36
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum Jembatan merupakan suatu struktur yang menghubungkan alur transportasi melintasi rintangan yang ada tanpa menutupinya. Rintangan tersebut dapat berupa jurang, sungai, bagian jalan yang tidak sebidang dan lain-lain. Sehingga dapat memungkinkan macam kendaraan dan pejalan kaki untuk melintas dengan aman dan lancar. Umumnya, struktur jembatan dapat diklasifikasikan menjadi enam jenis berdasarkan bentuknya adalah: a) Jembatan Gelagar b) Jembatan Busur (arch bridge) c) Jembatan Rangka (truss bridge) d) Jembatan Portal (rigid frame bridge) e) Jembatan Gantung (suspension bridge) f) Jembatan Kabel (cable-stayed bridge). 2.2 Pembebanan Syarat pembebanan yang digunakan pada perencanaan struktur jembatan beton box girder prategang adalah SNI 1725:2016 (Standar Pembebanan untuk Jembatan. Suatu kontruksi dalam merencanaan struktur, ada hal utama yang harus dilakukan ialah dilakukannya estimasi pembebanan yang harus didukung dari konstruksi tersebut. Pada studi perencanaan jembatan ini seluruh beban maupun gaya yang bekerja pada konstruksi akan dihitung berlandaskan SNI 1725:2016. Dalam perencanaan struktur, ada tiga jenis yang akan dipakai dalam perhitungan pembebanan yakni beban mati, beban hidup dan aksi lingkungan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2 - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43611/3/BAB II.pdf · b) Berat Utilitas Beban mati tambahan atau utilitas merupakan berat dari seluruh bahan elemen

Embed Size (px)

Citation preview

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Umum

Jembatan merupakan suatu struktur yang menghubungkan alur transportasi

melintasi rintangan yang ada tanpa menutupinya. Rintangan tersebut dapat berupa

jurang, sungai, bagian jalan yang tidak sebidang dan lain-lain. Sehingga dapat

memungkinkan macam kendaraan dan pejalan kaki untuk melintas dengan aman dan

lancar.

Umumnya, struktur jembatan dapat diklasifikasikan menjadi enam jenis

berdasarkan bentuknya adalah:

a) Jembatan Gelagar

b) Jembatan Busur (arch bridge)

c) Jembatan Rangka (truss bridge)

d) Jembatan Portal (rigid frame bridge)

e) Jembatan Gantung (suspension bridge)

f) Jembatan Kabel (cable-stayed bridge).

2.2 Pembebanan

Syarat pembebanan yang digunakan pada perencanaan struktur jembatan

beton box girder prategang adalah SNI 1725:2016 (Standar Pembebanan untuk

Jembatan.

Suatu kontruksi dalam merencanaan struktur, ada hal utama yang harus

dilakukan ialah dilakukannya estimasi pembebanan yang harus didukung dari

konstruksi tersebut.

Pada studi perencanaan jembatan ini seluruh beban maupun gaya yang

bekerja pada konstruksi akan dihitung berlandaskan SNI 1725:2016. Dalam

perencanaan struktur, ada tiga jenis yang akan dipakai dalam perhitungan

pembebanan yakni beban mati, beban hidup dan aksi lingkungan.

5

2.2.1 Beban Mati

a) Berat Sendiri (Beban Mati)

Berat sendiri ialah beban mati yang dihitung dari berat elemen-elemen

struktur utama yang tetap. Berikut ada beberapa faktor beban yang dipakai

dalam menghitung berat sendiri yakni:

Tabel 2.1 - Faktor beban untuk berat sendiri

Tipe

Beban

Faktor Beban (ϒMs)

Keadaan Batas Layan ϒ ) Keadaan Batas Ultimit (ϒ

)

Bahan Biasa Terkurangi

Tetap

Baja 1,00 1,10 0,90

Alumunium 1,00 1,10 0,90

Beton Pracetak 1,00 1,20 0,85

Beton dicor di tempat 1,00 1,30 0,75

Kayu 1,00 1,40 0,70

Sumber : SNI 1725:2016

b) Berat Utilitas

Beban mati tambahan atau utilitas merupakan berat dari seluruh bahan

elemen yang nonstruktural, dan biasanya dapat berubah-ubah pada umur

jembatan. Berikut ada beberapa faktor beban yang dipakai dalam menghitung

beban mati tambahan yakni:

Tabel 2.2 - Faktor beban untuk berat mati tambahan / utilitas

Tipe

Beban

Faktor Beban (ϒMA)

Keadaan Batas Layan ϒ ) Keadaan Batas Ultimit (ϒ

)

Bahan

Biasa Terkurangi

Tetap Umum 1,00 (1) 2,00 0,70

Khusus 1,00 1,40 0,80

Catatan (1) : Faktor beban layan sebesar 1,3 digunakan untuk berat utilitas

Sumber : SNI 1725:2016

6

2.2.2 Beban Hidup

a) Pembebanan Lajur (D)

Beban lajur (D) terdiri dari beban terbagi rata (BTR) dan beban garis

(BGT) yang akan tergabung seperti dalam gambar . Adapun faktor beban yang

digunakan untuk menghitung beban lajur "D" seperti pada tabel tersebut:

Tabel 2.3 - Faktor beban hidup untuk lajur "D"

Tipe

beban Jembatan

Faktor beban (ϒTD)

Keadaan Batas

Layan ϒ )

Keadaan Batas

Ultimit ϒ )

Transein

Beton 1,00 1,80

Boks Girder Baja 1,00 2,00

Sumber : SNI 1725:2016

Beban terbagi rata (BTR) mempunyai intensitas q kPa dengan besaran q

tergantung pada panjang total yang dibebani L yaitu seperti berikut:

Jika L ≤ 30 m : 9,0 kPa

Jika L > 30 m : q = 9,0 (

) kPa

Keterangan:

q adalah intensitas beban terbagi rata (BTR) dalam arah memanjang

jembatan (kPa)

L adalah panjang total jembatan yang dibebani (meter)

Gambar 2.1 - Beban lajur "D"

7

Sebuah Beban Garis Terpusat (BGT) dengan intensitas p kN/m harus

diletakkan secara vertikal terhadap arah lalu lintas di jembatan. Besarnya

kepadatan p ialah 49,0 kN/m. Agar identik, maka harus diletakkan di posisi

cross-sectional dari jembatan pada bentang lainnya.

Mendistribusikan beban hidup ke arah melintang digunakan agar

mendapatkan momen dan geser ke arah longitudinal di gelagar jembatan.

Ini dilkukan dengan mempertimbangkan beban lajur (D) yang tersebar di

seluruh lebar balok (tidak termasuk parapad, median, dan trotoar) dengan

kepadatan 100% untuk panjang terbebani yang sesuai.

b) Pembebanan Truk (T)

Ada beban lalu lintas lainnya seperti beban truk (T). Beban truk (T) tidak

dapat dipakai bersamaan dengan beban lajur (D). Beban truk dapat dipakai

untuk perhitungan struktur lantai. Adapun faktor beban untuk beban truk(T)

seperti terlihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 - Faktor beban hidup untuk lajur "T"

Tipe beban Jembatan

Faktor beban (ϒTT)

Keadaan Batas

Layan ϒ )

Keadaan Batas

Ultimit ϒ )

Transein

Beton 1,00 1,80

Boks Girder Baja 1,00 2,00

Sumber : SNI 1725:2016

Gambar 2.2 - Pembebanan truk "T" (500kN)

8

Beban truk (T) terdiri dari truk semi-trailer dengan komponen susunan

dan berat gandar seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.2. Masing-masing

berat tiap gandar dibagi menjadi 2 beban merata sama besar yang merupakan

bidang kontak antar roda dengan permukaan lantai. Jarak antara 2 gandar

tersebut dapat diubah dari 4,0 m sampai dengan 9,0 m untuk mendapatkan

dampak terbesar jembatan pada arah memanjang.

c) Gaya Rem, TB

Adapun gaya rem yang harus diambil nilai yang paling besar dari dua

cara dibawah ini:

25% dari berat gandar truk desain,

5% dari berat truk rencana ditambah dengan beban lajur terbagi rata

BTR

Gaya rem tersebut harus ditempatkan di semua lajur rencana yang dimuat

sesuai dengan Pasal 8.2 (SNI 1725:2016) yang berisikan tentang lalu lintas

dengan arah yang sama. Gaya ini pun harus diperkirakan agar bekerja secara

horizontal pada jarak 1800 mm diatas permukaan jalan pada masing-masing

arah longitudinal dan dipilih yang paling menentukan. Untuk jembatan yang

akan dirubah dalam satu arah di masa depan, maka semua lajur rencana harus

dibebani secara bersamaan pada saat menghitung kekuatan gaya rem. Faktor

kepadatan lajur yang ditentukan pada Pasal 8.4.3 (SNI 1725:2016) berlaku

untuk menghitung gaya rem.

d) Gaya Sentrifugal, TR

Untuk tujuan menghitung gaya radial atau efek guling dari beban roda,

pengaruh gaya sentrifugal pada beban hidup harus diambil sebagai hasil kali

dari berat gandar truk rencana dengan faktor C sebagai berikut:

C = f

Keterangan:

v = kecepatan rencana jalan raya (m/detik)

9

f = faktor dengan nilai 4/3 untuk kombinasi beban selain keadaan batas

fatik dan 1,0 untuk keadaan batas fatik

g = percepatan gravitasi : 9.8 (

RI = jari-jari kelengkungan lajur lalu lintas (m)

Kecepatan rencana jalan raya harus diambil tidak kurang dari nilai yang

ditentukan dalam Perencanaan Geometrik Jalan Bina Marga. Faktor kepadatan

lajur ditentukan dalam Pasal 8.4.3 berlaku pada waktu menghitung gaya

sentrifugal. Gaya Sentrifugal harus diterapkan secara tegak lurus atau horizontal

diatas permukaan jalan dengan ketinggian sebesar 1800 mm. Dalam hal ini,

perencana harus menyediakan mekanisme untuk meneruskan gaya sentrifugal

dari permukaan jembatan menuju struktur bawah jembatan. Pengaruh

superelevasi yang mengurangi momen guling akibat gaya sentrifugal akibat

beban roda dapat dipertimbangkan dalam perencana.

2.2.3 Aksi Lingkungan

a) Beban Angin

Tekanan angin horizontal dapat diasumsikan yang disebabkan oleh angin

rencana dengan kecepatan dasar ( sebesar 90 sampai 126 km/jam. Untuk

jembatan atau bagian jembatan dengan elevasi lebih tinggi dari 10000 mm

diatas permukaan tanah atau permukaan air, kecepatan angin rencana, ,

harus dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

= 2,5 (

) In

Keterangan:

= kecepatan angin rencana pada elevasi rencana, Z (km/jam)

= kecepatan angin pada elevasi 10000 mm diatas permukaan tanah

atau diatas permukaan air rencana (km/jam)

= kecepatan angin rencana yaitu 90 hingga 126 km/jam pada elevasi

1000 mm

10

Z = elevasi struktur diukur dari permukaan tanah atau dari permukaan

air dimana beban angin dihitung (Z > 10000 mm)

= kecepatan gesekan angin, yang merupakan karakteristik

meteorologi, sebagaimana ditentukan dalam tabel , untuk berbagai macam

tipe permukaan di hulu jembatan (km/jam)

= panjang gesekan di hulu jembatan, yang merupakan karakteristik

meteorologi, ditentukan pada tabel

dapat diperoleh dari:

grafik kecepatan angin dasar untuk berbagai periode ulang,

survei angin pada lokasi jembatan,

jika tidak ada data yang lebih baik, perencanaan dapat

mengasumsikan bahwa = = 90 s/d 126 km/jam

Tabel 2.5 - Nilai dan untuk berbagai variasi kondisi permukaan hulu

Kondisi Lahan Terbuka Sub Urban Kota

V0 (km/jam) 13,2 17,6 19,3

Z0 (mm) 70 1000 2500

Sumber : SNI 1725:2016

Arah angin harus diasumsikan horizontal, kecuali ditentukan dalam Pasal

9.6.3 (SNI 1725-2016). Jika terdapat data yang tidak lengkap, tekanan angin

rencana bisa didapatkan dengan menggunakan rumus seperti dibawah ini:

(

)

Keterangan:

= tekanan angin dasar seperti yang ditentukan dalam Tabel 2.6

11

Tabel 2.6 - Tekanan angin dasar

Komponen bangunan atas Angin tekan

(Mpa)

Angin hisap

(Mpa)

Rangka, kolom, dan pelengkung 0,0024 0,0012

Balok 0,0024 N/A

Permukaan datar 0,0019 N/A

Sumber : SNI 1725:2016

Gaya total beban angin tidak boleh diambil kurang dari 4,4 kN/mm pada

bidang tekan dan 2,2 kN/mm pada bidang hisap pada struktur rangka dan

pelengkung, serta tidak kurang dari 4,4 kN/mm pada balok atau gelagar.

Beban dari struktur atas, jika angin yang bekerja tidak tegak lurus

struktur, maka tekanan angin dasar untuk berbagai sudut serang dapat

diambil seperti yang ditentukan dalam Tabel 2.7 dan harus dikerjakan pada

titik berat dari area yang terkena beban angin. Arah sudut serang ditentukan

tegak lurus terhadap arah longitudinal. Arah angin untuk perencanaan harus

yang menghasilkan pengaruh yang terburuk pada komponen jembatan yang

ditinjau. Tekanan angin melintang dan memanjang harus diterapkan secara

bersamaan dalam perencanaan.

Tabel 2.7 - Tekanan angin dasar ( ) untuk berbagai sudut serang

Sudut

serang

Rangka, kolom, dan

pelengkung Gelagar

Derajat

Beban

lateral

Beban

longitudinal

Beban

lateral

Beban

longitudinal

Mpa Mpa Mpa Mpa

0 0,0036 0,0000 0,0024 0,0000

15 0,0034 0,0006 0,0021 0,0003

30 0,0031 0,0013 0,0020 0,0006

45 0,0023 0,0020 0,0016 0,0008

60 0,0011 0,0024 0,0008 0,0009

Sumber : SNI 1725:2016

12

Gaya angin pada kendaraan ( ), jembatan harus direncanakan

memikul gaya akibat tekanan angin pada kendaraan, dimana tekanan tersebut

harus diasumsikan sebagai tekanan menerus sebesar 1,46 N/mm, tegak lurus

dan bekerja 1800 mm diatas permukaan jalan. Kecuali jika ditentukan didalam

hal ini, jika angin yang bekerja tidak tegak lurus struktur, maka komponen yang

bekerja tegak lurus maupun paralel terhadap kendaraan untuk berbagai sudut

serang dapat diambil seperti yang ditentukan dalam Tabel 2.8 dimana arah

sudut serang ditentukan tegak lurus terhadap arah permukaan kendaraan.

Tabel 2.8 - Komponen beban angin yang bekerja pada kendaraan

Sudut Komponen tegak lurus Komponen sejajar

derajat N/mm N/mm

0 1,46 0,00

15 1,28 0,18

30 1,20 0,35

45 0,96 0,47

60 0,50 0,55

Sumber : SNI 1725:2016

Tekanan angin vertikal, jembatan harus mampu memikul beban garis

memanjang jembatan yang mempresentasikan gaya angin vertikal ke atas

sebesar 9,6 x MPa dikalikan lebar jembatan, termasuk parapet dan trotoar.

b) Beban Gempa

Beban aksi lingkungan selain beban angin adapun beban gempa. Karena

gempa dapat mengakibatkan kerusakan yang biasa hingga yang signifikan dan

dapat mengganggu pekayanan.

Beban gempa dapat diambil untuk gaya horizontal yang sudah ditentukan

berdasarkan formulasi seperti di bawah ini yakni:

=

x

13

Keterangan:

= gaya gempa horizontal statis (kN)

Csm= koefisien respons gempa elastis

Rd = faktor modifikasi respons

Wt = berat total struktur terdiri dari beban mati dan beban hidup

yang sesuai (kN)

Nilai koefisien respon elastik (Csm) didapat dari peta percepatan batuan

dasar dan spektra percepatannya disesuaikan dengan daerah gempa dan periode

ulang gempa rencana. Nilai koefisien percepatan yang didapat berdasarkan pada

peta gempa yang dikalikan dengan faktor amplifikasi yang sesuai dengan

keadaan tanah sampai kedalaman 30 m dibawah struktur jembatan.

2.3 Struktur Beton Prategang

2.3.1 Konsep Dasar

Beton prategang adalah beton yang mengalami tegangan internal dengan besar

(akibat stressing) dan distribusi sedemikian rupa sehingga dapat mengimbangi sampai

batas tertentu tegangan yang terjadi akibat beban eksternal (T.Y.Lin, 2000). Pada

beton prategang, baja sebelumnya ditarik terlebih dahulu untuk mencegah terjadinya

pemanjangan yang berlebihan pada saat pembebanan, sementara beton ditekan

terlebih dahulu untuk mencegah retak-retak akibat tegangan tarik.

Kelebihan dari beton ialah lebih kuat dalam tekan, tapi kelemahannya pada

kondisi tarik. Diantara 8 hingga 14 persen merupakan variasi dari kekuatan tariknya

dari kekuatan tekannya. Dapat diketahui kelemahan dari betonadalah dalam tarik bisa

diatasi dengan memberikan tegangan tekan agar bisa mengimbangi ataupun

mengurangi tegangan tarik yang didapat pada bagian penampang yang diakibatkan

dari beban bekerja.

Dalam hal memberikan tegangan tekan dengan cara memasukan kabel baja

dengan mutu tinggi kedalam beton sebesar gaya prategang yang direncanakan. Pada

14

penampang beton ada yang bisa terjadi tekan diseluruhnya atau hanya sebagian saja

tergantung dari kebutuhan syarat keamanan dan kelayanan.

Aplikasi prategang dapat ditunjukan dengan ilustrasi sebagai berikut.

Gambar 2.3 Ilustrasi aplikasi beton prategang

Menurut T.Y. Lin dan burns (1982), ada tiga konsep yang berbeda yang dapat

dipakai untuk menjelaskan dan menganalisis sifat-sifat dasar dari beton prategang.

a) Sistem Prategang untuk Mengubah Beton menjadi Bahan yang

Elastis

Konsep ini memerlulakan beton sebagai bahan yang elastis dan

merupakan pendapat yang umum dari para insinyur. Ini merupakan buah

pemikiran pendapat yang umum dari para insinyur. Ini merupakan buah

pemikiran Eugne Freyssint yang memvisualkan beton prategang pada dasarnya

adalah beton yang ditransformasikan dari bahan yang getas menjadi bahan

elastis dengan memberikan tekanan (desakan) terlebih dahulu (pratekan) pada

bahan tersebut. Beton yang tidak mampu menahan tarikan dan kuat memikul

tekanan sedemikian rupa sehingga bahan yang getas dapat memikul tegangan

tarik. Dari konsep ini lahirlah kriteria “tidak ada tegangan tarik” pada beton.

Atas dasar pandangan ini, beton divisualisasikan sebagai benda yang

mengalami dua sistem pembebanan yaitu : gaya internal prategang dan beban

eksternal, dengan tegangan tarik akibat gaya eksternal dilawan oleh tegangan

tekan akibat gaya prategang. Distribusi tegangan menurut konsep ini dapat

dilihat pada gambar berikut.

15

Gambar 2.4 Distribusi Tegangan Sepanjang Penampang Beton Prategang Eksentris

Dari gambar tersebut dapat dihitung distribusi tegangan yang

dihasilkan yaitu:

.

Dengan :

P = gaya prategang

A = luas penampang

e = jarak pusat tendon terhadap

c.g.c y = jarak dari sumbu yang melalui titik berat

I = momen inersia penampang

b) Sistem Prategang untuk Kombinasi Baja mutu Tinggi dengan Beton

Konsep ini mempertimbangkan beton prategang sebagai kombinasi dari

baja dan beton seperti pada beton bertulang, dimana baja menahan tarikan dan

beton menahan desakan. Dengan demikian kedua bahan membentuk tahanan

untuk menahan momen eksternal, sebagaimana ditunjukan pada gambar berikut:

16

Gambar 2.5 Momen Tahanan Internal pada Balok Beton Prategang dan Beton bertulang

Konsep ini mendasari metode perencanaan kuat batas dan juga dapat

dipakai pada keadaan elastis.

c) Sistem Prategang untuk Mencapai Perimbangan Beban

Konsep ini terutama menggunakan prategang sebagai usaha untuk

membuat seimbang gaya-gaya pada sebuah batang. Penerapan dari konsep ini

menganggap beton diambil sebagai benda bebas dan menggantikan tendon

dengan gaya-gaya pada beton sepanjang bentang.

Pada keseluruhan desain struktur beton prategang, pengaruh dari

prategang dipandang sebagai kesetimbangan berat sendiri sehingga batang

yang mengalami lenturan seperti pelat, balok, dan gelagar tidak akan

mengalami tegangan lentur pada kondisi pembebanan yang terjadi. Ini

memungkinkan transformasi dari batang lentur menjadi batang yang

mengalami tegangan langsung dan sangat menyederhanakan persoalan baik

didalam desain maupun analisis dari struktur yang rumit.

Gambar 2.6 Balok Prategang dengan Tendon Parabola

17

Dari gambar diatas yaitu beban yang bekerja yang terdistribusi secara

merata kearah atas dinyatakan dalam :

Dengan :

F = Gaya Prategang

L = Panjang Bentang

h = Tinggi Parabola

2.3.2 Jenis Beton Prategang

Ada dua macam jenis beton prategang, yakni:

a) Sistem Pratarik (Pretension) adalah Metode yang digunakan dalam sistem

prategangnya dimana tendon-tendon ditarik sebelum beton di cor.

b) Sistem Pascatarik (Posttension) adalah Metode yang digunakan dalam

sistem prategang ini dimana kabel ditarik setelah beton mengeras. Metode

bisa digunakan pada elemen-elemen baik beton pracetak (precast) atau

beton yang dicetak di tempat (cast in situ).

2.3.3 Persyaratan Material

Adapun syarat material yang akan digunakan, seperti:

a) Beton

Beton yang akan dipakai dalam membuat elemen struktur beton

prategang harus memiliki kuat tekan tinggi. Ada dua faktor penting dalam

mendesain struktur beton prategang yakni kekuatan dan tahan lama yang

akan dicapai dengan melalui kontrol dan jaminan kualitas pada tahap

produksi.

Dalam studi perencanaan ini menggunakan RSNI T-12-2004 yang

mana untuk struktur prategang mutu beton yang digunakan tidak boleh

kurang dari 30 MPa.

18

b) Tendon Baja Prategang

Jenis tendon baja prategang dapat berupa kawat tunggal, gabungan

kabel yang dipilin membentuk strand, dan tulangan mutu tinggi (high-strand

bar).

Gambar 2.7 starnd (7-wires strand)

Gambar 2.8 High-Strength Bar

19

Tabel 2.9 Jenis Tendon Baja Prategang

Jenis

Material

Nominal

Diameter

(mm)

Luas

(mm²)

Gaya Putus

Minimum

(kN)

Tegangan

Tarik

Minimum, fpes

(Mpa)

Kawat

(wire)

5 19,6 30,4 1550

5 19,6 33,3 1700

7 38,5 65,5 1700

7-wire

strand

super

grade

9,3 54,7 102 1860

12,7 100 184 1860

15,2 143 250 1750

7-wire

strand

regular

grade

12,7 95,3 165 1750

Bar

23 415 450 1080

26 530 570 1080

29 660 710 1080

32 804 870 1080

38 1140 1230 1080

c) Selongsong

Dalam sistem pasca tarik pada selongsong harus memenuhi syarat

sebagai berikut:

Selongsong untuk tendon baja prategang harus kedap mortar

Tidak reaktif dengan beton, baja prategang, atau bahan grouting

yang akan digunakan

Pada pelaksanaan grouting, selongsong harus memiliki diameter 6 mm

lebih besar dari diameter tendon ataupun harus mempunyai luas minimal 2 kali

luas tendon.

20

d) Angkur

Angkur yang digunkan harus diproduksi oleh fabrikator yang dikenal

dengan jaminan mutu yang sesuai dengan spesifikasi teknik, yang bila perlu

ditentukan dengan pengujian.

e) Penyambung (coupler)

Penyambung (coupler) harus dapat menyalurkan gaya sekurang-

kurangnya dari kuat tarik batas elemen yang dihubung. Penyambung harus

dipasang di area yang disetujui oleh yang berwenang dan dipasang sedemikian

rupa untuk memungkinkan terjadinya gerakan yang diperlukan.

2.4 Beton Prategang Box Girder Segmental

Jembatan box girder adalah salah satu klasifikasi dari jembatan gelagar, yang

mana sebuah jembatan dimana struktur atas jembatan terdiri dari balok-balok

penopang utama yang berbentuk kotak berongga. Box girder biasanya terdiri dari

beberapa elemen seperti beton pratekan, baja struktural, atau komposit baja dan

beton bertulang. Biasanya bentuk penampang dari box girder adalah persegi atau

trapesium. Penampang melintang struktur atas dari box girder pratekan biasanya

bertipe single-cell atau multi-cell. Komponen dasar dari penampang melintang antara

lain:

Gambar 2.9 Penampang melintang single-cell box girder

(Sumber: Post-Tensioned Box Girder Design Manual-2015 Figure 1.4)

21

Gambar 2.10 Penampang melintang multi-cell box girder

(Sumber: Post-Tensioned Box Girder Design Manual-2015 Figure 1.3)

Top slab (Slab atas)

Cantilever wings (Sayap Kantilever)

Webs (Badan), terdapat badan dalam dan badan luar.

Botton slab (Slab bawah)

Penampang melintang multi-cell box girder dapat digunakan untuk berbagai

macam lebar jembatan dengan menvariasikan jarak antara atau tebal badan. Lebar

jembatan untuk single-cell box girder biasanya digunakan untuk rentang 25 ft hingga

60 ft meskipun terdapat jembatan single-cell box girder selebar 80 ft.

Jembatan box girder beton umumnya dipadukan dengan sistem prategang.

Konsep prategang yang digunakan adalah memberikan gaya tarik awal pada tendon

sebagai tulangan tariknya serta memberikan momen perlawanan dari eksentrisitas

yang ada sehingga selalu tercipta tegangan total negative baik serat atas maupun

bawah yang besarnya selalu dibawah kapasitas tekan beton. Struktur akan selalu

bersifat elastis karena beton tidak pernah mencapai tegangan tarik dan tendon tak

pernah mencapai titik plastisnya.

Dalam metode pelaksanaan jembatan box girder sangat kompleks dan variatif,

hal ini disebabkan karena bentuk box girder menjadi satu kesatuan antara plat dan

gelagarnya sehingga berukuran relatif lebih besar. Dalam proses transportasi

22

pengangkutan box girder akan menjadi masalah gelagar tidak dipisah secara

segmental. Segmental artinya pemisahan box girder dengan ukuran tertentu pada

arah memanjang. Pada pelaksanaan konstruksi setiap segmental ini akan di

gabungkan kembali sehingga menjadi kesatuan yang utuh seperti perencanaan awal.

Gambar 2.11 Jembatan Box Girder dan Metode Pelaksanaan Pemasangan Segmen

2.4.1 Desain Perancangan Awal

Dikutip Berdasarkan buku Jembatan dari Bambang Supriyadi, Dimensi box

girder direncanakan dengan batasan rasio tinggi terhadap bentang

<

<

dengan

nilai optimum

-

. Sedangkan elemen-elemen penampang yang lain didesain

sesuai dengan pedoman pemilihan tampang melintang gelagar oleh Podolny & Muller

(1982), yaitu :

1. Lebar jembatan dan jarak web

Lebar jembatan untuk gelagar kotak tunggal tidak lebih dari 12 meter

- Jarak web = 4 - 7,5 meter

- Panjang bagian kantilever : 1/4 lebar gelagar

2. Tebal pada Top Flange

Tabel 2.10 - Tebal minimum pada top flange

Bentang antar web Tebal minimum top flange

Kurang dari 3 m 175 mm

Antara 3 - 4,5 m 200 mm

Antara 4,5 - 7,5 m 250 mm

23

Lebih dari 7,5 m Menggunakan sistem rib atau

hollow

3. Tebal pada Web

Tabel 2.11 - Tebal minimum pada web

Tebal Minimum Keterangan

200 mm Tidak terdapat tendon

250 mm Terdapat duct kecil

300 mm Digunakan strand 12,5 mm

350 mm Tempat pengangkuran

4. Tebal sayap bawah

a. 175 mm, jika duct tidak diletakkan pada sayap

b. 200 - 250 mm, jika duct diletakkan pada sayap

2.5 Metode Pelaksanaan dan Konstruksi Jembatan

Umumnya metode pelaksanaan jembatan beton dapat dibedakan menjadi Cast

in situ (pengecoran di tempat) dan Precast segmental (pengecoran di pabrik).

Disetiap metode pelaksanaan ada beberapa jenisnya seperti pada tabel dibawah ini:

Tabel 2.12 - Jenis-jenis metode pelaksanaan

Metode konstruksi yang dipilih didalam penulisan ini ialah metode Span by

Span Erection with Launching Gantry. Metode Span by Span merupakan metode

pelaksanaan konstruksi jembatan box girder pracetak, dimana satu bentang

24

dikerjakan sampai selesai, kemudian berlanjut ke bentang berikutnya. Proses tersebut

berulang sampai seluruh bentang jembatan tersambung. Pada metode ini

membutuhkan alat Launching Gantry sebagai penopang utama dalam proses

perpindahan dan pemasangan segmental box girder.

Sistem penarikan tendon dilakukan secara keseluruhan di setiap bentangnya.

Hal ini dilaksanakan dengan cara menggantungkan keseluruhan segemen dengan

menggunakan launching gantry yang sesuai dengan spesifikasi kemudian disamakan

elevasi box girder 3-cell pada ketinggian tertentu. Setelah itu segemen-segmen

jembatan yang telah berada pada elevasi yang sama dirapatkan dan distressing serta

kemudian segemen jembatan yang telah distressing diturunkan pada elevasi renacana

diatas pilar.

Gambar 2.12 – Metode Konstruksi Box Girder Segmental

(Sumber : Jurnal Prof. Dr.-Ing. G. Rombach, 2002)

2.6 Perencanaan dengan Metode Konsep Dasar

Dalam merencanakan elemen-elemen beton prategang adapun dengan

menggunakan metode konsep dasar yang mana tegangan pada serat beton dapat

langsung dihitung dari gaya luar akibat dari prategang longitudinal dan beban luar

transversal.

Gaya prategang yang dibutuhkan dihitung berdasarkan tegangan pada saat

transfer (kondisi awal) dan servis (kondisi akhir).

a) Tahap Transfer (Kondisi Awal)

Tegangan beton di serat atas

(

)

25

Tegangan beton di serat bawah

(

)

b) Tahap Servis (Kondisi Akhir)

Tegangan beton di serat atas

(

)

Tegangan beton di serat bawah

(

)

2.7 Daerah Aman Kabel

Selubung untuk membatasi eksentrisitas tendon pada balok menerus dapat

dibuat dengan cara sama seperti yang dibahas dalam balok sederhana. Perlu

ditetapkan apakah tarik diperkenankan dalam desain untuk membatasi ordinat

maksimum dan minimum dari selubung atas dan bawah relative terhadap kern atas

dan bawah. (Beton Prategang, Edward G. Nawy dan Bambang Suryoatmono)

Gambar 2.13 Daerah Selubung Beton Prategang

Selubung cgs bawah. Lengan minimum dari kopel tendon adalah a

, Pi adalah gaya prategang awal

Formula dari eksentrisitas bawah yang membatasi ialah

eb = (amin + kb)

dimana :

kb adalah batas-batas titik kern = (

)

r2 adalah kuadrat jari - jari girasi

ct adalah jarak titik pusat balok terhadap garis terluar balok sebelah atas

W

26

Selubung cgs atas. Lengan maksimum dari kopel tendon adalah

amax =

dimana :

Pe adalah gaya prategang efektif

adalah momen total

Formula dari eksentrisitas bawah yang membatasi ialah

et = (amax+ kt)

dimana :

kt adalahbatas-batas titik kern = (

) ,

r2 adalah kuadrat jari - jari girasi

ct adalah jarak titik pusat balok terhadap garis terluar balok sebelah

bawah.

Jika eksentrisitas tambahan eb’ dan et

’ ditambahkan pada selubung garis cgs

yang dapat menghasilkan suatu tegangan tarik terbatas serat beton atas dan bawah,

maka tegangan tambahannya ialah

dan

sehingga eksentrisitas tambahan yang akan ditambahkan adalah

dan

Gambar 2.14 Daerah aman kabel

27

2.8 Lintasan Inti Tendo atau Kabel Baja

Telah dinyatakan pada bagian terdahulu bahwa tata letak kabel diatas dua

perletakan ditentukan oleh penampang-penampang momen maksimum dan

penampang ujung sehingga setelah kedua penampang ini di desain, tata letak kabel

dapat ditentukan dengan pemeriksaan. (Perhitungan Box Girder beton Prestress, M.

Noer Ilham, Ir. MT)

Persamaan lintasan inti tendon : Y = 4*f*X/L2*(L-X) dengan f = es

Gambar 2.15 Lintasan Kabel terhadap Balok Beton

Persamaan sudut angkur, = Atan (dY/dX) dimana Untuk nilai X = 0 (posisi

angkur ditumpuan), maka

=

persamaan masing-masing kabel : Zi = Zi’– 4 * fi

* X/L2 * (L – X) dimana :

Zi = Tinggi lintasan kabel (m) fi

= Tinggi lintasan inti kabel (m)

X = Jarak segmen X (m)

L = Bentang Jembatan (m)

2.9 Kehilangan Gaya Prategang

Dalam menganalisis dan mendesain beton prategang untuk menentukan

tegangan-tegangan efektif dari tendon prategang, pada buku Ty Lin dan Ned H Burn

tahun 1988 disebutkan terdapat dua langkah yang biasa diperiksa agar mengetahui

tegangan dan perilaku pada tendon prategang yang akan terjadi, yaitu:

a) Pada langkah pertama yang perlu ditinjau ada tiga macam seperti:

Perpendekan Elastis Beton (ES)

Friksi (FR)

28

Pengangkuran (ANC)

b) Pada langkah kedua yang perlu ditinjau ada tiga macam seperti:

Rangkak Beton (CR)

Susut Beton (SH)

Relaksasi Baja (RE)

2.9.1 Kehilangan akibat Perpendekan Elastis Beton

Berikut adalah persamaan yang digunakan untuk menghitung perpendekan

elastis beton pasca-tarik dengan memperhitungkan penarikan yang berturut-turut:

ES = 0,5. Es .

Dimana,

0,5 = komponen struktur pasca-tarik

1,0 = komponen pratarik menggunakan

Es = nilai modulus elastis tendon prategang

= modulus elastis beton pada saat prategang awal

2.9.2 Kehilanagan Gaya Prategang Akibat Friksi

Dalam perhitungan kehilangan gaya prategang akibat gesekan, ditemukan ada

dua pengaruh yang perlu dipertimbangkan, yakni dari pengaruh kelengkungan dan

pengaruh wobble. Pada pengaruh pertama seperti kelengkungan dapat ditetapkan

utama dahulu, dan pengaruh kedua seperti wobble ialah hasil dari penyimpangan

alinyemen yang tidak sengaja atau tidak dapat dihindari karena saluran tidak dapat

ditempatkan secara sempurna (Nawy, 2001).

Adapun koefisien-koefisien gesekan pada tendon-tendon pasca-tarik pada tabel

dibawah ini dari peraturan ACI.

29

Tabel 2.13- Koefisien Gesek Tendon Pasca-Tarik

Tipe Tendon

Koefisien

Wobble K tiap

meter

Koefisien

Kelengkungan

μ

Tendob pada selubung logam fleksibel

Tendon kawat 0,0033 - 0,0049 0,15 - 0,25

Strand dengan

untaian 7-kawat 0,0016 - 0,0066 0,15 - 0,25

Batang baja mutu-

tinggi 0,0003 - 0,0020 0,08 - 0,30

Tendon pada selubung logam

Strand dengan

untaian 7-kawat 0,0007 0,15 - 0,25

Tendon yang diminyaki terlebih dahulu

Tendon kawat dan

strand denfan

untaian 7-kawat

0,001 - 0,0066 0,05 - 0,15

Tendon yang diberi

lapisan mastik

Tendon kawat dan

strand denfan

untaian 7-kawat

0,0033 - 0,0066 0,05 - 0,15

Sumber: Nawy dan Bambang, 2001

Adapun persamaan untuk mengitung kehilangan ini yakni:

=

2.9.3 Kehilangan Gaya Prategang Akibat Pengangkuran

Pada kehilangan gaya prategang terjadi akibat pengangkuran pada saat sistem

pasca-tarik mungkin bisa terjadi dikarenakan terdapat kabel tendon yang licin dan

keras yang tidak segera dicengkeram oleh baja sebelum menggelincir sehingga

terjadinya variasi dari gaya prategang.

30

Adapun formula secara umu dalam perhitungan ini yakni:

dimana:

adalah besar gelincir

Eps adalah modulus kawat prategang

L adalah panjang tendon

2.9.4 Kehilangan Gaya Prategang Akibat Rangkak pada Beton

Kehilangan akibat rangkak bisa terjadi dari beban yang bekerja terus ketika

waktu pembebanan dalam suatu elemen struktural.

Rumus umum yang digunakan untuk menghitung kehilangan energi akibat

rangkak beton dengan tendon terekat adalah

CR =

dimana:

= 2,0 untuk komponen struktur pratarik

= 1,6 untuk komponen struktur pasca-tarik

= tegangan tendon pada titik berat tendon akibat seluruh beban

mati yang bekerja pada komponen struktur setelah diberi

gaya prategang

= tegangan di beton pada level pusat berat baja segera setelah

transfer

= nilai modulus elastis tendon prategang

= nilai modulus beton umur 28 hari, sesuai fc'

2.9.5 Kehilangan Gaya Prategang Akibat Susut

Mengenai perhitungan besar susutnya, ialah memperhitungkan satu-satunya

faktor kehilangan ini diliat pada tabel dibawah ini:

31

Tabel 2.14 - Koefisien untuk komponen pasca-tarik

Jangka waktu setelah

perawatan basa sampai

pada penerapan

prategang, (hari)

1 3 5 7 10 20 30 60

Ksh 0,92 0,85 0,80 0,77 0,73 0,64 0,58 0,45

(Sumber: Ly Tin dan Ned H Burn, 1988)

dengan persmaan,

SH = 8,2 x (1 - 0,06

) (100 - RH)

dimana:

= Nilai koefisien untuk komponen struktur pratarik 1,0

= Nilai koefisien untuk komponen struktur pasca-tarik ada pada

tabel

= Modulus elastis beton

= Perbandingan volume terhadap permukaan

RH = Kelembaban relatif

2.9.6 Kehilangan Gaya Prategang Akibat Relaksasi Baja

Faktor kehilangan prategang yang lainnya adalah Relaksasi pada baja yang

besarnya tergantung waktu, akibat perpendekan elastis, CR dan SH. Sehingga adanya

pengurangan yang secara kontinue pada tegangan tendon yang dapat menyebabkan

kehilangan gaya prategang akibat relaksasi berkurang. Adapun faktor yang digunakan

seperti:

Tabel 2.15 - Nilai-nilai C

fp / fpu Kawat atau strand

stress-relieved

Kawat atau strand relaksasi

rendah atau batang stress-

relieved

0,80 1,28

0,79 1,22

32

0,78 1,16

0,77 1,11

0,76 1,05

0,75 1,45 1,00

0,74 1,36 0,95

0,73 1,27 0,90

0,72 1,18 0,85

0,71 1,09 0,80

0,70 1,00 0,75

0,69 0,94 0,70

0,68 0,89 0,66

0,67 0,83 0,61

0,66 0,78 0,57

0,65 0,73 0,53

0,64 0,68 0,49

0,63 0,63 0,45

0,62 0,58 0,41

0,61 0,53 0,37

0,60 0,49 0,33

(Sumber: Beton Prategang, Nawy 2001)

Tabel 2.16 - Nilai-nilai dan J

Jenis Tendon (Berdasarkan ASTM A416-74,

ASTM A421-76 atau ASTM A722-75) KRE J

Kawat atau stress-relived strand mutu 270 20000 0,15

Kawat atau stress-relived strand mutu 250 18500 0,14

Kawat atau stress-relived strand mutu 240 atau

235 17600 0,13

Strand relaksasi rendah mutu 270 5000 0,040

Strand relaksasi rendah mutu 250 4630 0,037

Strand relaksasi rendah mutu 240 atau 235 4400 0,035

Batang stress-relieved mutu 145 atau 160 6000 0,05

(Sumber: Beton Prategang, Nawy 2001)

33

Persmaan untuk kehilangan prategang akibat relaksasi baja:

RE = [ ]

Formula diatas adalah metode dari ACI - ASCE dengan menggunakan

kontribusi terpisah antara perpendekan elastis, rangkak dan susut.

(Nawy,2001)

2.9.7 Kehilangan Akibat Pengaruh Lain

Adapun kehialangan akibat pengaruh lain tergantung dari jenis dan

kepentingan struktur beton prategangnya, untuk faktor kehilangan seketika seperti:

a) Perubahan suhu antara saat penegangan tendon dan saat pengecoran

beton

b) Deformasi pada sambungan struktur pracetak

c) Relaksasi tendon sebelum transfer

d) Deformasi acuan pada komponen pracetak

e) Perbedaan suhu antara tendon yang ditegangkan dan struktur yang

diprategang selama perawatan pemanasan beton.

Bilamana perlu juga diperhitungkan kehilangan tergantung waktu yang mana

penyebabnya seperti:

a) Deformasi pada sambungan struktur pracetak yang dipasang pada

penampang

b) Pengaruh penambahan rangkak yang disebabkan oleh beban

berulang yang sering terjadi.

2.10 Perencanaan End Block

Pemusatan tegangan tekan yang besar dalam arah longitudinal terjadi di

penampang tumpuan pada segmen kecil di muka ujung balok, baik balok pratarik

maupun pada balok pascatarik, akibat dari gaya prategang yang besar. Peningkatan

luas tidak berkontribusi dalam mencegah retak spalling dan bursting, dan tidak

mempunyai pengaruh pada pengurangan tarik transversal di beton.

34

Gambar 2.16– Transisi Daerah Solid ke Tumpuan

( Sumber: Nawy, 2001)

Gambar 2.17– Zona Ujung, Retak Bursting dan Retak Spalling

( Sumber: Nawy, 2001)

Dengan demikian, perkuatan pengangkeran sangat dibutuhkan di daerah

transfer beban dalam bentuk tulangan tertutup, sengkang, atau alat – alat

penjangkaran yang menutupi semua prategang utama dan penulangan.

Pemusatan tegangan tekan yang besar dalam arah longitudinal terjadi di

penampang tumpuan pada segmen kecil di muka ujung balok, baik balok

pratarik maupun pada balok pascatarik, akibat dari gaya prategang yang besar.

Peningkatan luas tidak berkontribusi dalam mencegah retak spalling dan

bursting, dan tidak mempunyai pengaruh pada pengurangan tarik transversal di

beton. Dalam perencanaaan end block digunakan metode perbandingan rasio

perbandingan plat angkur untuk sengkang karena metode ini lebih cocok untuk

35

penampang box girder karena memiliki luasan daerah end block yang kecil.

(Perhitungan Box Girder beton Prestress, M. Noer Ilham, Ir. MT)

Rasio perbandingan lebar plat angkur untuk sengkang arah vertikal ra = a1/a

Rasio perbandingan lebar plat angkur untuk sengkang arah horizontal rb=b1/b

Bursting force untuk sengkang arah vertikal Pbta = 0,30x(1-ra)xPj

Bursting force untuk sengkang arah horizontal Pbtb = 0,30x(1-rb)xPj

Luas tulangan sengkang arah vertikal yang diperlukan Ara = Pbta/(0,85xfs)

Luas tulangan sengkang arah horizontal yang diperlukan Arb = Pbtb/(0,85xfs)

Jumlah sengkang arah vertikal yang diperlukan n = Ara/As

Jumlah sengkang arah horizontal yang diperlukan n = Arb/As

2.11 Perencanaan Penulangan Geser

2.11.1 Kuat Geser

Dalam merencanakan pada geser, pada penentuan kuat geser beton (Vc) akan

dipilih hasil nilai terkecil dari Vci dan Vcw.

Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan kuat geser lentur (Vci)

yakni:

Vci =

√ x x ) + +

( .....(Sumber: 021/BM/2011)

Nilai V dari persamaan diatas merupakan gaya terfaktor Vi di

penampang yang ditinjau akibat beban eksternal yang terjadi secara

simultan dengan momen maksimum (Mmax) yang terjadi di penampang

tersebut, sedangkan pada suku kedua , yaitu momen akibat yang terjadi

retak akibat lentur. (Ty Lin dan Ned H Burn, 1998) sehingga,

dimana,

36

fc' = kekuatan silinder beton yang ditentukan

bw = lebar badan

dp = tinggi efektif atau dp = 0,85 h. atau manapun yang

lebih besar

Vd = gaya geser di penampang akibat berat sendiri (faktor

pembebanan = 1,0)

Vi = gaya terfaktor di penampang akibat beban eksternal

yang terjadi secara simultan dengan Mmaks

Mcr = momen retak

fce = tegangan tekan beton akibat tekanan efektif sesudah

terjadinya kehilangan pada serat ekstrim penampang

dimana ditentukan oleh beban eksternal

fd = tegangan akibat beban mati tak terfaktor di serat beton

ekstrim dimana tarik ditimbulkan oleh beban eksternal

2.11.2 Kuat Geser Badan (Vcw)

Rumus yang digunakan dalam menghitung kuat geser badan (Vcw) yakni:

Vcw = ( 0,3 √ ̅̅ ̅̅ ̅ ) . + Vp.. ...(Sumber: 021/BM/2011)

dimana, fpc = tegangan tekan akibat gaya prategang

Vp = komponen vertical gaya prategang di penampang

= Pe tan θ, dimana θ adalah sudut antara tendon miring

dan horisontal

37

2.11.3 Jarak Sengkang

Gambar 2.18-Sengkang vertikal

(Sumber: Nawy,2001)

Untuk setiap retak bisa dipikul oleh sengkang vertical, maka ada

pembatasan dari jarak minimum untuk sengkang vertical seperti:

Smaks ≤ 0,74 h ≤ 610 mm., h adalah tinggi total penampang

Jika Vs > 4λ √ bw dp, jarak sengkang s adalah setengah dari jarak

yang dibutuhkan. s =

Jika Vs > 8λ √ bw dp, perbesar penampang

Jika Vu = ɸVn > ½ ɸVc, luas minimum tulangan geser harus digunakan

Luas ini dapat dihitung dengan persamaan berikut

Av =

38

Gambar 2.19-Jarak Tulangan Badan

(Sumber: Nawy,2001)

Bila hasil nilai dari gaya prategang efektif (fpe) < 40% kekuatan tarik dari

penulangan akibat lentur, adapun rumus Av minimum dalam satuan inc² yakni:

2.12 Perencanaan Sambungan antar Segmen

Perencanaan sambungan pada box girder dilakukan karena tipikal penampang

yang dipisah sesuai dengan segmen yang direncanakan untuk mempermudah

pelaksanaan dilapangan. Oleh karena itu perlu di desain bentuk sambungan yang

tepat untuk sambungan antar segmen box girder.

Box yang girder yang dipasang secara segmental rentan terjadi geser antar titik

sambung (joint). Oleh karena itu perlu didesain kuncian antar segmen sehingga

mencegah terjadinya geser tersebut. Pengunci geser antar segmen (shear key)

didesain dengan menggunakan tipikal sambungan kering (dry joint) maupun

sambungan basah (wet joint). Dimana pada sambungan kering murni kekuatan geser

disumbangkan oleh pengunci segmen, sedangkan pada sambungan basah ditambah

bahan perekat (lem).

39

Gambar 2.20- Jenis Konfigurasi Shear Key (a) Male-Female (b) Female-Female (c) Dapped (d)

Flat (e) Mechanical

2.13 Lendutan pada Jembatan

Pada saat kondisi transfer yaitu kondisi dimana gaya prategang dilakukan

secara penuh tetapi beban belum maksimum sehingga gaya prategang

mengakibatkan lendutan ke atas (camber) sedangkan pada saat kondisi servis atau

layan dimana beban menjadi maksimum sehingga lendutan menjadi kebawah atau

tidak ada lendutan sama sekali. Hal ini yang sangat mengkhawatirkan untuk

struktur sehingga harus di analisa dan dikontrol dengan lendutan ijin yang sudah

ditetapkan.

a) Lendutan camber akibat prategang

a = .........(Sumber: 021/BM/2011)

b) Lendutan akibat beban mati dan hidup merata

∆ = .........(Sumber: 021/BM/2011)

- Beban merata sepanjang jembatan

Q = 8 x