15
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dispepsia 2.1.1. Definisi Dispepsia berasal dari Bahasa Yunani yaitu (Dys-) dan (Pepse) yang secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai “pencernaan yang buruk” (bad digestion) (Schmidt-Martin dan Quigley, 2011). Dispepsia adalah gejala dan bukan diagnosis. Hal ini dapat didefinisikan secara luas sebagai rasa sakit atau ketidaknyamanan yang berpusat di perut bagian atas. "Berpusat" mengacu pada gejala utama berada di dalam atau sekitar garis tengah dan bukan terletak di kuadran atas kiri atau kanan. "Ketidaknyamanan" mengacu pada perasaan tidak menyenangkan yang singkat dan menyakitkan, termasuk rasa penuh di perut bagian atas, cepat kenyang, kembung, mual, dan muntah (Jones, 2005). Dispepsia juga dikaitkan dengan berbagai faktor risiko pribadi dan lingkungan seperti alkohol, tembakau, dan penggunaan obat-obatan anti inflamasi non-steroid dan dapat memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap kualitas hidup. 2.1.2. Klasifikasi Dispepsia adalah gejala yang umum dengan diagnosis banding yang luas dan patofisiologi yang beragam. Prevalensinya sendiri menyiratkan masalah kesehatan yang besar, meskipun sebagian besar penderita tidak mencari perawatan medis (Tepeš, 2011). Dispepsia sendiri dapat digolongkan menjadi dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Kategorisasi dispepsia ini diperkenalkan dengan tujuan target pengobatan yang lebih baik sesuai gejala (Talley dan Holtmann, 2007). Pada pasien dengan dispepsia organik atau struktural, ada tiga penyebab utama dispepsia: penyakit refluks gastroesofageal Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dispepsia 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46356/4/Chapter II.pdf · Penyebab dispepsia cukup beragam dan bergantung pada klasifikasinya,

  • Upload
    others

  • View
    16

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dispepsia 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46356/4/Chapter II.pdf · Penyebab dispepsia cukup beragam dan bergantung pada klasifikasinya,

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dispepsia

2.1.1. Definisi

Dispepsia berasal dari Bahasa Yunani yaitu (Dys-) dan (Pepse)

yang secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai “pencernaan yang buruk”

(bad digestion) (Schmidt-Martin dan Quigley, 2011). Dispepsia adalah

gejala dan bukan diagnosis. Hal ini dapat didefinisikan secara luas sebagai

rasa sakit atau ketidaknyamanan yang berpusat di perut bagian atas.

"Berpusat" mengacu pada gejala utama berada di dalam atau sekitar garis

tengah dan bukan terletak di kuadran atas kiri atau kanan.

"Ketidaknyamanan" mengacu pada perasaan tidak menyenangkan yang

singkat dan menyakitkan, termasuk rasa penuh di perut bagian atas, cepat

kenyang, kembung, mual, dan muntah (Jones, 2005). Dispepsia juga

dikaitkan dengan berbagai faktor risiko pribadi dan lingkungan seperti

alkohol, tembakau, dan penggunaan obat-obatan anti inflamasi non-steroid

dan dapat memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap kualitas

hidup.

2.1.2. Klasifikasi

Dispepsia adalah gejala yang umum dengan diagnosis banding

yang luas dan patofisiologi yang beragam. Prevalensinya sendiri

menyiratkan masalah kesehatan yang besar, meskipun sebagian besar

penderita tidak mencari perawatan medis (Tepeš, 2011).

Dispepsia sendiri dapat digolongkan menjadi dispepsia organik dan

dispepsia fungsional. Kategorisasi dispepsia ini diperkenalkan dengan

tujuan target pengobatan yang lebih baik sesuai gejala (Talley dan

Holtmann, 2007). Pada pasien dengan dispepsia organik atau struktural,

ada tiga penyebab utama dispepsia: penyakit refluks gastroesofageal

Universitas Sumatera Utara

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dispepsia 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46356/4/Chapter II.pdf · Penyebab dispepsia cukup beragam dan bergantung pada klasifikasinya,

6

(dengan atau tanpa esofagitis), penyakit ulkus peptikum kronis, dan

keganasan (Tepeš, 2011).

Talley dan Holtmann (2007) menyatakan bahwa Konsensus Roma

III telah merumuskan dispepsia fungsional menjadi dua kategori untuk

tujuan penelitian, yaitu postprandial distress syndrome (PDS, ditandai

dengan cepat kenyang atau rasa penuh setelah makan dalam jumlah besar)

dan epigastric pain syndrome (EPS, didefinisikan sebagai nyeri yang

sering terjadi atau rasa terbakar di epigastrium).

2.1.3. Etiologi

Penyebab dispepsia cukup beragam dan bergantung pada

klasifikasinya, seperti yang sudah dijelaskan di atas. Untuk penyebab

organik dispepsia sangat banyak seperti yang dijelaskan dalam Tabel 2.1,

namun sebagian besar kasus disebabkan oleh penyakit ulkus peptikum,

refluks gastroesofageal dan keganasan (Talley dan Segal, 2008). Lain

halnya dengan dispepsia fungsional yang memiliki penyebab tersendiri,

ditampilkan dalam Tabel 2.2 (Jones, 2005).

Gambar 2.1 Klasifikasi Dispepsia menurut Konsensus Roma III Dikutip sesuai aslinya dari: Dyspepsia in Clinical Practice (2011)

Universitas Sumatera Utara

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dispepsia 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46356/4/Chapter II.pdf · Penyebab dispepsia cukup beragam dan bergantung pada klasifikasinya,

7

Tabel 2.1 Penyebab Dispepsia secara Struktural atau Biokimia

Tabel 2.2 Etiologi Potensial dalam Dispepsia Fungsional

2.1.4. Patofisiologi

Karena gejala-gejalanya yang kompleks, baik sistem saraf pusat

(stres, kecemasan, dll) maupun gangguan pada lambung (infeksi atau

motorik) seharusnya terlibat, tetapi kepentingan relatif mereka

Visceral hypersensitivity

Impaired gastric emptying

Impaired postprandial fundic relaxation

Antral hypomotility

Gastric dysrhythmias

Small bowel dysmotility

Vagal neuropathy

Duodenal acid hypersensitivity

Psychosocial disturbances

Dikutip sesuai aslinya dari: Dyspepsia in Clinical Practice (2011)

Dikutip sesuai aslinya dari: Advanced Therapy in Gastroenterology and Liver Disease (2005)

Universitas Sumatera Utara

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dispepsia 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46356/4/Chapter II.pdf · Penyebab dispepsia cukup beragam dan bergantung pada klasifikasinya,

8

kontroversial. Banyak pasien yang berkonsultasi dengan dokter untuk

dispepsia memiliki masalah psikologis yang cukup besar, dan kecemasan

sering menjadi alasan utama untuk konsultasi. Sementara itu beberapa

orang berpikir bahwa sindroma dispepsia terutama berhubungan dengan

gangguan psikologis, yang lain berpikir bahwa yang terpenting adalah

gangguan sensorik-motorik lambung (Berstad dan Gilja, 2005).

Bagaimanapun, faktor psikologis dianggap penting dalam

membangkitkan suatu gejala. Dalam sebuah penelitian multi-faktorial,

faktor psikologis dan mekanisme perifer (lambung) tampaknya saling

terlibat dalam membangkitkan gejala, menyiratkan interaksi antara saraf

pusat dan sistem saraf enterik. Konsep kami untuk patogenesis sindroma

dispepsia diilustrasikan pada Gambar 2.2 (Berstad dan Gilja, 2005).

Gangguan di suatu tempat sepanjang sumbu otak-pencernaan

dianggap penting dalam patogenesis sindroma dispepsia. Interaksi antara

sistem saraf pusat (CNS) dan sistem saraf enterik (ENS) melibatkan kedua

sinyal eferen viseral dan aferen, beberapa di antaranya diperantarai oleh

nervus vagus. Normalnya, sinyal eferen dan aferen seimbang. Ketika

ketidakseimbangan diinduksi, seperti yang terjadi pada sindroma

Gambar 2.2 Patogenesis Sindroma Dispepsia Dikutip sesuai aslinya dari: Basic and New Aspects of Gastrointestinal

Ultrasonography (2005)

Universitas Sumatera Utara

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dispepsia 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46356/4/Chapter II.pdf · Penyebab dispepsia cukup beragam dan bergantung pada klasifikasinya,

9

dispepsia, mustahil untuk mengetahui di mana penyakit dimulai atau di

mana ia berada, sentral atau perifer. Akibatnya, kita tidak tahu di mana

harus memutus lingkaran setan tersebut dengan pengobatan. Namun, hal

yang baik dengan ilustrasi seperti di atas adalah bahwa tidak peduli di

mana penyakit dimulai atau di mana kita menerapkan pengobatan. Seluruh

mekanisme patogenesis terhubung dalam jaringan sebab-akibat, yang

berarti bahwa mengoreksi satu abnormalitas, pusat atau perifer, dapat

memutus lingkaran setan dan memberikan hasil akhir yang

menguntungkan (Berstad dan Gilja, 2005).

2.1.5. Diagnosis

Semua pasien dengan dispepsia yang persisten memerlukan

pengambilan riwayat pasien menyeluruh (anamnesis) dan pemeriksaan

fisik untuk menentukan penyebabnya. Bagi banyak pasien, diet, gaya

hidup, atau pengubahan dalam hal pengobatan dapat meringankan gejala

mereka. Karena penyebab yang mendasari keluhan dispepsia berkisar dari

kelebihan gas sampai ulkus peptikum atau pun keganasan, “gejala alarm”

harus dicari dan diselidiki ketika muncul. Anemia, penurunan berat badan,

tanda-tanda perdarahan gastrointestinal, cepat kenyang, atau disfagia harus

dievaluasi. Keluhan awal, terutama pada pasien yang lebih tua dari usia 45

tahun, atau dengan keluhan kronis yang jelas memburuk harus dievaluasi.

Tes paling akurat untuk dispepsia adalah upper endoscopy yang

memvisualisasi mukosa untuk ulkus, radang yang lain, esofagitis erosif,

atau keganasan dan pada saat yang sama juga memungkinkan dilakukan

biopsi untuk diagnosis histologis dan/ dokumentasi dari infeksi

Helicobacter pylori. Radiografi dengan pewarnaan kontras (barium)

kurang sensitif dan spesifik dibandingkan dengan upper endoscopy tetapi

dapat digunakan sebagai alternatif. Ultrasonografi pada kuadran kanan

atas dapat dilakukan jika ada kecurigaan penyakit di daerah pankreas atau

empedu sebagaimana dibuktikan oleh riwayat pasien atau melalui enzim

hati yang abnormal (Leppert dan Peipert, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dispepsia 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46356/4/Chapter II.pdf · Penyebab dispepsia cukup beragam dan bergantung pada klasifikasinya,

10

Tabel 2.3 Kriteria Diagnostik Sindroma Dispepsia

Komite Roma III telah merumuskan sindroma dispepsia dan

membatasi istilah untuk merujuk pada empat gejala berikut: rasa penuh

yang mengganggu setelah makan, cepat kenyang, nyeri epigastrium, atau

rasa terbakar di epigastrium. Selain itu, seperti yang ditunjukkan pada

Tabel 2.3, ada dua kategori diagnostik baru dalam sindroma dispepsia;

disebut postprandial distress syndrome (PDS) dan epigastric pain

syndrome (EPS) (Talley dan Segal, 2008).

Dikutip sesuai aslinya dari: Gastroenterology and Hepatology: A Clinical Handbook (2008)

Universitas Sumatera Utara

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dispepsia 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46356/4/Chapter II.pdf · Penyebab dispepsia cukup beragam dan bergantung pada klasifikasinya,

11

2.1.6. Penatalaksanaan

Gambar 2.3 menunjukkan suatu algoritma untuk pendekatan pada

pasien dengan dispepsia uninvestigated (UD). Pengambilan riwayat

menyeluruh dengan pemeriksaan fisik yang tepat dilakukan untuk

mengklarifikasi apakah gejala berasal dari pankreas, empedu atau kolon.

Setelah diagnosis spesifik telah dibuat, pengobatan harus diarahkan pada

kondisi tertentu. Jika pertimbangannya adalah dispepsia yang sederhana,

penggunaan aspirin/ NSAIDs dihentikan, jika ada, dan pengobatan gejala

Gastro-oesophageal Reflux Disease (GORD) dengan pompa proton

inhibitor (PPI) harus diberikan. Sangat penting untuk membuat penilaian

dari hadirnya gejala alarm yang mengindikasikan kebutuhan endoskopi

dini, sedangkan selebihnya dapat dikelola dengan strategi “test and treat”

(mengacu untuk menetapkan ada/ tidaknya H.pylori) (Talley dan Segal,

2008).

Pemeriksaan non-invasif untuk H.pylori baik menggunakan urea

breath test atau immunoassay antigen pada tinja adalah pemeriksaan yang

tepat untuk kebanyakan pasien. Pemeriksaan serologi kurang akurat dan

umumnya tidak dianjurkan kecuali tidak ada alternatif lain. Bagi mereka

yang sudah menjalani endoskopi harus melakukan biopsi rutin yang

direkomendasikan oleh pedoman saat ini. Pada pasien ini, pengujian rapid

urease dengan atau tanpa pemeriksaan histologi biasanya dilakukan

(Talley dan Segal, 2008).

Pengobatan lini pertama untuk H.pylori adalah terapi triple dengan

kombinasi dua antibiotik dan satu agen adjuvan selama 7-14 hari;

Penelitian secara meta-analisis telah menunjukkan sedikit keunggulan

dengan masa pengobatan selama dua minggu. Regimen yang paling umum

termasuk PPI (misalnya omeprazole 20 mg dua kali sehari) dengan

amoxicillin 1 g dua kali sehari dan clarithromycin 500 mg dua kali sehari.

Amoxicillin dapat diganti dengan metronidazole pada pasien yang sensitif

terhadap penisilin, meskipun tingkat resistensi metronidazole semakin

Universitas Sumatera Utara

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dispepsia 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46356/4/Chapter II.pdf · Penyebab dispepsia cukup beragam dan bergantung pada klasifikasinya,

12

meningkat secara signifikan. Tingkat keberhasilan lebih dari 80% telah

dicapai di sebagian besar uji coba (Talley dan Segal, 2008).

Gambar 2.3 Penatalaksanaan Dispepsia Dikutip sesuai aslinya dari: Gastroenterology and Hepatology:

A Clinical Handbook (2008)

Universitas Sumatera Utara

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dispepsia 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46356/4/Chapter II.pdf · Penyebab dispepsia cukup beragam dan bergantung pada klasifikasinya,

13

Respon terhadap terapi dapat dinilai paling efektif dengan urea

breath test yang dilakukan minimal empat minggu setelah terapi

antibiotik, dan setidaknya satu minggu setelah menghentikan terapi PPI.

Kegagalan pengobatan paling sering diatasi dengan rejimen lini kedua

yaitu PPI dan antibiotik alternatif seperti metronidazole dan tetrasiklin

selama dua minggu. Terapi penyelamatan untuk kegagalan pengobatan

selanjutnya melibatkan penggantian antibiotik dengan levofloxacin atau

rifabutin bersama dengan PPI. Diagnosis alternatif harus dipertimbangkan

jika ada kekurangan respon lanjutan dan pertimbangkan juga studi

pengosongan lambung dan penilaian psikologis pasien (Gambar 2.3)

(Talley dan Segal, 2008).

2.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Sindroma Dispepsia

2.2.1. Usia

Semua survei yang dilakukan telah memeriksa orang dewasa

dengan usia 18 tahun atau lebih. Sementara sebagian besar survei

menunjukkan bahwa dispepsia tampaknya tidak terkait dengan kelompok

usia tertentu, beberapa studi telah mencatat beberapa kecenderungan.

Dalam studi terakhir, sub-tipe dispepsia tampaknya dikaitkan dengan

kelompok usia yang berbeda: reflux-like lebih umum pada orang dewasa

paruh baya, dysmotility-like lebih sering pada mereka yang berusia di

bawah 59 tahun dan gejala ulcer-like predominant lebih sering pada orang

dewasa dengan usia kurang dari 39 tahun (Mahadeva dan Goh, 2006).

Berbeda dengan Li et al. (2014), menurutnya prevalensi dispepsia

yang tertinggi ada pada siswa perempuan dan mahasiswa senior pada

tahun ke-empat program sarjana. Pengamatan klinis umum mengenai

gejala gastrointestinal yang meningkat seiring dengan usia telah

Universitas Sumatera Utara

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dispepsia 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46356/4/Chapter II.pdf · Penyebab dispepsia cukup beragam dan bergantung pada klasifikasinya,

14

dikonfirmasi oleh studi berbasis populasi dan terkait pula dengan

berkurangnya respon sensorik dari jaringan usus.

Gejala refluks juga sangat terkait dengan usia. Hasil penelitian

menunjukkan risiko yang lebih tinggi pada kelompok usia menengah dan

risiko menurun setelah itu. Risiko gejala sedang atau berat – tapi bukan

dari gejala ringan – nyata terlihat lebih tinggi pada subyek dengan usia

antara 50 dan 69 tahun. Karena kebanyakan orang hanya melaporkan

gejala ringan, efek usia ini dapat diabaikan jika keparahan gejala tidak

diperhitungkan (Nocon et al, 2006).

2.2.2. Jenis Kelamin

Kebanyakan studi populasi telah mampu memperoleh rasio relatif

antara laki-laki berbanding perempuan dan mayoritas dari mereka telah

menunjukkan tidak ada perbedaan dalam prevalensi dispepsia antara jenis

kelamin. Beberapa studi dalam populasi yang berbeda telah mencatat

dominansi konsisten terletak pada perempuan dengan dispepsia. Jenis

kelamin perempuan ditemukan menjadi satu-satunya faktor risiko

independen untuk dispepsia fungsional antara 2.018 orang Taiwan yang

menjadi peserta pemeriksaan kesehatan (Mahadeva dan Goh, 2006).

Yu et al. (2013) dalam penelitiannya juga menunjukkan hubungan

antara jenis kelamin dengan sindroma dispepsia. Diperlihatkan bahwa

perempuan memiliki skor gejala dispepsia yang lebih tinggi pada tahun

pertama follow-up dibandingkan laki-laki, konsisten dengan hasil studi

cross-sectional di Taiwan.

Pada penelitian Lydiard (2005) dalam Li et al. (2014) dikatakan

bahwa secara umum, gangguan pencernaan fungsional memiliki prevalensi

lebih tinggi pada wanita. Drossman et al. (1993) dalam Li et al. (2014)

juga mengatakan hal tersebut dikarenakan perempuan lebih mampu untuk

menyampaikan keluhannya dan memperlihatkan gangguan fungsional

Universitas Sumatera Utara

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dispepsia 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46356/4/Chapter II.pdf · Penyebab dispepsia cukup beragam dan bergantung pada klasifikasinya,

15

tersebut secara klinis. Namun, dalam penelitian yang sama ditunjukkan

kalau tidak ada perbedaan dalam prevalensi sindroma dispepsia antara pria

dan wanita.

2.2.3. Suku

Peran suku dalam dispepsia belum diteliti oleh sebagian besar studi

populasi. Sebagian besar survei telah dilakukan pada populasi tunggal/

serupa dari kelompok suku, kebanyakan berasal dari latar belakang

Kaukasia atau Oriental. Namun, dalam salah satu penelitian yang

melibatkan subyek dengan beberapa latar belakang suku dari sebuah

institusi tunggal di Amerika Serikat, ras Afrika-Amerika ditemukan

menjadi salah satu dari beberapa faktor risiko epidemiologi untuk

dispepsia. Dalam sebuah survei terhadap populasi multi-rasial di

Singapura, Asia Tenggara, prevalensi dispepsia dari suku yang sesuai

ditunjukkan sebagai berikut: Cina 8,1%, Melayu 7,3%, dan India 7,5%.

Meskipun kelompok suku mayoritas di Singapura adalah Cina, penulis

dapat memperoleh prevalensi berdasarkan representasi yang sama dari tiga

kelompok etnis yang berbeda (Mahadeva dan Goh, 2006).

Dalam sebuah survei door to door pada 2.000 subyek dari populasi

multi-etnis Malaysia yang terdiri dari Cina, India, dan Melayu, 14,6%

memiliki dispepsia (kriteria Roma II). Frekuensi dispepsia adalah 14,6%,

19,7%, dan 11,2% untuk masing-masing kelompok suku Melayu, Cina,

dan India. Dispepsia lebih umum di kalangan Cina daripada non-Cina

(Ghoshal et al, 2011).

2.2.4. Gangguan Pola Makan

Sangat menarik untuk melihat bahwa banyak jenis makanan atau

minuman telah dikaitkan dengan pembentukan gejala gastrointestinal pada

studi sebelumnya yang menilai pasien dengan sindroma dispepsia,

sindroma iritasi usus, atau gangguan motilitas lainnya. Mekanisme

Universitas Sumatera Utara

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dispepsia 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46356/4/Chapter II.pdf · Penyebab dispepsia cukup beragam dan bergantung pada klasifikasinya,

16

mengenai faktor makanan yang menginduksi gejala dispepsia masih

memerlukan klarifikasi. Dalam sebuah tinjauan terbaru, Feinle-Bisset dkk.

membahas peran potensial dari beberapa faktor dalam hubungannya antara

diet dan dispepsia, termasuk kelainan pada pengosongan lambung dan

distribusi makanan intragastrik, hipersensitivitas lambung atau usus kecil,

hipersekresi asam lambung, dan perubahan sekresi hormon gastrointestinal

(Carvalho et al, 2009).

Lebih dari sepertiga pasien sindroma dispepsia melaporkan

mengalami gejala dispepsia setelah mengkonsumsi makanan yang

mengandung gandum, seperti roti, kue, dan pasta (makaroni dan lasagna).

44% dari keseluruhan pasien juga melaporkan gejala dispepsia dengan

konsumsi susu. Satu penjelasan yang mungkin untuk asosiasi ini ialah

adanya malabsorpsi laktosa pada pasien ini. Dalam studi tersebut peneliti

tidak menyelidiki adanya malabsorpsi laktosa untuk menilai kemungkinan

perubahan ini dalam menginduksi gejala yang berhubungan dengan susu.

Namun, harus diperhatikan bahwa gejala yang berhubungan dengan

konsumsi susu pada pasien ini adalah rasa penuh dan terbakar di

epigastrium, berbeda dari gejala klasik malabsorpsi laktosa, yaitu nyeri

perut, perut kembung, dan diare. Ada kemungkinan bahwa keluhan

dispepsia pasien tersebut terkait dengan komponen lain dari susu, seperti

lemak (Carvalho et al, 2009).

Carvalho et al. (2009) juga menyampaikan temuannya yang

berkaitan dengan hubungan dispepsia dan nyeri ulu hati yang dapat dipicu

oleh konsumsi kopi. DiBaise dkk. menunjukkan bahwa 43% dari pasien

dispepsia merasakan gejala rasa terbakar di epigastrium dan 90%

melaporkan nyeri ulu hati setelah minum kopi. Mekanisme yang terlibat

dalam perangsangan kopi terhadap gejala dispepsia tidak sepenuhnya

dipahami. Ada sangkaan bahwa kopi dapat memicu refluks

gastroesofageal dan merangsang sekresi asam lambung serta pelepasan

gastrin.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dispepsia 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46356/4/Chapter II.pdf · Penyebab dispepsia cukup beragam dan bergantung pada klasifikasinya,

17

2.2.5. Kebiasaan Merokok

Merokok tidak hanya memiliki efek merusak yang sangat besar

pada organ kardiovaskular , otak , dan bronkus tetapi juga secara

mendalam mengubah fungsi semua bagian dari saluran pencernaan melalui

berbagai mekanisme. Salah satu efeknya berhubungan dengan mekanisme

pada sindroma dispepsia. Pentingnya peran rokok dalam mempotensiasi

efek dari NSAID mungkin muncul, tetapi hasil studi epidemiologi ini

masih kontroversial. Dalam salah satu studi berbasis populasi

epidemiologi, perokok dengan konsumsi harian lebih dari dua puluh

batang memiliki risiko 1,55 kali dari bukan perokok untuk

mengembangkan dispepsia (Massarrat, 2008).

Menurut Nandurkar (1998) dalam Massarrat (2008), dua penelitian

berbasis masyarakat sebelumnya gagal untuk menunjukkan hubungan

antara merokok dengan dispepsia, meskipun merokok telah terbukti

menyebabkan efek berbahaya pada mukosa lambung. Nikotin, komponen

beracun yang utama dalam tembakau, mempotensiasi cedera mukosa

dengan menambah asam dan sekresi pepsin, duodenogastric reflux, dan

produksi radikal bebas. Merokok juga merusak pertahanan mukosa dengan

mengurangi sintesis prostaglandin, sekresi lendir, dan sekresi faktor

pertumbuhan epidermal. Guslandi dkk. mempelajari aliran darah mukosa

lambung dan produksi mukosa bikarbonat dalam tiga kelompok pasien

dengan dispepsia: bukan perokok, perokok ringan (<10 batang per hari),

dan perokok berat (≥10 batang per hari). Mereka menunjukkan bahwa

terjadi penurunan secara statistik yang cukup signifikan pada aliran darah

mukosa lambung dan sekresi alkali pada perokok berat, tapi tidak terjadi di

kelompok lain. Oleh karena itu, masuk akal bahwa merokok dapat

menyebabkan dispepsia melalui dampaknya pada mukosa lambung.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dispepsia 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46356/4/Chapter II.pdf · Penyebab dispepsia cukup beragam dan bergantung pada klasifikasinya,

18

2.2.6. Riwayat Penggunaan NSAID

Pada periode 1999-2003, 6.576 artikel mengenai reaksi obat yang

merugikan diterbitkan. Sebuah pencarian di PubMed dengan judul

'dispepsia' dan 'perangasangan kimiawi' menghasilkan sekitar 272 kutipan.

128 dari hasil tersebut diterbitkan dalam 10 tahun terakhir dan lebih dari

setengah (66/128) yang berkaitan dengan NSAID atau penggunaan aspirin

(Bytzer, 2009).

NSAID digunakan lebih dari 20 juta orang di Amerika Serikat dan

prevalensi penggunaan resep untuk NSAID adalah sekitar 10-15% pada

orang tua dengan usia lebih dari 65 tahun. Kerusakan mukosa lambung

karena NSAID merupakan masalah kesehatan utama. Rata-rata satu

sampai dua dari seratus pasien yang memakai NSAID selama satu tahun,

dirawat di rumah sakit karena masalah saluran cerna, paling sering ulkus.

Ofman dan rekan kerja melakukan meta-analisis dari dispepsia dan

NSAID. Pada kelompok yang diobati dengan NSAID 4,8% dari pasien

mengalami dispepsia sedangkan pada pasien yang mengkonsumsi plasebo

hanya 2,3%. Penggunaan dosis tinggi NSAID dan obat-obatan seperti

indometasin, meclofenamate, dan piroksikam dikaitkan dengan

peningkatan risiko dispepsia (Bytzer, 2009).

Mekanisme NSAID itu sendiri yaitu dengan menghambat enzim

cyclooxygenase (COX), yang pada gilirannya mengurangi sintesis endogen

sitoprotektif dari prostaglandin dan membuat mukosa rentan terhadap agen

berbahaya. Cedera mukosa saluran cerna yang disebabkan oleh NSAID

bervariasi dari mikroskopik halus sampai cedera makroskopik. Perubahan

halus terjadi dalam bentuk disfungsi permeabilitas dengan difusi ion

hidrogen dan pergeseran ion natrium intraluminal. Komplikasi

makroskopik, khususnya erosi dan ulkus, dapat mempersulit gangguan

mukosa yang tidak diobati. Luka mukosa lambung akut yang diinduksi

Universitas Sumatera Utara

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dispepsia 2.1.1. Definisirepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46356/4/Chapter II.pdf · Penyebab dispepsia cukup beragam dan bergantung pada klasifikasinya,

19

aspirin dapat terjadi dalam waktu satu jam paparan (Mofleh dan Rashed,

2007).

2.2.7. Stress

Patofisiologi dari sindroma dispepsia tidak sepenuhnya jelas. Ada

beberapa hipotesis yang berusaha menjelaskan patogenesis sindroma

dispepsia, salah satunya adalah hipotesis psikologis. Hal tersebut

menunjukkan bahwa depresi, kecemasan, atau pun gangguan somatisasi

dapat menyebabkan gejala dispepsia. Model biopsychological mendalilkan

bahwa dispepsia dihasilkan dari interaksi timbal balik yang kompleks

antara faktor biologis, psikologis, dan sosial. Ada komorbiditas dua arah

antara dispepsia dan gangguan psikiatris, terutama mood dan gangguan

kecemasan. Penelitian secara patofisiologi menunjukkan hubungan antara

proses psikologis dengan gejala dan fungsi sensori-motor gastro-

intestinal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gejala kejiwaan (depresi,

kecemasan, gangguan obsesif, sensitivitas interpersonal, psychoticism, dan

permusuhan) lebih tinggi pada kelompok sindroma dispepsia daripada

kontrol, dan hasil-hasil ini kompatibel dengan penelitian sebelumnya.

Levy (2006) melaporkan bahwa kecemasan, depresi, serangan panik, dan

gangguan somatisasi sering terdeteksi sebelum atau bersamaan dengan

terjadinya gangguan fungsional gastrointestinal (Faramarzi et al, 2012).

Dispepsia, GERD, dan IBS adalah kondisi gastrointestinal yang

umum baik di Cina maupun di seluruh dunia. Tingkat prevalensi yang

berbeda dari ketiga gangguan ini diamati pada populasi mahasiswa yang

dapat mencerminkan potensi berbeda dari asosiasi dengan faktor-faktor

terkait stres. Mahasiswa berada pada risiko yang lebih tinggi untuk

gangguan psikologis (Li et al, 2014). Ujian, sebagai contoh dari stressor

kehidupan nyata, menginduksi gejala dispepsia pada mahasiswa

kedokteran yang terkait dengan sifat-sifat psikologis tertentu, termasuk

kecemasan (Talley dan Holtmann, 2007).

Universitas Sumatera Utara