Click here to load reader
Upload
fitri-putri-andini
View
643
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pajak Secara Umum
2.1.1 Dasar Hukum Pajak
Yang menjadi dasar hukum pajak adalah Pasal 23 ayat (2) Undang
– undang Dasar 1945 yang berbunyi “ Segala pajak untuk keperluan
Negara berdasarkan Undang – undang ”. Dalam pasal tersebut ditegaskan
bahwa pengenaan dan pungutan pajak ( termasuk bea cukai ) untuk
keperluan Negara hanya berdasarkan Undang – undang.
2.1.2 Pengertian Pajak
Banyak para ahli yang memberikan batasan tentang pengertian
pajak, diantaranya adalah :
1. Menurut Rochmat Soemitro (dalam buku yang berjudul
“Perpajakan” karangan Mardiasmo)
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat jasa timbal–balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum’’.(2003 1)
2. Menurut D. J. A. Andriani (dalam buku yang berjudul
“Pengantar Ilmu Hukum Pajak” karangan R. Santoso
Brotodiharjo)
“Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarkan menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.(2003 : 2)
3. Menurut Soeparman Soemahamidjadja (dalam buku yang
berjudul “Pengantar Perpajakan” karangan Wahyu.,dkk)
“Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif, dalam mencapai kesejahteraan umum”.(2001 : 2)
2.1.3 Unsur-Unsur Pajak
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki
unsur- unsur :
1. Dipungut berdasarkan Undang-undang dan pelaksanaannya dapat
dipaksakan.
2. Dipungut oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah.
3. Tidak adanya kontraprestasi individual.
4. Diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah.
5. Bertujuan untuk mengatur.
8
2.1.4 Sistem Pemungutan Pajak
Menurut Mardiasmo dalam bukunya yang berjudul “Perpajakan”
(2003 : 7) sistem pemungutan pajak adalah sebagai berikut :
1. Official Assessment SystemAdalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada
pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
2. Self Assessment SystemAdalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
3. With Holding SystemAdalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
2.2 Pajak Penghasilan
2.2.1 Pengertian Pajak Penghasilan
Menurut Waluyo dalam buku yang berjudul “Perpajakan
Indonesia” disebutkan :
“Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, selama satu tahun pajak yang dapat dipakai untuk konsumsi dan untuk menambah kekayaan wajib pajak dengan nama dan dalam bentuk apapun.”. (2003 : 35).
2.2.2 Dasar Hukum Pajak Penghasilan
Peraturan perundangan yang mengatur Pajak Penghasilan di
Indonesia adalah UU No.7 tahun 1983 yang telah disempurnakan dengan
9
UU No.7 tahun 1991, UU No.10 tahun 1994, dan terakhir UU No.17 tahun
2000; Peraturan Pemerintah; Keputusan Presiden; Keputusan Menteri
Keuangan; Keputusan Direktur Jenderal Pajak maupun Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak.
2.2.3 Jenis-jenis Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan yang terutang menurut Undang-undang
perpajakan Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, Pajak
Penghasilan dapat digolongkan menjadi 6 jenis yaitu :
1. Pajak Penghasilan Pasal 21
Yaitu Pajak yang dipotong oleh pihak lain atas penghasilan yang
berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan
nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa,
atau kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam
negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang – undang
Nomor 17 Tahun 2000.
2. Pajak Penghasilan Pasal 22
Yaitu Pajak yang dipungut oleh Bendaharawan pemerintah baik
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau Lembaga
Pemerintah dan lembaga lainnya berkenaan dengan pembayaran atas
penyerahan barang dan badan – badan tertentu baik badan pemerintah
10
maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau
kegiatan usaha di bidang lain.
3. Pajak Penghasilan Pasal 23
Yaitu Pajak yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak dalam negeri atau Bentuk Usaha Tetap (BUT)
yang berasal dari modal, penyerahan jasa atau penyelenggara kegiatan
selain yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang dibayarkan atau terutang
oleh Badan Pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara
kegiatan BUT atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang – undang Nomor 17
Tahun 2000.
4. Pajak Penghasilan Pasal 24
Yaitu Pajak yang terutang atau dibayarkan di luar negeri atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri yang dapat
dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan dari luar negeri tersebut
dengan penghasilan di Indonesia.
5. Pajak Penghasilan Pasal 25
Yaitu angsuran Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh
Wajib Pajak untuk setiap bulan dalam tahun pajak berjalan.
6. Pajak Penghasilan Pasal 26
Yaitu Pajak yang dipotong atas penghasilan yang berupa deviden,
bunga, termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan
11
jasa, pekerjaan dan kegiatan, hadiah dan penghargaan, pensiun dan
pembayaran berkala lainnya, yang diterima kantor pusat, sepanjang
terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang
memberikan penghasilan dimaksud.
2.3 Pajak Penghasilan Pasal 22
2.3.1 Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 22
Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 22 yang kemudian disingkat
PPh Pasal 22 menurut Siti Resmi dalam bukunya yang berjudul
“Perpajakan Teori dan Kasus” adalah :
“Pajak yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga Negara lain, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang; dan badan-badan tertentu baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan impor atau kegiatan usaha di bidang lainnya”. (2002 : 233)
2.3.2 Dasar Hukum Pajak Penghasilan Pasal 22
1. Pasal 22 Undang – undang No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang – undang No. 17 Tahun 2000.
2. Keputusan Menteri Keuangan RI No. 254/KMK.03/2001 tanggal 30
April 2001 tentang Penunjukan Pemungut PPh Pasal 22 dan Besarnya
Pungutan, serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan.
3. Keputusan Menteri Keuangan RI No. 236/KMK/.03/2003 tanggal 3
Juni 2003 tentang Perubahan kedua Kepmenkeu No.
12
254/KMK.03/2001 tentang Penunjukkan Pemungut Pajak PPh Pasal
22, Sifat dan Besarnya Pungutan serta Tata Cara Penyetoran dan
Pelaporannya.
4. Keputusan Dirjen Pajak No. Kep – 417/PJ/2001 Tanggal 27 Juni 2000
tentang Petunjuk Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan
Besarnya Pungutan, Serta Tata Cara Penyetoran Dan Pelaporannya.
5. Keputusan Dirjen Pajak No. Kep – 401/PJ/2001 Tanggal 18 Juni 2001
tentang tarif dan tata cara pemungut, penyetoran, pelaporan PPh Pasal
22 atas penjualan hasil Produksi Industri Semen di Dalam Negeri.
6. Keputusan Dirjen Pajak No. KEP – 25/PJ/2003 tanggal 31 Januari
2003 tentang Perubahan Keputusan No. KEP – 523/PJ/2001 tentang
Tarif dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, serta Pelaporan PPh
Pasal 22 oleh Industri dan Eksportir yang bergerak dalam Sektor
Perhutanan, Perkebunan, Pertanian dan Perikanan atas pembelian
bahan – bahan untuk keperluan Industri atau ekspor mereka dari
Pedagang Pengumpul.
7. Keputusan Dirjen Pajak No. KEP – 529/PJ/2001 tanggal 18 Juni 2001
tentang Tarif dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, serta Pelaporan
PPh Pasal 22 atas Penjualan Hasil Produksi Rokok di Dalam Negeri.
8. Keputusan Dirjen Pajak No. KEP – 601/PJ/2001 tanggal 11 September
2001 tentang Perubahan Ketiga atas Kep. Dirjen Pajak No. KEP -
13
108/PJ.1/1996 tentang bentuk Formulir Pemotongan / Pemungutan
PPh.
2.3.3 Subjek dan Objek Pajak Penghasilan Pasal 22
Subjek dari Pajak Penghasilan Pasal 22 menurut Siti Resmi dalam
bukunya yang berjudul “Perpajakan Teori dan Kasus” (2003 : 234) adalah
sebagai berikut :
1. Importir.2 Rekanan Pemerintah.3 Rekanan Badan-badan tertentu.4 Konsumen semen, rokok, kertas, dan otomotif.5 Penyalur atau agen Pertamina.6 Badan-badan selain Pertamina yang bergerak di bidang BBM jenis
premix dan gas.7 Industri dan eksportir dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian,
dan perikanan.
Sedangkan yang menjadi objek Pajak Penghasilan Pasal 22
menurut Mardiasmo dalam bukunya yang berjudul “Perpajakan” (2002 :
180) adalah sebagai berikut :
1. Impor barang.2. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh Direktorat
Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah baik di tingkat Pusat maupun Pemerintah Daerah.
3. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang dananya dari belanja Negara dan atau belanja daerah.
4. Penjualan hasil produksi di dalam negeri yang dilakukan oleh badan usaha yang bergerak di bidang industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja dan industri otomotif.
5. Penjualan hasil produksi yang dilakukan oleh Pertamina dan badan usaha selain Pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas.
14
6. Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan dari pedagang pengumpul.
2.3.4 Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 392/KMK.03/2001 yang
ditetapkan tanggal 4 Juli 2001 atas perubahan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 tentang penunjukan pemungut Pajak
Penghasilan Pasal 22, sifat dan besarnya pungutan serta tata cara
penyetoran dan pelaporannya, yang dimuat dalam situs “Pajak.go.id”
menentukan pemungut Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut :
1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang.
2. Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah baik di tingkat Pusat maupun Pemerintah Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang.
3. Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang melakukan pembayaran atas pembelian barang yang dananya bersumber dari belanja Negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD), kecuali badan-badan tersebut pada butir 4.
4. Bank Indonesia (BI), Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (TELKOM), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Karakatau Steel, Pertamina, dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN maupun non-APBN.
5. Badan usaha yang bergerak di bidang industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksi di dalam negeri.
6. Pertamina serta badan usaha selain Pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis Premix, Super TT dan Gas atas penjualan hasil produksinya.
7. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang ditunjuk oleh Kepala
15
Kantor Pelayanan Pajak, atas pembelian bahan–bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.
2.3.5 Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 22
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 22 menurut Mardiasmo dalam
bukunya yang berjudul “Perpajakan” (2002 : 183) adalah sebagai berikut :
a. Atas Impor● Yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), tarif
pemungutannya sebesar 2,5% dari nilai impor.● Yang tidak menggunakan Angka Pengenal Impor (API), tarif
pemungutannya sebesar 7,5% dari nilai impor. Yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% dari harga jual lelang.
b. Atas pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN dan atau APBD, tarif pemungutannya sebesar 1,5% dari harga pembelian.
c. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang yang dilakukan oleh badan usaha yang bergerak di bidang usaha tertentu, tarif pemungutannya adalah sebagai berikut :● Industri semen, tarif pemungutannya pada saat penjualan sebesar
0,25% X Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
● Industri rokok, tarif pemungutannya pada saat penjualan sebesar 0.15% X harga bandrol ( final).
● Industri kertas, tarif pemungutannya pada saat penjualan sebesar 0,1% X Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
● Industri Otomotif, tarif pemungutannya pada saat penjualan sebesar 0,45% X Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
● Industri baja, tarif pemungutannya pada saat penjualan sebesar 0,3% X Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) (Final).
● Pertamina dan badan usaha lain yang bergerak dibidang bahan bakar minyak jenis Premix, Super TT dan Gas adalah sebagai berikut :
SPBU Swastanisasi SPBU PertaminaPremium 0,3 % 0,25 % Solar 0,3 % 0,25 %Premix/Super TT 0,3 % 0,25 %Minyak Tanah 0,3 %
16
Gas LPG 0,3 %Pelumas 0,3 %Tarif tersebut menggunakan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) harga penjualan
● Industri dan eksportir sektor perhutanan, pertanian, dan perikanan sebesar 1,5 % X harga pembelian.
2.3.6 Saat Terutang Pajak Penghasilan Pasal 22
Saat terutang Pajak Penghasilan Pasal 22 menurut Siti Resmi
dalam bukunya yang berjudul “Perpajakan Teori dan Kasus” (2003 : 237)
disebutkan sebagai berikut :
1. Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor terutang pada saat pembayaran bea masuk atau pada saat penyelesaian dokumen PIB.
2. Pajak Penghasilan Pasal 22 dengan dana dari APBN atau APBD atas pembelian barang dari badan-badan tertentu yang ditunjuk sebagai pemungut dan atas penjualan hasil produksi semen, rokok, kertas, baja, dan otomotif terutang pada saat pembayaran atas penyerahan barang.
3. Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi bahan bakar minyak jenis Premix, Super TT, dan Gas terutang pada saat penerbitan surat perintah pengeluaran barang (Delivery Order).
4. Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan atau keperluan industri, perkebunan, perhutanan, pertanian, dan perikanan oleh industri dan eksportir terutang pada saat pembelian.
2.4 Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak
Penghasilan Pasal 22 Pembelian Barang
2.4.1 Tata Cara Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Pembelian
Barang
Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang dan
jasa oleh Dirjen Anggaran, Bendaharawan Pemerintah baik pusat maupun
17
daerah, BUMN, BUMD yang dibayar dari APBN maupun APBD
berdasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor
254/KMK.03/2001 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 392/KMK.03/2001, serta berdasarkan Keputusan Dirjen
Pajak Nomor 417/PJ/2001 yang dimuat dalam situs “Pajak.go.id” adalah
sebagai berikut :
1. Pemungutan dilakukan oleh bendaharawan perusahaan pemungut.2. Pemungutan dilakukan terhadap pembelian barang dari perusahaan
rekanan.3. Pemungutan dilakukan pada saat pembayaran atas pembelian barang.4. Pemungutan pajaknya sebesar 1.5% dari harga pembelian.5. Pimpinan badan atau instansi atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan wajib melakukan pengawasan atas pelaksanaan pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 22.
Pemungut pajak wajib menerbitkan bukti pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 22 dalam rangkap 3, yaitu :
a. Lembar pertama untuk Wajib Pajak ;
b. Lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada
KPP;
c. Lembar ketiga sebagai arsip pemungutan pajak yang
bersangkutan.
2.4.2 Tata Cara Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 Pembelian
Barang
Pelaksanaan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 atas transaksi
pembelian barang yang dilakukan Badan, BUMN atau BUMD, dan
18
Badan-badan tertentu lainnya berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 254/KMK.03/2001 dan berdasarkan Keputusan Dirjen Pajak
Nomor 417/PJ/2001 yang dimuat dalam situs “Pajak.go.id” adalah sebagai
berikut :
1. Penyetoran hasil pemungutan PPh Pasal 22 dilakukan oleh pemungut pajak atas nama Wajib Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro.
2. Melakukan penyetoran paling lambat setiap tanggal 10 bulan takwim berikutnya dari masa pajak yang bersangkutan.
3. Melakukan penyetoran dengan menggunakan form SSP yang berlaku sebagai bukti pemungutan pajak yang terdiri dari 5 (lima) lembar.
Surat Setoran Pajak (SSP) yaitu surat yang digunakan oleh Wajib
Pajak untuk melakukan penyetoran pajak terutang ke Kas Negara atau ke
tempat pembayaran lain yang ditetapkan oleh menteri keuangan.
Banyaknya SSP yang digunakan adalah 5 (lima) lembar yang masing-
masing diperuntukkan :
a. Lembar I : Untuk Wajib pajak.b. Lembar II : Untuk KPP melaui KPKN.c. Lembar III : Diserahkan kepada Wajib Pajak untuk selanjutnya oleh
Wajib Pajak dilaporkan ke KPP.c. Lembar IV : Untuk Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro.d. Lembar V : Untuk arsip bendaharawan pemungut.
Surat Setoran Pajak (SSP) tersebut harus diisi dengan :
a. Nama dan NPWP perusahaan rekanan serta ditandatangani oleh bendaharawan pemungut.
b. Kode Jenis Pajak (MAP) yaitu 0112 (kode jenis PPh Pasal 22) dan kode jenis setoran 900 (kode jenis setoran masa).
19
Apabila bendaharawan pemungut terlambat menyetorkan maka
akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan (UU
KUP Pasal 9 ayat (2)).
2.4.3 Tata Cara Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 22 Pembelian
Barang
Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang dan
jasa oleh oleh Dirjen Anggaran, Bendaharawan Pemerintah baik pusat
maupun daerah, BUMN, BUMD yang dibayar dari APBN maupun APBD
berdasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor
254/KMK.03/2001 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 392/KMK.03/2001, serta berdasarkan Keputusan Dirjen
Pajak Nomor 417/PJ/2001 yang dimuat dalam situs “Pajak.go.id” adalah
sebagai berikut :
1. Pelaporan dilakukan pada tanggal 20 bulan takwim berikutnya setelah masa pajak berkhir.
2. Pelaporan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan Pasal 22 kode f1 13202.
3. Pelaporan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat terdaftar.
Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak
digunakan untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang
terutang menurut ketentuan Peraturan Perundang-undangan Perpajakan.
20
Apabila waktu pelaporan tersebut tidak sesuai dengan yang telah
ditetapkan maka akan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp
50.000 (lima puluh ribu rupiah) (UU KUP Pasal 17 Ayat (1)).
21