Upload
others
View
15
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ginjal
2.1.1 Pengertian Ginjal, Penurunan fungsi dan
Manifestasi klinis.
Gagal ginjal kronik adalah suatu sindrom klinis yang
disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun
berlangsung progresif, dan cukup lanjut (Suyono, dkk. 2001).
Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir end stage
renal disease (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang
progresif dan irreversible di mana kemampuan ginjal gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit, menyebabkan uremia Retensi urea dan sampah
nitrogen lain dalam darah (Bruner dan Sudart, 2002). Organ
ginjal juga berfungsi untuk mengatur tekanan darah,
memproduksi vitamin D, menghasilkan hormone eritropoeitin
yang berfungsi untuk membentuk sel darah merah (Indonesia
Kidney Care Club, 2014: 2), serta mengatur keseimbangan air
9
dan elektrolit dalam tubuh, mengatur konsentrasi garam dalam
darah, serta mengekresikan bahan buangan dan kelebihan
garam di dalam tubuh melalui urin (Price dan Wilson, 2005: 56).
Dari paparan ginjal oleh para ahli maka peneliti berkesimpulan
bahwa ginjal memiliki peranan dan fungsi yang sangat penting
dalam tubuh manusia, untuk itu jika ginjal tidak dapat berfungsi
dengan baik maka akan menimbulkan penyakit gagal ginjal.
Ginjal bertindak sebagai sistem filtrasi dari tubuh manusia
dan menghilangkan kotoran dari darah, sehingga sangat penting
bahwa mereka berfungsi dengan baik. Namun, penurunan fungsi
ginjal dapat terjadi pada pria dan wanita karena berbagai
penyebab. Memahami penyebab ini dapat membantu orang
mengambil tindakan pencegahan untuk melestarikan fungsi
ginjal mereka. Ginjal melakukan fungsinya 100% dari masing-
masing kerja ginjal yang berfungsi 50%. Ginjal melakukan fungsi
pada aktifitas sehari-hari hanya 25%, sedangkan 75% hanya
untuk cadangan apabila ginjal gagal fungsinya (Endang, 2012).
Apabila fungsi ginjal hanya hanya sebesar 25% tanpa ada
cadangan 75%, itu berarti ginjal mengalami penurunan dan
10
gagal fungsi. Namun pada kondisi seperti ini, pasien belum
merasakan kesakitan, akan tetapi jika gagal ginjal hanya dimiliki
15% untuk melakukan fungsinya maka akan menimbulkan
kesakitan pada tubuh manusia (Endang, 2012).
Ginjal yang mengalami gangguan akan terlihat jelas pada
pasien. Gejala yang dirasakan pasien biasanya sudah di tahap
akhir. gejala bervariasi dari ringan sampai berat tanda-tanda
berkurangnya fungsi ginjal tersebut, seperti pembengkakan
tubuh, sesak nafas, rasa mual muntah, dan penurunan
kesadaran. Selain itu juga terlihat gejala seperti pucat dan lemah
yang dikarenakan oleh jumlah sel darah merah berkurang akibat
hormone erittropoitein mengalami penurunan sehingga kadar
hemoglobin (Hb) juga akan turun (Indonesia Kidney Crae Club,
2014: 2).
Pada penyakit ginjal kronis terjadi kerusakan regional
glomerolus dan penurunan Gromerular filtration rate (GFR). yang
dapat berpengaruh terhadap pengaturan cairan tubuh,
keseimbangan asam basa, keseimbangan elektrolit, sistem
hematopoesis dan hemodinamik, fungsi ekskresi dan fungsi
11
metabolik endokrin. Sehingga menyebabkan munculnya
beberapa gejala klinis secara bersamaan, yang diebut sebagai
sindrom uremia (Suwitra, 2006). Penyakit gagal ginjal kronik
terjadi setelah sejumlah keadaan yang menghancurkan massa
nefron ginjal, dimana mencakup penyakit renal (disebabkan oleh
virus, bakteri, protozoa, dan genetic) dan non renal (trauma,
sumbatan, penyakit sistematik, nefrotoksik) (Price dan Wilson,
2005).
Pasien GGK stadium 1 sampai 3 (dengan GFR ≥ 30
mL/menit/1,73 m2) biasanya memiliki gejala asimtomatik. Pada
stadium-stadium ini masih belum ditemukan gangguan elektrolit
dan metabolik. Sebaliknya, gejala-gejala tersebut dapat
ditemukan pada GGK stadium 4 dan 5 (dengan GFR < 30
mL/menit/1,73 m2) bersamaan dengan poliuria, hematuria, dan
edema. Selain itu, ditemukan juga uremia yang ditandai dengan
peningkatan limbah nitrogen di dalam darah, gangguan
keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa dalam tubuh
yang pada keadaan lanjut akan menyebabkan gangguan fungsi
pada semua sistem organ tubuh (Arora, 2014). Kelainan
12
hematologi juga dapat ditemukan pada penderita ESRD. Anemia
normositik dan normokromik selalu terjadi, hal ini disebabkan
karena defisiensi pembentukan eritropoetin oleh ginjal sehingga
pembentukan sel darah merah dan masa hidupnya pun
berkurang (Arora, 2014).
Menurut (Sylvia dan Price, 1995:813). Perjalanan umum
pada gagal ginjal kronis dapat di bagi mnjadi tiga stadium :
Stadium 1: Penurunan cadangan ginjal, selama stadium ini
kreatinin serum dan kadar blood urea nitrogen (BUN) normal.
Penderita asimtomatik gangguaan fungsi ginjal diketahui dengan
tes pemekatan urine yang lama.
Stadium 2: Insufisiensi ginjal, dimana lebih dari 75% jaringan
telah rusak (GFR besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini
kadar BUN dan kreatinin mulai meningkat. Azotemia ringan
kecuali jika stress (infeksi, payah jantung), nokturia dan poliuria
karena gagal pemekatan.
Stadium 3: Uremia dimana 90% massa nefron telah hancur.
GFR 10% dari normal, krelin kreatinin < 5-10 ml/menit. BUN dan
13
kreatinin meningkat sangat menyolok. Urine BD = 1,010, oliguria
< 50 ml/24 jam, terjadi perubahan biokimia yang komplek dan
gejalanya. Perjalanan umum penyakit gagal ginjal kronik dapat
dilihat dari urea dalam darah, proses kliren kreatininnya dan laju
filtrasi glomerular (LFG) (Price dan Wilson, 2005:57), LFG
adalah banyaknya volume darah yang disaring oleh glomerulus
dalam suatu waktu (Indonesia Kidney Care Club, 2004:3).
2.2. Hemodialisa, Komplikasi, dan Indikasi.
Hemodialisis (HD) merupakan tindakan untuk
menggantikan sebagian dari fungsi ginjal. Tindakan ini rutin
dilakukan pada penderita penyakit ginjal kronik atau chronic
kidney disease (CKD) stadium V atau gagal ginjal kronik (GGK).
Sejak tahun 1970 sampai sekarang terapi hemodialisa di
Indonesia telah dilaksanakan di banyak rumah sakit (Sudoyo,
dkk. 2006:591). Terapi ini dilakukan 2-3 kali dalam seminggu
untuk membersihkan racun-racun dan mengeluarkan cairan
yang berlebihan dari dalam tubuh, dikarenakan ginjal alami
14
sudah tidak mampu melakukan fungsinya dengan baik. Tiap kali
terapi waktu yang diperlukan 2-5 jam dalam sekali terapi
(Indonesia Kidney Care Club, 2014:5).
Proses hemodialisa dimulai dengan pemasangan kanula
inlet ke dalam pembuluh darah arteri dan kanula outlet ke dalam
pembuluh darah vena, melalui fistula arteorivenosa yang telah
dibuat melalui proses pembedahan. Sebelum darah sampai ke
dialiser, diberikan injeksi heparin untuk mencegah terjadinya
pembekuan darah. Darah akan tertarik oleh pompa darah atau
blood pump melalui kanula inlet arteri ke dialiser dan akan
mengisi kompartemen 1 (darah). Sedangkan cairan dialisat akan
di alirkan oleh mesin dialisis untuk mengisi kompartemen 2
(dialisat). Didalam dialiser terdapat selaput membrane semi
permeable yang memisahkan darah dari cairan dialisat yang
komposisinya menyerupai cairan tubuh normal. Kemudian,
kompartemen dialisat tersebut dialiri cairan dialysis yang bebas
pirogen, dan berisi larutan yang komposisi elektrolitnya mirip
dengan serum normal serta tidak mengandung sisa metabolisme
nitrogen. Setelah itu, darah dan zat yang sudah terpisah akan
15
mengalami sebuah perpindahan dari konsentrasi yang tinggi ke
konsentrasi yang rendah sampai konsentrasi zat terlarutnya
sama di kedua kompartemen (difusi) (Sudoyo, dkk,.2006).
Toksin dan zat limbah didalam darah akan dikeluarkan
melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah, yang
memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi
yang lebih rendah. Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam
tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat
dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan. Gradien ini
dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang
dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis karena pasien
tidak dapat mengekskresikan air, kekuatan ini diperlukan untuk
mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia atau
keseimbangan cairan. Sistem bufer tubuh di pertahankan
dengan penambahan asetat yang akan berdifusi dari cairan
dialisat ke dalam darah pasien dan mengalami metabolisme
untuk membentuk bikarbonat. Setelah terjadi proses hemodialisa
didalam dialiser, maka darah akan dikembalikan ke dalam tubuh
melalui kanula outlet vena. sedangkan cairan dialisat yang telah
16
berisi zat toksin yang tertarik dari darah pasien akan dibuang
oleh mesin dialisis oleh cairan pembuang yang disebut
ultrafiltrat. Semakin banyak zat toksik atau cairan tubuh yang
dikeluarkan maka bersihan ureum yang dicapai selama
hemodialisa akan semakin optimal (Depkes, 1999; Bruner dan
Suddart, 2001).
Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan
sebagian dari fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada
penderita penyakit ginjal kronik stadium V atau gagal ginjal
kronik (GGK). Walaupun tindakan HD saat ini mengalami
perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak
penderita yang mengalami masalah medis saat menjalani HD.
Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani
HD adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya
menurun dengan dilakukannya UF atau penarikan cairan saat
HD. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang
menjalani HD 15 reguler. Namun sekitar 5-15% dari pasien HD
tekanan darahnya justru meningkat.Kondisi ini disebut hipertensi
intradialitik atau intradialytic hypertension (HID) (Agarwal dan
17
Light, 2010). Komplikasi HD dapat dibedakan menjadi komplikasi
akut dan komplikasi kronik (Daurgirdas dkk., 2007). Komplikasi
yang sering terjadi selama proses hemodialisa itu berlangsung
yaitu: rasa mual, muntah, kram otot, sakit kepala, hipotensi, sakit
dada, gatal, demam,sakit punggung, dan mengigil (Sudoyo dkk.,
2006).
Indikasi Hemodialisis pada gagal ginjal kronik adalah bila
lajufiltrasi glomerulus (LFG sudah kurang dari 5 ml/menit)
sehingga dialisis baru dianggap perlu dimulai. (Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006) tetapi tidak
semua pasien yang memiliki laju filtrasi glomerulus kurang dari 5
ml/menit. Untuk itu hemodialisa baru dianggap mulai dilakukan
jika salah satu dari hal-hal tersebut di bawah ini:
a. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
b. K serum > 6 mEq/L
c. Ureum darah > 200 mg/L
d. Ph darah < 7,1
18
e. Anuria berkepanjangan (> 5 hari)
f. Fluid overloaded. (Sudoyo, dkk, 2006).
2.3 Kepatuhan
Kepatuhan digambarakan oleh perilaku pasien dalam
meminum obat secara benar dari dosis, frekuensi dan waktu.
Kepatuhan adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan
ketaatan atau pasrah pada tujuan yang telah ditentukan
kesehatan mengemukakan bahwa kepatuhan berbanding lurus
dengan tujuan pengobatan yang ditentukan. Kepatuhan pada
program kesehatan merupakan perilaku yang dapat diobservasi
dan dengan begitu dapat langsung diukur yang dicapai pada
program (Arditawati, 2013; Rosiana, 2014).
Menurut (Bastuble 2002). kepatuhan program kesehatan
dapat ditinjau dari berbagai prespektif teoritis yaitu aspek yang
pertama adalah aspek biomedis yang meliputi demografi pasien,
keseriusan penyakit dan kompleksitas program pengobatan.
Aspek kedua adalah teori prilaku atau pembelajaran sosial
19
mengunakan pendekanatan beharvioristik seperti reword,
petunjuk, kontrak dan dukungan sosial. Aspek ketiga adalah
umpan balik komunikasi dalam mengirim,menerima, memahami,
menyimpan dan penerimaan. Keempat adalah keyakinan
rasional yang menimbang manfaat pengobatan dan risiko
penyakit melalui logika dan costbenefit. Kelima adalah system
pengaturan diri, pasien dilihat dalam memecahkan masalahnya
dalam mengatur prilakunya dalam hal persepsi atas penyakit,
ketrampilan kognitif dan pengalaman masa lalu yang dapat
mempengaruhi pasien dalam merencanakan dalam mengatasi
penyakit.
2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Pasien
Hemodialisa
2.4.1 Pendidikan
Pada penderita yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan
mempunyai pengetahuan yang lebih luas juga memungkinkan
pasien itu dapat mengontrol dirinya dalam mengatasi masalah
20
yang dihadapi, mempunyai rasa percaya diri yang tinggi,
berpengalaman dan mempunyai perkiraan yang tepat
bagaimana mengatasikejadian serta mudah mengerti tentang
apa yang dianjurkan oleh petugas kesehatan, akan dapat
mengurangi kecemasan sehingga dapat membantu individu
tersebut dalam membuat keputusan.
2.4.2 Pengetahuan Pasien
Pada penderita yang mempunyai pengetahuan yang lebih
luas memungkinkan pasien itu dapat mengontrol dirinya dalam
mengatasi masalah yang di hadapi, mempunyai rasa percaya
diri yang tinggi, berpengalaman, dan mempunyai perkiraan yang
tepat bagaimana mengatasi kejadian serta mudah mengerti
tentang apa yang dianjurkan oleh petugas kesehatan, akan
dapat mengurangi kecemasan sehingga dapat membantu
individu tersebut dalam membuat keputusan.
2.4.3 Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon tertutup seseorang
terhadap stimulus atau objek. Dari berbagai batasan tentang
21
sikap dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat
langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu
dari dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukan
adanya konotasi kesesuaiannya reaksi terhadap stimulus
tertentu, yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi
yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial, sikap
seseorang dapat mempengaruhi perilaku positif maupun
negative seperti pasien hemodialisa terhadap pentingnya
kepatuhan diet. Sikap juga merupakan semacam kesehatan
untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara tertentu.
Kesiapan tersebut merupakan kecendrungan potensial untuk
bereaksi dengan cara apabila individu dihadapkan pada suatu
stimulus yang menghendaki adanya respon ( Aswar, 2007).
2.4.4 Perilaku
Perilaku dapat diartikan sebagai segala perbuatan atau tindakan
yang dilakukan oleh makhluk hidup (Notoadmojo, 1987).
Manusia sebagai salah satu makhlup hidup mempunyai
bentangan yang sangat luas, sepanjang kegiatan yang
22
dilakukan, antara lain berjalan, berbicara, bekerja, menulis,
membaca, berpikir, dan sebagainya.
2.4.5 Motivasi
Menurut (Handoko, 2011). Motivasi adalah dorongan
penggerak untuk mencapai tujuan tertentu, baik disadari ataupun
tidak disadari. Motivasi dapat timbul dalam individu atau dating
dari lingkungan, motivasi yang baik adalah motivasi yang datang
dalam diri sendiri, bukan pengaruh lingkungan. Contohnya
pasien hemodialisa termotivasi untuk mentaati dalam
menjalankan program diet.
2.5 Diet, Syarat diet, Tujuan diet, dan pengaturan makanan.
Diet gagal ginjal kronik adalah diet yang memerlukan
batasan untuk mengkonsumsi semua jenis makanan. Diet yang
bersifat membatasi akan mengubah gaya hidup yang dirasakan
sebagai gangguan oleh pasien. Pengaturan diet gagal ginjal
sangatlah kompleks, ketidakmampuan dalam menahan rasa
haus bagi sebagian penderita gagal ginjal kronik, merupakan
23
hal yang paling sering terjadi. Edema pada ekstermitas bawah
pada pasien gagal ginjal kronik, merupakan gambaran dari
ketidakpatuhan dalam menjalankan terapi diet terutama
minuman, sehingga adanya gambaran kondisi seperti ini, pasien
dapat dikategorikan sebagai pasien dengan kualitas hidup yang
buruk (Smeltzer, 2002).
2.5.1 Tujuan diet
Anjuran diet didasarkan pada frekuensi hemodialisa, sisa
fungsi ginjal, dan ukuran tubuh. Sangat perlu diperhatikan
makanan kesukaan pasien dalam batas-batas diet yang
ditetapkan.
a. Mencegah defisiensi gizi serta mempertahankan dan
memperbaiki status gizi, agar pasien dapat melakukan
aktifitas normal
b. Menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit.
c. Menjaga agar akumulasi produk sisa metabolisme tidak
berlebihan.
24
2.5.2 Syarat Diet.
Syarat-syarat diet dengan dialysis adalah
a. Energi cukup, yaitu, 35KKal/Kg BB ideal.
b. Protein tinggi, untuk mempertahankan keseimbangan
nitrogen dan mengganti asam amino yang hilang
selama dialysis, yaitu 1-1,2g/Kg BB ideal/hari.
c. Karbohidrat cukup, yaitu 55-75% dari kebutuhan energi
total
d. Lemak normal. Yaitu 15-30% dari kebutuhan energi
total suplemen vitamin bila diperlukan, terutama vitamin
larut air seperti B12, asam folat dan vitamin C.
e. Bila nafsu makan kurang, berikan suplemen entersl
yang mengandung energy dan protein tinggi (Almatseir,
2008).
Menurut (Almatzeir, 2008), pada dialisis bergantung pada
frekuensi dialisis, sisa fungsi ginjal dan berat badan pasien. Diet
untuk pasien dengan dialisis biasanya harus direncanakan
25
perorangan.pada tabel di bawah ini akan di gambarkan
beberapa makanan yang di anjurkan dan tidak dianjurkan oleh
tim medis.
2.5.3 Contoh-contoh makanan yang di anjurkan.
Karbohidrat Protein Lemak
Nasi
Roti
Mie
Makaroni
Spahgety
Sagu
Lontong
Bihun
Jagung
Telur
Ayam
Daging
Ikan
Susu
Yogurt
Cumi
Kepeting
Minyak jagung
26
Madu
Sirup
Permen
2.6 Kerangka Konseptual
Faktor yang mempengaruhi
ke patuhan pasien
hemodialisa dalam pola
diet :
Faktor internal :
1. Pendidikan
2. Pengetahuan
3. Sikap.
4. perilaku.
5. Motivasi.
Ketidak patuhan pasien
hemodialisa dalam menjalani
pola diet
27
2.7 Kerangka operasional
No Variabel Definisi
Oprasional
Alat Ukur
1. Faktor yang
mempengaruhi
ketidak patuhan
dalam menjalani
pola diet:
a. Pendidikan
Hal (keadaan,
peristiwa) yang
ikut
menyebabkan
atau
mempengaruhi
ketidakpatuhan
pasien
hemodialisa
dalam menjalani
pola diet.
Jenjang
pendidikan formal
yang sudah di
Kuesioner
Pendidikan
28
b. Pengetahuan
c. Sikap
tempuh pada
pasien
hemodialisa dalam
menjalani pola diet
segala sesuatu
diketahui pasien
hemodialisa
dalam menjalani
pola diet.
Reaksi atau
respon terhadap
pasien
hemodialisa
Kuesioner
sebanyak
12
pernyataan
dengan
pilihan
jawaban:
1.Benar
0.Salah
Kuesioner
sebanyak
5
pertanyaan
29
dalam menjalani
pola diet.
dengan
pilihan
jawaban
1.Sangat
Setuju
(SS)
2.Setuju
(S)
3.Tidak
Setuju (TS)
4.Sangat
Tidak
Setuju
(STS)
Kuesioner
sebanyak
5
30
d. Perilaku
e.Motivasi
Tindakan pasien
hemodialisa
dalam mengatur
dan menjalani
pola diet.
Dorongan atau
penggerak pasien
hemodialisa
dalam menjalani
pola diet.
pertanyaan
dengan
pilihan
jawaban:
1.Ya
0.Tidak
Kuesioner
sebanyak
5
pertanyaan
dengan
pilihan
jawaban:
1.Sangat
Setuju
(SS)
2.Setuju
(S)
31
3.Tidak
Setuju (TS)
4.Sangat
Tidak