggi mencapai 83 %. Pada
tanaman Vanilla fragrans, aklimatisasi dengan menggunakan substrat tanam
serbuk kopi memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi (90 %) dibandingkan
substrat tanam pasir (87 %; Namirembe-ssonkko et al., 2005). Substrat tanam
serbuk kopi juga telah dicobakan untuk menginduksi perkecambahan dan
aklimatisasi embrio somatik pada kopi arabika oleh Barry-Ettiene et al., (2002).
Embrio somatik diaklimatisasi dengan menggunakan substrat tanam serbuk kopi
yang dicampur dengan substrat tanam pasir dan tanah (1:2, v/v) memiliki tingkat
keberhasilan mencapai 63%.
Kemampuan serbuk kopi sebagai substat tanam yang ideal untuk
aklimatisasi bibit hasil kultur jaringan pada beberapa tanaman diduga berkaitan
Pengaruh Substrat Tanam..., Isnaeni Nur Hasanah, FKIP UMP, 2016
32
erat dengan kandungan senyawa antimikroba yang terdapat pada serbuk kopi.
Serbuk kopi mengandung asam klorogenat yang cukup tinggi (5 %; Ciptaningsih,
2012 ). Sebagai salah satu senyawa fenol, asam klorogenat memiliki aktivitas anti
mikroba yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan cara
menyebabkan denaturasi protein penyusun membran sel sehingga sel
mikroorganisme akan mengalami lisis (Rijayanti, 2014).
2.5.3 Arang Sekam
Arang sekam merupakan salah satu substrat tanam yang berasal dari kulit
biji padi yang dibuat arang dan memiliki kandungan kimia berupa berupa selulosa
(40 - 45 %), lignin (25 - 30 %), abu (15 - 20 %), dan moisture (8 - 15 %;
Muntohar, 2002). Sampai saat ini, substrat tanam arang sekam telah banyak
dilaporkan berhasil digunakan untuk aklimatisasi plantet tanaman hasil kultur
jaringan. Pada tanaman anthurium, substrat tanam arang sekam memiliki tingkat
keberhasilan yang lebih tinggi (hampir 100%) dibandingkan substrat tanam lain
seperti campuran sekam mentah dan humus bambu (96%; 1:1 v/v) serta campuran
arang sekam dan humus bambu (93%; 1:1 v/v; Marlina & Rusnandi, 2007). Arang
sekam juga berhasil digunakan sebagai substrat tanam dengan tingkat
keberhasilan yang lebih tinggi (97%) dibandingkan cocopeat (94 %) pada
tanaman anggrek dendrobium (Dendrobium sp. ; Wardani, 2009). Gimenes et al.,
(2015) juga menggunakan arang sekam sebagai susbtrat tanam dengan
keberhasilan yang tinggi (85 %) dibandingkan dengan organic pine bark base
(70%) maupun pasir (70%) pada tanaman Cabralea canjerana.
Pengaruh Substrat Tanam..., Isnaeni Nur Hasanah, FKIP UMP, 2016
33
Arang sekam juga telah digunakan sebagai substrat tanam pada aklimatisasi
embrio somatik secara langsung dengan tingkat keberhasilan yang tinggi. Pada
tanaman Prunus persica L., arang sekam berhasil digunakan untuk aklimatisasi
embrio somatik dengan tingkat keberhasilan lebih tinggi (98 %) dibandingkan
dengan cocopeat (20%; Promchot & Boonprakob, 2007). Pada kopi robusta, arang
sekam juga telah digunakan untuk aklimatisasi embrio somatik secara langsung
dengan tingkat keberhasilan yang cukup tinggi (50 %; Yenitasari, 2015). Namun,
dalam penelitian tersebut belum dilaporkan tingkat keberhasilan aklimatisasi
dengan menggunakan substrat tanam yang berbeda.
Kemampuan arang sekam sebagai substrat tanam untuk aklimatisasi
tanaman hasil kultur jaringan diduga berkaitan dengan sifat fisiknya yang
memiliki banyak pori sehingga mampu meningkatkan aerasi dan draenasi.
Semakin tingginya aerasi dan draenasi serta banyak ruang pori maka akan dapat
memperluas sistem perakaran tanaman dan perakaran dapat lebih mudah
menyerap air dan unsur hara pada substrat tanam. Hal tersebut menyebabkan
tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan baik karena mampu menyerap air
dan unsur hara yang diperlukan tanaman (Agustin et al., 2014).
Pada umumnya substrat tanam yang digunakan untuk memelihara embrio
somatik merupakan campuran dari beberapa substrat tanam. Penelitian yang
dilakukan oleh Priyono dan Zaenudin (2002) berhasil mengecambahkan embrio
somatik kopi robusta dengan tingkat keberhasilan yang tinggi mencapai 61 %
pada campuran substrat tanam cocopeat dan media standar aklimatisasi (tanah
olah: pasir pupuk kandang, 1:1:1 v/v). Jika dibandingkan dengan substrat tanam
Pengaruh Substrat Tanam..., Isnaeni Nur Hasanah, FKIP UMP, 2016
34
tunggal, tingkat keberhasilan tersebut jauh lebih tinggi. Pada substrat tanam
cocopeat tingkat keberhasilannya mencapai 39 % dan pada substrat tanam pasir
murni memiliki tingkat keberhasilan mencapai 17 %.
Di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, aklimatisasi embrio somatik
kopi robusta dengan menggunakan campuran substrat tanam sampai ini masih
belum pernah dilaporkan. Oleh karena itu, upaya peningkatan keberhasilan teknik
direct sowing untuk produksi bibit kopi melalui pemilihan susbstrat tanam yang
tepat perlu dilakukan.
Pengaruh Substrat Tanam..., Isnaeni Nur Hasanah, FKIP UMP, 2016