Upload
haphuc
View
228
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Katarak
Kata katarak berasal dari bahasa Latin cataracta, yang berarti air terjun, karena
orang menderita katarak mempunyai pengelihatan yang kabur seolah-olah dibatasi oleh
air terrjun (Anies, 2006). Jika ini terjadi, jalannya sinar akan berkurang atau terhambat,
sehingga lensa tidak apat difokuskan (Ali, 2003). Katarak adalah kekeruhan yang terjadi
pada lensa mata, yang menghalangi pengelihatan yang jelas (WHO, 2012 ; Anies, 2006).
Sebagian kasus katarak berkaitan dengan proses penuaan, namun juga dapat terjadi pada
anak-anak yang lahir dengan kondisi tersebut. Katarak juga dapat terjadi setelah cedera
mata, inflamasi atau penyakit mata lainnya (WHO, 2012).
Katarak tidak menimbulkan nyeri atau bengkak, tetapi bisa mengakibatkan
kehilangan penglihatan yang progresif atau kebutaan total. Gejala yang umum terjadi
adalah semua cahaya yang masuk ke mata memasuki lensa, sehingga bagian lensa yang
tersumbat akan mengaburkan cahaya, lalu menyebabkan terganggunya penglihatan yang
parahnya ditentukan oleh lokasi dan kematangan katarak (Ali, 2003)
Katarak merupakan penyakit degeneratif yang dipengaruhi oleh berbagai faktor,
baik faktor intrinsik maupun faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik yang berpengaruh antara
lain adalah umur, jenis kelamin dan faktor genetik, sedangkan faktor ekstrinsik yang
berpengaruh antara lain adalah pendidikan dan pekerjaan yang berdampak langsung pada
status sosial ekonomi dan status kesehatan seseorang serta faktor lingkungan, dalam
hubungannya dengan paparan sinar ultraviolet (Sirlan, 2006).
8
Gejala katarak dini dapat diperbaiki dengan kacamata baru, pencahayaan yang
terang, kacamata anti-silau, atau lensa pembesar. Jika tindakan ini tidak membantu,
operasi adalah satu-satunya pengobatan yang efektif (NIH, 2014).
2.2 Operasi Katarak
Katarak dapat disembuhkan melalui operasi katarak yang merupakan prosedur
yang paling umum dilakukan dalam oftalmologi dan didukung dengan sepasang kacamata
(Tabin, dkk, 2008). Hampir penglihatan normal dapat dikembalikan melalui operasi
pengangkatan lensa opacifier, difasilitasi oleh implantasi lensa intraokular (IOL)
(Schwiegerling, 2010). Untuk mengatasi beban kebutaan dari katarak dibutuhkan cakupan
bedah yang cukup dan hasil bedah yang baik, yaitu keselamatan, rehabilitasi visual awal
dan emetropia pasca operasi. Pembedahan dilakukan bila tajam penglihatan sudah
menurun sedemikian rupa sehingga mengganggu pekerjaan sehari-hari atau bila telah
menimbulkan penyulit seperti glaukoma dan uveitis (Arif, 2000).
Sebagian besar hasil operasi katarak dilaporkan hanya dalam tajam penglihatan
(RCOphth, 2010). Tajam penglihatan normal rata-rata bervariasi antara 6/4 hingga 6/6
(20/15 atau 20/20 kaki). Apabila penglihatan kurang maka diukur dengan menentukan
kemampuan melihat jumlah jari (hitung jari) ataupun proyeksi sinar (Ilyas, 2000).
Tabel 2.1 Kriteria Tajam Penglihatan Menurut World Health Organization
Kriteria Tajam Penglihatan
Snellen LogMAR
Baik 6/6 - 6/18 0,00-0,48
Sedang <6/18 – 6/60 >0,48 – 1,00
Buruk <6/60 >1,00
9
Bedah katarak sudah berubah dalam 20 tahun terakhir, yang prinsipnya disebabkan
oleh diperkenalkannya mikroskop operasi, instrumentasi yang lebih baik, benang jahit
yang lebih baik, serta lebih baiknya lensa intraokuler (Tabin dkk., 2008). Rumah Sakit
Mata Bali Mandara menggunakan 2 teknik operasi katarak, yaitu Phacoemulsification
(Phaco) dan Small Incision Cataract Surgery (SICS).
Prosedur fakoemulsifikasi pertama kali dilakukan pada mata manusia oleh Charles
Kelman pada tahun 1967. Ini adalah awal dari Phaco untuk mengatasi masalah yang
terkait dengan penyembuhan, peradangan, dan astigmatisme (Jha & Brig, 2006). Phaco
adalah teknik yang digunakan untuk menghilangkan katarak menggunakan mesin dan
mikro-bedah instrument. Teknik Phaco biasanya dilakukan dengan membuat sayatan
skleral sementara (3,0 mm) dan memisahkan kornea yang jelas untuk tindakan
sewaktutnya (Venkatesh, dkk, 2009). Operasi katarak fakoemulsifikasi merupakan teknik
operasi dengan memecah nukleus lensa menjadi fragmen-fragmen kecil dengan
memanfaatkan energi ultrasonik intensitas tinggi, kemudian diikuti dengan aspirasi
fragmen-fragmen lensa (Bellarinatasari, 2011). Setelah membersihkan katarak, kantong
kapsuler diisi dengan hydroxypropy. Prosedur ini diikuti dengan implan lensa ke dalam
kantong kapsuler (Venkatesh, dkk, 2009).
Pada Teknik Small Incision Cataract Surgery (SICS), insisi dilakukan di skleral
sekitar 5.5 mm – 7.0 mm. Ada 2 aspek dari incisi SICS yang harus di pertimbangkan, yang
pertama self sealing nature dari luka dan yang kedua induksi astigmatisma, dimana
astigmatisma harus minimal dan jika memungkinkan meniadakan keberadaan
astigmatisma (Istiantoro S & Johan AH, 2004). Kontruksi luka sclerocorneal pocket
tunnel incision adalah sangat penting pada SICS. Hasil akhir dan mudahnya delivery
10
nucleus sangat tergantung pada arsitektur dari luka. Keuntungan konstruksi irisan pada
sklera kedap air sehingga membuat katup dan isi bola mata tidak prolaps keluar. Dan
karena incisi yang dibuat ukurannya lebih kecil dan lebih posterior, kurvatura kornea
hanya sedikit berubah (Venkatesh, dkk, 2010).
Banyak hasil penelitian yang telah membandingkan kedua teknik tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian Kwartika (2015) menyatakan bahwa terdapat perbedaan
bermakna pada sensitivitas kornea pasca operasi katarak dengan teknik SICS dan
fakoemulsifikasi sampai hari ke-28 dengan penurunan lebih besar pada teknik SICS
dibandingkan fakoemulsifikasi. Sitompul dkk (2008), juga melaporkan bahwa pada
fakoemulsifikasi terjadi penurunan sensitivitas kornea yang berlangsung lebih lama
dibandingkan dengan SICS.
SICS memiliki waktu operasi yang lebih cepat, lebih murah dan kurang
bergantung pada teknologi dibandingkan dengan Phaco (Venkatesh, 2005).
Dibandingkan dengan Phaco ada risiko antigmatisme yang lebih pada SICS. Pada
hari pertama pasca operasi juga memberikan risiko yang lebih di edema kornea (Tabin,
dkk., 2008). Menurut Ruit, dkk (2007) kekeruhan kapsul posterior lebih sering terjadi pada
kelompok yang menggunakan teknik SICS dibandingkan dengan Phaco. Resiko umum
pada SICS adalah terjadinya luka pada iris mata (Boughton B, 2009). Jika dilihat dari hasil
ketajaman visual, Singh, dkk (2009) mencatat hasil visual yang buruk lebih besar pada
Phaco (6% dari pasien) dibandingkan dengan SICS (1% dari pasien). Ketajaman visual
rata-rata adalah 0,43 ± 0,27 pada kelompok fakoemulsifikasi dan 0,47 ± 0,24 pada
kelompok SICS. Menyimpulkan bahwa SICS lebih baik dalam menghasilkan ketajaman
11
visual. Sedangkan Cook dkk (2011) menyatakan tidak ada perbedaan hasil ketajaman
visual pada hari pertama, namun pada minggu ke 8 ada perbedaan ketajaman pengelihatan
yang diukur dengan menggunakan kacamata (p=0,03) dan tanpa menggunakan kacamata
(p=0,02), diamana Phaco lebih baik dari SICS.
2.3 Kesembuhan Katarak
Menurut Perdami Kesembuhan katarak ditandai dengan tajam penglihatan tanpa
koreksi adalah ≥6/18 pada 4 minggu pasca operasi. Kesembuhan katarak dapat juga di
tandai dengan pemberian kacamata pada minggu keempat kunjungan pasca operasi. Pada
kunjungan ketiga refraksi dapat dilakukan. Jika mata sudah tenang dan stabil maka pasien
akan di berikan kacamata (AOA, 2004).
2.4 Faktor yang Mempengaruhi Kesembuhan
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sebuah waktu kesembuhan penyakit. Pada
penelitian sebelumnya, faktor demografi, variable klinis dan teknik operasi diakatakan
dapat mempengaruhi kesembuhan pasien (Fermont, dkk, 2014). Menurut Effendy (1998),
rendahnya angka kesembuhan berkaitan dengan karakteristik penderita diantaranya umur,
jenis kelamin, dan tipe penyakit karena terjadinya perubahan keadaan fisiologis, imunitas,
dan perubahan kebiasaan makanan atau perilaku hidup sehat.
Kesembuhan pasien katarak ditandai dengan tajam pengelihatan yang dihasilkan
pasca operasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi tajam pengelihatan pasca operasi
katarak adalah riwayat penyakit mata selain katarak seperti glaukoma, miopia tinggi,
degenerasi makula dan ablasio retina serta riwayat penyakit sistemik, seperti diabetes
12
mellitus. Teknik operasi dan komplikasi pasca operasi juga mempengaruhi kesembuhan
pasien (Limburg, dkk, 2005).
Belum ada penelitian mengenai faktor-faktor yang mepengaruhi waktu kesembuhan
pasien katarak pasca operasi katarak, namun ada beberapa penelitian terkait faktor-faktor
yang mempengaruhi waktu kesembuhan penyakit lain, diantaranya :
1. Jenis Operasi
Variasi kesmbuhan katarak dapat dipengaruhi oleh teknik operasi yang dilakukan.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya didapatkan bahwa waktu sembuh kelompok
Phacoemulsification 8,1 kali lebih cepat di bandingkan dengan kelompok control
(Rotchford, 2007). Gogate dkk (2005) menyimpulkan bahwa fakoemulsifikasi dan SICS
aman dan efektif untuk rehabilitasi visual pasien katarak. Mereka juga menyimpulkan
bahwa fakoemulsifikasi memberikan ketajaman penglihatan yang diukur tanpa
menggunakan kacamata atau lensa kontak lebih baik dalam proporsi yang lebih besar dari
pasien pada 6 minggu.
Berdasarkan hasil penelitian Ruit, dkk (2007), pada enam bulan, pada kelompok
fakoemulsifikasi hasil visual lebih baik, dengan lebih banyak pasien memiliki lebih dari
atau sama dengan 20/30 hasil visual yang baik dengan koreksi (94%) dan tanpa koreksi
(54%). Sedangkan pada kelompok SICS 32% tanpa koreksi dan 89% dari pasien dengan
kacamata melihat lebih baik dari atau sama dengan 20/30. Ada beberapa kemungkinan
alasan untuk hasil visual yang lebih baik pada kelompok fakoemulsifikasi dibandingkan
dengan kelompok SICS. Penjelasan yang paling mungkin karena tingkat kekeruhan kapsul
posterior yang lebih besar terjadi pada kelompok SICS.
13
2. Umur
Umur adalah lamanya waktu hidup yaitu terhitung sejak lahir sampai dengan
sekarang. Penentuan umur dilakukan dengan menggunakan hitungan tahun (Chaniago,
2002). Menurut Hurlock (1998) semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan
seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Menurut Suryabudhi (2003)
seseorang yang menjalani hidup secara normal dapat diasumsikan bahwa semakin lama
hidup maka pengalaman semakin banyak, pengetahuan semakin luas, keahliannya
semakin mendalam dan kearifannya semakin baik dalam pengambilan keputusan
tindakannya. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kesembuhan penyakit
lebih kecil 1,6 kali pada umur muda dibandingkan dengan umur tua (Zubaidah, 2013).
Umur diidentifikasi sebagai faktor yang berhubungan signifikan dengan hasil
visual yang lebih buruk (Norregaard et al., 1998), dengan pasien berusia 90 tahun ke atas
memiliki empat kali risiko hasil visual yang buruk bila dibandingkan dengan mereka yang
berusia 50 sampai 59 tahun (Desai, Minassian & Reidy, 1999).
Khanna, dkk (2012) menyatakan bahwa kelompok umur memilik pengaruh
bermakna terhadap waktu kesembuhan dilihat dari hasil ketajaman visual pasca operasi
(p<0,001). Hal ini mungkin disebabkan oleh fakta bahwa semakin tua umur semakin akan
dikaitkan dengan tingginya prevalensi riwayat penyakit yang diderita, seperti penyakit
penyerta mata miopia, diabetes militus dan hipertensi (Hashemi dkk, 2012).
3. Jenis Kelamin
Menurut Hungu (2007) jenis kelamin (seks) adalah perbedaan antara perempuan
dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Perempuan cenderung lebih
memperhatikan kesehatannya di bandingkan dengan laki-laki. Namun, hasil dari survei
14
Pakistan dan studi dari Rajasthan di India menunjukkan bahwa perempuan memiliki hasil
visual yang lebih buruk dibandingkan dengan laki-laki (Bourne et al., 2007;Murthy et al.,
2001). Ruit, ddk (2007) juga menyatakan bahwa laki-laki memiliki kencenderungan yang
lebih untuk mencapai ketajaman visual terbaik, 6/18 dalam 40 hari dibandingkan
perempuan.
Khanna, dkk (2012) yang menyatakan bahwa perempuan memiliki kecenderungan
terhadap waktu kesembuhan yang lebih lama jika dilihat dari ketajaman visual pasca
operasi, sehingga jenis kelamin tetap dimasukkan kedalam model. Jika dilihat dari
distribusinya, perempuan cenderung menggunakan jenis operasi SICS, sehingga ada
kemungkinan komplikasi yang lebih banyak terjadi pada perempuan yang membuat
perempuan memiliki waktu kesembuhan lebih lama dibandingkan dengan laki-laki
(Khanna dkk 2012 ; Hashemi dkk, 2012).
4. Riwayat Penyakit
Riwayat penyakit lain yang di derita pasien dapat mempengaruhi waktu
kesembuhan, seperti jika pasien menderita penyakit Diabetes Mellitus (DM). Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari (2011), pasien dengan riwayat penyakit
DM 6,264 kali lebih lama penyembuhannya dibandingkan dengan pasien yang tidak
memiliki riwayat DM.
Pemeriksaan mengungkapkan bahwa 127 dari 177 mata (71,7%) setelah 12 sampai
18 bulan dari ekstraksi katarak memiliki hasil visual yang buruk karena gangguan mata
pra operasi. Berbagai kondisi mata pra operasi yang bertanggung jawab untuk pencapaian
visual yang buruk di 127 mata adalah climatic droplet keratopathy (CDK) dan
15
trachomatous corneal scarring, mewakili 40,9% kasus, glaucoma, penyakit makula dan
retina merupakan 25,9% dari kasus (Salem, 1987).
5. Komplikasi
Sebanyak 31 mata (15,8%) setelah 12 sampai 18 bulan dari ekstraksi katarak
memiliki hasil visual yang buruk karena komplikasi bedah. Jenis komplikasi yang dialami
adalah ablasi retina (32,3%), vitreous heamorrhage (25,8%), Cystoid Macular Edema
(CME) dan endophthalmitis masing-masing sebesar 9,7% (Salem, 1987).
Pada dasarnya, Phaco dan SICS menghasilkan komplikasi yang sedikit. Namun,
jika dibandingkan dengan Phaco, ada risiko antigmatisme dan edema kornea yang lebih
pada SICS (Bougton B, 2009). Ruit, dkk (2010) menambahkan bahwa lebih banyak risiko
kekeruhan posterior kapsular pada kelompok SICS dibandingan dengan kelompok Phaco
dan juga sering terjadi luka iris pada teknik SICS. Hal ini disebabkan karena ukuran
sayatan pada teknik SICS lebih besar dibandingkan dengna Phaco yaitu sekitar 6 mm dan
seringkali memerlukan jahitan. Berdasarkan hal tersebut, seringkali terjadinya kesalahan
saat membuat sayatan (Bougton B, 2009).
2.5 Waktu Kesembuhan
Waktu kesembuhan adalah waktu yang diperlukan untu kembali ke keadaan
normal atau mendekati normal setelah mengalami suatu penyakit atau trauma (White,
2007). Kesembuhan dapat di peroleh melalu suatu pengobatan atau tindakan berupa
operasi. Waktu kesembuhan suatu operasi sangat penting untuk diketahui. Dengan
mengetahui waktu kesembuhan dapat melakukan monitoring dan evaluasi keefektivan
dari operasi tersebut serta merupakan komponen penting dari sistem survailans untuk
mendukung pencegahan (Tarawneh, 2011). Waktu kesembuhan dapat menjadi
16
pertimbangan dalam mengurangi beban pasien dan keluarga untuk melakukan perawatan
pasca operasi sampai pasien dinyatakan sembuh (Jamison, dkk., 2006).
2.6 Metode Analisis Kesintasan
Analisis kesintasan (survival) adalah suatu metode yang berhubungan dengan
waktu, mulai dari time origin atau start point sampai dengan terjadinya suatu kejadian
khusus atau end point. Data yang diperoleh di bidang kesehatan merupakan pengamatan
terhadap pasien yang diamati dan dicatat waktu terjadinya kegagalan dari setiap individu
(Collet, 1994).
Dalam analisis kesintasan, ada istilah failure, yaitu suatu kejadian dimana
tercatatnya kejadian yang diinginkan. Dalam menentukan waktu kesintasan, ada tiga
faktor yang dibutuhkan yaitu :
1. Waktu awal pencatatan (start point).
Waktu awal pencatatan adalah waktu awal dimana dilakukannya pencatatan untuk
menganalisis suatu kejadian.
2. Waktu akhir pencatatan (end point).
Waktu akhir pencatatan adalah waktu pencatatan berakhir. Waktu ini berguna untuk
mengetahui status tersensor atau tidak tersensor seorang pasien untuk bisa melakukan
analisis.
3. Dan skala pengukuran sebagai batas dari waktu kejadian dari awal sampai akhir
kejadian. Skala diukur dalam hari, minggu, atau tahun.
17
Menurut (Kleinbaum, 1997) ada beberapa tujuan analisis kesintasan:
1. Mengestimasi/memperkirakan dan menginterpretasikan fungsi kesintasan atau hazard
dari data kesintasan.
2. Membandingkan fungsi kesintasan dan fungsi Hazard pada dua atau lebih kelompok.
3. Menilai hubungan variabel-variabel explanatory dengan kesintasan waktu ketahanan.
2.6.1 Data Tersensor
Yang membedakan antara analisis kesintasan dengan analisis statistik lainnya
adalah adanya data tersensor. Data tersensor adalah data tercatat saat adanya informasi
tentang waktu kesintasan individual, tetapi tidak tahu persis waktu kesintasan yang
sebenarnya (Kleinbaum & Klein, 2011: 5-6). Menurut Catala dkk., (2011) ada 3 alasan
terjadinya data tersensor :
1. Seseorang tidak mengalami suatu peristiwa dari awal pencatatan sampai akhir
pencatatan.
2. Sesorang hilang tanpa ada alasan ketika pencatatan sampai akhir pencatatan.
3. Seseorang tercatat keluar dari penelitian karena kematian atau beberapa alasan lain
seperti reaksi obat yang merugikan objek.
Sedangkan menurut Pyke &Thompson (1986) data dikatakan tersensor jika
pengamatan waktu kesintasan hanya sebagian, tidak sampai failure event. Penyebab
terjadinya data tersensor antara lain:
1. Loss to follow up, terjadi bila obyek pindah, meninggal atau menolak untuk
berpartisipasi.
2. Drop out, terjadi bila perlakuan dihentikan karena alasan tertentu.
18
3. Termination, terjadi bila masa penelitian berakhir sementara obyek yang diobservasi
belum mencapai failure event.
Situasi ini diilustrasikan dengan grafik di bawah ini. Grafik menggambarkan
beberapa orang atau objek yang diikuti. 𝑋 menyatakan orang atau objek yang
mendapatkan peristiwa.
Dalam bukunya Crowder dkk (1991) mengatakan bahwa ada 3 jenis penyensoran,
yaitu:
1. Left-censored, observasi dikatakan left-cencored jika objek yang diobservasi
mengalami peristiwa di bawah waktu yang telah ditetapkan atau ketika masa
observasi belum selesai.
2. Right-censored, obsevasi dikatakan right-cencored jika objek masih hidup atau
masih beroperasi ketika masa observasi telah selesai.
X
X
hilang
Penelitian berakhir
dikeluarkan
Penelitian berakhir
2 4 6 8 10 12
A
B
C
D
E
F
Gambar 2.1 Gambaran Data Tersensor
19
3. Interval-censored, ketika objek mengalami peristiwa diantara interval waktu
tertentu maka observasi dikatakan interval-censored
Menurut Lee dan Wang (2003) ada 3 tipe penyensoran data, yaitu:
1. Tipe I, jika objek-objek diobservasi selama waktu tertentu, namun ada beberapa
objek yang mengalami peristiwa setelah periode atau masa observasi selesai, dan
sebagian lagi mengalami peristiwa diluar yang ditetapkan.
2. Tipe II, masa observasi selesai setelah sejumlah objek yang diobservasi
diharapkan mengalami peristiwa yang ditetapkan, sedang objek yang tidak
mengalami peristiwa disensor.
3. Tipe III, jika waktu awal dan waktu berhentinya observasi dari objek berbeda-
beda. Sensor tipe III ini sering disebut sebagai random-censored.
2.6.2 Fungsi Kesintasan dan fungsi Hazard
Pada analisis kesintasan ada dua hal yang mendasar yaitu fungsi kesintasan
dan fungsi Hazard. Fungsi kesintasan merupakan dasar dari analisis ini, karena
meliputi probabilitas kesintasan dari waktu yang berbeda-beda yang memberikan
informasi penting tentang data kesintasan.
Secara teori, fungsi kesintasan dapat digambarkan dengan kurva mulus dan
memiliki karakteristik sebagai berikut (Kleinbaum dan Klein, 2005):
1. Tidak meningkat, kurva cenderung menurun ketika 𝑡 meningkat
2. Untuk 𝑡=0,𝑆 𝑡 =𝑆 0 =1 adalah awal dari penelitian, karena tidak ada objek yang
mengalami peristiwa, probabilitas waktu kesintasan 0 adalah 1
20
3. Untuk 𝑡=∞,𝑆 𝑡 =𝑆 ∞ =0; secara teori, jika periode penelitian meningkat tanpa
limit maka tidak ada satu pun yang bertahan sehingga kurva kesintasan
mendekati nol
Gambar 2.2 Kurva Fungsi Kesintasan
Berbeda dengan fungsi kesintasan yang fokus pada tidak terjadinya
peristiwa, fungsi Hazard fokus pada terjadinya peristiwa. Oleh karena itu fungsi
Hazard dapat dipandang sebagai pemberi informasi yang berlawan dengan fungsi
kesintasan.
Sama halnya dengan kurva fungsi kesintasan, kurva fungsi Hazard juga
memiliki karakteristik, yaitu (Kleinbaum dan Klein, 2005):
1. Selalu nonnegatif, yaitu sama atau lebih besar dari nol
2. Tidak memiliki batas atas
Selain itu fungsi Hazard juga digunakan untuk alasan:
1. Memberi gambaran tentang keadaan failure rate
2. Mengidentifikasi bentuk model yang spesifik
21
3. Membuat model matematik untuk analisis kesintasan biasa
Gambar 2.3 Kurva Fungsi Hazard
2.7 Life table
Metode Life Table adalah metode yang umum digunakan dalam analisis
kesintasan. Tabel ini bisa dianggap sebagai tabel frekuensi distribusi, dimana distribusi
dari survival time dibagi menjadi beberapa interval. Pada masing-masing interval tersebut
dihitung jumlah proporsi dari objek yang hidup dari keseluruhan sampel dan proporsi dari
kejadian yang janggal dalam rentang interval tersebut. Adapun komponen life table adalah
sebagai berikut:
Tabel 2.2 Komponen Life Table
No. Komponen Formula
1. Interval start time (x)
2. Number entering interval (nx) n(x+1) =nx-wx-dx
3. Number withdrawal (wx)
4. Number exposed to risk (n’x) n’x = nx -1/2wx
5. Number terminal events (dx)
22
6. Proportion terminating (qx) qx=dx/n’x
7. Proportion surviving (px) px=1-qx
8. Cum. proport. surviving (Lx) Lo=px
Lx=L(x-t) x px
9. Probability density =dx/(t x n’x)
10. Hazard Ade = dx/{t x (nx+nx+1)/2}
Akan dapat dilihat bahwa komponen yang berubah pada life table hanya pada
sampel awal, dan jumlah sampel yang mencapai end point dan tersensor pada tiap interval.
Adapun dari komponen tersebut yang dilihat adalah Lx sebagai pembentuk fungsi kurva
kesintasan, density, dan Hazard.
2.8 Kaplan-Meier
Kaplan-Meier merupakan suatu metode untuk membuat tabel dan grafik fungsi
harapan hidup (survival function) atau fungsi kematian kasar (hazard function) untuk lama
waktu terjadinya suatu kondisi yang diteliti dari saat pengamatan dimulai (time to event
data). Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Kaplan dan Meier (1985) untuk
menganalisis harapan hidup untuk periode waktu tertentu dari sebuah penelitian kohort
atau eksperimental (follow-up study).
Analisis Kapaln-Meier digunakan untuk menganalisis perbedaan survival time
dua kelompok atau lebih dengan asumsi variasi survival time hanya ditentukan oleh faktor
waktu dan tidak dipengaruhi oleh variabel perancu atau covariate (Widarsa, 2014).
2.9 Uji Log Rank
Menurut (Peto & Peto) asumsi yang sedikit berbeda dalam jumlah data dari yang
diobservasi dan analisis kesintasan disebut Log Rank. Uji Log Rank digunakan untuk
23
melihat kesesuaian atau ketidak sesuaian diantara grup 1 dan grup 2 dalam analisis
kesintasan . Caranya adalah dengan membandingkan estimasi Hazard function dari grup
yang diobservasi dalam waktu tertentu. Uji Log Rank diperluas untuk analisis stratifikasi,
sebagai contoh, pengaruh variabel prognostik yang patut diperhitungkan, dan untuk
membandingkan 3 kelompok atau lebih (Machin dkk, 2006).
2.10 Cox Regression
Model regresi Cox diperkenalkan oleh D.R. Cox (1972) dan pertama kali
diterapkan pada data kesintasan. Pada model tersebut variabel peyerta dimasukkan dalam
model sebagai variabel bebas dan waktu kesintasan sebagai variabel tak bebas. Dengan
menerapkan model regresi Cox, maka akan diketahui bentuk hubungan antar variabel
(Kontz and Johnson, 1982).
Model regresi ini dikenal juga dengan istilah Proportional Hazard Model karena
asumsi proporsional pada fungsi Hazardnya. Secara umum, model regresi Cox
dihadapkan pada situasi dimana kemungkinan kegagalan individu pada suatu waktu yang
dipengaruhi oleh satu atau lebih variabel penjelas. (Collet, 1994)
Hazard (h) dalam regresi survival adalah risiko terjadinya endpoint (kematian)
pada periode waktu berikutnya berdasarkan baseline pada awal periode tersebut (Widarsa,
2015). Hazard Ratio adalah perbandingan hazard kelompok terpapar dengan kelompok
tidak terpapar. Bila variabel X adalah variabel paparan dengan kategori 1=terpapar dan
0=tidak terpapar, maka penghitungan HR dapat dilakukan dengan cara berikut (Widarsa,
2014).
𝐻𝑅 = ℎ𝑎𝑧𝑎𝑟𝑑 𝑟𝑎𝑡𝑒 𝑘𝑙𝑝 𝑡𝑒𝑟𝑝𝑎𝑝𝑎𝑟
ℎ𝑎𝑧𝑎𝑟𝑑 𝑟𝑎𝑡𝑒 𝑘𝑙𝑝 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑟𝑝𝑎𝑝𝑎𝑟=
ℎ0(𝑡) × 𝑒𝑥𝑝(𝛽)
ℎ0(𝑡) × 𝑒𝑥𝑝(0)= 𝒆𝒙𝒑(𝜷)
24
Dari perhitungan tersebut dapat diringkas, bahwa HR dari variabel paparan (X)
adalah sama dengan expotensial koefisien regresi () dari varaiabel paparan (X) tersebut.
Jadi, HR dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.
𝑯𝑹 = 𝒆𝒙𝒑(𝜷)
Note:
HR > 1, artinya variabel bebas meningkatkan risiko
HR = 1, artinya variabel bebas tidak berpengaruh
HR < 1, artinya variabel bebas menurunkan risiko.