BAB II TEORI AKAD DALAM ISLAM A. Pengertian Akad dan …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/26/jtptiain-gdl-s1... · 5 Dikutib dalam, Rachmad Syafe’I, Fiqih Muamalah, Bandung:

  • Upload
    vandan

  • View
    230

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 17

    BAB II

    TEORI AKAD DALAM ISLAM

    A. Pengertian Akad dan Dasar Hukumnya

    Kata akad berasal dari kata bahasa Arab - yang berarti, membangun

    atau mendirikan, memegang, perjanjian, percampuran, menyatukan1. Bisa juga

    berarti kontrak (perjanjian yang tercacat).2 Sedangkan menurut al-Sayyid Sabiq

    akad berarti ikatan atau kesepakatan.3

    Secara etimologi akad adalah ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara

    nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi.4

    Secara terminologi, ulama fiqih membagi akad dilihat dari dua segi, yaitu

    secara umum dan secara khusus. Akad secara umum adalah segala sesuatu yang

    dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak,

    pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua

    orang, seperti jual-beli, perwakilan dan gadai. Pengertian akad secara umum di

    atas adalah sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat

    ulama Syafiiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah.5 Pengertian akad secara khusus

    adalah pengaitan ucapan salah seorang yang berakad dengan yang lainnya secara

    syara pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya.6 Pengertian akad

    1 Louis Maluf, Al-Munjid fi al-Lughat wa al-Alam, Beirut: Dar al-Masyriq, 1986, hlm. 518 2 A. Warson Al Munawir, Kamus Arab Indonesia al-Munawir, Yogayakarta: Ponpes Al

    Munawir, 1984, hlm. 1023. 3 Al-Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, jilid 3, Beirut: Dar Al-Fikr, Cet. Ke-3, 1983, hlm.127 4 Wahbah Al-Juhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Beirut: Dar Al-Fikr, 1989, hlm. 80 5 Dikutib dalam, Rachmad SyafeI, Fiqih Muamalah, Bandung: CV. Pustaka Setia, cet. Ke-2,

    2004, hlm. 43. 6 Al-Kamal Ibnu al-Humam, Fath al-Qodir, Juz. 5, hlm. 74

  • 18

    secara khusus lainnya adalah perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qobul

    berdasarkan ketentuan syara yang berdampak pada objeknya.7

    Hal yang penting bagi terjadinya akad adalah adanya ijab dan qabul. Ijab-

    qobul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridlaan

    dalam berakad di antara dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari

    suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara. Oleh karena itu, dalam Islam tidak

    semua kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama

    kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridlaan dan syariat Islam.8

    Dalam al-Quran, setidaknya ada 2 (dua) istilah yang berhubungan dengan

    perjanjian, yaitu al-aqdu (akad) dan al-ahdu (janji). Pengertian akad secara

    bahasa adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabth) maksudnya adalah

    menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya

    pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seutas tali yang

    satu.9 kata al-aqdu terdapat dalam surat al- Maidah ayat 1, bahwa manusia

    diminta untuk memenuhi akadnya. Menurut Fathurrahman Djamil, istilah al-

    aqdu ini dapat disamakan dengan istilah verbintenis dalam KUH Perdata.10

    Sedangkan istilah al-ahdu dapat disamakan dengan istilah perjanjian atau

    overeenkomst, yaitu suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau

    tidak untuk mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain11. Istilah

    ini terdapat dalam QS. Ali Imron ayat 76 yaitu sebenarnya siapa yang menepati

    7 Rachmad SyafeI, op. cit., hlm. 44. 8 Ibid., hlm. 45 9 Ghufron A. Masadi, Fiqih Muamalah Kontektual, Cet. 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada,

    2002, hlm. 75 10 Fatturrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syariah, dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh

    Darus Badrulzaman et al., Cet. 1, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 247-248 11 Ibid, hlm. 248

  • 19

    janji yang dibuatnya dan bertaqwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-

    orang yang bertaqwa.12

    B. Syarat dan Rukun Akad

    1. Syarat-syarat akad

    Ada beberapa syarat yang berkaitan dengan akad, 13 yaitu:

    a. Syarat terjadinya akad

    Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya

    akad secara syara. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, akad menjadi batal.

    Syarat ini terbagi atas dua bagian:14

    1). Syarat Obyek akad, yakni syarat-syarat yang berkaitan dengan obyek

    akad. Obyek akad bermacam-macam, sesuai dengan bentuknya. Dalam

    akad jual-beli, obyeknya adalah barang yang yang diperjualbelikan dan

    harganya. Dalam akad gadai obyeknya adalah barang gadai dan utang

    yang diperolehnya, dan lain sebagainya. Agar sesuatu akad dipandang sah,

    obyeknya harus memenuhi syarat sebagai berikut:

    a). Telah ada pada waktu akad diadakan.

    Barang yang belum wujuh tidak dapat menjadi obyek akad menurut

    pendapat kebanyakan Fuqaha sebab hukum dan akibat akad tidka

    mungkin bergantung pada sesuatu yang belum wujuh. Oleh kerena itu,

    akad salam (pesan barang dengan pembayaran harga atau sebagian atau

    12 Departemen Agama, al-Quran dan Terjemahannya, Bandung: Diponegoro, 2000, hlm. 46. 13 Rahmat Syafei, op. cit.., hlm. 64-66 14 Ahamd Azar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat, Yogyakarta: UII Press, cet. Ke-2, 2004,

    hlm. 78-82.

  • 20

    seluruhnya lebih dulu), dipandang sebagai pengecualian dari ketentuan

    umum tersebut. Ibnu Taimiyah, salah seorang ulama mazhab Hambali

    memandang sah akad mengenai obyek akad yang belum wujuh dalam

    berbagai macam bentuknya, selagi dapat terpelihara tidak akan terjadi

    persengketaan di kemudian hari. Masalahnya adalah sudah atau belum

    wujuhnya obyek akad itu, tetapi apakah akan mudah menimbulkan

    sengketa atau tidak.

    b). Dapat menerima hukum akad.

    Para Fuqaha sepakat bahwa sesuatu yang tidak dapat menerima hukum

    akad tidak dapat menjadi obyek akad. Dalam jual misalnya, barang yang

    diperjualbelikan harus merupakan benda bernilai bagi pihak-pihak yang

    mengadakan akad jual-beli. Minuman keras bukan benda bernilai bagi

    kaum muslimin, maka tidak memenuhi syarat menjadi obyek akad jual

    beli antara para pihak yang keduanya atau salah satunya beragama Islam.

    c). Dapat diketahui dan diketahui.

    Obyek akad harus dapat ditentukan dan diketahui oleh dua belah pihak

    yang melakukan akad. Ketentuan ini tidak mesti semua satuan yang akan

    menjadi obyek akad, tetapi dengan sebagian saja, atau ditentukan sesuai

    dengan urfI yang berlaku dalam masyarakat tertentu yang tidak

    bertentangan dengan ketentuan agama.

  • 21

    d). Dapat diserahkan pada waktu akad terjadi.

    Yang dimaksud di sini adalah bahwa obyek akad tidak harus dapat

    diserahkan seketika, akan tetapi menunjukkan bahwa obyek tersebut

    benar-benar ada dalam kekuasaan yang sah pihak bersangkutan.

    2). Syarat subyek akad, yakni syarat-syarat yang berkaitan dengan subyek

    akad.

    Dalam hal ini, subyek akad harus sudah aqil (berkal), tamyiz (dapat

    membedakan), mukhtar (bebas dari paksaan). Selain itu, berkaitan dengan

    orang yang berakad, ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu,15

    a). Kecakapan (ahliyah), adalah kecakapan seseorang untuk memiliki hak

    (ahliyatul wujub) dan dikenai kewajiban atasnya dan kecakapan

    melakukan tasarruf (ahjliyatul ada).

    b). Kewenangan (wilayah), adalah kekuasaan hukum yang pemiliknya

    dapat beratasharruf dan melakukan akad dan menunaikan segala akibat

    hukum yang ditimbulkan.

    c). Perwakilan (wakalah) adalah pengalihan kewenagan perihal harata dan

    perbuatan tertentu dari seseorang kepada orang lain untuk mengambil

    tindalan tertentu dalam hidupnya.

    b. Syarat kepastian hukum (luzum)

    Dasar dalam akad adalah kepastian. Di antara syarat luzum dalam jual-beli

    adalah terhindarnya dari beberapa khiyar jual-beli, seperti khiyar syarat, khiyar

    aib, dan lain-lain.16

    15 Dikutib dalam, Gemala Dewi, et. al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, ed. I, Jakarata:

    Kencana, cet. Ke-1, 2005, hlm. 55-58.

  • 22

    2. Rukun-Rukun Akad

    Rukun-rukun akad17 adalah sebagai berikut:

    a. Orang yang berakad (aqid), contoh: penjual dan pembeli.

    Al-aqid adalah orang yang melakukan akad. Keberadaannya sangat penting

    karena tidak akan pernah terjadi akad manakala tidak ada aqid.

    b. Sesuatu yang diakadkan (maqud alaih), contoh: harga atau barang.

    (al-Maqud Alaih) adalah objek akad atau benda-benda yang dijadikan akad

    yang bentuknya tampak dan membekas. Barang tersebut dapat berbentuk harta

    benda, seperti barang dagangan, benda bukan harta seperti dalam akad

    pernikahan, dan dapat pula berbentuk suatu kemanfaatan seperti dalam masalah

    upah-mengupah dan lain-lain.18

    c. Shighat, yaitu ijab dan qobul.

    Sighat akad adalah sesuatu yang disandarkan dari dua belah pihak yang berakad,

    yang menunjukkan atas apa yang ada di hati keduanya tentang terjadinya suatu

    akad. Hal ini dapat diketahui dengan ucapan, perbuatan, isyarat, dan tulisan.19

    1). Akad dengan ucapan (lafadz) adalah sighat akad yang paling banyak

    digunakan orang sebab paling mudah digunakan dan paling mudah

    dipahami.

    Dan perlu ditegaskan sekali lagi bahwa penyampaian akad dengan metode

    apapun harus disertai dengan keridlaan dan memahamkan para aqid akan

    maksud akad yang diinginkan.

    16 Rahmat Syafei, op. cit., hlm. 65-66. 17 Ibid, hlm. 45 18 Ibid., hlm. 58. 19 Ibid., hlm. 46-51.

  • 23

    2). Akad dengan perbuatan adalah akad yang dilakukan dengan suatu

    perbuatan tertentu, dan perbuatan itu sudah maklum adanya. Sebagaimana

    contoh penjual memberikan barang dan pembeli menyerahkan sejumlah

    uang, dan keduanya tidak mengucapkan sepatah katapun. Akad semacam

    ini sering terjadi pada masa sekarang ini.namun menurut pendapat imam

    Syafii, akad dengan cara semacam ini tidak dibolehkan. Jadi tidak cukup

    dengan serah-serahan saja tanpa ada kata sebagai ijab dan qabul.20

    3). Akad dengan isyarat adalah akad yang dilakukan oleh orang yang tuna

    wicara dan mempunyai keterbatan dalam hal kemampuan tulis-menulis.

    Namun apabila dia mampu untuk menulis, maka dianjurkan agar

    menggunakan tulisan agar terdapat kepastian hukum dalam perbuatannya

    yang mengharuskan adanya akad.

    4). Akad dengan tulisan adalah akad yang dilakukan oleh Aqid dengan bentuk

    tulisan yang jelas, tampak, dapat dipahami oleh para pihak, baik dia

    mampu berbicara, menulis dan sebagainya, karena akad semacam ini

    dibolehkan. Namun demikian menurut ulama syafiiyyah dan hanabilah

    tidak membolehkannya apabila orang yang berakad hadir pada waktu akad

    berlangsung.21

    C. Macam-macam akad

    Dalam hal pembagian akad ini, ada beberapa macam akad yang didasarkan

    atas sudut pandang masing-masing, yaitu:

    20 Ibn Al-Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz 2, Beirut: Dar Al-Fikr, t.th, hlm. 128 21 Pendapat ulama Syafiiyyah dan Hanabilah ini dikutib oleh Rachmat SyafeI dalam

    bukunya Fiqih Muamalah. Lihat, Rachmat SyafeI, op.cit, hlm. 51.

  • 24

    1. Berdasarkan ketentuan syara

    a. Akad sahih, yaitu akad yang memenuhi unsur dan syarat yang telah ditetapkan

    oleh syara. Akad yang memenuhi rukun dan syarat sebagaimana telah

    disebutkan di atas, maka akad tersebut masuk dalam kategori akad sahih.

    b. Akad ghairu sahih, yaitu akad yang tidak memenuhi unsur dan syaratnya.

    Dengan demikian, akad semacam ini tidak berdampak hukum atau tidak sah.

    Dalam hal ini ulama hanafiyah membedakan antara akad fasid dan akad

    batal, dimana ulama jumhur tidak membedakannya. Akad batal adalah akad

    yang tidak memenuhi rukun, seperti tidak ada barang yang diakadkan, akad

    yang dilakukan oleh orang gila dan lain-lain. Sedangkan akad fasid adalah akad

    yang memenuhi syarat dan rukun, tetapi dilarang oleh syara, seperti menjual

    narkoba, miras dan lain-lain.

    2. Berdasarkan penamaannya, dibagi menjadi:

    a. Akad yang sudah diberi nama oleh syara, seperti jual-beli, hibah, gadai, dam

    lain-lain.

    b. Akad yang belum dinamai oleh syara, tetapi disesuaikan dengan

    perkembangan zaman.

    3. Berdasarkan zatnya, dibagi menjadi:

    a. Benda yang berwujud (al-ain), yaitu benda yang dapat dipegang oleh indra

    kita, seperti sepeda, uang, rumah dan lain sebagainya.

    b. Benda tidak berwujud ( ghair al-ain), yaitu benda yang tidak dapat kita indra

    dengan indra kita, namun manfaatnya dapat kita rasakan, seperti informasi,

    lisensi, dan lain sebagainya.

  • 25

    D. Obyek Akad (Mahal al- aqd)

    Obyek akad adalah sesuatu yang dijadikan obyek akad dan dikenakan padanya

    akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk obyek akad dapat berupa benda yang

    berwujud seperti mobil dan rumah, maupun benda tak berwujud, seperti manfaat.

    Adapun syarat-syarat obyek akad adalah:

    1. Obyek perikatan telah ada sebelum akad dilangsungkan

    2. Obyek perikatan dibenarkan oleh syariah

    3. Obyek akad harus jelas dan dikenali

    4. Obyek dapat diserah terimakan

    E. Tujuan Akad (Maudlu al-aqd)

    Kaidah umum dalam ajaran Islam menentukan bahwa setiap orang yang

    melakukan perbuatan dalam keadaan sehat akal dan bebas menentukan pilihan

    (tidak dipaksa) pasti memiliki tujuan tertentu yang mendorongnya melakukan

    perbuatan itu. Oleh Karen aitu, tujuan akad menduduki peranan penting untuk

    menentukan suatu akad dipandang sah atau tidak, halal atau haram. Ini semua

    berkaitan dengan hubungan niat dan perkataan dalam akad. Bahkan perbuatan-

    perbuatan bukan akad pun dapat dipengaruhi halal dan haramnya dari tujuan yang

    mendorong perbuatan itu dilakukan. Misalnya, tidur siang, apabila motifnya

    adalah agar pada malam harinya tahan tidak tidur untuk bermain judi, maka tidur

    siang itu menjadi haram.22

    Masalahnya adalah, jika suatu tindakan tidak mempunyai tujuan yang jelas,

    apakah tindakan tersebut tidak mempunyai akaibat hukum? Misalnya, seseorang

    22 Ahmad Azar Basyir, op. cit., hlm. 96-97.

  • 26

    berjanji akan memberikan sesuatu kepada orang lain, apakah janji itu mempunyai

    akibat hukum, dengan pengertian orang itu dapat dituntut untuk memenuhi

    janjinya?. Dalam masalah seperti ini, pendapat Fuqaha bermacam-macam, ada

    yang mengatakan mempunyai akibat hukum, seperti Ibnu Syubrumah yang

    mengartakan bahwa semua janji mempunyai akibat hukum, orang yang berjanji

    dapat dipaksa untuk memenuhinya. Menurut pendapat kebanyakan Fuqaha, janji

    yang tidak jelas tujuannya itu tidak mempunyai akibat hukum duniawi, meskipun

    akan diperhitungkan di hadapan Allah di akhirat kelak.23

    Hal tersebut berbeda dengan janji yang tujuannya jelas. Misalnya, apabila

    seseorang menyuruh orang lain untuk memberikan suatu barang kepada

    seseorang, dengan ketentuan apabila orang yang menerima barang tidak mau

    membayar harganya, oaring yang menyurh itu bejanji akan membayarnya.

    Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan akad memperoleh peran

    yang amat penting, apalagi dalam hal muamalat/bisnis. Tanpa ada tujuan yang

    jelas, secara otomatis tidak ada yang dapat dilakukan dari terbentuknya akad

    tersebut. Sehingga akad tersebut dipandang tidak sah dan tidak memiliki

    konsekuensi hukum. Dari sini, diperlukan adanya syarat-sayarat tujuan akad

    sebagai berikut:24

    1. Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yag

    bersangkutan tanpa akad yang diadakan.. tujuannya hendaknya baru ada pada

    saat akad diadakan.

    23 Ibid. 24 Ibid., hlm. 99-100.

  • 27

    2. Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad.

    Misalnya akad untuk menyewa rumah selama lima tahun untuk diambil

    manfaatnya. Jika belum ada lima tahun rumah itu telah hancur maka akadnya

    menjadi rusak karena hilamgnya tujuan yang hendak dicpai.

    3. Tujuan akad harus dibenarkan oleh syara. Jadi tidak boleh melakukan akad

    dengan tujuan yang melanggar ketentuan agama. Misalnya akad untuk

    melakukan patungan uang sebagai modal bisnis sabu-sabu.

    F. Tinjauan Umum Tentang Waralaba (Franchise)

    1. Pengertian Waralaba (Franchise)

    Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Gunawan Widjaja, beliau menyebutkan

    ada beberapa pengertian waralaba yang diambil dari pendapat berbagai pakar, di

    antaranya25:

    Menurut PH Collin dalam law dictionary mendefinisikan waralaba sebagai

    sebuah lisensi untuk menjual dengan menggunakan sebuah nama dari sebuah

    perusahaan dan sebagai timbal balik atas ini adalah dengan membayar royalty26.

    Dan waralaba sebagai satu tindakan menjual sebuah lisensi untuk diperdagangkan

    sebagai sebuah waralaba. Definisi tersebut menekankan pada pentingnya peran

    nama dagang dalam pemberian waralaba dengan imbalan royalty.

    25 Gunawan Widjaja, Waralaba, , Jakarta: PT. Grafindo Persada, Cet. Ke-2, 2003, hlm.7, 9,

    dan 10. 26 Menurut kamus Oxford, royalty adalah sebuah pembayaran yang diberikan kepada seorang

    penulis, pengarang lagu dan lain sebagainya setelah sesuatu proyek telah selasai dikerjakan. Lihat AS Hornby, Oxford Advanced Learners dictionary,, edisi ke- 5, New York: Oxford University Press, 1995, hlm. 1025

  • 28

    Kemudian dalam Dictionary Of Marketing Terms oleh Betsy-Ann Toffler dan

    Jane Imber, waralaba diartikan sebagai lisensi yang diberikan oleh sebuah

    perusahaan (franchisor) kepada seseorang atau perusahaan untuk menjalankan

    outlet penjualan retail, makanan, atau obat-obatan di mana penerima lisensi

    (franchisee) setuju untuk menggunakan nama Franchisor; produk; pelayanan-

    pelayanan, promosi, penjualan, distribusi, dan cara-cara periklanan; serta hal-hal

    lain yang merupakan pendukung dari perusahaan. Dalam pengertian ini dijelaskan

    bahwa waralaba melibatkan suatu kewajiban untuk menggunakan suatu sistem

    dan metode yang ditetapkan oleh pemberi waralaba termasuk didalamnya hak

    untuk mempergunakan merk dagang.

    Kamus Oxford disebutkan bahwa waralaba atau franchse adalah perizinan

    yang resmi untuk menjual barang-barang atau jasa perusahaan di sutau area

    tertentu, dan sebagai timbal balik diberikan kepada pemberi izin tadi sejumlah

    uang atau bagian dari keuntungan.27

    Dalam Peraturan Pemerintah RI no. 16 tahun 1997 tanggal 18 Juni 1997

    tentang waralaba dikatakan, bahwa waralaba adalah perikatan di mana salah satu

    pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas

    kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain

    dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan dan atau penjualan barang dan atau

    jasa.28

    Dari berbagai pengertian di atas, penulis lebih condong pada pernyataan

    tentang waralaba yang diberikan oleh sang penulis buku waralaba, yaitu Gunawan

    27 AS Hornby, Ibid, hlm. 469 28 Gunawan Widjaja, op.cit. hlm.13

  • 29

    Widjaja. Beliau menyatakan bahawa waralaba merupakan salah satu cara

    pengusaha untuk mengembangkan usahanya, dimana pengusaha tersebut

    menawarkan kelebihan pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya kepada pihak

    lain untuk menjalankan usahanya. Dalam kontek ini, penerima waralaba

    diwajibkan untuk mematuhi sistem pelaksanaan operasional dari pemberi lisensi.

    Pernyataan yang dinyatakan Gunawan di atas, menurut penulis, tidak berbelit-

    belit, dan mudah dipahami, serta sifatnya sudah menjadi rangkuman dan

    representasi dari beberapa pengertian waralaba yang telah beliau sebutkan di

    muka.

    2. Dasar Hukum Waralaba

    Di Indonesia, pengaturan waralaba dapat kita jumpai di dalam Peraturan

    Pemerintah RI Nomor: 16 tahun 1997 tanggal 18 Juni 1997 tentang waralaba, dan

    Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor:

    259/MPP/Kep/7/1997 tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara

    Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba.29

    3. Waralaba Sebagai Suatu Bentuk Perjanjian

    a. Pengertian Perjanjian

    Franchise atau waralaba bukanlah suatu industri yang baru dikenal, meskipun

    legalitas yuridisnya baru dikenal di Indonesia pada tahun 1997 dengan

    dikeluarkannya peraturan pemerintah RI No. 16 tahun 1997 tentang waralaba, dan

    Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor:

    29 Ibid., hlm. 75.

  • 30

    259/MPP/Kep/1997 tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara

    Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba.30

    Waralaba merupakan suatu perjanjian yang bertimbal balik, karena baik

    pemberi waralaba maupun penerima waralaba, keduanya berkewajiban untuk

    memenuhi prestasi tertentu.31

    Menurut pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian

    dirumuskan32:

    Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

    Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, dengan adanya perjanjian,

    maka satu orang atau lebih yang mengadakan perjanjian tertentu telah terikat satu

    sama lain dalam koridor atau batas-batas yang dimaksud dalam isi perjanjian itu.

    Selain itu, dengan adanya perikatan tadi, timbul hak dan kewajiban yang harus

    dilaksanakan oleh kedua belah pihak..Masalah-masalah yang berkaitan dengan

    adanya wan-prestasi atas pelaksanaan hak dan kewajiban menjadi konsekuensi

    bersama dan diatur berdasarkan isi perjanjian dan atau dengan suatu tatanan

    hukum yang ada.

    Tiap-tiap perjanjian mempunyai dasar pembentukannya. Dalam ilmu hukum

    ada dua unsur pokok, yaitu unsur subeyktif, adalah yang menyangkut subyek

    (pihak) yang mengadakan perjanjian, dan unsur obyektif, adalah unsur yang

    berhubungan dengan langsung dengan obyek perjanjian.33

    30 Ibid., hlm. 1. 31 Ibid, hlm. 77. 32 Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT. Pradnya

    Paramita, cet. Ke-25, 1992, hlm.282. 33Gunawan Widjaja, loc. cit.

  • 31

    Unsur subyektif menyangkut adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para

    pihak yang berjanji, dan kecakapan dari para pihak yang melaksanakan perjanjian.

    Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan obyek yang diperjanjikan, dan

    obyek tersebut haruslah sesuatu yang diperkenankan oleh hukum. Tidak

    terpenuhinya salah satu unsur di atas menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan

    perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan

    (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif), maupun batal demi hukum

    (tidak terpenuhinya unsur obyektif).34

    b. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

    Dalam suatu perjanjian ada empat syarat yang harus dipenuhi, yaitu: 35

    1). Adanya perizinan secara bebas dari orang-orang atau para pihak yang

    mengadakan atau melangsungkan perjanjian. Kesepakatan ini tertuang

    dalam shigat akad (perjanjian) yang terdiri dari ijab dan qabul.

    Pada dasarnya kesepakatan secara bebas dianggap terjadi pada saat

    perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa

    kesepakatan terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan, maupun penipuan.

    Dalam kitab undang-undang juga menyatakan bahwa kekhilafan itu sendiri

    tidak mengakibatkan dapat dibatalkannya perjanjian yang telah terjadi,

    kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat dari kebendaan yang

    menjadi pokok persetujuan.

    Cara orang dalam menunjukkan sikap ijab dan qabul di atas dapat diketahui

    dengan ucapan, perbuatan, isyarat, dan tulisan.

    34 Ibid. 35 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, cet. Ke-19, 1984, hlm. 134.

  • 32

    a). Akad (perjanjian) dengan ucapan (lafadz) adalah sighat akad yang paling

    banyak digunakan orang sebab paling mudah digunakan dan paling

    mudah dipahami. Dan perlu ditegaskan sekali lagi bahwa penyampaian

    akad dengan metode apapun harus disertai dengan keridlaan dan

    memahamkan para aqid akan maksud akad yang diinginkan.

    b). Akad dengan perbuatan adalah akad yang dilakukan dengan suatu

    perbuatan tertentu, dan perbuatan itu sudah maklum adanya.

    Sebagaimana contoh penjual memberikan barang dan pembeli

    menyerahkan sejumlah uang, dan keduanya tidak mengucapkan sepatah

    katapun. Akad semacam ini sering terjadi pada masa sekarang ini.

    Namun menurut pendapat imam Syafii, akad dengan cara semacam ini

    tidak dibolehkan. Jadi tidak cukup dengan serah-serahan saja tanpa ada

    kata sebagai ijab dan qabul.36 Dalam bisnis akad berupa perbuatan ini

    dapat dicontohkan dengan melakukan segala tindakan bisnis itu sendiri,

    yang meliputi proses produksi, distribusi, dan pelaporan.

    c). Akad dengan isyarat adalah akad yang dilakukan oleh orang yang tuna

    wicara dan mempunyai keterbatasan dalam hal kemampuan tulis-

    menulis. Namun apabila dia mampu untuk menulis, maka dianjurkan

    agar menggunakan tulisan agar terdapat kepastian hukum dalam

    perbuatannya yang mengharuskan adanya akad.

    d). Akad dengan tulisan adalah akad yang dilakukan oleh Aqid dengan

    bentuk tulisan yang jelas, tampak, dapat dipahami oleh para pihak, baik

    36 Ibn al-Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz 2, Beirut: Dar Al-Fikr, t.th, hlm. 128.

  • 33

    dia mampu berbicara, menulis dan sebagainya, karena akad semacam ini

    dibolehkan. Namun demikian menurut ulama Syafiiyyah dan Hanabilah

    tidak membolehkannya apabila orang yang berakad hadir pada waktu

    akad berlangsung.37

    2). Adanya kecakapan (ahliyyah) untuk membuat perjanjian dari para pihak

    yang berjanji.

    Adanya kecakapan untuk bertindak (ahliyyatul ada) merupakan syarat

    subyektif kedua terbentuknya perjanjian yang sah di antara para pihak.

    Ketetapan ini dalam ilmu hukum dapat dibedakan lagi ke dalam:

    a). Kecakapan dalam rangka tindakan pribadi orang-perorang (Pasal 1329

    sampai dengan Pasal 1331 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

    Kitab undang-undang perdata menyatakan bahwa pada prinsipnya

    semua orang dianggap cakap (ahli) untuk melakukan tindakan hukum,

    kecuali mereka yang masih berada di bawah umur, yang di bawah

    pengampuan dan mereka yang dinyatakan pailit (pasal 1330 kitab

    Undang-Undang Hukum perdata).

    b). Kecakapan dalam hubungan dengan pemberian kuasa. Dalam hal ini,

    yang harus diperhatikan adalah kecakapan bertindak dalam hukum,

    tidak hanya dari pihak yang memberi kuasa, melainkan juga dari pihak

    yang menerima kuasa secara bersama-sama. Sebetulnya syarat ini erat

    kaitannya dengan syarat nomor satu, dan hampir tidak bisa dilepaskan

    satu sama lain ketika kita berbicara masalah hukum. Namun demikian,

    37 Pendapat ulama Syafiiyyah dan Hanabilah ini dikutib oleh Rachmat Syafei dalam

    bukunya Fiqih Muamalah. Lihat, Rachmat SyafeI, op.cit, hlm. 51.

  • 34

    keduanya harus dipisah untuk membedakan bahwa yang satu

    berhubungan dengan orang yang dianggap sudah layak untuk masuk dan

    bertindak dalam wilayah hukum dan yang kedua lebih kepada

    kecakapannya dalam pemberian kuasa.

    c). Kecakapan dalam hubungannya dengan sifat perwalian dan perwakilan.

    Dalam hal perwalian (dan atau pengampuan), maka harus diperhatikan

    kewenangan bertindak yang diberikan oleh hukum dan atau peraturan

    yang termuat dan berlaku dalam aturan dan atau kesepakan perusahaan

    atau badan lainnya. Dengan demikian, ketentuan ini menjadi penting,

    sehingga baik pemberi waralaba maupun penerimanya harus

    memastikan apakah lawan bisnisnya itu sudah memenuhi syarat untuk

    bertindak dalam hukum atau belum.

    3). Adanya suatu hal/obyek tertentu yang diperjanjian.

    Hal ini adalah merupakan konsekuensi logis dari adanya perjanjian karena

    kalau tidak ada obyek yang dituju maka berarti perjanjian itu adalah kosong.

    Tidak ada hak dan kewajiban yang akan dilaksanakan (ketentuan ini diatur

    oleh kitab undang-undang hukum perdata pasal 1334).

    Sesuai dengan rumusan pasal 7 ayat 1 Keputusan Menteri Perindustrian dan

    Perdagangan Nomor: 259/MPP/Kep/7/1997 tanggal 30 juli 1997, dikatakan

    bahwa:38

    Perjanjian waralaba antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba

    sekurang-kurangnya memuat klausal mengenai:

    38 Dikutip dalam, Gunawan Widjaja, Lisensi atau Waralaba, ed. 1, Jakarta: PT. Grafindo

    Persada, cet. Ke-2, 2004,, hlm. 81-101.

  • 35

    a). Nama, alamat, dan tempat kedudukan perusahaan masing-masing pihak.

    b). Nama dan jabatan masing-masing pihak yang berwenang

    menandatangani perjanjian.

    c). Nama dan jenis hak kekayaan intelektual, penemuan atau ciri khas usaha

    misalya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara

    distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi obyek

    waralaba.

    d). Hak dan kewajiban masing-masing pihak serta bantuan dan fasilitas yang

    diberikan kepada penerima waralaba.

    e). Wilayah pemasaran.

    f). Jangka waktu perjanjian dan tata cara prpanjangan perjanjian serta syarat-

    syarat perpanjagan perjanjian.

    g). Cara penyelesaian perselisian.

    h). Ketentuan-ketentuan pokok yang disepakati yang dapat mengakibatkan

    pemutusan perjanjian atau berakhirnya perjanjian.

    i). Ganti rugi dalam hal terjadinya pemutusan perjanjian.

    j). Tata cara penbayaran imbalan.

    k). Penggunaan barang atau bahan hasil produksi dalam negeri yang

    dihasilkan dan dipasok oleh pengusaha kecil.

    l). Pembianaan, bimbingan, dan pelatihan kepada penerima waralaba.

    m). Pilihan hukum.

    4). Adanya suatu causa yang halal dalam setiap perjanjian yang dibuat oleh

    para pihak.

  • 36

    Hal-hal yang berkaitan dengan obyek dan tujuan yang akan dicapai dalam

    perjanjian (waralaba) haruslah sesuatu hal yang diperkenankan oleh hukum.

    Jadi tidak boleh melakukan suatu perjanjian yang melanggar norma-norma

    dan atau hukum yang berlaku (ketentuan ini diatur dalam pasal 1335 sampai

    pasal 1337 Kitab undang-undang hukum perdata).

    c. Hal-hal yang merusak dan membatalkan perjanjian

    Seperti yang telah dijelaskan terdahulu bahwa hal-hal yang dapat

    membatalkan perjanjian adalah tidak terpenuhinya syarat-syarat baik itu

    subyektif maupun obyektif. Tidak terpenuhinya syarat-syarat subyektif seperti

    tidak terjadinya kesepakatan antara para pihak dan tidak adanya kecakapan para

    pihak dalam melakukan tindakan hukum, maka menyebabkan perjanjian

    menjadi tidak sah, atau dapat dibatalkan karena cacat hukum. Demikian juga

    jika tidak terpenuhinya syarat obyektif, seperti tidak adanya isi perjanjian atau

    perjanjian yang tidak dibenarkan oleh hukum, maka perjanjian tersebut menjadi

    batal demi hukum.

    Di samping itu, adanya tindakan yang melanggar atau tidak sesuai dengan isi

    perjanjian, serta tidak terpenuhinya dan atau tidak dilaksanakannya hak dan

    kewajiban oleh salah satu atau para pihak, maka akan mengancam terhadap

    bubarnya atau permintaan pembatalan perjanjian. Suatu tindakan yang tiada

    memenuhi atau gagal dalam perjajian ini untuk melaksanakan kontra prestasi

    merupakan suatu pelanggaran terhadap perjanjian (wanprestasi atau breach of

    contract).39

    39 Ibid, hlm. 95.

  • 37

    G. Srirkah Mudlarabah Sebagai Format Dasar Waralaba

    1. Pengertian Syirkah Mudlarabah

    Sebelum membahas tentang syirkah mudlarabah, di sini penulis akan sedikit

    menyinggung tentang syirkah itu sendiri, karena syirkah mudlarabah adalah salah

    satu macam dari bentuk syirkah, dan akan disebutkan secara sekilas macam-

    macam bentuk syirkah selain syrikah mudlarabah.

    Kata Syirkah berasal dari kata bahasa arab - yang berarti

    persekutuan atau perseroan.40 Sedangkan Wahbah al-Zuhaili mengartikannya

    dengan bercampur, atau bercampurnya salah satu harta dari dua harta dengan

    harta lainnya, tanpa dapat dibedakan antara keduanya.41

    Sedangkan pengertian syirkah menurut istilah adalah ketetapan hak pada

    sesuatu yang dimiliki dua orang atau lebih dengan cara yang masyhur

    (diketahui).42

    Syirkah dibagi menjadi dua macam, yaitu syirkah al-amlak dan syirkah al-

    uqud. Syirkatul amlak adalah adanya dua orang atau lebih yang memiliki barang

    tanpa adanya akad. Syirkah jenis ini ada dua macam, yaitu syirkah ijbar (paksaan)

    yaitu pejanjian yang ditetapkan kepada dua orang atau lebih yang bukan

    didasarkan atas perbuatan keduanya, sperti dua orang yang mewariskan sesuatu,

    maka yang diberi waris menjadi sekutu mereka, dan syirkah ikhtiyar (pilihan),

    yaitu perjanjian yang muncul karena adanya kontrak dari dua orang yang

    bersekutu. Sebagai contoh adalah ada dua orang yang membeli atau memberi atau

    40 A. Warson Al Munawir, op. cit, hlm. 706. 41 Wahbah Al-Zuhaili, op. cit., hlm. 792. 42 Pengertian ini adalah pengertian yang diberikan oleh ulama Syafiiyyah. Lihat, Muhammad

    al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz. Ke- 3, hlm. 364.

  • 38

    berwasiat tentang sesuatu dan keduanya menerima, maka jadilah pembeli, yang

    diberi, dan yang diberi wasiat bersekutu di antara keduanya. Sedangkan syirkah

    Uqud adalah bentuk transaksi yang terjadi antara dua orang atau lebih untuk

    bersekutu dalam harta dan keuntungannya. Syirkah jenis ini juga ada beberapa

    macam.43 Menurut pendapat ulama Hanabilah, syirkah uqud terbagi menjadi

    lima, yaitu:

    a). Syirkah inan, yaitu persekutuan antara dua orang dalam harta milik untuk

    berdagang secara bersama-sama, dan membagi laba atau kerugian bersama-

    sama.

    b). Syirkah mufawidlah, yaitu transaksi dua orang atau lebih untuk berserikat

    dengan syarat memilki kesamaan dalam jumlah modal, penentuan keuntungan,

    pengolahan, serta agama yang dianut.

    c). Syirkah abdan, yaitu persekutuan antara dua orang untuk menerima suatu

    pekerjaan yang akan dikerjakan secara bersam-sama, kemudian keuntungan

    dibagi antara keduanya dengan menetapkan persyaratan tertentu

    d). Syirkah wujuh, yaitu bersekutunya dua pemimpin dalm pandangan masyarkat

    tanpa modal, untuk membeli barang secara tidak kontan dan akan menjualnya

    secara kontan, kemudian keuntungan yang akan diperoleh dibagi di antara

    mereka dengan syarat tertentu.

    43 Sebenarnya pembagian syirkah, ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Namun

    demikian, penulis hanya menyebutkan pembagian syirkah uqd menurut pendapat ulama hanabilah, karena hanya pembagian menurut pendapat Hanabilah saja yang menyebutkan adanya syirkah mudlarabah, yaitu bahasan dalam skripsi ini. Namun demikian, para ulama lain sepakat bahwa syirkah mudlarabah boleh dilaksanakan sebagai bentuk usaha, dan mereka berbeda pendapat tentang bentuk syirkah uqud lainnya. Untuk lebih jelasnya, lihat penjelasan Wahbah al-Zuhaili dalam, Wahabah Al-Zuhaili, op. cit., hlm. 795.

  • 39

    e). Syirkah mudlarabah, yaitu bentuk perikatan yang akan penulis bahas secara

    lebih dalam, karena bentuk inilah yang berhubungan dengan pokok bahasan.

    Mudlarabah berasal dari kata - yang berarti

    berdagang, atau memperdagangkan.44 Menurut istilah, mudlarabah diartikan

    sebagai satu istilah terhadap akad dari pemilik harta (malik) yang memberikan

    hartanya kepada seorang penguasaha (amil) untuk diputar (dijadikan modal

    usaha), dengan pembagian keuntungan sesuai dengan perjanjian yang sudah

    disepakati.45

    Mudlarabah atau qiradl adalah termasuk jenis dari syirkah. Istilah

    mudlarabah digunakan oleh bangsa Irak, sedangkan istilah qiradl dipakai oleh

    orang-orang Hijaz. Qiradl adalah sama dengan qoth, karena pemilik harta

    mengambil hartanya untuk diserahkan kepada pengusaha (amil) untuk

    digunakan sebagai modal usaha, dan membagi keuntungan di antara keduanya,

    atau diambil dari makna Muqaradlah, yaitu karena persamaan dalam hak

    mengambil keuntungan, atau karena harta berasal dari pemiliknya (malik) dan

    usaha atau kerjanya dilakukan oleh amil.46

    Ahli Irak menyebut qiradl dengan istilah mudlarabah karena masing-

    masing aqid memiliki bagian dalam memperoleh keuntungan, dan amil

    melakukan perjalanan (safar) dalam menjalankan bisnisnya, dan istilah safar

    disamakan sengan Dlarban fi al-ardl (melakukan perjalanan di bumi).47

    44 A. Warson al- Munawir, op. cit, hlm. 816 45 Diambil dari kutipan Wahbah Al-Zuhli dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, lihat

    selengkapnya dalam Wahbah Al-Zuhaili, op. cit, hlm. 836. 46 Ibid. 47 Ibid, lihat juga pendapat yang dikemukakan oleh al-Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh al-

    Sunnah. Al- Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 212.

  • 40

    Berdasarkan penjelasan di atas maka sah-sah saja jika penulis

    menggunakan istilah syirkah mudlarabah, karena ada keterkaitan di antara

    keduanya, dan yang satu merupan bagian dari yang lain. Wahbah Al-Zuhaili

    juga menamakan salah satu bahasan dalam kitabnya dengan menyebut syirkah

    mudlarabah.48

    2. Dasar Hukum Syirkah Mudlarabah

    Para imam madzhab sepakat atas kebolehan melakukan bisnis sistem

    mudlarabah, dan ini diisyaratkan oleh Quran, hadits dan ijma ulama serta qiyas.

    Allah SWT berfiman dalm Al-Quran surat Al-Muzzammil ayat 20:

    Artinya: Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian

    karunia Allah. (QS. Al-Muzzammil: 20).49

    Kemudian Allah menegaskan kembali dalam surat Shad ayat 24 yang berbunyi:

    Artinya: Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu

    sebagian mereka berbuat dlalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dam beramal salih dan amat sedikitlah mereka ini.(QS. Shad: 24)50

    Dalam hal ini Nabi juga bersabda dalam hadis qudsi51:

    48 Ibid. 49 Departemen Agama, Alquran dan Terjemahnya, Surabaya: CV. Karya Utama, 2000, hlm.

    990 50 Ibid, hlm. 735-736 51 Ibn al-Hajar al-Asqalani, Bulugh Al Maram, Semarang: Hasyim Putra, t.th, hlm. 186

  • 41

    :

    (

    )

    Artinya: Dari Abu Hurairah nabi Muhammad SAW, bahwa nabi bersabda: sesungguhnya Allah SWT berfiman: Aku adalah yang ketiga pada dua orag yang berserikat, selama salah seorang dari meeka tidak mengkhianati temannya. Aku akan keluar dari persekutuan mereka apabila salah seorang diantaranya berkhianat. (HR Abu Daud, dan dibenarkan oleh Hakim).

    3. Rukun dan Syarat Syirkah Mudlarabah

    a). Rukun-rukun syirkah mudlarabah52

    Rukun syirkah mudlarabah menurut ulama Hanafiyah yaitu ijab dan qobul

    dari orang yang mempunyai ahliyyah al'-aqd (kecakapan untuk melakukan

    akad). Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun akad terbagi menjadi tiga,

    yaitu, orang yang berakad, modal (maqud alaih), dan sighat. Adapun

    mengenai penjelasan masing-masing, dapat dilihat pada penjelasan tentang

    akad di atas.

    b). Syarat-syarat syirkah mudlarabah53

    1). Hendaknya modal berupa uang sepertodinar, dirham, atau sejenisnya.

    2). Hendaknya modal itu diketahui jumlahnya, sehingga jelas dalam hal

    pembagian keuntungan.

    3). Hendaknya keuntungan antara amil dan pemilik modal diketahui dengan

    nisbah, seperti setengah, sepertiga dan lain sebagainya.

    4). Hendaknya bisnis yang dijalankan (syirkah mudlarabah) secara mutlak.

    52 Al-Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 213 53 Ibid.

  • 42

    4. Hal-Hal Yang Membatalkan Syirkah Mudlarabah54

    a). Hilangnya salah satu syarat sah perjanjian

    b). Amil melakukan sesuatu hal yang tidak sesuatu dengan akad sehingga

    merugukan usaha, dan disebabkan sepenuhnya oleh amil.

    c). Meninggalnya salah satu pihak yang berakad.

    Seperti halnya perjanjian waralaba, bahwa hal-hal yang dapat membatalkan

    perjanjian adalah tidak terpenuhinya syarat-syarat baik itu subyektif maupun

    obyektif. Tidak terpenuhinya syarat-syarat subyektif, seperti tidak terjadinya

    kesepakatan antara para pihak dan tidak adanya kecakapan para pihak dalam

    melakukan tindakan hukum, maka menyebabkan perjanjian menjadi tidak sah,

    atau dapat dibatalkan karena cacat hukum. Demikian juga jika tidak terpenuhinya

    syarat obyektif, seperti tidak adanya isi perjanjian atau perjanjian yang tidak

    dibenarkan oleh hukum, maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum.

    Adanya tindakan yang melanggar atau tidak sesuai dengan isi perjanjian, serta

    tidak terpenuhinya dan atau tidak dilaksanakannya hak dan kewajiban oleh salah

    satu atau para pihak, maka akan mengancam terhadap bubarnya atau permintaan

    pembatalan perjanjian. Suatu tindakan yang tiada memenuhi atau gagal dalam

    perjajian ini untuk melaksanakan kontra prestasi merupakan suatu pelanggaran

    terhadap perjanjian (wanprestasi atau breach of contract).55

    Dari istilah-istilah di atas (waralaba dan syirkah mudlarabah) dapat

    disimpulkan bahwa antara waralaba dan syirkah mudlarabah memiliki dasar

    hukum masing-masing, dan memilki karakteristik masing-masing. Namun

    54 Ibid, hlm. 215 55 Gunawan Widjaja, waralaba, op. cit.,hlm. 95.

  • 43

    demikian, apabila diperhatikan dari sudut bentuk perjanjian yang diadakan oleh

    franchisor dan franchisee dapat dikemukakan bahwa perjanjian itu sebenarnya

    merupakan pengembangan dari bentuk kerjasama56 (syirkah mudlarabah).

    Dikatakan sebagai bentuk pengembangan dari kerjasama, sebab adanya

    perjanjian franchise itu maka secara antara pemberi lisensi/pemilik hak franchise

    (franchisor) dan penerima hak franchise (franchisee) terbentuk hubungan kerja

    sama untuk waktu tertentu (sesuai dengan perjanjian). Kerja sama tersebut

    dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan bagi kedua belah pihak. Maka

    dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bisnis dengan sistem franchise adalah

    boleh, sebagaimana dibolehkannya syirkah mudlarabah.57

    56 Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Sinar Grafika, cet. Ke-3, 2004, hlm.

    169 57 Ibid.