Upload
others
View
27
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Farmasi Komunitas
2.1.1 Definisi.
Farmasi Komunitas adalah area praktik farmasi di mana obat dan produk
kesehatan lainnya dijual atau disediakan langsung kepada masyarakat secara
eceran, baik melalui resep dokter maupun tanpa resep dokter (FIP, 1998). Di
Indonesia dikenal dengan nama Apotek, merupakan tempat menjual dan kadang-
kadang membuat atau meramu obat. Apotek juga merupakan tempat apoteker
melakukan praktik profesi farmasi sekaligus menjadi peritel (Anonim, 2011a).
Sejalan dengan perkembangan bidang kefarmasian, definisi apotek mengalami
beberapa kali perubahan. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 tahun 1965
yang dimaksud dengan apotek adalah tempat tertentu, di mana dilakukan usaha-
usaha dalam bidang farmasi dan pekerjaan kefarmasian, sebagaimana
dimaksudkan dalam pasal 2 huruf e dan pasal 3 huruf b Undang-undang No. 7
tahun 1963 tentang Farmasi (Presiden RI, 1965). Selanjutnya PP No. 26 tahun
1965 diubah melalui PP No. 25 tahun 1980 dan definisi apotek berubah menjadi
suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran
obat kepada masyarakat (Presiden RI, 1980). Terakhir dengan diterbitkannya PP
No. 51 tahun 2009 definisi apotek berubah menjadi sarana pelayanan kefarmasian
tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker (Presiden RI, 2009).
Universitas Sumatera Utara
17
2.1.2 Praktik Farmasi Komunitas
Praktik Farmasi Komunitas merupakan salah satu wujud pengabdian
profesi apoteker. Untuk penjaminan mutu penyelenggaraan praktik farmasi
komunitas, WHO dan FIP menerbitkan dokumen Cara Praktik Farmasi yang Baik
di Farmasi Komunitas dan Farmasi Rumah Sakit atau Good Pharmacy Practice
(GPP) In Community and Hospital Pharmacy Settings (WHO, 1996) dan Standar
Kualitas Pelayanan Kefarmasian atau Standard for Quality of Pharmacy Services
(FIP, 1997).
Dengan maksud yang sama, Indonesia menetapkan Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotik (Menkes RI, 2004) sebagai pedoman bagi para apoteker
dalam menjalankan profesi, dengan tujuan melindungi masyarakat dari pelayanan
yang tidak profesional. Penetapan standar pelayanan ini merupakan konsekuensi
perubahan fundamental dari pelayanan berorientasi produk ke pelayanan
berorientasi pasien yang mengacu pada filosofi asuhan kefarmasian
(pharmaceutical care), yaitu pelayanan komprehensif di mana apoteker
mengambil tanggung jawab mengoptimalkan terapi obat, untuk mencapai hasil
yang lebih baik dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup pasien (Cipolle, dkk.,
1998).
Asuhan kefarmasian didefinisikan pertamakali oleh Hepler dan Strand
(1990), melibatkan apoteker untuk memikul tanggung jawab atas hasil-hasil terapi
obat, di samping distribusi produk farmasi yang aman, akurat, dan efisien. Sebuah
komponen penting akibat pergeseran paradigma ini adalah peran profesional yang
terbarukan bagi para apoteker dalam proses pelayanan kepada pasien.
Paul Pierpaoli (1992), seorang pendidik dan praktisi farmasi menyatakan bahwa
konsep asuhan kefarmasian mengharuskan para apoteker menjadi profesional
Universitas Sumatera Utara
18
sejati, menjadi advokat pasien yang bertanggung jawab penuh, memiliki
komitmen untuk mencapai hasil terapi yang optimal.
Sebagaimana layanan kesehatan modern yang mengharuskan apoteker
memiliki pengetahuan dan keterampilan klinis tingkat lanjut, asuhan kefarmasian
membutuhkan pengembangan lebih lanjut karakteristik-karakteristik yang
membuat apoteker menjadi sebuah profesi, bukan sekadar sebuah pekerjaan
(Benner dan Beardsley, 2000). Ibnu Gholib Ganjar (2004), ketua Asosiasi
Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI), berpendapat bahwa asuhan
kefarmasian adalah pola pelayanan farmasi yang berorientasi pada pasien,
merupakan ekspansi kebutuhan yang meningkat dan tuntutan pelayanan farmasi
yang lebih baik demi kepentingan dan kesejahteraan pasien.
Dengan ditetapankannya Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek,
apoteker dituntut untuk senantiasa meningkatkan kompetensi dan komitmen.
Kompetensi meliputi pengetahuan, keterampilan, dan perilaku untuk
melaksanakan interaksi langsung dengan pasien, melaksanakan pemberian
informasi, monitoring penggunaan obat agar tujuan akhirnya sesuai harapan, dan
mendokumentasikannya dengan baik. Apoteker harus memahami dan menyadari
kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses
pelayanan, dan dituntut mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lain
dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan obat yang rasional. Maka
komitmen apoteker merupakan elemen penting dalam pelayanan kefarmasian agar
senantiasa menampilkan kinerja terbaik bagi kemanfaatan pasien yang dilayani
(FIP, 1997). Masyarakat dan profesi lain akan menilai bagaimana apoteker
mewujudkan komitmen ini ke dalam praktik. Lebih lanjut untuk mewujudkan
pelayanan kefarmasian yang baik dibutuhkan 4 syarat:
Universitas Sumatera Utara
19
a. Perhatian utama apoteker adalah kebaikan/kesejahteraan pasien.
b. Inti kegiatan adalah penyediaan obat dan produk kesehatan lainnya dengan
kualitas terjamin, pemberian informasi dan saran yang tepat bagi pasien, dan
melakukan pemantauan dampak penggunaan obat.
c. Kontribusi peran apoteker adalah promosi peresepan yang rasional dan
ekonomis, serta penggunaan obat secara tepat.
d. Tujuan setiap elemen pelayanan kefarmasian harus relevan bagi setiap pasien,
terdefinisikan secara jelas dan dikomunikasikan secara efektif kepada semua
pihak yang terlibat.
Ada beberapa kondisi yang dibutuhkan untuk memenuhi keempat syarat tersebut:
a. Profesionalisme harus menjadi filosofi utama yang mendasari praktik,
meskipun diakui bahwa faktor ekonomi juga penting.
b. Apoteker harus mempunyai peluang memberikan masukan untuk setiap
keputusan penggunaan obat-obatan, dan harus ada sistem yang memungkinkan
apoteker melaporkan kejadian buruk penggunaan obat, kesalahan pengobatan,
cacat dalam hal kualitas produk, atau diketemukannya produk palsu.
c. Hubungan berkelanjutan dengan profesional kesehatan lain khususnya dokter,
harus dipandang sebagai suatu kemitraan yang didasarkan atas rasa saling
percaya dan keyakinan dalam segala hal terkait farmakoterapi.
d. Hubungan antar apoteker harus dijalin sebagai hubungan kesejawatan untuk
meningkatkan pelayanan kefarmasian, bukan sebagai pesaing.
e. Praktisi apoteker dan manajer apotek harus berbagi tanggung jawab untuk
mendefinisikan, mengevaluasi, dan meningkatkan kualitas pelayanan.
f. Apoteker harus menyadari pentingnya informasi medis dan pengobatan setiap
pasien.
Universitas Sumatera Utara
20
g. Apoteker membutuhkan informasi yang independen, komprehensif, obyektif
dan terkini tentang terapi dan obat-obatan yang digunakan.
h. Apoteker harus menerima tanggungjawab pribadi dalam setiap praktik, untuk
menjaga dan menilai kompetensi mereka sepanjang kehidupan profesionalnya.
i. Program pendidikan untuk memasuki dunia profesi harus sesuai, baik untuk
praktik kefarmasian masa kini maupun untuk kemungkinan perubahan di masa
mendatang.
j. Standar pelayanan kefarmasian yang telah ditetapkan harus dipatuhi oleh para
apoteker praktisi.
2.1.3 Apotek Sebagai Bisnis
Apoteker yang memiliki apotek sendiri atau manajer bisnis farmasi adalah
pelaku bisnis. Dengan demikian, mereka memiliki dua tujuan: (a) untuk pelayanan
kesehatan pasien, dan (b) menghasilkan keuntungan yang cukup untuk bertahan
dalam bisnis. Hal ini sama pentingnya bagi apoteker maupun pekerja farmasi
lainnya di apotek, harus memahami tujuan bisnis dan melakukan semua yang
mereka bisa untuk membantu membuat bisnis sukses (Kelly, 2002). Untuk
menyesuaikan pengaruh sosial dan pasar, apotek mempunyai kecenderungan
menciptakan berbagai model yang bersifat dinamis. Apotek telah lama dianggap
menjadi salah satu pilar masyarakat, mereka menyediakan pelayanan dengan jam
buka yang panjang, dengan apoteker selalu siap untuk mengatasi berbagai
masalah kesehatan masyarakat. Apotek dengan kepemilikan perseorangan
cenderung mengkhususkan diri dalam pelayanan kesehatan rumah, peracikan, dan
penyediaan peralatan medis. Selain itu, telah ada inisiatif untuk mengembangkan
layanan kognitif profesional tentang kolesterol, hipertensi, diabetes, dan lain-lain
Universitas Sumatera Utara
21
dalam model praktik komunitas. Di samping apotek dengan kepemilikan
perseorangan, saat ini berkembang beberapa model apotek, seperti Apotek
Waralaba (Franchise) yang diperuntukkan bagi siapa saja yang mempunyai modal
tertentu untuk bergabung dalam manajemen waralaba tertentu. Selanjutnya
Apotek Jaringan dengan sepuluh gerai ritel atau lebih yang beroperasi di bawah
satu bendera perusahaan, dan Apotek Supermarket merupakan model kombinasi
farmasi dengan supermarket. Penawaran utama dari Apotek Supermarket adalah
kemudahan one-stop shopping bagi mayoritas konsumen yang membutuhkan
(Pisano, 2003).
2.1.4 Perkembangan Perizinan Apotek
Peraturan perundang-undangan yang pertama kali diterbitkan berkaitan
dengan apotek di Indonesia adalah UU No. 3 tentang Pembukaan Apotek pada
tahun 1953 (Pemerintah RI, 1953a). Bila sebelumnya apotek dibuka di mana saja
tanpa memerlukan izin dari pemerintah, sejak saat itu pemerintah dapat menutup
kota-kota tertentu untuk pendirian apotek baru apabila jumlahnya dianggap telah
mencukupi. Selanjutnya pada tahun yang sama terbit UU No. 4 tentang Apotek
Darurat (Pemerintah RI, 1953b) yang membenarkan seorang asisten apoteker
dengan masa pengalaman tertentu memimpin sebuah apotek. Hal ini sebagai
pengatasan masalah kurangnya tenaga apoteker untuk daerah-daerah yang belum
ada atau yang belum mencukupi jumlah apoteknya.
Sebagai pelaksanaan pasal 4 UU No.7 tahun 1963 tentang Farmasi, pada
tahun 1965 diterbitkan PP No. 26 tentang Apotek (Presiden RI, 1965) yang
membatalkan semua PP sebelumnya tentang Apotek. Melalui PP No. 26 ini mulai
diatur dan ditegaskan bahwa fungsi apotek bukanlah semata-mata sarana usaha
Universitas Sumatera Utara
22
sebagai mata pencaharian, akan tetapi lebih sebagai sarana distribusi perbekalan
farmasi yang harus mendistribusikan obat kepada masyarakat kapan dibutuhkan
secara meluas dan merata.
Penampilan apotek selama kurun waktu 15 tahun di bawah PP No. 26
tahun 1965 pada kenyataannya lebih memberi peluang sebagai usaha dagang, dan
dinilai telah menyimpang dari tugas dan fungsi utamanya sebagai sarana
pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Aspek pelayanan kesehatan yang
dilakukan oleh apotek menjadi semakin kecil, apotek kembali tampil dengan
fungsi utama sebagai penjual obat kepada masyarakat, hubungan apotek dan
pasien cenderung bersifat relasi antara penjual dan pembeli. Eksistensi dan
peranan apoteker sebagai tenaga ahli profesional di apotek semakin kurang jelas,
sehingga apoteker tidak dapat mengembangkan tanggung jawab keahliannya
untuk kepentingan masyarakat luas. Maka pada tahun 1980 terbit PP No. 25
tentang Perubahan PP No. 26 Tahun 1965 tentang Apotek (Presiden RI, 1980),
sebagai upaya profesionalisasi pelayanan obat kepada masyarakat dengan sasaran
utama peningkatan mutu pelayanan kesehatan melalui apotek. Perubahan
mendasar terjadi pada kedudukan dan cara pengelolaan apotek dari bentuk usaha
dagang menjadi tempat pengabdian profesi, yang lebih sesuai dengan fungsi
apotek, yaitu sebagai tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian,
pendistribusian, serta informasi perbekalan farmasi yang dibutuhkan masyarakat
oleh tenaga kefarmasian. Langkah nyata yang membekali seorang apoteker untuk
melaksanakan fungsi apotek tersebut adalah pengalihan izin apotek serta
pengelolaannya secara keseluruhan dari badan usaha kepada apoteker.
Pada tahun 1992 terbit UU No. 23 tentang Kesehatan (Pemerintah RI,
1992), pada pasal 63 ditegaskan bahwa pekerjaan kefarmasian harus dilakukan
Universitas Sumatera Utara
23
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Pasal
ini membawa konsekuensi diterbitkannya PP No. 51 tahun 2009 menggantikan PP
No. 25 tahun 1980 tentang Perubahan PP No. 26 Tahun 1965 tentang Apotek dan
PP No. 41 tahun 1990 tentang Masa Bakti dan Izin Kerja Apoteker. Melalui PP
No. 51 tahun 2009 pekerjaan kefarmasian diatur dengan tujuan:
a. Memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh
dan/atau menetapkan sediaan farmasi dan jasa kefarmasian;
b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan pekerjaan
kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta peraturan perundangan-undangan; dan
c. Memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga
kefarmasian.
2.2 Profesi
2.2.1 Definisi
Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan
terhadap suatu pengetahuan khusus. Sebuah profesi diidentifikasi melalui adanya
kemauan individual praktisinya untuk mematuhi etika dan standar profesional
melebihi persyaratan legal minimal (FIP, 2004). Suatu profesi biasanya memiliki
asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk
bidang profesi tersebut. Seseorang yang memiliki suatu profesi tertentu disebut
profesional. Profesi merupakan pekerjaan, namun tidak semua pekerjaan adalah
profesi (Anonim, 2011b). Dalam literatur lain dikatakan bahwa profesi adalah
sekelompok individu yang mematuhi standar etika dan mandiri, diterima oleh
publik sebagai sekelompok individu yang memiliki pengetahuan dan keterampilan
Universitas Sumatera Utara
24
khusus yang diperoleh melalui pembelajaran berasal dari penelitian, pendidikan,
dan pelatihan pada tingkat tinggi, yang digunakan bagi kemaslahatan orang lain
(Kelly, 2002).
2.2.2 Pendekatan Sosiologis Profesionalisasi
Apakah farmasi dianggap sebuah profesi perlu dilakukan analisis secara
mendalam. Berbagai literatur secara luas memperdebatkan sosiologi profesi, apa
sebenarnya profesi itu, atribut apa dari suatu pekerjaan yang umumnya diterima
sebagai pembeda sebuah profesi. Pertanyaan seperti mengapa beberapa pekerjaan
naik ke status profesi sedangkan yang lain tidak adalah teka-teki sosiologis yang
membutuhkan penjelasan. Sejak Parsons (1939), menerbitkan makalahnya
berjudul Profesi dan Struktur Sosial, banyak teori telah dipostulasikan. Sampai
tahun 1970-an, kebanyakan penulis mencoba untuk menjelaskan profesi sebagai
posisi unik dalam masyarakat dengan cara memberikan definisi. Mereka mencoba
mengidentifikasi atau mendefinisikan karakteristik dari suatu pekerjaan yang
khusus atau khas dengan status profesional. Ini mengakibatkan berkembangnya
atribut profesi, yang di antaranya dikemukakan oleh Goode (1960) yaitu 10 atribut
ideal sebagai ciri yang paling sering dikutip sebagai berikut:
a. Profesi menentukan sendiri standar pendidikan dan pelatihan.
b. Mahasiswa profesional mengalami proses pelatihan ekstensif dan sosialisasi.
c. Praktik profesional diakui secara legal dalam bentuk lisensi.
d. Pemberian lisensi dan proses masuk sebagai profesional diatur oleh anggota
profesi.
e. Kebanyakan undang-undang yang mengatur profesi dibentuk oleh profesi.
Universitas Sumatera Utara
25
f. Profesi memiliki pendapatan, kekuatan, dan status yang tinggi, dan dapat
menuntut pendatang baru berkemampuan lebih tinggi.
g. Profesional relatif bebas dari evaluasi secara awam.
h. Norma-norma praktik ditegakkan oleh profesi seringkali lebih ketat daripada
kontrol hukum.
i. Anggota profesi memiliki rasa identifikasi dan afiliasi yang kuat dengan
kelompok kerja mereka.
j. Sebuah profesi menjadi pekerjaan seumur hidup.
Menurut Benner dan Beardsley (2000), profesi adalah sebuah pekerjaan
yang memiliki 10 karakteristik sebagai berikut:
a. Pelatihan terspesialisasi yang lama dalam sebuah badan ilmu pengetahuan.
b. Berorientasi pelayanan.
c. Sebuah ideologi yang didasarkan atas keyakinan orisinil yang dianut oleh para
anggotanya.
d. Sebuah etika yang mengikat para praktisinya.
e. Sebuah badan ilmu pengetahuan yang unik bagi para anggotanya.
f. Seperangkat kepiawaian yang membentuk teknik profesi.
g. Sebuah serikat dari mereka yang berhak mempraktikkan profesi tersebut.
h. Kewenangan yang diberikan oleh masyarakat dalam bentuk lisensi dan
sertifikasi.
i. Pengaturan yang diakui ketika profesi dipraktikkan.
j. Berupa teori tentang manfaat sosial yang bersumber dari ideologi.
Seorang profesional adalah seorang anggota profesi yang menampilkan 10
karakteristik sebagai berikut (Benner and Beardsley, 2000; Chisholm, dkk., 2006;
ASHP Board, 2008):
Universitas Sumatera Utara
26
a. Pengetahuan dan keterampilan dari sebuah profesi.
b. Komitmen untuk memperbaiki diri dalam pengetahuan dan keterampilan.
c. Orientasi pelayanan.
d. Kebanggaan profesi.
e. Hubungan yang terikat perjanjian dengan klien.
f. Kreativitas dan inovasi.
g. Hati nurani dan keterpercayaan.
h. Akuntabilitas atas karyanya.
i. Pengambilan keputusan mendalam yang etis.
j. Kepemimpinan.
Beberapa sosiolog menyatakan bahwa profesi tertentu telah mencapai
statusnya, karena profesi tersebut melakukan fungsi-fungsi penting untuk kerja
masyarakat industri modern. Sosiolog melihat hal tersebut sebagai penjelasan
struktural-fungsional. Pandangan struktural-fungsional masyarakat analog dengan
organ ketika semua bagian organ berfungsi menjamin kesejahteraan organ itu.
Analogi ini dapat diibaratkan dengan sistem fisiologis tubuh manusia. Semua
lembaga sosial menggunakannya, jika tidak, mereka akan berhenti memiliki
fungsi dan dengan cepat akan menghilang.
Masyarakat industri yang kompleks membutuhkan pengetahuan pakar, dan
profesi melaksanakan fungsi menerapkan keahlian mereka untuk kepentingan
masyarakat. Pendekatan baik sifat maupun fungsional telah dikalahkan oleh
analisis yang lebih kritis dan realistis, profesi dapat dikatakan memiliki
karakteristik inti atau sifat tertentu, dan memenuhi fungsi sosial yang penting.
Universitas Sumatera Utara
27
2.2.3 Karakteristik Inti Profesi
Karakteristik inti semua profesi telah diidentifikasi sebagai berikut
(Taylor, dkk., 2003):
a. Memiliki pengetahuan dan pelatihan khusus. Untuk dapat diterima dalam
profesi, seseorang harus menjalani masa pelatihan tingkat tinggi, sangat khusus
dan jangka waktu tertentu, hingga memahami dan siap praktik dalam
pengabdian profesi. Karena itu praktik profesional memiliki keahlian yang
tidak mudah diakses semua orang. Dalam banyak hal pengetahuan khusus
profesional tidak dimiliki oleh konsumen yang dilayanai, akibatnya mereka
bergantung pada layanan profesional.
b. Berorientasi pelayanan. Profesional harus bekerja untuk kepentingan pasien
mereka, dan tidak berniat mengejar kepentingan diri mereka sendiri.
Karakteristik ini sangat penting karena sebuah profesi memiliki karakteristik
lain yaitu monopoli praktik di bidang mereka. Dalam bidang kefarmasian,
dikenal dan ditanamkan pengertian pelayanan berupa konsep terstruktur,
lengkap dengan panduan pelaksanaan operasionalnya, sehingga ditetapkan
sebagai standar profesional (professional standard) oleh asosiasi apoteker
internasional (FIP) yang disebut sebagai Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical
Care).
c. Monopoli praktik. Monopoli ini diberikan oleh undang-undang dan dijamin
oleh negara, dengan kata lain adalah ilegal untuk seseorang selain anggota
profesi melaksanakan tugas-tugas yang ditetapkan, misalnya adalah ilegal bagi
siapapun selain seorang ahli bedah yang memenuhi syarat untuk melaksanakan
transplantasi jantung. Praktik profesi bersifat otonom dan tidak tergantikan
oleh profesi lain, penilaian terhadap kinerja profesi yang bersangkutan diawasi
Universitas Sumatera Utara
28
dan diputuskan benar/salah oleh profesi itu sendiri (esoterik). Dalam bidang
kefarmasian di Indonesia, hal tersebut telah diatur dalam PP No. 51 tahun
2009.
d. Mempunyai regulasi sendiri. Selain pembatasan praktik, profesi memonitor
atau menjadi polisi bagi dirinya sendiri. Friedson (1970), berpendapat bahwa
sebuah profesi berbeda dari pekerjaan lain, karena diberi hak untuk
mengendalikan pekerjaannya sendiri. Sebuah profesi mengatur sistem
pelatihan, memutuskan siapa yang memenuhi syarat untuk memasuki profesi,
dan menilai siapa yang kompeten untuk berpraktik dalam profesi itu. Artinya,
mereka mengatur dirinya sendiri. Seorang profesional harus memelihara
derajat keterampilan dan pengetahuannya terkait dengan kegiatan
profesionalnya, berarti seseorang yang bukan profesional tidak dibenarkan
mengevaluasi atau mengatur kegiatan profesi. Jika para profesional tidak
melakukan secara kompeten atau secara etis, mereka membentuk badan
pengawas profesional. Dalam kasus farmasi, Royal Pharmaceutical Society of
Great Britain (RPSGB) adalah untuk Inggris dan Ikatan Apoteker Indonesia
(IAI) untuk Indonesia. Dalam bidang kefarmasian, profesi apoteker tercantum
dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan dan PP No. 51 tahun 2009
tentang pekerjaan kefarmasian, dan memiliki kode etik apoteker yang diakui
negara.
Kelly (2002), berpendapat bahwa ada tiga karakteristik umum dan dikenal
luas untuk sebuah profesi yaitu studi dan pelatihan, ukuran keberhasilan, dan
asosiasi. Studi dan pelatihan yang diberikan oleh perguruan tinggi dengan
pengetahuan dan keterampilan khusus untuk mempraktikkan profesi. Selain itu,
mahasiswa profesional harus belajar sejarah, sikap, dan etika profesi. Mereka juga
Universitas Sumatera Utara
29
harus menerima tugas dan tanggung jawab menjadi seorang profesional. Sebelum
diperbolehkan untuk praktik profesi, mahasiswa profesional harus diuji secara
komprehensif. Hal ini dimaksudkan untuk meyakinkan publik bahwa mahasiswa
sebagai calon profesional tersebut memenuhi persyaratan minimum untuk praktik
profesi. Apoteker harus melalui pendidikan di perguruan tinggi dan kemudian
harus mengikuti pelatihan magang selama 1.000-2.000 jam sebelum memenuhi
syarat untuk mengambil lisensi praktik profesional.
Keberhasilan profesi didasarkan pada layanan terhadap kebutuhan pasien,
dan untuk itu biasanya profesional menerima imbalan. Imbalan untuk seorang
profesional sejati adalah apabila mereka menyediakan dan melaksanakan
pelayanan kepada pasien. Fokus praktik seorang apoteker adalah kepada pasien
dan sesuai dengan kebutuhan pasien. Konseling dan pemberian nasehat-nasehat
kepada pasien tanpa kompensasi finansial telah menjadi bagian dari praktik
farmasi sejak awal. Menjadi anggota profesi berarti bekerja sama dengan sesama
anggota dan anggota profesi lain. Masing-masing anggota bekerja,
mengembangkan atau meningkatkan standar profesi, dan menghadiri berbagai sesi
pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi farmasi atau
organisasi profesi untuk meningkatkan keterampilan mereka. Apoteker memiliki
organisasi profesi baik tingkat lokal, nasional, dan tingkat internasional. Berbagi
informasi satu sama lain adalah salah satu kekuatan dari profesi farmasi.
2.2.4 Misi Profesi Farmasi
Misi profesi farmasi secara ringkas adalah membantu pasien menggunakan
obat dengan cara terbaik. Secara sederhana, ini adalah dasar dari pelayanan
farmasi, didukung secara luas oleh profesi farmasi sejak awal 1990.
Universitas Sumatera Utara
30
Agar dilakukan secara efektif dan aman, apoteker harus memelihara dan terus
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan profesional mereka sepanjang karir.
Profesional kesehatan harus terus belajar hal-hal yang baru, sementara pendidikan
berbasis kompetensi mempersiapkan seorang apoteker untuk memasuki praktik.
Tidak ada program profesional yang dapat menyediakan atau mengembangkan
semua pengetahuan, keterampilan, sikap, dan kemampuan yang dibutuhkan
apoteker. Hal ini membutuhkan kombinasi pendidikan sebelum praktik, pelatihan
dalam praktik, pengalaman kerja, dan belajar seumur hidup. Bagi seorang
profesional, pendidikan merupakan sesuatu yang berkelanjutan (Anonim, 2004).
Sebagai ahli obat-obatan, apoteker memiliki peran penting untuk
diaktualisasikan. Sebagai anggota tim pelayanan kesehatan, apoteker dapat
meningkatkan akses masyarakat terhadap berbagai aspek pelayanan primer,
meningkatkan keselamatan penggunaan obat, dan meningkatkan kerasionalan
penggunaan obat.
Menurut gugus tugas cetak biru (blue print) untuk farmasi, visi profesi
farmasi adalah luaran farmakoterapi yang optimal melalui pusat pelayanan
kesehatan, untuk mewujudkannya diperlukan 5 area tindakan strategis (Hill, dkk.,
2008):
a. Sumber daya manusia Farmasi.
b. Pendidikan dan pengembangan profesional berkelanjutan.
c. Teknologi informasi dan komunikasi.
d. Kelangsungan dan keberlanjutan keuangan.
e. Peraturan perundang-undangan dan tanggung jawab.
Universitas Sumatera Utara
31
2.2.5 Apoteker
Apoteker adalah seorang profesional anggota profesi farmasi, sarjana
farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan
apoteker (Presiden RI., 2009). Apoteker tidak hanya kompeten dalam terapi obat,
tetapi juga mempunyai komitmen membantu peningkatan kualitas hidup pasien
melalui pencapaian hasil yang optimal dalam terapi (Peterson, 2004). Apoteker
memiliki peran yang unik dan penting dalam penyediaan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat, ada kecenderungan untuk pengembangan peran apoteker di
luar apa yang selama ini dianggap sebagai peran tradisional mereka.
Pengembangan peran apoteker komunitas, bersama dengan kampanye “tanya
apoteker anda”, reklasifikasi obat, dan iklan obat-obatan kepada masyarakat yang
hanya tersedia di apotek, telah meningkatkan profil apoteker komunitas sebagai
penyedia yang mudah diakses di pelayanan kesehatan, dan “persinggahan
pertama” dalam mencari saran medis dan pengobatan.
Sepanjang tahun 1995 dan 1996 RPSGB melakukan proses konsultasi
dengan anggotannya, berusaha untuk mengidentifikasi bagaimana apotek harus
dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat. Sebuah
perkembangan baru-baru ini, telah terjadi peningkatan jumlah apoteker yang
bekerja dalam praktik paruh waktu. Ini dikenal sebagai apoteker perawatan primer
dan merupakan integrasi peningkatan apoteker ke dalam tim perawatan primer.
Untuk kegiatan tersebut, apoteker memiliki peran utama dalam mengelola biaya
obat resep melalui pengkajian pengobatan pasien.
Universitas Sumatera Utara
32
2.2.6 Profesionalisme
Menurut WHO dan FIP, salah satu syarat untuk melaksanakan Good
Pharmacy Practice (GPP) atau Cara Praktik Farmasi yang Baik harus menjadikan
profesionalisme sebagai filosofi utama (WHO, 1996; FIP, 1997). Profesionalisme
adalah sifat-sifat (kemampuan, kemahiran, cara pelaksanaan sesuatu dan lain-lain)
sebagaimana wajarnya terdapat pada atau dilakukan oleh seorang profesional.
Profesionalisme berasal dari kata profesion yang bermakna memerlukan
kepandaian khusus untuk menjalankannya. Jadi, profesionalisme adalah tingkah
laku, kepakaran atau kualitas seseorang yang profesional (Anonim, 2013a).
Profesionalisme juga dapat didefinisikan sejauh mana suatu profesi atau anggota
dari suatu profesi memperlihatkan karakteristik profesi (Hammer, dkk., 2000).
Menurut American Board of Internal Medicine (2001) ada 6 prinsip
profesionalisme:
a. Altruisme yaitu melayani kepentingan pasien di atas kepentingan mereka
sendiri. Ini berarti pelayanan tidak dikompromikan atau dikurangi dalam hal
kualitas oleh karena ketidakmampuan pasien untuk membayar.
b. Akuntabilitas yaitu akuntabel atau dapat diandalkan untuk memenuhi
perjanjian tersirat dengan pasien mereka. Mereka juga akuntabel untuk
mengatasi kebutuhan kesehatan masyarakat dan untuk mematuhi kode etik
profesi farmasi.
c. Keunggulan yaitu berkomitmen untuk belajar sepanjang hayat dan akuisisi
atau pencarian pengetahuan untuk melayani pasien. Ini termasuk ingin
melebihi harapan, dan menghasilkan kerja yang berkualitas.
Universitas Sumatera Utara
33
d. Tugas yaitu berkomitmen untuk menyelesaikan tugas yang menjadi tanggung
jawabnya bahkan ketika situasi tidak menyenangkan, advokat untuk asuhan
yang tepat tanpa memandang situasi.
e. Kehormatan dan Integritas yaitu adil, jujur, menjaga kata-kata, memenuhi
komitmen, dan lugas.
f. Menghormati yang lain yaitu menghormati teman sejawat profesional,
profesional kesehatan lain, pasien, dan keluarga mereka
Untuk mengukur 6 prinsip profesionalisme di atas telah dikembangkan
instrumen survei dengan 18 kuesioner/pernyataan (Chisholm, dkk., 2006):
a. Tidak mengharapkan imbalan apa pun ketika membantu seseorang.
b. Menghadiri/melaksanakan pekerjaan sehari-hari.
c. Jika menyadari akan terlambat, memberitahu individu yang tepat di awal
waktu.
d. Jika tidak menindaklanjuti tanggung jawab, siap menerima konsekuensi.
e. Ingin melebihi harapan orang lain.
f. Menghasilkan kerja yang berkualitas.
g. Menyelesaikan tugas secara independen dan tanpa pengawasan.
h. Menindaklanjuti dengan tanggung jawab.
i. Bertekad untuk membantu orang lain.
j. Mengambil pekerjaan ketika diperlukan dan bahkan jika dibayar kurang dari
posisi lain.
k. Menghindari berbuat curang untuk mendapatkan imbalan yang lebih tinggi
(penghargaan, uang, dan lain sebagainya) .
Universitas Sumatera Utara
34
l. Akan melaporkan kesalahan pengobatan, bahkan jika tidak ada orang lain yang
menyadari kesalahan.
m. Dapat menerima kritik yang membangun.
n. Memperlakukan semua pasien sama, terlepas dari status sosial atau
kemampuannya untuk membayar.
o. Menangani orang lain sesuai nama dan hak.
p. Diplomatis ketika menyampaikan pemikiran dan pendapat.
q. Menerima keputusan oleh karena kewenangan mereka.
r. Menghormati individu yang memiliki latar belakang berbeda.
2.2.7 Organisasi Profesi
Organisasi profesi atau organisasi profesional adalah organisasi yang
biasanya bersifat nirlaba, ditujukan untuk suatu profesi tertentu dan bertujuan
melindungi kepentingan publik maupun kepentingan profesional pada bidang
tersebut. Organisasi profesional dapat memelihara atau menerapkan suatu standar
pelatihan dan etika pada profesi mereka untuk melindungi kepentingan publik.
Banyak organisasi memberikan sertifikasi profesional untuk menunjukkan bahwa
seseorang memiliki kualifikasi pada suatu bidang tertentu. Walaupun tidak selalu,
terkadang keanggotaan pada suatu organisasi sinonim dengan sertifikasi.
(Anonim, 2011c).
Di Indonesia organisasi profesional apoteker adalah Ikatan Apoteker
Indonesia (IAI), merupakan satu-satunya Organisasi Profesi Apoteker yang
merupakan perwujudan dari hasrat murni dan keinginan luhur para anggotanya,
untuk menyatukan diri dalam upaya mengembangkan profesi luhur kefarmasian di
Universitas Sumatera Utara
35
Indonesia pada umumnya dan martabat anggota pada khususnya. Adapun Visi dan
Misi organisasi IAI adalah sebagai berikut (ISFI, 2009a).
Visi: Terwujudnya profesi apoteker yang paripurna, sehingga mampu
mewujudkan kualitas hidup sehat bagi setiap manusia.
Misi: a. Menyiapkan apoteker yang berbudi luhur, profesional, memiliki
kesejawatan yang tinggi, dan inovatif, serta berorientasi ke masa depan;
b. Membina, menjaga dan meningkatkan profesionalisme apoteker
sehingga mampu menjalankan praktik kefarmasian secara bertanggung
jawab;
c. Memperjuangkan dan melindungi kepentingan anggota dalam
menjalankan praktik profesinya; dan
d. Mengembangkan kerjasama dengan organisasi profesi lainnya baik
nasional maupun internasional.
2.3 Pemodelan
Berbeda dengan pengkajian fenomena alam yang dapat dilakukan
percobaan berulang-ulang di laboratorium, dengan mengisolasi fenomena dari
berbagai faktor yang tidak dikehendaki. Pengkajian fenomena sosial menghadapi
sejumlah tantangan yang tidak dialami pengkaji fenomena alam. Kebanyakan
ilmuwan sosial harus mengkaji fenomena sosial dengan cara berinteraksi langsung
dalam kehidupan sosial yang mana berbagai pengaruh tidak bisa dihilangkan.
Tantangan lain adalah obyek yang diteliti, manusia atau masyarakat adalah
sesuatu yang memiliki pilihan-pilihan dan bisa belajar dari pengalaman, karena itu
bisa mengubah tindakannya sebagai akibat dari proses belajar tersebut. Yang lebih
membuat rumit adalah bahwa mereka tidak selalu membuat pilihan yang rasional,
Universitas Sumatera Utara
36
atau rasionalitas masing-masing tidak sempurna, berbeda-beda, atau apa yang
disebut Herbert Simon (1955) sebagai rasionalitas terbatas (bounded rationality)
(Maulana, 2005).
Telah banyak dilakukan dalam bidang ekonomi untuk membuat
representasi yang lebih formal dan diekspresikan dalam persamaan statistik atau
matematika. Ini membuat upaya pengkajian konsistensi dan generalibilitas
menjadi jauh lebih mudah dibandingkan penggunaan representasi verbal (Gilbert
dan Terna, 1999). Karena kebanyakan fenomena sosial tidak bisa
direpresentasikan dengan persamaan-persamaan linier saja, upaya
merepresentasikannya menggunakan terlalu banyak persamaan non-linier
membuat pelacakan validitas model jadi sulit dilakukan. Sementara jika terlalu
disederhanakan agar memudahkan, model tersebut bisa menyesatkan, karena
menggunakan asumsi-asumsi yang tidak realistis. Misalnya dalam bidang
ekonomi, ilmuwan membuat asumsi bahwa setiap pihak mendapatkan informasi
yang sempurna, dan memiliki rasionalitas yang sempurna, pada hal dalam
kenyataan, tiap pelaku ekonomi memiliki akses informasi yang berbeda-beda dan
tingkat rasionalitas yang berbeda-beda pula (Maulana, 2005).
Dalam beberapa kasus, proses pengembangan model lebih penting
dibandingkan dengan model sebenarnya. Pembelajaran yang menyertai desain,
konstruksi, dan revisi model memberikan kontribusi untuk pemahaman bersama
tentang dinamika sistem dan apresiasi terhadap keragaman informasi yang
dibutuhkan untuk mengidentifikasi paket aplikasi yang sesuai indikator ekosistem.
Model konseptual mengekspresikan ide tentang komponen dan proses
yang dianggap penting dalam suatu sistem, mendokumentasikan asumsi tentang
bagaimana komponen dan proses yang terkait, dan mengidentifikasi kesenjangan
Universitas Sumatera Utara
37
dalam ilmu pengetahuan, dan bekerja secara hipotesis tentang bentuk dan fungsi
sistem. Model konseptual dapat berupa kombinasi dari narasi, tabel, matriks
faktor, atau diagram kotak dan panah (Gross, 2003).
Pemodelan adalah proses aplikasi pengetahuan dasar atau pengalaman
untuk mensimulasikan atau mendeskripsikan kinerja sistem nyata sehingga
tercapai objektif tertentu. Model yang dihasilkan dari pemodelan dapat dipandang
sebagai representasi logis dan rasional dari sistem, dapat merupakan alat yang
cost-efektif dan efisien. Secara skematis proses pemodelan ditunjukkan pada
Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Proses pemodelan
Universitas Sumatera Utara
38
2.4 Model Konseptual Revitalisasi Praktik Farmasi Komunitas
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, revitalisasi berarti proses, cara,
perbuatan memvitalkan atau menjadikan vital (Ali, dkk., 1994). Revitalisasi
praktik farmasi komunitas dimaksudkan sebagai serangkaian proses, cara,
perbuatan memvitalkan atau menjadikan vital kembali tugas dan fungsi praktik
farmasi komunitas. Menurut Council on Credentialing in Pharmacy (2004),
secara ringkas tugas dan fungsi praktik farmasi komunitas adalah membantu
masyarakat melakukan pengobatan dengan cara terbaik.
Implementasi PP No. 25 tahun 1980 sebagai Perubahan atas PP No. 26
Tahun 1965 tentang Apotek (Presiden RI, 1980) dapat dipandang sebagai upaya
revitalisasi praktik farmasi komunitas pertama di Indonesia. Penjelasan dari PP
berkenaan dengan perubahan tersebut berbunyi sebagai berikut: “Kedudukan dan
cara pengelolaan apotek sebagai suatu usaha dagang sebagaimana yang terlihat
selama ini, sudah kurang sesuai dengan fungsi apotek sebagai sarana pelayanan
kesehatan masyarakat. Dalam bentuk seperti sekarang ini, apotek lebih
mendahulukan usahanya dalam mengejar keuntungan dari pada usaha
penyediaan dan penyaluran obat yang dibutuhkan oleh golongan masyarakat
yang berpenghasilan rendah, sehingga fungsi sosial yang harus dipenuhi oleh
usaha farmasi swasta tidak dapat terlaksana sebagaimana mestinya. Oleh karena
itu Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 tentang Apotek yang memberi
kesempatan kepada apotek sebagai usaha dagang perlu diubah, dan apotek
dikembalikan kepada fungsi semula sebagai sarana penyalur perbekalan farmasi,
dan sebagai sarana tempat dilakukan pekerjaan kefamasian oleh tenaga-tenaga
farmasi dalam rangka pengabdian profesi kepada masyarakat”
Universitas Sumatera Utara
39
Secara skematis fokus perubahan yang menjadi sasaran implementasi PP No. 25
tahun 1980 dari PP No. 26 tahun 1965 dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Fokus perubahan implementasi PP No. 25 tahun 1980 dari PP No. 26
tahun 1965 (Patra, 1985)
Fokus
Perubahan
PP No. 26 tahun 1965 PP No. 25 tahun 1980
Status Apotek Tempat usaha Tempat pengabdian profesi
Penerima Izin Perusahaan swasta,
koperasi
Apoteker yang telah
mengucapkan sumpah
Pengelola Direktur/Pemilik apotek Apoteker
Posisi Apoteker Penanggung jawab teknis
farmasi
Karyawan
Pengelola dan penanggung
jawab sepenuhnya
Merujuk pada Tabel 2.1 di atas dapat dilihat 4 fokus perubahan dalam
praktik farmasi komunitas secara tersurat, perubahan secara tersirat dan yang
menjadi sasaran revitalisasi pada implementasi PP No. 25 tahun 1980 adalah
peningkatan peran apoteker secara penuh dan langsung di apotek, dengan tujuan:
a. Menjamin keabsahan dan mutu obat, menghindari penggunaan obat palsu dan
obat yang tidak memenuhi syarat.
b. Menjamin ketepatan, kerasionalan, dan keamanan penggunaan obat.
c. Menghindarkan penyalahgunaan dan kesalahan pengguaan obat.
Implementasi PP No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian dapat
dipandang sebagai upaya revitalisasi kedua, dengan diaturnya kembali
penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian sesuai perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi di bidang kefarmasian, termasuk diaturnya kembali kewenangan
dan kompetensi apoteker. Ada 3 hal baru berkenaan dengan pengaturan
kewenangan dan kompetensi apoteker, yaitu Sertifikat Kompetensi Apoteker,
Universitas Sumatera Utara
40
Surat Tanda Regestrasi Apoteker (STRA), dan Surat Izin Praktik/Kerja Apoteker
(SIPA/SIKA).
Menyadari kebutuhan untuk membantu negara-negara berkembang
mencapai Good Pharmacy Practice (GPP) atau Praktik Farmasi yang Baik, bagian
farmasi komunitas dari Komite Eksekutif FIP (1998) membentuk kelompok kerja
untuk menghasilkan suatu pedoman. Pekerjaan dimulai dengan survei di 67
negara-negara berkembang untuk membangun dasar praktik farmasi komunitas.
Kelompok kerja ini menyusun seperangkat pedoman dengan maksud membantu
apoteker di negara berkembang untuk mencapai praktik farmasi yang baik.
Diharapkan pedoman ini dapat digunakan jika perlu sebagai dasar negosiasi
dengan pemerintah, badan pengawas dan sistem pelayanan kesehatan untuk
memastikan pemanfaatan yang optimal dari apoteker yang tersedia bagi
kepentingan umum. Jika pada praktiknya terlalu sulit, maka harus diterima bahwa
penerapan dan mencapaian praktik farmasi yang baik memang bukan merupakan
proses satu malam, tetapi merupakan proses bertahap.
Berwick (2002), berpendapat bahwa untuk melakukan perbaikan mutu
pelayanan kesehatan, perlu memperhatikan empat tingkatan penting, yaitu:
a. Pengalaman pasien/masyarakat
b. Fungsi/sistem unit pelayanan
c. Fungsi/sistem organisasi pendukung unit pelayanan
d. Lingkungan sistem organisasi pendukung unit pelayanan
Universitas Sumatera Utara
41
Secara skematis keempat tingkatan penting tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Empat tingkatan penting perbaikan mutu pelayanan kesehatan
(Koencoro, 2007)
Pasien dan
Masyarakat Pengalaman
Tujuan (contoh: keamanan, efektifitas
pelayanan, keterjangkauan biaya, kepuasan/
kekecewaan)
Sistem Mikro
Pelayanan Proses
Prosedur dan desain pelayanan (berbasis
keilmuan, evidens, sesuai dengan kebutuhan,
nilai, dan keinginan pasien)
Konteks
Organisasi Fasilitator
proses
Desain organisasi yang sesuai (contoh:
struktur organisasi yang memadai, sistem
kompensasi dan penghargaan, kebijakan)
Konteks
Lingkungan
Fasilitas dari
Fasilitator
Lingkungan yang mendukung (contoh:
kebijakan keuangan pemerintah, kebijakan
dan peraturan perundang-undangan)
Fungsi unit pelayanan merupakan unit kerja terdepan dalam organisasi
yang langsung memberikan pelayanan kepada pasien dan masyarakat. Dalam
praktik farmasi komunitas yang baik, fungsi unit pelayanan tersebut dilaksanakan
oleh apoteker dibantu tenaga teknis kefarmasian. Proses pelayanan pada fungsi
unit pelayanan sangat bergantung pada fungsi organisasi pendukung pelayanan.
Oleh karena itu sistem organisasi secara umum perlu dirancang agar dapat
memberikan yang terbaik bagi pelanggan, mengembangkan dan memanfaatkan
teknologi dan informasi dalam pengambilan keputusan, melakukan investasi
dalam pengembangan sumber daya manusia, mengembangkan tim kerja yang
efektif, mendukung terciptanya koordinasi antar petugas, serta melakukan
pengukuran kinerja secara teratur sebagai dasar perbaikan kinerja. Dalam proses
pelayanan akan terjadi variasi pelaksanaan kegiatan dari waktu ke waktu yang
akan menghasilkan luaran yang bervariasi juga. Untuk mengatasi atau mengurangi
variasi proses pelayanan, maka perlu dilakukan standardisasi, perbaikan proses
Universitas Sumatera Utara
42
yang berkesinambungan (continuous process improvement), dan rekayasa ulang
(re-engineering) (Koencoro, 2007).
a. Standardisasi. Standardisasi meliputi proses merumuskan, menetapkan,
menerapkan dan merevisi standar (Presiden RI, 2000). Keberadaan standar
praktik dalam pelayanan akan memberi manfaat, antara lain mengurangi variasi
proses, merupakan persyaratan profesi, dan dasar untuk mengukur mutu
(Schroeder, 1994). Dengan ditetapkannya standar juga akan menjamin
keselamatan pasien dan petugas penyedia pelayanan kesehatan (Moss dan
Barrach, 2002). Dikuranginya variasi dalam pelayanan akan meningkatkan
konsistensi pelayanan kesehatan, mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien,
meningkatkan efisiensi pelayanan, dan memudahkan petugas dalam
melaksanakan pelayanan.
b. Perbaikan Proses Berkesinambungan (Continuous Process Improvement).
Pada sistem unit pelayanan pada dasarnya mengikuti siklus Deming:
Perencanaan (Plan), Dikerjakan (Do), Cermati hasilnya (Check), dan Amalkan
untuk seterusnya (Action), yang dikenal dengan siklus PDCA. Salah satu model
perbaikan pada sistem unit pelayanan adalah model Nolan (Langley, dkk.,
1996). Nolan memperkenalkan suatu model perbaikan sistem unit pelayanan
yang pada prinsipnya tidak terlepas dari langkah-langkah proses perbaikan
yang meliputi: Perencanaan (Plan), Dikerjakan (Do), Cermati hasilnya
(Check), dan Amalkan untuk seterusnya (Action). Akan tetapi harus ada
kejelasan terlebih dahulu mengenai apa yang menjadi sasaran perbaikan
sebelum dilakukan perubahan (setting aims), dilanjutkan dengan pengukuran
untuk mengetahui bahwa perubahan yang dilakukan akan menghasilkan
perbaikan (measurements). Setelah menetapkan sasaran perbaikan dan
Universitas Sumatera Utara
43
menetapkan pengukuran atas perubahan, barulah ditetapkan dan direncanakan
kegiatan-kegiatan perbaikan apa saja yang perlu dilakukan dalam bentuk siklus
PDCA multipel.
c. Rekayasa Ulang (Reengineering). Rekayasa Ulang merupakan suatu upaya
perbaikan proses yang radikal. Rekayasa tersebut bertujuan memperbaiki
kinerja melalui perancangan ulang proses utama dengan memaksimalkan
tahapan proses yang memiliki nilai tambah dan meminimalkan tahapan proses
yang tidak diperlukan. Prinsip-prinsip dasar yang digunakan dalam rekayasa
ulang berbasis pada proses, fokus pada pelanggan, perbaikan proses secara
radikal, peminimalan atau peniadaan tahapan kegiatan yang tidak memiliki
nilai tambah, perancangan proses yang ideal, dan penggunaan berbagai teknik
perbaikan mutu. Langkah awal untuk menerapkan rekayasa ulang adalah
melakukan kajian apakah pendekatan rekayasa ulang tepat untuk dilakukan
dengan mempertimbangkan kebutuhan bisnis, serta kesiapan organisasi untuk
berubah (Peppard dan Rowland, 1995). Jika kebutuhan bisnis tinggi dan
kesiapan organisasi untuk berubah juga tinggi, maka rekayasa ulang tepat
untuk dilakukan. Jika kebutuhan bisnis tinggi, tetapi kesiapan organisasi untuk
berubah rendah, maka rekayasa ulang belum tepat dilakukan. Namun demikian,
organisasi harus meningkatkan komitmen, mengelola risiko, dan melakukan
sosialisasi bahwa rekayasa ulang merupakan alternatif perbaikan proses. Jika
kebutuhan bisnis rendah, dan kesiapan organisasi untuk berubah juga rendah,
maka pendekatan perbaikan mutu berkesinambungan adalah alternatif yang
tepat. Sementara itu, jika kesiapan organisasi untuk berubah tinggi, tetapi
kebutuhan bisnisnya rendah, maka perlu dikembangkan strategi untuk mencari
terobosan baru.
Universitas Sumatera Utara
44
2.5 Implementasi Kebijakan
Kusumanegara (2010), berpendapat bahwa setelah proses suatu legislasi
kebijakan selesai, maka sebagai langkah lanjut adalah implementasi kebijakan.
Sebagaimana diungkapkan oleh Lester dan Stewart (2000), implementasi adalah
sebuah tahapan administratif yang dilakukan setelah aturan hukum ditetapkan
melalui proses politik. Secara lebih luas, implementasi dapat didefinisikan sebagai
proses administrasi dari hukum (statuta) yang di dalamnya tercakup keterlibatan
berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik pengawasan yang dilakukan agar
tujuan kebijakan tercapai.
Selain pengertian di atas, implementasi kebijakan dipahami sebagai suatu
proses, output, dan outcome. Implementasi dikonseptualisasikan sebagai proses
karena di dalamnya terjadi beberapa rangkaian aktivitas yang berkelanjutan.
Implementasi dikonseptualisasikan sebagai output, yaitu melihat apakah aktivitas
dalam rangka mencapai tujuan program telah sesuai dengan arahan implementasi
sebelumnya atau mengalami penyimpangan-penyimpangan. Implementasi juga
dikonseptualisasikan sebagai outcome, yaitu apakah implementasi suatu kebijakan
mengurangi masalah atau bahkan menambah masalah baru dalam masyarakat
(Lester dan Stewart, 2000).
2.4.1 Aktor-Aktor Implementasi
Kusumanegara (2010), berpendapat bahwa dalam tahapan implementasi
terdapat berbagai aktor yang terlibat. Mereka bisa berasal dari kalangan birokrasi,
legeslatif, lembaga peradilan, kelompok-kelompok penekan, dan organisasi-
organisasi komunitas (Anderson, 1979; Lester dan Stewart, 2000).
Universitas Sumatera Utara
45
a. Birokrasi. Pada umumnya birokrasi dipandang sebagai agen administrasi
yang paling bertanggung jawab dalam mengimplementasikan kebijakan. Di
Indonesia, setelah DPR bersama presiden melegitimasi suatu undang-undang
maka aktivitas selanjutnya ditangani oleh aparat birokrasi dari pusat hingga
daerah untuk mengimplementasikannya. Birokrasi mempunyai wewenang
yang besar untuk sepenuhnya menguasai “area” implementasi kebijakan
dalam wilayah operasinya karena mereka mendapat mandat dari lembaga
legislatif. Hal ini juga disebabkan peraturan perundangan yang dibuat
legislatif dan presiden bersifat umum dan tidak mengatur secara mendetail
segala aspek teknis yang dibutuhkan agar implementasi berbagai program
mencapai tujuannya. Akibatnya birokrasi mempunyai kewenangan melakukan
diskresi kebijakan. Secara konseptual diskresi merupakan tindakan yang
ditempuh administrator untuk menyelesaiakan kasus tertentu dalam
implementasi yang tidak atau belum diatur dalam regulasi baku (Dwiyanto,
2002). Ketika UU No. 7 Tahun 1963 tentang Farmasi ditetapkan (Pemerintah
RI, 1963), berbagai ketentuan mulai dibuat oleh aparat pusat maupun daerah
untuk mengimplementasikan undang-undang ini. Ketentuan-ketentuan
dimaksud antara lain PP No. 26 tahun 1965 tentang Apotek yang kemudian
diubah melalui PP No. 25 tahun 1980, Permenkes No.
922/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin
Apotek yang kemudian diubah melalui Kepmenkes No.
1332/Menkes/SK/X/2002, dan peraturan pelaksanaan lainnya. Peraturan
tersebut bersifat hirarkis dan semakin rinci serta lebih operasional
dibandingkan dengan UU No. 7 Tahun 1963 yang hanya memuat secara
umum peraturan tentang farmasi.
Universitas Sumatera Utara
46
b. Badan Legislatif. Secara tradisional ada pandangan dalam ilmu administrasi
negara yaitu politik dan administrasi adalah aktivitas yang terpisah. Politik
dianggap lebih memusatkan perhatiannya pada aktivitas perumusan kebijakan
publik yang ditangani oleh legislatif dan eksekutif. Sedangkan kebijakan
administratif lebih terkonsentrasi pada implementasi kebijakan dan ditangani
oleh agen-agen administratif (birokrasi). Namun pada kenyataannya banyak
agen administrasi yang justru terlibat dalam perumusan kebijakan di samping
tugas utamanya mengimplementasikan kebijakan publik. Hal ini terjadi pada
saat birokrasi membuat serangkaian peraturan pendukung kebijakan yang
sudah ada. Sementara lembaga legislatif juga dapat terlibat dalam
implementasi kebijakan ketika mereka ikut menentukan berbagai peraturan
yang spesifik dan mendetail. Menurut Anderson (1979), para legislator
mempengaruhi administrasi dalam berbagai cara. Semakin mendetail legislasi
dibuat, akan semakin terbatas ruang gerak yang dimiliki agen-agen
administasi. Telah menjadi kecenderungan di berbagai negara, bahwa para
legislator lebih sering terlibat dalam implementasi kebijakan dengan membuat
peraturan-peraturan mendetail agar diskresi kebijakan yang dilakukan oleh
birokrasi dalam implementasi kebijakan tidak menyimpang dari ketentuan
yang seharusnya (Lester dan Stewart, 2000). Upaya perluasan fungsi lembaga
legislatif dalam implementasi kebijakan publik dianggap semakin penting,
karena adanya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan birokrasi dapat
berakibat tidak tercapainya tujuan kebijakan.
c. Lembaga Peradilan. Di samping legislatif, lembaga peradilan juga
merupakan aktor dalam implementasi kebijakan. Lembaga peradilan
merupakan cabang yudisial yang menangani hukum publik. Namun lembaga
Universitas Sumatera Utara
47
peradilan dapat terlibat dalam implementasi kebijakan ketika muncul tuntutan
masyarakat atas kebijakan tertentu yang implementasinya dianggap merugikan
masyarakat sehingga menjadi perkara hukum. Menanggapi tuntutan tersebut,
lembaga peradilan dapat merevisi ketentuan-ketentuan implementasi agar
tidak merugikan masyarakat. Dalam banyak kasus, pengaruh paling besar
lembaga peradilan terhadap implementasi kebijakan publik adalah melalui
interpretasi aparat hukum terhadap berbagai statuta, aturan administratif, dan
regulasi, serta hasil review mereka terhadap kasus-kasus administratif yang
dihadapi. Yang terpenting dari peranan lembaga ini adalah pengaruhnya dalam
menginterpretasikan UU, peraturan-peraturan dan cara pengaturan
administratif, dan kewenangan mereka untuk meninjau kebijakan administrasi
yang telah atau sedang dilaksanakan.
d. Kelompok Kepentingan/Penekan. Aktor lainnya yang berperan dalam
implementasi adalah kelompok-kelompok penekan (pressure groups). Karena
dalam implementasi berbagai diskresi banyak dilakukan oleh birokrasi, maka
banyak kelompok-kelompok kepentingan yang ada di masyarakat berusaha
mempengaruhi berbagai peraturan implementasi. Tindakan kelompok-
kelompok kepentingan menekan kebijakan pemerintah dimaksudkan agar
mereka memperoleh keuntungan dengan adanya implementasi program
tertentu. Begitu suatu kebijakan disetujui, berbagai kelompok kepentingan
yang memperjuangkan aspirasi mereka ke lembaga legislatif beralih ke
lembaga-lembaga administrasi. Akibat buruk dari praktek ini adalah
kepentingan-kepentingan kelompok menjadi fokus sentral dalam kegiatan
administrasi, bukan lagi pada kepentingan publik.
Universitas Sumatera Utara
48
e. Organisasi Komunitas. Lembaga lain yang sering terlibat dalam
implementasi kebijakan adalah organisasi-organisasi komunitas. Banyak
program-program yang dirancang untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan
politik yang berlabel pro pembangunan masyarakat (community development).
Dengan sendirinya masyarakat baik secara individual maupun kelompok
terlibat dalam implementasi program itu baik sebagai obyek dan atau subyek
program.
2.4.2 Teknik Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan memerlukan perangkat untuk mengetahui
kesesuaian pelaksanaan suatu progam dengan kebijakan publik yang menjadi
acuannya. Lester dan Stewart (2000), menyatakan bahwa perdebatan yang muncul
tentang persoalan implementasi kebijakan publik mengarah pada dua pendekatan,
yaitu pendekatan command and control dan pendekatan economic incentive
(market). Pendekatan command and control menyertakan mekanisme yang
nampak koersif untuk menyelaraskan pelaksanaan dengan kebijakan acuan.
Mekanisme tersebut misalnya rancangan baku, inspeksi, dan pemberian sanksi
jika terjadi pelanggaran. Sedangkan pendekatan economic incentive menggunakan
sarana perpajakan, subsidi, atau penalti agar pelaksanaan sesuai dengan kebijakan
acuan. Pendekatan command and control dianggap para penentangnya terlalu
kaku, mengabaikan inisiatif dan inovasi dalam pencapaian tujuan kebijakan, dan
menyia-nyiakan sumberdaya masyarakat. Para penganut pendekatan economic
incentive berpandangan bahwa sebaiknya para individu diberikan ruang yang
cukup untuk membuat keputusan sendiri, mempunyai kebebasan dan kerelaan
bertindak untuk mencapai tujuan yang diinginkan dengan biaya serendah
Universitas Sumatera Utara
49
mungkin. Tidak ada satupun skema acuan pencapaian tujuan yang dapat bekerja
dengan baik jika di antara aktor implementasi mempunyai pandangan yang
berbeda tentang bagaimana cara yang tepat untuk mencapainya. Pada akhirnya
diperlukan bargaining dan negoisasi di antara aktor-aktor yang terlibat atau
bahkan dengan komunitas yang lebih luas lagi untuk menetapkan cara yang
terbaik untuk mencapai tujuan.
Subarsono (2009), berpendapat bahwa kompleksitas implementasi bukan
saja ditunjukkan oleh banyaknya aktor atau unit organisasi yang terlibat, tetapi
juga dikarenakan proses implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel
pengaruh yang kompleks, baik variabel pengaruh individual maupun variabel
pengaruh organisasional, dan masing-masing variabel pengaruh tersebut juga
saling berinteraksi satu sama lain. Terdapat beberapa teori implementasi, antara
lain: teori Edwads III (1980), teori Grindle (1980), teori Mazmanian dan Sabatier
(1983), teori Meter dan Horn (1975), teori Cheema dan Rondinelh (1983), dan
teori Weimer dan Vining (1999).
a. Teori Edwards III
Edwards III (1980), berpendapat bahwa implementasi kebijakan dipengaruhi
oleh empat variabel pengaruh, yakni: i. komunikasi; ii. sumberdaya;
iii. disposisi; dan iv. struktur birokrasi. Keempat variabel pengaruh tersebut
juga saling berhubungan satu sama lain, secara skematis dapat dilihat pada
Gambar 2.2.
Universitas Sumatera Utara
50
Gambar 2.2 Empat variabel pengaruh terhadap implementasi kebijakan
(Edward III, 1980) sebagaimana dikutip Subarsono (2009)
i. Komunikasi. Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan
implementator mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi
tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok
sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi.
Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak
diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan
terjadi resistensi dari kelompok sasaran. Ketidakberhasilan peningkatan
peran apoteker secara penuh dan langsung di apotek melalui implementasi
PP No. 25 tahun 1980 tentang Perubahan PP No. 26 tahun 1965 tentang
Apotek, salah satu kemungkinan penyebabnya adalah karena apa yang
menjadi tujuan dan sasaran kebijakan kurang ditransmisikan kepada
kelompok sasaran (target group) dengan baik.
ii. Sumberdaya. Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas
dan konsisten, tetapi apabila implementator kekurangan sumberdaya untuk
melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif.
Universitas Sumatera Utara
51
Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal di atas kertas dan menjadi
dokumen saja. Sumberdaya dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni
kompetensi implementator dan sumberdaya finansial.
iii. Disposisi. Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh
implementator, seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis. Apabila
implementator memiliki disposisi yang baik, maka implementator akan
dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh
pembuat kebijakan. Ketika implementator memiliki sikap atau perspektif
yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi
kebijakan juga menjadi tidak efektif. Menurut Subarsono (2009), berbagai
pengalaman pembangunan di negara-negara dunia ketiga menunjukkan
bahwa tingkat komitmen dan kejujuran aparat relatif rendah. Berbagai
kasus korupsi yang muncul di negara-negara dunia ketiga, seperti Indonesia
adalah contoh konkrit dari rendahnya komitmen dan kejujuran aparat dalam
mengimplementasikan program-program pembangunan. Ketidakberhasilan
peningkatan peran apoteker secara penuh dan langsung di apotek melalui
implementasi PP No. 25 tahun 1980 tentang Perubahan PP No. 26 Tahun
1965 tentag Apotek sebagai suatu kebijakan, salah satu kemungkinannya
adalah bahwa sebagian kelompok sasaran (target group) adalah
implementator itu sendiri yang mungkin tidak menginginkan kebijakan ini
berjalan.
iv. Struktur Birokrasi. Struktur organisasi yang bertugas
mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang
Universitas Sumatera Utara
52
penting dari setiap organisasi adalah adanya standar prosedur operasional
(SPO) yang menjadi pedoman bagi setiap implementator dalam bertindak.
Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan
pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang
rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi
tidak fleksibel.
b. Teori Grindle
Grindle (1980), berpendapat bahwa keberhasilan implementasi dipengaruhi
oleh dua variabel pengaruh, yakni isi kebijakan (content of policy) dan
lingkungan implementasi (context of implementation) seperti terlihat pada
Gambar 2.3. Variabel pengaruh isi kebijakan mencakup: i. sejauh mana
kepentingan kelompok sasaran atau target grup termuat dalam isi kebijakan;
ii. jenis manfaat yang diterima oleh target grup; iii. sejauhmana perubahan
yang diinginkan dari sebuah kebijakan. Suatu program yang bertujuan
mengubah sikap dan perilaku kelompok sasaran relatif lebih sulit
diimplementasikan daripada program yang sekedar memberikan bantuan kredit
atau bantuan beras kepada kelompok masyarakat miskin; iv. apakah letak
sebuah program sudah tepat. Misalnya, ketika BKKBN memiliki program
peningkatan kesejahteraan keluarga dengan memberikan bantuan dana kepada
keluarga prasejahtera, banyak orang mempertanyakan apakah letak program ini
sudah tepat berada di BKKBN; v. apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan
implementornya dengan rinci; dan vi. apakah sebuah program didukung oleh
sumberdaya yang memadai. Sedangkan variabel pengaruh lingkungan
kebijakan mencakup i. seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi
yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; ii.
Universitas Sumatera Utara
53
karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa; iii. tingkat kepatuhan
dan responsivitas kelompok sasaran.
c. Teori Mazmanian dan Sabatier
Mazmanian dan Sabatier (1983), berpendapat bahwa ada tiga kelompok
variabel pengaruh, yakni: i. karakteristik dari masalah (tractability of the
problems); ii. karakteristik kebijakan/undang-undang (ability of statute to
structure implementation), iii. lingkungan (nonstatutory variables affecting
implementation), seperti terlihat pada gambar 2.4.
Gambar 2.3 Dua variabel pengaruh terhadap implementasi kebijakan
(Grindle, 1980) sebagaimana dikutip Subarsono (2009)
Universitas Sumatera Utara
54
Gambar 2.4 Tiga Kelompok Variabel Pengaruh terhadap Implementasi
Kebijakan (Mazmanian dan Sabatier, 1983) sebagaimana
dikutip Subarsono (2009)
i. Karakteristik Masalah:
a) Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan. Di satu
pihak ada beberapa masalah sosial secara teknis mudah dipecahkan,
seperti kekurangan persediaan air minum bagi penduduk atau harga beras
yang tiba-tiba naik. Di pihak lain terdapat masalah-masalah sosial yang
relatif sulit dipecahkan, seperti kemiskinan, pengangguran, korupsi, dan
sebagainya. Oleh karena itu, sifat masalah itu sendiri akan mempengaruhi
mudah tidaknya suatu program diimplementasikan.
b) Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran. Ini berarti bahwa suatu
program akan relatif mudah diimplementasikan apabila kelompok
sasarannya adalah homogen. Sebaliknya, apabila kelompok sasarannya
heterogen, maka implementasi program akan relatif lebih sulit, karena
Universitas Sumatera Utara
55
tingkat pemahaman setiap anggota kelompok sasaran terhadap program
relatif berbeda.
c) Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi. Sebuah program
akan relatif sulit diimplementasikan apabila sasarannya mencakup semua
populasi. Sebaliknya sebuah program relatif mudah diimplementasikan
apabila jumlah kelompok sasarannya tidak terlalu besar.
d) Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan. Sebuah program
yang bertujuan memberikan pengetahuan atau bersifat kognitif akan
relatif mudah diimplementasikan daripada program yang bertujuan untuk
mengubah sikap dan perilaku masyarakat. Sebagai contoh, implementasi
PP No. 25 tahun 1980 tentang Perubahan PP No. 26 Tahun 1965 tentang
Apotek, karena menyangkut perubahan perilaku apoteker dalam
berprofesi.
ii. Karakteristik kebijakan:
a) Kejelasan isi kebijakan. Ini berarti semakin jelas dan rinci isi sebuah
kebijakan akan mudah diimplementasikan karena implementator mudah
memahami dan menterjemahkan dalam tindakan nyata. Sebaliknya,
ketidakjelasan isi kebijakan merupakan potensi lahirnya distorsi dalam
implementasi kebijakan.
b) Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoretis.
Kebijakan yang memiliki dasar teoretis memiliki sifat lebih mantap
karena sudah teruji, walaupun untuk beberapa lingkungan sosial tertentu
perlu ada modifikasi.
Universitas Sumatera Utara
56
c) Besarnya alokasi sumberdaya finansial terhadap kebijakan tersebut.
Sumberdaya keuangan adalah faktor krusial untuk setiap program sosial.
Setiap program juga memerlukan dukungan staf untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan administrasi dan teknis, serta memonitor program,
yang semuanya itu perlu biaya.
d) Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar berbagai
institusi pelaksana. Kegagalan program sering disebabkan kurangnya
koordinasi vertikal dan horisontal antar instansi yang terlibat dalam
implementasi program.
e) Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana.
f) Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan. Kasus korupsi
yang terjadi di negara-negara dunia ketiga, khususnya di Indonesia salah
satu sebabnya adalah rendahnya tingkat komitmen aparat untuk
melaksanakan tugas dan pekerjaan atau program-program.
g) Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi
dalam implementasi kebijakan. Suatu program yang memberikan
peluang luas bagi masyarakat untuk terlibat akan relatif mendapat
dukungan daripada program yang tidak melibatkan masyarakat.
Masyarakat akan merasa terasing atau teralienasi apabila hanya menjadi
penonton terhadap program yang ada di wilayahnya.
iii. Lingkungan kebijakan:
a) Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi.
Masyarakat yang sudah terbuka dan terdidik akan relatif mudah
menerima program-program pembaruan dibanding dengan masyarakat
Universitas Sumatera Utara
57
yang masih tertutup dan tradisional. Demikian juga, kemajuan teknologi
akan membantu dalam proses keberhasilan implementasi program,
karena program-program tersebut dapat disosialisasikan dan
diimplementasikan dengan bantuan teknologi modern.
b) Dukungan publik terhadap sebuah kebijakan. Kebijakan yang
memberikan insentif biasanya mudah mendapatkan dukungan publik.
Sebaliknya kebijakan yang bersifat dis-insentif, seperti kenaikan harga
BBM atau kenaikan pajak akan kurang mendapat dukungan publik.
c) Sikap dari kelompok pemilih (constituency groups). Kelompok
pemilih yang ada dalam masyarakat dapat memengaruhi implementasi
kebijakan melalui berbagai cara antara lain: (1) Kelompok pemilih dapat
melakukan intervensi terhadap keputusan yang dibuat badan-badan
pelaksana melalui berbagai komentar dengan maksud untuk mengubah
keputusan; (2) Kelompok pemilih dapat memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi badan-badan pelaksana secara tidak langsung melalui
kritik yang dipublikasikan terhadap kinerja badan-badan pelaksana, dan
membuat pernyataan yang ditujukan kepada badan legislatif.
d) Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat dan
implementator. Pada akhirnya, komitmen aparat pelaksana untuk
merealisasikan tujuan yang telah tertuang dalam kebijakan adalah
variabel yang paling krusial. Aparat badan pelaksana harus memiliki
keterampilan dalam membuat prioritas tujuan dan selanjutnya
merealisasikan prioritas tujuan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
58
d. Teori Meter dan Horn
Meter dan Horn (1975), berpendapat bahwa ada lima variabel pengaruh, yakni:
i. standar dan sasaran kebijakan; ii. sumberdaya; iii. komunikasi
antarorganisasi; dan penguatan aktivitas; iv. karakteristik agen pelaksana; dan
v. kondisi sosial, ekonomi dan politik, secara skematis dapat dilihat
Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Lima variabel pengaruh terhadap implementasi kebijakan
(Meter dan Horn, 1975) sebagaimana dikutip Subarsono (2009)
i. Standar dan sasaran kebijakan. Standar dan sasaran kebijakan harus jelas
dan terukur sehingga dapat direalisir. Apabila standar dan sasaran kebijakan
kabur, maka akan terjadi multi-interpretasi dan mudah menimbulkan konflik
di antara para agen implementasi.
ii. Sumberdaya. Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik
sumberdaya manusia (human resources) maupun sumberdaya non-manusia
(nonhuman resources). Dalam berbagai kasus program pemerintah, seperti
Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) untuk kelompok miskin di pedesaan
kurang berhasil karena keterbatasan kualitas aparat pelaksana.
Universitas Sumatera Utara
59
iii. Hubungan antar Organisasi. Dalam banyak program, implementasi
sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk
itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan
suatu program.
iv. Karakteristik agen pelaksana. Yang dimaksud karakteristik agen
pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola
hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan
mempengaruhi implementasi suatu program.
v. Kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Variabel ini mencakup sumberdaya
ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi
kebijakan; sejauhmana kelompok-kelompok kepentingan memberikan
dukungan bagi implementasi kebijakan; karakeristik para partisipan, yakni
mendukung atau menolak; bagaimana sifat opini publik yang ada di
lingkungan; dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan.
vi. Disposisi implementator. Disposisi implementator ini mencakup tiga hal
yang penting, yakni: (a) respon implementator terhadap kebijakan, yang
akan mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan; (b)
kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan; dan (c) intensitas
disposisi implementator, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh
implementator.
e. Teori Cheema dan Rondinelli
Cheema dan Rondinelli (1983), berpendapat bahwa kerangka konseptual pada
Gambar 2.6 dapat digunakan untuk analisis implementasi program-program
pemerintah yang bersifat desentralistis. Ada empat kelompok variabel
Universitas Sumatera Utara
60
pengaruh, yakni: i. kondisi lingkungan; ii. hubungan antar organisasi;
iii. sumberdaya organisasi untuk implementasi program; iv. karakteristik dan
kemampuan agen pelaksana.
Gambar 2.6 Empat kelompok variabel pengaruh terhadap implementasi
kebijakan (Cheema dan Rondinelli, 1983) sebagaimana dikutip
Subarsono (2009)
f. Teori Weimer dan Vining
Weimer dan Vining (1999), berpendapat bahwa ada tiga kelompok besar
variabel pengaruh, yakni: i. logika kebijakan; ii. lingkungan tempat kebijakan
dioperasikan; dan iii. kemampuan implementor kebijakan.
i. Logika kebijakan. Logika dari suatu kebijakan dimaksudkan agar suatu
kebijakan yang ditetapkan masuk akal (reasonable) dan mendapat dukungan
teoretis. Kita dapat berpikir bahwa logika dari suatu kebijakan seperti
halnya hubungan logis dari suatu hipotesis.
ii. Lingkungan tempat kebijakan dioperasikan. Lingkungan tempat
kebijakan tersebut dioperasikan akan mempengaruhi keberhasilan
implementasi suatu kebijakan. Yang dimaksud lingkungan ini mencakup
Universitas Sumatera Utara
61
lingkungan sosial, politik, ekonomi, hankam, dan fisik atau geografis. Suatu
kebijakan dapat berhasil diimplementasikan di suatu daerah tertentu, tetapi
ternyata gagal diimplementasikan di daerah lain, karena kondisi lingkungan
yang berbeda.
iii. Kemampuan implementator. Keberhasilan suatu kebijakan dapat
dipengaruhi oleh tingkat komptensi dan keterampilan dari para
implementator kebijakan.
2.5 Instrumen Kebijakan
Howlett dan Ramesh (1995), berpendapat bahwa ada sepuluh jenis
instrumen kebijakan yang secara skematis dapat dilihat pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Sepuluh jenis instrumen kebijakan (Howlett dan Ramesh, 1995)
sebagaimana dikutip Subarsono (2009)
a. Instrumen sukarela (Voluntary Instruments)
Karakteristik dari instrumen sukarela adalah sangat kecil atau hampir tidak ada
intervensi dari pemerintah. Pemerintah sering dengan sengaja tidak akan
melakukan sesuatu atau tidak membuat kebijakan terhadap suatu masalah
publik, sebab pemerintah percaya bahwa itu dapat dilakukan secara baik oleh
rumah tangga dan komunitas, organisasi sukarela, dan pasar swasta (private
Universitas Sumatera Utara
62
market). Instrumen sukarela adalah alat yang penting untuk implementasi
kebijakan ekonomi dan sosial. Penggunaan instrumen ini semakin mendapat
posisi yang baik ketika pemerintah melakukan proses privatisasi. Ada beberapa
alasan digunakan instrumen ini, seperti: efisiensi biaya, sesuai dengan norma-
norma suatu komunitas, dan mendapat dukungan dari rumah tangga dan
komunitas. Implementasi pengambilan sampah rumah tangga dalam sebuah
kompleks perumahan yang diorganisir oleh ketua RT dan model siskamling
oleh komunitas tertentu untuk menjaga keamanan lingkungannya adalah
sebuah contoh konkrit. Instrumen sukarela ini terdiri dari: rumah tangga dan
komunitas, organisasi sukarela, dan pasar swasta.
i. Rumah tangga dan komunitas. Instrumen pertama dari instrumen sukarela
dalam rangka implementasi kebijakan adalah rumah tangga dan komunitas.
Dalam masyarakat, teman dan tetangga sering memberikan sejumlah
pelayanan jasa dan barang, dan ini dapat dipandang sebagai perluasan dari
pelayanan yang seharusnya diberikan oleh negara. Sebagai contoh:
Siskamling yang dilakukan oleh komunitas tertentu dalam rangka
implementasi kebijakan keamanan.
ii. Organisasi sukarela. Organisasi sukarela adalah alat yang efisien untuk
memberikan pelayanan ekonomi, sosial, kesehatan, dan pendidikan pada
masyarakat. Mereka terkadang lebih cepat dan responsif dalam membantu
para kurban bencana alam, misalnya. Berbagai organisasi sosial dan yayasan
mendirikan rumah sakit, sekolah, dan penampungan bagi yatim piatu atau
orang lanjut usia.
iii. Pasar. Pasar adalah instrumen yang sangat diperlukan untuk lingkungan
tertentu. Ia merupakan alat yang efektif dan efisien untuk menyediakan
Universitas Sumatera Utara
63
barang-barang privat yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pasar juga akan
menjamin adanya kompetisi dalam penyediaan barang dan jasa kemudian
masyarakat dapat memilih barang dan jasa dengan harga yang paling murah.
b. Instrumen wajib (Compulsary Instruments)
Instrumen wajib sering juga disebut instrumen instruksi atau tindakan langsung
ke sasaran baik individu maupun perusahaan. Pemerintah memiliki otoritas
untuk memberi instruksi kepada warga negara untuk melakukan tindakan
tertentu, dan mengawasi perusahaan untuk mentaati hukum atau menghasilkan
barang dan jasa yang diperlukan oleh masyarakat. Instrumen wajib ini terdiri
dari regulasi, perusahaan negara, dan kebijakan langsung.
i. Regulasi. Regulasi dimaksudkan membatasi perilaku individu, masyarakat,
dan perusahaan baik perusahaan swasta maupun perusahaan publik.
Barangsiapa yang tidak taat pada regulasi akan dikenai sanksi oleh
pemerintah. Untuk implementasi regulasi ini memerlukan keterlibatan polisi
dan sistem peradilan. Regulasi ini dapat di sektor ekonomi, sosial,
keamanan dan sebagainya. Regulasi di sektor ekonomi, sebagai contoh,
regulasi penentuan harga dasar gabah, ongkos tarif angkutan darat, volume
import barang. Regulasi juga dapat berbentuk penentuan standar, prosedur
perijinan, larangan perilaku tertentu, dan perintah untuk melakukan
tindakan.
ii. Perusahaan Publik. Perusahaan publik juga dikenal sebagai Badan Usaha
Milik Negara/Daerah (BUMN/BUMD). Perusahaan publik pada umumnya
sekitar lima puluh satu persen sampai seratus persen asetnya dimiliki oleh
pemerintah, dan manajemennya di bawah kontrol pemerintah, serta
menghasilkan barang dan pelayanan publik. Perusahaan publik sebagai
Universitas Sumatera Utara
64
instrumen kebijakan menawarkan keuntungan di satu pihak, seperti
menyediakan barang dan jasa yang tidak dihasilkan oleh sektor swasta atau
pasar, tetapi di pihak lain pemerintah sering sulit mengontrol manajamen
perusahaan publik.
iii. Kebijakan langsung. Pemerintah terkadang memberikan pelayanan jasa
dan barang secara langsung yang dibiayai dan dikelola oleh pemerintah
pusat, seperti Bantuan Presiden untuk desa-desa di Indonesia, Instruksi
Presiden untuk Desa Tertinggal (IDT), Program Jaring Pengaman Sosial
(JPS), dan sebagainya.
c. Instrumen gabungan
Instrumen gabungan ini terdiri dari informasi, subsidi, pengaturan hak milik,
dan pajak.
i. Informasi. Pemberian informasi pada individu dan perusahaan diharapkan
dapat mengubah perilaku mereka. Informasi sering bersifat umum, dan ini
dimaksudkan untuk menambah pengetahuan masyarakat agar memiliki
cukup informasi sebelum membuat keputusan. Sebagai contoh, informasi
tentang pariwisata, informasi tentang berbagai program pemerintah, dan
informasi yang berhubungan dengan statistik sosial dan ekonomi perlu
disebar luaskan oleh pemerintah pada masyarakat, agar masyarakat dapat
meresponnya.
ii. Subsidi. Yang dimaksud subsidi adalah semua bantuan finansial pemerintah
kepada individu, perusahaan, dan organisasi. Maksud subsidi adalah untuk
memberikan bantuan pembiayaan terhadap berbagai aktivitas.
iii. Pengaturan hak milik. Pengaturan hak milik ini dimaksudkan untuk
mengontrol segala bentuk aktivitas yang dapat merugikan masyarakat,
Universitas Sumatera Utara
65
seperti polusi air dan limbah, jumlah kendaraan di kota. Melalui kontrol
tersebut diharapkan kepentingan publik dapat dilindungi.
iv. Pajak. Pajak merupakan pembayaran wajib dari individu dan perusahaan
kepada pemerintah yang berfungsi sebagai pendapatan pemerintah guna
membiayai pengeluaran pemerintah. Namun demikian, pajak juga dapat
digunakan untuk mengatur perilaku masyarakat. Sebagai contoh, pajak
dengan tarif tinggi dapat dikenakan pada minuman keras dengan maksud
mengurangi jumlah masyarakat yang menggunakan minuman keras.
Sementara itu, tarif pajak ekspor produk kerajinan dapat dikurangi dengan
maksud untuk menggenjot volume eksport barang kerajinan dan
mengembangkan industri kecil.
Universitas Sumatera Utara