25
16 BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. DEFINISI KONSEP Tujuan apapun yang dipilih dalam suatu penelitian harus berpijak pada teori dan konsep-konsep yang sudah ada. Teori yang rasional dan sistematis mempunyai peranan yang cukup penting sebagai pedoman atau pegangan karena “teori adalah serangkaian konsep, definisi dan proposisi yang saling berkaitan dengan tujuan untuk memberikan gambaran yang sistematis tentang suatu fenomena. Sebuah konsep, teori bermanfaat dalam menelaah masalah penelitian untuk analisis selanjutnya. Konsep yang diminati akan didefinisikan terlebih dahulu dengan tujuan memperkaya kosa kata, menghilangkan kerancuan, mengurangi kekaburan dan menjelaskan secara teoritis serta mempengaruhi sikap (Ihalauw, 2000). Menurut Dubin (Ihalauw, 2000) “Konsep adalah unsur dasar yang digunakan untuk membentuk teori”. Konsep dapat berfungsi sebagai landasan pijak bagi peneliti dalam melakukan penelitiannya sehingga penentuan konsep, definisi konsep, dan nalar konsep merupakan hal yang mutlak bagi peneliti.

BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. DEFINISI KONSEP

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

16

BAB II

TELAAH PUSTAKA

2.1. DEFINISI KONSEP

Tujuan apapun yang dipilih dalam suatu penelitian

harus berpijak pada teori dan konsep-konsep yang

sudah ada. Teori yang rasional dan sistematis

mempunyai peranan yang cukup penting sebagai

pedoman atau pegangan karena “teori adalah

serangkaian konsep, definisi dan proposisi yang saling

berkaitan dengan tujuan untuk memberikan

gambaran yang sistematis tentang suatu fenomena.

Sebuah konsep, teori bermanfaat dalam menelaah

masalah penelitian untuk analisis selanjutnya.

Konsep yang diminati akan didefinisikan terlebih

dahulu dengan tujuan memperkaya kosa kata,

menghilangkan kerancuan, mengurangi kekaburan

dan menjelaskan secara teoritis serta mempengaruhi

sikap (Ihalauw, 2000).

Menurut Dubin (Ihalauw, 2000) “Konsep adalah

unsur dasar yang digunakan untuk membentuk teori”.

Konsep dapat berfungsi sebagai landasan pijak bagi

peneliti dalam melakukan penelitiannya sehingga

penentuan konsep, definisi konsep, dan nalar konsep

merupakan hal yang mutlak bagi peneliti.

17

2.1.1. Behavioral-intentions battery

Ajzen (2002) berpendapat bahwa behavioral-

intentions battery mencerminkan betapa sulitnya

seseorang bersedia untuk mencoba, dan bagaimana

memotivasinya untuk berperilaku. Definisi lain

dikemukakan oleh Zeithaml et al. (1996) bahwa

behavioral intentions battery adalah sikap mendukung

atau tidak mendukung perusahaan yang dijabarkan

dalam lima dimensi perilaku, yaitu loyalty, switch, pay

more, internal response dan eksternal response, yang

menjadi pendorong bagi pelanggan untuk bertindak.

Setelah Raharso (2005) melakukan analisis faktor

dengan agen value >1, saat ini telah ditemukan lima

dimensi baru (walau sebagian besar sama), yaitu

word-of-mouth, loyalty, response, switch, dan complain.

Perilaku (behavior) adalah tindakan khusus yang

ditujukan pada beberapa objek target. Sedangkan

keinginan berperilaku (behavioral intention) adalah

suatu proposisi yang menghubungkan diri dengan

tindakan yang akan datang. Memperkirakan perilaku

yang akan datang dari seorang konsumen, khususnya

perilaku pembelian mereka, adalah aspek yang sangat

penting dalam peramalan dan perencanaan

pemasaran. Ketika merencanakan strategi, para

pemasar perlu memprediksi perilaku pembelian dan

18

perilaku penggunaan konsumen beberapa minggu,

bulan, atau kadangkala beberapa tahun sebelumnya.

Niat untuk berperilaku meliputi perilaku yang

diinginkan oleh pengunjung dan mengantisipasi

tindakan yang mereka akan tunjukkan di masa

depan. Menurut Zeithaml et al. (1996), battery

digambarkan seperti : tetap setia ke perusahaan

bahkan ketika harganya naik, niat untuk melakukan

bisnis lebih dengan perusahaan di masa depan, dan

niat memberi keluhan ketika masalah layanan terjadi.

Battery di kembangkan menjadi 13 item yang

kemudian dikelompokkan menjadi 5 dimensi :

loyalitas kepada perusahaan, kecenderungan untuk

beralih, kesediaan untuk membayar lebih, respon

eksternal untuk masalah, dan respon internal untuk

masalah. Loyalitas didefinisikan sebagai perilaku bias

diungkapkan dari waktu ke waktu oleh pengunjung

sehubungan dengan satu atau lebih alternatif dan

merupakan fungsi dari proses psikologis (Jacoby dan

Kyner 1973).

Ikhwan Susila & Faturrahman (2004),

menambahkan pendapat dari Assael bahwa

behavioral-intentions adalah hasil dari evaluasi

terhadap merek atau jasa. Lebih lanjut Assael

menambahkan pada saat konsumen melakukan

evaluasi terhadap merek atau jasa, konsumen

19

cenderung akan menggunakan merek atau jasa yang

memberikan tingkat kepuasan tertinggi.

Mowen dan Minor (2002) menyatakan bahwa

behavioral intentions sebagai minat berperilaku, yaitu

minat konsumen untuk berperilaku menurut cara

tertentu dalam rangka memiliki, membuang, dan

menggunakan produk atau jasa. Model ini

dikembangkan oleh Fishbein untuk meningkatkan

kemampuan model sikap terhadap objek dalam

memprediksi perilaku konsumen.

Selanjutnya Mowen dan Minor (2002)

menambahkan : pertama, perilaku berasal dari

formasi keinginan spesifik untuk berperilaku. Kedua,

ini mencangkup bentuk baru yang disebut norma

subjektif. Norma subjektif menilai apa yang dipercaya

konsumen bahwa orang lain akan berpikir mereka

harus melakukannnya. Dengan kata lain, norma

subjektif memperkenalkan formulasi pengaruh

referensi dari kelompok yang sangat kuat terhadap

perilaku. Teori Reasoned Action menyatakan bahwa

perilaku (behavior) seseorang sangat tergantung pada

minat/maksud, sedangkan minat untuk berperlaku

sangat tergantung pada sikap dan norma subjektif

atas perilaku.

Bigne (2005), Ekinci dan Hosany (2006), Alampay

(2003), dan Rosen (1987) menjelaskan kecenderungan

20

seseorang menunjukkan intention (minat) terhadap

suatu produk atau jasa dapat dilihat berdasarkan ciri-

ciri di bawah ini.

1. Kemauan untuk mencari informasi terhadap suatu

produk atau jasa. Konsumen yang memiliki

intention cenderung mencari informasi yang lebih

detail tentang produk atau jasa tersebut dengan

tujuan untuk mengetahui secara pasti bagaimana

spesifikasi produk atau jasa yang digunakan,

sebelum menggunakan produk atau jasa tersebut.

2. Kesediaan untuk membayar barang atau jasa.

konsumen yang memiliki minat terhadap suatu

produk atau jasa dapat dilihat dari bentuk

pengorbanan yang dilakukan terhadap suatu

barang atau jasa. Konsumen yang cenderung

memiliki minat lebih terhadap suatu barang atau

jasa akan bersedia untuk membayar barang atau

jasa tersebut dengan tujuan konsumen yang

berminat tersebut dapat menggunakan barang

atau jasa tersebut.

3. Menceritakan hal yang positif. Konsumen yang

memiliki minat besar terhadap suatu produk atau

jasa, jika ditanya konsumen lain maka secara

otomatis konsumen tersebut akan mencitrakan hal

yang positif terhadap konsumen lain, karena

konsumen yang memiliki suatu minat

21

secara eksplisit memiliki suatu keinginan dan

kepercayaan terhadap suatu barang atau jasa

yang digunakan.

4. Kecenderungan untuk merekomendasikan.

Konsumen yang memiliki minat yang besar

terhadap suatu barang, selain akan menceritakan

hal yang positif, konsumen tersebut juga akan

merekomendasikan kepada orang lain untuk juga

menggunakan barang atau jasa tersebut.

Penelitian ini mencoba melihat bagaimana

pentingnya behavioral-intentions battery yang

berpengaruh terhadap loyalitas menurut definisi yang

dipaparkan Zeinthamil (1996).

22

2.1.2.Attitude

Menurut pendapat Schiffman dan Kanuk (2007),

“attitude is a learned predisposition to respond in

a consistently favorable or un favorable manner with

respect to a given object”

Sikap adalah respon yang dipelajari secara

konsisten yang diberikan individu terhadap sebuah

objek, dalam bentuk senang atau tidak senang.

Ihalauw (2003) menambahkan definisi sikap

menurut Lefton adalah pola perasaan, keyakinan dan

kecenderungan perilaku terhadap orang, ide, atau

objek yang tetap dalam jangka waktu yang lama.

Di kalangan ahli psikologi, telah lama

diasumsikan bahwa sikap dipandang mampu

memprediksi perilaku. Serangkaian penelitian tentang

hubungan yang problematik antara sikap-perilaku

telah banyak dilakukan oleh para ahli psikologi sosial.

Akhirnya Martin Fishbein dan Icek Ajzen mulai

mengembangkan sebuah kerangka guna mengatasi

permasalahan mengenai hubungan sikap-perilaku.

Kerangka teoritis tersebut terkenal dengan Theory of

Reasoned Action (TRA). Selanjutnya TRA

dikembangkan dan disempurnakan oleh Ajzen (2006)

menjadi Theory of Planned Behavior (TPB). Menurut

Brehm dan Kassin (1990), TRA dan TPB merupakan

23

dua teori yang penting untuk memahami dan

memprediksi perilaku.

Sikap (attitude) seseorang merupakan

predisposisi (keadaan mudah terpengaruh) untuk

memberikan tanggapan terhadap rangsangan

lingkungan yang dapat memulai atau membimbing

tingkah laku orang tersebut (Swastha, 2002).

Definisi lain dikemukakan Gerungan (2004)

attitude dapat kita terjemahkan dengan sikap

terhadap obyek tertentu yang dapat merupakan sikap

pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap tersebut

disertai dengan kecenderungan untuk bertindak

sesuai dengan keputusan individu.

Melalui sikap dapat mewakili apa yang disukai

atau pun tidak disukai oleh seseorang. Sikap seorang

konsumen mendorong konsumen untuk melakukan

pemilihan terhadap beberapa produk. Sehingga sikap

kadang diukur dalam bentuk pilihan konsumen.

Pilihan konsumen itu sendiri dapat dikatakan sebagai

suatu sikap terhadap sebuah obyek dan hubungannya

dengan obyek lain.

Menurut Fishbein dan Ajzen, sikap adalah

perasaan umum yang menyatakan keberkenaan

seseorang terhadap suatu obyek yang mendorong

tanggapannya, baik dalam bentuk tanggapan positif

24

maupun negatif. Dalam sikap positif kecenderungan

mengambil tindakan mendekati dan mengharapkan

obyek tertentu. Sedangkan sikap negatif

kecenderungan mengambil tindakan untuk menjauh

atau menghindari obyek tertentu, Subagyo (2000).

Ada dua dimensi penting dalam pembentukan

sikap dari setiap individu, (Fishbein dan Ajzen (1975) :

1. Behavioral Belief adalah keyakinan-keyakinan yang

dimiliki seseorang terhadap perilaku dan

merupakan keyakinan yang akan mendorong

terbentuknya sikap.

2. Evaluation of behavioral belief merupakan evaluasi

positif atau negatif individu terhadap perilaku

tertentu berdasarkan keyakinan-keyakinan yang

dimilikinya.

Dalam interaksi sosialnya, individu bereaksi

membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai

obyek psikologis yang dihadapinya. Diantara berbagai

faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah

pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang

dianggap penting, media masa, institusi, lembaga

pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi

dalam diri individu.

Selanjutnya, menurut Azwar (2003), sikap

terdiri dari beberapa aspek, sebagai berikut : 1). Aspek

25

kognitif, berhubungan dengan gejala mengenai pikiran

yang berupa apa yang berwujud pengolahan,

pengalaman, keyakinan, serta harapan individu

tentang objek atau kelompok tertentu. Aspek kognitif

tersebut berisikan persepsi, kepercayaan, stereotip

yang dimiliki individu mengenai sesuatu. 2). Aspek

Afektif, merupakan perasaan individu terhadap obyek

sikap dan perasaan yang mengandung masalah

emosional. Aspek emosional ini biasanya berakar

paling dalam pada aspek sikap dan merupakan aspek

yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh

yang mungkin dapat merubah perilaku seseorang.

Aspek ini terwujud proses yang menyangkut perasaan

tertentu seperti ketakutan, kedengkian, antipati, yang

ditujukan pada obyek tertentu. 3). Aspek konatif, atau

perilaku dalam sikap menunjukan bagaimana

kecenderungan seseorang di dalam berperilaku

dikaitkan dengan obyek sikap yang dihadapinya.

Asumsi dasarnya adalah bahwa kepercayaan dan

perasaan mempengaruhi perilaku. Jadi bagaimana

orang berperilaku dalam situasi tertentu akan banyak

ditentukan oleh bagaimana kepercayaan dan

perasaannya terhadap stimulus tertentu.

Azwar (2003) menambahkan bahwa sikap

terbentuk dari ada interaksi sosial yang dialami oleh

individu. Interaksi sosial mengandung arti lebih

26

daripada sekedar adanya kontak sosial dan hubungan

antar individu sebagai anggota kelompok sosial.

Dalam interaksi sosial, terjadi hubungan saling

mempengaruhi diantara individu yang satu dengan

yang lain, terjadi hubungan timbal balik yang turut

mempengaruhi pola perilaku masing-masing individu

sebagai anggota masyarakat. Lebih lanjut, interaksi

sosial itu meliputi hubungan antara individu dengan

lingkungan fisik maupun lingkungan psikologis di

sekitarnya.

Sikap akan mengikuti perilaku pembelian

apabila keterlibatan konsumen baik dengan produk

maupun situasi pembelian rendah. Arus peristiwa ini

cukup berbeda pada keputusan dengan keterlibatan

rendah. Dalam hal ini, konsumen tidak termotivasi

untuk melakukan penyelesaian masalah yang

ekstensif. Meskipun demikian, mereka bergeser

melalui proses keputusan terbatas di mana mereka

hanya mempertimbangkan beberapa alternatif produk

pada situasi superfisial dan hanya membentuk

kepercayaan terbatas terhadap alternatif-alternatif

tersebut. Mereka tidak mengevaluasi alternatif secara

seksama, maka mereka mungkin tidak membentuk

sikap apa pun terhadap alternatif tersebut. Kemudian

pada situasi dengan keterlibatan rendah, sikap

cenderung terjadi hanya setelah barang atau jasa

27

dibeli dan dialami, ketika konsumen mencerminkan

bagaimana perasaan mereka tentang produk atau jasa

tersebut. Jadi, apabila konsumen memiliki

keterlibatan rendah dalam pembelian, mereka

cenderung terlibat dalam penyelesaian masalah

terbatas dan bergeser melalui apa yang disebut

hierarki dengan keterlibatan rendah, formasi

kepercayaan, kemudian perilaku, dan akhirnya

formasi sikap (Mowen dan Minor,2002)

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan

bahwa sikap adalah kesiapan bereaksi terhadap suatu

stimulus atau objek yang dihadapi, berdasarkan

pendapat dan keyakinan individu yang menjadi dasar

untuk berperilaku dimana sikap dapat bersifat positif

atau negatif.

28

2.1.3.Subjective Norm

Norma-norma subyektif (subjective norms)

adalah pengaruh sosial yang mempengaruhi seseorang

untuk berperilaku. Seseorang akan memiliki

keinginan terhadap suatu obyek atau perilaku

seandainya ia terpengaruh oleh orang-orang di

sekitarnya untuk melakukannya atau ia meyakini

bahwa lingkungan atau orang-orang disekitarnya

mendukung terhadap apa yang ia lakukan.

Mowen dan Minor (2002) menyatakan bahwa

norma subjektif sebagai komponen yang berisikan

keputusan yang dibuat oleh individu setelah

mempertimbangkan pandangan orang-orang yang

mempengaruhi perilaku tertentu.

Menurut Baron dan Byrne (2003), norma

subyektif adalah persepsi individu tentang apakah

orang lain akan mendukung atau tidak terwujudnya

tindakan tersebut. Hogg dan Vaughan (2005)

memberikan penjelasan bahwa norma subyektif

adalah produk dari persepsi individu tentang beliefs

yang dimiliki orang lain. Feldman (1995) menjelaskan

bahwa norma subyektif adalah persepsi tentang

tekanan sosial dalam melaksanakan perilaku tertentu.

Norma subyektif yaitu keyakinan individu untuk

mematuhi arahan atau anjuran orang di sekitarnya

untuk turut dalam melakukan suatu aktifitas.

29

Theory of Reason Action (Fishbein, 1967;

Fishbein & Ajzen, 1975) adalah salah satu yang paling

perpengaruh model dalam memprediksi perilaku

manusia dan perilaku disposisi. Teori ini

mengusulkan bahwa perilaku dipengaruhi oleh niat

perilaku yang pada gilirannya, dipengaruhi oleh sikap

terhadap tindakan dan oleh norma subyektif.

Menurut Fisbein dan Ajzen (1975), norma

subjektif secara umum memiliki 2 dimensi sebagai

berikut :

1. Normatives beliefs, yaitu persepsi atau keyakinan

mengenai harapan orang lain terhadap dirinya

yang menjadi acuan untuk menampilkan perilaku

atau tidak. Keyakinan yang berhubungan dengan

pendapat tokoh atau orang lain yang penting dan

berpengaruh bagi individu untuk melakukan atau

tidak suatu perilaku.

2. Motivation to comply, yaitu motivasi untuk

memenuhi harapan tersebut.

Norma subjektif dapat dilihat dalam dinamika

antara dorongan-dorongan yang dipersepsikan

individu dari orang-orang disekitarnya (significant

others) dengan motivasi untuk mengikuti pandangan

mereka (motivation to comply) dalam melakukan atau

tidak melakukan tingkah laku tersebut.

30

Norma subyektif mengacu pada perilaku yang

diharapkan oleh orang lain. Subagyo (2000)

berpendapat bahwa norma subyektif datang dari

pengaruh orang lain yang oleh seorang dianggap

penting. Hal ini sejalan dengan pendapat Dharmmesta

(1998) yang mengatakan bahwa norma subjektif itu

menyangkut persepsi seorang apakah orang lain yang

dianggap penting akan mempengaruhi perilakunya.

2.1.4. Customer Delight

Menurut Berman (2005), banyak kelebihan dari

delight dibanding daripada hanya memuaskan seperti

berikut. (1)Delight dipandang sebagai respons

emosional yang dilakukan pelanggan terhadap suatu

produk karena pengalaman positif yang diberikan

kepada konsumen menjadi persyaratan yang sangat

penting. (2)Customer delight lebih afektif dan lebih

emosional (terkait dengan emosi seperti gairah,

sukacita, dan perasaan senang). (3)Delight adalah

hasil skema kejutan dari rangkaian perbedaan antara

apa yang kita harapkan seputar pembelian dan

penggunaan barang juga atas hasil kinerja yang

dirasakan konsumen. (4)Delight lebih memiliki jejak

memori lebih tinggi, karena pengalaman yang

menyenangkan jauh lebih berkesan dari pengalaman

yang dipandang hanya memuaskan.

31

Berbeda dengan konsep ketidakpuasan dan

kepuasan (konsep ini sudah diteliti dan dipraktekkan

secara luas), delight merupakan konsep yang relatif

baru dan belum banyak dieksplorasi (Kwong & Yau,

2002; Verma, 2003). Raharso (2005) memasukan lima

dimensi delight yang secara esensial merupakan

kebutuhan dasar manusia yaitu justice, esteem,

security, trust, dan variety. Dimensi justice, esteem,

dan security berasal dari Schneider dan Bowen (1999,

dalam Raharso, 2005) dan merupakan pusat dari

delight. Dimensi trust dan variety diusulkan oleh

Kwong dan Yau (2002). Tetapi karena belum ada

purifikasi terhadap domain delight, maka Raharso

melakukan uji validitas dan reabilitas terhadap kelima

domain tersebut dan menghasilkan tiga domain

delight, yaitu justice, esteem, dan finishing touch

(Raharso, 2005).

Definisi yang paling populer adalah definisi yang

didasarkan atas model yang dikembangkan oleh

Richard L. Oliver. Dalam artikelnya yang berjudul “A

Cognitive Model of the Antecedents and Consequences

of Satisfaction Decisions”, Oliver (1980) menyatakan

bahwa konsumen memiliki harapan-tertentu (sering

disebut sebagai ekspektasi) terhadap produk yang dia

beli, misal: XYZ berharap mendapatkan pendidikan

yang bermutu ketika akan memilih kuliah di

32

perguruan tinggi A. Setelah kuliah di perguruan tinggi

tersebut, XYZ bisa menilai mutu pendidikan di

perguruan tinggi A. Pengalaman mengkonsumsi

kuliah tersebut menciptakan persepsi XYZ terhadap

mutu pendidikan di perguruan tinggi tersebut.

Perbandingan antara persepsi (yang bersifat empiris)

dengan ekspektasi (yang bersifat ideal) dinamakan

model diskonfirmasi harapan (Engel, et al., 1995; Rust

& Oliver, 1994).

Dari pemaparan di atas terlihat bahwa ada

pengaruh customer delight terhadap behavioral-

intentions battery. Penelitian sebelumnya yang

dilakukan Raharso sendiri tidak memberikan

kepastian bahwa variabel customer delight dapat

mampu memprediksi behavioral-intentions battery

konsumen pada industri lain, karena perasaan delight

pada masing-masing industri berbeda.

33

2.2. PENGEMBANGAN HIPOTESIS

1. Pengaruh attitudes terhadap behavioral-intentions

battery jemaat.

Sikap (attitude) adalah salah satu konsep

penting yang digunakan pemasar untuk mengerti dan

memahami konsumen, yang sehari-hari

diperhadapkan dengan berbagai macam pilihan untuk

bertindak dalam mengambil keputusan atau sikap.

Dengan mengetahui sikap dari konsumen maka

pemasar akan lebih mudah untuk merumuskan

strategi-strategi dalam mempertahankan loyalitas

konsumen.

Assael (2004) mengutip definisi sikap dari

Gordon Allport sebagai berikut: “sikap adalah

predisposisi yang dipelajari untuk merespon suatu

obyek atau sekelompok obyek dalam suatu cara yang

menyenangkan atau tidak menyenangkan secara

konsisten. Para ahli psikologi sosial menyadari bahwa

sikap terhadap perilaku tertentu tidak dapat diamati

atau diukur secara langsung, melainkan dapat

disimpulkan dari respon evaluatif seseorang terhadap

sikap objek tertentu.

Sikap adalah ungkapan perasaan konsumen

tentang suatu obyek apakah disukai atau tidak, dan

sikap juga bisa menggambarkan kepercayaan

34

konsumen terhadap atribut dan manfaat dari obyek

tersebut. Jika konsumen mempunyai tanggapan yang

positif terhadap obyek, maka ia akan berusaha untuk

mengunjungi suatu obyek tersebut. Jadi Dengan

mengetahui sikap dari jemaat maka gereja akan lebih

mudah untuk merumuskan strategi-strategi dalam

mempertahankan loyalitas warga jemaat. Hasil

penelitian Salim (2003), Albari dan Liriswati (2004)

serta Sigit (2006) menunjukkan bahwa sikap

berpengaruh terhadap minat konsumen. Berdasarkan

uraian tersebut, maka dapat dibuat hipotesis sebagai

berikut :

H1 : Attitude berpengaruh signifikan dan positif

terhadap behavioral-intentions battery jemaat.

2. Pengaruh subjective norm terhadap behavioral-

intentions battery jemaat.

Teori tindakan beralasan dari Fishbein dan

Ajzen (1980) juga menegaskan sikap “normatif”

yang mungkin dimiliki oleh seseorang tentang apa

yang akan dilakukan orang lain (terutama, orang-

orang yang berpengaruh dalam kelompok) pada

situasi yang sama. Teori tindakan beralasan

menggambarkan pengintegrasian komponen-

35

komponen sikap secara menyeluruh kedalam

struktur yang dimaksudkan untuk menghasilkan

penjelasan yang lebih baik maupun peramalan

yang lebih baik mengenai perilaku.

Sumarwan (2003), norma adalah aturan

masyarakat tentang sikap baik dan buruk,

tindakan yang boleh dan tidak boleh. Hampir

semua masyarakat memiliki norma. Norma lebih

spesifik dari nilai. Norma akan mengarahkan

seseorang tentang perilaku yang diterima dan tidak

diterima. Sumarwan menambahkan, norma terbagi

ke dalam dua macam. Pertama adalah norma

(enacted norms) yang disepakati berdasarkan

aturan pemerintah dan ketatanegaraan, biasanya

berbentuk peraturan, undang-undang. Norma ini

harus dipatuhi oleh masyarakat, dan dalam

banyak hal jika norma tersebut dilanggar, akan

dikenakan sanksi. Norma kedua disebut cresive

norm, yaitu norma yang ada dalam budaya dan

bisa dipahami dan dihayati jika orang tersebut

berinteraksi dengan orang-orang dari budaya yang

sama.

Norma subyektif menunjukkan tekanan sosial

yang dirasakan untuk melakukan atau tidak

melakukan suatu tindakan/perilaku, yang dapat

membuat seseorang menjadi terpengaruh oleh

36

pandangan orang lain atau pun tidak terpengaruh

sama sekali. Hasil penelitian Albari dan Liriswati

(2004) serta Sigit (2006) menyatakan bahwa norma

subyektif berpengaruh terhadap minat konsumen.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa norma

subyektif dimungkinkan dapat mempengaruhi

minat untuk datang ke gereja. Berdasarkan uraian

tersebut, maka penulis dapat dibuat hipotesis

sebagai berikut :

H2 : Subjective Norm berpengaruh signifikan

dan positif terhadap behavioral-intentions

batterry jemaat.

3. Pengaruh customer delight terhadap behavioral-

intentions battery jemaat.

Raharso (2005) menyatakan bahwa justice

secara signifikan mampu memprediksi perilaku

WOM, loyalty, dan response. Dalam hal ini

asumsinya adalah konsumen sangat menghargai

transaksi yang jujur, melalui pemberian informasi

yang lengkap dan benar, termasuk pilihan produk.

Dengan memperlakukan konsumen secara adil,

konsumen akan merasa bahwa pengorbanan yang

dikeluarkan tidak sia-sia. Hal ini kemudian

37

menyebabkan konsumen akan menceritakan hal-

hal yang positif (WOM positive) mengenai

perusahaan, meningkatkan loyalitas, dan tetap

menjalin bisnis dengan perusahaan sebagai

bentuk respon atas tindakan perusahaan.

Raharso lebih jauh menjelaskan bahwa selain

justice, dimensi esteem juga secara signifikan

mampu memprediksi perilaku WOM, loyalty, dan

complain. Menurut Raharso, setiap konsumen

adalah sebuah pribadi yang memiliki identitas,

yang ingin diperlakukan secara istimewa. Identitas

tersebut akan selalu melekat dan dibawa dalam

melakukan transaksi.

Dimensi terakhir delight adalah finishing touch

(sentuhan akhir) juga ditemukan secara signifikan

mampu memprediksi perilaku switch. Hal ini

diperuntukan bagi konsumen yang merasa tidak

puas. Walau konsumen telah melakukan

serangkaian evaluasi, kemungkinan produk tidak

bekerja secara optimal tetap ada. Apalagi kualitas

layanan merupakan hal yang sulit distandarisasi

karena merupakan interaksi sosial yang

melibatkan banyak varibel yang rumit sehingga

keluhan konsumen menjadi hal tidak terelakan

(Raharso, 2005). Menurut Barlow & Maul, walau

begitu keluhan pelanggan merupakan hadiah dari

38

pelanggan, bukan ancaman (Raharso, 2005).

Bennet menambahkan, karena keluhan pelanggan

dapat menghasilkan informasi bagi perusahaan,

yang secara khusus dapat digunakan untuk

memantau efektifitas program customer service

(Raharso, 2005).

Selain itu keluhan pelanggan akan memberikan

kesempatan bagi perusahaan untuk melakukan

perbaikan produk, pelayanan dan

mempertahankan pelanggan, dibanding pelanggan

yang tidak mengeluh dan diam-diam

meninggalkan perusahaan.

Apabila hal ini dilihat dalam konteks organisasi

gereja yang menyediakan produk utamanya yaitu

“service” kepada jemaat sebagai konsumennya,

gereja dituntut mengoptimalkan kinerja

karyawannya (pendeta) untuk dapat

mempertahankan konsumen (jemaat). Hal tersebut

disebabkan jemaat yang mengeluh mempunyai

harapan bahwa gereja akan merespon keluhan

tersebut guna mengurangi rasa ketidakpuasannya.

Hasil penelitian membuktikan bahwa perlakuan

yang tepat kepada pelanggan (jemaat) yang

mengeluh akan membuat pelanggan (jemaat)

tersebut jauh lebih puas (bahkan mencapai tahap

39

delight) dan loyal, dibanding pelanggan yang tidak

mengeluh (Verma, 2003). Cara perusahaan

mengatasi keluhan pelanggan inilah yang disebut

sentuhan akhir (finishing touch). Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa customer delight

dimungkinkan mempengaruhi behavioral-

intentions battery jemaat, maka dapat dibuat

hipotesis sebagai berikut :

H3 : Customer Delight berpengaruh dan

signifikan dan positif terhadap behavioral-

intentions battery jemaat.

40

2.3. MODEL PENELITIAN

Berdasarkan pengembangan hipotesis di atas maka

model penelitian adalah sebagai berikut :

Attitude

X1

Behavioral-

intentions

Battery

Y

Subjective norm

X2

Customer delight

X3

+ H1

H1

+H2

+H3