Upload
others
View
42
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Rumah Sakit
2.1.1 Pengertian Rumah Sakit
Rumah Sakit menurut Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
4 Tahun 2018 adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat
jalan, dan gawat darurat.
(Supartiningsih, 2017) juga mendefinisikan rumah sakit adalah suatu organisasi
yang dilakukan oleh tenaga medis professional yang terorganisir baik dari sarana
prasarana kedokteran, asuhan keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis serta
pengobatan penyakit yang diderita oleh pasien.
(Bramantoro, 2017) juga menjelaskan bahwa rumah sakit merupakan suatu
fasilitas pelayanan kesehatan yang melaksanakan upaya kesehatan secara berdayaguna
dan berhasil guna pada upaya penyembuhan dan pemulihan yang terpadu dengan
upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan.
2.1.2 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit
Menurut (Rikomah, 2017) rumah sakit memiliki tugas dan fungsi berdasarkan
undang-undang No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit. Tugas rumah sakit adalah
melaksanakan upaya pelayanan kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna
dengan mengutamakan penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi
dan terpadu dengan peningkatan dan pencegahan serta pelaksanaan upaya rujukan,
rumah sakit juga mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna.
7
Sedangkan untuk fungsi rumah sakit adalah :
1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan
standar pelayanan rumah sakit.
2. Pemeliharaan dan peningkataan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.
3. Pelayanan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka
peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
4. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang
kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan
etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
2.1.3 Klasifikasi Rumah Sakit
Menurut Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia nomor 56 tahun 2014
ada dua macam rumah sakit :
1. Rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan
pada semua bidang dan jenis penyakit.
2. Rumah sakit khusus adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan utama pada
satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan
umur,organ, jenis penyakit atau kekhususan lainnya.
Rumah Sakit Umum mempunyai misi memberikan pelayanan kesehatan yang
bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Tugas rumah sakit umum adalah melaksanakan upaya pelayanan kesehatan
secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan penyembuhan dan
pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan peningkatan dan
pencegahan serta pelaksanaan upaya rujukan (Listiyono, 2015).
8
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia 2019 berdasarkan
kelasnya rumah sakit umum dikategorikan ke dalam 4 kelas mulai dari A,B,C,D.
Dimana untuk yang membedakan keempat kelas tersebut adalah sebagai berikut:
a. Bangunan dan prasarana
b. Kemampuan pelaayanan
c. Sumber daya manusia
d. peralatan
Keempat kelas rumah sakit umum tersebut mempunyai spesifikasi dan
kemampuan yang berbeda dalam kemampuan memberikan pelayanan kesehatan,
keempat rumah sakit tersebut diklasifikasikan menjadi:
A. Rumah Sakit Umum Tipe A
Rumah sakit tipe A merupakan rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan
kedokteran spesialis dan subspesialis secara luas. Rumah sakit umum tipe A sekurang-
kurangnya terdapat 4 pelayanan medik spesialis dasar yang terdiri dari: pelayanan
penyakit dalam, kesehatan anak , bedah dan obstetri dan ginekologi. 5 spesialis
penunjang medik yaitu: pelayanan anestesiologi, radiologi, rehabilitasi medik, patologi
klinik dan patologi anatomi. 12 spesialis lain yaitu: mata, telinga hidung tenggorokan,
syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru,
orthopedic, urologi, bedah syaraf, bedah plastic dan kedokteran forensik dan 13
subspesialis yaitu: bedah, penyakit dalam, kesehatan anak, obstetric dn ginekologi,
mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan
kelamin, jiwa, paru, onthopedi dan giggi mulut.
B. Rumah Sakit tipe B
Rumah sakit tipe B adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan
kedokteran spesialis luas dan subspesialis terbatas. Rumah sakit umum yang
9
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 spesialis dasar
yaitu: pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, obstetric dan ginekologi. 4
spesialis penunjang medik: pelayanan anastesiologi, radiologi, rehabilitasi medik dan
patologi klinik. Dan sekurang-kurangnya 8 dari 13 pelayanan spesialin lain yaitu: mata,
telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan kelamin,
kedokteran jiwa, paru, orthopedic, urologi, bedah syaraf, bedah plastik dan kedokteran
forensik: mata, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan kelamin, kedokteran jiwa,
paru, urologi dan kedokteran forensic. Pelayanan medik subspesialis 2 dari 4
subspesialis dasar yang meliputi: bedah, penyakit dalam, kesehatan anak, obstetric dan
ginekologi.
C. Rumah Sakit Tipe C
Rumah sakit tipe C adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan
kedokteran spesialis terbatas, mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik
paling sedikit 4 spesialis dasar: pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah,
obstetri, dan ginekologi dan 4 spesialis penunjang medik: pelayanan anestesiologi,
radiologi, rehabilitasi medik dan patologi klinik.
D. Rumah Sakit tipe D
Rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik
paling sedikit 2 dari 4 spesialis dasar yaitu: pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak,
bedah, obstetric dan ginekologi.
2.2 Mutu Pelayanan Kesehatan
2.2.1 Pengertian mutu
(Sondakh, Marjati, & Pipitcahyani, 2014) mutu dapat dilihat dari definisi - definisi
yang diberikan oleh beberapa ahli, antara lain: a) Mutu adalah tingkat kemampuan dari
10
penampilan sesuatu yang sedang diamati (Winston Dictionary, 1956). b) Mutu adalah
sifat yang dimiliki oleh suatu program (Donabedian, 1980). c) Mutu adalah totalitas
dari wujud serta ciri dari status barang atau jasa, yang didalamnya terkandung sekaligus
pengertian rasa aman atau pemenuhan kebutuhan para pengguna (Din ISO 8402,
1986). d) Mutu adalah kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan (Crosby,
1988)
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa mutu adalah suatu
keputusan yang berhubungan dengan proses pelayanan, memberikan konstribusi
terhadap nilai outcome, pemenuhan kebutuhan pengguna jasa atau barang yang
bersifat multi-dimensional (Ismainar, 2015).
2.2.2 Dimensi Mutu
(Sondakh, Marjati, & Pipitcahyani, 2014) dalam melakukan penelitian terhadap
mutu pelayanan tidaklah mudah karena mutu pelayanan bersifat multidimensial. Tiap
orang dapat melakukan penilaian dari dimensi yang berbeda, tergantung latar belakang
dan kepentingan masing-masing. Penelitian yang dilakukan oleh Robert dan Prevost
telah berhasil membuktikan adanya perbedaan dimensi yaitu :
1. Bagi pemakai jasa pelayanan kesehatan, mutu pelayanan kesehatan lebih terkait
pada dimensi ketanggapan petugas memenuhi kebutuhan pasien, keprihatinan
serta keramahtamahan petugas dalam melayani pasien atau kesembuhan penyakit
yang sedang diderita oleh pasien.
2. Bagi penyelenggara pelayanan kesehatan, mutu pelayanan kesehatan lebih terkait
pada dimensi kesesuaian pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dengan
perkembangan ilmu dan teknologi mutakhir dan otonomi profesi dalam
menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien.
11
3. Bagi penyandang dana pelayanan kesehatan, mutu pelayanan kesehatan lebih
terkait pada dimensi efisiensi pemakai sumber dana, kewajaran pembiayaan, dan
kemampuan menekan beban biaya penyandang dana.
(Satrianegara, 2014) untuk mengatasi adanya perbedaan dimensi tentang masalah
mutu pelayanan kesehatan seyogianya pedoman yang dipaki adalah hakikat dasar dari
diselenggarakannya pelayanan kesehatan tersebut. Hakikat dasar yang dimaksud adalah
memenuhi kebutuhan dan tuntutan para pemakai jasa pelayanan kesehatan, yang
apabila berhasil dipenuhi akan dapat menimbulkan rasa puas (client satisfaction) terhadap
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan. Jadi yang dimaksud dengan mutu pelayanan
kesehatan adalah menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan dalam
menimbulkan rasa puas pada diri setiap pasien. Makin sempurna kepuasan tersebut,
makin baik pula mutu pelayanan kesehatan. Sekalipun pengertian mutu yang terkait
dengan kepuasan ini telah diterima secara luas, namun penerapannya tidaklah semudah
yang diperkirakan. Masalah pokok yang ditemukan ialah karena kepuasan tersebut
ternyata subjektif. Tiap orang, tergantung dari latar belakang yang dimiliki, dapat saja
memiliki tingkat kepuasan yang berbeda untuk satu mutu pelayanan kesehatan yang
sama. Disamping sering pula ditemuan pelayanan kesehatan yang sekalipun nilai telah
memuaskan pasien, namun jika ditinjau dari kode etik serta standar pelayanan profesi,
tidaklah terpenuhi.
Untuk mengatasi masalah tersebut perlu disepakati adanya pembatasan-
pembatasan yaitu:
1. Pembatasan pada derajat kepuasan pasien. Untuk menghindari adanya
subjektivisme individual yang dapat mempersulit pelaksanaan program menjaga
mutu, ditetapkannya bahwa yang dimaksud dengan kepuasan di sini, ditetapkannya
12
bahwa ukuran yang dipakai adalah bersifat umum yakni sesuai dengan tingkat
kepuasan rata-rata penduduk.
2. Pembatasan pada upaya yang dilakukan. Pembatasan yan disepakati adalah yang
menyangkut upaya dalam menimbulkan kepuasan pada pasien. Untuk melindungi
kepentingan pemakai jasa pelayanan kesehatan, yang pada umumnya awam
terhadap tindakan kedokteran. Ditetapkanlah upaya yang dilakukan tersebut harus
sesuai kode etik serta standar pelayanan profesi, bukanlah pelayanan kesehatan
yang bermutu. Dengan kata lain dalam pengertian mutu pelayanan kesehatan
tercakup pula kesempurnaan tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik
serta standar pelayanan profesi yang telah diterapkan.
Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan
mutu pelayanan adalah yang merujuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan
dalam menimbulkan rasa puas pada diri setiap pasien.
Dimensi-dimensi dari kualitas pelayanan kesehatan yang telah banyak digunakan
untuk mengukur kualitas pelayanan kesehatan yang telah banyak digunakan untuk
mengukur kualitas pelayanan kesehatan yang dikenal sebagai model SERQUAL (service
quality) yang dikembangkan Zeithalm dan Parasuraman yang banyak digunakan sebagai
landasan konsep penelitian yaitu dikenal dengan RATER. Lima dimensi kualitas
pelayanan tersebut mencakup sebagai berikut :
1. Reliability (releabilitas) yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang sesuai
dengan janji yang ditawarkan. Penilaian kualitas pelayanan dilihat dari kemampuan
rumah sakit yang berkaitan dengan ketepatan waktu pelayanan, waktu mengurus
pendaftaran, waktu memulai pengobatan/pemeriksaan, kesesuaian antara harapan
dan realisasi waktu bagi pasien.
13
2. Assurance (Jaminan) meliputi kemampuan karyawan atas pengetahuan terhadap
produk secara tepat, jaminan keselamatan, ketrampilan dalam memberikan
keamanan di dalam menanamkan kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan.
3. Tangibles (tampilan/bukti fisik) adalah wujud kenyataan kenyamanan secara fisik
yang meliputi penampilan dan kelengkapan fasilitas fisik seperti ruang perawatan,
gedung dan ruangan front office yang nyaman, ketersediaannya tempat parkir,
kebersihan kerapihan, dan kenyamanan ruang tunggu dan ruang pemeriksaan,
kelengkapan peralatan komunikasi, dan penampilan.
4. Emphaty (empati) yaitu perhatian secara individual yang diberikan rumah sakit
terhadap pasien dan keluarganya seperti kemudahan untuk menghubungi,
kemampuan untuk berkomunikasi, perhatian yang tinggi dari petugas, kemudahan
untuk berkomunikasi, perhatian yang tinggi dari petugas, kemudahan dalam
mencapai lokasi, kemudahan dalam membayar, dan mengurus administrasi.
5. Responsiveness (Ketanggapan dan kepedulian) yaitu respons atau kesigapan karyawan
dalam membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat dan tanggap,
yang meliputi kesigapan karyawan dalam melayani pelanggan, kecepatan karyawan
dalam menangani tranksaksi, dan penanganan keluhan pelanggan atau pasien.
2.3 Konsep Pelayanan
2.3.1 Pelayanan Kesehatan
Menurut (Listiyono, 2015) pelayanan kesehatan adalah sebuah konsep yang
digunakan dalam memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat. Definisi
pelayanan kesehatan menurut Prof. Dr. Soekidjo Notoatmojo adalah sebuah sub-
sistem pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah pelayanan preventif
(pencegahan) dan promotif ( peningkatan kesehatan ) dengan sasaran masyarakat.
14
Kesehatan menurut UU no. 36/2009 tentang Kesehatan terdiri dari dua unsur
yaitu “upaya kesehatan” & “sumber daya kesehatan”. Yang dimaksud dengan sumber
daya kesehatan, terdiri dari sumber daya manusia kesehatan (tenaga kesehatan yaitu
dokter, apoteker, bidan, perawat) & sarana kesehatan (antara lain rumah sakit,
puskesmas, poliklinik, tempat praktik dokter).
Beberapa macam bentuk dan jenis yang berbeda tingkat pelayanan dan juga
kemampuan dalam melayani. Berikut macam-macam dari pelayanan kesehatan :
a. Pelayanan kesehatan primer
Pelayanan kesehatan primer merupakan pelayanan yang bersifat pelayanan yang
bersifat dasar, merupakan rujukan pertama pelayanan kesehatan yang mudah
terjangkau oleh masyarakat di lingkungannya dan dilakukan bersama masyarakat.
b. Pelayanan kesehatan sekunder
Pelayanan kesehatan sekunder adalah pelayanan yang lebih bersifat spesialis dan
bahkan kadang kala pelayanan subspesialis, tetapi masih terbatas. Pelayanan kesehatan
sekunder dan tersier (secondary and tertiary health care), adalah rumah sakit, tempat
masyarakat memerlukan perawatan lebih lanjut (rujukan). Di Indonesia terdapat
berbagai tingkat rumah sakit, mulai dari rumah sakit tipe D sampai dengan rumah sakit
kelas A.
c. Pelayanan kesehatan tersier
Pelayanan kesehatan tersier adalah pelayanan yang lebih mengutamakan pelayanan
subspesialis serta subspesialis luas.
2.3.2 Kualitas Pelayanan
(Listiyono, 2015) berbicara tentang kualitas, kata kualitas sendiri memiliki banyak
definisi yang berbeda mula, yang konvensial hingga strategis. Definisi konvesional dari
kualitas biasanya menggambarkan karakteristik suatu produk seperti kinerja
15
(performance), keandalan (reliability), mudah dalam penggunaan (easy of use), estetika
(esthetics), dan sebagainya. Kualitas dalam definisi strategis berarti segala sesuatu yang
mampu memenuhi keinginan dan kebutuhan pelanggan (meeting the needs of customers).
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (1995:467), kualitas diartikan sebagai
“Tingkat baik buruknya sesuatu”. Kualitas jasa pelayanan sangat dipengaruhi oleh
harapan konsumen atau pengguna layanan. Harapan pengguna layanan dapat bervariasi
antara pengguna yang satu dengan yang lainnya, walaupun semua pengguna tersebut
diberikan pelayanan yang sama. Kualitas pelayanan sendiri merupakan sesuatu yang
abstrak yang tidak bisa dilihat namun bisa dirasakan. Kualitas mungkin dapat dilihat
sebagai suatu kelemahan disaat konsumen atau pengguna layanan mempunyai harapan
yang terlalu tinggi atas pelayanan yang diberikan.
Indikator kualitas pelayanan yang dikemukakan oleh Zeithalm dan Parasuraman
dalam paragraf sebelumnya tersebut berpengaruh pada harapan pelanggan dan
kenyataan yang mereka terima. Jika kenyataanya pelanggan menerima pelayanan
melebihi harapannya, maka pelanggan akan mengatakan pelayanannya berkualitas dan
jika kenyataannya pelanggan menerima pelayanan kurang dari yang mereka harapkan,
maka pelanggan akan mengatakan pelayanannya tidak berkualiatas atau tidak
memuaskan.
Berdasarkan pada konsep tersebut Zeithaml, Berry dan Parasuraman dalam
(Listiyono, 2015) menyimpulkan tiga kondisi yang mengekspresikan kepuasan
pengguna layanan terhadap pelayanan yang diterima, yaitu :
1. When ES (Expected Service) > PS (Perceived Service) / ES > PS
Saat harapan (Expected Service) pengguna layanan lebih besar dari pada persepsi
(Perceived Service) terhadap pelayanan yang diperoleh maka pengguna layanan akan
merasa tidak puas terhadap pelayanan.
16
2. When ES = PS
Pada saat harapan pengguna layanan sesuai dengan persepsi terhadap pelayanan
yang diperoleh maka pengguna layanan akan merasa puas
3. When ES < PS
Pada saat harapan pengguna layanan lebih rendah dari persepsi terhadap pelayanan
yang diperoleh, maka hal tersebut menjadi kejutan yang menyenangkan bagi pengguna
layanan.
Kualitas adalah sesuatu yang abstrak yang merupakan penilaian baik atau buruk
dari sesuatu yang dirasakan. Kualitas sendiri didefinisikan sebagai ukuran baik atau
tidaknya sesuatu, kualitas pelayanan bisa didefinisikan sebagai baik atau buruknya
pelayanan. Dasar penilaian kualitas atau quality (Q) merupakan sesuatu yang lebih
obyektif didasarkan pada gap antara apa yang diharapkan atau expected (E) dan apa yang
didapatkan perceived (P) jika dirumuskan maka jika dirumuskan (Q=P-E). Jika pelayanan
yang didapat (P) melebihi apa yang diharapkan (E) maka bisa dikatakan pelayanan
tersebut berkualitas (P>E). Dan sebaliknya jika pelayanan yang didapatkan (P) tidak
sesuai dengan yang /diharapkan (E) maka kualitas pelayanan tersebut bisa dinilai buruk
(P<E). Beberapa indikator meliputi Reliability, Responsivenes, Tangibles, Assurance dan
Empathy yang digunakan dalam metode SERVQUAL digunakan untuk menilai
seberapa baik atau buruknya kualitas pelayanan (Listiyono, 2015).
Pelayanan kesehatan di Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan negara-
negara ASEAN lainnya seperti Malaysia. Masyarakat memilih menjalani pengobatan
ataupun check-up di negara lain, artinya kualitas rumah sakit di Indonesia harus
ditingkatkan. Untuk menilai kualitas pelayanan rumah sakit maka National Health
Services (NHS) memperkenalkan 6 (enam) syarat dalam menilai kinerja pelayanan rumah
sakit, salah satunya yaitu effesiensi (Sidiq & Afrina, 2017).
17
Ukuran effesiensi dengan menggunakan beberapa indikator yaitu Bed Occupancy
Rate (BOR), Average Length Of Stay (AvLOS), Turn Over Interval (TOI) dan Bed Turn
Over (BTO) (Soejadi, 2010). BOR dan BTO adalah indikator yang digunakan untuk
menilai cakupan pelayanan unit rawat inap, sedangkan LOS dan TOI adalah indikator
yang di gunakan untuk menilai efisiensi pelayanan unit rekam medis. Bed Occupancy Rate
(BOR) yaitu persentase pemakaian tempat tidur pada satu satuan waktu tertentu.
Indikator ini memberikan gambaran mengenai tinggi rendahnya tingkat pemanfaatan
dari tempat tidur rumah sakit. AvLOS yaitu rata-rata lama rawatan seorang pasien.
Indikator ini disamping memberikan gambaran tingkat efisiensi juga dapat
memberikan gambaran mutu pelayanan, apabila diterapkan pada diagnosis tertentu
yang dijadikan tracer (yang perlu pengamatan lebih lanjut). BTO yaitu frekuensi
pemakaian tempat tidur, berapa kali dalam satu satuan waktu tertentu (biasanya 1
tahun) tempat tidur rumah sakit dipakai. Indikator ini memberikan gambaran tingkat
efisiensi dari pada pemakaian tempat tidur dan TOI yaitu rata-rata hari, tempat tidur
tidak ditempati dari saat terisi ke saat terisi berikutnya. Indikator ini juga memberikan
gambaran tingkat efisiensi dari penggunaan tempat tidur (Indriani & Sugiarti, 2014).
2.3.3 Indikator Pelayanan Rumah Sakit
(Satrianegara, 2014), mutu pelayanan kesehatan dapat dikaji antara lain
berdasarkan tingkat pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan oleh masyarakat dan
tingkat efisiensi institusi sarana kesehatan. Beberapa indikator mutu pelayanan di
rumah sakit antara lain :
1. Bed Occupancy Rate (BOR) adalah angka penggunaan tempat tidur. Bed Occupancy Rate
(BOR) digunakan untuk mengetahui tingkat pemanfaatan tempat tidur rumah
sakit. Angka Bed Occupancy Rate (BOR) yang rendah menunjukkan kurangnya
pemanfaatan fasilitas perawatan rumah sakit oleh masyarakat. Angka Bed Occupancy
18
Rate (BOR) yang tinggi (lebih dari 85%) menunjukkan tingkat pemanfaatan tempat
tidur yang tinggi sehingga perlu pengembangan rumah sakit atau penambahan
tempat tidur.
2. Average Length of Stay (AvLOS) adalah rata-rata lamannya pasien dirawat. Indikator
ini disamping memberikan gambaran tingkat efisiensi, juga dapat memberikan
gambaran mutu pelayanan, apabila diterapkan pada diagnosis tertentu dapat
dijadikan hal yang perlu pengamatan yang lebih lanjut. Secara umum nilai AVLOS
yang ideal antara 6-9 hari.
3. Bed Turn Over (BTO) adalah angka perputaran tempat tidur atau frekuensi
pemakaian tempat tidur pada satu periode, beberapa kali tempat tidur dipakai
dalam satu satuan waktu tertentu. Idealnya dalam satu tahun, satu tempat tidur
rata-rata dipakai 40-50 kali.
4. Turn Over Interval (TOI) adalah tenggang perputaran atau rata-rata hari yakni tempat
tidur tidak ditempati dari telah diisi hingga saat terisi berikutnya. Indikator ini
memberikan gambaran tingkat effisiensi penggunaan tempat tidur. Idealnya tempat
tidur kososng tidak terisi pada kisaran 1-3 hari.
2.3.4 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Pelayanan
Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan di rumah sakit menurut
(Rikomah, 2017) di antaranya yaitu:
a. Klinis
Pelayanan kesehatan yang diberikan di rumah sakit terkait dengan pelayanan
dokter, perawat dan terkait dengan teknis medis
b. Efisiensi dan efektifitas
19
Pelayanan kesehatan yang mudah pengaksesanya, tepat guna, diagnose yang tepat
dan terapi yang diberikan tepat akan sangat memengaruhi dalam hal peningkatan
kualitas pelayanan yang diberikan tenaga kesehatan di rumah sakit.
c. Keamanan pasien
Pelayanan yang meberikan upaya perlindungan terhadap pasien, misalnya
perlindungan jatuh dari tempat tidur, kebakaran sanga harus diperhatikan karena
adanya pengurangan angka kejadian kecelakaan pada pasien maupun tenaga
kesehatan di rumah sakit akan mempengaruhi baik buruknya akreditasi suatu
rumah sakit.
d. Kepuasan pasien
Pelayanan kesehatan yang baik dan berkualitas apabila dapat kenyamanan pasien
selama dirawat di rumah sakit, adanya keramahan yang diberikan oleh tenaga kerja
di rumah sakit dan kecepatan pelayanan yang diberikan tenaga kesehatan sangat
mempengaruhi akan peningkatan kualitas pelayanan di rumah sakit.
e. Bagian registrasi pasien
Pelayanan yang diberikan tenaga kesehatan sangat mempengaruhi oleh bagian
registrasi pasien, apabila pasien tidak diberikan pelayanan yang ramah,
komprehensif maka dapat mempengaruhi kualitas pelayanan tersebut.
f. Kesigapan tenaga kesehatan
Kualitas pelayanan kesehatan sangat dipengaruhi oleh kesigapan dan kecepatan
tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
g. Kelengkapan sarana dan prasarana
Adanya tempat yang bersih, nyaman, serta peralatan yang memadai untuk
menunjang kesembuhan penyakit pasien sangat mempengaruhi kualitas pelayanan
di rumah sakit.
20
h. Petugas mempunyai dedikasi yang tinggi seperti terampil, ramah, sopan, simpati,
luwes, penuh pengertian mempunyai kemampuan komunikasi dengan baik yang
sangat diharapkan dalam pemberian pelayanan kepada pasien, apabila hal ini
dilakukan oleh petugas di rumah sakit, maka pasien yang berkunjung untuk berobat
akan senang dan nyaman.
i. Prosedur kerja yang jelas, tegas dan tersusun rapi
Prosedur yang jelas, tersusun rapi dan tegas sangat diperlukan dalam hal pelayanan,
apabila tidak ada prosedur yang jelas dalam pelayanan, maka akan membingungkan
pasien untuk melakukan pengobatan di rumah sakit tersebut, khususnya pasien
baru.
2.4 Konsep Bed Occupancy Rate (BOR)
2.4.1 Definisi Bed Occupancy Rate (BOR)
Bed Occupancy Rate atau BOR merupakan angka yang menunjukkan persentase
tingkat penggunaan tempat tidur pada satuan waktu tertentu di unit rawat inap. Data
Bed Occupancy Rate (BOR) ini dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pemanfaatan
sarana pelayanan, mengetahui mutu pelayanan rumah sakit, dan mengetahui tingkat
efisiensi pelayanan rumah sakit. Menurut Baber Johnson nilai ideal Bed Occupancy Rate
(BOR) adalah 75%-85% sedangkan Depkes RI menetapkan standart frekuensi nilai Bed
Occupancy Rate (BOR) adalah 60-85% (Meidina, 2018) (Yunartha, 2018).
Bed Occupancy Rate (BOR) dihitung dengan menggunakan rumus berikut ini
(Hosizah & Maryati, 2018) :
BOR = Jumlah Hari Perawatan pada periode tertentu x 100
Jumlah TT tersedia x Jumlah hari pada periode yang sama
Keterangan :
21
Jumlah Hari Perawatan pada periode tertentu = Banyaknya pasien yang dirawat dalam
1 hari periode
Jumlah TT Tersedia = Banyaknya tempat tidur yang digunakan di Rumah Sakit
Jumlah hari pada periode yang sama = jumlah seluruh hari dalam satu bulan
2.4.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Bed Occupancy Rate (BOR)
Menurut (Muhith, Saputra, & Nursalam, 2013) Bed Occupancy Rate (BOR) adalah
salah satu indikator yang menggambarkan tinggi rendahnya tingkat pemanfaatan
tempat tidur rumah sakit, perhitungannya adalah persentase pemakaian tempat tidur
pada satu satuan waktu tertentu, sehingga dapat diketahui gambaran penggunaan
tempat tidur di rumah sakit tersebut dalam kurun waktu tertentu. Angka Bed Occupancy
Rate (BOR) disuatu rumah sakit dapat meningkat dan menurun, angka ini berbanding
lurus dengan penggunaan tempat tidur di rumah sakit.
Menurut (Riskiyah, Harijanto, & Mahliafa, 2016) faktor Bed Occupancy Rate (BOR)
bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor anatra lain faktor internal dan faktor eksternal
rumah sakit. Didalam faktor internal adalah budaya rumah sakit, sistem nilai,
kepemimpinan, sistem manajemen, sistem informasi, sarana prasarana, citra, dan lain-
lain. Sedangkan yang termasuk faktor eksternal adalah letak geografis, keadaan social
ekonomi konsumen, budaya masyarakat, pemasok, pesaing, kebijakan pemerintah
daerah, peraturan, dan lain-lain.
Faktor - faktor yang mempengaruhi Bed Occupancy Rate (BOR) meliputi faktor
internal dan faktor eksternal rumah sakit. Namun, faktor yang berperan signifikan
terhadap Bed Occupancy Rate (BOR) adalah faktor internal yang meliputi faktor input
dan faktor proses pelayanan, sedangkan faktor eksternal yaitu kondisi pasien. Faktor
input yang mempengaruhi Bed Occupancy Rate (BOR) meliputi sarana umum, sarana
medis, sarana penunjang medis, tarif, ketersediaan pelayanan, tenaga medis, para medis
22
perawatan. Faktor proses pelayanan yang mempengaruhi Bed Occupancy Rate (BOR)
meliputi sikap dokter dalam memberikan pelayanan, sikap perawat dalam memberikan
pelayanan dan komunikasi pelayanan. Sikap perawat yang memberikan pelayanan
secara umum terdiri dari keramahan dalam memberikan pelayanan dan cara
memberikan informasi juga komunikasi. Sedangkan dari faktor kondisi pasien meliputi
social ekonomi, jarak dan transportasi, motivasi dan prioritas terhadap rumah sakit dan
perilaku terhadap kesehatan (Rosita & Tanastasya, 2019).
2.4.3 Faktor Internal Rumah Sakit
Faktor internal rumah sakit adalah faktor yang asalnya dari dalam rumah sakit,
ada dua faktor internal rumah sakit yaitu faktor input dan faktor proses pelayanan
meliputi:
1. Sarana umum
Sarana umum rumah sakit adalah segala fasilitas yang digunakan dalam pelayanan
kesehatan yang bersifat dan lingkungan yang disediakan oleh rumah sakit.
Kewajiban rumah sakit dalam menyediakan sarana dan prasarana umum yang
layan meliputi sarana ibadah, tempat parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang
cacat, wanita menyusui, anak-anak, dan lanjut usia. Sedangkan sarana untuk ruang
rawat inap meliputi: tempat tidur pasien, lemari, nurse call, meja, kursi, televise,
tirai pemisah bila ada, penerangan, ventilasi dan sofa untuk ruang VIP.
2. Sarana medis
Seluruh peralatan medis yang digunakan baik dalam proses diaognosa maupun
terapi. Instrument self assessment izin operasional rumah sakit kelas C untuk ruang
rawat inap yaitu bed side monitor, defribrilator, EKG, emergency trolley, ENT
eximination set, fil viewer, infusion pump, lampu periksa, matras dekubitus, minor
surgery set, nebulizer, pen light, pulse oximeter, stetoskop, suction pump portable,
23
syringe pump, bed patient electric, bed patient manual, tensimeter anaeroid,
tensimeter digital, thermometer digital, timbangan pasien.
3. Sarana penunjang medis
Sarana penunjang medis adalah sarana yang digunakan untuk membantu
menegakkan diagnose medis atau pelayanan medis yang berfungsi agar
pengobatan dan perawatan yang diberikan lebih maksimal. Pelayanan penunjang
medik terdiri atas:
a. Pelayanan penunjang medik spesialis meliputi pelayanan laboratorium,
radiologi, anestesi dan terapi intensif, rehabilitasi medik, kedokteran nuklir,
radioterapi, akupuntur, gizi klinik, dan pelayanan penunjang medik spesialis
lainnya.
b. Pelayanan penunjang medik subspesialis meliputi pelayanan subspesialis
dibidang anestesi dan terapi intensif, dialis, dan pelayanan penunjang medik
subspesialis lainnya.
c. Pelayanan penunjang medik lain meliputi pelayanan strelisisasi yang tersentral,
pelayanan darah, gizi, rekam medik, dan farmasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
4. Tarif
Tarif merupakan aspek penting, namun yang terpenting dalam penentuan kualitas
guna mencapai kepuasan pasien. Meskipun demikian elemen ini memengaruhi
pasien dari segi biaya yang dikeluarkan, biasanya semakin mahal tarif perawatan
maka pasien mempunyai harapan yang lebih besar.
5. Ketersediaan pelayanan
Ketersediaan pelayanan adalah setiap saat dibutuhkan, seperti ketersediaan tenaga
medis dan para medis setiap dibutuhkan dan ketersediaan jenis pelayanan.
24
6. Tenaga medis
Tenaga medis adalah dokter yang mengobati pasien rawat inap
7. Para medis perawatan
Para medis perawat yaitu perawat yang bertugas di Rumah Sakit untuk merawat
pasien rawat inap. Perhitungan kebutuhan tenaga keperawatan dapat diterapkan
beberapa formula yaitu dengan menggunakan metode rasio, douglas, dan gillies.
8. Sikap dokter dan sikap perawat
Sikap dokter dan perawat dalam memberikan pelayanan dengan menilai sikap
secara umum, keramahan dalam memberikan pelayanan dan cara memberikan
informasi mengenai penyakit kepada pasien.
9. Komunikasi pelayanan
Tata cara informasi yang diberikan pihak penyedia jasa dan keluhan keluhan dari
pasien. Bagaimana keluhan-keluhan dari pasien dengan cepat diterima oleh
penyedia jasa terutama perawat dalam memberikan bantuan terhadap keluhan
pasien (Indharwati, 2018; Nursalam, 2015 & Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia 2019).
2.4.4 Dampak Bed Occupancy Rate (BOR) Terhadap Rumah Sakit
Menurut (Dewi, Wijaya, & Sukardi, 2015) globalisasi menuntut pengembangan
mutu pelayanan dan fasilitas yang harus dilaksanakan secara arif dan berkelanjutan.
Sistem Akreditasi yang telah banyak dilaksanakan. Rumah sakit seharusnya tetap
melakukan pelaporan tentang indikator-indikator pelayanan rumah sakit dapat dipakai
untuk mengetahui tingkat pemanfaatan, mutu, dan efisiensi pelayanan rumah sakit.
Indikator-indikator berikut bersumber dari sensus harian rawat inap (BOR) (Bed
Occupancy Rate), ALOS (Average Leght of Stay), TOI (Turn Over Internal), BTO (Bed Turn
Over), GDR dan NDR (Gross Death Rate dan Nett Death Rate).
25
Anjuran akreditasi oleh Depkes RI beresensi peningkatan mutu pelayanan
dilakukan untuk pengendalian mutu melalui 7 standar Self Assesment dari Komisi
Akreditasi Rumah Sakit (KARS). Pada Juni 2011, Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia bersama dengan KARS menyusun standar akreditasi rumah sakit. Tujuan
dari penyelenggaraan akreditasi adalah mengukuhkan budaya customer focused di rumah
sakit. Manfaat lain yang diharapkan adalah terjadinya peningkatan mutu pelayanan
rumah sakit. Bila rumah sakit semakin bermutu, jasa pelayanan mereka menjadi lebih
disukau oleh pelanggan. Persentase utilisasi fasilitas (satu diantaranya persentasi hunian
rawat inap yaitu Bed Occupancy Rate (BOR) akan menjadi lebih tinggi, nilai efisiensi akan
bertambah.