Upload
others
View
12
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demam berdarah Dengue (DBD)
2.1.1 Definisi Penyakit Demam Berdarah Dengue
Penyakit demam berdarah adalah penyakit infeksi oleh virus yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Infeksi yang ringan hanya
menimbulkan bercak-bercak pada badan dan gejala flu ringan. Anak-anak bisa
terkena penyakit demam berdarah yang sangat parah yang bisa menyebabkan
perdarahan dan shok (Krishna, 2013 : 38).
2.1.2 Epidemiologi Penyakit Demam Berdarah Dengue
Jumlah kasus DBD dilaporkan oleh WHO setiap tahunnya meningkat
dari 0,4-1,3 juta pada dekade 1996-2005, pada tahun 2010 mencapai 2,2 juta
dan 3,2 juta di tahun 2015. Berdasarkan pemodelan matematika, kejadian
tahunan dunia diperkirakan sekitar 50.000.000 – 100.000.000 gejala kasus
dalam beberapa tahun terakhir, terutama di Asia, diikuti oleh Amerika Latin
dan Afrika, dengan kemungkinan kasus terbanyak sekitar 25% yaitu infeksi
virus dengue. Pada tahun 2013 virus dengue diperkirakan mencapai sekitar 3,2
juta kasus hebat dan 9000 kematian, mayoritas terjadi di Negara-negara
berpenghasilan menengah bawah, dan untuk 1,1 juta ketidakmampuan
mencapai usia hidup (DALY) di seluruh dunia. Penularan virus dengue dari
primate non manusia terhadap manusia tampaknya langka. Penyebaran vektor
berikutnya yaitu urbanisasi dan menurunnya upaya pengendalian vektor
sudah berkontribusi sebagian terhadap peningkatan kejadian infeksi virus
dengue. Virus dengue tidak hanya di lingkungan perkotaan saja tetapi kini
ditemukan dari daerah pedesaan juga. Selain itu faktor-faktor seperti
11
pertumbuhan penduduk, globalisasi dan traveling, serta perubahan iklim dapat
mempengaruhi peningkatan penularan virus dengue tersebut (WHO, 2016).
2.1.3 Etiologi Penyakit Demam Berdarah Dengue
Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue dari family
Flaviviridae dan genus Flavivirus. Virus ini mempunyai empat serotipe yang
dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Keempat serotipe ini
menimbulkan gejala yang berbeda-beda jika menyerang manusia. serotipe
yang menyebabkan infeksi paling berat di Indonesia, yaitu DEN-3. Demam
berdarah dengue tidak menular melalui kontak manusia dengan manusia. Virus
dengue sebagai penyebab demam berdarah hanya dapat ditularkan melalui
nyamuk. Oleh karena itu, penyakit ini termasuk dalam kelompok arthropod
borne disease (Satari & Meiliasari, 2008 : 3).
Virus dengue sebagai penyebab penyakit demam berdarah dengue
merupakan mikroorganisme sangat kecil dan hanya dapat dilihat dengan
mikroskop elektron. Virus hanya dapat hidup di dalam sel hidup. Maka demi
kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia yang
ditempati terutama untuk kebutuhan protein. Apabila daya tahan tubuh
seseorang yang terkena infeksi virus tersebut rendah sebagai akibatnya sel
jaringan akan semakin rusak. Sebaliknya, apabila sel tersebut berkembang
banyak, fungsi organ tubuh tersebut baik, maka akan sembuh dan timbul
kekebalan terhadap virus dengue yang pernah masuk ke dalam tubuhnya
(Misnadiarly, 2009).
2.1.4 Gejala Klinis Penyakit Demam Berdarah Dengue
Menurut WHO (2009, dalam Hasmi, 2015) dengue merupakan
penyakit sistemik yang dinamis. Perubahan yang terjadi terdiri dari beberapa
12
fase. Setelah periode inkubasi, penyakit mulai berkembang menuju 3 fase
yaitu febris, kritis dan penyembuhan.
1. Fase Febris
Pasien mengalami demam tinggi secara tiba-tiba. Fibrilasi akut ini
bertahan 2-7 hari dan disertai sritma kulit, wajah yang memerah, sakit
sekujur tubuh, arthralgia dan sakit kepala. Pada beberapa pasien juga
ditemukan radang tenggorokan, infeksi faring dan konjungtiva, anorexia,
pusing, dan muntah-muntah juga sering ditemui. Febris antara dengue dan
non dengue pada awal fase febris sulit dibedakan. Oleh karena itu,
monitoring dari tanda bahaya dan parameter klinik lainnya seangat krusial
untuk menilau progresi ke fase kritis.
Manifestasi hemoragik seperti patechie dan perdarahan membrane
mukosa (hidung dan gusi) mungkin timbul. Perdarahan massif vagina
dan gastrointestinal juga mungkin timbul dalam fase ini, hepatomegaly
muncul setelah beberapa hari demam. Tanda abnormal dari pemeriksaan
darah rutin adalah penurunan total sel darah putih.
2. Fase Kritis
Penurunan suhu tubuh setelah demam hingga suhu tubuh
menjadi 37,5-38’ C atau bahkan kurang dapat terjadi 3-7 hari dan
peningkatan hematokrit. Leukopenia progresif yang diikuti penurunan
jumlah platelet biasa terjadi setelah kebocoran plasma. Pada kondisi ini
pasien yang permeabilitas kapilernya tidak meningkat, kondisinya
membaik. Sebaliknya pada pasien yang permeabilitas kapilernya
meningkat, terjadi kehilangan banyak volume plasma. Derajat kebocoran
13
plasma pun berbeda-beda. Efusi pleura dan aites dpat terjadi. Derajat
tingginya hematocrit menggambarkan kebocoran plasma.
Syok dapat terjadi ketika banyak kehilangan volume cairan
plasma. Kemudian kondisi tersebut dilanjutkan dengan tanda suhu tubuh
yang abnormal. Apabila syok terjadi cukup banyak dapat menyebabkan
kerusakan organ, asidosis metabolic dan Disseminated intravascular
coagulation (DIC).
3. Fase Penyembuhan
Apabila pasien bertahan setalah 24-48 jam fase kritis, reabsorpsi
gradual cairan ekstravaskular akan terjadi dalam 48-72 jam kemudian.
Kondisi ini akan membaik, nafsu makan meningkat, gejala gastrointestinal
mereda, hemodinamik makin stabil dan diuresis membaik. Namun pada
fase ini dapat terjadi pruritus, bradikardi dan perubahan pada EKG.
Distress pernafasan yang diakibatkan oleh efusi pleura masif dan asites
dapat muncul bila pasien diberikan cairan berlebihan dihubungkan
dengan edema pulmoner dan gagal jantung kongestif.
Berikut ini adalah table gambaran klinis dari setiap fase :
Tabel 2.1 Fase DBD
FASE DBD GEJALA KLINIS
Fase febris Dehidrasi, demam tinggi yang dapat menyebabkan gangguan neurologis dan kejang pada anak.
Fase kritis Syok karena kebocoran plasma, perdarahan berat dan kegagalan organ.
Fase penyembuhan
Hypervolemia (apabila pemberian cairan intravena berlebihan).
2.1.5 Faktor Penularan Penyakit Demam Berdarah Dengue
Wati (2009 : 21) mengemukakan ada dua faktor yang menyebabkan
penyebaran penularan penyakit DBD adalah sebagai berikut :
14
1. Faktor Internal
Faktor intrenal meliputi ketahanan tubuh atau stamina seseorang.
Jika kondisi badan tetap bugar kemungkinannya kecil untuk terkena
penyakit DBD. Hal tersebut dikarenakan tubuh memiliki daya tahan
cukup kuat dari infeksi baik yang disebabkan oleh bakteri, parasite, arau
virus seperti penyakit DBD. Oleh karena itu sangat penting untuk
meningkatkan daya tahan tubuh pada musim hujan dan pancaroba. Pada
musim itu terjadi perubahan cuaca yang mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan virus dengue penyebab DBD. Hal ini menjadi
kesempatan jentik nyamuk berkembangbiak menjadi lebih banyak.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal merupakan faktor yang datang dari luar tubuh
manusia. Faktor ini tidak mudah dikontrol karena berhubungan dengan
pengetahuan, lingkungan, dan perilaku manusia baik di tempat tinggal,
lingkungan sekolah, atau tempat bekerja. Satari & Meilisari (2004, dalam
Wati, 2009 : 21) mengatakan faktor yang memudahkan seseorang
menderita DBD dapat dilihat dari kondisi berbagai tempat
berkembangbiaknya nyamuk seperti di tempat penampungan air, karena
kondisi ini memberikan kesempatan pada nyamuk untuk hidup dan
berkembangbiak. Hal ini dikarenakan penampungan air masyarakat
indonesia umumnya lembab, kurang sinar matahari dan sanitasi atau
kebersihannya.
2.1.6 Klasifikasi Penyakit Demam Berdarah Dengue
Derajat penyakit DBD diklasifikasikan menurut Ginanjar (2007)
berdasarkan tingkat keparahannya. Secara singkat dijelaskan seperti berikut :
15
1. Derajat I
Disebut derajat 1 apabila terdapat tanda-tanda demam selama 5-7 hari,
gejala umum tidak khas, tes Rumpeleede (+). Tes Rumpeleede merupakan tes
penapisan (skrining) untuk menilai adanya perdarahan kulit. Tes ini
dilakukan dengan cara membendung pembuluh darah pada lengan pasien
dengan menggunakan manset pengukur tekanan darah selama lima
menit. Besar tekanannya adalah ½ kali dari penjumlahan tekanan darah
sistolik dan diastolik. Hasil positif adalah jika terdapat bintik-bintik
perdarahan pada lengan penderita DBD, sebanyak lebih dari 20
buah/inci2.
2. Derajat II
Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan pada kulit berupa ptekiae
dan ekimosis, mimisan (epistaksis), muntah darah (hematemesis), buang air
besar berdarah berwarna merah kehitaman (melena), perdarahan gusi,
perdarahan Rahim (uterus), telingan dan sebagainya.
3. Derajat III
Ada tanda-tanda kegagalan sirkulasi darah, seperti denyut nadi teraba
lemah dan cepat (>120x/menit), tekanan nadi (selisih antara tekanan
darah sistolik dan diastolik) menyempit (<20 mmHg). DBD derajat III
merupakan peringatan awal yang mengarah pada terjadinya renjatan
(syok).
4. Derajat IV
Denyut nadi tidak teraba, tekanan darah tidak terukur, denyut jantung
>140x/menit, ujung-ujung jari kaki dan tangan terasa dingin, tubuh
16
berkeringat, kulit membiru. DBD derajat IV merupakan manifestasi
syok, yang sering kali berakhir dengan kematian.
2.1.7 Cara Penularan Penyakit Demam Berdarah Dengue
Menurut Sukohar (2014 : 6) terdapat tiga faktor yang memegang
peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu manusia, virus dan vektor
perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui nyamuk Aedes
aegypti. Aedes albopictus¸Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat
juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan.
Aedes tersebut mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang
sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur
berkembnag biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum
dapat ditularkan kembali pada manusia pada saat gigitan berikutnya. Sekali
virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk tersebut
akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Dalam tubuh
manusia, virus memerlukan masa tunas 4-6 hari (intrinsic incubation period)
sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk
dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia,
yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.
2.1.8 Pencegahan Penyakit Demam Berdarah Dengue
Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian
vektornya, yaitu nyamuk Aedes Aegypti. Sukohar (2014 : 12-13)
mengemukakan pengendalian nyamuk dapat dilakukan dengan menggunakan
beberapa metode yang tepat, yaitu :
17
1. Lingkungan
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara
lain dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah
padat, modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping
kegiatan manusia, dan perbaikan desain rumah. Sebagai contoh :
a. Menguras bak mandi/penampungan air sekurang-kurangnya sekali
seminggu.
b. Mengganti/menguras vas bunga dan tempat minum burung seminggu
sekali.
c. Menutup dengan rapat tempat penampungan air.
d. Mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas, dan ban bekas di sekitar
rumah.
2. Biologis
Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan
pemakan jentik (ikan adu/ikan cupang).
3. Kimiawi
Cara pengendalian ini antara lain dengan :
a. Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion),
berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan sampai batas
waktu tertentu.
b. Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat
penampungan air seperti, gentong air, vas bunga, kolam dan lain-lain.
Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah
dengan mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan “3M Plus”,
yaitu menutup, menguras dan menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa
18
plus seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida,
menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot
dengan inseksida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk, memeriksa
jentik berkala dan disesuaikan dengan kondisi setempat.
2.1.9 Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue (DBD)
Hasmi (2015) menyatakan bahwa pada dasarnya pengobatan DBD
bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat
peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Secara garis
besar dibagi menjadi beberapa bagian :
1. Pemberian oksigen : Terapi oksigen harus selalu diberikan pada semua
pasien syok.
2. Penggantian volume plasma.
3. Koreksi gangguan metabolik dan elektrolit.
4. Transfusi darah : pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan
perdarahan yang nyata seperti hematemesis (muntah darah) dan melena (BAB
berwarna merah kehitaman). Hemoglobin perlu dipertahankan untuk
mencapai transport oksigen ke jaringan, sekitar 10g/dl.
Berikut ini tatalaksana pasien dengue menurut fase yang dibagi menjadi 3 :
1. Fase febris.
1) Penurunan suhu.
a. Tepid sponge untuk demam yang sangat tinggi setelah
diberikan parasetamol.
b. Antipiretik, parasetamol 10mg/kgBB/hari jika demam
>39’ C setiap 4-6 jam.
19
2) Pemberian makanan.
a. Nutrisi yang lunak akan lebih disukai.
b. Susu, jus buah dan cairan elektrolit direkomendasikan jika
diit lunak tidak dapat dikonsumsi.
c. Pemberian air putih yang adekuat akan menjaga
keseimbangan elektrolit.
3) Terapi simptomatik lainnya.
a. Domperidon 1 mg/kgBB/hari diberikan 3 kali.
b. Antikonvulsan pada pasien kejang demam (diazepam
oral).
c. H-2 bocker (ranitidine, cimetidine) pada pasien dengan
gastritis atau perdarahan saluran cerna.
4) Pemberian cairan intravena.
5) Pengawasan tanda kegawatan dan gejala yang mengarah ke syok.
Gejala syok :
a. Ujung akral dingin dan lembab.
b. Gelisah, rewel pada bayi.
c. Mottled pada kulit.
d. Pengisian kapiler >2 detik.
e. Penurunan diuresis 4-6 jam.
6) Follow up
2. Fase kritis.
1) DBD derajat I dan II.
a. Pada hari ke 3,4, dan 5 demam dianjurkan dirawat inap.
b. Pemantauan TTV setiap hari 1-2 jam selama fase kritis.
20
c. Pemeriksaan kadar hematocrit berkala selama 4-6 jam
selama fase kritis.
d. Hindari pemasangan prosedur yang invasif seperti
nasogastric tube.
e. Penggantian volume plasma yang hilang akibat
pembesaran plasma.
f. Jenis cairan yang dipakai yaitu isotonik ringer dan ringer
asetat.
g. Jumlah cairan diberikan :
a) Berat badan yang digunakan untuk patokan
adalah berat ideal.
b) Pemberian cairan intravena harus disesuaikan
berdasarkan hasil lab (hemoglobin, hematokrit).
Tidak boleh melebihi 6 jam tanpa dievaluasi lagi.
2) DBD derajat III dan IV.
a. Sindrom syok dengue merupakan kasus kegawatdaruratan
yang membutuhkan penanganan secara cepat dan tepat.
Terapi oksigen harus diberikan pada semua pasien syok.
b. Penggantian awal cairan intravena dengan larutan
kristaloid 20 ml/kgBB dengan tetesan secepatnya. Jika
syok belum teratasi dengan dua kali resusitasi, I cairan
dapat digantikan dengan koloid 10-20 ml/kgBB selama 10
menit. Jika terjadi perbaikan klinis, segera tukar kembali
dengan kristaloid, tetesan dikurangi secara bertahap
dengan tetesan 10 ml/kgBB/jam dan dievaluasi selama 4-
21
6 jam. Jika membaik, diturunkan 7 ml/kgBB/jam
selanjutnya 5 ml/kgBB/jam dan terakhir 3 ml/kgBB/jam.
c. Pada pasien dengan komplikasi, pemeriksaan lab yang
digunakan adalah :
a) Golongan darah.
b) Gula darah dan elektrolit (Na, Ca, Kalium).
c) Fungsi hati.
d) Fungsi ginjal.
e) Analisa gula darah.
f) Coagulogram.
g) Produksi urin dan nafsu makan yang cukup
merupakan tanda penyebuhan.
h) Pada umumnya, 48 jam sesudah terjadi kebocoran
atau renjatan tidak lagi membutuhkan cairan.
3. Fase penyembuhan.
1) Penghentian cairan intravena.
2) Biarkan pasien istirahat.
3) Beberapa pasien akan mengalami fluid overload jika pada fase
demam sebelumnya mendapatkan cairan berlebihan, untuk
mengatasi hal tersebut dapat dilakukan :
a. Hilangkan cairan yang ada di cavum pleura, dapat
menggunakan diuretic furosemide (1 ml/kg/dosis), dengan
syarat pasien tidak dalam fase perembesan plasma karena
akan memicu syok.
b. Dilakukan pemasangan kateter terlebih dahulu.
22
c. Pencatatan jumlah urin setiap jam. Urin yang adekuat
adalah 0,5 ml/kgBB/jam.
d. Furosemide dapat diberikan dengan frekuensi sesuai
kebutuhan.
2.1.10 Dampak Penyakit Demam Berdarah Dengue
Virus dengue telah berkembang dari penyakit sporadik ke masalah
kesehatan masyarakat yang utama dengan dampak sosial dan ekonomi yang
tinggi karena meningkatnya ektensi geografis, jumlah kasus, dan tingkat
keparahan penyakit tersebut (Guzman & Haris, 2014 : 1). Dampak dari segi
sosial yang di maksud adalah kerugian yang dialami seseorang yang menderita
DBD termasuk juga salah seorang keluarganya, kerugian tersebut dapat
berupa rasa ketidaknyamanan, kepanikan keluarga, bahkan kematian anggota
keluarga yang nantinya akan berdampak pada permasalahan yang lebih luas
yaitu rendahnya usia harapan hidup. Selain dampak sosial, dampak yang
ditimbulkan adalah dampak ekonomi yang terbagi menjadi 2 yaitu dampak
ekonomi langsung meliputi biaya pengobatan dan perawatan, dan dampak
ekonomi tidak langsung meliputi kehilangan waktu kerja, waktu sekolah dan
biaya lain seperti transportasi dan akomodasi yang dikeluarkan selama
perawatan (Imawati & Sukesi, 2015 : 79).
2.2 Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Demam Berdarah Dengue
2.2.1 Agent (Penyebab)
Agent atau penyebab penyakit DBD adalah virus dengue yang
termasuk kelompok B arthropoda Borne Virus (Arbovirus). Anggota dari genus
Flavivirus, familia Flaviviridae yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan
juga nyamuk Aedes albopictus yang merupakan vektor infeksi DBD (Roose
23
2008) . Dikenal ada empat serotipe virus dengue yaitu Den-1, Den-2, Den-3
dan Den-4 (Wati, 2009 : 14-15). Nyamuk dengue menggigit manusia pada pagi
sampai sore hari, biasanya pukul 08.00-12.00 dan 15.00-17.00. Nyamuk
mendapatkan virus dengue setelah menggigit orang yang terinfeksi virus dengue.
Virus ini dapat tetap hidup di alam lewat 2 mekanisme.
Mekanisme pertama, transmisi vertikal dalam tubuh nyamuk. Virus
dapat ditularkan oleh nyamuk betina pada telurnya, yang nantinya
akan menjadi nyamuk. Virus ini dapat ditularkan dari nyamuk jantan
ke nyamuk betina melalui kontak seksual.
Mekanisme kedua, transmisi virus dari nyamuk ke dalam tubuh
mekhluk vertebrata dan sebaliknya. Yang dimaksud dengan makhluk
vertebrata disini adalah manusia dan kelompok kera tertentu.
Virus yang sampai ke dalam lambung nyamuk akan mengalami
replikasi (memecah diri atau berkembang biak), kemudian akan berimigrasi
dan akhirnya sampai ke kelenjar ludah. Empat hari kemudian virus akan
mereplikasi dirinya secara cepat. Apabila jumlahnya sudah cukup, virus akan
memasuki sirkulasi darah dan saat itulah manusia yang terinfeksi akan
mengalami gejala panas (Suharmiati &Handayani, 2007 : 3).
2.2.2 Host (Faktor Penjamu)
Virus dengue dapat menginfeksi manusia dan beberapa spesies primata.
Manusia reservoir utama virus dengue di daerah perkotaan (Widodo, 2012 :
11). Beberapa faktor yang mempengaruhi host dijelaskan sebagai berikut :
a. Usia
Menurut Noor (2008 : 98, dalam Kurniawati, 2015 : 13-14)
salah satu karakteristik individu yang mempunyai peranan penting
24
pada perkembangan penyakit adalah usia. Peranan tersebut menjadi
penting dikarenakan usia dapat memberikan gambaran tentang faktor
penyebab penyakit tersebut, selain itu dapat digunakan untuk
mengamati perbedaan frekuensi penyakit. usia juga mempunyai
hubungan dengan besarnya risiko dan resistensi penyakit.
Usia adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kepekaan
terhadap infeksi virus dengue. Semua golongan umur dapat terserang
virus dengue, meskipun baru berumur beberapa hari setelah lahir (Wati,
2009 : 15). Karakteristik setiap individu secara tidak langsung
memberikan perbedaan pada keadaan maupun reaksi terhadap
keterpaparan suatu penyakit. Adapun perbedaan tersebut dapat di
lihat berdasarkan golongan umur (Kurniawati 2015 : 38). Di Negara
Asia Tenggara penyakit DBD menyerang terutama pada anak-anak,
sedangkan di Negara tropis Amerika DBD menyerang semua umur
(Guzzman, 2008 : 522).
b. Jenis kelamin
Noor (2008 : 98, dalam Kurniawati, 2015 : 14) menjelaskan
faktor jenis kelamin merupakan salah satu variabel deskriptif yang
dapat memberikan perbedaan angka/rate kejadian pria dan wanita.
Perbedaan jenis kelamin harus dipertimbangkan dalam hal kejadian
penyakit, hal tersebut dikarenakan timbul karena bentuk anatomis,
fisiologis dan sistem hormonal yang berbeda. Wati (2009 : 15-16)
mengemukakan sejauh ini tidak ditemukan perbedaan kerentanan
terhadap serangan DBD dikaitkan dengan perbedaan jenis kelamin.
25
c. Pekerjaan
Mobilitas seseorang berpengaruh terhadap resiko kejadian
DBD. Hal ini identik dengan pekerjaan yang dilakukan sehari-hari
dan berkaitan dengan pendapatan dan daya beli seseorang. Semakin
tinggi mobilitas seseorang, semakin besar resiko untuk menderita
penyakit DBD. Semakin baik tingkat penghasilan seseorang, semakin
mampu ia untuk memenuhi kebutuhannya, termasuk dalam hal
pencegahan dan pengobatan suatu penyakit (Widodo, 2013 : 12).
d. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah
seseorang melakukan pengindraan terhadap objek tertentu.
Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni penglihatan,
pendengaran, penghirup, perasa, dan peraba. Tetapi sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
dalam mebantu tindakan seseorang (overt behaviour). Perilaku didasari
oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama daripada perilaku yang
tidak didasari pengetahuan. Penelitian Rogers (1974), dalam Sunaryo
(2004 : 5), dalam Hasmi (2015) mengungkapkan sebelum orang
mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang
tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni :
a. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam
arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.
b. Interest, yakni orang mulai tertarik pada stimulus.
26
c. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus
tersebut bagi dirinya). Hal ini sikap responden sudah lebih
baik lagi.
d. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru.
e. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikap terhadap stimulus.
Namun demikian dari penelitian selanjutnya Rogers
menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-
tahap diatas. Apabila penerima perilaku baru atau adopsi perilaku
melalui proses seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan
sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long
distance). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari pengetahuan
dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama.
e. Sikap
Sikap merupakan respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak langsung
dilihat akan tetapi harus ditafsirkan terlebih dahulu sebagai tingkah
laku yang tertutup. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung
dan juga tidak langsung. Secara langsung dapat dinyatakan bagaimana
pendapat atau pertanyaan respon terhadap suatu objek. Orang lain
berperilaku bertentangan dengan sikapnya, dan bisa juga merubah
sikapnya sesudah yang bersangkutan merubah tindakannya. Namun
secara tidak mutlak dapat dikatakan bahwa perubahan sikap
merupakan loncatan untuk terjadinya peribahan perilaku (Marini,
2010).
27
Tingkat sikap di dalam domain afektif menurut Notoatmodjo
(2003, dalam Efendi & Makhfudli 2009 : 103) yaitu :
1) Menerima (receiving). Menerima diartikan bahwa seseorang
(subjek) mau memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).
Contohnya, sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari
kesediaan dan perhatian orang tersebut terhadap penyuluhan
tentang gizi.
2) Merespon (responding). Memberikan jawaban apabila ditanya,
mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah
suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk
menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan,
terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti
bahwa orang menerima ide tersebut.
3) Menghargai (valuing). Mengajak orang lain untuk mengerjakan
atau mendiskusikan suatu masalah adalah indikasi sikap
tingkat tiga. Contohnya, seorang ibu mengajak yang lain
(tetangga atau saudaranya) untuk pergi menimbangkan
anaknya di posyandu atau mendiskusikan tentang gizi, adalah
suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap
positif terhadap gizi anak.
4) Bertanggung jawab (responsible). Bertanggung jawab atas segala
sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan
sikap yang paling tinggi. Contohnya, seorang ibu mau menjadi
akseptop KB, meskipun mendapat tentangan dari mertua atau
orang tuanya sendiri.
28
f. Perilaku
Perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme
yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia adalah suatu aktivitas dari
manusia itu sendiri. Ada 2 hal yang dapat mempengaruhi perilaku
yaitu faktor genetik/keturunan dan faktor lingkungan. Faktor
keturunan merupakan konsepsi dasar atau modal perkembangan
perilaku makhluk hidup itu untuk selanjutnya. Faktor lingkungan
adalah kondisi atau merupakan lahan untuk perkembangan perilaku
tersebut (Marini, 2010 : 10).
Notoatmojo (2012, dalam Lontoh, et al, 2016 : 384)
menyatakan bahwa perilaku masyarakat sangat erat hubungannya
dengan kebiasaan hidup bersih dan kesadaran terhadap bahaya DBD.
Purnama, et al. (2013 : 24) mengemukakan perilaku membersihkan
lingkungan dan secara rutin melakukan kegiatan 3M, yakni menguras
tempat penampungan air, mengubur barang bekas dan menutup
tempat penampungan air akan efektif mengurangi tempat
perkembangbiakan nyamuk, sehingga dapat mengurangi kejadian
DBD di lingkungannya. Hal ini sejalan dengan penelitian Kurniawan
(2013) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
DBD di desa Gonilan kecamatan Kartasura kabupaten Sukoharjo
yakni ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan membersihkan
tempat penampungan air (TPA) terhadap kejadian DBD.
Green, (1980, dalam Notoatmodjo, 2012) membagi 3 faktor yang
mempengaruhi perilaku, yaitu :
29
1. Faktor predisposisi (predisposing factor)
Faktor ini mencangkup pengetahuan dan sikap masyarakat
terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-
hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut
masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial-ekonomi, dan
sebagainya.
2. Faktor pemungkin (enabling factor)
Faktor ini mencangkup ketersediaan sarana dan prasarana
atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya air bersih, tempat
pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja, ketersediaan
makanan bergizi, dan sebagainya. Termasuk juga fasilitas pelayanan
kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu,
polindes, pos obat desa, dokter atau bidan praktik swasta, dan
sebagainya.
3. Faktor penguat (reinforcing factors)
Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh
masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk
petugas kesehatan. Termasuk juga disini undang-undang,peraturan-
peraturan, baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait
dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat masyarakat kadang-
kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif dan
dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan)
dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan para petugas, lebih-
lebih para petugas kesehatan. Di samping itu undang-undang juga
diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut.
30
2.2.3 Environment (Lingkungan)
Lingkungan yang mempengaruhi timbulnya penyakit dengue adalah :
a. Keberadaan kontainer/Tempat Penampungan Air (TPA)
Menurut penelitian Gama & Betty (2010 : 5) keberadaan
kontainer >3 memiliki resiko untuk mengalami DBD 6,75 kali lebih
besar daripada responden yang mempunyai kontainer <3. Widjaja
(2011 : 87) mengemukakan bahwa keadaan kontainer yang tertutup
secara statistik tidak menunjukan hubungan dengan kejadian DBD
karena memungkinkan Aedes aegypti tidak dapat meletakkan telur di
kontainer tersebut. Penggunaan penutup kontainer yang baik, dapat
mencegah berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti, sedangkan
banyaknya jenis kontainer ditemukan sebagai tempat
berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti tergantung pada kebiasaan
masyarakat menggunakan wadah sebagai tempat penampungan air
untuk kebutuhan sehari-hari.
b. Kepadatan hunian
Kepadatan hunian adalah perbandingan jumlah penghuni
dengan luas rumah dan merupakan salah satu persyaratan rumah
sehat. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan no.
829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan
Perumahan, disebutkan bahwa kepadatan hunian ≥ 8 m2 per orang
dikategorikan sebagai tidak padat. Adapun cara menghitung
kepadatan hunian, sebagai berikut (RISKESDAS, 2013) :
Kepadatan Hunian = Luas rumah
Jumlah penghuni rumah
31
Pertambahan penduduk baik baik di perkotaan maupun
pedesaan berdampak negatif terhadap perbandingan antara jumlah
luas lantai hunian terhadap penghuni dan berkurangnya ruang terbuka
pada area pemukiman. Hal ini tentu saja memiliki implikasi terhadap
status kesehatan penduduk (Efendi & Makhfudli, 2009).
2.3 Pengaruh Faktor Host (penjamu), Agent (penyebab) dan Environment
(lingkungan) dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD)
Teori segitiga epidemiologi menjelaskan bahwa timbulnya penyakit
disebabkan oleh adanya pengaruh faktor penjamu (host), penyebab (agent), dan
lingkungan (environment) yang digambarkan segitiga. Perubahan lingkungan
akan mempengaruhi host, sehngga akan timbul penyakit secara individu
maupun keseluruhan populasi yang mengalami perubahan tersebut. Demikian
juga dengan kejadian penyakit DBD yang berhubungan dengan lingkungan.
Pada prinsipnya kejadian penyakit yang digambarkan sebagai segitiga
epidemologi menggambarkan hubungan tiga komponen tersebut. Untuk
memprediksi pola penyakit, model ini menekankan perlunya analisis dan
pemahaman masing-masing komponen. Perubahan pada satu komponen
akan mengubah ketiga komponen lainnya, dengan akibat menaikan atau
menurunkan kejadian penyakit (Roose, 2008).
Menurut Kristina, dkk (2004 dalam, Utomo, Ningsih & Febri, 2013 :
83) komponen untuk terjadinya penyakit DBD yaitu agent (penyebab), host
(penjamu) dan environment (lingkungan). Agent penyebab penyakit Demam
Berdarah dengue (DBD) adalah virus dengue yang termasuk kelompok B
arthropoda Borne virus (arboviroses). Anggota dari genus Flavivirus, family
Flaviviridae yang ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti dan juga nyamuk Aedes
32
Albopictus yang merupakan vektor infeksi DBD. Host atau penjamu adalah
manusia atau organisme yang rentan oleh pengaruh agent. Dalam penelitian ini
yang merupakan faktor penjamu meliputi umur, jenis kelamin, pekerjaan,
perilaku, pengetahuan dan sikap. Environment (lingkungan) adalah kondisi atau
faktor berpengaruh yang bukan bagian dari agent maupun host, tetapi mampu
menginteraksikan agent dan host. Faktor lingkungan dalam penelitian ini
meliputi kepadatan hunian dan tempat penampungan air (TPA).
AGENT
HOST ENVIRONMENT
Gambar 2.1 Segitiga epidemiologi (Roose, 2008)
VEKTOR