Upload
others
View
16
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Teori Keagenan
Penjelasan mengenai konsep manajemen laba menggunakan
pendekatan teori keagenan yang terkait dengan hubungan atau kontrak
diantara para anggota perusahaan, terutama hubungan antara pemilik
(principal) dengan manajemen (agent). Jensen dan Meckling (1976)
mendefinisikan hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak antara satu
orang atau lebih pemilik (principal) yang menyewa orang lain (agent)
untuk melakukan beberapa jasa atas nama pemilik yang meliputi
pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Michelson
et al (1995) mendefinisikan keagenan sebagai suatu hubungan berdasarkan
persetujuan antara dua pihak, dimana manajemen (agent) setuju untuk
bertindak atas nama pihak lain yaitu pemilik (principal). Pemilik akan
mendelegasikan tanggungjawab kepada manajemen, dan manajemen
setuju untuk bertindak atas perintah atau wewenang yang diberikan
pemilik.
Principal dan agent diasumsikan sebagai pihak-pihak yang
mempunyai rasio ekonomi dan dimotivasi oleh kepentingan pribadi
sehingga, walau terdapat kontrak, agent tidak akan melakukan hal yang
terbaik untuk kepentingan pemilik. Pemilik akan mendorong agent agar
mau bekerja lebih keras dengan menggunakan bebagai intensif untuk
11
memkasimalkan nilai perusahaan. Alasannya, kesejahteraan pemilik akan
meningkat seiring dengan peningkatan nilai perusahaan itu. Sedangkan,
manajer akan berperilaku oportunis karena menguasai informasi keuangan
perusahaan. Artinya, perilaku oportunis seorang manajer
mengimplikasikan upaya manajer dalam metransfer kemaksmukan pemilik
perusahaan kepada dirinya. Hal ini sejalan dengan teori agensi yang
menyatakan bahwa pemisahan kepemilikan dan pengelolaan perusahaan
akan mendorong setiap pihak berusaha memaksimalkan kesejahteraan
masing-masing.
Informasi dalam teori agensi digunakan untuk pengambilan
keputusan oleh prinsipal dan agen, serta untuk mengevaluasi dan membagi
hasil sesuai kontrak kerja yang telah disetujui. Hal ini dapat memotivasi
agen untuk berusaha seoptimal mungkin dan menyajikan laporan akuntansi
sesuai dengan harapan prinsipal sehingga dapat meningkatkan
kepercayaan prinsipal kepada agen (Faozi, 2002).
Dalam hubungan antara agen dan prinsipal, akan timbul masalah
jika terdapat informasi yang asimetri (information asymetry). Scott (1997)
menyatakan apabila beberapa pihak yang terkait dalam transaksi bisnis
lebih memiliki informasi daripada pihak lainnya, maka kondisi tersebut
dikatakan sebagai asimetri informasi. Asimetri informasi dapat berupa
informasi yang terdistribusi dengan tidak merata diantara agen dan
prinsipal, serta tidak mungkinnya prinsipal untuk mengamati secara
langsung usaha yang dilakukan oleh agen. Hal ini menyebabkan agen
12
cenderung melakukan perilaku yang tidak semestinya (disfunctional
behaviour). Salah satu disfunctional behaviour yang dilakukan agen
adalah pemanipulasian data dalam laporan keuangan agar sesuai dengan
harapan prinsipal meskipun laporan tersebut tidak menggambarkan kondisi
perusahaan yang sebenarnya.
2.1.2. Manajemen Laba
2.1.2.1. Definisi manajemen laba
Manajemen laba merupakan salah satu faktor yang dapat
mengurangi kredibilitas laporan keuangan, dan menambah bias dalam
laporan keuangan serta mengganggu pemakai laporan keuangan yang
mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa
rekayasa (Setiawati dan Na’im, 2000 dalam Achmad, et al., 2007). Assih
(2000) mengemukakan bahwa manajemen laba merupakan proses yang
dilakukan manajer dalam batasan general accepted accounting principles,
yang sengaja mengarah pada suatu tingkatan yang diinginkan atas laba
yang dilaporkan. Manajemen laba dapat muncul ketika manajer lebih
menggunakan keputusan tertentu dalam pellaporan keuangan dan
mengubah transaksi untuk mengubah laporan keuangan untuk
menyesatkan stakeholder yang ingin mengetahui kinerja ekonomi yang
diperoleh perusahaan atau untuk memperngaruhi hasil kontrak yang
menggunakan angka-angka akuntansi yang dilaporkan itu (Healy &
Wahlen, 1998 dalam Sri Sulistytanto, 2008). Sedangkan menurut Scott
13
(2000),manajemen laba merupakan pemilihan kebijakan akuntansi untuk
mencapai tujuan khusus.
Schipper (1989) dalam Sri Sulistyanto (2008:49) mendefinisikan
manajemen laba sebagai campur tangan dalam proses pelaporan keuangan
eksternal, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi (pihak
yang tidak setuju mengatakan baahwa hal ini hanyalah upaya untuk
memfasilitasi operasi yang tidak memihak dari sebuah proses).
Stockholder akan diuntungkan jika manajemen laba digunakan untuk
memberi sinyal mengenai informasi privat yang dimiliki manajer (Healy &
Palepu, 1993) serta jika digunakan untuk mengurangi biaya politik
(political cost) (Watts & Zimmerman, 1986). Tetapi stockholder akan
dirugikan jika manajemen laba digunakan untuk menghasilkan keuntungan
pribadi bagi manajer, seperti untuk menaikkan kompensasi (Healy,1985)
dan mengurangi kemungkinan pemecatan ketika kinerja manajer yang
bersangkutan rendah (Weisbach, 1988). Sedang menurut Sri Sulistyanto
(2008:22) manajemen laba adalah upaya untuk mempermainkan informasi
dalam laporan keuangan dengan menyembunyikan, menunda
pengungkapan, dan mengubah informasi.
2.1.2.2. Motivasi manajemen laba
Hepworth (1953) menyatakan bahwa motivasi manajemen
melakukan praktik manajemen laba adalah ingin memperoleh keuntungan
ekonomis dan psikologis, yaitu untuk mengurangi pajak terutang dan
meningkatkan kepercayaan diri manajer yang bersangkutan. Kepercayaan
14
diri manajer dapat meningkat karena penghasilan yang stabil dapat
mendukung kebijakan deviden yang juga stabil. Selain itu, manajemen
laba dapat meningkatkan hubungan antara manajer dengan karyawan
karena pelaporan laba yang meningkat dapat meningkatkan kemungkinan
kenaikan gaji dan upah.
Healy dan Wahlen (1998) membagi motivasi yang mendasari
manajemen laba dalam tiga kelompok. Pertama, motivasi dari pasar modal
yang ditunjukkan dengan return saham. Kedua, motivasi kontrak yang
dapat berupa kontrak hutang maupun kontrak kompensasi manajemen.
Ketiga, motivasi regulatory berupa motivasi untuk menghindari biaya
politik.
Scott (1997) menyatakan terdapat beberapa faktor yang mendorong
manajer melakukan manajemen laba.
1. Rencana bonus (bonus scheme). Manajer yang bekerja berdasarkan
kontrak bonus akan mengatur laba yang dilaporkan agar bonus yang
diterima maksimal serta dapat memperoleh bonus yang diinginkan di
masa yang akan datang.
2. Kontrak hutang (debt covenant). Perusahaan akan menaikkan laba
agar rasio debt to equity berada pada posisi yang diinginkan.
3. Motivasi politik (political motivation). Perusahaan-perusahaan selama
periode kemakmuran tinggi cenderung melakukan manajemen laba
dengan menurunkan laba untuk mengurangi visibilitasnya, agar dapat
memperoleh kemudahan dan fasilitas dari pemerintah.
15
4. Motivasi pajak (taxation motivation). Perusahaan lebih memilih
metode akuntansi yang dapat menghasilkan laba dilaporkan lebih
rendah, sehingga pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah juga
menjadi lebih rendah.
5. Perubahan Chief Executive Officer (CEO). CEO yang mendekati akhir
jabatannya cenderung melakukan income maximization untuk
meningkatkan bonus mereka.
6. Penawaran saham perdana (IPO). Perusahaan yang akan melakukan
IPO cenderung melakukan income increasing untuk menarik calon
investor.
2.1.2.3. Pola manajemen laba
Menurut Sri Sulistyanto(2008:177) manajemen terbagi ke dalam 3
pola, berupa peningkatan laba, penurunan laba dan perataan laba.
a. Income increasing (peningkatan laba) : upaya perusahaan mengatur
agar laba periode berjalan menjadi lebih tinggi daripada laba
sesungguhnya. Upaya ini dilakukan untuk mempermainkan
pendapatan periode berjalan menjadi lebih tinggi daripada pendapatan
sesungguhnya dan atau biaya periode berjalan menjadi lebih rendah
dari biaya sesungguhnya.
b. Income decreasing (penurunan laba) : upaya perusahaan mengatur
agar laba periode berjalan menjadi lebih rendah daripadz laba
sesungguhnya. Upaya ini dilakukan dengan mempermainkan
pendapatan periode berjalan menjadi lebih rendah daripada
16
pendapatan sesungguhnya dan atau biaya periode berjalan menjadi
lebih tinggi dari biaya sesungguhnya.
c. Income smoothing (perataan laba) : upaya perusahaan mengatur agar
labanya relatif sama selama beberapa periode. Upaya ini dilakukan
dengan mempermainkan pendapatan dan biaya periode berjalan
menjadi lebih tinggi atau lebih rendah daripada pendapatan atau biaya
yang sesungguhnya.
Bagaimana pola rekayasa yang digunakan sangat tergantung pada
apa yang ingin dicapai oleeh manajer bersangkutan. Manajer bisa
merekayasa labanya menjadi lebih tingi atau lebih rendah daripada
sebelumnya tergantung motivasi apa yang mendasarinya. Demikian juga
apabila manajer merekayasa laba agar cenderung selalu sama selama
beberapa periode sebelumnya.
2.1.2.4. Teknik manajemen laba
Scott (1997) mengemukakan bahwa manajemen laba dapat berupa :
1. Taking a bath : Manajemen melakukan metode taking a bath dengan
mengakui biaya-biaya dan kerugian periode yang akan datang pada
periode berjalan ketika pada periode berjalan terjadi keadaan buruk
yang tidak menguntungkan.
2. Income minimization : Manajer melakukan praktik manajemen laba
berupa income minimization dengan mengakui secara lebih cepat
biaya-biaya, seperti biaya pemasaran, riset dan pengembangan, ketika
17
perusahaan memperoleh profit yang cukup besar dengan tujuan untuk
mengurangi perhatian politis.
3. Income maximization : Merupakan upaya manajemen untuk
memaksimalkan laba yang dilaporkan.
4. Income smoothing : Merupakan praktik manajemen laba yang
dilakukan dengan menaikkan atau menurunkan laba, dengan tujuan
untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan, sehingga
perusahaan tampak lebih stabil dan tidak beresiko.
2.1.3. Manajemen Akrual
Akrual secara teknis merupakan selisih laba dengan kas. Akrual
merupakan metode akuntansi dimana penerimaan dan pengeluaran diakui
atau dicatat ketika transaksi terjadi, bukan ketika uang kas untuk transaksi
-transaksi tersebut diterima atau dibayarkan. Menurut Harahap (2010: 22)
yang dimaksud dengan akrual adalah: “...penentuan pendapatan dan biaya
dari posisi harta dan kewajiban ditetapkan tanpa melihat apakah transaksi
kas telah dilakukan atau tidak”. Menurut Halim dan Kusufi (2012: 53):
“Akrual adalah suatu basis akuntansi dimana transaksi ekonomi atau
peristiwa lainnya diakui, dicatat, dan disajikan dalam laporan keuangan
pada saat terjadinya transaksi tersebut, tanpa memperhatikan waktu kas
atau setara kas diterima atau dibayarkan.” Model akuntansi berbasis akrual
menggunakan komponen kas dan akrual dalam laporan keuangan.
Alasannya ada dua macam transaksi yang selama ini biasa dilakukan
perusahaan dalam proses usahanya, yaitu transaksi kas(tunai) maupun
18
nonkas(nontunai). Komponen kas merupakan komponen yang relatif sulit
untuk direkayasa, sebab komponen ini menunjukkan berapa jumlah kas
yang dirterima perusahaan dalam periode tertentu. Artinya, transaksi
komponen kas harus disertai dengan bukti berupa uang atau setara uang
yang secara fisik ada. Sebaliknya, transaksi akrual merupakan transaksi
yang tidak harus dsertai dengan uang atau sejenisnya.
Manajemen laba berbasis akrual dilakukan karena adanya
keleluasaan kebijakan dari manajemen dalam menentukan suatu praktik
akuntansi. Menurut Sulistyanto (2008) praktik akrual dilakukan dengan
mempermainkan komponen-komponen akrual dalam laporan keuangan,
sebab akrual merupakan komponen yang mudah untuk dipermainkan
sesuai keinginan orang yang melakukan pencatatan dan penyusunan
laporan keuangan,
2.1.3.1. Discretionery Accruals
Praktik laba yang bersifat akrual atau biasa disebut manajemen laba
akrual dapat didentifikasi dengan mengeluarkan komponen kas dari model
akuntansi sehingga di dapat komponen akrual. Komponen akrual atau
dalam model penghitungannya disebut total akrual adalah selisih antara
laba dan arus kas berasal dari aktivitas operasi.
Sahabu (2009) total akrual dapat dibedakan menjadi dua bagian,
yaitu bagian akrual yang memang sewajarnya ada dalam proses
penyususnan laporan keuangan, disebut normal accruals atau non-
discretionary accruals, dan bagian akrual yang merupakan manipulasi data
19
akuntansi yang disebut dengan abnormal accruals atau discretionary
accruals. Sri Sulistyanto (2008:164) yang dimaksud dengan discretionary
accruals adalah komponen akrual hasil rekayasa manajerial dengan
memanfaatkan kebebasan dan keleluasaan dalam estimasi dan pemakaian
standar akuntansi. Disinilah kelemahan dari dasar akrual yang
menimbulkan peluang untuk menajer untuk melakukan praktik laba
dengan tujuan tertentu. Sedang yang dimaksud dengan non-discretionary
accruals adalah komponen akrual diperoleh secara alamiah dari dasar
pencatatan akrual dengan mengikuti standar akuntansi yang diterima
secara umum (Sri Sulistyanto ,2008:164).
Ada beberapa metode yang bisa dipakai manajer perusahaan untuk
merekayasa besar kecilnya discretionary accruals ini sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapainya, misalkan kebebasan menentukan estimasi dan
memilih metode depresiasi aktiva tetap, menentukan estimasi prosentase
jumlah piutang tak tertagih, atau memilih metode penentuan jumlah
persediaan.
2.1.4. Manipulasi aktivitas riil
Manipulasi aktivitas riil ini merupakan teknik manipulasi laba yang
dilakukan oleh manajemen melalui aktivitas perusahaan sehari-hari selama
periode akuntansi. Kegiatan manipulasi aktivitas riil dimulai dari kegiatan
praktek operasional normal, hal ini yang dimotivasi oleh manajer untuk
mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan. Manipulasi aktivitas riil
seringkali disebut sebagai manajemen laba riil. Manipulasi aktivitas riil
20
dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan manajemen yang
menyimpang dari praktek bisnis yang normal yang dilakukan dengan
tujuan utama untuk mencapai target laba (Cohen dan Zarowin, 2010).
Menurut Roychowdhury (2006) menyatakan bahwa campur tangan
manajer dalam proses pelaporan keuangan tidak hanya melalui metode-
metode atau estimasi-estimasi akuntansi saja tetapi juga dilakukan melalui
keputusan-keputusan yang berhubungan dengan kegian operasional.
Pengeseran dari manajemen akrual ke manipulasi aktivitas riil ini
menurut Roychowdhury (2006) disebabkan karena:
1. Manipulasi akrual kemungkinan besar akan menarik perhatian auditor
atau regulatory scrutiny dibandingkan dengan keputusan-keputusan
riil, seperti yang dihubungkan dengan penetapan harga dan produksi.
2. Mengandalkan pada manipulasi akrual saja membawa resiko.
Realisasi akhir tahun yag defisit antara laba yang tidak dimanipulasi
dengan target laba yang diinginkan dapat melebihi jumlah yang
dimungkinkan untuk memanipulasi akrual setelah akhir periode
fiskal.jika laba dilaporka turun dari target hal ini menjadi lemah.
Dengan demikian melakukan praktek manipulasi melalui aktivitas
riil merupakan jalan aman dalam mencapai target laba. Graham et al.
(2005) memberikan bukti pendukung bahwa para manjer menyukai
manajemen laba riil dibanding manajemen laba akrual, karena aktivitas
manajemen laba riil sulit dibedakan dari keputusan bisnis optimal dan
21
lebih sulit diseleksi, meskipun biaya-biaya yang digunakan dalam aktivitas
tersebut secara ekonomik signifiksn bagi perusahaan.
Manajemen laba riil dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara yaitu:
1. Manipulasi penjualan. Manipulasi penjualan merupakan usaha untuk
meningkatkan penjualan secara temporer dalam periode tertentu
dengan menawarkan diskon harga produk secara berlebihan atau
memberikan persyaratan kredit yang lebih lunak. Strategi ini dapat
meningkatkan volume penjualan dan laba periode saat ini, dengan
mengasumsikan marginnya positif. Namun pemberian diskon harga
dan syarat kredit yang lebih lunak akan menurunkan aliran kas periode
saat ini.
2. Penurunan beban-beban diskresionari (dicretionary expenditures).
Perusahaan dapat menurunkan discretionary expenditures seperti
beban penelitian dan pengembangan, iklan, dan penjualan,
adminstrasi, dan umum terutama dalam periode di mana pengeluaran
tersebut tidak langsung menyebabkan pendapatan dan laba. Strategi
ini dapat meningkatkan laba dan arus kas periode saat ini namun
dengan resiko menurunkan arus kas periode mendatang.
3. Produksi yang berlebihan (overproduction). Untuk meningkatkan
laba, manajer perusahaan dapat memproduksi lebih banyak daripada
yang diperlukan dengan asumsi bahwa tingkat produksi yang lebih
tinggi akan menyebabkan biaya tetap per unit produk lebih rendah.
22
Strategi ini dapat menurunkan kos barang terjual (cost of goods sold)
dan meningkatkan laba operasi.
Manajemen laba riil merupakan penyimpangan dari praktek
operasional perusahaan yang normal. Ketiga cara manipulasi aktivitas riil
di atas mungkin merupakan keputusan yang optimal dalam kondisi
ekonomi tertentu. Namun, jika manajer melakukan aktivitas- aktivitas
tersebut secara lebih intensif daripada yang optimal dengan tujuan
mencapai target laba, maka tindakan tersebut dapat didefinisikan sebagai
teknik manajemen laba (Roychowdhury, 2006; Cohen et al., 2008; Cohen
dan Zarowin, 2010) .
Ketiga cara manipulasi aktivitas riil di atas biasanya dilakukan oleh
perusahaan-perusahan dengan kinerja yang buruk sehingga tidak banyak
memiliki akrual untuk dimanipulasi. Satu-satunya cara adalah dengan
manipulasi aktivitas riil tersebut terutama untuk mencapai laba sedikit di
atas nol. Dengan ketiga cara di atas perusahaan-perusahaan yang diduga
(suspect) melakukan manipulasi aktivitas riil akan mempunyai abnormal
cash flow operations (CFO) dan abnormal discretionary expenses yang
lebih kecil serta abnormal production cost yang lebih besar dibandingkan
perusahaan-perusahaan lain.
2.1.5. Pergeseran Klasifikasi
Classification shifting merupakan alat manajemen laba yang lain
diluar manajemen akrual dan manipulai aktivitas ekonomi riil.
Classification shifting adalah kesalahan klasifikasi items di dalam laporan
23
laba rugi. Classification shifting dapat juga diartikan menggeser atau
merubah biaya inti/core expenses (harga pokok penjualan, dan biaya
penjualan, serta biaya umum dan administrasi) ke special items.
Pergerakan vertikal dari biaya tidak akan mengubah bottom line earnings,
tetapi core earnings akan overstatement. Para manajer dalam
memaksimumkan pelaporan kinerja akan menurunkan biaya atau akan
menaikkan pendapatan dalam laporan laba rugi untuk menyajikan suatu
gambaran yang tidak sesuai dengan kenyataan ekonomi. Classification
shifting berbeda dengan manajemen akrual dan manipulasi aktivitas
ekonomi riil dalam beberapa hal. Pertama classification shifting tidak
mengubah laba GAAP, dan yang kedua adalah classification shifting
memudahkan analisis dengan mengelompokkan items yang mempunyai
karakteristik serupa. Selain terdapat perbedaan antara manajemen akrual
dan manipulasi aktivitas ekonomi riil dengan classification shifting,
terdapat pula persamaan di antara ketiga metode manajemen laba tersebut,
yaitu: sama–sama mempunyai harapan yang tinggi terhadap kinerja masa
depan. Untuk metode classification shifting, penelitian ini memusatkan
pada alokasi biaya antara biaya inti (harga pokok penjualan, dan biaya
penjualan, serta biaya umum dan administrasi) dan special items, metode
classification shifting dilakukan dengan pengujian atas core earnings dan
special items. Mc Vay (2006) dan Pratama dan Rahmawati (2007) telah
menguji classification shifting (pengujian atas core earnings dan special
items) sebagai alat manajemen laba. Mc Vay melakukan pengamatan
24
terhadap 76.901 perusahaan dari tahun 1989 sampai tahun 2003. Mc Vay
(2006) membagi core earnings perusahaan menjadi dua, yaitu: expected
dan unexpected komponen, yang disajikan dalam model expected core
earnings serupa dengan model akrual Jones (1991), sedangkan Pratama
dan Rahmawati (2007) menggunakan sampel perusahaan manufaktur yang
terdaftar di BEI.
Penelitian-penelitian tersebut menemukan bahwa unexpected core
earnings (reported core earnings less predicted core earnings) meningkat
di dalam special items. Asosiasi ini konsisten dengan para manajer yang
mengklasifikasikan core expenses sebagai special items, peningkatan ini
terjadi pada core earnings dan income decreasing special items. Di dalam
penelitiannya mengenai alat manajemen laba classification shifting
(pengujian atas core earnings dan special items), penelitian tersebut
menguji apakah para manajer mengklasifikasikan core expenses sebagai
special items dan apakah special items mempunyai pengaruh terhadap core
earnings. Penelitian-penelitian tersebut mengenai classification shifting
(pengujian atas core earnings dan special items) memusatkan pada alokasi
biaya antara core expenses (harga pokok penjualan, dan biaya penjualan,
serta biaya umum dan administrasi) dan special items. Penelitian mengenai
classification shifting (pengujian atas core earnings dan special items)
karena jarang ada peneliti yang mengangkat tema mengenai classification
shifting, kebanyakan dari mereka meneliti alat manajemen laba yang sudah
sering diangkat dalam penelitian dan umumnya banyak digunakan oleh
25
para manajer, yaitu: manajemen akrual dan manipulasi aktivitas ekonomi
riil secara parsial-parsial. Sebenarnya classification shifting (pengujian
atas core earnings dan special items) tidak kalah bagus dengan alat
manajemen laba yang lain, bahkan clssification shifting mempunyai
beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan alat manajemen laba yang
lain, tetapi mengapa sangat jarang ada peneliti yang mengangkat tema
classification shifting sebagai objek penelitiannya. Oleh karena itu,
penelitian ini lebih memilih classification shifting (pengujian atas core
earnings dan special items) sebagai objek penelitiannya dibandingkan
dengan alat manajemen laba yang lain yang sudah sering dijadikan objek
penelitian, semisal: manajemen akrual dan manipulasi aktivitas ekonomi
riil. Selain itu, penelitian ini memberikan gambaran kepada kita bahwa
para manajer dalam kenyataanya selalu ingin memperlihatkan core
earnings perusahaan yang tinggi dengan menggeser atau merubah biaya
yang seharusnya biaya tersebut diklasifikasikan sebagai core expenses
akan tetapi biaya tersebut akhirnya dimasukkan ke special items.
2.1.5.1. Core Earnings
Yang dimaksud dengan core earnings di sini adalah laba yang
dihitung atau diperoleh dari penjualan dikurangi harga pokok penjualan
dikurangi biaya penjualan dan biaya umum dan adminstrasi, di mana harga
pokok penjualan dan biaya penjualan, serta biaya umum dan administrasi
tidak termasuk depresiasi dan amortisasi.
26
2.1.5.2. Special Items
Special items didefinisikan sebagai pos - pos material yang jarang
muncul, yang secara signifikan berbeda dengan aktivitas bisnis utama
perusahaan. Special items adalah kejadian dan transaksi yang dibedakan
oleh sifatnya yang tidak biasa atau khusus dan oleh kejarangan terjadinya.
Kriteria untuk special items adalah sebagai berikut:
a. Bersifat tidak biasa
Kejadian atau transaksi yang mendasari harus memiliki tingkat
abnormalitas yang tinggi dan merupakan jenis yang jelas tidak
berhubungan, atau hanya bersifat insidentil berkaitan dengan aktivitas
normal dan umum perusahaan, dengan memperhitungkan lingkungan di
mana perusahaan beroperasi.
b. Kejarangan terjadinya
Kejadian atau transaksi yang mendasari harus merupakan jenis yang tidak
diharapkan akan terjadi kembali di masa mendatang, dengan
memperhitungkan lingkungan di mana perusahaan beroperasi.
2.1.6. Reaksi Pasar
Penelitian studi peristiwa meneliti reaksi pasar karena terdapat
suatu peristiwa. Pasar akan bereaksi pada peristiwa yang mengandung
informasi. Suatu peristiwa dapat diibaratkan sebagai suatu kejutan
(surprise) atau sesuatu yang tidak diharapkan (unexpected). Semakin besar
kejutannya, semakin besar reaksi pasarnya. Reaksi pasar dari suatu
peristiwa diproksikan dengan abnormal return. Abnormal return yang
27
bernilai nol menunjukkan bahwa pasar tidak bereaksi terhadap peristiwa
yang terjadi. Jika pasar bereaksi terhadap peristiwa yang terjadi, maka
akan diperoleh abnormal return signifikan berbeda dengan nol. Tanda dari
abnormal return positif atau negatif menunjukkan arah reaksi pasar terjadi
akibat kabar baik atau buruk. Peristiwa kabar baik diharapkan akan
direaksi secara positif oleh pasar, begitu juga sebaliknya kabar buruk akan
direaksi secara negatif oleh pasar.
Suatu peristiwa atau informasi dianggap sebagai kabar baik atau
kabar buruk dihubungkan dengan nilai ekonomis yang dikandungnya. Jika
suatu peristiwa atau informasi mengandung nilai ekonomis meningkatkan
nilai perusahaan, maka dikategorikan sebagai kabar baik. Jika peristiwa
tersebut mengandung nilai ekonomis menurunkan nilai perusahaan, maka
termasuk sebagai kabar buruk.
Selain menggunakan abnormal return, reaksi pasar juga dapat
ditunjukkan dengan adanya perubahan volume perdagangan saham yang
diukur dengan trading volume activity (TVA). Dengan menggunakan
volume perdagangan saham, maka dapat dikatakan bahwa suatu
pengumuman yang mengandung informasi mengakibatkan tingkat
permintaan saham akan lebih tinggi daripada tingkat penawaran saham
sehingga volume perdagangan saham mengalami peningkatan. Sebaliknya,
jika pengumuman tidak mengandung informasi maka tingkat permintaan
saham akan lebih rendah dibandingkan tingkat penawaran saham sehingga
volume perdagangan saham mengalami penurunan.
28
Semakin cepat informasi baru tercermin pada harga sekuritas,
semakin efisien pasar modal tersebut maka akan sangat sulit bagi para
pemodal untuk memperoleh tingkat keuntungan diatas normal secara
konsisten dengan melakukan transaksi perdagangan di bursa efek.
Efisiensi dalam artian ini sering juga disebut sebagai efisiensi pasar secara
informasi yaitu bagaimana pasar bereaksi terhadap informasi yang tersedia
(Hartono, 2008). Jadi harga saham yang berlaku di pasar modal sudah
merefleksikan semua informasi yang terjadi. Perubahan keyakinan
investor atas informasi disebut juga dengan reaksi pasar yang berkaitan
dengan konsep pasar efisien (Efficient markets hypothesis). Umumnya
reaksi pasar ditunjukkan oleh perubahan harga saham melebihi kondisi
normal sehingga menimbulkan return yang tidak normal atau abnormal
return. Dengan demikian, return dapat menggambarkan reaksi investor
terhadap adanya informasi. maka kondisi pasar seperti ini disebut dengan
pasar efisien (Hartono, 2010: 517).
Reaksi pasar ditunjukkan dengan adanya perubahan harga dari
sekuritas yang bersangkutan. Reaksi ini dapat diukur dengan
menggunakan return sebagai nilai perubahan harga atau dengan
menggunakan abnormal return. Jika digunakan abnormal return, maka
dapat dikatakan bahwa suatu pengumuman yang mempunyai kandungan
informasi akan memberikan abnormal return kepada pasar. Sebaliknya
return yang tidak mengandung informasi tidak memberikan abnormal
return kepada pasar.
29
2.1.6.1. Abnormal Return
Abnormal return merupakan salah satu indikator yang dapat
dipakai guna melihat keadaan pasar yang sedang terjadi. Efisiensi pasar
diuji dengan melihat return tidak normal (abnormal return) yang terjadi.
Pasar dikatakan tidak efisien jika satu atau beberapa pelaku pasar dapat
menikmati return yang tidak normal dalam jangka waktu yang cukup lama.
(Hartono, 2009) mendefinisikan Abnormal return atau excess return
sebagai selisih antara actual return dan expected return. Abnormal return
akan positif jika return yang didapatkan lebih besar dari return yang
diharapkan. Sedangkan abnormal return akan negatif jika return yang
didapatkan lebih kecil dari return yang diharapkan.
a) Return Realisasi (Actual return). Tujuan investor berinvestasi adalah
memaksimalkan return, tanpa melupakan faktor resiko investasi yang
harus dihadapinya. Menurut Tandelilin (2001: 47) return merupakan
salah satu faktor yang memotivasi investor berinvestasi dan juga
merupakan imbalan atas keberanian investor menanggung resiko atas
imbalannya.
b) Return yang diharapkan (Expected return). Menurut Brown dan
Warner (1985) dalam Hartono (2008: 550) return ekspektasi (expected
return) adalah return yang diharapkan akan diperoleh investor di masa
mendatang. Berbeda dengan return realisasi yang sifatnya sudah
terjadi, return ekspektasi sifatnya belum terjadi. Untuk menghitung
30
expected return dapat menggunakan model estimasi mean-adjusted
model, market model, dan market adjusted model.
1. Model disesuaikan rata-rata (mean adjusted model) menganggap
bahwa return ekspektasi bernilai konstan yang sama dengan rata-rata
return realisasi sebelumnya selama periode estimasi. Return yang
diharapkan dihitung dengan cara membagi return realisasi suatu
perusahaan pada periode estimasi dengan lamanya periode estimasi.
2. Model pasar (market model), perhitungan return ekspektasi dilakukan
dengan dua tahap yaitu membentuk model ekspektasi dengan
menggunakan data realisasi selama periode estimasi dan
menggunakan model ekspektasi ini untuk mengestimasi return
ekspektasi selama periode window. Model ekspektasi dihitung dengan
menjumlahkan nilai ekspektasi return yang tidak dipengaruhi oleh
perubahan pasar, tingkat keuntungan indeks pasar, dan bagian return
yang tidak dipengaruhi oleh perubahan pasar.
3. Model disesuaikan pasar (market adjusted model) menganggap bahwa
penduga yang terbaik untuk mengestimasi return suatu sekuritas
adalah return indeks pasar pada saat tersebut. Periode estimasi tidak
perlu digunakan untuk membentuk model estimasi, karena return
sekuritas yang diestimasi adalah sama dengan return indeks pasar.
2.2. Penelitian Terdahulu
Terdapat beberapa penelitian sebelumnya mengenai pengaruh
manajemen laba berbasis akrual, manipulasi aktivitas riil, dan pergeseran
31
klasifikasi terhadap reaksi pasar, dimana nantinya penelitian-penelitian
tersebut akan dijadikan referensi oleh peneliti. Beberapa penelitian
tersebut antara lain :
1. Roychowdhury (2006) mengenai Earnings Management Through Real
Activities Manipulation. Hasil penelitan tersebut adalah aktivitas
manajemen laba melalui manipulasi aktivitas riil berpengaruh negatif
terhadap arus kas kegiatan operasi.
2. Rahmawati, Anastasia Riana Suprapti, dan Sri Seventi (2007)
mengenai Model Strategi Manajemen Laba Pada Perusahaan Publik
Di Bursa Efek Indonesia : Suatu Pemeriksaan Pergeseran Klasifikasi
Serta Dampaknya Terhadap Kinerja Saham, Pemilihan Metoda
Akuntansi, Dan Pengaturan Waktu Transaksi. Hasil peneltian tersebut
adalah 1) investor tidak bereaksi terhadap strategi manajemen laba
pergeseran klasifikasi. 2) strategi manajemen laba pemilihan metoda
akuntansi dan pengaturan waktu transaksi berpengaruh terhadap
akrual diskresioner.
3. Annisaa’Rahman dan Yanthi Hutagaol (2008) mengenai Manajemen
Laba Melalui Akrual dan Aktivitas Real Pada Penawaran Perdana dan
Hubungannya dengan Kinerja Jangka Panjang. Hasil penelitian
tersebut adalah manajemen laba melalui akrual terbukti
mempengaruhi kinerja pasar dalam jangka pendek. Kemampuan
manajemen laba memprediksi kinerja saham dalam jangka waktu yang
lebih panjang menjadi menurun. Penelitian ini juga tidak menemukan
32
perbedaan kinerja saham pada setiap jangka waktu yang disebabkan
oleh praktek manajemen laba yang konservatif dan agresif.
4. Zirman dan Lily (2009) mengenai Pengaruh Manajemen Laba
Terhadap Abnormal Return. Hasil penelitian tersebut adalah 1) Akrual
diskresioner (manajemen akrual) berpengaruh negatif terhadap
abnormal return. 2) Arus kas operasi (manipulasi aktivitas riil)
berpengaruh negatif terhadap abnormal return.
5. Dwi Ratmono (2010) mengenai Manajemen Laba Riil dan Berbasis
Akrual: Dapatkah Auditor yang Berkualitas Mendeteksinya?. Hasil
penelitian tersebut adalah manajer lebih cenderung memilih
memanipulasi laba melalui akitivitas riil daripada pengaturan akrual.
6. Equivalent Armando dan Aria Farahmita (2011) mengenai
Manajemen Laba Melalui Akrual dan Aktivtas Riil di Sekitar
Penawaran Saham Tambahan dan Pengaruhnya Terhadap Kinerja
Perusahaan. Hasil penelitan tersebut adalah manajemen laba melalui
kebijakan akrual yang dilakukan perusahaan tidak berpengaruh
signifikan terhadap kinerja perusahaan. Diduga dampak manajemen
laba akrual terhadap kinerja perusahaan belum terlihat dalam satu
tahun pengamatan pasca SEO.
7. Koyuimirsa (2011) mengenai Dampak Manajemen Laba Akrual dan
Manajemen Laba Riil Terhadap Kinerja Pasar. Hasil penelitan
tersebut adalah adanya hubungan positif antara perusahaan yang
33
cenderung melakukan manipulasi aktivitas riil melalui arus kas
operasi terhadap kinerja pasar.
8. Maria Arunjati (2011) mengenai Manajemen Laba Melalui
Manipulasi Aktivitas Riil Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar
di BEI. Hasil penelitan tersebut adalah sebagian besar perusahaan
manufaktur menerapkan manajemen laba dengan cara memanipulasi
aktivitas riil melalui arus kas operasi dan biaya diskresioner.
9. Nurainun Bangun dan Priska Dwicahya Safei (2011) mengenai
Pengaruh Manajemen Laba terhadap Return Saham pada perusahaan
yang diaudit oleh KAP Big Four dan Non-Big Four. Hasil penelitan
tersebut adalah secara parsial maupun simultan terapat pengaruh yang
signifikan antara manajemen laba dengan return saham pada
perusahaan yang diaudit oleh KAP Big Four maupun Non- Big Four
walaupun arah pengaruhnya berlawanan.
10. Sri Hastuti (2011) mengenai Titik Kritis Manajemen Laba Pada
Perubahan Tahap Life Cycle Perusahaan : Analisis Manajemen Laba
Riil Dan Manajemen Laba Akrual. Hasil penelitan tersebut adalah
perusahaan-perusahaan yang berada pada titik kritis growth-mature
dan mature-stagnant memilih discretionary accrual yang menaikkan
laba. Namun, penelitian ini tidak dapat membuktikan bahwa
perusahaan-perusahaan yang berada pada titik kritis growth-mature
dan mature-stagnant melakukan manajemen laba riil.
34
11. Eka Hariyani (2012) mengenai Pengaruh Manipulasi Aktivitas Riil
Terhadap Profitabilitas Perusahaan LQ 45 di Bursa Efek Indonesia.
Hasil penelitan tersebut adalah 1) Terdapat manipulasi aktivitas riil
pada perusahaan LQ 45 yang dilakukan melalui arus kas operasi
karena arus kas operasi menunjukan 24 nilai rendah dibawah 0 rerata.
2) Tidak terdapat pengaruh manipulasi aktivitas riil terhadap
profitabilitas perusahaan LQ 45. 3) Perusahaan yang melakukan
manipulasi aktivitas riil menunjukan lebih rendah profitabilitasnya
dibandingkan dengan profitabilitas perusahaan yang tidak melakukan
manipulasi aktivitas riil.
12. Ferdiansyah dan Dian Purnamasari (2012) mengenai Pengaruh
Manajemen Laba Terhadap Return Saham Dengan Kecerdasan
Investor Sebagai Variabel Moderating. Hasil penelitan tersebut adalah
manajemen laba berpengaruh positif dan signifikan terhadap return
saham, sedangkan manajemen laba berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap return saham ketika mempertimbangkan kecerdasan investor
sebagai variabel moderating.
13. Reza Anggraini (2014) mengenai Dampak Manipulasi Aktivitas Riil
Melalui Arus Kas Operasi Terhadap Kinerja Pasar. Hasil penelitian
tersebut adalah manipulasi aktivitas riil melalui arus kas operasi tidak
berpengaruh terhadap kinerja pasar.
14. Rizal Dewangga Phalevi (2015) mengenai Pengaruh Manajemen Laba
Berbasis Akrual dan Manipulasi Aktivitas Riil Terhadap Return
35
Saham. Hasil penelitian tersebut adalah 1) Terdapat pengaruh positif
manajemen laba berbasih akrual terhadap return saham. 2) Terdapat
pengaruh positif manipulasi aktivitas riil terhadap return saham.
15. Elsa Imelda dan Agnes Palauw (2015) mengenai Analisis Manajemen
Laba Melalui Akrual Diskresioner Dan Manipulasi Aktivitas Riil Pada
Penawaran Publik Perdana Dan Efeknya Terhadap Kinerja Pasar
Jangka Panjang. Hasil penelitian ini adalah perusahaan memilih
melakukan manajemen laba melalui akrual diskresioner daripada
manipulasi aktivitas riil saat IPO dan perbedaan ini menjadi lebih
kecil cenderung kebalikannya.
Tabel 2.1
Ringkasan Penelitian Terdahulu
No Peneliti dan
Tahun
Judul Metode
Analisis
Hasil Penelitian
1 Roychowdhury
(2006)
Earnings
Management
Through Real
Activities
Manipulation
Regresi
Linear
Sederhana
Aktivitas manajemen
laba melalui manipulasi
aktivitas riil
berpengaruh negatif
terhadap arus kas
kegiatan operasi
2 Rahmawati,
Anastasia
Model Strategi
Manajemen Laba
Regresi
Linear
1. strategi manajemen
laba pergeseran
36
Riana Suprapti,
dan Sri Seventi
(2007)
Pada Perusahaan
Publik Di Bursa
Efek Indonesia :
Suatu
Pemeriksaan
Pergeseran
Klasifikasi Serta
Dampaknya
Terhadap Kinerja
Saham, Pemilihan
Metoda
Akuntansi, Dan
Pengaturan Waktu
Transaksi
Berganda klasifikasi tidak
berpengaruh
terhadap kinerja
saham.
2. strategi manajemen
laba pemilihan
metoda akuntansi
dan pengaturan
waktu transaksi
berpengaruh
terhadap akrual
diskresioner.
3 Annisaa’Rahm
an dan Yanthi
Hutagaol
(2008)
Manajemen Laba
Melalui Akrual
dan Aktivitas Real
Pada Penawaran
Perdana dan
Hubungannya
dengan Kinerja
Jangka Panjang.
Regresi
Linear
Berganda
Manajemen laba
melalui akrual terbukti
mempengaruhi kinerja
pasar dalam jangka
pendek. Kemampuan
manajemen laba
memprediksi kinerja
saham dalam jangka
waktu yang lebih
37
panjang menjadi
menurun. Penelitian ini
juga tidak menemukan
perbedaan kinerja
saham pada setiap
jangka waktu yang
disebabkan oleh praktek
manajemen laba yang
konservatif dan agresif.
4 Zirman dan
Lily (2009)
Pengaruh
Manajemen Laba
Terhadap
Abnormal Return
Regresi
Linear
Berganda
1. Akrual diskresioner
(manajemen
akrual)
berpengaruh
negatif terhadap
abnormal return.
2. Arus kas operasi
(manipulasi
aktivitas riil)
berpengaruh
negatif terhadap
abnormal return.
5 Dwi Ratmono Manajemen Laba Regresi manajer lebih
38
(2010) Riil dan Berbasis
Akrual: Dapatkah
Auditor yang
Berkualitas
Mendeteksinya?
Linear
Berganda
cenderung memilih
memanipulasi laba
melalui akitivitas riil
daripada pengaturan
akrual.
6 Equivalent
Armando dan
Aria Farahmita
(2011)
Manajemen Laba
Melalui Akrual
dan Aktivtas Riil
di Sekitar
Penawaran Saham
Tambahan dan
Pengaruhnya
Terhadap Kinerja
Perusahaan
Regresi
Linear
Berganda
manajemen laba
melalui kebijakan
akrual yang dilakukan
perusahaan tidak
berpengaruh signifikan
terhadap kinerja
perusahaan
7 Koyuimirsa
(2011)
Dampak
Manajemen Laba
Akrual dan
Manajemen Laba
Riil Terhadap
Kinerja Pasar
Regresi
Linear
Berganda
adanya hubungan
positif antara
perusahaan yang
cenderung melakukan
manipulasi aktivitas riil
melalui arus kas operasi
terhadap kinerja pasar.
8 Maria Arunjati Manajemen Laba Regresi sebagian besar
39
(2011) Melalui
Manipulasi
Aktivitas Riil
Pada Perusahaan
Manufaktur yang
Terdaftar di BEI.
Linear
Berganda
perusahaan manufaktur
menerapkan
manajemen laba dengan
cara memanipulasi
aktivitas riil melalui
arus kas operasi dan
biaya diskresioner
9 Nurainun
Bangun dan
Priska
Dwicahya
Safei (2011)
Pengaruh
Manajemen Laba
terhadap Return
Saham pada
perusahaan yang
diaudit oleh KAP
Big Four dan
Non-Big Four
Regresi
Linear
Berganda
secara parsial maupun
simultan terapat
pengaruh yang
signifikan antara
manajemen laba dengan
return saham pada
perusahaan yang diaudit
oleh KAP Big Four
maupun Non- Big Four
walaupun arah
pengaruhnya
berlawanan
10 Sri Hastuti
(2011)
Titik Kritis
Manajemen Laba
Pada Perubahan
Tahap Life Cycle
Regresi
Linear
Berganda
perusahaan-perusahaan
yang berada pada titik
kritis growth-mature
dan mature-stagnant
40
Perusahaan :
Analisis
Manajemen Laba
Riil Dan
Manajemen Laba
Akrual
memilih discretionary
accrual yang menaikkan
laba. Namun, penelitian
ini tidak dapat
membuktikan bahwa
perusahaan-perusahaan
yang berada pada titik
kritis growth-mature
dan mature-stagnant
melakukan manajemen
laba riil.
11 Eka Hariyani
(2012)
Pengaruh
Manipulasi
Aktivitas Riil
Terhadap
Profitabilitas
Perusahaan LQ 45
di Bursa Efek
Indonesia.
Regresi
Linear
Berganda
1. Terdapat
manipulasi
aktivitas riil
pada perusahaan
LQ 45 yang
dilakukan
melalui arus kas
operasi karena
arus kas operasi
menunjukan 24
nilai rendah
dibawah 0
41
rerata.
2. Tidak terdapat
pengaruh
manipulasi
aktivitas riil
terhadap
profitabilitas
perusahaan LQ
45.
3. Perusahaan
yang melakukan
manipulasi
aktivitas riil
menunjukan
lebih rendah
profitabilitasnya
dibandingkan
dengan
profitabilitas
perusahaan yang
tidak melakukan
manipulasi
aktivitas riil.
42
12 Ferdiansyah
dan Dian
Purnamasari
(2012)
Pengaruh
Manajemen Laba
Terhadap Return
Saham Dengan
Kecerdasan
Investor Sebagai
Variabel
Moderating
Regresi
Linear
Berganda
manajemen laba
berpengaruh positif dan
signifikan terhadap
return saham,
sedangkan manajemen
laba berpengaruh
negatif dan signifikan
terhadap return saham
ketika
mempertimbangkan
kecerdasan investor
sebagai variabel
moderating
13 Reza Anggraini
(2014)
Dampak
Manipulasi
Aktivitas Riil
Melalui Arus Kas
Operasi Terhadap
Kinerja Pasar
Regresi
Linear
Berganda
manipulasi aktivitas riil
melalui arus kas operasi
tidak berpengaruh
terhadap kinerja pasar
14 Rizal
Dewangga
Phalevi (2015).
Pengaruh
Manajemen Laba
Berbasis Akrual
Regresi
Linear
Berganda
1. Terdapat pengaruh
positif manajemen
laba berbasih
43
dan Manipulasi
Aktivitas Riil
Terhadap Return
Saham
akrual terhadap
return saham.
2. Terdapat pengaruh
positif manipulasi
aktivitas riil
terhadap return
saham
15 Elsa Imelda
dan Agnes
Palauw (2015)
Analisis
Manajemen Laba
Melalui Akrual
Diskresioner Dan
Manipulasi
Aktivitas Riil
Pada Penawaran
Publik Perdana
Dan Efeknya
Terhadap Kinerja
Pasar Jangka
Panjang
Regresi
Linear
Berganda
perusahaan memilih
melakukan manajemen
laba melalui akrual
diskresioner daripada
manipulasi aktivitas riil
saat IPO dan perbedaan
ini menjadi lebih kecil
cenderung
kebalikannya.
44
Dari beberapa penelitian yang telah dipaparkan di atas terdapat
beberapa perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan antara lain :
1. Variabel
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah manajemen
laba akrual , manipulasi aktivitas riil, pergeseran klasifikasi dan
reaksi pasar.
2. Studi kasus penelitian
Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah perusahaan
manufaktur sektor food and beverages yang terdaftar di BEI .
3. Tahun penelitian
Data-data yang digunakan dalam penelitian ini data dengan kurun
waktu tahun 2010 sampai dengan 2015.
2.3. Kerangka Pemikiran
Kerangka penelitian ini didasarkan pada hubungan manajemen laba
dengan reaksi pasar. Dimana manajemen laba pada penelitian ini dipecah
menjadi tiga model strategi yaitu manajemen laba berbasis akrual,
manajemen laba manipulasi aktivitas riil, dan manajemen laba pergeseran
klasifikasi. Berdasarkan teori dan penelitian terdahulu yang menganalisis
pengaruh manajemen laba terhadap rekasi pasar, maka model empiris
daripenelitian ini digambarkan sebagai berikut :
45
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran Teoritis
2.4. Pengembangan Hipotesis
2.4.1. Manajemen laba akrual terhadap reaksi pasar
Berdasarkan kenyataan yang ada, investor dan calon investor
cenderung memperhatikan laba yang terdapat dalam laporan keuangan
tanpa memperhatikan bagaimana laba tersebut didapatkan. Oleh karena itu,
informasi laba memainkan peranan penting dalam proses pengambilan
Reaksi Pasar
Strategi Manajemen Laba
Pergeseran Klasifikasi
Strategi Manajemen Laba
Manipulasi Aktivitas Riil
Strategi Manajemen Laba
Pergeseran Klasifikasi
Strategi Manajemen Laba
Manajemen Akrual
Manajemen Laba
Manipulasi Aktivitas Riil
Manajemen Laba
Pergeseran Klasifikasi
Manajemen Laba Akrual
46
keputusan oleh pemakai laporan keuangan. Situasi ini disadari oleh
manajemen terutama dari kalangan manajemen yang kinerjanya diukur
berdasarkan informasi tersebut, sehingga mendorong timbulnya
disfunctional behaviour. Manajemen selaku pengelola perusahaan
mempunyai informasi tentang perusahaan lebih banyak dan lebih dahulu
daripada pemilik perusahaan, sehingga menimbulkan asimetri informasi
yang memungkinkan pihak manajemen melakukan manajemen laba untuk
mencapai suatu kinerja tertentu. Subramanyan (1996) dalam Ardiati
(2003) membagi laba menjadi tiga komponen, yaitu arus kas operasi, non-
discretionary accruals, dan discretionary accruals bahwa ketiga
komponen tersebut direspon oleh pasar saham. Pemilihan discretionary
accruals oleh perusahaan dapat menyebabkan terjadinya kenaikan maupun
penurunan laba, sehingga membuat investor akan merespon harga pasar
saham. Selain itu, menurut Subramanyam (1996) apabila pasar dapat
membedakan discretionary accruals yang bersifat oportunis dan efisien
maka discretionary accruals yang oportunis akan berhubungan negatif
dengan return saham dan discretionary accruals yang efisien akan
berhubungan positif dengan return saham. Manajemen laba yang
dilakukan manajer dengan mengatur angka-angka laba yang dilaporkan
agar sesuai kepentingan pribadinya maupun kepentingan perusahaan. Hal
ini dapat menyesatkan investor dalam mengestimasi return yang
diharapkan. Jika investor mengetahui adanya praktek manajemen laba
yang dilakukan perusahaan dan mengetahui kondisi perusahaan yang
47
sesungguhnya, yang lebih baik bahkan lebih buruk dari kondisi perusahaan
yang dilaporkan, maka mereka akan cenderung merespon harga pasar
saham dan diikuti dengan koreksi harga saham.
H1: Manajemen laba akrual berpengaruh terhadap reaksi pasar
2.4.2. Manajemen laba manipulasi aktivitas rill terhadap reaksi pasar
Manajemen laba riil merupakan manipulasi yang dilakukan oleh
manajemen melalui aktivitas perusahaan sehari-hari selama periode
akuntansi. Teknik yang dapat dilakukan dalam manajemen laba riil antara
lain manajemen penjualan, overproduction, dan pengurangan biaya
diskresioner. Ratmono (2010) menjelaskan perusahaan yang melakukan
manajemen laba riil mempunyai paling tidak salah satu dari tiga indikator
manajemen laba riil yaitu arus kas operasi abnormal, biaya produksi
abnormal dan biaya diskresioner abnormal. Motivasi manajemen
melakukan manajemen laba riil karena adanya tekanan maupun dorongan
manajemen untuk meningkatkan laba jangka pendek serta rendahnya fokus
manajemen terhadap rencana jangka panjang perusahaan. Perilaku
oportunis manajemen memfokuskan kepada aktivitas-aktivitas yang dapat
mempengaruhi laba, yaitu dengan manajemen laba riil melalui ketiga
aktivitas yaitu manajemen penjualan, overproduction, dan pengurangan
biaya diskresioner. Manajemen penjualan yang menyebabkan volume
penjualan meningkat dapat menyebabkan laba periode berjalan tinggi,
namun arus kas masuk kecil karena akibat diskon berlebihan dan penjualan
kredit. Overproduction yang dilakukan untuk mencapai permintaan yang
48
diharapkan juga akan meingkatkan laba, tetapi arus kas operasi perusahaan
lebih rendah daripada tingkat penjualan normal. Pengurangan biaya
diskresioner dapat juga meningkatkan laba periode berjalan dan
meningkatkan arus kas operasi perusahaan. Namun jika pengurangan biaya
diskresioner tanpa pertimbangan yang tepat maka akan berakibat buruk
terhadap laba masa depan. Dapat disimpulkan jika manajemen melakukan
manajemen laba riil maka perusahaan akan meningkatkan laba yang akan
meningkatkan kinerja perusahaan, jika kinerja perusahaan meningkat maka
harga saham akan meningkat sehingga kinerja pasar akan meningkat.
H2: Manajemen laba manipulasi aktivitas riil berpengaruh terhadap reaksi
pasar
2.4.3. Manajemen laba pergeseran klasifikasi terhadap reaksi pasar
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mc Vay (2006) dan Pratama
dan Rahmawati (2007) menunjukkan bahwa special items mempunyai
pengaruh terhadap core earnings, dan para manajer mengklasifikasikan
core expenses sebagai special items serta para manajer mengklasifikasikan
more core expenses sebagai special items pada periode ketika laba bersih
dengan pergeseran klasifikasi diharapkan menjadi lebih besar. Satu
insentif/pendorong untuk mengatur laba adalah memaksimalkan harga
saham untuk sementara (misalnya: Rangan 1998; Teoh et al. 1998; Bartov
dan Mohanram 2004 dalam Mc Vay (2006). Oleh karena itu, hal tersebut
sangat informatif untuk menentukan apakah para investor secara negatif
terkejut ketika biaya yang digeser/diubah dari biaya inti pada tahun t
49
terulang sebagai biaya inti pada tahun t + 1. Para investor mungkin dapat
mengidentifikasi ketidaknormalan laba inti yang tinggi pada tahun t, tetapi
tidak dapat membedakan dengan yang asli, maupun peningkatan ekonomi
riil yang berhubungan dengan pos khusus atau penggeseran/perubahan
klasifikasi. Hal itu terulang kembali dari sebelumnya mengeluarkan biaya
pada tahun t+1 bahwa ex post mengidentifikasi sumber laba inti tak
diduga. Untuk menyelidiki apakah para investor terkejut ketika biaya yang
sebelumnya dikeluarkan dari laba inti terulang, kami menguji market-
adjusted returns tahun berikutnya.
H3: Manajemen laba pergeseran klasifikasi berpengaruh terhadap reaksi
pasar
2.4.4. Manajemen laba akrual, manipulasi aktivitas riil dan pergeseran klasifikasi
terhadap reaksi pasar
Roychowdhury (2006) menyatakan bahwa campur tangan manajer
dalam proses pelaporan keuangan tidak hanya melalui metode-metode atau
estimasi-estimasi akuntansi saja tetapi juga dilakukan melalui keputusan-
keputusan yang berhubungan dengan kegian operasional. Hal ini
membuktkan bahwasannya manajer tidak hanya menggunakan satu tehnik
manajemen laba saja. Kombinasi dari perubahan akrual disresioner melalui
metode dan estimasi akuntansi, manipulasi aktivitas ekonomi perusahaan,
dan menggeser pengklasifikasian akuntansi dalam mengubah informasi
laporan keuangan akan membuat laporan keuangan jauh dari kaidah-
kaidah informasi. Laba yang telah dimanipulasi baik dinaikkan,
50
diturunkan, mauoun dengan perataan laba akan menyesatkan pihak
pengguna laporan keuangan dalam pengambilan keputusan. Hal ini
dikarenakan pengguna laporan keuangan dalam hal ini investor akan tetep
menggunakan laporan keuangan sebagai dasar pengambilan keputusan
tanpa menyadari bahwa informasi di dalamnya tidak lagi berkualitas. Laba
yang dimanipulasi akan mempengaruhi keputusan pengguna laporan
keuangan dalam hal penenaman modal, pemberian pinjaman, maupun
dalam hal regulasi.
H4: Manajemen laba akrual, manipulasi aktivitas riil, dan pergeseran
klasifikasi secara bersama-sama berpengaruh terhadap reaksi pasar