Upload
others
View
7
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
4
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan jenis ikan konsumsi air
tawar dengan tubuh memanjang dan kulit licin. Ikan lele dumbo termasuk ke
dalam genus Clarias yang memiliki ciri tubuh licin memanjang dan tidak bersisik,
sirip punggung menyatu dengan sirip ekor dan sirip anus, tulang kepala keras
dengan mata yang kecil dan mulut lebar yang terletak di ujung moncong,
dilengkapi dengan empat pasang sungut atau kumis (Catfish). Habitatnya di
sungai dengan arus air yang perlahan, rawa, telaga, waduk, sawah yang
tergenang air. Ikan lele bersifat noctural, yaitu aktif bergerak mencari makanan
pada malam hari (Mahyuddin, 2008). Gambar ikan lele dumbo dapat dilihat pada
Gambar 1
Klasifikasi ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Saanin (1986) adalah
sebagai berikut:
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Sub Kelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Famili : Clariidae
Genus : Clarias
Spesies : Clarias gariepinus
.
Gambar 2.1. Gambar Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus).
5
2.2 Komposisi Kimia Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus).Menurut Utama (2008), komposisi kimia daging ikan yaitu kandungan
protein sebesar 16-17%, lemak 0,5-5%, karbohidrat 1-3%, air 75-79% dan bahan
organik sebesar 0,8-2%. Pada umumnya bagian ikan yang dapat dimakan
(edible portion) berkisar antara 45-50% dari berat ikan. Ikan lele memiliki nilai gizi
yang tinggi. Kandungan gizi ikan lele dumbo dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Komposisi Kimia Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)
Komposisi Jumlah (%)
Air 75-79
Protein 16-17
Lemak 0,5-5
Abu 1-1,5
Sumber : Utama. (2008)
2.3 SurimiKata surimi berasal dari Jepang yang telah diterima secara internasional
untuk menggambarkan hancuran daging ikan yang telah mengalami berbagai
proses yang diperlukan untuk mengawetkannya. Salah satu keunggulan dari
surimi adalah kemampuannya untuk diolah menjadi berbagai macam variasi
produk-produk lanjutannya dalam berbagai bentuk dan ukuran (Okada, 1992)
dan kandungan nilai gizi yang menyehatkan (Guenneugues dan Morrissey 2005
dalam Martin-Sanchez et al. 2009).
2.3.1 Pengertian dan Karakteristik SurimiMenurut Suzuki (1981), surimi merupakan produk antara yang terbuat
dari daging ikan yang dilumatkan setelah mengalami proses penggilingan dan
pencucian. Kriteria paling penting untuk menentukan kualitas surimi adalah
kekuatan gel yang dibentuknya. Kekuatan gel ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain jenis ikan, tingkat kesegaran, pH dan kadar air, pencucian,
umur, tingkat kematangan, konsentrasi dan jenis penambahan zat anti
denaturasi serta suhu dan waktu pemasakan.
Secara teknis semua jenis ikan dapat dijadikan surimi. Namun, ikan yang
berdaging putih, tidak berbau lumpur dan tidak terlalu amis serta mempunyai
kemampuan membentuk gel yang bagus akan memberikan hasil (surimi) yang
lebih baik. Beberapa jenis ikan yang baik untuk dijadikan surimi antara lain ikan
6
Cunang/ Remang, Tenggiri, Kakap, Tigawaja, Beloso, Cucut dan lain-lain. Ikan
air tawar seperti lele, tawes, nilam dan lain-lain juga dapat diolah menjadi surimi.
Mutu kesegaran ikan yang digunakan harus benar-benar sangat segar.
Penggunaan ikan yang kurang segar maupun ikan yang telah dibekukan akan
menurunkan mutu surimi. Demikian pula ikan yang berdaging merah akan
menghasilkan surimi yang lebih berat dan baunya lebih amis, sehingga hanya
dapat digunakan untuk produk yang warnanya tidak harus putih. Daging merah
biasanya mengandung lemak lebih banyak dibandingkan daging putih, sehingga
surimi dan produk surimi yang dihasilkan lebih cepat tengik (Paranginangin et al.
1999).
Berdasarkan kandungan garamnya, surimi beku dibedakan menjadi dua
yaitu mu-en surimi (surimi tanpa garam) dan ka-en surimi (surimi dengan garam).
Mu-en surimi dibuat dengan penggilingan daging lumat yang sudah dicuci
dengan air, dicampur dengan gula dan polyphosphate. Ka-en surimi diolah
dengan cara yang sama dengan penambahan garam dan gula ke dalam daging
lumat. Selain surimi beku, jenis lain dari surimi yang telah dihasilkan walaupun
dalam skala terbatas diberi nama “surimi na-ma” (surimi mentah) (Suzuki 1981).
Kualitas dari surimi beku dinilai dari kekuatan gelnya dan warna dari
surimi tersebut. Menurut Winarno (1993), kualitas surimi yang baik adalah yang
berwarna putih kuat dan dapat membentuk gel. Kesegaran dari bahan baku
merupakan prasyarat yang paling penting dalam pengolahan surimi, dan untuk
memperoleh mutu produk yang tinggi maka proses pembusukan pasca kematian
ikan harus diperkecil (Wasson 1992; Seymour et al. 1994; Choi et al. 2005;
Martin-Sanchez et al. 2009). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hilangnya
kesegaran ikan adalah denaturasi protein miofibril, tingkat proteolisis dan pH
(Hamann dan MacDonald 1992 dalam Martin-Sanchez et al. 2009). Tingkat
kesegaran juga menentukan kemampuan pembentukan gel dan daya ikat air dari
surimi yang dihasilkan (Hall dan Ahmad 1992; Carvajal et al. 2005; Martin-
Sanchez et al. 2009).
Lee (1984) menyatakan bahwa faktor penting yang mempengaruhi proses
pembuatan surimi yang berkualitas baik antara lain: cara penyiangan
(pemotongan kepala, fillet), besarnya partikel dari daging lumat, kualitas air,
temperatur ikan, peralatan yang digunakan dan cara pencucian. Menurut Bertak
dan Karahadian (1995), faktor utama yang harus diperhatikan selama proses
pembuatan surimi adalah suhu air pencuci dan suhu pada saat penggilingan
7
daging ikan. Suhu air yang lebih tinggi akan lebih banyak melarutkan protein larut
garam. Kekuatan gel terbaik diperoleh jika daging ikan dicuci dengan air yang
bersuhu 10-15 ºC.
Pencucian adalah tahap kritis dalam proses pembuatan surimi. Pencucian
dapat menghilangkan materi yang dapat larut air seperti darah, protein
sarkoplasma, enzim pencernaan, garam inorganik dan senyawa organik
bermolekul rendah seperti trimetilamin oksida (Benjakul et al. 1996). Menurut Lee
dan Kim (1986), pencucian juga dapat meningkatkan kualitas warna dan aroma,
serta meningkatkan kekuatan gel surimi. Komponen utama yang larut dalam air
akan hilang dalam jumlah yang banyak pada siklus pencucian pertama kali.
Secara umum agitasi selama lima menit dalam setiap kali pencucian untuk
pencucian sebanyak dua kali dengan rasio air dan daging 3:1 telah dinilai cukup.
Lin et al. (1996) dalam Benjakul et al. (1996) melaporkan bahwa 27 % dan 38 %
protein hilang berturut-turut pada pencucian sebanyak dua kali dan tiga kali
dalam proses pengolahan surimi.
2.3.2 Syarat Mutu SurimiMutu bahan baku yang digunakan dalam pembuatan surimi yaitu bahan
baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas
dari tanda komposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang
dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan. Secara
organoleptik, bahan baku harus mempunyai karakteristik kesegaran menurut SNI
01-2694-1992 sekurang-kurangnya sebagai berikut:
(a) rupa dan warna : bersih, warna daging spesifik jenis ikan
(b) aroma : segar spesifik jenis
(c) daging : elastis, padat dan kompak
(d) rasa : netral agak manis
Untuk mempertahankan mutu surimi beku, bahan baku harus segera
diolah. Apabila harus terpaksa menunggu proses lebih lanjut maka ikan harus
disimpan dengan es atau air dingin (0-5 ºC), kondisi saniter dan higienis (SNI 01-
2694-1992). Tabel 2.2 menunjukkan syarat mutu surimi beku berdasarkan SNI
01-2693-1992.
8
Tabel 2.2 Syarat Mutu Surimi Beku (SNI 01-2693-1992)Jenis Uji Satuan Persyaratan Mutu
1.) Organoleptik- Nilai min 7
2.) Cemaran Mikroba- ALT, maks koloni/g 5 x 105
- Escherichia coli AMP/g < 3- Coliform per 25 g 3- Salmonella *) per 25 g negatif- Vibrio Cholerae *) negatif
3.) Cemaran kimia- Abu total, maks % b/b 1- Lemak, maks % b/b 0,5- Protein, maks % b/b 15
4.) Fisika- Suhu pusat, maks OC -18- Uji lipat, min Grade A- Elastisitas g/cm2 300
*) jika diperlukanKeterangan : ALT = Alat Lempeng Total, AMP = Angka Paling memungkinkan
2.3.3 Kerusakan Surimi Selama Penyimpanan BekuFokus utama dari kualitas surimi adalah memelihara sifat fungsional dari
protein myofibril agar membentuk gel yang elastis. Pembekuan digunakan untuk
penyimpanan surimi agar memiliki umur simpan yang lebih lama. Namun
demikian, penyimpanan beku membuat protein myofibril terdenaturasi (Park,
2005; Hasanpour et al., 2012). Adanya denaturasi akan menyebabkan terjadinya
agregasi pada protein myofibril yang terjadi akibat adanya interaksi ikatan
hidrogen, ionic, hidrofobik atapun ikatan disulfida. Air memiliki peranan penting
dalam perubahan ini. Pembekuan membuat air dalam surimi membeku menjadi
kristal es dan mengakibatkan terjadinya perubahan kekuatan ionik serta tingkat
pH dalam surimi. Hal ini berlanjut menyebabkan terjadinya dehidrasi dan
perubahan tekstur (Hall and Ahmad, 1992 ; Hasanpour et al.,2012).
Kekuatan gel adalah parameter penting bagi produk berbasis surimi.
Seiring dengan proses penyimpanan beku yang dilakukan terhadap surimi, maka
terjadi kerusakan atau penurunan kekuatan gel pada surimi. Dapat dikatakan,
sifat fungsional protein myofibril dalam surimi dapat menurun secara cepat
selama pembekuan. Menurunnya nilai kekuatan gel mengindikasikan
menurunnya mutu surimi dan penerimaan konsumen manjadi menurun. Uju
(2009), menyatakan penyimpanan surimi selama 4 minggu pada suhu -5oC
diketahui nilai kekuatan gel nya lebih rendah dibanding dengan penyimpanan
pada suhu - 18oC. Hal ini menunjukkan bahwa suhu mempengaruhi kualitas
9
surimi. Dalam penyimpanan suhu -18oC kadar protein myofibril masih dapat
dijaga dari kondisi terdegradasi, dibandingkan dengan suhu -5oC dimana protein
myofibril berkurang sebesar 19,12%.
2.3.3.1 Denaturasi ProteinPerubahan pada suatu protein yang ditimbulkan oleh panas dikenal
sebagai denaturasi. Pengaruh panas tersebut terjadi pada semua protein
globular, tanpa memandang ukuran atau fungsi biologinya, walaupun suhu tepat
bagi fenomena tersebut mungkin bisa bervariasi. Namun denaturasi protein
dapat terjadi bukan hanya oleh panas, tetapi juga oleh pH ekstrim, beberapa
pelarut organik (alkohol atau aseton), zat terlarut tertentu (urea), detergen, atau
hanya dengan pengguncangan intensif larutan protein dan bersinggungan
dengan udara sehingga berbentuk busa (Lehninger 1982).
Rantai polipeptida (dengan struktur lebih tinggi dan lebih besar dari
struktur primer) berikatan kovalen pada protein asli dan melipat dalam tiga
dimensi dengan suatu pola khas untuk masing-masing jenis protein. Pola spesifik
pada tiap rantai yang terbentuk memberikan aktivitas biologi yang khas. Apabila
suatu protein terdenaturasi, susunan tiga dimensi khas dari rantai polipeptida
terganggu dan molekul tersebut terbuka menjadi acak (Gambar 2.2), namun
tanpa ada kerusakan pada struktur kerangka kovalen (struktur primer) (Lehninger
1982).
Gambar 2.2. Perlakuan Panas dan Penyebab Lain Dapat MenyebabkanDenaturasi dan Membukanya Protein Globular Asli Tanpa Memecah Kerangka
Kovalen (Lehninger 1982).
Terjadinya denaturasi protein selama penyimpanan suhu rendah
disebabkan adanya peningkatan konsentrasi garam mineral dan substansi
organik terlarut pada akhir fase sebelum terjadi pembekuan di dalam sel. Dengan
demikian konsentrasi garam mineral menjadi sangat tinggi apabila cairan dalam
sel membeku, sehingga menyebabkan terjadinya pemisahan dan denaturasi
10
protein. Akibat dari semua ini, maka akan terjadi perubahan pH dan kekuatan
ionik (Suzuki 1981).
2.4 Bahan Tambahan dalam Pembuatan SurimiBahan tambahan adalah bahan yang sengaja ditambahkan dengan
tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi nilai gizi, cita rasa,
mengendalikan keasaman dan kebasaan serta bentuk, tekstur dan rupa produk
(Winarno et al. 1980). Dalam proses pembuatan surimi sering digunakan bahan-
bahan tambahan tertentu. Bahan tambahan yang ditambahkan dalam proses
pembuatan surimi bertujuan untuk meningkatkan kualitas surimi. Bahan
tambahan yang digunakan dalam pembuatan surimi antara lain adalah garam
dan cryoprotectant (gula dan polifosfat).
2.4.1 Garam
Garam merupakan bahan pengawet yang utama. Penambahan garam
pada pembuatan surimi berfungsi sebagai pengawet karena dapat mencegah
kerusakan dan meningkatkan daya simpan. Peranan garam NaCl adalah pada
konsentrasi yang rendah sebagai pembentuk rasa, sedangkan pada konsentrasi
yang tinggi berperanan sebagai pencegah terhadap pertumbuhan bakteri
(bakteriostatik). Pada konsentrasi 2-5 % yang dikombinasikan pada suhu rendah,
dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme, sedangkan pada konsentrasi
10-15 % sebagian besar bakteri terbunuh (kecuali beberapa bakteri halofilik)
(Damayanthi dan Mudjajanto, 1994).
Menurut Damayanthi dan Mudjajanto (1994), garam mempunyai sifat
higroskopis sehingga menarik air keluar jaringan akibatnya aw akan menjadi
rendah dan garam juga mempunyai tekanan osmotik yang tinggi sehingga
memecahkan (plasmolisis) membran sel mikroba. Vaclavik dan Christian (2000)
menyatakan bahwa beberapa peran garam pada makanan yaitu berfungsi
sebagai pemisah untuk mencegah pembentukan saus tepung, mengurangi
gelatinisasi tepung, menstabilkan busa putih telur, dan meningkatkan suhu
koagulasi pencampuran protein.
2.4.2 Cryoprotectant
Cryoprotectant adalah bahan yang bertindak sebagai stabilizer pada
produk yang disimpan dalam keadaan beku seperti surimi. Penambahan ini
bertujuan untuk lebih memperpanjang daya simpan surimi (Park 2005;
11
Hasanpour et al., 2012) dan meningkatkan sifat mekanik dari surimi. Namun
penambahan bahan – bahan ini juga bisa memberikan efek samping seperti
membuat surimi menjadi off flavor maupun off colour (Rawdkuen and Benjakul,
2008; Hasanpour et al., 2012). Umumnya, surimi komersial menggunakan
cryoprotectant berupa sorbitol dan sukrosa dengan perbandingan 1:1 , namun
penggunaan ini menyebabkan surimi memiliki rasa lebih manis dan dapat terjadi
reaksi maillard.
Cryoprotectant bisa berasal dari berbagai sumber seperti golongan
hydrocolloid, pati protein bahkan enzim. Penggunaan cryoprotectant dari
golongan hydrocolloid seperti konjac glucomanan (Guangquan, et al.,2009,
alginate, karaginan baik jenis kappa maupun iota, locus bean gum, guar gum
(Perez-Mateos, et al., 2000), xanthan gum (Hasanpour, et al, 2012)
Cryoprotectant dari golongan protein dan pati contohnya adalah putih telur, isolat
protein kedelai dan pati kentang (Javapour et al., 2012). Selai itu polisakarida
hasil turunan kitin dari crustacean yang berupa kitosan sebagai cryoprotectant
(Dey, et al., 2011). Penggunaan enzim sebagai cryoprotectant juga saat ini telah
banyak dikembangkan seperti penggunaan enzim transglutaminase (TG-s) baik
yang komersial (Ramirez et al., 2000) maupun yang diekstrak dari mikroba
tertentu.
Cryoprotectant mampu menginaktifkan kondensasi dengan cara mengikat
molekul air melalui ikatan hidrogen. Cryoprotectant meningkatkan kemampuan
air sebagai energi pengikat, mencegah pertukaran molekul-molekul air dari
protein, dan menstabilkan protein (Zhou et al., 2006). Kebanyakan mono-, di-
sakarida dan beberapa poliol bermolekul rendah, sama seperti halnya asam
amino dan asam karboksilat memiliki sifat cryoprotective. Selain itu, bahan-bahan
berberat molekul tinggi seperti polidekstrosa dan maltodekstrin juga dapat
berfungsi sebagai agen cryoprotective (Arakawa et al., 1990; Auh et al., 1999).
Seperti apapun bentuk molekulnya, cryoprotectant harus larut air, dapat
menurunkan titik beku dalam larutan sifatnya non toksik terhadap sel, sehingga
dapat bertindak sebagai pelindung (McHugh 2003). Skema denaturasi protein α-
heliks protein selama penyimpanan beku dan pencegahannya oleh
cryoprotectant ditunjukkan pada Gambar 2.3.
12
Gambar 2.3 Skema Denaturasi Protein α-heliks selama Penyimpanan Beku danPencegahannya oleh Cryoprotectant (Matsumoto dan Noguchi 1992)
Protein akan mengalami denaturasi protein α-heliks protein selama
penyimpanan beku seperti pada Gambar 2.3. Denaturasi protein mengakibatkan
reaksi antara protein-protein yang terjadi lebih banyak dibandingkan dengan
protein-air, maka akan menghasilkan gel yang rapuh. Surimi tanpa penambahan
cryoprotectant menghasilkan kristal es berukuran besar dalam jumlah besar yang
mengaibatkan umur simpan yang rendah (Zayas,1997). Surimi dengan
penambahan cryoprotectant mampu meningkatkan kemampuan air sebagai
energi pengikat, menstabilkan protein dan menghasilkan reaksi antara protein-air
lebih banyak daripada reaksi antara protein-protein (Matsumoto,1992).
2.4.2.1 KitosanKitin adalah polisakarida alami yang keberadaannya terikat didalam
komponen struktural cangkang (charapax) crustacean seperti udang dan
kepiting. Sifat fungsional dari chitin mulai diteliti dan diaplikasikan pada produk
pangan (Benjakul et al., 2000; Romero et al., 1998; Yamashita, Zhang dan
Nozaki, 2001). Hidrolisis asam dari chitin atau kitosan menghasilkan
oligosakarida yang mengandung ikatan β (1,4) N-asetil-D-glucosamin (2-
asetamido-2-deoksi-D-glukosa;GlcNAc) dan glukosamin (2-amino-2-deoksi-D-
13
glukosa;GlcN) yang sekarang mulai banyak diteliti karena sifat kimiawi, fisik, dan
biologisnya. Oligosakarida yang diekstrak dengan hidrolisis asam banyak dipakai
dalam bidang medis, obat-obatan dan bahan tambahan pangan (Shimoda,
Nagajima, Hiratsuka, Nishimura, dan Kurita, 1996).
Somjit et al., (2005) dalam penelitiannya menggunakan chitin dan kitosan
untuk mengetahui pengaruhnya terhadap kekuatan gel surimi mengemukakan
aktivitas ATPase dari sampel kontrol sebesar 0.656 µmolPi/min mg protein,
sampel perlakuan memiliki aktivitas ATPase sebesar 0.712 µmolPi/ min mg
protein, 0.64 µmolPi/min mg protein, 0,6781 µmolPi/min mg protein, dan 0.599
µmolPi/min mg protein. Sampel yang disimpan selama 30 hari menunjukan
penurunan aktivitas ATPase. Semua bahan tambahan memiliki pengaruh
terhadap nilai aktivitas ATPase. Sampel kontrol mengalami denaturasi paling
cepat selama penyimpanan beku.
Gambar 2.4 Gambar Kitosan (kiri); Struktur Kimia Kitosan (kanan)
Kitosan mempunyai reaktifitas kimia yang baik karena mempunyai
sejumlah gugus hidroksil (-OH) dan gugus amina (-NH2) pada rantainya,
merupakan polisakarida bersifat basa.Kitosan memiliki gugus hidroksil dan amin
yang dapat memberi jembatan hidrogen secara intermolekuler atau
intramolekuler. Dengan demikian terbentuk jaringan hidrogen yang kuat,
membuat kitosan tidak larut dalam air (Kumar, 2000)
Proses pembekuan menyebabkan denaturasi protein selama
penyimpanan. Hidrolisat chitin memberikan pengaruh yang kuat selama
pembekuan dan penyimpanan beku. Matsuda et al., (1985) menyatakan
pembekuan menginduksi denaturasi protein baik terhadap sampel yang
14
ditambah chitin maupun tidak. Hidrolisat dan glukosa mengikat air dalam struktur
3 dimensi protein dan menstabilkan struktur molekular protein selama
penyimpanan dingin. Surimi yang ditambahkan hidrolisat memiliki korelasi yang
kuat antara inaktivasi ATPase dan air terikatnya. Dari sini bisa kita ketahui bahwa
air memegang peranan penting dalam denaturasi protein.
Hidrolisat chitin memiliki kemampuan yang bagus untuk produk pangan
dan merupakan senyawa dengan kalori rendah. Senyawa ini mampu
menghambat denaturasi protein selama pembekuan dan meningkatkan jumlah
air tak beku. Senyawa ini juga mampu membentuk sifat gel yang bagus dengan
tekstur kompak. Dapat diketahui bahwa penambahan hidrolisat chitin kedalam
gel surimi mampu menghambat proses denaturasi protein sehingga protein
miofibrilar dapat terjaga sifat fungsionalnya dalam membentuk gel.
2.4.2.2 Xanthan Gum
Gambar 2.5 Struktur Kimia Xanthan Gum
Xanthan gum merupakan salah satu polisakarida ekstraselluler yang
terdispersi dalam air, butir-butir polisakarida yang bersifat hdrofilik akan
menyerap air dan mmbengkak. Air yang sebelumnya berada di luar granula dan
bebas bergerak, tidak dapat bergerak lagi sehingga keadaan larutan lebih
mantap dan terjadi peningktan viskositas (Fennema, 1996). Xanthan gum
merupakan heteropolisakrida yang mengandung tulang belakang berupa ikatan
1-4 B-D glukosa (2 glukosa), senyawa ini mirip selulosa, kemudian xanthan gum
juga memiliki rantai samping berupa 2 manosa dan 1 asam glukoronat serta
15
terdapat residu asam piruvat (Glicksman,1982). Senyawa ini menyebabkan
xanthan gum memiliki daya ikat air yang besar (Nussinovitch,1997) Xanthan gum
dapat larut pada air dingin dan air hangat, kemampuan xanthan sebagai pengikat
air dan pengemulsi masih lebih bagus dibanding gum lainnya. (Lin dan Mei,
2000; Phillips dan Williams, 2000).
Xanthan gum memiliki berat molekul beragam antara 2-11 juta, diduga
semakin besar BM yang dimiliki, semakin banyak pula gugus hidroksil yang
dimiliki, gelling agent tersebut akan lebih kuat dalam memerangkap air. Hui
(1992) menambahkan bahwa semakin banyak gelling agent dan thickening yang
digunakan akan mengakibatkan produk semakin kental. Air yang tidak bebas
bergerak tersebut diduga menyebabkan air dalam produk sulit menguap pada
saat pemanasan.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk interaksi protein-hidrokoloid. Studi
interaksi protein hidrokoloid-myofibrillar antara interaksi karagenan dan alginat
dengan produk daging karena kepentingan dalam memperluas produk rendah
lemak (Defreitas et al., 1997). Masih terdapat kurangnya data tentang pengaruh
xanthan pada sifatnya sebagai pembentuk gel protein myofibrillar. Studi juga
menunjukkan bahwa penambahan gum polisakarida dapat meningkatkan
kapasitas pengikatan air protein kedelai (Sanchez et al., 1995).
2.5 Mekanisme Pembentukan GelGelasi protein daging terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah
denaturasi protein (tidak menggulungnya rantai protein) dan tahap kedua adalah
terjadinya agregasi protein membentuk struktur tiga dimensi (Niwa 1992).
Hudson (1992) membagi proses gelasi menjadi tiga bagian yang diawali dengan
proses denaturasi protein utuh dari bentuk terlipat menjadi tidak terlipat. Tahap
pertama adalah pembentukan turbiditas yang terjadi pada 3-10 menit
pemanasan pertama. Pada tahap ini terjadi interaksi hidrofobik. Menurut Niwa
(1992), ketika suhu naik, maka ikatan hidrogen menjadi tidak stabil dan interaksi
hidrofobik akan berlangsung lebih kuat.
Tahap kedua adalah oksidasi sulfihidril (Hudson 1992). Pada tahap ini
menurut Niwa (1992) pasta surimi akan mengeras, dimana ikatan intermolekul
disulfida (SS) terbentuk melalui oksidasi dari dua residu sistein. Ikatan disulfida
lebih intensif terjadi pada suhu pemanasan yang lebih tinggi (di atas 80 ºC).
Tahap ketiga adalah tahap peningkatan elastisitas gel yang terjadi ketika
16
pendinginan. Peningkatan elastisitas ini terjadi karena pembentukan ikatan
hidrogen kembali yang menyebabkan peningkatan terhadap kekerasan gel
(Hudson 1992).
Pasta surimi yang dibuat dengan mencampurkan daging dengan garam
dan dipanaskan, akan menyebabkan pasta daging tersebut berubah menjadi gel
swari. Gel swari tidak hanya terbentuk oleh hidrasi molekul protein, tetapi juga
oleh pembentukan jaringan oleh ikatan hidrogen pada molekul miofibril. Gel swari
terbentuk dengan cara menahan air di dalam ikatan molekul yang terbentuk oleh
ikatan hidrofobik dan ikatan hidrogen, Pembentukan gel swari terjadi pada
pemanasan dengan suhu 50 ºC (Suzuki 1981).
Pemanasan gel bila ditingkatkan hingga di atas suhu 50 ºC, maka struktur
gel tersebut akan hancur. Fenomena ini disebut modori. Modori akan terjadi
apabila pasta surimi dipanaskan pada suhu 50-60 ºC selama 20 menit, pada
rentang suhu tersebut enzim alkali proteinase akan aktif. Enzim tersebut dapat
menguraikan kembali struktur jaringan tiga dimensi gel yang telah terbentuk
sehingga gel surimi akan menjadi rapuh dan hilang elastisitasnya. Berkaitan
dengan fenomena tersebut, maka dibuat sebuat metode untuk membuat gel
surimi yang kuat dengan melewatkan secara cepat pasta surimi tersebut pada
zona rentang suhu dimana modori dapat terjadi. Gel surimi yang elastis terbentuk
ketika pasta daging dipanaskan dengan melewati suhu modori, dengan cara
pemanasan ini terbentuk jaringan dengan dimensi lebih besar yang disebut gel
ashi (Suzuki 1981). Proses pembentukan gel ikan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 2.4 Mekanisme Pembentukan Gel Ikan (Suzuki 1981)
2.6 Bakso IkanBakso adalah salah satu bentuk olahan restrukturisasi daging yang
merupakan produk pangan berbentuk bola atau yang lain, yang diperoleh dari
campuran daging / ikan yang telah dihaluskan dengan cara digiling (kadar
daging/ikan minimal 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan
bahan-bahan kimia lain serta bahan tambahan makanan yang diijinkan (SNI,
1995). Bentuk bakso ikan disajikan pada Gambar 2.5
17
Gambar 2.5 Bakso Ikan
Menurut Hardoko (1994) daging ikan sebagai bahan utama pembuatan
bakso merupakan sumber protein myofibril yang membentuk gel. Sedangkan pati
yang ditambahkan berfungsi sebagai pembentuk sekaligus memperbaiki adonan,
meningkatkan daya ikat air dan memperbaiki tekstur. Kriteria mutu untuk tekstur
bakso adalah tekstur kompak, elastis, tidak ada serat daging, tidak ada duri dan
tulang, tidak basah berair dan rapuh (Wibowo, 1999). Proses pengikatan ini
merupakan suatu reaksi yang dipengaruhi oleh pemanasan, karena daging
dalam keadaan segar (Hardoko, 1994).
Proses pembuatan bakso ikan meliputi: pencucian ikan segar, pemisahan
daging ikan dari duri dan jerohan, penggilingan, penirisan, pencampuran dengan
tepung tapioka dan bumbu-bumbu yaitu bawang putih, merica, gula, garam, MSG
yang telah dihaluskan; kemudian pencetakan berbentuk bola, perendaman
dalam air hangat 40oC 15 menit, perebusan sampai mengapung (matang) dan
penirisan (Wibowo, 1999).
18