34
BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A. Pemikiran Perwakafan Dalam Perspektif Hukum 1. Wakaf Dalam Hukum Islam Kata wakaf tidak disebutkan didalam al-Qur’an dan al-Hadist. Pengertian wakaf berasal dari istilah dalam hukum Islam. Wakaf bermakna berhenti atau berdiri (waqafa-yaqifu-waqfan). Dalam istilah, wakaf adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusakkan benda (ain-nya) dan digunakan untuk kebaikan. 1 Wakaf menurut syara‟ berarti penahanan hak milik atas materi benda untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya di jalan Allah. Yang dimaksud dengan menahan dzat (asal) benda adalah menahan barang yang diwakafkan agar tidak diwariskan, digunakan dalam bentuk dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan, dipinjamkan, atau sejenisnya. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia wakaf berarti tanah Negara yang tidak dapat diserahkan kepada siapapun dan digunakan untuk tujuan amal, benda bergerak atau tidak bergerak yang disediakan untuk kepentingan umum sebagai pemberian yang ikhlas, hadiah atau pemberian yang bersifat suci. 2 Menurut pendapat Abu Hanifah, wakaf adalah penahanan pokok sesuatu harta dalam tangan pemilikan wakaf dan penggunaan hasil barang itu, yang dapat disebutkan ariah dan commodate loan untuk tujun-tujuan amal saleh. 3 Menurut Imam Maliki, wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, akan tetapi wakaf tersebut mencegah wakif 1 Perwakafan Tanah di Indonesia: Dalam Teori dan Praktek, Adijan al-Alabij, Cet,ke-4, Rajawali Pers, Jakarta, 2002 2 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Surabaya: Amanah, 2002, hlm. 1266 3 Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012, hlm. 355 14

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

BAB II

LANDASAN TEORI

TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF

A. Pemikiran Perwakafan Dalam Perspektif Hukum

1. Wakaf Dalam Hukum Islam

Kata wakaf tidak disebutkan didalam al-Qur’an dan al-Hadist. Pengertian

wakaf berasal dari istilah dalam hukum Islam. Wakaf bermakna berhenti atau

berdiri (waqafa-yaqifu-waqfan). Dalam istilah, wakaf adalah menahan harta

yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusakkan

benda (ain-nya) dan digunakan untuk kebaikan.1Wakaf menurut syara‟ berarti

penahanan hak milik atas materi benda untuk tujuan menyedekahkan manfaat

atau faedahnya di jalan Allah. Yang dimaksud dengan menahan dzat (asal)

benda adalah menahan barang yang diwakafkan agar tidak diwariskan,

digunakan dalam bentuk dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan,

dipinjamkan, atau sejenisnya.

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia wakaf berarti tanah Negara yang

tidak dapat diserahkan kepada siapapun dan digunakan untuk tujuan amal,

benda bergerak atau tidak bergerak yang disediakan untuk kepentingan umum

sebagai pemberian yang ikhlas, hadiah atau pemberian yang bersifat

suci.2Menurut pendapat Abu Hanifah, wakaf adalah penahanan pokok sesuatu

harta dalam tangan pemilikan wakaf dan penggunaan hasil barang itu, yang

dapat disebutkan ariah dan commodate loan untuk tujun-tujuan amal

saleh.3Menurut Imam Maliki, wakaf itu tidak melepaskan harta yang

diwakafkan dari kepemilikan wakif, akan tetapi wakaf tersebut mencegah wakif

1Perwakafan Tanah di Indonesia: Dalam Teori dan Praktek, Adijan al-Alabij, Cet,ke-4,

Rajawali Pers, Jakarta, 2002

2Kamus Besar Bahasa Indonesia, Surabaya: Amanah, 2002, hlm. 1266

3Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2012, hlm. 355

14

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut

kepada orang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta

tidak boleh menarik kembali harta wakafnya. Menurut Imam Syafi‟i, wakaf

merupakan menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap

utuhnya barang dan barang itu lepas dari penguasaan si wakif serta

dimanfaatkan pada sesuatu yang diperbolehkan oleh agama.

Menurut Imam Hambali, wakaf adalah menahan pokok dan menyalurkan

hasilnya pada kebaikan. Imam Hambali merujuk pada tindakan Nabi kepada

Umar bin al-Khattab ketika bertanya tentang amal apa yang terbaik untuk

memanfaatkan perkebunan yang subur di Khaibar.4

` Menurut Mohammad Daud Ali, kata wakaf berasal dari Bahasa Arab itu

disamping berarti menghentikan atau berdiam di tempat juga mempunyai arti

menahan sesuatu yang dihubungkan dengan harta kekayaan itulah yang

dimaksud dengan wakaf. Dalam urauan ini wakaf yaitu menahan sesuati benda

untuk diambil manfaatnya sesuai dengan ajaran Islam.5

Definisi wakaf menurut PP No. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah

Milik dalam pasal 1 ayat (1) Wakaf adalah Perbuatan hukum seseorang atau

badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa

tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan

peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.6

Dalam Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan bahwa wakaf adalah

perbuatan hukum wakaf untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian

4Mukhlisin Muzarie, hlm. 79

5 Mohammad Daud Ali, hlm. 80

6 PP No. 28 tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu

tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau

kesejahteraan umum menurut syariah.7 Bahwa dalam fiqh Islam, wakaf tidak

hanya berbentuk tanah, tetapi meliputi berbagai benda lain, yang dapat diambil

manfaatnya, dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan

mentasarufkan hartanya di jalan kebajikan.8Dari berbagai rumusan di atas dapat

di ambil kesimpulan bahwa wakaf adalah menahan perpindahan milik suatu

harta yang bermanfaat dan tahan lama, sehingga manfaat harta iu dapat

digunakan untuk mencari keridhaan Allah.

2. Dasar Hukum Wakaf

Di dalam al-Qur‟an memang tidak disebutkan secara jelas mengenai

perintah wakaf, namun beberapa ayat yang memerintahkan manusia untuk

berbuat baik kepada masyarakat dipandang oleh para ulama sebagai landasan

hukum perwakafan. Adapun landasan hukumnya yaitu:

a. Al-Qur‟an

Surat al-Hajj ayat 77:

أيهاٱلذين ي وٱركعىاءامنىا وٱعبدواوٱسجدوا لعلكمٱفعلىاٱلخيزربكم

تفلحىن

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu,

sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat

kemenangan”. (Q.S. al-Hajj : 77)9

7Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi

Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2011, hlm 184

8Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia, Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: CV

Rajawali, 1989, hlm. 24

9Departemen Agama Republik Indonesia, Al Quran dan Terjemahnya (Revisi Terbaru),

(Semarang: CV . As-Syifa, 1999)

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

Ayat diatas mengandung perintah secara umum agar kaum muslim dapat

menjalin hubungan baik dengan Allah melalui kegiatan yang telah ditetapkan

dengan rukuk dan sujud serta ibadah lainnya, dan melalui kegiatan sosial

lainnya seperti menjalin hubungan baik dengan sesama. Menurut ulama ahli

fiqh ayat ini dijadikan landasan hukum wakaf karena perintah untuk berbuat

kebaikan mengandung petunjuk umum, termasuk didalamnya melaksanakan

amal wakaf, mengingat wakaf merupakan implementasi hubungan baik dengan

Tuhan yang sangat dianjurkan.10

b. Al-Sunnah

Hadits yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadits yang

menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khattab ketika memperoleh tanah di

Khaibar. Setelah ia meminta petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi

menganjurkan untuk manahan asal tanah dan menyedekahkan hasilnya.“Dari

Ibnu Umar R.A. bahwasanya Umar bin Khattab mendapatkan sebidang tanah

di Khaibar, lalu ia datang kepada nabi Muhammad SAW untuk meminta

nasehat tentang harta itu, ia berkata : “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku telah

mendapatkan sebidang tanah di Khaibar yang aku belum pernah memperoleh

tanah sebaik ini, apa nasehat engkau kepadaku tentang tanah itu? Rasulullah

menjawab: “Bila kamu suka,kamu tahan (pokoknya) tanah itu dan

kamusedekahkan (hasilnya)”. Kemudian Umar melakukan sadaqah, tidak

dijual, tidak diwariskan, dan tidak juga dihibahkan. Ibnu Umar berkata,

“Umar menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak

10Mukhlisin Muzarie, hlm. 81-82

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

belian, sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Dan tidak mengapa atau tidak dilarang

bagi yang menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya

dengan cara yang baik (sepantasnya) atau makan dengan tidak bermaksud

menumpuk harta”. (H.R. Muslim)11

Hadits Ibnu Umar memberikan petunjuk yang lebih lengkap terhadap

praktik wakaf sehingga para ulama menetapkan persyaratan-persyaratan wakaf,

mulai dari persyaratan pewakaf, persyaratan harta yang diwakafkan, sasaran

dan tujuan wakaf sampai pasa akibat hukum dari transaksi wakaf berdasarkan

hadits ini. Hadits ini memberikan petunjuk tentang bagaimana cara mengelola

wakaf dan cara mendistribusikan hasil-hasilnya. Wakaf yang disyari‟atkan oleh

Rasulullah SAW kepada Umar bin al-Khattab mengenai hadits diatas yang

mewakafkan tanah di Khaibar, yang kemudian tercatat sebagai tindakan wakaf

dalam sejarah isla m.

Wakaf dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya.

Hal ini sangat penting, karena tanpa rukun dan syarat yang harus dipenuhi,

maka wakaf tidak akan terwujud. Dengan perkataan lain wakaf sebagai suatu

lembaga pasti memiliki unsur-unsur pembentuknya. Tanpa unsur itu wakaf

tidak dapat berdiri. Unsur-unsur pembentuk wakaf sekaligus merupakan rukun

dan syarat wakaf.12

1. Rukun Wakaf

11Elsi Kartika Sari, hlm 57

12A. Faishal Haq dan A. Saiful Anam, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia,

Pasuruan: PT. GBI, 2005, hlm. 15

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

Dalam Islam, wakaf dianggap sah jika wakaf itu telah dilaksanakan

dengan memenuhi syarat dan rukunnya, sesuai dengan ketentuan-ketentuan

yang ada dalam hukum Islam.

Adapun rukun wakaf ada 4, yaitu:

1. Wakif (orang yang berwakaf)

2. Nadzir (orang yang mengelola benda wakaf)

3. Mauquf bih (harta yang diwakafkan)

4. Mauquf alaih (peruntukan wakaf)

5. Sighat (ikrar wakaf)13

2. Syarat Wakaf

Rukun-rukun wakaf yang dikemukakan diatas masing-masing harus

memenuhi syarat. Adapun syarat-syarat nya dari tiap-tiap rukun wakaf adalah

sebagai berikut:

1. Wakif (orang yang berwakaf)

Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. Suatu

perwakafan dapat dikatakan sah dan dapat dilaksanakan apabila wakif

mempunyai kecakapan untuk melakukan tabarru‟ yaitu melepaskan hak milik

dari hartanya tanpa mengharapkan imbalan. Adapun syarat-syaratnya adalah:

1) Dewasa

2) Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum

3) Berakal sehat

4) Pemilik sah harta benda wakaf.14

13

Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam

Departemen Agama RI, Fiqh Wakaf, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2006, hlm. 21

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

Wakaf tidak sah apabila dilakukan oleh orang gila, idiot (lemah mental),

berubah akal karena usia, sakit atau kecelakaan.

2. Nadzir (orang yang mengelola benda wakaf)

Nadzir adalah orang yang dipercaya untuk mengelola harta wakaf. Dalam

undang-undang R.I. No. 41 tahun 2004 pasal 1 nadzir adalah pihak yang

menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan

sesuai dengan peruntukannya.

Apabila pewakaf meninggal dunia sebelum menunjuk orang lain untuk

mengelola wakafnya, maka menurut al-Khatib al-Syarbini, penguasa hukum

wilayah yang bertanggung jawab untuk mengelola dan mengawasi harta wakaf

tersebut. Al-Syarbini mengemukakan alasan, karena harta wakaf adalah milik

Allah, penguasa hukum wilayah selaku nadzir bertanggung jawab atas harta

wakaf tersebut. Sedangkan menurut Ibnu Qudamah, berpendapat bahwa apabila

pewakaf meninggal sebelum menunjuk seseorang untuk mengelola wakafnya,

maka pihak yang menerima wakaflah yang bertanggung jawab untuk

mengelolanya, bukan penguasa hukum wilayah. Alasannya, karena penerima

wakaf adalah pemiliknya atau pengguna manfaatnya sehingga layak apabila

diberi tanggung jawab untuk mengelola harta tersebut bertindak sebagai

pemilik yang sesungguhnya.15

Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam,

pertama tertentu (mu‟ayyan) dan tidak tertentu (ghaira mu‟ayyan). Yang

dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas orang yang menerima wakaf itu,

14Undang-undang RI No. 41 Tahun 2004, Pasal 8.

15Mukhlisin Muzarie, hlm. 142-143

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan

tidak boleh dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya tempat berwakaf

itu tidak ditentukan secara terperinci.

Nadzir terdiri atas nadzir perorangan, nadzir organisasi, dan nadzir badan

hukum. Adapun syarat nadzir perorangan adalah adalah:

1) Warga Negara Indonesia

2) Beragama Islam

3) Dewasa

4) Amanah

5) Mampu secara jasmani dan rokhani

6) Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.16

Syarat nadzir organisasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1) Memenuhi persyaratan seperti yang ditentukan dalam nadzir perseorangan

2) Organisasi bergerak dibidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan

keagamaan islam.

3) Salah seorang pengurusnya harus berdomisili di Kabupaten Kota letak

benda wakaf berada

4) Memiliki:

a) Salinan akta notaris tentang pendirian dan anggaran dasarnya

b) Daftar susunan pengurus

c) Anggaran Rumah Tangga

d) Program kerja dalam pengembangan wakaf

16

Undang-undang RI No. 41 Tahun 2004, Pasal 10

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

e) Daftar kekayaan yang berasal dari harta wakaf yang terpisah dari

kekayaan lain atau merupakan kekayaan organisasi

f) Surat pernyataan bersedia untuk diaudit.

Persyaratan nadzir badan hukum harus memenuhi ketentuan sebagai

berikut:

1) Memenuhi persyaratan nadzir perseorangan

2) Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku

3) Badan hukum yang bergerak di bidang sosial, pendidikan,

kemasyarakatan,dan keagamaan islam

4) Terdaftar pada Menteri Agama dan Badan Wakaf Indonesia

5) Salah seorang pengurus harus berdomisili di Kabupaten / Kota letak

benda wakaf berada

6) Memiliki:

a) Salinan akta notaris tentang pendirian dan anggaran dasar badan

hukum yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang

b) Daftar susunan pengurus

c) Anggaran Rumah Tangga

d) Program kerja dalam pengembangan wakaf

e) Daftar terpisah kekayaan yang berasa dari harta wakaf atau yang

merupakan kekayaan badan hukum

f) Surat pernyataan bersedia diaudit.

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

Jika nadzir berbentuk badan hukum, maka harus badan hukum Indonesia

dan berkedudukan di Indonesia serta mempunyai perwakilan di kecamatan

tempat letak tanahn yang diwakafkan. Nadzir harus didaftar pada KUA

setempat untuk mendapatkan pengesahan.17

Baik nadzir perorangan maupun badan hukum, sama-sama harus

didaftarkan pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat setelah

mendengar saran dari Camat dan Majelis Ulama Kecamatan untuk

mendapatkan pengesahan. Dan harus mengucapkan sumpah di hadapan Kepala

Kantor Urusan Agama Kecamatan disaksikan sekurang-kurangnya oleh 2 orang

saksi.18

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 200 nadzir mempunyai

kewajiban, yaitu:

a. mengurus dan bertanggung jawab atas kekayaan wakaf serta hasilnya, dan

pelaksaan perwakafan sesuai dengan tujuannya menurut ketentuan-

ketentuan yang diatur oleh Menteri Agama.

b. membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menjadi tanggung

jawabnya sebagaimana dimaksud di atas kepada Kepala Kantor Urusan

Agama Kecamatan dan Camat setempat sesuai dengan tata cara yang

ditetapkan dalam Menteri Agama.

3. Mauquf bih (harta yang diwakafkan)

17Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 200

18

Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2010, hlm. 353-354

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

Benda wakaf adalah segala benda baik itu benda bergerak atau benda

tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan

bernilai menurut ajaran islam.19

Harta wakaf disyaratkan merupakan harta yang mempunyai nilai, milik

wakif dan dapat tahan lama dalam penggunaannya, meskipun objek wakaf

bercampur dan tidak dapat dipisahkan dengan lain. Harta tersebut juga bukan

harta yang haram atau najis, harta yang menjadi larangan Allah karena bisa

menimbulkan fitnah.20

Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasi

oleh wakif secara sah. Harta benda wakaf terdiri dari: benda bergerak dan

benda tidak bergerak. Benda tidak bergerak meliputi:

a. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar

b. Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana

dimaksud pada huruf a

c. Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah.

d. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

e. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

19

Undng-undang RI No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,

hlm. 305

20

Rachmadi Usman, hlm. 61

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

Sedangkan benda bergerak yang dapat diwakafkan adalah harta benda

yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi:

a. Uang

b. Logam mulia

c. Surat berharga

d. Kendaraan

e. Hak atas kekayaan intelektual

f. Hak sewa

g. Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Syarat harta yang diwakafkan adalah sebagai berikut:

1) Benda itu adalah sah dari pihak yang berwakaf.

2) Benda yang diwakafkan itu tahan lama dan bisa diambil manfaatnya.

3) Benda yang diwakafkan itu harus sesuatu yang boleh dimiliki dan

dimanfaatkan, karena itu tidak boleh mewakafkan benda-benda yang

haram.

4) Kadar benda yang diwakafkan tidak boleh melebihi jumlah sepertiga

harta yang berwakaf, karena dapat merugikan pihak ahli waris dari pihak

yang berwakaf.21

Harta yang diwakafkan harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1) Harta yang diwakafkan harus mutaqawwim, yaitu segala sesuatu

yang dapat disimpan dan halal digunakan dalam keadaan normal.

21 Helmi Karim, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 109

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

2) Harta yang diwakafkan harus diketahui dengan yakin ketika

diwakafkan sehingga tidak akan menimbulkan persengketaan.

3) Milik wakif, hendaklah harta yang diwakafkan milik penuh dan dan

mengikat bagi wakif ketika ia mewakafkannya.

4) Terpisah bukan milik bersama.

Harta benda wakaf yang dapat diwakafkan terdiri dari:

1) Benda tidak bergerak.

2) Benda bergerak

4. Mauquf alaih (peruntukan wakaf)22

Yang dimaksud mauquf alaih adalah tujuan wakaf atau peruntukan wakaf

yang harus digunakan berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh ajaran

Islam. Maka,benda-benda yang dijadikan sebagai obyek wakaf harus benda-

benda yang termasuk dalam bidang mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Mauquf alaih juga harus jelas misalnya untuk kepentingan umum, untuk

menolong orang miskin, untuk menolong anggota keluarga sendiri, walaupun

misalnya anggota keluarga itu terdiri dari orang-orang yang mampu namun

yang lebih baik adalah kalau tujuan wakaf itu jelas diperuntukkan bagi

kepentingan umum, untuk kemaslahatan masyarakat.

Tujuan wakaf untuk kepentingan masyarakat seperti membantu fakir

miskin, orang-orang terlantar, kerabat, mendirikan sekolah, asrama anak yatim

dan sebagainya.23

Dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 pasal 22

22 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2006, hlm 241

23

Undang-undang Repiblik Indonesia No. 41 Tahun 2004, Pasal 22 37

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

menyebutkan bahwa dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta

benda wakaf hanya diperuntukkan bagi:

1) Sarana dan kegiatan ibadah

2) Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan

3) Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa

4) Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat.

5) Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan

syariah dan peraturan perundang-undangan.

5. Sighat (ikrar wakaf)

Sighat (ikrar wakaf) adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan

secara lisan atau tulisan kepada nadzir untuk mewakafkan harta benda

miliknya, menurut Abdur-Rasyid Salim yang dikutip oleh Muhammad Amin

Suma.24

Adapun syarat sah nya sighat adalah sebagai berikut:

1) Sighat harus munjazah (terjadi seketika / selesai).

2) Sighat tidak diikuti syarat batil (palsu).

3) Tidak mengandung suatu pengertian untuk mencabut kembali wakaf yang

sudah dilakukan.

4) Sighat tidak diikuti pembatasan waktu tertentu, dengan kata lain bahwa

wakaf tersebut tidak untuk selamanya.25

Dalam pasal 5 PP No. 28 tahun 1977 menjelaskan ikrar wakaf

dinyatakan:

24

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2005, hlm. 144

25

Departemen Agama, Fiqh Wakaf, Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf,

2005, hlm. 59-60

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

1) Pihak yang mewakafkan tanahnya harus mengikrarkan kehendaknya

secarajelas dan tegas kepada nadzir dihadapan pejabat pembuat akta

ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pasal 9 ayat (2) yang kemudian

menuangkannya dalam bentuk ikrar wakaf, dengan disaksikan

sekurang-kurangnya dua orang saksi.

2) Dalam keadaan tertentu penyimpangan dari ketentuan yang dimaksud

dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah lebih dahulu mendapatkan

persetujuan Menteri Agama.

4. Perubahan Harta Wakaf

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa perwakafan bertujuan

untuk memanfaatkan sesuatu baik untuk kepentingan ibadah maupun sosial.

Dan disyaratkan agar harta yang diwakafkan haruslah benda yang mempunyai

nilai manfaat dan sifatnya kekal. Akan tetapi, apabila suatu saat benda wakaf

itu sudah tidak ada manfaatnya,atau sudah berkurang manfaatnya, kecuali

dengan ada perubahan pada benda wakaf tersebut, seperti menjual, merubah

bentuk / sifat, memindahkan ke tempat lain, atau menukar dengan benda lain,

bolehkah perubahan itu dilakukan terhadap benda wakaf tersebut, mengingat

pentingnya menjaga amanat wakif dan sisi manfaat harta wakaf tersebut.

Dalam KHI pasal 40 UU No. 41 Tahun 2004. Harta benda wakaf yang sudah

diwakafkan dilarang:

a. dijadikan jaminan

b. Disita

c. Dihibahkan

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

d. Dijual

e. Diwariskan

f. Ditukar, atau

g. Dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.26

Namun dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan

digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang

(RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

dan tidak bertentangan dengan syariah dan hanya dapat dilakukan setelah

memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia.

Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena adanya pengecualian

wajib ditukar dengan harta benda yang mempunyai manfaat dan nilai tukar

sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.27

Dalam fiqh Islam pada dasarnya perubahan peruntukan dan status tanah

wakaf itu tidak diperbolehkan, kecuali apabila tanah wakaf tersebut tidak lagi

dimanfaatkan lagi sesuai dengan tujuan wakaf, maka tanah wakaf tersebut

dapat dilakukan perubahan baik peruntukannya maupun statusnya. Dalam fiqih

juga dikenal prinsip maslahat, yaitu memelihara maksud syara‟, yakni

memberikan kemanfaatan dan menghindari hal-hal yang merugikan. Prinsip ini

dijadikan pertimbangan dalam perubahan menukar dan menjual harta wakaf

untuk mencapai fingsinya sebagaimana dinyatakan si wakif.28

26Undang-undang R.I. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.,

hlm. 197-198

27

Abdul Shomad, hlm. 386 28

Ibid, hlm. 387

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

Perubahan status dan penggunaan tanah wakaf terebut harus segera

dilaporkan oleh nadzir kepada Bupati atau Walikota sebagaimana dimaksud

dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 pasal 11. Dalam PP No. 28

tahun 1977 juga menyatakan bahwa pada dasarnya tidak dapat dilakukan

perubahan peruntukan atau penggunaan tanah wakaf. Tetapi sebagai

pengecualian, dalam keadaan kasus tertentu dapat dilakukan dengan

persetujuan tertulis dari Menteri Agama, yang alasannya meliputi:

a. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif.

b. Karena untuk kepentingan umum.

Penyelesain perselisihan benda wakaf ditegaskan dalam Kompilasi

Hukum Islam, bahwa penyelesaian perselisihan sepanjang

menyangkutpersoalan benda wakaf dan nadzir diajukan kepada Pengadilan

Agama setempat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.29

2.Hukum Ekonomi Syari’ah

Hukum Ekonomi Syariah yang berarti Hukum Ekonomi Islam yang

digali dari sistem ekonomi Islam yang ada dalam masyarakat, yang merupakan

pelaksanaan fiqh dibidang ekonomi oleh masyarakat. Pelaksanaan ekonomi

oleh masyarakat membutuhkan hukum untuk mengatur guna menciptakan tertib

hukum dan menyelesaikan masalah sengketa yang pasti timbul pada interaksi

ekonomi. Hukum Ekonomi Syariah untuk menyelesaikan sengketa yang pasti

muncul dalam masyarakat.30

29Rachmadi Usman, hlm. 70

30

Nurul Septiani, “Penarikan Hibah Orang Tua Kepada Anak Ditinjau dari Hukum Ekonomi

Syariah”, Sripsi Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Jurusan Syariah STAIN Jurai Siwo

Metro Tahun 2015.

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

Dalam tataran hukum ekonomi Islam (mu’amalat) dan aspek hukum

bisnis Indonesia, wakaf dianggap sebagai sistem ekonomi yang mampu

meminimalisasi kesenjangan ekonomi umat, melalui pemberdayaan

perekonomian Islam.31

Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga peradilan agama

saat ini. Salah satu perubahan mendasar adalah penambahan wewenang

lembaga peradilan agama antara lain dalam bidang ekonomi syariah.

Disamping itu, lahirnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang

Wakaf juga telah memberikan nuansa baru pada lembaga peradilan agama,

sebab pengaturan wakaf dengan undang-undang ini tidak hanya menyangkut

tanah milik, tetapi juga mengatur tentang wakaf produktif yang juga menjadi

kewenangan lembaga peradilan agama untuk menyelesaikan berbagai sengketa

dalam pelaksanaannya.32

Dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 pada pasal 62 dijelaskan

mengenai penyelesaian sengketa diantaranya yaitu:

a. Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk

mencapai mufakat.

31

Ulya Kencana, Hukum Wakaf Indonesia: Sejarah, Landasan Hukum dan Perbandingan

antara Hukum Barat, Adat dan Islam, Malang: SetaraPress, 2017. hlm 235.

32

Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama,

(Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 425.

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

b. Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau

pengadilan.33

Dengan adanya aturan dalam penyeleasaian sengketa wakaf diharapkan

mempermudah apabila terjadi perselisihan mengenai harta wakaf maka dapa

menggunakan jalan musyawarah, apabila dalam musyawarah tidak ada

kesepakatan maka dapat menggunakan jalan mediasi, arbitrase atau pengadilan.

Islam mengajarkan bagaimana mewujutkan masyarakat yang sejahterah

dan berkeadilan sosial, di dalam al-Qur‟an juga mengajarkan bagaimana

menafkahkan harta yang dimiliki umatnya untuk kesejahterahanumum melalui,

zakat, infak, shadaqah, qurban dan wakaf. Langkah yang strategis untuk

meningkatkan kesejahteraan umum, perlu meningkatkan peran wakaf sebagai

pranata kehidupan yang tidak hanya menyediakan sarana ibadah dan sosial,

tetapi juga mempunyai kekuatan ekonomi yang berpotensi, antara lain untuk

kesejahterahan umum, sehingga perlu dikembangkan sesuai prinsip syariah.

Tujuan hukum ekonomi syariah dapat dilihat dari sudut pandang yang

memiliki karakteristik dan nilai-nilai yang berfokus kepada amar ma‟ruf nahi

munkar yang berarti mengerjakan yang benar dan meninggalkan yang dilarang.

Adapun sudut pandang tersebut adalah sebagai berikut:34

1) Ekonomi Illahiyah (Ke-Tuhan-an)

33

Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 62

34 Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi., hlm. 3.

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

Ekonomi Ke-Tuhan-an mengandung arti manusia diciptakan oleh Allah

untuk memenuhi perintah-Nya, yakni beribadah, dan dalam mencari kebutuhan

hidupnya, manusia harus berdasarkan aturan-aturan (Syariah) dengan tujuan

utama untuk mendapatkan ridho Allah.

2) Ekonomi Akhlaq

Ekonomi akhlaq mengandung arti kesatuan antara ekonomi dan akhlaq

harus berkaitan dengan sekor produksi, distribusi, dan konsumsi. Dengan

demikian seorang muslim tidak bebas menggerakkan apa saja yang diinginkan

atau yang menguntungkan tanpa memperdulikan orang lain.

3) Ekonomi Kemanusiaan

Ekonomi kemanusiaan mengandung arti Allah memberikanpredikat

“Khalifah” hanya kepada manusia, karena manusia diberi kemampuan dan

perasaan yang memungkinkan ia melaksanakan tugasnya. Melalui perannya

sebagai “Khalifah” manusia wajib beramal, bekerja keras, berkreasi, dan

berinovasi.

4) Ekonomi Keseimbangan

Ekonomi keseimbangan adalah pandangan Islam terhadap hak individu

dan masyarakat diletakkan dalam neraca keseimbangan yang adil tentang dunia

dan akhirat, jiwa dan raga, akal dan hati, perumpamaan dan kenyataan, iman

dan kekuasaan. Ekonomi yang moderat tidak mendzalimi masyarakat,

khususnya kaum lemah sebagaimana yang terjadi pada masyarakat kapitalis.

Disamping itu, Islam juga tidak mendzalimi hak individu sebagaimana yang

dilakukan oleh kaum sosialis, tetapi Islam mengakui hak individu dan

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

masyarakat secara berimbang. Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa Sistem

Ekonomi Syariah mempunyai konsep yang lengkap dan seimbang dalam segala

hal kehidupan, namun penganut ajaran Islam sendiri sering kali tidak

menyadari hal dimaksud. Hal itu terjadi karena masih berfikir dengan kerangka

ekonomi kapitalis, karena berabad-abad dijajah oleh bangsa Barat, dan juga

bahwa pandangan dari Barat selalu dianggap lebih hebat. Padahal tanpa

disadari ternyata di dunia Barat sendiri telah banyak negara mulai mendalami

sistem perekonomian yang berbasis Syariah.

Dari keempat sudut pandang mengenai tujuan hukum ekonomi syariah

diatas dapat dipahami bahwa pada dasarnya tujuan dari hukum ekonomi syariah

adalah untuk memberikan suatu aturan dan pemahaman kepada manusia bahwa

dalam memenuhi kebutuhannya, manusia harus memperhatikan beberapa hal,

yaitu mencari ridho Allah, menjaga hubungan antar sesama, selalu bekerja

keras, serta menjaga keseimbangan antara keperluan dunia dan akhirat.

Sehingga dengan demikian hukum ekonomi syariah akan mewujudkan suatu

sistem ekonomi yang adil dan tidak mengandung kedzaliman dalam memenuhi

kebutuhan manusia, bukan hanya didunia melainkan juga kebutuhan akhirat,

karena sistem ekonomi syariah merupakan sistem yang mengutamakan unsur

tolong-menolong antar sesama dan mencari ridho Allah dalam pelaksanaannya.

Apabila mengamalkan ekonomi syariah akan mendatangkan manfaat yang

besar bagi umat Islam itu sendiri berupa:35

35Ibid., hlm. 11

Page 22: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

1) Mewujudkan integritas seorang muslim yang kaffah, sehingga Islamnya

tidak lagi persal. Apabila ada orang Islam yang masih bergelut dan

mengamalkan ekonomi konvensional yang mengandung unsur riba, berarti

keIslamannya belum kaffah, sebab ajaran ekonomi syariah diabaikan.

2) Menerapkan dan mengamalkan ekonomi syariah melalui bank syariah,

asuransi syariah, reksadana syariah, pegadaian syariah, dan atau Baitul

Maal wat Tamwil (selanjutnya disebut BMT), mendapatkan keuntungan di

dunia dan di akhirat.

3) Praktik ekonominya berdasarkan syariat Islam bernilai ibadah, karena

telah mengamalkan syariat Allah SWT.

4) Mengamalkan ekonomi syariah malalui bank syariah, asuransi syariah

dan/atau BMT, berarti mendukung kemajuan lembaga ekonomi umat

Islam itu sendiri.

5) Mengamalkan ekonomi syariah dengan membuka tabungan, deposito atau

menjadi nasabah asuransi syariah, berarti mendukungupaya pemberdayaan

ekonomi umat Islam itu sendiri, sebab dana yang terkumpul dilembaga

keuangan syariah itu dapat digunakan oleh umat Islam itu sendiri untuk

keperluan mengembangkan usaha-usaha kaum muslimin.

6) Mengamalkan ekonomi syariah berarti mendukung gerakan amar ma‟ruf,

sebab dana yang terkumpul tersebut hanya boleh dimanfaatkan untuk usaha-

usaha atau proyek-proyek halal.

Page 23: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan wakaf :

1. Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau

menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya

atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna

keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

2. Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.

3. Ikrar Wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan

dan/atau tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.

4. Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk

dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.

5. Harta Benda Wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama

dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut

syariah yang diwakafkan oleh Wakif.

6. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, selanjutnya disingkat PPAIW, adalah

pejabat berwenang yang ditetapkan oleh Menteri untuk membuat akta ikrar

wakaf.

7. Badan Wakaf Indonesia adalah lembaga independen untuk mengembangkan

perwakafan di Indonesia.

8. Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

terdiri atas Presiden beserta para menteri.

9. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang agama.36

36 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Pasal 1

Page 24: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

Diterbitkannya Undang-Undang No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf

merupakan fase dimana perwakafan di Indonesia telah memilikiaturan yang

lebih komprehensif, detail dan jelas. Jika sebelumnya perwakafan hanya diatur

dalam 1 (satu) Pasal dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang kemudian

diatur dalam PP No. 28/1977, melali transplantasi hukum, maka dengan

diterbikannya UU No. 41 Tahun 2004, perwakafan telah diatur dalam dalam

UU tersendiri. Sebagai penjabaran lebih lanjut, maka diterbitkannya Peraturan

Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Demikian pula sebagai aturan

turunnya lebih lanjut, diatur dalam Peraturan Menteri Agama, Peraturan

Dirjend. BIMAS, Peraturan Badan Wakaf di Indonesia.37

Dengan adanya pembaruan-pembaruan dari peraturan-peraturan

perwakafan yang terdahulu hingga sekarang, diharapkan perwakafan di

Indonesia berjalan secara efisien sehingga tidak diragukan lagi apabila ingin

mewakafkan hartanya. Karena secara resmi sudah diatur oleh peraturan

pemerintah. Undang-undang Wakaf pada Pasal 40 menentukan bahwa Harta

benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang:38

1. dijadikan jaminan;

2. disita;

3. dihibahkan;

4. dijual;

5. diwariskan;

37 Suhairi, Wakaf Produktif., hlm. 22.

38

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 40.

Page 25: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

6. ditukar; atau

7. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.

Berdasarkan pemaparan undang-undang wakaf diatas dapat ditarik

benang merah bahwa sudah ada aturan mengenai larangan harta benda wakaf

yang dijadikan jaminan utang. Pada dasarnya tidak dibolehkan karena dengan

menjaminkan harta wakaf untuk utang sama halnya merubah peruntukkan

harta wakaf. Sedangkan dalam merubah peruntukkan ada aturan-aturan yang

sudah ditetapkan pemerintah.

Masalah perubahan peruntukan dan status tanah wakaf ini sebenarnay

sudah banyak dikaji oleh ahli hukum Islam dalam kitab fiqih, dalam fiqh Islam

pada dasarnya perubahan peruntukan dan status tanah wakaf itu tidak

dibolehkan, kecuali apabila tanah wakaf tersebut tidak lagi dimanfaatkan

sesuai tujuan wakaf, maka terhadap tanah wakaf yang bersangkutan dapat

diadakan perubahan baik peruntukan maupun statusnya.

B. Konsep Tentang Jaminan dan Hutang

1. Jaminan

Jaminan dalam hukum Islam dibagi menjadi dua: jaminan yang berupa

orang dan jaminan yang berupa harta benda, Jaminan yang berupa orang sering

dikenal dengan istilah dammam atau kafalah, sedangkan jaminan yang berupa

harta benda dikenal dengan istilah rahm.39

Kata jaminan biasa didengar dikalangan perbankan, ketika hendak

meminjam dana dari bank tersebut. Sebenarnya pemberian utang itu merupkan

39 Dr. Mardani, Hukum Perikatan di Indonesia, (jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm 181.

Page 26: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

suatu tindakan kebajikan untuk menolong orang yang sedang dalam keadaan

kesusahan tidak mempunyai uang. Namun untuk ketenangan hati, si pemberi

hutang memerlukan suatu jaminan bahwa hutang itu akan dibayar oleh orang

yang berhutang. Untuk maksud itu si pemilik uang boleh meminta jaminan

dalam bentuk barang berharga. Secara arti kata ruhnu atau rungguhan, agunan

atau jaminan mengandung arti “tetap dan bertahan”. Dalam arti istilah para

ulama mengartikannya dengan “menjadikan barang berharga sebagai jaminan

suatu utang”. Dengan begitu agunan itu berkaitan erat dengan utang-piutang

dan timbul dari padanya.40

Penyerahan agunan atau jaminan dilakukan dalam bentuk suatu transaksi

sebagai kelanjutan dari transaksi hutang-piutang. Untuk sahnya suatu transaksi

tersebut diperlukan suatu akad dengan cara penyerahan dan penerimaan atau

cara lain yang menunjukkan telah berlangsungnya jaminan dengan cara suka

sama suka.

A. Hukum Jaminan

Pada dasarnya istilah jaminan itu berasal dari kata “jamin” yang berarti

tanggung, sehingga jaminan dapat diartikan sebagai tanggungan. Menurut Pasal

2 Ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR

tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit dikemukakan

bahwa jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitor untuk

melunasi kredit sesuai dengan perjanjian.41

Pasal 1131 KUHPerd menyebutkan

bahwa jaminan adalah segala kebendaan milik si berutang, baik yang bergerak

40Mir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (Bogor: Kencana, 2003), hlm. 227.

41

Abdul Rasyid Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan : Teori dan Contoh Kasus

(Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 19.

Page 27: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan

dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.42

Berbeda dengan jaminan, hukum jaminan memiliki pengertian tersendiri yang

berbeda dengan pengertian jaminan. J. Satrio mengartikan hukum jaminan

sebagai peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang

seorang kreditor terhadap seorang debitor. Ringkasnya hukum jaminan adalah

hukum yang mengatur tentang jaminan piutang seseorang. Sementara itu, Salim

HS dalam bukunya yang berjudul Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia

memberikan perumusan hukum jaminan adalah keseluruhan kaidah-kaidah

hukum yang mengatur hubungan antara pemberi dan penerima jaminan dalam

kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.43

Berdasarkan definisi-definisi tersebut, unsur-unsur yang tercantum dalam

hukum jaminan ini adalah:

a. Adanya kaidah-kaidah hukum jaminan yang terdapat dalam peraturan

perundang-undangan, trakat, dan yurisprudensi serta kaidah-kaidah hukum

jaminan yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat.

b. Adanya pemberi dan penerima jaminan, pemberi jaminan adalah orang-

orang atau badan hukum yang menyerahkan barang jaminan kepada

penerima jaminan.

c. Adanya jaminan yang diserahkan oleh debitor kepada kreditor.

42R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta:

Pradnya Pratama, 2008), hlm. 291.

43

Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2004), hlm. 6.

Page 28: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

d. Adanya fasilitas kredit yang diawali dari pembebanan jaminan yang

dilakukan oleh pemberi jaminan bertujuan untuk mendapatkan fasilitas

kredit dari bank atau lembaga keuangan non-bank.

B. Fungsi Jaminan

Jaminan secara umum berfungsi sebagai jaminan pelunasan

kredit/pembiayaan.44

Pengertian-pengertian jaminan yang telah dijelaskan

sebelumnya memberikan gambaran bahwa jaminan adalah suatu tanggungan

yang dapat dinilai dengan uang, berupa benda tertentu yang diserahkan oleh

debitor kepada kreditor sebagai akibat dari perjanjian utang piutang atau

perjanjian lain yang dibuatnya. Benda tertentu itu diserahkan debitor kepada

kreditor sebagai tanggungan atas pinjaman atau fasilitas kredit yang telah

diberikan kepada debitor sampai debitor melunasi pinjamannya tersebut.

Fungsi utama dari jaminan adalah untuk meyakinkan bank atau kreditor,

bahwa debitor mempunyai kemampuan untuk mengembalikan atau melunasi

kredit yang diberikan kepadanya sesuai dengan persyaratan dan perjanjian

kredit yang telah disepakati bersama.45

Jaminan kredit adalah segala sesuatu

yang mempunyai nilai mudah untuk diuangkan yang diikat dengan janji

sebagai jaminan untuk pembayaran utang debitor berdasarkan perjanjian yang

dibuat. Kredit yang diberikan selalu diamankan dengan jaminan dengan tujuan

menghindarkan risiko debitor tidak mampu melunasi utangnua. Dapat

disimpulkan bahwa fungsi jaminan kredit adalah untuk:

44 Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah (Jakarta:

Sinar Grafika, 2012), hlm. 44.

45

Abdul Rasyid Salman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan : Teori dan Contoh Kasus,

hlm. 21.

Page 29: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

a. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan

dari hasil penjualan barang-barang jaminan tersebut jika debitor wanprestasi

dengan tidak melunasi utangnya pada waktu yang telah ditentukan.

b. Menjamin agar nasabah atau debitor berperan serta dalam transaksi untuk

membiayai usahanya, sehingga mencegah kemungkinan meninggalkan

usaha atau proyeknya dengan merugikan diri atau perusahaannya.

c. Memberi dorongan kepada debitor untuk memenuhi perjanjian kredit

(utang).46

Berdasarkan hal-hal di atas, jaminan memiliki kedudukan yang penting

bagi kreditor dan bank dalam pemberian kredit (utang), karena dengan adanya

jaminan itu bank atau kreditor memiliki rasa aman dan kepastian piutang yang

mereka miliki akan dilunasi oleh debitor.

C. Macam-macam Jaminan

Pada umunya lembaga jaminan yang dikenal dalam tata hukum Indonesia

dapat diklasifikasikan dalam beberapa macam yaitu sebagai berikut:

a. Jaminan yang Lahir Karena Ditentukan Oleh Undang-Undang dan Jaminan

yang Lahir Karena Perjanjian

1) Jaminan yang lahir karena ditentukan oleh undang-undang

Yaitu jaminan yang lahir karena ditentukan oleh undang-undang tanpa

adanya perjanjian dari para pihak. Jaminan umum yang bersumber dari undang-

undang sebagaimana diatur Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPer mempunyai

46 Riky Rustam, Hukum Jaminan, hlm. 49.

Page 30: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

kelemahan yang bersifat mendasar dalam hal kemampuannya untuk melunasi

utang debitor jika debitor wanprestasi.

Selain jaminan umum yang ditentukan Pasal 1131 dan Pasal 1132

KUHPer tersebut di atas, jaminan yang lahir karena ditentukan oleh undang-

undang lainnya adalah hak retensi sebagaimana yang diatur dalam sejumlah

pasal-pasal KUHPerd, seperti perjanjian sewa menyewa (Buku III KUHPerd),

pada gadai, pada bezitter yang jujur (Buku II KUHPerd), pada perjanjian

pemberian kuasa, pada perjanjian perburuhan (Buku III KUHPerd) dalam

KUHD dan lain-lain.47

2) Jaminan khusus berdasarkan perjanjian.

Yaitu jaminan yang lahir dengan diperjanjikan terlebih dahulu oleh para

pihak, jaminan ini dibuat secara khusus dalam perjanjian dan dapat berbentuk

pinjaman yang bersifat kebendaan atau yang bersifat perorangan. Jaminan yang

lahir karena perjanjian adalah hipotek, gadai, fidusia, penanggungan atau

jaminan perorangan, hak tanggungan dan lain-lain.

b. Jaminan yang Bersifat Kebendaan dan Jaminan yang Bersifat Perorangan

1) Jaminan yang Bersifat Kebendaan

Jaminan kebendaan adalah jaminan yang bersifat kebendaan berupa hak

mutlak atas suatu benda tertentu dari debitor yang dapat dipertahankan pada

setiap orang. Jaminan kebendaan mempunyai ciri-ciri “kebendaan” dalam arti

memberikan hak mendahului di atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat

47 Ibid.,hlm. 51

Page 31: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan.48

Unsur-unsur yang tercantum

pada jaminan kebendaan yaitu sebagai berikut:

a) Hak mutlak atas suatu benda

b) Cirinya mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu

c) Dapat dipertahankan terhadap siapa pun

d) Dapat dialihkan kepada pihak lainnya.

Jaminan kebendaan dapat digolongkan menjadi 5 macam, yaitu:

a) Gadai (pand), yang diatur di dalam Buku II KUHPerd.

b) Hipotek, yang diatur dalam Bab 21 Buku II KUHPerd.

c) Credictverband, yang diatur dalam Stb. 1908 Nomor 542 sebagaimana telah

diubah dengan Stb. 1937 Nomor 190.

d) Hak tanggungan, sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 1996.

e) Hak fidusia, sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 1999.

2) Jaminan yang Bersifat Perorangan

Jaminan yang Bersifat Perorangan adalah jaminan yang menimbulkan

hubungan langsung terhadap perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan

terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan penanggung secara

keseluruhan.49

Unsur jaminan perorangan, yaitu:

a) Mempunyai hubungan langsung pada orang tertentu.

b) Hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu.

c) Terhadap harta kekayaan debitur umumnya.

Yang termasuk jaminan perorangan adalah:

48 Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, hlm. 23.

49

Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah, hlm. 48.

Page 32: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

a) Penanggung (borg) adalah orang lain yang dapat ditagih.

b) Tanggung-menanggung, yang serupa dengan tanggung renteng.

c) Perjanjian garansi.50

Jaminan Berupa Benda Bergerak dan Jaminan Berupa Benda Tidak Bergerak.

Pembagian benda menjadi benda bergerak dan benda tidak bergerak

dalam jaminan akan berdampak pada penentuan jenis lembaga jaminan yang

akan dibebankan kepada masing-masing jenis benda bergerak. Jika benda berupa

benda bergerak maka lembaga jaminan yang dapat dibebankan adalah berbentuk

gadau atau fidusia, sedangkan jika benda berbentuk benda tidak bergerak (benda

tetap) maka lembaga jaminan yang dapat dibebankan adalah berbentuk hipotek,

fidusia dan hak tanggungan.51

d. Jaminan yang Menguasai Bendanya dan Jaminan Tanpa menguasai Bendanya

Jaminan yang diberikan dengan menguasai benda yang dijaminkan contohnya

adalah gadai dan hak retensi, sedangkan jaminanyang diberikan tanpa

menguasai benda contohnya adalah hipotek, fidusia, dan previlegi.

e. Agunan Pokok dan Agunan Tambahan

Yang dimaksud dengan agunan pokok adalah benda milik debitur yang dibiayai

dengan fasilitas kredit/pembiayaan sekaligus dijadikan jaminan pelunasan

kredit/pembiayaan.

50 Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, hlm. 25.

51

Riky Rustam, Hukum Jaminan, hlm. 54.

Page 33: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

Yang dimaksud agunan tambahan adalah benda yang dijadikan jaminan

pelunasan kredit/pembiayaan milik debitur atau pihak ketiga yang tidak

dibiayai dengan fasilitas kredit/pembiayaan.52

4. Lembaga-lembaga Jaminan di Indonesia

Pokok-pokok bahasan dalam bagian ini adalah mengenai lembaga

jaminan untuk benda tidak bergerak, yaitu hak tanggungan, serta lembaga

jaminan untuk benda bergerak terdiri dari gadai dan fidusia.

a. Hak tanggungan

Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas

tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut

benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk

pelunasan tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada

kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

Dari pengertian di atas, menunjukkan bahwa pada prinsipnya hak

tanggungan adalah hak yang dibebankan pada hak atas tanah beserta benda-

benda lain tersebut berupa bangunan, tanaman, dan hasil karya (seperti lukisan)

yang melekat secara tetap pada bangunan.

b. Gadai

Pasal 1152 KUHPerd menentukan saat terjadinya hak kebendaan pada

jaminan gadai adalah pada saat objek gadai diserahkan kepada penerima gadai

atau pihak ketiga yang telah diberi kuasa oleh penerima gadai. Dengan

52 Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah, hlm. 49-

50.

Page 34: BAB II LANDASAN TEORI TENTANG ASPEK HUKUM WAKAF A

demikian, dalam jaminan gadai benda gadai harus diserahkan atau diletakkan

dalam kekuasaan kreditor agar jaminan gadai itu mengikat kepada para pihak.

c. Fidusia

Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang

berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya

bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan, yang tetap berada dalam

penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang

memberikan kedudukan yang diutamakan kepeda penerima fidusia terhadap

kreditor lain.

2. Hutang

Hutang menurut Kamus Bersar Bahasa Indonesia, yaitu uang yang

dipinjamkan dari orang lain.53

Pengertian hutang sama dengan perjanjian

pinjam meminjam yang dijumpai dalam ketentuan Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata Pasal 1754 yang berbunyi: “pinjam meminjam adalah suatu

perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain

suatu jumlah barang-barang tertentu dan habis karena pemakaian, dengan

syaratbahwa yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama

dari macam keadaan yang sama pula”.54

Kata Hutang Secara Etimologi dalam

bahasa arab yaitu datang dan pergi. Menurut sebagaian pendapat,’ ariyah yaitu

saling menukar atau menganti, yakini dalam tradisi pinjam meminjam.55

53 Poerwadarminanto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003),

hlm. 1136

54

Ibid, hlm. 760.

55

Ibid