Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini, penulis akan menjelaskan tentang teori “Asuhan Keperawatan Pasien
Diabetes Mellitus dengan masalah Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah”. Pada
bab ini juga akan disajikan materi sebagai berikut: konsep diabetes mellitus, konsep
Ketidakstabilan kadar glukosa darah dan asuhan keperawatan diabetes mellitus
dengan ketidakstabilan kadar glukosa darah.
2.1 Konsep Diabetes Mellitus
2.1.1 Pengertian
Diabetes melitus adalah penyakit yang disebabkan oleh gagalnya penguraian
zat gula didalam tubuh (darah) pada tubuh normal, zat gula harus diurai
menjadi glukosa dan glikogen oleh hormon insulin yang diproduksi sel beta
pankreas. Glukosa dan glikogen inilah yang kemudian oleh tubuh melalui
proses metabolisme atau pembakaran diubah menjadi energi (Hartini, 2009).
2.1.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus
1) Diabetes tipe 1
Diabetes tipe 1 biasanya terjadi pada remaja atau anak, dan terjadi karena
kerusakan sel β (beta). Rusaknya sel β pankreas diduga karena proses
autoimun, namun hal ini juga tidak diketahui secara pasti. Diabetes tipe 1
rentan terhadap ketoasidosis, memiliki insidensi lebih sedikit
9
dibandingkan diabetes tipe 2, akan meningkat setiap tahun baik di negara
maju maupun di negara berkembang (Merck, 2008).
2) Diabetes tipe 2
Diabetes tipe 2 ini tidak ada kerusakan pada pankreas dan dapat
menghasilkan insulin, bahkan terkadang insulin pada tingkat tinggi dari
normal. Akan tetapi, tubuh manusia resisten terhadap efek insulin, sehingga
tidak ada insulin yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Diabetes
tipe 2 biasanya terjadi pada usia dewasa. Seringkali diabetes tipe 2
didiagnosis beberapa tahun setelah onset, yaitu setelah komplikasi muncul
sehingga tinggi insidensinya sekitar 90% dari penderita DM di seluruh
dunia dan sebagian besar merupakan akibat dari memburuknya faktor risiko
seperti kelebihan berat badan dan kurangnya aktivitas fisik (Merck, 2008).
3) Diabetes gestational
Gestational diabetes mellitus adalah diabetes yang didiagnosis selama
kehamilan dengan ditandai dengan hiperglikemia (kadar glukosa darah di
atas normal). Wanita dengan diabetes gestational memiliki peningkatan
risiko komplikasi selama kehamilan dan saat melahirkan, serta memiliki
risiko diabetes tipe 2 yang lebih tinggi di masa depan (CDA, 2013).
4) Tipe diabetes lainnya
Diabetes melitus tipe khusus merupakan diabetes yang terjadi karena
adanya kerusakan pada pankreas yang memproduksi insulin dan mutasi
gen serta mengganggu sel beta pankreas, sehingga mengakibatkan
kegagalan dalam menghasilkan insulin secara teratur sesuai dengan
kebutuhan tubuh. Sindrom hormonal yang dapat mengganggu sekresi
10
dan menghambat kerja insulin yaitu sindrom chusing, akromegali dan
indrom genetik (ADA, 2015).
2.1.3 Etiologi Diabetes Mellitus
Faktor penyebab diabetes mellitus (Smeltzer, 2012) antara lain :
1) DM Tipe 1
a) Faktor genetik
Penderita DM tidak mewarisi DM tipe 1 itu sendiri, tetapi mewarisi suatu
kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe 1. Kecenderungan
genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA
(Human Leucocyte Antigen) tertentu.
b) Faktor imunologi
Respon abnormal dimana Antibodi terarah pada jaringan normal tubuh
dengan cara bereaksi dengan jaringan tersebut sebagai jaringan asing.
c) Faktor lingkungan
Virus / toksin tertentu dapat memacu proses yang dapat menimbulkan
distruksi sel beta.
2) DM Tipe 2
Faktor resiko yang berhubungan adalah obesitas, riwayat keluarga, usia
(Suddarth, 2008).
2.1.4 Faktor Resiko Diabetes Mellitus
1) Faktor risiko yang dapat diubah
11
a) Gaya hidup
Gaya hidup merupakan perilaku seseorang yang ditunjukkan dalam
aktivitas sehari-hari. Makanan cepat saji, olahraga tidak teratur dan
minuman bersoda adalah salah satu gaya hidup yang dapat memicu
terjadinya DM tipe 2 (ADA, 2009).
b) Pola makan yang tidak sehat
Diet yang digunakan sebagai bahan penatalaksanaan Diabetes mellitus
dikontrol berdasarkan kandungan energi, protein, lemak, karbohidrat. Jenis
makanan yang menyebabkan terjadinya Diabetes mellitus adalah jenis
makanan yang mengandung banyak kolesterol, lemak trans dan lemak jenuh
serta makanan yang mengandung tinggi natrium (Almatsier, 2008). Pola
makan yang tinggi lemak, garam dan gula mengakibatkan masyarakat
cenderung mengkonsumsi makanan secara berlebihan. Selain itu pola
makanan yang serba instan saat ini memang sangat digemari oleh sebagian
masyarakat, tetapi dapat mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah
(Suyono, 2013).
c) Obesitas
Obesitas merupakan salah satu faktor risiko utama untuk terjadinya penyakit
DM. Obesitas dapat membuat sel tidak sensitif terhadap insulin (resisten
insulin). Semakin banyak jaringan lemak pada tubuh, maka tubuh semakin
resisten terhadap kerja insulin, terutama bila lemak tubuh terkumpul
didaerah sentral atau perut (central obesity) (Kariadi, 2009).
12
2) Faktor risiko yang tidak dapat diubah
a) Usia
Semakin bertambahnya usia maka semakin tinggi risiko terkena diabetes
mellitus. Meningkatnya risiko DM seiring dengan bertambahnya usia
dikaitkan dengan terjadinya penurunan fungsi fisiologis tubuh (Fathmi,
2012).
b) Riwayat keluarga diabetes melitus
Seorang anak dapat diwarisi gen penyebab DM orang tua. Biasanya,
seseorang yang menderita DM mempunyai anggota keluarga yang juga
terkena penyakit tersebut (Ehsa, 2010). Fakta menunjukkan bahwa mereka
yang memiliki ibu penderita DM tingkat risiko terkena DM sebesar 3,4 kali
lipat lebih tinggi dan 3,5 kali lipat lebih tinggi jika memiliki ayah penderita
DM. Apabila kedua orangtua menderita DM, maka akan memiliki risiko
terkena DM sebesar 6,1 kali lipat lebih tinggi (Sahlasaida, 2015).
c) Riwayat diabetes pada kehamilan
Mendapatkan diabetes selama kehamilan atau melahirkan bayi lebih dari 4,5
kg dapat meningkatkan risiko DM tipe 2 (Ehsa, 2010).
2.1.5 Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus
Beberapa gejala umum yang dapat ditimbulkan oleh penyakit DM
diantaranya :
1) Pengeluaran urin berlebih (Poliuria)
Poliuria adalah keadaan dimana volume air kemih dalam 24 jam meningkat
melebihi batas normal. Poliuria timbul sebagai gejala DM dikarenakan
kadar gula dalam tubuh relatif tinggi sehingga tubuh tidak sanggup untuk
13
mengurainya dan berusaha untuk mengeluarkannya melalui urin. Gejala
pengeluaran urin ini lebih sering terjadi pada malam hari dan urin yang
dikeluarkan mengandung glukosa (Soegondo, 2014).
2) Timbul rasa haus (Polidipsia)
Poidipsia adalah rasa haus berlebihan yang timbul karena kadar glukosa
terbawa oleh urin sehingga tubuh merespon untuk meningkatkan asupan
cairan (Subekti, 2009).
3) Timbul rasa lapar (Polifagia)
Pasien DM akan merasa cepat lapar dan lemas, hal tersebut disebabkan
karena glukosa dalam tubuh semakin habis sedangkan kadar glukosa dalam
darah cukup tinggi (Soegondo, 2014).
4) Penyusutan berat badan
Penyusutan berat badan pada pasien DM disebabkan karena tubuh terpaksa
mengambil dan membakar lemak sebagai cadangan energi (Subekti, 2009).
5) Gangguan penglihatan
Tingginya kadar gula darah pada penyakit Diabetes mellitus dapat
mengakibatkan gangguan pengelihatan berupa lesi mikrovaskular pada
retina. Kerusakan yang terjadi pada retina menyebabkan penurunana fungsi
macula yang merupakan bagian dari retina yang banyak terdapat sel sel foto
reseptor, khususnya sel kerucut. Gangguan pengelihatan yang umum terjadi
pada orang dengan Diabetes mellitus seperti retinopati, katarak, dan
glaukoma, ketiganya dipengaruhi oleh tingginya kadar gula darah dalam
tubuh penderita, selain itu gangguan pengelihatan dapat terjadi karena
14
penebalan dan penyempitan pembuuh darah, sehingga nutrisi yang
seharusnya didapat oleh sel sel mata terhambat (Septadina, 2015).
6) Kelelahan
Kelelahan merupakan perasaan letih yang luar biasa dan pada orang dengan
Diabetes mellitus dapat diebabkan karena faktor fisik seperti matabolisme
yang tinggi dan faktor psikologi seperti depresi dan ansietas (Nasekhah,
2016).
2.1.6 Patofisiologi Diabetes Mellitus
1) Diabetes Mellitus Tipe I
Pada diabetes tipe I terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin
karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun.
Glukosa yang berasal dari makanan yang tidak dapat disimpan dalam hati,
meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia
postprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi darah yang mengandung
glukosa terlalu tinggi, ginjal tidak mampu menyerap kembali semua
glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam
urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan diekskresi ke dalam
urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang
berlebihan. Keadaan ini dianamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari
kehilangan cairan yang berlebih, pasien akan mengalami peningkatan
dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsi). Defisiensi insulin juga
mengganggu metabolisme protein dan lemak yang dapat menyebabkan
penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan
15
(polifagia) akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup
kelelahan.
Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan
glukosa yang disimpan) glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari
asam-asam amino serta substansi lain), namun pada penderita defisiensi
insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut turut
menimbulkan hiperglikemia. Di samping itu akan terjadi pemecahan
lemak peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk
samping pemecahan lemak. Ketoasidosis diabetik yang diakibatkannya
dapat menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti nteri abdomen, mual-
muntah, hiperventilasi, nafas berbau aseton, dan bila tidak ditangani akan
menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan kematian (Brunner &
Suddarth, 2012)
2) Diabetes Mellitus Tipe II
Pada Diabetes Melitus tipe II ini, terdapat dua permasalahan utama yang
berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada
permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut,
terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel.
Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi
intrasel. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk
menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi
resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus
terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita
16
toleransi glukosa yang terganggu, keadaan ini terjadi akibat dipertahankan
pada tingkat yng normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel
– sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin,
maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II. Meskipun
terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas diabetes tipe II,
namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk
mencegah pemecahan lemak dan produksi bahan keton yang
menyertainya, oleh karena itu, ketoasidosis diabetic tidak terjadi pada
diabetes tipe II. Meskipun demikian, diabetes tipe II yang tidak terkontrol
dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan “sindrom
hiperglikemik hiperosmolar non ketotik (Brunner & Suddarth, 2012).
17
2.1.7 Pathway Diabetes Mellitus
DM TIPE 1 DM TIPE II
Reaksi Autoimun Idiopatik, Usia, Genetik, Gaya hidup, diet
Sel Beta Pankreas Rusak Jumlah Sel Beta Pankreas menurun
Defisiensi Insulin Resistensi Insulin
Metabolisme protein
dan lemak terganggu
Polifagia
Pola makan tidak seimbang
Hiperglikemia
Hipoglikemia
Bagan 2.1 Pathway Diabetes Mellitus (Brunner & Suddarth, 2012)
Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah
Penggunaan insulin / obat
yang kurang tepat /
berlebih
Keterlambatan absorbsi
karbohidrat
18
2.1.8 Komplikasi Diabetes Mellitus
Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit yang dapat menimbulkan
berbagai macam komplikasi, antara lain :
1) Komplikasi metabolik akut
Kompikasi metabolik akut pada penyakit diabetes melitus terdapat tiga
macam yang berhubungan dengan gangguan keseimbangan kadar
glukosa darah jangka pendek, diantaranya:
a) Hipoglikemia
Hipoglikemia (kekurangan glukosa dalam darah) merupakan keadaan
dimana kadar glukosa darah berada dibawah nilai normal (<80 mg/dL)
yang dapat terjadi karena ketidakseimbangan antara makanan yang
dimakan, aktivitas fisik dan obat-obatan yang digunakan (Nabyl,
2009).
b) Ketoasidosis diabetik
Ketoasidosis diabetik (KAD) disebabkan karena kelebihan kadar
glukosa dalam darah sedangkan kadar insulin dalam tubuh sangat
menurun sehingga mengakibatkan kekacauan metabolik yang ditandai
oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis (Soewondo, 2016).
c) Sindrom HHNK (koma hiperglikemia hiperosmoler nonketotik)
Sindrom HHNK adalah komplikasi diabetes melitus yang ditandai
dengan hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum lebih dari
600 mg/dl (Price & Wilson, 2008).
19
2) Komplikasi metabolik kronik
Komplikasi metabolik kronik pada pasien DM menurut Price & Wilson
(2008) dapat berupa kerusakan pada pembuluh darah kecil
(mikrovaskuler) dan komplikasi pada pembuluh darah besar
(makrovaskuler) diantaranya:
a) Komplikasi pembuluh darah kecil (mikrovaskuler)
(1) Kerusakan retina mata (Retinopati)
Kerusakan retina mata (Retinopati) adalah suatu mikroangiopati
ditandai dengan kerusakan dan sumbatan pembuluh darah kecil
(Pandelaki, 2009).
(2) Kerusakan ginjal (Nefropati diabetik)
Kerusakan ginjal pada pasien DM ditandai dengan albuminuria
menetap (>300 mg/24jam atau >200 ih/menit) minimal 2 kali
pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan. Nefropati diabetik
merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal terminal
(Pandelaki, 2009).
(3) Kerusakan syaraf (Neuropati diabetik)
Neuropati diabetik merupakan komplikasi yang paling sering
ditemukan pada pasien DM. Neuropati pada DM mengacau pada
sekelompok penyakit yang menyerang semua tipe saraf (Subekti,
2009).
20
b) Komplikasi pembuluh darah besar (makrovaskuler)
Komplikasi pada pembuluh darah besar pada pasien diabetes yaitu
stroke dan risiko jantung koroner.
(1) Penyakit jantung koroner
Komplikasi penyakit jantung koroner pada pasien DM
disebabkan karena adanya iskemia atau infark miokard yang
terkadang tidak disertai dengan nyeri dada atau disebut dengan
SMI (Silent Myocardial Infarction) (Widiastuti, 2012).
(2) Penyakit serebrovaskuler
Pasien DM berisiko 2 kali lipat dibandingkan dengan pasien non-
DM untuk terkena penyakit serebrovaskuler. Gejala yang
ditimbulkan menyerupai gejala pada komplikasi akut DM, seperti
adanya keluhan pusing atau vertigo, gangguan penglihatan,
kelemahan dan bicara pelo (Smeltzer & Bare, 2008).
2.1.9 Pemeriksaan Penunjang
Berdasarkan Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM di Indonesia oleh
PERKENI (2011), menentukan patokan dalam penyaringan dan diagnosis
DM berdasarkan kadar glukosa darah sebagai berikut:
a) Kadar Glukosa Darah
Kadar glukosa darah yang menunjukkan seseorang mengalami DM
adalah apabila kadar glukosa plasma puasa (110-130 mg/dl), kadar
glukosa plasma sewaktu (>200 mg/dl), dan kadar glukosa plasma 2 jam
PP (140-200 mg/dl).
21
Tabel 2.1 Kadar Glukosa Darah Sebagai Patokan Dalam Penyaringan dan Diagnosis DM
Kadar Gula Darah Puasa Kadar Gula Darah 2
Jam PP
Kadar Gula Darah
Sewaktu
Prediabetes 90-125 mg/dL 140-180 mg/dL 140-200 mg/dL
Diabetes 110-130 mg/dL 140-200 mg/dL >200 mg/dL
Normal 80-126 mg/dL 120-160 mg/dL 100-130 mg/dL
Sumber: Perkeni (2011)
b) Hemoglobin terglikosilasi (HbA1c)
HbA1c merupakan molekul hemoglobin yang memiliki glukosa terikat
pada strukturnya. Prosentase dari rerata kadar gula darah sebagai
indikasi pengontrolan kadar glukosa darah selama rentang usia sel
darah merah atau 2-3 bulan. HbA1c normal adalah ≤ 7 %.
c) C-Peptida
C-Peptida merupakan bentuk tidak aktif proinsulin yang dilepaskan
untuk menghasilkan molekul insulin aktif. Pengukuran ini dilakukan
untuk mengetahui kemampuan sel beta dalam memproduksi insulin,
sehingga dapat dibedakan antara DM tipe 1 dan DM tipe 2. Pada DM
tipe 2, kadar c-peptida umumnya normal atau mengalami peningkatan
(Brashers, 2008).
2.1.10 Penatalaksanaan
Komplikasi diabetes melitus harus dicegah sedini mungkin dengan cara
penatalaksanaan yang tepat. Menurut Perkeni (2011) dalam
pengelolaan/tata laksana diabetes melitus tipe 2, terdapat lima pilar yang
22
harus dilakukan dengan tepat yaitu 1) edukasi; 2) terapi gizi medis
(perencanaan makan); 3) latihan jasmani; 4) intervensi farmakologis
(pengobatan); dan pemantauan kadar glukosa darah. Lima pilar pengelolaan
diabetes melitus menurut Perkeni (2011) adalah sebagai berikut :
1) Pendidikan / Edukasi
Dalam edukasi, perawat memberikan informasi kepada pasien yang
membutuhkan perawatan diri untuk memastikan kontinuitas pelayanan dari
rumah sakit ke rumah (Potter & Perry, 2009). Peran perawat sebagai
educator dimana pembelajaran merupakan health education yang
berhubungan dengan semua tahap kesehatan dan tingkat pencegahan.
Perawat harus mampu memberikan edukasi kesehatan dalam pencegahan
penyakit, pemulihan, penyusunan program health education serta
memberikan informasi yang tepat tentang kesehatan. Agar perawat dapat
bertindak sesuai perannya sebagai educator pada pasien dan keluarga, maka
perawat harus memiliki pemahaman terhadap prinsip-prinsip pengajaran
dan pembelajaran (Bastable, 2014).
2) Terapi Gizi Medis
Pengelolaan diet pada penderita diabetes melitus sangat penting. Tujuan
dari pengelolaan diet ini adalah untuk membantu penderita memperbaiki
gizi dan untuk mendapatkan kontrol metabolik yang lebih baik yaitu
ditunjukkan pada pengendalian glukosa, lipid dan tekanan darah.
Penatalaksanaan diet bagi penderita diabetes melitus tipe 2 ini merupakan
bagian dari penatalaksanaan diabetes melitus secara total. Penatalaksanaan
diet ini meliputi 3 (tiga) hal utama yang harus diketahui dan dilaksanakan
23
oleh penderita diabetes melitus, yaitu jumlah makanan, jenis makanan, dan
jadwal makan (Perkeni, 2011). Diet diabetes mellitus adalah pengaturan
makanan yang diberikan kepada penderita diabetes mellitus dimana diet
yang dilakukan harus tepat jumlah energi yang dikonsumsi dalam satu hari,
tepat jadwal sesuai 3 kali makan utama dan 3 kali makanan selingan dengan
interval waktu 3 jam antara makan utama dan makanan selingan serta tepat
jenis yaitu menghindari makanan yang tinggi kalori (Suprihatin, 2012).
Kebutuhan kalori sesuai untuk mencapai dan mempertahankan berat badan
ideal. Komposisi energi adalah 45-65% dari karbohidrat, 10-20% dari
protein dan 20-25% dari lemak. Ada beberapa cara untuk menentukan
jumlah kalori yang dibutuhkan orang dengan Diabetes mellitus. Diantaranya
adalah dengan memperhitungkan berdasarkan kebutuhan kalori basal yang
besarnya 25-30 kalori/kg BB ideal, ditambah dan dikurangi bergantung
pada beberapa faktor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas, kehamilan/laktasi,
adanya komplikasi dan berat badan. Cara yang lebih gampang lagi adalah
dengan cara pegangan kasar, yaitu untuk pasien kurus 2300-2500 kalori,
normal 1700-2100 kalori dan gemuk 1300-1500 kalori (Soegondo dkk,
2014).
3) Latihan Jasmani / Olah raga
Latihan jasmani dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitifitas terhadap insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa
darah. Latihan jasmani yang teratur dapat menyebabkan kontraksi otot
meningkat, sehingga permeabilitas membran sel terhadap glukosa
meningkat dan resistensi insulin berkurang. Ada 43 beberapa latihan
24
jasmani yang disarankan bagi penderita diabetes melitus, diantaranya: jalan,
bersepeda santai, jogging dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya
disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani (Klein, 2009).
Penyusunan program latihan bagi pasien diabetes sangat individual sesuai
dengan kondisi penyakitnya. Pada pasien dapat bermanfaat untuk
menurunkan kadar gula darah, memperbaiki kontrol diabetes,
meningkatkan fungsi jantung dan pernafasan, menurunkan berat badan dan
meningkatkan kualitas hidup disamping manfaatnya, latihan olah raga dapat
beresiko menimbulkan hipoglikemia dan hiperglikemia sehingga akan
memperburuk kontrol diabetes (Depkes, 2008).
4) Intervensi Farmakologis
Penderita diabetes melitus tipe 1 mutlak diperlukan suntikan insulin setiap
hari. Penderita diabetes melitus tipe 2, umumnya perlu minum obat
antidiabetes secara oral atau tablet. Penderita diabetes memerlukan suntikan
insulin pada kondisi tertentu, atau bahkan kombinasi suntikan insulin dan
tablet (Perkeni, 2011).
a) Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Merupakan obat penurun kadar glukosa pada darah yang diresepkan oleh
dokter khusus bagi diabetesi. Obat penurun glukosa darah bukanlah
hormon insulin yang diberikan secara oral. OHO bekerja melalui
beberapa cara untuk menurunkan kadar glukosa darah.
b) Insulin
Insulin merupakan basis pengobatan penderita diabetes melitus tipe I
yang harus diberikan segera setelah diagnosis ditegakkan. Beberapa hal
25
yang perlu diperhatikan dalam pemberian insulin adalah jenis preparat,
dosis insulin, waktu dan cara penyuntikan insulin, serta penyimpanan
insulin (Suyono dkk, 2013).
5) Pemantauan Kadar Gula Darah
Pemantauan Diabetes Mellitus merupakan pengendalian kadar gula darah
mencapai kondisi senormal mungkin. Dengan terkendalinya kadar gula
darah maka akan terhindar dari keadaan hiperglikemia atau hipoglikemia
serta mencegah terjadinya komplikasi. Hasil Diabetes Control And
Complication Trial (DCCT) menunjukkan bahwa pengendalian Diabetes
mellitus yang baik dapat mengurangi komplikasi antara 20-30%. Pasien
Diabetes mellitus bisa memeriksakan gula darah ke tempat pelayanan
kesehatan terdekat atau memiliki alat pemeriksaan sendiri (Soewondo,
2016).
2.2 Konsep Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah
2.2.1 Definisi Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah
Ketidakstabilan glukosa darah merupakan keadaan dimana nilai kadar
glukosa (gula darah) berada diatas maupun dibawah dari kisaran nilai
normal. Pada hiperglikemia dapat terjadi hipoglikemia apabila mendapat
penanganan yang kurang tepat. Sedangkan pada hipoglikemia dapat terjadi
hiperglikemia apabila pola makan tidak mengikuti anjuran diet. Pasien
dengan diabetes melitus beresiko memiliki kadar glukosa darah yang tidak
stabil. Glukosa darah yang stabil seharusnya tidak diatas atau dibawah
rentang normal karena dapat menyebabkan gejala tertentu (Wilkinson,
2011).
26
2.2.2 Etiologi Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah
Gangguan sensitivitas jaringan hati dan otot terhadap insulin, gangguan
sekresi insulin oleh sel β pankreas, kurangnya produksi insulin, dan
ketidakmampuan menggunakan insulin atau keduanya (ADA, 2012; Lewis
dkk; 2011). Insufisiensi produk insulin dan penurunan kemampuan tubuh
menggunakan insulin pada penderita diabetes melitus mengakibatkan
peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) maupun penurunan
jumlah insulin efektif yang digunakan oleh sel sehingga dapat menimbulkan
kelainan patofisologi pada penderita diabetes mellitus (Daniel, 2012).
2.2.3 Dampak Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah
Ketidakstabilan kadar glukosa dalam darah yaitu hiperglikemia dan
hipoglikemia. Penurunan kadar insulin yang sangat rendah akan
menimbulkan hiperglikemia, glukosuria berat, penurunan lipogenesis,
peningkatan lipolisis, peingkatan oksidasi asam lemak bebas disertai
dengan pembentukan badan keton (asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton).
Hal ini menyebabkan peningkatan beban ion hidrogen dan asidosis
metabolik. Glukosuria dan ketonuria dapat menyebabkan diuresis osmotik,
dehidrasi, dan kehilangan elektrolit. Kehilangan cairan dan elektrolit
berlebih dapat menyebabkan hipotensi, syok, koma, sampai meninggal
(Price & Wilson, 2008). Hipoglikemia terjadi apabila kadar glukosa darah
<80 mg/dl, sering terjadi akibat kelebihan pemberian terapi insulin ataupun
terlambat makan. Gejala yang muncul disebabkan oleh pelepasan epinefrin
(keringat dingin, gemetar, sakit kepala dan palpitasi), kekurangan glukosa
27
dalam otak (tingkah laku tidak sesuai, sensori yang tumpul dan koma).
Kejadian hipoglikemia yang sering terjadi dan dalam waktu yang lama
dapat menimbulkan kerusakan otak permanen bahkan kematian (Smeltzer
& Bare, 2008).
2.3 Asuhan Keperawatan Diabetes Mellitus
2.3.1 Pengkajian
1) Anamnese
Pengkajian merupakan tahap awal interaksi antara perawat dan pasien.
Dengan pengkajian akan didapatkan data yang nantinya akan
mendukung proses keperawatan dan pengobatan, tahap pengkajian
diperlukan kecermatan dan ketelitian untuk mengenal masalah.
Keberhasilan proses keperawatan berikutnya sangat tergantung pada
tahap ini (Marni,2014)
a) Nama: Digunakan untuk membedakan antara pasien satu dengan
lainnya.
b) Umur: Diabetes mellitus Tipe I usia < 30 tahun. Pada diabetes
mellitus Tipe 2 usia > 30 tahun, cenderung meningkat pada usia >
65 tahun (Merck, 2008)
c) Suku: Digunakan untuk menentukan kebiasaan atau adat istiadatnya
dalam sehari-hari.
d) Agama: digunakan dalam menentukan bagaimana tenaga kesehatan
dalam memberikan motivasi atau dukungan pada penderita.
e) Alamat: digunakan untuk mengetahui keadaan lingkungan tempat
tinggal dan komunitas pasien.
28
2) Keluhan Utama
• Kondisi hiperglikemia
Biasanya pasien mengeluh mengalami penglihatan kabur, badan terasa
lemas, mengalami haus yang berlebihan, banyak buang air kecil,
dehidrasi, suhu tubuh meningkat dan mengalami sakit kepala (Price &
Wilson, 2008).
• Kondisi hipoglikemia
Keluhan yang dialami pasien seperti tremor, perspirasi, takikardi,
palpitasi, rasa lapar yang berlebihan, sakit kepala, vertigo, penurunan
perfusi, mengantuk, lemah, konfusi dan mengalami penurunan kesadaran
(Price & Wilson, 2008).
3) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada pasien diabetes mellitus terjadi defisiensi insulin sehingga
menyebabkan terganggunya metabolisme tubuh dan dapat menimbulkan
terjadinya hiperglikemia maupun hipoglikemia yang dapat menyebabkan
ketidakstabilan glukosa dalam darah (Brunner & Suddarth, 2008). Pada
pasien diabetes mellitus, pasien biasanya mengeluh badan terasa lemas,
pusing dan badan gemetar. Pasien mengatakan tidak mengikuti program
diet seperti yang diberikan. Hal itu menyebabkan kadar gula darah
menjadi naik. Oleh karena itu, pasien mengobati sendiri dengan
menggunakan insulin yang dimiliki dengan dosis yang tidak tepat
sehingga menyebabkan kadar gula darah menjadi turun.
29
4) Riwayat Kesehatan Dahulu
Adanya riwayat penyakit Diabetes mellitus dimana hasil pemeriksaan
gula darah bervariasi atau penyakit-penyakit lain yang ada kaitannya
dengan defisiensi insulin misalnya penyakit pankreas. Adanya riwayat
penyakit jantung, obesitas, maupun arterosklerosis, tindakan medis yang
pernah didapat maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh penderita
(Brunner & Suddarth, 2008). Pada pasien Diabetes mellitus akan terjadi
ketidakstabilan kadar glukosa dan akan menimbulkan hiperglikemia atau
hipoglikemia. Jika pada saat hiperglikemia dilakukan terapi yang kurang
tepat maka akan menyebabkan terjadinya hipoglikemia pada kondisi
yang sudah berat. Pasien akan melakukan pemeriksaan gula darah ke
tempat-tempat pelayanan kesehatan apabila terapi yang diberikan sudah
habis atau jika kondisi kesehatannya terganggu. Pemeriksaan gula darah
harusnya dilakukan secara teratur. Hal ini penting dilakukan agar kadar
gula darah dapat terkendali (Notoatmojo, 2010). Pasien dengan Diabetes
Mellitus dapat mengalami ketidakstabilan kadar glukosa. Pada saat
dilakukan pemeriksaan gula darah didapatkan hasil 340 mg/dL. Pasien
mengalami mual pada saat makan sehingga menyebabkan tidak nafsu
dengan makanan sehingga tidak menghabiskan seluruh porsi
makanannya dan tetap mengkonsumsi obat yang diberikan sehingga
menyebabkan terjadi hipoglikemia dan didapatkan hasil pemeriksaan
gula darah 77 mg/dL.
30
5) Riwayat Kesehatan Keluarga
Dari genogram keluarga biasanya terdapat salah satu anggota keluarga
yang juga menderita DM atau penyakit keturunan yang dapat
menyebabkan terjadinya defisiensi insulin misalnya hipertensi (Brunner
& Suddarth, 2008).
6) Activity Daily Living (ADL)
1. Nutrisi
Pola makan berupa asupan makanan tinggi energi dan tinggi lemak
akan mengubah keseimbangan energi dengan disimpannya energi
sebagai lemak simpanan yang jarang digunakan. Pengendalian glukosa
darah pada penderita diabetes mellitus akan berhubungan dengan faktor
diet atau perencanaan makan. Hal ini disebabkan karena penyakit ini
merupakan gangguan metabolisme zat-zat gizi makro seperti
karbohidat, protein dan lemak. Pada penderita diabetes mellitus
mengeluhkan nafsu makan menurun, mual, muntah, penurunan berat
badan, rasa haus yang berlebihan, tidak mengikuti diet yang ditentukan
(Baradero, 2009).
2. Personal Hygiene
Pada pasien diabetes mellitus ditemukan penyakit periodental dan
dilakukan perawatan gigi. Juga menjaga kulitnya selalu bersih dan
kering khususnya didaerah lipatan seperti paha, aksila, dibawah
payudara karena cenderung terjadi luka akibat gesekan dan infeksi
jamur (Smeltzer, 2008).
31
3. Aktivitas / istirahat
Pada pasien diabetes mellitus sering mengalami gangguan tidur,
keletihan, lemah, sulit bergerak maupun berjalan, kram otot dan tonus
otot menurun, takikardi dan takipnea pada saat istirahat (Doenges,
2010). Kurangnya aktivitas dapat memicu timbulnya obesitas dan
menyebabkan kurangnya sensitifnya insulin dalam tubuh sehingga
menimbulkan penyakit Diabetes mellitus. Pada penderita yang jarang
berolahraga dan beraktivitas, zat makanan yang masuk kedalam tubuh
tidak dibakar tetapi ditimbun dalam tubuh sebagai lemak dan gula
(Kemenkes, 2010).
4. Eliminasi
Pada pasien diabetes mellitus terjadi perubahan pola berkemih, volume
urine yang berlebih dan nokturia (Doenges, 2010).
7) Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Pada pasien diabetes mellitus biasanya kesadarannya composmetis.
Namun pada pasien dengan kondisi hiperglikemia dan hipoglikemi
berat dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran. Selain itu
pasien akan mengalami badan lemah, mengalami polidipsi, polifagi
dan poliuri dan kadar gula darah tidak stabil (Rendy, 2012).
b. Tanda-Tanda Vital
Tanda-tanda vital mengalami peningkatan seperti tekanan darah, nadi
dan suhu dan pernafasan.
32
a) Peningkatan tekanan darah dengan nilai tekanan sistole >120 dan
diastole >90 mmHg.
b) Peningkatan nadi dengan nilai >90 x/menit.
c) Peningkatan suhu dengan nilai >37,5oC.
d) Peningkatan RR dengan nilai >20x/menit
c. Sistem Pernafasan
Pernafasan kusmaul, sesak nafas, batuk dengan atau tanpa sputum
(Doenges, 2010).
d. Sistem Sirkulasi
Rasa kebas, kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki yang
penyembuhannya lama, takikardi, hipertensi (Padila, 2012).
e. Sistem Neurosensori
Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot,
gangguan penglihatan seperti penurunan tajam penglihatan (Padila,
2012).
f. Sistem Perkemihan
Perubahan pola berkemih, poliuria yang dapat berkembang menjadi
oliguria dan anuria jika berat, dan juga nokturia (Doenges, 2010).
Dapat ditemukan rabas atau gatal pada vagina karena peningkatan
kadar glukosa darah di sekret dan urine (Corwin, 2008).
g. Sistem Pencernaan
Terjadi hipertimpani, kehilangan nafsu makan, mual, muntah, tidak
mengikuti diet, bising usus berkurang (Doenges, 2010).
33
h. Sistem Muskuloskeletal
Kelemahan otot, tonus otot menurun dan mengalami kram otot
(Doenges, 2010).
i. Sistem Integumen
Kulit kering, kemerahan, gatal dan dapat terjadi ulkus (Doenges,
2010).
2.3.2 Diagnosa Keperawatan
Ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan asupan diet yang
tidak seimbang (Betty & Gail, 2010).
2.3.3 Batasan Karakteristik (Corwin, 2008)
1) Pada hiperglikemia kadar gula darah sewaktu >200 mg/dL, gula darah
puasa >130 mg/dL, dan gula darah 2 Jam PP >200 mg/dL.
2) Pada hipoglikemia kadar gula darah sewaktu <100 mg/dL, gula darah
puasa <80 mg/dL, dan gula darah 2 Jam PP <120 mg/dL.
3) Terjadi kelemahan, sakit kepala dan pusing.
4) Penurunan nafsu makan.
5) Mengalami polifagi, polidipsi, dan poliuri.
34
2.3.4 Intervensi Keperawatan
Intervensi Keperawatan pada Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah
(Ackley & Gail, 2011)
Tabel 1.2 Intervensi Keperawatan Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Pasien setelah
dilakukan asuhan
keperawatan
glukosa darah
kembali stabil
(Nurarif, 2015)
- Pasien mampu
mendemonstrasikan
bagaimana cara
memeriksa kadar glukosa
darah yang benar.
- Kadar glukosa darah
dalam rentang normal:
Kadar gula darah
sewaktu 100-130 mg/dL,
kadar gula darah puasa
80-126 mg/dL, dan kadar
gula darah 2 Jam PP 120-
160 mg/dL.
- Status nutrisi adekuat:
• Tidak terjadi
mual/muntah
• Tidak terjadi penurunan
BB.
- Tidak mengalami pusing
dan lemas
- Mampu berpartisipasi
dalam program terapi
(Moorhead, 2013).
Diet:
1. Monitor adanya penurunan
BB dan glukosa darah.
2. Menyarankan pasien untuk
mengukur makanan secara
berkala dengan
menggunakan prinsip 3J
3. Mendorong pasien untuk
mengurangi asupan gula.
4. Menilai perubahan gaya
hidup dan pola makan.
5. Monitor status cairan (intake
dan output).
Hiperglikemia:
6. Monitor glukosa darah
sebelum makan, sebelum
tidur, sesudah dan sebelum
pemberian terapi.
7. Monitor glukosa darah
setiap 4-6 jam.
8. Pertimbangkan pemantauan
glukosa darah setelah
makan.
1. Penurunan berat badan
menunjukkan terjadinya
gangguan metabolisme.
2. Mengukur makanan
dapat mengingatkan
pasien tentang ukuran
porsi normal makanan
untuk menjaga
kestabilan kadar glukosa
darah.
3. Konsumsi gula berlebih
menyebabkan
peningkatan kadar
glukosa darah.
4. Mengontrol penyebab
ketidakstabilan kadar
glukosa.
5. Menjaga keseimbangan
cairan.
6. Pasien yang
menggunakan banyak
suntikan insulin harus
dimonitor glukosa darah
sebanyak tiga kali atau
lebih setiap hari.
7. Pengecekan setiap 4-6
jam biasanya cukup
untuk menentukan
koreksi dosis insulin.
8. Pemantauan setelah
makan diperlukan untuk
mencapai target.
35
9. Pantau tanda dan gejala
hiperglikemia seperti
poliuria, polidipsia,
polifagia.
10. Kolaborasi pemeriksaan
urine untuk keton jika kadar
glukosa darah >300 mg/dL.
11. Kolaborasi dengan Dokter
dalam pemberian Terapi.
Hipoglikemia
12. Pantau tanda dan gejala dari
hipoglikemia.
13. Monitor kadar glukosa
darah sebelum dan sesudah
pemberian insulin.
14. Kolaborasi dalam
pemberian dextrose sesuai
indikasi jika pasien
mengalami hipoglikemia.
15. Kolaborasi dalam
pemberian glukosa 15-20 g
glukosa dari makanan dan
hindari pemberian makanan
yang mengandung lemak
jika terjadi hipoglikemia.
16. Berikan edukasi pasien cara
memeriksa kadar gula darah
secara mandiri.
9. Pengenalan dini dan
pengobatan
hiperglikemia dapat
mencegah
perkembangan menjadi
ketoasidosis atau
hiperglikemia
hiperosmolar.
10. Keton dapat
menunjukkan terjadinya
ketoasidosis.
11. Pemberian terapi yang
tepat dapat mendukung
penyembuhan penyakit.
12. Hipoglikemia yang tidak
segera ditangani dapat
menyebabkan koma.
13. Pemberian insulin yang
tidak tepat menyebabkan
hipoglikemia.
14. Dextrose mampu
membantu menambah
glukosa darah.
15. Hipoglikemia merespon
baik terhadap makanan
yang mengandung
glukosa.
16. Pemantauan glukosa
darah secara mandiri
merupakan cara yang
efektif memanajemen
kadar glukosa pada
pasien yang
menggunakan terapi
insulin.
(Betty & Gail, 2011)
36
2.3.5 Implementasi
Implementasi adalah tahap keempat dari proses keperawatan. Tahap ini
muncul jika perencanaan yang dibuat diaplikasikan pada pasien. Tindakan
yang dilakukan mungkin sama, mungkin juga berbeda dengan urutan yang
telah dibuat pada perencanaan. Aplikasi yang digunakan pada pasien akan
berbeda, disesuaikan dengan kondisi pasien saat itu dan kebutuhan yang
paling dirasakan oleh pasien (Debora, 2012)
2.3.6 Evaluasi
Evaluasi adalah tahap kelima dari proses keperawatan. Tahap ini perawat
membandingkan hasil tindakan yang telah dilakukan dengan kriteria hasil
yang sudah ditetapkan serta menilai apakah yang terjadi sudah teratasi
seluruhnya, hanya sebagian, atau bahkan belum teratasi semuanya (Debora,
2012). Hasil yang diharapkan pada proses keperawatan pasien dengan
diabetes mellitus:
1) Pasien mampu mendemonstrasikan tentang cara memeriksa kadar
glukosa darah yang benar.
2) Kadar glukosa darah dalam rentang normal: Kadar gula darah sewaktu
100-130 mg/dL, kadar gula darah puasa 80-126 mg/dL, dan kadar gula
darah 2 Jam PP 120-160 mg/dL.
3) Status nutrisi adekuat: tidak terjadi mual/muntah, tidak terjadi
penurunan BB.
4) Tidak mengalami pusing dan lemas.
5) Mampu berpartisipasi dalam program terapi (Moorhead, 2013)