17
21 BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1 Good Governance 2.1.1 Pengertian Good Governance Dewasa ini, Good governance telah menjadi isu yang paling mengemuka dalam pengelolaan keuangan dan administrasi di sektor publik. Peningkatan pengetahuan masyarakat dan pengaruh globalisasi telah mengubah cara pandang masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Masyarakat lebih aktif dalam memantau kinerja pemerintah dan menuntut penyelenggaraan pemerintahan yang baik dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban dana publik (Allmendinger, Tewdwr-Jones, and Morphet, 2003). Sudah semestinya tuntutan tersebut ditanggapi pemerintah dengan melakukan perubahan-perubahan yang terarah pada terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Beberapa lembaga telah berupaya untuk mendefinisikan good governance. Good governance dapat juga diartikan sebagai proses implementasi dari keputusan yang baik melalui proses yang baik (UNESCAP, 2009). Definisi good governance menurut UNDP adalah praktek penerapan kewenangan penyelenggaraan berbagai urusan negara secara politik (political governance), ekonomi (economic governance) dan administratif (administrative governance) di semua tingkatan (Moeljono, 2005). Administrative governance mengacu pada sistem implementasi secara efisien, tidak memihak, akuntabel dan terbuka. Konsep ini berkaitan dengan peran pemerintah, swasta dan masyarakat sebagai pilar good governance.

BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1 Good Governancerepository.ub.ac.id/10345/3/BAB II.pdf · 2020. 10. 19. · 21 BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1 Good Governance 2.1.1 Pengertian Good Governance

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

21

BAB II

TELAAH PUSTAKA

2.1 Good Governance

2.1.1 Pengertian Good Governance

Dewasa ini, Good governance telah menjadi isu yang paling mengemuka

dalam pengelolaan keuangan dan administrasi di sektor publik. Peningkatan

pengetahuan masyarakat dan pengaruh globalisasi telah mengubah cara

pandang masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Masyarakat lebih aktif dalam

memantau kinerja pemerintah dan menuntut penyelenggaraan pemerintahan

yang baik dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban dana publik

(Allmendinger, Tewdwr-Jones, and Morphet, 2003). Sudah semestinya tuntutan

tersebut ditanggapi pemerintah dengan melakukan perubahan-perubahan yang

terarah pada terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

Beberapa lembaga telah berupaya untuk mendefinisikan good

governance. Good governance dapat juga diartikan sebagai proses implementasi

dari keputusan yang baik melalui proses yang baik (UNESCAP, 2009). Definisi

good governance menurut UNDP adalah praktek penerapan kewenangan

penyelenggaraan berbagai urusan negara secara politik (political governance),

ekonomi (economic governance) dan administratif (administrative governance) di

semua tingkatan (Moeljono, 2005). Administrative governance mengacu pada

sistem implementasi secara efisien, tidak memihak, akuntabel dan terbuka.

Konsep ini berkaitan dengan peran pemerintah, swasta dan masyarakat sebagai

pilar good governance.

22

Praktik Good governance harus memberi ruang kepada sektor

pemerintah, swasta dan masyarakat untuk berperan serta secara optimal dalam

pemerintahan untuk menghasilkan sinergi di antara ketiga faktor tersebut

(Dwiyanto, 2006). Kerangka keterpaduan dan kerjasama yang harmonis dari

masing-masing pihak untuk mencapai keseimbangan dan sinergi dalam

pemenuhan kebutuhan dan kepentingan masing-masing institusi merupakan

kunci keberhasilan good governance. Keberhasilan implementasi good

governance juga sangat terkait dengan elemen-elemen utama yang berkaitan

dengan karakteristik dan prinsip good governance. Karakteristik dan prinsip good

governance merupakan tolok ukur yang dapat digunakan untuk menilai apakah

pemerintahan telah dijalankan dengan baik atau tidak (Thahar, 2016).

2.1.2 Karakteristik dan Prinsip Good Governance

Praktik good governance dapat dikatakan sebagai strategi dalam

penciptaan institusi masyarakat yang kuat serta membuat pemerintah menjadi

semakin terbuka, responsif, akuntabel dan demokratis. UNDP mengajukan

sembilan karakteristik good gonvernance yang saling memperkuat dan tidak

berdiri sendiri (Mardiasmo, 2002)

1. Partisipasi. Setiap warga negara memiliki hak suara dalam pengambilan

keputusan, secara langsung/tidak langsung melalui lembaga/institusi yang

sah dan dapat menyalurkan aspirasinya.

2. Penegakan Hukum. Kerangka hukum yang adil dan tanpa pandang bulu,

juga termasuk hukum yang menyangkut tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Penegakan hukum yang tegas akan meningkatkan partisipasi masyarakat

dan mencegah partisipasi yang berubah menjadi tindakan anarkis.

23

3. Transparansi. Adanya kebebasan dan kemudahan untuk memperoleh

informasi yang akurat dan memadai bagi stakeholder.

4. Daya tanggap/responsif. Pemerintah harus tanggap dalam melayani

kebutuhan stakeholder dan secara proaktif mempelajari dan menganalisa

kebutuhan masyarakat dan mengeluarkan kebijakan strategis untuk

memenuhi kepentingan umum.

5. Orientasi pada kesepakatan. Good governance menjadi perantara berbagai

kepentingan yang berbeda untuk mendapatkan pilihan terbaik dalam hal

perumusan kebijakan-kebijakan. Hasil keputusan ini bersifat mengikat dan

milik bersama sehingga memiliki kekuatan untuk memaksa bagi semua

komponen yang terlibat melaksanakannya.

6. Kesetaraan. Setiap warga negara mendapatkan kesempatan yang sama

dalam memperoleh keadilan dan kesejahteraan.

7. Efektifitas dan efisiensi. Setiap proses dan kelembagaan untuk

menghasilkan sesuatu sesuai ketentuan dengan menggunakan berbagai

sumber yang tersedia sebaik mungkin.

8. Akuntabilitas. Para pengambil keputusan di dalam pemerintahan, sektor

swasta dan masyarakat memiliki tanggungjawab kepada publik serta

lembaga-lembaga yang berkepentingan. Akuntabilitas ini tergantung pada

organisasi dan sifat keputusannya apakah untuk kepentingan

internal/eksternal organisasi.

9. Visi Strategis. Para pemimpin harus memiliki pandangan yang luas dan jauh

kedepan. Visi strategis merupakan pandangan strategis untuk

mempersiapkan keadaan di masa mendatang dan menganalisa persoalan

serta tantangan yang akan dihadapi oleh organisasi pada masa mendatang.

24

Perlaksanaan good governance di Indonesia berdasarkan pada acuan

umum penerapan yang dikeluarkan oleh Lembaga Adminstrasi Negara RI Tahun

2005. Terdapat tujuh asas penerapan good governance antara lain:

1. Asas kepastian hukum. Peraturan perundang-undangan, keadilan dan

kepatutan merupakan hal yang fundamental dalam setiap perumusan

kebijakan penyelenggaraan negara.

2. Asas tertib penyelenggaraan negara. Asas untuk menjadikan keteraturan,

kesesuaian dan keseimbangan dalam pengendalian negara.

3. Asas kepentingan umum. Good governance harus mampu mengutamakan

kepentingan umum secara aspiratif, akomodatif dan selektif.

4. Asas keterbukaan. Asas yang memperhatikan hak warga negara untuk

memperoleh informasi yang benar, jujur serta tidak diskriminatif mengenai

penyelenggaraan negara dengan memperhatikan perlindungan atas hak

asasi masing-masing individu, golongan dan rahasia negara.

5. Asas proposionalitas. Asas yang mengutamakan proporsi antara hak dan

kewajiban dalam penyelenggaraan negara.

6. Asas profesionalitas. Asas yang mengutamakan keahlian berlandaskan kode

pada etik dan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.

7. Asas akuntabilitas. Asas yang mengutamakan pertanggungjawaban atas

setiap kegiatan serta hasil akhir dari kegiatan pengelolaan pemerintahan

kepada rakyat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan

yang berlaku.

Salah satu asas good governance yang menjadi sorotan adalah

akuntabilitas. Pengaruh globalisasi dan meningkatnya kepedulian masyarakat

dalam pengawasan dana publik telah menuntut pemerintah untuk

25

mempertanggungjawabkan segala aktivitas pemerintahan tidak hanya kepada

otoritas yang lebih tinggi, namun juga kepada masyarakat (Akbar, 2011; Mimba

et al., 2007). Akuntabilitas dianggap penting dalam menjalankan good

governance karena diperlukan bagi setiap pemerintahan supaya segala tindakan

secara meluas disetujui oleh masyarakat (Hughes, 1994).

2.2 Akuntabilitas

2.2.1 Pengertian Akuntabilitas

Akuntabilitas sebagai salah satu prinsip good governance berkaitan

dengan pertanggungjawaban atas hasil capaian program/kegiatan yang telah

dilaksanakan. Stanbury (2003) mendefinisikan akuntabilitas sebagai bentuk

kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan maupun kegagalan

pencapaian visi dan misi organisasi yang telah ditentukan sebelumnya, melalui

media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik. Pada dasarnya

akuntabilitas adalah keterbukaan informasi dan pengungkapan atas kegiatan

yang dilakukan dan kinerja finansial kepada stakeholders (Schiavo dan Tomasi,

1999).

Menurut UNDP (1997), akuntabilitas adalah evaluasi atas proses

pelaksanaan kegiatan/kinerja organisasi agar dapat dipertanggungjawabkan

serta sebagai umpan balik bagi pimpinan organisasi untuk dapat lebih

meningkatkan kinerja organisasi pada masa mendatang. Akuntabilitas mampu

menjadi alat bagi manajer untuk memahami bagaimana terjadinya kegagalan

program/kegiatan dan menemukan mekanisme yang tepat untuk membuat

program/kegiatan yang lebih baik.

Pollit (2003) menjelaskan bahwa akuntabilitas menyangkut hubungan

antara actor yaitu accountor, accountee, forum dan obyek akuntabilitas itu

26

sendiri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa aspek yang terkandung dalam

pengertian akuntabilitas adalah kewajiban yang sifatnya imperatif (keharusan)

dan harus disampaikan pada pemberi mandat. Pemerintah sebagai pengelola

dana publik memiliki kewajiban untuk mempertanggungjawabkan

keberhasilan/kegagalan program dan kegiatan kepada pemberi amanat.

Pertanggungjawaban tersebut dapat dilakukan melalui laporan yang mampu

menggambarkan kinerja pemerintah, selain itu laporan juga harus mudah diakses

oleh pemberi amanat. Akuntabilitas akan menjadi kenyataan dan bukan hanya

retorika saja jika dilaksanakan dalam negara demokrasi, saat masyarakat

mempunyai kemampuan untuk menuntut pelaksanaan pemerintahan yang

akuntabel (Funnel, Cooper dan Lee, 2012).

Sistem pemerintahan desentralisasi mengharuskan manajer publik

melakukan perubahan dari partisipan pasif menjadi aktif didalam penyusunan

standart akuntabilitas sesuai dengan keinginan publik (Mahsun, 2012:83). Hal ini

menunjukkan bahwa kewajiban pemerintah daerah untuk meningkatkan

akuntabilitasnya tidak hanya kepada otoritas yang lebih tinggi, akan tetapi juga

kepada masyarakat luas.

Gray dan Jenkins (1993) membedakan konsep akuntabilitas menjadi tiga,

yaitu: akuntabilitas keuangan, akuntabilitas kinerja, dan akuntabiltias profesional.

Akuntabilitas keuangan menekankan pada kejujuran, kepatuhan dan efisiensi.

Akuntabilitas kinerja menekankan pada tanggung jawab integritas organisasi,

keteraturan, konsistensi dan efisiensi pelayanan. Selanjutnya, akuntabilitas

profesional menekankan pada aksesibilitas, kesesuaian dan kualitas pelayanan

dan perhatian kepada pengguna layanan. LAN dan BPKP (2000)

mengklasifikasikan akuntabilitas menjadi tiga, yaitu: akuntabilitas keuangan,

27

akuntabilitas manfaat, dan akuntabilitas prosedural. Akuntabilitas keuangan

adalah laporan keuangan instansi pemerintah sebagai pertanggungjawaban

kinerja keuangan, dan ketaatan terhadap peraturan. Akuntabilitas manfaat

menitikberatkan pada efektifitas hasil-hasil kegiatan pemerintahan, bukan hanya

output saja melainkan sampai otucome. Akuntabilitas prosedural menitikberatkan

pada pertanggungjawaban aspek penetapan dan pelaksanaan kebijakan yang

harus mempertimbangkan masalah moral, etika, kepastian hukum dan ketaan

tapada keputusan politik untuk mendukung pencapaian target yang telah

ditetapkan.

Akuntabilitas dalam sektor publik sangat kompleks dan konsepnya telah

dikembangkan dalam berbagai dimensi yang berguna untuk tujuan yang berbeda

(Hoges, 2012). Manajer dalam sektor publik memiliki berbagai macam

konstituen, sehingga mereka harus bertanggungjawab untuk hal-hal yang

berbeda (Sinclair, 1995). Hal ini menimbulkan banyaknya pemaknaan tentang

dimensi-dimensi akuntabilitas publik berdasarkan tujuan pelaksanaan

akuntabilitas, yaitu dari siapa, tentang apa dan kepada siapa akuntabilitas

tersebut dilaksanakan.

2.2.2 Dimensi Akuntabilitas Publik

Hopwood dan Tomkins (1984) menjelaskan bahwa instansi pemerintah

dalam menjalankan akuntabilitasnya harus memenuhi lima dimensi akuntabilitas,

yaitu:

1. Akuntabilitas hukum dan kejujuran (accountability for probity and legality)

menekankan pada perilaku jujur dan mentaati peraturan hukum yang

berlaku;

28

2. Akuntabilitas manajerial (managerial accountability) atau akuntabilitas

kinerja (performance accountability) merupakan pertanggungjawaban

pemerintah dalam proses organisasi yang dilakukan agar berjalan dengan

efektif dan efisien;

3. Akuntabilitas program (program accountability) berkaitan dengan

pencapaian tujuan, penyusunan program sampai dengan

pelaksanaannya;

4. Akuntabiltias kebijakan (policy accountability) merupakan akuntabilitas

atas kebijakan dan pelaksanaannya;

5. Akuntabilitas keuangan (financial accountability) merupakan

pertanggungjawaban pemerintah atas penggunaan dana publik sesuai

dengan prinsip value for money.

Salah satu media akuntabilitas adalah laporan keuangan yang telah

diaudit oleh BPK. Laporan keuangan menekankan pada pertanggungjawaban

sumber daya yang digunakan sesuai dengan peraturan dan perundangan yang

berlaku (Sadjirto, 2000). Jadi laporan keuangan baru memenuhi tahap probity

and legality accountability (compliance accountability), sehingga masih

diperlukan laporan lainnya yang dapat memberikan informasi mengenai efisiensi

kegiatan, ukuran dan indikator yang digunakan dalam mengalokasikan sumber

daya, pencapaian tujuan yang ditetapkan serta pemilihan kebijakan yang diambil.

Informasi tersebut dapat diakomodir dalam laporan kinerja yang berisi tentang

evaluasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Pemerintah (SAKIP).

2.3 Sistem Akuntabilitas Kinerja di Indonesia

Akuntabilitas kinerja merupakan salah satu penekanan dalam

pembenahan pengelolaan sektor publik yang telah diadopsi oleh berbagai

29

negara dengan latar belakang sejarah, politik, ekonomi, sosial, dan geografis

yang berbeda (Lapsey, 2008). Reformasi ini merupakan hasil dari pendekatan

neo-liberal terhadap fungsi sosial dan ekonomi (Humphrey, 1993) dan peran

lembaga dunia (Kotsias, 2010). Menurut Goldfich dan Wallis (2009) akuntabilitas

kinerja adalah pertanggungjawaban manajer pemerintah sebagai pemegang

amanah untuk menjalankan tugas sesuai dengan aturan, tidak melakukan

penyalahgunaan wewenang, menjalankan operasional sehari-hari berdasarkan

pada efisiensi, ekonomi dan efektifitas.

Perkembangan akuntabilitas kinerja di Indonesia diawali dengan

ditetapkannya INPRES No. 7 Tahun 1999 yang mempertegas bahwa tidak hanya

akuntabilitas keuangan yang menjadi tuntutan publik tetapi juga akuntabilitas

kinerja (LAN dan BPKP, 2000). INPRES No. 7 Tahun 1999 mendefinisikan

akuntabilitas kinerja sebagai wujud kewajiban instansi pemerintah dalam

mempertanggungjawabkan keberhasilan maupun kegagalan pencapaian visi dan

misi organisasi untuk sesuai target tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan

melalui alat pertanggungjawaban secara periodik.

INPRES No. 7 Tahun 1999 mewajibkan instansi pemerintah untuk

membuat laporan akuntabilitas kinerja kepada presiden sebagai pemberi

amanah. Tata cara penyusunan laporan tersebut diatur dalam Keputusan Kepala

LAN No. 589/IX/6/99 dan Keputusan Kepala LAN No. 239/IX/6/8/2003. Pada

tahun 2003, UU No. 17 Tahun 2003 sebagai dasar pelaksanaan Anggaran

Berbasis Kinerja (ABK) disahkan. Hal ini merupakan langkah awal penyusunan

anggaran yang mampu menghubungkan anggaran pemerintah dengan kinerja

yang akan dicapainya. Panduan integrasi antara SAKIP dengan ABK dikeluarkan

oleh Kementrian Dalam Negeri melalui Permendagri No 13 Tahun 2006.

30

Pembenahan dalam sistem perencanaan kinerja dilakukan dengan

menerbitkan PP No. 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah. PP ini

bertujuan untuk memberikan panduan dalam pengembangan rencana kerja

tahunan. Sedangkan undang-undang yang mengatur tentang rencana kerja

pemerintah diterbitkan kemudian dalam UU No. 25 Tahun 2004. UU ini mengatur

sistem perencanaan nasional yang terbagi dalam beberapa periode, yaitu:

(1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) untuk rencana 20 tahunan;

(2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) untuk rencana lima

tahunan; dan (3) Rencana Kerja (Renja) untuk rencana satu tahun anggaran.

Selanjutnya, LAKIP harus dievaluasi oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur

Negara berdasarkan KEPMENPAN No. 135 Tahun 2004 tentang pedoman

evaluasi LAKIP. Pada masa ini, instansi pemerintah diwajibkan untuk menyusun

perjanjian kinerja sebagai upaya untuk meningkatkan kerangka kerja dalam

pengukuran kinerja. Penyusunan perjanjian kinerja diatur dalam Surat Edaran

(SE) No. 31 Tahun 2004. Pengaplikasian perjanjian kerja adalah bentuk mimetic

dari pemerintah Indonesia atas implementasi akuntabilitas kinerja yang

dilaksanakan di Inggris.

Pada tahun 2006, Pemerintah Indonesia mengesahkan PP No. 8 Tahun

2006 yang mewajibkan seluruh instansi pemerintah untuk melaporkan laporan

keuangan dan LAKIP sebagai bentuk akuntabilitas. Informasi kinerja yang telah

disampaikan oleh pemerintah masih belum digunakan dengan baik. Pemerintah

masih sulit untuk mengukur keberhasilan dan kegagalan tujuan strategis dan

sasaran mereka. Oleh karena itu, pada tahun 2007 pemerintah memperkenalkan

Indikator Kinerja Kunci (IKK) sebagai alat untuk mengukur keberhasilan dan

kegagalan tujuan strategis pemerintah. Pada tahun 2014, diterbitkan Peraturan

31

Presiden No 29 Tahun 2014 tentang SAKIP sebagai dasar untuk melaksanakan

ketentuan PP No 8 tahun 2004. Pada tahun 2014, diterbitkan Peraturan Presiden

No 29 Tahun 2014 tentang SAKIP sebagai dasar untuk melaksanakan ketentuan

PP No 8 tahun 2004. PERPRES No 29 Tahun 2014, mendefinisikan SAKIP

sebagai:

“...rangkaian sistematik dari berbagai aktivitas, alat, dan prosedur yang dirancang untuk tujuan penetapan dan pengukuran, pengumpulan data, pengklasifikasian, pengikhtisaran, dan pelaporan kinerja pada instansi pemerintah, dalam rangka pertanggungjawaban dan peningkatan kinerja instansi pemerintah”.

SAKIP terdiri dari berbagai komponen yang membentuk siklus yang

merupakan satu kesatuan, yaitu: penyusunan rencana strategis, penyusunan

perjanjian kinerja, pengukuran kinerja, pengelolaan data kinerja, pelaporan

kinerja, serta reviu dan evaluasi kinerja. Siklus SAKIP ini bersifat terpadu dan

tidak terputus dan merupakan infrastruktur dalam proses pemenuhan kewajiban

penyelenggaraan pemerintahan dalam mempertanggungjawabkan

keberhasilan/kegagalan pelaksanaan visi dan misi organisasi. Siklus SAKIP

dapat dilihat pada gambar 2.1

Siklus SAKIP diawali dengan penyusunan rencana strategis berupa visi,

misi, tujuan, sasaran dan strategi yang akan digunakan untuk mencapai tujuan

dan sasaran. Rencana strategis merupakan dokumen perencanaan lima tahunan

yang kemudian dijabarkan dalam perencanaan kinerja yang disusun setiap

tahun. Tahap selanjutnya adalah penyusunan perjanjian kinerja yang berisi

penugasan pimpinan yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Penyusunan

perjanjian kinerja menggunakan indikator kinerja dengan memperhatikan

Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA). Selanjutnya tahapan pengukuran

kinerja, yaitu membandingkan realisasi kinerja dengan target indikator kinerja

32

yang terdapat dalam dokumen perjanjian kinerja. Pengukuran kinerja sangat

dipengaruhi oleh komponen selanjutnya, yaitu pengelolaan data kinerja.

Pengelolaan data kinerja dilakukan untuk menyediakan data dengan cara

mencatat, mengolah dan melaporkan data kinerja. Data kinerja merupakan

capaian kinerja yang dinyatakan dalam satuan indikator kinerja. Pada akhir

periode, capaian kinerja dilaporkan kepada pihak yang berkepentingan dalam

bentuk LKj interim dan laporan LKj tahunan. Tahapan terakhir adalah reviu dan

evaluasi yang dilakukan oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP). Reviu

dilakukan untuk mendapatkan keyakinan atas informasi yang disajikan sebelum

disampaikan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota.

Evaluasi atas Laporan Kinerja dilakukan untuk memberikan penilaian atas

implementasi SAKIP di OPD.

Gambar 2.1 Siklus Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah

Sumber: Perpes No. 29 Tahun 2014

33

Implementasi SAKIP merupakan suatu siklus yang kompleks dan rumit.

Peningkatan teknologi, pembenahan administrasi dalam pengumpulan data,

komitmen pimpinan dan pegawai, serta kerjasama antar sektor perlu ditingkatkan

untuk mengoptimalkan implementasi SAKIP. Selain itu, proses pelembagaan

SAKIP dalam suatu instansi juga mempengaruhi apakah SAKIP mampu

diimplementasikan dengan baik atau hanya sekedar untuk memenuhi kewajiban

pemerintah saja. Proses pelembagaan ini dapat dipahami lebih lanjut dengan

menggunakan teori New Institutional Sociology (NIS).

2.4 New Institutional Sociology (NIS)

Teori institusional mengusung ide pokok bahwa keberadaan organisasi

dibentuk oleh lingkungan yang ada disekitarnya. Sejumlah ahli telah

menggunakan teori institusional untuk melakukan penelitiannya dalam berbagai

bidang seperti ekonomi dan sosiologi (Meyer dan Rowan, 1977; DiMaggio dan

Powell, 1983). Terdapat dua kelompok dalam teori institusional, yaitu Old

Institutionalism Sociology (OIS) dan New Institutionalism Sociology (NIS). OIS

dikembangkan oleh Philips Selznick, kemudian pada tahun 1970an sejumlah

peneliti mengembangkannya menjadi NIS. Beberapa ahli yang mengembangkan

konsep NIS antara lain Meyer dan Rowan (1977), Zucker (1977) dan DiMaggio

dan Powel (1983), dan Scott (1987). Menurut Selznick (1949) yang paling

penting dalam proses institusionalisasi adalah masuknya nilai-nilai baru, baik

yang merupakan reaksi organisasi terhadap tekanan internal maupun eksternal

dan merupakan proses penyesuaian secara terus menerus. Para ahli teori

institusional yang lain seperti Meyer dan Rowan (1977), DiMaggio dan Powel

(1983) dan Jepperson (1991) memandang bahwa insitusionalisasi adalah proses

34

penciptaan realitas yang menekankan peran aktor sebagai elemen penting

dalam proses institusionalisasi.

Persamaan di antara OIS dan NIS adalah pandangan bahwa aktor dalam

organisasi tidak sepenuhnya rasional dalam analisa organisasi dan mengakui

bahwa institusionalisasi adalah proses penyerapan aspek-aspek lingkungan oleh

organisasi untuk menjadi bagian dari ritual atau kebiasaannya. Perbedaan OIS

dan NIS adalah OIS memandang perubahan organisasi terjadi karena keinginan

internal organisasi, sedangkan NIS memandang perubahan terjadi karena

tekanan dari luar dan ingin mendapatkan legitimasi. OIS memandang bahwa

organisasi melakukan perubahan terus menerus secara alamiah untuk mencapai

tujuan yang lebih baik. OIS berbicara tentang rasionalitas dan birokrasi pada

dunia modern. Konteks yang diperhatikan adalah memahami konstruksi birokrasi

seperti power, interest dan konflik melalui berbagai model pengorganisasian

(Jennings and Greenwood, 2003: 196). NIS memandang perubahan organisasi

terjadi karena adanya tekanan dari luar dan perubahan dilakukan belum tentu

untuk mencapai efisiensi, tetapi lebih kepada mempertahankan legitimasi (Meyer

and Rowan, 1977). Hal ini terjadi ketika lingkungan intitusional hanya akan

memberikan sumber dayanya kepada organisasi yang terlegitimasi, maka

orientasi organisasi adalah untuk mendapatkan legitimasi institusional (DiMaggio

and Powell, 1983) agar dapat tetap survive.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teori NIS untuk

mengungkapkan fenomena implementasi SAKIP pada tingkatan pemerintah

kabupaten/kota. Pandangan New institusional dianggap sesuai dengan kondisi

objek penelitian, dimana pemerintah kabupaten/kota memiliki kewajiban untuk

melaksanakan pengelolaan pemerintahan sesuai dengan peraturan yang berlaku

35

dan bertanggungjawab untuk menjadi lembaga yang akuntabel baik kepada

otoritas yang lebih tingggi maupun kepada masyarakat.

Tekanan yang dihadapi oleh pemerintah untuk meningkatkan

akuntabilitas kinerja berasal dari dalam organisasi yaitu untuk memperbaiki

kinerja, akan tetapi tekanan yang jauh lebih besar berasal dari eksternal, yaitu

dari stakeholder. Masyarakat mendorong pemerintah untuk melakukan perbaikan

kinerja dan memberantas praktik-praktik KKN yang sebelumnya telah menjadi

budaya dalam sistem birokrasi. Selain itu, tekanan dari lembaga-lembaga donor

internasional juga berkontribusi besar dalam perubahan. Perubahan ini sebagai

syarat untuk mendapatkan bantuan dan dan pertanggungjawaban dana.

Pada intinya, proses instusionalisasi merupakan proses homogenisasi

(homogenization) yaitu proses menjadikan sebuah organisasi menyerupai

lingkungan institusionalnya (Meyer dan Rowan, 1977). Proses homogenisasi ini

dilakukan agar organisasi mendapatkan legitimasi dari lingkungan insitusionalnya

sehingga organisasi dapat survive. Legitimasi institusional dapat dicapai melalui

homogenization yaitu mekanisme ketika organisasi menyamakan praktik-praktik

atau rutinitasnya agar menyerupai lingkungan institusionalnya. Konsep yang

paling tepat untuk menjelaskan proses homogenisasi adalah isomorphism

(DiMaggio and Powell, 1983).

DiMaggio dan Powell (1983) menjelaskan bahwa terdapat tiga cara

terjadinya perubahan insitusional isomorphism yaitu coercive isomorphism,

mimetic isomorphism, dan normative isomorphism. Coercive isomorphism terjadi

karena adanya tekanan baik formal maupun informal yang diterima organisasi

dari lingkungan eksternal yang memiliki power untuk menekan organisasi.

Mimetic isomorphism terjadi pada saat organisasi menghadapi ketidakpastian

36

dalam melakukan praktik-praktik baru, sehingga organisasi memutuskan untuk

mengimitasi praktik-praktik yang telah diterapkan oleh organisasi lain yang dinilai

berhasil menerapkan praktik-praktik tersebut. Selanjutnya, normative

isomorphism terjadi karena perubahan yang terjadi melibatkan aktor-aktor

profesional baik melalui sosialisasi, pelatihan maupun pengembangan aplikasi

baru yang mampu meningkatkan kemampuan internal organisasi.

Terdapat dua alasan mengapa terjadi isomorphism (Meyer and Rowan,

1991). Pertama, kenyataan bahwa lingkungan organisasi selalu menghasilkan

apa yang disebut sebagai “boundary-spanning exigencies” yaitu tidak mampunya

sebuah organisasi untuk sepenuhnya independen dari lingkungan organisasinya

sehingga proses take and give menjadi tidak terelakkan. Kedua, pada dasarnya

organisasi merupakan tatanan sosial yang memungkinkan organisasi untuk

menampilkan kembali realitas tatanan sosialnya. Organisasi selalu berada dalam

proses mengkondisikan dan dikondisikan oleh lingkungannya.

Menurut Meyer dan Rowan (1977) Isomorphism mengakibatkan

munculnya konsekuensi yang harus dihadapi oleh organisasi, di antaranya:

1) tekanan untuk melakukan perubahan dapat memaksa organisasi untuk

memperoleh legitimasi daripada efisiensi, 2) pelaksanaan dilakukan seremonial

saja karena ketidakmampuan ataupun keengganan organisasi dalam

menjalankan elemen baru, dan 3) timbul ketergantungan kepada institusi

eksternal untuk mempertahankan stabilitas dan kemungkinan gejolak yang

timbul.

Menurut Djamhuri (2009) proses internalisasi ini dapat menjadikan

organisasi menjadi benar-benar solid atau sebaliknya menjadikan organisasi dari

luar tampak solid, tetapi didalamnya rapuh (decoupling). Organisasi yang tidak

37

mampu atau enggan untuk menginternalisasikan elemen baru maka ada

kemungkinan untuk tampak melaksanakan elemen tersebut, akan tetapi pada

kenyataannya hanya pura-pura. Meyer dan Rowan (1977) menyatakan bahwa

perilaku decoupling memungkinkan organisasi untuk mempertahankan standar,

legitimasi dan struktur formal yang dimilikinya.