Upload
others
View
15
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Kebiasaan Merokok
2.1.1 Definisi Kebiasaan Merokok
Kebiasaan merupakan pengulangan sesuatu secara terus-menerus atau pada
sebagian besar waktu dengan cara yang sama dan tanpa hubungan akal. “Sesuatu” di
sini mencakup perkataan ataupun perbuatan yang dilakukan berkali-kali dalam rentang
waktu yang lama dan berdekatan serta dalam melakukan sesuatu tersebut tanpa berpikir
dan menimbang-nimbang sebelumnya (Az-Za’balawi, 2007).
Merokok adalah kegiatan membakar rokok dan atau menghisap asap rokok
(Infodatin, 2014), merokok yaitu menghisap asap dari tembakau yang dibakar dalam
bentuk sigaret, cerutu atau pipa (Leone, 2011). Menurut American Cancer Society (ACS,
2013) serta Center for Disease Control and Prevention (CDC, 2017) mengkonsumsi
tembakau dalam bentuk lain (tanpa asap) juga termasuk dalam pengertian merokok,
misalnya mengulum atau mencium tembakau, mengkonsumsi permen, stik atau strip
yang mengandung bahan tembakau yang dapat larut serta rokok elektrik.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kebiasaan merokok
merupakan kegiatan atau aktivitas membakar rokok dan atau menghisap asap dari
tembakau yang dibakar dan dilakukan secara berkali-kali atau terus-menerus dalam
waktu yang lama dan berdekatan serta dalam melakukan hal tersebut tanpa berpikir
dan menimbang-nimbang sebelumnya.
10
2.1.2 Fakta Tentang Perokok Remaja dan Dewasa Muda
Merokok merupakan salah satu masalah kesehatan utama masyarakat di
berbagai dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang (World Health
Organization [WHO], 2017) bahkan menurut CDC (2017) perilaku merokok ini tidak
hanya berkembang pada orang dewasa, namun juga berkembang pada kalangan anak
muda. Menurut American Nonsmoker’s Right Foundation (ANRF, 2013) perkembangan
perilaku merokok pada kalangan anak muda ini bermula pada masa remaja hingga
dewasa muda, yaitu sekitar usia 12-25 tahun.
Berdasarkan National Survey on Drug and Health (NSDUH, 2012) di Amerika
Serikat, prevalensi perokok diketahui secara keseluruhan sekitar 6,6% pada usia 12-17
tahun dan 31,8% pada usia 18-25 tahun. Menurut Bonnie et al (2015), perokok remaja
dan dewasa cenderung untuk mencoba berbagai produk tembakau lainnya, seperti
cerutu, tembakau kunyah atau hisap, rokok elektronik dan berbagai produk tembakau
non asap lainnnya.
Berdasarkan data yang diperoleh dari WHO (2017) hampir 80% dari sekitar 1
miliar perokok di dunia berada dan tinggal di negara dengan pendapatan rendah dan
menengah, termasuk di dalamnya adalah Indonesia . Populasi perokok di Indonesia
diketahui menempati urutan ke-4 tertinggi di dunia setelah Cina, Rusia dan Amerika
Serikat dengan perkiraan konsumsi 240 miliyar batang rokok (Eriksen et al, 2015;
Ruslan, 2015). Secara keseluruhan, persentase perokok di Indonesia sendiri pada tahun
2010 mencapai 36%, yaitu kurang lebih sekitar 60,2 juta orang (World Health
Organization [WHO], 2015).
Berdasarkan hasil Riskesdas (2013), prevalensi perokok usia 10-14 tahun adalah
1,4% sedangkan prevalensi perokok untuk usia ≥15 tahun sebanyak 36,3% dengan
rerata jumlah rokok yang dihisap adalah sebanyak 12,3 batang, bervariasi dari yang
11
paling rendah yaitu 10 batang dan paling tinggi 18,3 batang. Perilaku merokok di
Indonesia usia 15 tahun keatas masih belum mengalami penurunan dari tahun ke
tahun. Hal ini dapat dilihat dari prevalensi tahun 2007 hingga 2013, cenderung
meningkat 34,2% pada tahun 2007 menjadi 36,3% pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013).
Insiden dan prevalensi merokok di kalangan remaja dan dewasa muda secara
signifikan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor lingkungan, sosial dan
fisik, faktor biologis dan genetik, faktor status mental, faktor persepsi personal dan
berbagai faktor lainnya (CDC, 2017).
Faktor lingkungan termasuk didalamnya adalah kemudahan untuk
mendapatkan rokok dan harganya yang terjangkau, orang tua perokok serta berbagai
iklan rokok dengan pencitraan menarik sebagai seorang perokok (Tobacco Control Support
Center [TCSC]-IAKMI, 2011). Faktor sosial yaitu diantaranya adalah pengaruh teman
sebaya, pengaruh kelompok sebaya serta tekanan yang diterima selama berinteraksi
dalam lingkungan sosial dan orang tua yang perokok (Rachiotis et al, 2008).
Faktor fisik yaitu jenis kelamin terutama anak laki-laki lebih banyak yang
merokok dibandingkan dengan perempuan (Eticha & Kidane, 2014) dan lebih banyak
mencoba produk-produk tembakau selain rokok seperti sisha, rokok elektrik, cerutu,
permen karet, bentuk hisap, maupun tempel atau koyo (CDC, 2017).
Faktor biologi yaitu usia, didapatkan fakta bahwa individu yang memulai
merokok pada usia muda, bahkan pada masa anak-anak (10 tahun) lebih sensitif untuk
masuk pada tahap ketergantungan nikotin dan lebih sulit untuk berhenti dibandingkan
dengan individu yang memulai merokok pada usia dewasa atau saat usia ≥ 21 tahun
(American Cancer Society [ACS], 2014).
Faktor genetik juga diketahui memiliki peran terhadap kecenderungan adiksi
atau ketergantungan terhadap nikotin yang secara signifikan mempengaruhi
12
kemampuan fisik dalam mentoleransi nikotin sehingga menjadikan perilaku merokok
menetap terus menerus. Faktor genetik tersebut diperkirakan sama seperti faktor
genetik dalam kecanduan alkohol, penyakit hipertensi dan astma, yaitu gen CYP2A6
(Scollo & Winstanley, 2012).
Selain itu, faktor yang turut mempengaruhi perilaku merokok adalah faktor
persepsi personal. Ekspektasi hasil yang positif pada saat merokok seperti koping pada
saat stres, perasaan relax, bahagia, nyaman dan tenang, serta lebih percaya diri dan juga
menganggap rokok tidak berbahaya sangat berhubungan dengan perilaku merokok
pada usia muda (CDC, 2017).
Beberapa faktor lainnya yang juga mempengaruhi perilaku merokok pada usia
muda adalah status ekonomi dan pengetahuan yang rendah, kurangnya skill dan
dukungan orang tua untuk menghindari rokok, ketersediaan, kemudahan, dan harga
rokok yang terjangkau, rendahnya pencapaian akademik, tingkat kepercayaan diri atau
harga diri yang rendah, serta paparan iklan rokok yang massif (CDC, 2017).
2.1.3 Klasifikasi Perokok
Perbedaan perilaku merokok pada satu individu dengan individu lainnya dapat
diidentifikasi dan diklasifikasikan berdasarkan beberapa faktor, antara lain: usia,
frekuensi merokok, jumlah rokok yang dikonsumsi, dan berdasarkan kontak dengan
rokok.
Berdasarkan usianya, perokok dapat dikelompokkan menjadi perokok dewasa
(adult smoker) usia diatas 24 tahun dan perokok muda (youth smoker) usia 12-24 tahun.
Menurut Eriksen et al (2015), perokok dikategorikan menjadi 4 kelompok, yaitu
perokok muda (usia anak dan belasan tahun) usia 11-14 tahun, perokok remaja
(adolessence) usia 15-24 tahun dan perokok dewasa (adult smoker) usia 25-64 tahun serta
13
perokok tua (elder smoker) usia lebih dari 64 tahun. Berdasarkan Infodatin (2014),
perokok di Indonesia dikategorikan berdasarkan kelompok usia 5-14 tahun dan >15
tahun.
Dilihat dari frekuensi atau keaktifan dalam mengkonsumsi rokok, perokok
terbagi dalam 4 kelompok yaitu: 1) perokok setiap hari (daily smoker); 2) perokok
kadang-kadang; 3) mantan perokok; 4) bukan perokok (Riskesdas, 2013).
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (2017), jika dilihat dari frekuensi
dalam mengkonsumsi rokok, perokok terbagi menjadi 3 kelompok yaitu: 1) perokok
atau current smoker; yaitu seseorang yang merokok sedikitnya 100 batang sepanjang
hidupnya, dan tetap merokok baik setiap hari atau kadang-kadang saja; 2) mantan
perokok atau former smoker, adalah seseorang yang menyatakan pernah merokok
sedikitnya 100 batang sepanjang hidupnya dan sudah tidak mengkonsumsi rokok lagi;
3) bukan perokok atau never smoker, yaitu seseorang yang melaporkan pernah merokok
tetapi tidak melebihi 100 batang rokok sepanjang hidupnya dan tidak mengkonsumsi
rokok lagi (CDC, 2017).
Berdasarkan banyaknya jumlah rokok yang dikonsumsi setiap hari, perokok
dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu: 1) perkokok ringan atau light smoker; yaitu
seseorang yang merokok 1-10 batang rokok/hari; 2) perokok sedang atau moderate
smoker; adalah seseorang yang merokok 11-19 batang rokok/hari; 3) perokok berat atau
heavy smoker, yaitu seseorang yang merokok lebih dari 20 batang rokok/hari (Government
of Canada, 2008).
Pengelompokkan atau klasifikasi perokok juga dapat dilihat berdasarkan
kontak dengan rokok. Berdasarkan hal tersebut, perokok dibagi menjadi 3 kelompok
yaitu: 1) perokok aktif atau active or firsthand smoker, adalah seseorang yang sengaja dan
sadar membakar dan menghisap rokok maupun mengkonsumsi tembakau dengan cara
14
lain; 2) perokok pasif atau pasive or secondhand smoker, merupakan seseorang yang
terpapar dan menghirup asap rokok dari perokok aktif baik sengaja maupun tidak
sengaja; 3) perokok ketiga atau thirdhand smoker, adalah seseorang yang terpapar zat sisa
asap rokok yang menempel pada permukaan suatu benda dan bertahan dalam
lingkungan (Bahl et al, 2014; Hsieh et al, 2011).
2.1.4 Derajat Perokok
Derajat ketergantungan seorang perokok terhadap merokok (rokok tembakau)
dapat dinilai dengan berbagai ukuran. Ini termasuk frekuensi dan kuantitas rokok yang
dikonsumsi, penanda biokimia (seperti kadar nikotin, produk sampingan metabolism
nikotin di dalam saliva/air liur), dan kuesioner self-reported smoking behavior (kuesioner
perilaku merokok) (Scollo & Winstanley, 2018).
Instrumen yang sering digunakan untuk menentukan derajat ketergantungan
seorang perokok dalam cilincal setting antara lain DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Health) dari American Psychiatric Association (APA) dan ICD-10 (International
Classification of Disease) dari WHO. Selain itu, derajat ketergantungan perokok juga dapat
diketahui dengan tes ketergantungan psikologis dan fisiologis dalam bentuk kuesioner
untuk perokok. Kuesioner tersebut antara lain: Fragestrom Test for Nicotine Dependence
(yang sebelumnya bernama Fragestrom Tolerance Questionnaire), Cigarette Dependence Scales,
Nicotine Dpenden Syndrom Scale, Wisconsin Inventory of Smoking dependence Motives, dan
Autonomy over Tobacco Scale (Scollo & Winstanley, 2018).
Instrumen yang digunakan untuk mengetahui derajat ketergantungan perokok
dalam penelitian ini adalah Fragestrom Test for Nicotine Dependence. Intrumen ini
merupakan instrument standar untuk menilai intensitas kecanduan/ketergantungan
terhadap nikotin. Tes ini dirancang dengan penilaian ordinal untuk ketergantungan
15
nikotin yang berhubungan dengan merokok (rokok tembakau). Kuesioner ini terdiri
dari enam item yang mengevaluasi kuantitas konsumsi rokok, keinginan untuk
merokok, dan ketergantungan terhadap rokok (Scollo & Winstanley, 2018). Adapun
detail kuesioner Fragestrom Test for Nicotine Dependence dapat dilihat pada Tabel 2.1
berikut:
Tabel 2.1 Fragestrom Test for Nicotine Dependence
No Pertanyaan Jawaban Skor Interpretasi
1 Berapa jumlah rokok yang Anda hisap setiap hari ?
≤10 0 Total Skor: 0-4: Perokok ringan 5-7: Perokok sedang >7: Perokok berat
11-20 1
21-30 2
>30 3
2 Seberapa cepat Anda merokok
setelah bangun tidur ?
<5 menit 3
6-30 menit 2
31-60 menit 1
>60 menit 0
3
Apakah Anda merasa sulit menahan diri untuk merokok
di tempat-tempat yang dilarang ?
Ya 1
Tidak 0
4 Rokok mana yang paling sulit
untuk Anda tinggalkan ?
Yang pertama di pagi hari
1
Semua yang lain
0
5
Apakah anda merokok lebih banyak pada jam pertama
setelah bangun tidur dibandingkan saat istirahat
siang hari ?
Ya 1
tidak 0
6
Apakah Anda akan tetap merokok ketika sakit dan
bahkan terbaring di tempat tidur hampir sepanjang hari ?
Ya 1
tidak 0
(Sumber: Scollo & Winstanley, 2018)
2.1.5 Kandungan Rokok
Rokok merupakan faktor risiko utama untuk morbiditas dan mortalitas
kardiovaskuler dan respirasi yang dapat dicegah. Rokok menyebabkan gangguan
kesehatan yang luas, seperti penyakit metabolik dan degeneratif serta dapat
mengakibatkan gangguan kesehatan mental (Eriksen et al, 2015).
Menurut Infodatin (2014), asap rokok mengandung kurang lebih 4000 bahan
kimia, 69 diantaranya menyebabkan kanker bagi tubuh dan jenis yang lainnya beracun.
16
Berdasarkan penelitian Tirtoastro dan Murdiyati (2010), kandungan kimia asap rokok
yang dianalisa dengan menggunakan smoking machine yang dilengkapi filter Cambridge,
diketahui sebagai berikut (lihat Tabel 2.2 dan 2.3):
Tabel 2.2 Komponen Kimia utama asap yang tertangkap filter Cambridge Senyawa µg/batang rokok Senyawa µg/batang rokok
Nikotin 100-300 Scopoletiin 15-30 Nornikotin 5-150 Polifenol lain Anabatin 5-15 cyclotenes 40-70 Anabasin 5-12 quiñónez 0,5 Alkaloid tembakau yang lain
- solanesol 600-1000
Bipyridils 10-30 neophytadienes 200-350 n-hentriacontane 100 limonene 30-60 Total novolatil HC 300-400 Terpenes lain Naftalena 2-4 Asam asetat 100-150 Naftalena lain 3-6 Asam stearat 50-75 Penanthrene 0,2-0,4 Asam oleat 40-110 Antracenes 0,05-0,10 Asam linoleat 150-250 Fluorenes 0,6-1,0 Asam linolenat 150-250 Pyrenes 0,3-0,5 Asam laktat 60-80 Fluoranthenes 0,3-0,45 indol 10-15 Karsinogen PAH 0,1-0,25 skatole 12-16 Fenol 80-160 Indol lain Fenol lain 60-180 quinolines 2-4 Catechol 200-400 Aza-arenes lain Catechols lain 100-200 benzofuranes 200-300 Dihydroxybenzenes lain 200-400
(Sumber: Tirtoastro & Murdiyati, 2010)
Table 2.2 menunjukkan senyawa yang paling banyak tertangkap oleh filter
Cambridge adalah nikotin sebesar 100-3000 µg/batang rokok sedangkan senyawa yang
paling sedikit adalah Anthracenes sebesar 0,05-0,10 µg/batang rokok (Tirtoastro &
Murdiyati, 2010).
Tabel 2.3 Komponen Kimia utama asap yang lolos filter Cambridge Senyawa Konsentrasi/batang
rokok (% aliran asap total)
Senyawa Konsentrasi/batang rokok (%aliran asap
total)
Nitrogen 120-28 mg (56-64%) Methyl-formate 20-30 µg Oksigen 50-70 mg (11-14%) Asam volatil lain 5-10 µg Karbon dioksida 45-65 mg (9-13%) Formaldehida 20-100 µg Karbon monoksida 14-23 mg (2-5%) Asetaldehida 400-1.400 µg Air 7-12 mg (1,5-2%) Acrolein 60-140 µg Argon 5 mg (1%) Aldehida volatil lain 80-140 µg Hidrogen 0,5-1,0 mg Aseton 100-650 µg Amonia 10-130 µg Keton volatil lain 50-100 µg Nitrogen oksida Nox 100-600 µg Methanol 80-100 µg Hidrogen sianida 400-500 µg Alkohol volatil lain 10-30 µg Hidrogen sulfida 20-90 µg Acetonitrile 100-150 µg
17
Lanjutan Tabel . . .
Senyawa Konsentrasi/batang rokok (%aliran asap
total)
Senyawa Konsentrasi/batang rokok (%aliran asap
total)
Metana 1,0-2,0 mg Volatile nitriles lain 50-80 µg Volatile alkene 0,4-0,5 mg Furan 20-40 µg Volatile alkenes lain 1,0-1,6 mg Volatile furanes lain 45-125 µg Isoprene 0,2-0,4 mg Pyridine 20-200 µg Butadiena 25-40 µg Picolines 15-80 µg Asetilena 20-35 µg 3-vinylpyridine 7-30 µg Benzena 6 -70 µg Volatile pyridines
lain 20-60 µg
Toluena 5-90 µg Pyrrole 0,1-10 µg Syrene 10 µg Pyrrolidine 10-18 µg Hidrokarbon aromatik lain
15-35 µg N-methyl pyrrolidine
2,0-3,0 µg
Asam format 100-600 µg Volatile pyrazines 3,0-8,0 µg Asam asetat 300-1.700 µg Metil amina 4-10 µg Asam propionat 100-300 µg Amines aliphatic lain 3-10 µg
(Sumber: Tirtoastro & Murdiyati, 2010)
Table 2.3 menunjukkan senyawa yang paling banyak tidak tertangkap oleh filter
Cambridge adalah nitrogen sebesar 120-280 mg/batang rokok (56-64%) sedangkan
senyawa yang paling sedikit adalah N-methyl pyrrolidine sebesar 2,0-3,0 µg/batang
rokok (Tirtoastro & Murdiyati, 2010).
Zat-zat yang sangat dikenal berbahaya dan beracun dalam rokok antara lain:
1. Nikotin
Nikotin atau 3-(1-methyl-2-pyrrolidinyl)pyridine termasuk dalam golongan
alkaloid (seperti morpin dan kokain) dan merupakan salah satu bahan yang paling
banyak digunakan sebagai psikostimulan di dunia serta termasuk dalam kriteria zat yang
sangat adiktif (Pesta et al, 2013).
Rokok merupakan sumber utama nikotin yang paling umum. Jumlah nikotin
yang terkandung dalam satu bantang rokok sekitar 1,2 - 2,9 mg. Jika seorang perokok
menghabiskan 1 pack rokok/hari, jumlah nikotin yang diabsorbsi oleh perokok
tersebut adalah 20-40 mg/hari (Papathanasiou et al, 2014).
18
Sebagai zat yang tergolong sangat adiktif, nikotin memiliki 2 pengaruh yang
sangat kuat, yaitu stimulant dan depresan. Nikotin menyebabkan deregulasi fungsi
otonom jantung, mendorong aktivasi system saraf simpatik, meningkatkan denyut
jantung, menyebabkan arteri coroner dan perifer vasokonstriksi, meningkatkan beban
kerja myokardinal, dan menstimulasi pengeluaran hormon adrenal dan katekolamin
neuronal. Selain itu, nikotin juga berhubungan dengan resistensi insulin, meningkatkan
serum lemak, dan menyebabkan intravascular inflamasi yang berkontribusi dalam
terbentuknya aterosklerosis (Papathanasiou et al, 2014).
2. Gas Karbon Monoksida (CO)
Karbon monoksida (CO) merupakan hasil dari pembakaran yang tidak
sempurna dari bahan-bahan yang mengandung karbon, seperti bensin dan tembakau.
Pada dasarnya, tingkat CO di atmosfer sangat rendah dan tidak memiliki dampak yang
berarti terhadap manusia. Karbon monoksida (CO) paling banyak dihasilkan secara
natural (alami) atau proses teknologi yang teroksidasi menjadi karbon dioksida (CO2)
di atmosfer atas (Papathanasiou et al, 2014).
Karbon monoksida (CO) bersifat toksik yang berlawanan dengan oksigen
dalam transport hemoglobin. Kandungan karbon monoksida (CO) dalam asap rokok
diketahui sebesar 3-6% (2-3 kali lebih tingggi dibandingkan dengan konsentrasi pada
cerutu dan rokok pipa) dan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang biasanya
ditemui. Jumlah CO yang dihisap oleh perokok sedikitnya 400 ppm (part per million)
sudah dapat meningkatkan kardar karboksi-hemoglobin(COHb) dalam darah sebanyak
2-16%. Sedangkan untuk orang yang bukan perokok, kadar normal karboksi-
hemglobin (COHb) hanya 1% (Ariyadin, 2008 dalam Harum, 2015).
Paparan karbon monoksida memiliki dampak terhadap proses aterosklerosis,
berkontribusi dalam akumulasi kolesterol pada aorta dan arteri koroner. Selain itu,
19
paparan CO meningkatkan kerusakan endotelial, memicu jantung iskemik atau
penyakit vaskular perifer. Dampak yang merusak dari CO lebih mendalam terdapat
pada miokardium dibandingkan dengan jaringan perifer. Hal ini dikarenakan tingginya
ekstraksi oksigen oleh miokardium pada saat istirahat (Papathanasiou et al, 2014).
3. Tar
Tar merupakan sebutan untuk residu/sisa dari hasil pembakaran tembakau
yang bersifat toksik dan merusak paru-paru. Tar membungkus silia pada saluran
pernafasan yang mengakibatkan partikel-partikel asing atau beracun tidak bisa
ditangkap oleh silia tersebut. Tar juga mengakibatkan rusaknya mukosa rongga mulut,
merusak warna gigi, gusi, serta mengurangi kepekaan pengecapan di mulut (Tirtoastro
& Murdiyati, 2010).
Komponen tar menyumbang sebagian besar zat karsinogen yang terdapat
dalam asap rokok. Salah satu komponen tersebut adalah polycyclic aromatic hydrocabons
(PAH). PAH terbentuk dari hasil pembakaran yang tidak sempurna bahan-bahan yang
mengandung senyawa hidrokarbon. PAH dapat ditemukan pada makanan yang
dimasak menggunakan suhu yang tinggi seperti daging asap dan barbeque. PAH juga
dapat ditemukan dalam rokok karena pembakaran rokok dapat mencapai suhu yang
sangat tinggi, yaitu 500-7000 C (Tirtoastro & Murdiyati, 2010).
2.1.6 Dampak Negatif Merokok Terhadap Kesehatan
Menurut Prasetya (2012), merokok mengakibatkan berbagai penyakit mulai
dari rusaknya selaput lendir hingga penyakit keganasan seperti kanker serta penyakit
lainnya. Beberapa penyakit tersebut antara lain:
20
1. Penyakit Paru
Merokok menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran napas dan
jaringan paru-paru akibat zat berbahaya yang terkandung di dalam rokok. Pada saluran
napas besar, sel mukosa membesar dan kelenjar mukus bertambah banyak sedangkan
pada saluran napas kecil terjadi peradangan hingga penyempitan akibat bertambahnya
sel dan penumpukan jaringan.
2. Penyakit jantung
Pengaruh yang utama pada penyakit jantung diakibatkan oleh dua bahan kimia
yang ada di dalam rokok, yaitu nikotin dan karbonmonoksida (CO). Nikotin
mengakibatkan gangguan irama jantung san menyebabkan sumbatan pada pembuluh
darah jantung sedangkan CO menyebabkan pasokan oksigen untuk jantung berkurang
karena berikatan dengan hemoglobin (Hb) darah.
3. Impotensi
Nikotin yang beredar di dalam darah akan dibawa ke seluruh tubuh termasuk
ke organ reproduksi. Zat ini mengganggu proses spermatogenesis sehingga kualitas
sperma menjadi buruk dan menjadi factor resiko gangguan fungsi seksual terutama
disfungsi ereksi (DE).
4. Kanker Mulut, Bibir, dan Kerongkongan
Tar yang terkandung di dalam rokok dapat mengikis selaput lender di mulut,
bibir, dan kerongkongan. Ampas tar yang tertimbum merubah sel-sel normal menjadi
sel ganas peyebab kanker.
5. Merusak Otak dan Indera
Sama halnya dengan jantung, pengaruh merokok terhadap otak dan indera juga
disebabkan karena menyempitnya pembuuh darah otak yang diakibatkan efek nikotin
sehingga pasokan oksigen ke otak dan organ lainnyaa menurun (Prasetya, 2012).
21
2.2 Konsep Daya Tahan Kardiorespirasi
2.2.1 Definisi Daya Tahan Kardiorespirasi
Daya tahan kardiorespirasi (cardiorespiratory fitness/CRF) adalah komponen
kebugaran jasmani yang terkait dengan kesehatan dan didefinisikan sebagai
kemampuan sistem peredaran darah (kardiovaskular), pernapasan (respirasi), dan otot
untuk memasok oksigen selama aktivitas fisik yang berkelanjutan (Lee et al, 2010).
Menurut Ross et al (2016), cardiorespiratory fitness (CRF) diartikan sebagai cerminan
kemampuan tubuh dalam mengangkut oksigen selama aktivitas fisik yang
berkelanjutan. Menurut McKinney et al (2016), daya tahan kardiorespirasi
(cardiorespiratory fitness/CRF) merupakan kemampuan tubuh dalam memasok dan
menggunakan oksigen selama melakukan aktivitas yang berat (latihan atau bekerja) dan
berkepanjangan. CRF mencerminkan efisiensi dari kombinasi kerja paru-paru, jantung,
sistem pembuluh darah, dan otot dalam memasok dan menggunakan oksigen.
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa daya tahan
kardiorespirasi (cardiorespiratory fitness/CRF) merupakan kemampuan tubuh (kinerja
paru-paru, jantung, sistem pembuluh darah, dan otot) dalam memasok dan
menggunakan oksigen selama aktivitas fisik.
2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya Tahan Kardiorespirasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi daya tahan kardiorespirasi pada suatu
individu sangatlah bervariasi satu dengan yang lainnya. Secara garis besar, terdapat
faktor-faktor tersebut terbagi menjadi 2, yaitu unmodified factor (meliputi: 1) jenis
kelamin, 2) usia, 3) genetik, 4) fungsi respirasi, dan 5) fungsi kardiovaskular) dan modified
factor (meliputi: 1) indeks masa tubuh, 2) latihan fisik, 3) penyakit, 4) geografis, dan 5)
merokok) (Lee et al, 2010).
22
2.2.2.1 Unmodified Factor
1. Jenis kelamin
Kemampuan aerobik wanita sekitar lebih rendah dari pria pada usia yang sama.
Hal ini disebabkan perbedaan hormonal, konsentrasi hemoglobin dan volume lebih
rendah serta lemak tubuh lebih besar. Wanita memiliki perbedaan massa otot , yang
lebih sedikit demikian pula ukuran jantung yang relatif lebih kecil sehingga stroke
volumenya lebih sedikit dari pada laki-laki (Casey et al, 2016).
2. Usia
Nilai VO2 max sangat berkaitan dengan usia, puncak nilai VO2 max dicapai
kurang lebih pada usia 18-20 tahun pada kedua jenis kelamin. Secara umum,
kemampuan aerobik turun perlahan setelah usia 25 tahun (Das, 2013), rata-rata
penurunan secara bertahap dan perlahan 1% setiap tahunnya. Setelah usia 55 tahun,
rata-rata nilai VO2 max kurang lebih 27% dari usia 20 tahunan. Usia dan penuaan
merupakan proses yang saling mempengaruhi struktur dan fungsi sel organ tubuh
termasuk fungsi kardiovaskuler, respirasi dan metabolisme (Shephard, 2008).
3. Genetik
Genetik sangat berperan dalam menetukan besarnya nilai VO2 max dan
kemampuan mencapai batas tertinggi. Kapasitas sistem sirkulasi dalam menghantarkan
darah keseluruh tubuh, Hb dan kekuatan serta massa otot merupakan faktor yang
spesifik dipengaruhi oleh genetik, demikian pula dengan fisiologi otot dalam bereaksi
dan memanfaatkan energi. (Plowman et al, 2007)
4. Fungsi Respirasi
Paru dan sistem respirasi pendukungnya menyediakan asupan oksigen bagi
tubuh. Respon sistem respirasi dalam aktifitas fisik dengan meningkatkan frekwensi
dan kedalaman pernafasan. Tetapi jumlah udara yang bisa dimasukkan kedalam paru
23
dibatasi oleh recoil paru dan volume pari itu sendiri. Jadi sistem respirasi dapat
membatasi suplai oksigen sehingga mempengaruhi pula nilai VO2 max (Guyton & Hall,
2016; Sherwood, 2010).
5. Fungsi Kardiovaskular
Respon kardiovaskuler yang paling utama terhadap aktivitas fisik adalah
peningkatan cardiac output dan stroke volume. Peningkatan ini disebabkan oleh
peningkatan isi sekuncup jantung maupun heart rate yang dapat mencapai sekitar 95%
dari tingkat maksimalnya. Karena pemakaian oksigen oleh tubuh tidak dapat lebih dari
kecepatan sistem kardiovaskuler menghantarkan oksigen ke jaringan, maka dapat
dikatakan bahwa sistem kardiovaskuler dapat membatasi nilai VO2 max terhadap
kebutuhan (demand) oksigen. Aliran darah dapat meningkat dari 4-7 ml/100g/menit
menjadi 50-70 ml/100g/menit saat terjadi penurunan resistensi vaskuler di dalam
kapiler saat otot bekerja sehingga menghasilkan ATP lebih banyak dan konsumsi
oksigen meningkat (Guyton & Hall, 2016; Sherwood, 2010).
2.2.2.2 Modified Factor
1. Indeks Masa Tubuh
Perbedaan jumlah massa dan komposisi tubuh, mempengaruhi nilai VO2 max.
Massa otot lebih banyak mengkonsumsi oksigen daripada jaringan lemak (adiposit),
sehingga dapat dilihat nilai VO2 max pada orang yang memiliki tubuh dengan massa
otot yang banyak akan berbeda dengan yang memiliki jaringan adiposit yang banyak
(Plowman et al, 2007).
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan komposisi jaringan adiposit yang banyak
pada individu berkaitan dengan nilai VO2 max yang rendah. Hal tersebut berkaitan
dengan penumpukan massa adiposit di jaringan jantung sehingga mengganggu kinerja
24
jantung (kemampuan kontraktilitas) akibat pengaruhnya pada respon sistem syaraf
autonom sehingga terjadi perubahan kemampuan dalam mengedarkan darah ke
seluruh tubuh (Lee, et al, 2010).
2. Latihan Fisik
Latihan fisik dapat meningkatkan nilai VO2 max, dan bentuk latihan fisik yang
melibatkan jumlah massa otot tubuh. Namun begitu, VO2 max ini tidak terpaku pada
nilai tertentu, tetapi dapat berubah sesuai tingkat, intensitas dan frekuensi aktivitas fisik
(Cassel, 2012) serta dapat menurun apabila latihan fisik tidak dilakukan secara teratur
(Lee et al, 2010). Nilai VO2 max mulai meningkat setelah waktu 2 bulan latihan yang
teratur, besarnya peningkatan antara 5-30% (Plowman et al, 2007).
3. Penyakit
Kondisi dan fungsi dari sistem respirasi, jantung dan pembuluh darah serta
muskuloskeletal sangat mempengaruhi nilai VO2 max. Selain hal tersebut beberapa
kondisi lain seperti hipertensi, diabetes, hiperkolesterol atau HDL yang rendah juga
menurunkan VO2 max dan kesehatan kardiorespirasi secara umum (Lee et al, 2010).
4. Geografis
Nilai VO2 max pada orang yang berada di dataran tinggi lebih baik dibandingkan
dengan orang yang ada di dataran rendah. Hal ini disebabkan karena kadar oksigen di
dataran tinggi cenderung rendah yang menyebabkan ventilasi paru akan meningkat,
peningkatan Hb meningkatnya vaskularisasi jaringan. Paparan partial pressure of
oxygen/tekanan parsial oksigen (PO2) yang rendah merangsang hipoksik pada
kemoreseptor, meningkatkan ventilasi alveolus ke nilai maksimun, yaitu sebesar 65%
yang membuat volume paru pada orang di dataran tinggi menjadi lebih besar karena
telah mengalami aklimatisasi secara alami (Wibowo, 2013).
25
5. Merokok
Merokok diketahui memiliki pengaruh terhadap nilai VO2 max. Hal ini
disebabkan karena kandungan zat kimia pada rokok, khususnya nikotin dan karbon
monoksida yang menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah, peningkatan resistensi
tekanan pembuluh darah, peningkatan kerja jantung, dan menurunkan afinitas Hb
terhadap O2 akibat tingginya kadar CO di dalam darah. Akibatnya, proses produksi,
transportasi dan penggunaan O2 di dalam tubuh mengalami gangguan (Papathanasiou,
2014).
2.2.3 Pengukuran Daya Tahan Kardiorespirasi
Daya tahan kardiorespirasi (cardiorespiratory fitness/CRF) merupakan salah satu
faktor yang menentukan kemampuan dan ketahanan tubuh dalam melaksanakan
aktivitas jangka panjang dan termasuk unsur kebugaran jasmani yang paling penting.
Gold standart dalam mengetahui daya tahan kardiorespirasi adalah dengan penilaian
terhadap maximal oxygen consumption (VO2 max) (Pate et al, 2012).
Maximal Oxygen Consumption (VO2 max) adalah jumlah oksigen (O2) maksimum
yang dikonsumsi selama melakukan aktivitas fisik hingga mengalami kelelahan. VO2
max merupakan indikator terbaik dan independen dalam menentukan kapasitas daya
tahan kardiorespirasi individu (Smirmaul et al, 2013)
Menurut Heyward & Gibson (2014), beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
melakukan penilaian VO2 max, antara lain: 1) ergocycle test, 2) treadmill test, 3) field test, dan
4) step test.
1. Ergocycle test
Ergocycle test ideal untuk orang yang obesitas, wanita hamil dan kelompok pasien
yang memiliki resiko meningkat untuk kejadian jatuh. Tes ini diketahui memiliki efek
26
samping yang sedikit dan memberikan ketetapan keakuratan hasil. Dilakukan dengan
menggunakan sepeda statis yang dikayuh untuk mendapatkan beban kerja. Beban kerja
dapat diberikan secara kontinyu atau intermiten. Ergometer sepeda ini dapat mekanik
atau elektrik, serta dapat digunakan dalam posisi tegak lurus maupun supinasi.
Dipasang electrocardiography (EKG) untuk merekam kerja jantung, serta dilakukan
pengukuran tekanan darah probandus pada permulaan dan akhir pembebanan. Nilai
VO2 max bisa didapat dengan menggunakan nomogram Astrand, khususnya
menggunakan skala beban kerja. Beban kerja dapat dinyatakan dalam unit standar,
sehingga hasil tes dapat dibandingkan satu sama lain (Heyward & Gibson, 2014).
2. Treadmill test
Merupakan tes yang ideal terutama untuk kebutuhan klinik karena kecepatan
dan kemiringannya dapat diatur. Kegiatan lari atau jalan di atas treadmil sudah tidak
asing lagi, tetapi bagi orang yang baru, dapat menimbulkan kecemasan tersendiri. Jika
menggunakan pemantauan EKG hasilnya kurang bersih dibandingkan dengan
menggunakan sepeda (Lee et al, 2010).
Beberapa protokol yang dapat digunakan dalam pemeriksaan dengan treadmill
adalah: (1) Metode Mitchell, Sproule, dan Chapman, (2) Metode Saltin-Astrand, dan
(3) Metode OSU (Nasution, 2012). Keuntungan menggunakan treadmill meliputi nilai
beban kerja yang konstan, kemudahan mengatur beban kerja pada level yang
diinginkan, serta mudah dilakukan karena hampir semua orang terbiasa dengan
keahlian yang dibutuhkan (berjalan dan berlari). Meskipun demikian, karena alatnya
mahal dan berat, tes ini tidak praktis dilakukan di tempat kerja (Sartor, et al, 2013).
3. Field test
Field test didesain untuk dapat dilakukan dengan jumlah peserta yang banyak
dalam waktu bersamaan serta tanpa menggunakan alat yang mahal atau sulit/ khusus.
27
Tes ini cocok digunakan untuk mengetahui daya tahan kardiorespirasi pada laki-laki
(≤45 tahun) dan wanita (≤55 tahun) yang sehat (Heyward & Gibson, 2014).
Berbagai jenis field test antara lain: (1) 1 mile (1,6 km) walk/run test, (2) 1,5 mile
(2,4 km) walk/run test, (3) Cooper 12 minute run test, (4) 12 minute cycling test, (5) 12 minute
swim test, dan (6) Balke 15 minute run test (Hoeger W & Hoerger SA, 2010; Heyward &
Gibson, 2014).
Cooper 12 minute walk/run (lari/jalan 12 menit) merupakan salah satu
pengukuran VO2 max yang paling popular. Tes ini termasuk bagian dari field test
dengan pengaplikasian yang mudah, murah, dah tidak memerlukan alat khusus dan
tidak memerlukan pengawasan ketat, tetapi memiliki tingkat akurasi yang tinggi untuk
mengukur nilai VO2 max. Tes ini juga relatif aman, tetapi untuk orang yang diketahui
memiliki gangguan pada sistem kardiovaskular maupun sistem respirasi, tes ini harus
dihindari (Lee et al, 2010; Sartor et al, 2013).
Menurut Cooper & Storer (2001), prosedur dalam pelaksanaan tes Cooper ini
adalah sebagai berikut:
1. Subjek diperkenalkan protokol dan prosedur Cooper test serta diberikan instruksi
untuk melakukan (lari) secara bersunguh-sungguh sesuai dengan kemampuan
untuk mencapai nilai konsumsi oksigen maksimalnya.
2. Subjek diberikan instruksi untuk berlari sejauh mungkin selama 12 menit, berjalan
diperbolehkan.
3. Sebelum melaksanakan tes Cooper, subjek harus melakukan pemanasan dan strecth
(peregangan) otot.
4. Instruktur memerintahkan lari dan menghentikan kegiatan lari/jalan setelah
mencapai waktu 12 menit dan mencatat jarak yang dapat ditempuh subjek dalam 12
28
menit tersebut. Agar jarak yang ditempuh subjek dapat diketahui dengan tepat, pada
lintasan lari diberi penanda setiap jarak 50 meter.
5. Jarak yang ditempuh dicatat dengan menjumlah putaran yang diselesaikan dan jarak
terakhir yang telah dilalui.
Jarak yang telah dicatat kemudian dimasukkan ke dalam rumus di bawah ini untuk
mengetahui nilai VO2 max:
VO2 max (ml/kg/menit) = (Jarak yang ditempuh dalam meter ─ 504,9) ÷ 44, 73
atau mengunakan rumus berikut:
VO2 max (ml/kg/menit) = 22,351 × jarak yang ditempuh dalam kilometer ─ 11, 228
Kemudian, nilai VO2 max yang telah diketahui dibandingkan dengan tabel Cooper tes
yang sudah memuat 6 kategori nilai VO2 max, dapat dilihat pada Tabel 2.4 dan 2.5
berikut:
Tabel 2.4 Kategori Nilai VO2 max laki-laki Usia
(tahun) Sangat buruk
Buruk Cukup Baik Sangat Baik Superior
13-19 <35,0 35,0 - 38,3 38,4 - 45,1 45,2 - 50,9 51,0 - 55,9 >55,9
20-29 <33,0 33,0 - 36,4 36,5 - 42,4 42,5 - 46,4 46,5 - 52,4 >52,4
30-39 <31,5 31,5 - 35,4 35,5 - 40,9 41,0 - 44,9 45,0 - 49,4 >49,4
40-49 <30,2 30,2 - 33,5 33,6 - 38,9 39,0 - 43,7 43,8 - 48,0 >48,0
50-59 <26,1 26,1 - 30,9 31,0 - 35,7 35,8 - 40,9 41,0 - 45,3 >45,3
60+ <20,5 20,5 - 26,0 26,1 - 32,2 32,3 - 36,4 36,5 - 44,2 >44,2
(Sumber: Australian College of Sport & Fitness [ACSF], 2013; Heyward & Gibson, 2014)
Tabel 2.5 Kategori Nilai VO2 max perempuan Usia
(tahun) Sangat buruk
Buruk Cukup Baik Sangat Baik Superior
13-19 <25.0 25,0 - 30,9 31,0 - 34,9 35,0 - 38,9 39,0 - 41,9 >41,9
20-29 <23,6 23,6 - 28,9 29,0 - 32,9 33,0 - 36,9 37,0 - 41,0 >41,0
30-39 <22,8 22,8 - 26,9 27,0 - 31,4 31,5 - 35,6 35,7 - 40,0 >40,0
40-49 <21,0 21,0 - 24,4 24,5 - 28,9 29,0 - 32,8 32,9 - 36,9 >36,9
50-59 <20,2 20,2 - 22,7 22,8 - 26,9 27,0 - 31,4 31,5 - 35,7 >35,7
60+ <17,5 17,5 - 20,1 20,2 - 24,4 24,5 - 30,2 30,3 - 31,4 >31,4
(Sumber: ACSF, 2013; Heyward & Gibson, 2014)
Dapat pula membandingkan dengan tabel tes Cooper yang memuat 5 kategori VO2
max berdasarkan jarak tempuh, dapat dilihat pada Tabel 2.6 dan 2.7 berikut:
29
Tabel 2.6 Kategori Nilai VO2 max laki-laki berdasarkan jarak tempuh (meter)
Usia (tahun) Sangat Baik Baik Rata-Rata Kurang Sangat Kurang
13-14 >2700 2400 - 2700 2200 - 2399 2100 - 2199 <2100
15-16 >2800 2500 - 2800 2300 - 2499 2200 - 2299 <2200
17-20 >3000 2700 - 3000 2500 - 2699 2300 - 2499 <2300
20-29 >2800 2400 - 2800 2200 - 2399 1600 - 2199 <1600
30-39 >2700 2300 - 2700 1900 - 2299 1500 - 1899 <1500
40-49 >2500 2100 - 2500 1700 - 2099 1400 - 1699 <1400
≥50 >2400 2000 - 2400 1600 - 1999 1300 - 1599 <1300
(Sumber: ACSF, 2013; Heyward & Gibson, 2014)
Tabel 2.7 Kategori Nilai VO2 max perempuan berdasarkan jarak tempuh (meter)
Usia (tahun) Sangat Baik Baik Rata-Rata Kurang Sangat Kurang
13-14 >2000 1900 - 2000 1600 - 1899 1500 - 1599 <1500
15-16 >2100 2000 - 2100 1700 - 1999 1600 - 1699 <1600
17-20 >2300 2100 - 2300 1800 - 2099 1700 - 1799 <1700
20-29 >2700 2200 - 2700 1800 - 2199 1500 - 1799 <1500
30-39 >2500 2000 - 2500 1700 - 1999 1400 - 1699 <1400
40-49 >2300 1900 - 2300 1500 - 1899 1200 - 1499 <1200
≥50 >2200 1700 - 2200 1400 - 1699 1100 - 1399 <1100
(Sumber: ACSF, 2013; Heyward & Gibson, 2014)
4. Step test
Keuntungan utama dalam penggunaan step test untuk mengetahui daya tahan
kardiorespirasi adalah dapat dilakukan pada kelompok besar tanpa menggunakan
peralatan yang mahal ataupun personel yang terlatih. Hampir semua jenis step test
menggunakan postexercise dan recovery heart rate (denyut jantung) yang kemudian
dimasukkan ke dalam rumus untuk mengestimasi nilai VO2 max (Heyward & Gibson,
2014).
Terdapat beberapa jenis step test, anatara lain: (1) Chester Step Test, (2) Personalised
Step Test, (3) STEP Tool Protocol, (4) Queen’s College Step Test, (5) Height-Adjusted, Rate-
Specific, Single-Stage Step Test, (6) Astrand-Rhyming Step Test, (7) Skubic And Hodgkins Step
Test, dan (8) Modified YMCA 3-Min Step Test (Bennett et al, 2015).
2.2.4 Peran Sistem Kardiovaskular dalam Daya Tahan Kardiorespirasi
Sistem kardiovaskular merupakan sistem organ yang terdiri atas jantung yang
berperan sebagai pompa dengan salurannya yang rumit (arteri, vena, kapiler) yang
30
melintasi seluruh tubuh untuk membawa darah. Darah mengandung oksigen, nutrisi,
limbah, sel imunitas dan sel fungsional lainnya yang berfungsi untuk homeostasis dan
fungsi dasar sel serta organ manusia (Buddiga, 2014; Guyton & Hall, 2016).
Jantung merupakan organ berotot yang memiliki berat antara 250-350 gram
yang terletak di tengah-tengah paru-paru dan berada di sepanjang garis tengah toraks
(dada) sehingga sekitar 2/3 jantung terletak di sisi kiri tubuh dan 1/3 yang lainnya di
sisi kanan tubuh (Guyton & Hall, 2016).
Jantung terdiri atas 2 sisi (jantung kanan dan kiri) yang masing-masing terdiri
atas satu atrium dan satu ventrikel. Jantung bagian kanan memompa darah ke paru-
paru (pulmonal), dan jantung bagian kiri memompa darah menuju sirkulasi sistemik
yang mensuplai aliran darah ke seluruh organ dan jaringan tubuh. Setiap bagian jantung
tersebut terdiri atas satu atrium dan satu ventrikel. Atrium merupakan pompa utama
yang lemah untuk ventrikel, membantu memindahkan darah menuju ventrikel.
Ventrikel kemudian menjadi kekuatan pemompa utama yang medorong dan mensuplai
darah menuju (1) sirkulasi paru-paru (pulmonal) melalui ventrikel kanan dan (2)
menuju sirkulasi sistemik melalui ventrikel kiri yang dialirkan melalui pembuluh darah
(Buddiga, 2014; Guyton & Hall, 2016).
Hal yang paling utama dan dibutuhkan pada fungsi sistem kardiovaskular
ketika tubuh melakukan aktivitas fisik yang berat (olahraga) adalah untuk memberikan
kecukupan oksigen dan nutrien lainnya kepada otot yang membutuhkannya. Agar
tujuan itu dapat tercapai, aliran darah ke otot meningkat dengan derastis ketika aktivitas
fisik berat (olahraga). Namun, tidak hanya meningkat berlipat-lipat, aliran darah juga
akan menurun di setiap kontraksi otot. Hal ini berlangsung secara sementara karena
pembuluh darah intramuskular akan tertekan ketika otot rangka berkontraksi (Guyton
& Hall, 2016).
31
Peningkatan aliran darah ini hampir setengahnya diakibatkan dari vasodilatasi
intramuskular yang menyebabkan dampak langsung dalam meningkatkan metabolisme
otot. Sisanya, peningkatan ini terjadi karena berbagai faktor lain dan faktor yang paling
mempengaruhi adalah peningkatan tekanan darah arteri sebesar 30% pada saat aktivitas
berat (olahraga). Peningkatan tekanan darah tidak hanya membuat lebih banyak darah
melewati pembuluh darah, tetapi juga meregangkan dinding arteriol sehingga resistensi
vaskular berkurang. Oleh karena itu, tekanan darah yang meningkat sebesar 30% dapat
melipat gandakan aliran darah yang sudah meningkat akibat vasodilatasi metabolik
(Guyton & Hall, 2016).
Selain itu, cardiac output akan meningkat pada saat olahraga. Cardiac output
merupakan total volume darah tubuh yang mampu di pompa oleh jantung selama satu
menit. Pada umumnya, total volume darah tubuh yang dipompa berkisar 5 - 5,5
liter/menit, sedangkan pada saat aktivitas berat (olahraga) cardiac output akan meningkat
menjadi 20-25 liter/menit (Sherwood, 2010).
Peningkatan cardiac output ini karena meningkatnya heart rate yang diakibatkan
oleh aktivasi saraf simpatis jantung, dihambatnya nervus vagus, dan meningkatnya
hormon epinefrin yang disekresikan ke dalam darah dari medula adrenal pada stimulasi
saraf simpatis. Selain itu, peningkatan cardiac output juga dipengaruhi oleh stroke volume,
yaitu jumlah darah yang dipompa keluar oleh ventrikel setiap kali berdenyut. Stroke
volume dikontrol melalui dua cara: (1) kontrol intrinsik, berhubungan dengan aliran
balik vena dan (2) kontrol ekstrinsik, berhubungan dengan stimulasi saraf simpatis
jantung. Kedua cara ini meningkatkan stroke volume dengan membuat kontraksi
jantung lebih kuat (Sherwood, 2010).
32
2.2.5 Peran Sistem Respirasi dalam Daya Tahan Kardiorespirasi
Sistem respirasi pada tubuh manusia terdiri atas saluran pernafasan yang
menuju ke paru-paru, paru-paru itu sendiri, dan struktur toraks (dada) yang terlibat
dalam menghasilkan pergerakan udara melalui saluran pernafasan untuk masuk dan
keluar dari paru-paru sehingga membuat proses bernafas dapat terjadi (Sherwood,
2010). Sistem respirasi akan menyertai respon kardiovaskular ketika tubuh melakukan
aktivitas berat (olahraga) untuk menjaga agar konsentrasi O2, CO2 dan H+ (hidrogen)
di jaringan selalu tepat sehingga tubuh tidak kelelahan akibat kurang O2 dan kelebihan
CO2 serta H+.
Ketika tubuh melakukan aktivitas berat (berolahraga) mengakibat lebih banyak
O2 yang diekstraksi dari alveoli dan mengakibatkan CO2 serta H+ di dalam darah juga
semakin banyak karena jaringan melakukan metabolisme lebih aktif. Hal ini membuat
sistem respirasi merespon melalui 4 hal, yaitu: 1) ventilasi pulmonal (paru), yang berarti
memasukkan dan mengeluarkan udara antara atmosfer dan alveoli paru-paru; (2) difusi
oksigen (O2) dan karbon dioksida (CO2) antara alveoli dan darah; (3) transport oksigen
dan karbon dioksida di dalam darah dan cairan tubuh menuju jaringan sel tubuh; dan
(4) pengaturan ventilasi dan aspek-aspek respirasi lainnya (Guyton & Hall, 2016;
Sherwood, 2010).
1. Ventilasi Pulmonal
Paru-paru dapat mengembang (ekspansi) dan mengempis (kontraksi) melalui
dua acara: (1) dengan menggerakkan diafragma naik dan turun untuk memperbesar
atau memperkecil rongga dada, dan (2) dengan elevasi dan depresi tulang rusuk untuk
meningkatkan dan menurunkan diameter anteroposterior rongga dada. Penafasan
normal yang tenang hampir seluruhnya dapat dicapai dengan metode yang pertama,
yaitu dengan pergerakan diafragma. Namun, ketika melakukan aktivitas yang
33
memerlukan oksigen dalam jumlah yang banyak seperti berolahraga, tubuh juga akan
mengembang dan mengempis dengan cara yang kedua (Guyton & Hall, 2016).
Mengangkat tulang rusuk dapat mengembangkan paru-paru karena pada posisi
alami saat istirahat, tulang rusuk miring ke bawah yang mengakibatkan sternum turun
ke belakang menuju arah kolumna vertebralis. Namun, ketika tulang rusuk dinaikkan
(elevasi), tulang rusuk akan mengarah ke depan yang mengakibatkan sternum juga
mengarah kedepan dan menjauh dari tulang belakang. Hal ini membuat jarak
anteropsterior dada lebih besar sekitar 20% pada saat inspirasi maksimal dibandingkan
saat ekspirasi sehingga oksigen yang masuk juga akan lebih banyak (Guyton & Hall,
2016).
2. Difusi oksigen (O2) dan karbon dioksida (CO2)
Hal terpenting dari proses ventilasi paru adalah untuk terus memperbarui udara
di area pertukaran gas dalam paru-paru, dimana udara berada dekat dengan darah
kapiler paru. Area ini didalamnya termasuk alveoli, alveolar sacs, alveolar ducts, dan
respiratory bronchioles. Tingkat ketika udara baru mencapai area ini disebut ventilasi
alveolar (Guyton & Hall, 2016).
Ketika proses inspirasi, O2 dari udara yang segar akan berdifusi dari atmosfer
menuju alveolar untuk mengganti oksigen dari udara yang lama. Oksigen yang telah
sampai di alveoli dari udara yang baru, selanjutnya berdifusi keluar dari alveoli menuju
kapiler paru. Hal ini karena kapiler paru memiliki tekanan parsial yang lebih rendah (40
mmHg) dibandingkan dengan alveoli (100 mmHg) (Sherwood, 2010).
Situasi serupa terjadi secara terbalik untuk CO2. Karbon dioksida yang terus
diproduksi oleh jaringan tubuh sebagai produk sisa metabolik terus menerus
ditambahkan ke dalam darah pada tingkat kapiler sistemik. Dalam kapiler paru, CO2
berdifusi turun berdasarkan partial pressure gradient, dari darah menuju alveoli dan
34
selanjutnya dikeluarkan dari tubuh ketika proses ekspirasi. Hal ini dikarenakan tekanan
parsial CO2 pada kapiler paru adalah 46 mmHg, sedangkan CO2 pada alveoli adalah 40
mmHg (Guyton & Hall, 2016; Sherwood, 2010
3. Transport oksigen (O2) dan karbon dioksida (CO2)
Oksigen yang diambil oleh darah di paru-paru harus diangkut menuju ke
jaringan untuk digunakan oleh sel. Sebaliknya, CO2 yang diproduksi di tingkat sel harus
diangkut ke paru-paru untuk dikeluarkan.
Oksigen mampu berada di dalam darah melalui dua cara, yaitu larut secara fisik
dan berikatan dengan hemoglobin. O2 yang larut secara fisik dalam cairan plasma
sangatlah sedikit. Hal ini karena O2 sulit larut dalam cairan tubuh. Jumlah PO2 (tekanan
parsial oksigen) berbanding lurus dengan jumlah O2 yang terlarut. Semakin besar PO2,
maka semakin banyak O2 yang terlarut. Namun, mekanisme ini hanya menyebabkan
O2 larut dalam darah sebanyak 1,5%, sedangkan sisanya yaitu sebesar 98,5% diangkut
dalam kombinasi dengan Hb yang disebut dengan oksihemoglobin (HbO2) (Sherwood,
2010).
Sementara itu, ketika darah arteri mengalir melalui jaringan kapiler, CO2
berdifusi turun berdasarkan partial pressure gradient, dari jaringan sel menuju darah.
Menurut Guyton & Hall (2016), karbon dioksida dalam darah diangkut melalui tiga
cara, yaitu: 1) larut secara fisik sebanyak 10%, 2) berikatan dengan hemoglobin
sebanyak 30%, dan 3) diangkut sebagai bikarbonat sebanyak 60%.
4. Pengaturan Pernapasan
Pusat pernapasan terdiri dari beberapa kelompok neuron yang terletak bilateral
di medula oblongata dan pons pada batang otak. Kelompok neuron ini terbagi menjadi
3 kelompok utama, yaitu: (1) kelompok pernapasan dorsal, terletak pada bagian dorsal
di medula oblongata, memiliki fungsi utama dalam menyebabkan inspirasi; (2)
35
kelompok pernapasan ventral, terletak pada bagian ventrolateral di medula oblongata,
memiliki fungsi utama dalam menyebabkan ekspirasi; dan (3) pusat pneumotaxic,
terletak pada bagian dorsal di pons superior., memiliki fungsi utama untuk
mengeontrol kecepatan dan kedalaman pernapasan (Guyton & Hall, 2016).
Pusat pernapasan medula menerima input untuk melakukan pertukaran gas,
kemudian direspon dengan mengirimkan sinyal menuju neuron motorik yang
menginervasi otot-otot pernapasan agar dapat mengatur kecepatan dan kedalaman
pernapasan. Terdapat dua sinyal yang paling mempengaruhi dalam peningkatan
pernapasan, yaitu menurunnya tekanan parsial oksigen (PO2) di arteri atau
meningkatnya partial pressure of carbon dioxide/tekanan parsial karbon dioksida (PCO2) di
arteri (PCO2). Stimulasi peningkatan pernapasan ini bertujuan untuk menyediakan
lebih banyak O2 dan untuk menghilangkan CO2 dan H+ yang berlebih agar
keseimbangan O2, CO2 dan H+ di jaringan selalu terjaga sehingga tubuh tidak kelelahan
(Sherwood, 2010).
2.3 Hubungan Kebiasaan Merokok Terhadap Daya Tahan Kardiorespirasi
Rokok mengandung lebih dari 5000 bahan kimia yang sangat berbahaya bagi
tubuh khususnya pada fungsi kardiovaskular dan respirasi. Bahan kimia berbahaya
tersebut antara lain nikotin, karbon monoksida (CO), tar, nitrogen monoksida (NO),
nitrogen dioksida (NO2), oxidative gases, polycyclic aromatic hydrocarbons, carbonyls, butadiene,
carbon disulphide, dan benzene (Talhout et al, 2011).
Asap rokok yang dihirup masuk ke saluran pernapasan menyebabkan
lumpuhnya silia pada permukaan sel epitel pernapasan yang biasanya berfungsi untuk
menghilangkan cairan berlebih dan partikel asing yang berada di jalan napas,
mengakibatkan partikel dan cairan tersebut terakumulasi di jalan napas yang kemudian
36
mengakibatkan kesulitan bernapas. Asap rokok juga membuat pangkal bronkiolus di
paru-paru menyempit, mengakibatkan peningkatan resistensi aliran udara menuju
masuk dan keluar paru-paru. Selain itu, pengaruh iritasi dari asap rokok mengakibatkan
peningkatan sekresi cairan menuju bronchial tree dan menyebabkan pembengkakan di
beberapa lapisan epitel sehingga membatasi udara bergerak masuk dan keluar paru
(Guyton & Hall, 2016).
Selain mempengaruhi sistem pernapasan, zat kimia yang terkandung di dalam
rokok juga mempengaruhi sistem kardiovaskular. Beberapa zat kimia yang
mempengaruhi sistem kardiovaskular adalah nikotin dan karbon monoksida
(Papathanasiou, 2014). Kandungan nikotin pada asap rokok mengakibatkan
peningkatan denyut jantung yang membuat jatung harus bekerja lebih keras
dibandingkan pada bukan perokok. Nikotin juga menyempitkan pembuluh darah, yang
mengakibatkan berkurangnya aliran darah dan meningkatnya tekanan darah (Bustan,
2013).
Karbon monoksida (CO) yang juga terkandung di dalam asap rokok
mengakibatkan berkurangnya hemoglobin (Hb) yang mengangkut oksigen (O2) karena
antara hemoglobin dan karbon monoksida memiliki afinitas 200 kali lebih besar
dibandingkan dengan afinitas hemoglobin dan oksigen. Hal ini mengakibatkan CO
lebih mudah berikatan dengan Hb dan pada akhirnya tubuh akan kekurangan oksigen
di dalam darah (Papathanasiou, 2014).
Nikotin dan karbon monoksida yang terkandung di dalam asap rokok juga
dapat merusak lapisan dalam pembuluh darah, meningkatkan fibrinogen dan zat
penggumpal darah (blood-cloting factor) serta mengurangi kolesterol HDL (kolesterol
baik). Jika fibrinogen tinggi dan kolesterol HDL kurang, darah akan menjadi lebih
kental dan lemak akan mudah bertumpuk membentuk plak di saluran pembuluh darah.
37
Hal ini akan menjadi proses awal terjadinya aterosklerosis yang dapat menyebabkan
terjadinya berbagai penyakit kardiovaskuler (Bustan, 2013).
Berbagai dampak yang diakibatkan oleh merokok di atas mengakibatkan
menurunnya kemampuan tubuh khususnya sistem kardiovaskular, sistem respirasi dan
otot dalam mensuplai dan menggunakan oksigen selama melakukan aktivitas berat
(olahraga) yang berkepanjangan atau yang lebih dikenal dengan istilah daya tahan
kardiorespirasi (cardiorespiratory fitness/CRF). Penurunan daya tahan kardiorespirasi ini
ditandai dengan cepat lelah bahkan sesak napas saat beraktivitas berat (olahraga)
(Bustan, 2013; Lee et al, 2010; Papathanasiou, 2014).