Upload
vocong
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
13
BAB II
KAJIAN TEORI
Individu yang mampu mengatasi kecemasan dalam menghadapi
wawancara kerja akan berdampak pada peningkatan performa dan
kinerjanya. Untuk itu dalam diri setiap individu diharapkan memiliki
kesiapan kerja yang membentuk pandangan diri, tanggung jawab diri,
berambisi untuk maju dan konsep diri sehingga dapat mengurangi
kecemasan dalam menghadapi wawancara kerja. Dalam bab ini akan
dibahas tentang landasan teori, yang terdiri dari definisi, teori, aspek-
aspek, dimensi-dimensi, faktor-faktor yang memengaruhi dan hasil-hasil
penelitian dari masing-masing variabel.
2.1 KECEMASAN MENGHADAPI WAWANCARA KERJA
Dalam sub pokok bahasan ini akan dijelaskan mengenai pengertian
kecemasan menghadapi wawancara kerja, teori kecemasan menghadapi
wawancara, dimensi-dimensi kecemasan menghadapi wawancara kerja,
dampak kecemasan menghadapi wawancara kerja dan faktor-faktor yang
mempengaruhi kecemasan menghadapi wawancara kerja.
2.1.1 Pengertian Kecemasan Menghadapi Wawancara Kerja
a. Pengertian Kecemasan
Kecemasan adalah respon emosional terhadap penilaian yang
menggambarkan keadaan khawatir, gelisah, takut, tidak tentram
disertai berbagai keluhan fisik. Keadaan tersebut dapat terjadi dalam
berbagai situasi kehidupan maupun gangguan sakit. Selain itu
kecemasan dapat menimbulkan reaksi tubuh yang akan terjadi secara
berulang seperti rasa kosong di perut, sesak nafas, jantung berdebar,
ketegangan otot, keringat banyak, sakit kepala, rasa mau buang air
kecil dan buang air besar. Perasaan ini disertai perasaaan ingin
bergerak untuk lari menghindari hal yang dicemaskan (Stuart &
Sundeen, 1998).
14
Kecemasan merupakan bentuk keakuan pada hal-hal yang
tidak jelas, tidak riil dan dirasakan sebagai ancaman yang tidak bisa
dihindari. Kecemasan muncul karena kurangnya pengalaman
individu dalam menghadapi situasi baru. Individu yang mengalami
kecemasan akan nampak gelisah, khawatir dan kurang percaya diri
(Tobias,1985). Kecemasan adalah manifestasi dari berbagai emosi
yang bercampur baur, yang terjadi ketika seseorang mengalami
tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin atau konflik
(Daradjat, 2001).
Berdasarkan paparan diatas maka kecemasan adalah suatu
emosi negatif meliputi perasaan ketakutan dan kekhawatiran
terhadap berbagai bahaya objek yang tidak jelas. Perasaan ini
tampak pada sejumlah respon perilaku dan tubuh seperti denyut
jantung yang meningkat dan ketegangan otot ketika seseorang
mengalami frustasi dan pertentangan konflik.
b. Pengertian Wawancara Kerja
Wawancara kerja merupakan salah satu cara yang sangat
penting bagi suatu perusahaan untuk menjaring pelamar yang ada.
Jumlah pelamar pada umumnya jauh lebih banyak daripada posisi
atau lowongan yang tersedia. Oleh karena itu, dibutuhkan alat
penyaring atau alat seleksi yang dapat menemukan orang-orang
yang cocok untuk menempati posisi tersebut.
Menurut Dwyer (2003), wawancara kerja merupakan alat
untuk mengumpulkan informasi atau pertukaran informasi.
Wawancara, merupakan percakapan yang terencana dengan tujuan
tertentu, yang melibatkan dua orang. Bahkan, menurut Bovee,
Courtland & Thill. (2003) setiap dua orang bertemu untuk
mendiskusikan suatu masalah, berarti mereka terlibat dalam suatu
wawancara. Suatu wawancara melibatkan pewawancara
(interviewer) dan orang yang diwawancarai (interview). Agar
wawancara dapat berhasil baik, informasi harus mengalir dengan
15
baik diantara mereka. Oleh karena itu ketrampilan dan pemahaman
mengenai proses wawancara menjadi penting bagi keduanya.
Menurut Robert & Kinichi (2005) wawancara adalah suatu
pola yang dikhususkan dari interaksi verbal-diprakarsai untuk suatu
tujuan tertentu, dan difokuskan pada sejumlah bidang kandungan
tertentu, dengan proses eliminasi materi yang tak ada kaitannya
secara berkelanjutan. Menurut Koentjaraningrat (1991), wawancara
adalah suatu cara yang digunakan untuk tujuan suatu tugas tertentu,
mencoba mendapatkan keterangan dan pendirian secara lisan dari
seorang responden, dengan bercakap-cakap berhadapan muka.
Dari paparan di atas maka wawancara kerja adalah suatu jenis
tahapan dalam seleksi kerja yang melibatkan percakapan antara
pelamar atau pencari kerja dengan pihak perwakilan dari organisasi
yang mempekerjakan untuk melihat, apakah calon pekerja
merupakan kandidat yang tepat atau tidak.
c. Pengertian Kecemasan Menghadapi Wawancara Kerja
Kecemasan menghadapi wawancara kerja merupakan suatu
keadaan kegelisahan yang mengacu pada saraf calon pelamar kerja
sebelum dan selama wawancara kerja sehingga membuat calon
pelamar takut dan berfikir negatif sehingga menghambat
performance dan kinerja yang dimiliki individu (Heimberg, Keller,&
Peca-Baker, 1986).
Kecemasan menghadapi wawancara kerja merupakan suatu
keadaan yang dapat memunculkan kegugupan bagi seseorang ketika
berhadapan dengan pengalaman baru seperti saat menghadapi
wawancara kerja dan menganggap bahwa sesuatu yang buruk akan
terjadi (Diana, 1997).
Kecemasan menghadapi wawancara kerja merupakan suatu
ciri khusus yang menggabungkan individu dalam hal persepsinya
terhadap suatu ancaman, yang terjadi pada suatu konteks-spesifik
untuk situasi wawancara. Hal ini melibatkan proses komunikasi dua
arah, cemas ditandai dengan mulut kering saat diwawancarai, perut
16
sakit, pusing, dan jantung berdebar-debar, sehingga berefek pada
kesulitan mengungkapkan pendapatnya secara verbal sehingga
menghabat performa atau kinerja individu (Mc Carthy & Goffin,
2004).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
kecemasan menghadapi wawancara kerja merupakan suatu ciri
khusus yang mengambarkan keadaan individu dalam hal persepsinya
terhadap suatu ancaman, yang terjadi pada suatu konteks-spesifik
untuk situasi sebelum dan selama wawancara kerja.
2.1.2 Teori Kecemasan Menghadapi Wawancara Kerja
Kecemasan pertama kali muncul menggunakan pendekatan teori
Behaviourisme. Dalam teori Behaviour dijelaskan bahwa kecemasan
muncul melalui clasical conditioning, artinya seseorang mengembangkan
reaksi kecemasan terhadap hal-hal yang pernah dialami sebelumnya dan
reaksi-reaksi yang telah dipelajari dari pengalamannya (Bellack & Hersen,
1988). Teori ini dipandang bahwa kecemasan lebih dipicu oleh peristiwa
eksternal spesifik daripada konflik internal. Individu yang mengalami
kecemasan umum apabila dia mengalami ketidakmampuan dalam
menjalani kehidupan sehari-hari. Selanjutnya teori ini menyatakan bahwa
individu yang mengalami gangguan kecemasan cenderung memiliki
penilaian yang tidak realistik dan berlebihan dalam merespon situasi
tertentu, terutama situasi yang menimbulkan bahaya meskipun bahaya
yang ditimbulkan sangat kecil. Menurut teori ini, timbulnya kecemasan
tergantung pada cara seseorang dalam memikirkan situasi dan
kemungkinan bahaya (Atkinson, 1996).
Dalam perkembangannya teori kecemasan banyak digunakan untuk
mengukur berbagai segi kehidupan individu mulai dari kelahiran,
menghadapi wawancara kerja, hingga kematian. Teori Heimberg.,et al
(1986) mengungkakan bahwa kecemasan menghadapi wawancara kerja
merupakan suatu keadaan kegelisahan yang mengacu pada saraf calon
pelamar kerja sebelum dan selama wawancara kerja sehingga membuat
17
calon pelamar takut dan berfikir negatif sehingga menghambat
performance dan kinerja yang dimiliki individu. Sedangkan Diana (1997),
mengungkapkan kecemasan menghadapi wawancara kerja merupakan
suatu keadaan yang dapat memunculkan kegugupan bagi seseorang ketika
berhadapan dengan pengalaman baru seperti saat menghadapi wawancara
kerja dan menganggap bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Mc Carthy
& Goffin (2004) mengungkapkan kecemasan menghadapi wawancara
kerja merupakan suatu ciri khusus yang menggabungkan individu dalam
hal persepsinya terhadap suatu ancaman, yang terjadi pada suatu konteks-
spesifik untuk situasi wawancara. Hal ini melibatkan proses komunikasi
dua arah, cemas ditandai dengan mulut kering saat diwawancarai, perut
sakit, pusing, dan jantung berdebar-debar, sehingga berefek pada kesulitan
mengungkapkan pendapatnya secara verbal sehingga menghabat performa
atau kinerja individu.
2.1.3 Dimensi-Dimensi Kecemasan Menghadapi Wawancara Kerja
Menurut Mc Carthy & Goffin (2004) bahwa dimensi kecemasan
meghadapi wawancara kerja dapat diukur berdasarkan mampu tidaknya
seseorang dalam menghadapi proses wawancara kerja, jika seseorang
mampu dalam proses ini dapat dikatakan bahwa seseorang setelah lulus
kuliah akan mendapatkan pekerjaan yang diinginkan sehingga tidak
menganggur. Kecemasan dalam wawancara kerja berupa: dimensi
komunikasi, dimensi penampilan diri, dimensi sosial, dimensi kinerja dan
dimensi perilaku.
1. Dimensi komunikasi
Seseorang yang mengalami kecemasan dalam wawancara kerja
berupa tergangunya kemampuan dalam berkomunikasi yang ditandai
dengan perasaan gugup atau ketakutan tentang kemampuan verbal,
ketrampilan komunikasi non verbal, dan merasa tidak memiliki
ketrampilan apapun. Seseorang yang memiliki komunikasi baik akan
dapat mengurangi kecemasan yang dirasakan.
18
2. Dimensi penampilan diri
Penampilan diri seseorang mencerminkan perasaannya saat akan
menghadapi wawancara kerja hal ini dapat berupa kekhawatiran akan
penampilan fisiknya seperti contoh saat seseorang telah siap ikut
mencoba melamar kerja dan ikut wawancara kerja maka seseorang
tersebut tidak akan merasa demam panggung dan akan percaya diri.
3. Dimensi sosial
Seseorang yang mengalami kecemasan dalam wawancara kerja
akan mencerminkan perasaan kegelisahan atau kekhawatiran tentang
perilaku sosial misalnya khawatir jika kesan pertama yang
diperlihatkan negatif sehingga muncul kecangunggan, selain itu dalam
dimensi sosial menunujukkan kemampuan individu dalam berinteraksi
dengan orang lain.
4. Dimensi kinerja
Seseorang yang cemas saat wawancara kerja, memiliki pemikiran-
pemikiran yang negatif mengenai mampu tidaknya menghadapi
wawancara kerja, kondisi ini biasanya terjadi pada saat seseorang yang
cemas terhadap wawancara kerja melihat berita di televisi atau media
massa mengenai berbagai macam problema dalam dunia kerja serta saat
ikut mencoba wawancara kerja akan muncul perasaan ketakutan dan
kekhawatiran apabila dirinya lebih rendah dibandingkan pelamar yang
lain.
5. Dimensi perilaku
Menunjukkan bahwa seseorang yang mengalami kecemasan saat
menghadapi wawancara kerja perilaku ditunjukkan dengan reaksi fisik
seperti telapak tangan berkeringat, otot tegang, jantung berdebar-debar
(berdegup kencang), pipi merona, pusing-pusing dan sulit bernafas.
Orang yang cemas menghadapi wawancara kerja biasanya ditandai
dengan adanya usaha untuk menghindari situasi yang menyangkut
seputar wawancara kerja misalnya informasi-informasi tentang
wawancara kerja atau pertanyaan-pertanyaan seputar wawancara kerja.
19
Sehingga dapat memunculkan kesulitan dalam memutuskan sesuatu.
Misalnya dalam hal keinginan dan minat.
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, penulis menggunakan
dimensi-dimensi kecemasan yang dikemukakan Mc Carthy & Goffin
(2004) yaitu dimensi komunikasi, dimensi penampilan diri, dimensi sosial,
dimensi kinerja dan dimensi perilaku. Alasan penulis karena dimensi ini
sesuai dengan kebutuhan penulis. Sementara itu penulis belum
menemukan dimensi lain yang lebih cocok untuk di gunakan sebagai alat
ukur kecemasan dalam menghadapi wawancara kerja.
2.1.4 Dampak atau Efek Kecemasan Menghadapi Wawancara Kerja
Menurut Sue (2006), efek dari kecemasan menghadapi wawancara
kerja dapat dikategorisasikan sebagai berikut: mental (bagaimana pikiran
bekerja), fisik (bagaimana tubuh bekerja), perilaku (hal yang kita
lakukan), kognitif (cara kita berpikir dan berkonsentrasi). Dampak
kecemasan baik langsung maupun tidak langsung mengganggu fisik
maupun mental individu. Hal tersebut dapat menganggu performa atau
kinerja seseorang sehingga perlu dikurangi salah satunya dengan
mengubah pola pikir individu menjadi lebih positif.
Kecemasan yang dirasakan terutama dalam menghadapi wawancara
kerja dapat menimbulkan dampak positif dan dampak negatif diantaranya:
1. Menurut Raghunathan & Pham (1999) mengungkapkan dampak
negatif kecemasan berupa terganggunya kemampuan orang untuk
memproses informasi sehingga individu kurang sistematis dalam
penilaian dan pembuatan keputusan.
2. Menurut Humara (1999) menungkapkan bahwa dampak positif dari
kecemasan yakni individu yang mampu mengelola kecemasan dalam
menghadapi wawancara kerja akan mempunyai semangat dan gairah
secara psikologis maupun fisiologis sehingga dapat menaikkan
performa atau kinerja yang dia miliki.
20
2.1.5 Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kecemasan Menghadapi
Wawancara Kerja
Menurut Nasution (2012) terdapat faktor yang turut memengaruhi
kecemasan saat menghadapi wawancara kerja diantara dapat berupa:
Kesiapan kerja, Harapan yang terlalu tinggi, Cemas karena akan dinilai,
Pengalaman buruk di masa lampau yang menjadi ketakutan tersendiri,
Ketidakmampuan menghadapi situasi baru, Merasa mempunyai saingan
yang lebih unggul, Merasa memiliki tekanan dari pewawancara, dan
Memiliki pemikiran akan mengalami situasi bahaya
Faktor lain yang memengaruhi kecemasan dalam menghadapi
wawancara kerja diantaranya:
a. Jenis Kelamin
Myers (1983) mengatakan perempuan lebih cemas dibandingkan
laki-laki karena laki-laki lebih aktif dan eksploratif sedangkan
perempuan lebih sensitif, kurang sabar dan banyak menggunakan
perasaan sehingga mudah mengeluarkan air mata. Selain itu
perempuan lebih mudah dipengaruhi oleh tekanan-tekanan
lingkungan dari pada laki-laki.
b. Usia
Menurut Hurlock (1999), menyatakan bahwa semakin tua
seseorang semakin baik ia dalam mengendalikan emosinya sehingga
dapat mengontrol kecemasan dengan baik.
Havighurst (dalam Monks, Knoers & Haditono, 2001) seorang ahli
psikologi, mengemukakan bahwa tugas-tugas perkembangan dewasa
muda, diantaranya :
a. Memilih teman bergaul.
b. Belajar hidup bersama dengan suami istri.
c. Mulai hidup dalam keluarga atau hidup berkeluarga.
d. Mengelola rumah tangga.
e. Mulai bekerja dalam suatu jabatan.
Usai menyelesaikan pendidikan formal setingkat SMU, akademi
atau universitas, umumnya dewasa muda memasuki dunia kerja, guna
21
menerapkan ilmu dan keahliannya. Mereka berupaya menekuni karier
sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki, serta memberi jaminan
masa depan keuangan yang baik. Bila mereka merasa cocok dengan
kriteria tersebut, mereka akan merasa puas dengan pekerjaan dan
tempat kerja. Sebalik-nya, bila tidak atau belurn cocok antara minat/
bakat dengan jenis pekerjaan, mereka akan cemas dan mencari jenis
pekerjaan yang sesuai dengan selera. Masa dewasa muda adalah masa
untuk mencapai puncak prestasi. Dengan semangat yang menyala-
nyala dan penuh idealisme, mereka bekerja keras dan bersaing dengan
teman sebaya (atau kelompok yang lebih tua) untuk menunjukkan
prestasi kerja.
f. Mulai bertangung jawab sebagai warga Negara secara layak.
g. Memperoleh kelompok sosial yang sesuai dengan nilai-nilai yang
dianutnya.
Sementara itu Thallis (1992) menyebutkan terdapat faktor lain yang
turut memengaruhi kecemasan menghadapi wawancara kerja diantaranya:
1. Faktor individu
Faktor ini ditunjukkan dengan adanya konsep diri (self concept) yang
negatif terhadap kemampuan diri individu, masa depan tanpa tujuan
dan adanya perasaan ketidakmampuan untuk bekerja.
2. Faktor lingkungan
Perasaan cemas muncul karena individu merasa tidak memiliki
dukungan dan motivasi.
Berdasarkan uraian tersebut, faktor yang memengaruhi kecemasan
menghadapi wawancara kerja adalah kesiapan kerja, harapan yang terlalu
tinggi, cemas karena akan dinilai, pengalaman buruk dimasa lampau yang
menjadi ketakutan tersendiri, ketidakmampuan menghadapi situasi baru,
merasa mempunyai saingan yang lebih unggul, merasa memiliki tekanan
dari pewawancara, memiliki pemikiran akan mengalami situasi bahaya,
jenis kelamin, usia, faktor individu berupa konsep diri dan faktor
lingkungan berupa dukungan dan motivasi.
22
2.2 KESIAPAN KERJA
Dalam sub pokok bahasan ini akan dijelaskan mengenai pengertian
kesiapan kerja, teori kesiapan kerja, aspek-aspek kesiapan kerja, peran
kesiapan kerja dan ciri-ciri kesiapan kerja.
2.2.1 Pengertian Kesiapan Kerja
a. Pengertian Kesiapan
Kesiapan menurut kamus psikologi yakni tingkat
perkembangan dari kematangan atau kedewasaan yang
menguntungkan untuk mempraktikkan sesuatu (Chaplin, 2006).
Kesiapan merupakan proses yang benar-benar dibawa ke garis depan
karena diharapkan lulusan baru memiliki pengetahuan dan
ketrampilan spesifik tertentu (Dunchscher, Colin, & Greenwood,
2006). Kesiapan sebagai konstruk yang unik yang dituangkan dalam
metode teoritis dan praktis, konsep kesiapan kerja pertama kali
diungkapkan oleh Jacobson (1957).
Kesiapan merupakan tingkatan atau keadaan yang harus
dicapai dalam proses perkembangan perorangan pada tingkatan
pertumbuhan mental, fisik, dan emosional (Oemar, 2008).
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut peneliti
menyimpulkan bahwa kesiapan adalah keseluruhan kondisi
seseorang atau individu untuk menanggapi dan mempraktikkan
suatu kegiatan yang mana sikap tersebut memuat mental,
ketrampilan dan sikap yang harus dimiliki dan dipersiapkan selama
melakukan kegiatan tertentu.
b. Pengertian Kerja
Menurut Anoraga (2005) kerja merupakan sesuatu yang
dikeluarkan oleh seseorang sebagai profesi untuk mendapatkan
penghasilan. Sementara itu menurut Hasibuan (2003) kerja adalah
pengorbanan jasa, jasmani, dan pikiran untuk menghasilkan barang-
barang atau jasa-jasa dengan memperoleh imbalan tertentu. Seorang
individu perlu memiliki kesiapan dalam bersaing di dunia kerja.
23
Menurut Hasan (dalam kamus besar bahasa indonesia, 2005)
kerja diartikan sebagai kegiatan untuk melakukan sesuaatu yang
dilakukan atau diperbuat dan sesuatu yang dilakukan untuk mencari
nafkah, mata pencaharian.
Menurut Taliziduhu (1991) kerja adalah proses penciptaan
atau pembentukan nilai baru pada suatu unit sumber daya, pengubah
atau penambah nilai pada suatu unit alat pemenuhan kebutuhan yang
ada.
Berdasarkan beberapa pengertian kerja tersebut sebelumnya,
maka peneliti menyimpulkan bahwa kerja adalah kegiatan yang
dilakukan seseorang untuk menyelesaikan atau mengerjakan sesuatu
yang menghasilkan alat pemenuhan kebutuhan yang ada seperti
barang atau jasa dan memperoleh bayaran atau upah.
c. Kesiapan Kerja
Kesiapan kerja meliputi serangkaian gerakan yang berkaitan
dengan kesiapan mental dan jasmani (Chaplin, 2006). Kesiapan
kerja didefinisikan sebagai sejauh mana seseorang lulusan dianggap
memiliki sikap dan sifat yang membuat mereka siap untuk sukses
dalam lingkungan kerja (Caballero & Walker, 2011). Kesiapan kerja
adalah kemampuan individu untuk melaksanakan pekerjaan dengan
baik didalam maupun diluar hubungan kerja yang berguna untuk
menghasilkan barang dan jasa (Kartono, 1991).
Kesiapan kerja merupakan suatu set prestasi, pemahaman dan
atribut pribadi yang membuat individu lebih mungkin untuk
mendapatkan pekerjaan dan berhasil dalam karir yang mereka pilih
(Andrew, 2005). Pada dasarnya kesiapan kerja melibatkan inisiatif
diri untuk perubahan (Armenakis, Harris,& Mossholder, 1993).
Kesiapan kerja adalah generalis antara kemampuan, keseimbangan,
mengetahui, berfikir serta dipengaruhi oleh konteks sosial, sejarah
dan pendidikan seseorang (Angela, Barbara & Sandra, 2009).
Kesiapan kerja mengacu pada nilai-nilai dan keyakinan yang
dominan serta kolaborasi lintas sektoral sehingga menghasilkan
24
lulusan baru yang memiliki integritas baik. Kesiapan kerja
dipandang suatu yang baik yang disusun sedemikian rupa sehingga
seseorang harus memiliki ketrampilan untuk mampu bersaing dalam
dunia kerja. Kesiapan kerja dapat didenifinisikan sebagai
kemampuan dengan sedikit atau tanpa bantuan menemukan dan
menyesuaikan pekerjaan yang dibutuhkan juga dikehendaki (Ward
& Riddle, 2004).
Berdasarkan pendapat tesebut maka peneliti menyimpulkan
bahwa kesiapan kerja adalah keseluruhan kondisi seseorang dalam
pencapaian proses perkembangan mental, fisik, sosial, emosional
yang meliputi adanya kemampuan, ketrampilan, pemahaman,
produktivitas, dan sikap kerja yang dapat diterapkan dalam suatu
pekerjaan. Kesiapan kerja tersebut meliputi kemampuan beradaptasi
dengan dunia kerja baru, mengetahui kapasitas diri dan keterampilan
yang dimiliki, mengetahui yang menjadi keinginannya, dan
mengetahui sikap apa yang harus dilakukan dalam menghadapi
suatu keadaan tertentu serta harapan dalam pekerjaan.
2.2.2 Teori Kesiapan Kerja
Prinsip kesiapan kerja menggunakan teori behaviourisme dan teori
kognitif. Cognitive Behaviour pertama kali diungkapkan oleh Aaron
(dalam Greenberger & Padesky, 1995) dia berpendapat bahwa cara kita
berpikir dalam situasi tertentu memengaruhi bagaimana kita merasa
emosional dan fisik, serta merubah perilaku kita. Dalam teori Cognitive
Behaviour memiliki keyakinan tentang pengalaman yang sama dan emosi
individu, seperti contoh kasus individu ditolak untuk pekerjaan. Dia
mungkin percaya bahwa ia tidak melamar untuk pekerjaan itu karena dia
dasarnya tidak memiliki kesiapan kerja sehingga merasa tidak kompeten.
Kesiapan kerja merupakan daftar perilaku yang bersangkutan dengan
mengidentifikasi, memilih, merencanakan dan melaksanakan tujuan-
tujuan bekerja yang tersedia bagi individu tertentu sesuai dengan usia
perkembangan.
25
Teori kesiapan kerja mengalami perkembangan. Pada dasarnya
kesiapan kerja melibatkan inisiatif diri untuk perubahan (Armenakis, et
al,1993). Kesiapan kerja merupakan suatu set prestasi, pemahaman dan
atribut pribadi yang membuat individu lebih mungkin untuk mendapatkan
pekerjaan dan berhasil dalam karir yang mereka pilih (Andrew, 2005).
Kesiapan kerja berupa kemampuan individu untuk fokus pada sifat-sifat
pribadi seperti sifat pekerja dan mekanisme pertahanan yang dibutuhkan,
bukan hanya untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi juga lebih dari itu yaitu
untuk mempertahankan suatu pekerjaan (Brady, 2010).
2.2.3 Aspek-Aspek Kesiapan Kerja
Menurut Brady (2010) terdapat enam aspek dalam kesiapan kerja
yakni:
a. Tanggung Jawab
Individu yang siap untuk bekerja memiliki keinginan untuk
bertanggung jawab terhadap pekerjaannya. Pekerja yang
bertanggung jawab datang tepat waktu dan bekerja sampai waktu
selesai. Misalnya bertanggung jawab terhadap peralatan dan
perlengkapan, memenuhi standar kualitas kerja, dan menjaga
kerahasiaan kebijakan organisasi. Tenggung jawab melibatkan
integritas pribadi, kejujuran, dan kepercayaan.
b. Fleksibilitas atau keluwesan
Fleksibilitas merupakan upaya individu untuk menyelesaikan diri
secara mudah dan cepat. Individu yang dapat beradaptasi dengan
perubahan dan tuntutan dari tempat kerja. Individu yang luwes
dapat menerima perubahan yang terjadi, baik itu perubahan yang
dapat diprediksikan atau perubahan yang tidak dapat diprediksi.
Selain itu individu dapat lebih aktif dan siap untuk beradaptasi
dengan perubahan pada jadwal kerja, tugas-tugas, dan jam kerja.
c. Keterampilan
Individu yang siap bekerja tahu akan kemampuan dan keahlian
yang mereka bawa ke dalam situasi kerja baru. Individu
26
mengetahui jika keterampilan yang mereka miliki akan mereka
pergunakan dilingkungan kerja. Individu mampu untuk
mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki untuk mengerjakan
tugasnya. Selain itu mereka juga harus mau mempelajari hal baru
yang dituntut perusahaan berkaitan dengan pekerjaan.
d. Komunikasi
Individu yang mampu berkomunikasi dengan baik akan lebih
mudah berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan kerja yang
baru. Individu mampu untuk mengikuti perintah, memahami
bagaimana cara meminta bantuan, dapat menerima kritik dan
masukan. Individu juga saling menghormati dan berhubungan baik
dengan rekan kerja.
e. Pandangan diri
Pandangan diri merupakan salah satu aspek yang penting dalam
komponen persiapan kerja, karena teori-diri memiliki peranan yang
penting dalam pemahaman terhadap individu dan bagaimana setiap
orang memandang dirinya dalam hidup dan situasi kerja.
Pandangan diri berkaitan dengan proses intrapersonal individu,
tentang keyakinana dirinya dan pekerjaan. Individu sadar dengan
kemampuan yang dimilikinya, keyakinan, penerimaan, dan rasa
percaya diri yang ada dalam diri mereka.
f. Kebersihan diri dan keselamatan
Individu dapat menjaga keberhasilan dan kerapihan pribadi, sehat
secara fisik dan mental. Mereka juga dapat mengikuti prosedur
keselamatan yang diminta.
Sementara itu Pool dan Sewell (2007) menyatakan bahwa secara
keseluruhan kesiapan kerja terdiri dari empat aspek utama, yaitu :
a. Keterampilan, kemampuan yang dibutuhkan untuk melaksanakan
beberapa tugas yang berkembang dari hasil pelatihan dan pengalaman
yang didapat. Keterampilan bersifat praktis, keterampilan interpersonal
dan intrapersonal, kreatif dan inovatif, berpikir kritis dan mampu
27
memecahkan masalah, bekerja sama, dapat menyesuaikan diri, dan
keterampilan berkomunikasi.
b. Ilmu pengetahuan, yang menjadikan pendidikan sebagai dasar secara
teoritis sehingga memiliki kemampuan untuk menjadi ahli sesuai
dengan bidangnya. Sebagai calon sarjana harus memiliki wawasan dan
pengetahuan yang luas.
c. Pemahaman, kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami
sesuatu yang telah di ketahui dan diingat, sehingga pekerjaannya bisa
dilakukan dan memeroleh kepuasan sekaligus mengetahui apa yang
menjadi keinginannya. Memahami pengetahuan yang telah dipelajari,
menentukan, memperkirakan, dan mempersiapkan yang akan terjadi,
dan mampu mengambil keputusan.
d. Atribut kepribadian, mendorong seseorang dalam memunculkan
potensi yang ada dalam diri. Kepribadian dalam lingkup sarjana adalah
etika kerja, bertanggung jawab, semangat berusaha, menajemen waktu,
memiliki kemampuan berpikir kritis, berkomunikasi, dan mampu
bekerja sama.
Penulis menggunakan aspek-aspek kesiapan kerja yang
dikemukakan Brady (2010) yakni: tanggung Jawab, fleksibilitas atau
keluwesan, keterampilan, komunikasi, pandangan diri serta kebersihan diri
dan keselamatan. Alasan penulis karena aspek ini sesuai dengan
kebutuhan penulis, dan aspek ini lebih tepat di gunakan untuk mengukur
kesiapan kerja pada mahasiswa tingkat akhir Fakultas Psikologi UKSW.
2.2.4 Peran dan Dampak Kesiapan Kerja
Memiliki kesiapan kerja merupakan nilai lebih bagi tenaga
kerja, karena tenaga kerja yang telah siap kerja akan lebih siap
menghadapi segala permasalahan yang timbul dalam pekerjaannya.
Pencari tenaga kerja akan mengutamakan calon tenaga kerja yang siap
kerja, karena hal itu merupakan investasi yang besar. Tenaga kerja yang
siap pakai biasanya mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang
tinggi yang akan berguna agar calon tenaga kerja mampu mengikuti
28
setiap kemajuan dari pengetahuan dan juga tidak ketinggalan informasi
tentang perkembangan teknologi yang setiap hari terus menerus berganti.
Selain itu tenaga kerja yang siap pakai juga mempunyai
kemandirian yang tinggi pula. Tanpa memiliki pengetahuan, pengalaman
dan kemandirian yang tinggi, akan sangat sulit bagi calon tenaga kerja
untuk dapat bersaing dengan calon tenaga kerja yang lain dalam
mencari lapangan pekerjaan, apalagi dunia kerja sekarang ini.
Peningkatan kemandirian, pengetahuan, dan pengalaman dapat dilakukan
dengan berbagai cara, salah satunya dengan Praktik Kerja (Caballero &
Walker, 2011).
2.2.5 Ciri-Ciri Kesiapan Kerja
Dalam rangka persiapan memasuki dunia kerja diperlukan suatu
kesiapan yang matang dalam diri mahasiswa itu sendiri, terutama
menyangkut ciri-ciri yang berhubungan dengan diri mahasiswa. Menurut
Anoraga (2005) ciri-ciri kesiapan kerja sebagai berikut:
a. Memiliki motivasi
Dalam pengertian umum, motivasi dikatakan sebagai kebutuhan
yang mendorong perbuatan ke arah suatu tujuan tertentu. Jadi
motivasi kerja adalah suatu yang menimbulkan semangat atau
dorongan kerja. Kuat lemahnya motivasi kerja seorang tenaga kerja
ikut menentukan besar kecilnya prestasinya.
b. Memiliki kesungguhan atau keseriusan
Kesungguhan atau keseriusan dalam bekerja turut menentukan
keberhasilan kerja. Sebab tanpa adanya itu semua suatu pekerjaan
tidak akan dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Jadi untuk
memasuki suatu pekerjaan dibutuhkan adanya kesungguhan, supaya
pekerjaanya berjalan dan selesai sesuai dengan target yang
diinginkan.
c. Memiliki keterampilan yang cukup
Keterampilan diartikan cakap atau cekatan dalam mengerjakan
sesuatu atau penguasaan individu terhadap suatu perbuatan. Jadi
29
untuk memasuki pekerjaan sangat dibutuhkan suatu keterampilan
sesuai dengan pekerjaan yang dipilihnya, yaitu keterampilan dalam
mengambil keputusan sendiri tanpa pengaruh dari orang lain dengan
alternatif-alternatif yang akan dipilih.
d. Memiliki kedisiplinan
Disiplin adalah suatu sikap, perbuatan untuk selalu tertib terhadap
suatu tata tertib. Jadi untuk memasuki suatu pekerjaan sikap disiplin
sangat diperlukan demi peningkatan prestasi keja. Seorang pekerja
yang disiplin tinggi, masuk kerja tepat pada waktunya, demikian
juga pulang pada waktunya dan selalu taat pada tata tertib.
2.3 KONSEP DIRI
Dalam sub pokok bahasan ini akan dijelaskan mengenai pengertian
konsep diri, teori konsep diri, aspek-aspek konsep diri, dampak dan peran
konsep diri.
2.3.1 Pengertian Konsep Diri
Konsep diri merupakan sebuah konstruk psikologis yang telah lama
menjadi pembahasan dalam ranah ilmu-ilmu sosial (Marsh & Hau, 2003).
Konsep diri merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri,
dimana persepsi ini dibentuk melalui pengalaman dan interprestasi
seseorang terhadap dirinya sendiri (Shavelson, Hubner, & Stanton, 1976).
Ditambahkan bahwasanya konsep diri merupakan nilai dari hasil proses
pembelajaran yang dilakukan dan dari hasil situasi psikologis yang
diterima (Marsh, 1990).
Menurut Purkey (1988), peran konsep diri merupakan totalitas dari
kepercayaan terhadap diri individu, sikap dan opini mengenai dirinya, dan
individu tersebut merasa hal tersebut sesuai dengan kenyataan pada
dirinya. Menurut Rice & Gale (1975) konsep diri terdiri dari berbagai
aspek, misalnya aspek sosial, aspek fisik, dan moralitas. Konsep diri
merupakan suatu proses yang terus selalu berubah, terutama pada masa
kanak-kanak dan remaja. Menurut Gage & Berliner (1998) selain
merupakan cara bagaimana individu melihat tentang diri mereka sendiri,
30
konsep diri juga mengukur tentang apa yang akan dilakukan di masa yang
akan datang, dan bagaimana mereka mengevaluasi performa diri mereka.
Konsep diri yakni respon seseorang terhadap situasi. Situasi dan
respon secara fisik dan simbolik serta konsep diri merupakan atribusi lain
untuk konsep diri seseorang (Combs, Courson & Parker, 1966). Konsep
diri sebagai organisasi semua pengalaman biologis dan lingkungan anak
karena ia telah ditafsirkan menjadi satu yang sangat terorganisir, sangat
terintegrasi, dan sistem multifase serta konsep diri sebagian dari sistem
yang paling sadar berupa produk dari semua perilaku (Gordon, 1966).
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwasanya
konsep diri adalah sebuah pandangan ataupun persepsi individu mengenai
dirinya sendiri yang terbentuk melalui interaksi dengan lingkungan serta
berpengaruh terhadap aktivitas kehidupan individu tersebut.
2.3.2 Teori Konsep Diri
Konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena
konsep diri merupakan kerangka acuan dalam diri individu ketika
berinteraksi dengan lingungan. Konsep diri mulai muncul berdasarkan
pendekatan teori behavioral dan kognitif sebagai sesuatu yang dilihat,
dipahami, dan dialami oleh individu yang diterima dan ditangkap diri atau
konsep diri dari seorang individu (Fitts,1971). Lebih lanjut konsep diri
mempunyai pengaruh kuat terhadap perilaku individu. Dengan mengetahui
konsep diri individu akan lebih memudahkan untuk meramalkan dan
memahami perilakunya. Jika individu mempersepsikan dirinya, bereaksi
terhadap dirinya, memberikan arti dan penilaian serta membentuk
abstraksi pada dirinya, maka hal ini menunujukkan suatu kesadaran diri
dan kemampuan untuk keluar dari dirinya sendiri untuk melihat dirinya
sebagaimana dia lakukan terhadap objek-objek lain yang ada dalam
kehidupannya. Konsep diri berpengaruh kuat terhadap perilaku seseorang.
Dengan mengetahui konsep diri individu, akan lebih mudah meramalkan
dan memahami perilaku individu. Pada umumnya perilaku individu
berkaitan dengan gagasan tentang dirinya sendiri (Fitts, 1971).
31
Menurut Watson (dalam Calhoun & Acocella, 1990) teori
behaviourisme, berupa perilaku yang terbentuk merupakan hasil suatu
pengkondisian. Hubungan berantai sederhana antara stimulus dan respon
yang membentu krangkaian kompleks perilaku. Rangkaian kompleks
perilaku meliputi; pemikiran, motivasi, kepribadian, emosi dan
pembelajaran. Ditambahkan oleh Skinner; Organisme akan membuat
hubungan dengan stimulus dan respon serta hasil yang akan didapatkan
bisa positif ataupun negatif. Selain itu teori konsep diri merupakan
serangkaian persepsi seseorang kepada diri sendiri. Jika konsep diri positif
maka akan berpegaruh pada pola pikir yang positif sehingga akanberhasil
didalam kehidupannya, sedangkan jika konsep diri negatif maka akan
berpengaruh pada pola pikir yang negatif sehingga akan cenderung ke arah
kegagalan di kehidupannya.
2.3.3 Aspek- Aspek Konsep Diri
Fitts & Warren (1996) membagi konsep diri dalam dua faktor
pokok, yaitu sebagai berikut:
a. Faktor Internal
Faktor internal atau yang disebut juga kerangka acuan internal
adalah penilaian yang dilakukan individu terhadap dirinya sendiri
berdasarkan dunia dalam dirinya. Faktor ini terdiri dari tiga Aspek:
1) Diri indentitas
Bagian diri ini merupakan aspek yang paling mendasar pada
konsep dan mengacu pada pertanyaan, “siapakah saya?” dalam
pertanyaan tersebut tercakup lebel-lebel dan simbol-simbol yang
diberikan pada diri oleh individu-individu yang bersangkutan
misalnya “saya ita”. Kemudian dengan bertambahnya usia dan
interaksi dengan lingkungannya, pengetahuan individu tentang
dirinya juga bertambah, sehingga ia dapat melengkapi keterangan
tentang dirinya dengan hal-hal yang lebih kompleks, separti “saya
pintar tetapi terlalu gemuk” dan sebagainya.
32
Pengetahuan individu tentang dirinya juga bertambah, sehingga dia
dapat melengkapi keterangan tentang dirinya dengan hal-hal yang
lebih kompleks, seperti “saya pintar tetapi terlalu gemuk” dan
sebagainya.
2) Diri pelaku
Diri pelaku merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya,
yang berisikan segala kesadaran mengenai “apa yang dilakukan
oleh diri”. Selain itu bagian ini berkaitan erat dengan diri identitas.
Diri yang adekuat akan menunjukan adanya keserasian antara diri
identitas dengan diri pelakunya, sehingga ia dapat mengenali dan
menerima, baik diri sebagai identitas maupun diri sebagai pelaku.
Kaitan dari keduanya dapat dilihat pada diri sebagai penilai.
3) Diri penerimaan atau penilai
Diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penentu standar, dan
evaluator. Kedudukannya adalah sebagai perantara (mediator)
antara diri identitas dan diri pelaku.
b. Faktor Eksternal
Pada Faktor eksternal, individu menilai dirinya melalui hubungan
dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal lain di
luar dirinya. Faktor ini merupakan suatu hal yang luas, misalnya diri
yang berkaitan dengan sekolah, organisasi, agama, dan sebagainya,
namun Faktor yang dikemukakan oleh Fitts adalah Faktor eksternal
yang bersifat umum bagi semua orang, dan dibedakan atas enam
aspek, yaitu:
1) Konsep diri fisik.
Merupakan pandangan, pikiran, penilaian, terhadap keadaan
dirinya secara fisik.
2) Konsep diri pribadi.
Merupakan pandangan, pikiran, perasaan, dan penilaian terhadap
keadaan pribadinya.
33
3) Konsep diri sosial
Berarti pandangan, pikiran, perasaan, dan peilaian terhadap
interaksi dirinya dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya.
4) Konsep diri moral etik
Merupakan pandangan, pikiran, perasaan dan penilaian terhadap
dirinya sendiri yang dilihat dari standar pertimbangan nilai moral
dan etika.
5) Konsep diri keluarga
Merupakan perasaan dan harga diri seorang individu terhadap
kedudukannya sebagai anggota keluarga.
6) Konsep diri akademik/ kerja
Merupakan pandangan, pikiran, perasaan, dan penilaian terhadap
dirinya berdasarkan akademik/ kerja.
Menurut Calhoun dan Acocella (1990) konsep diri memiliki tiga
dimensi yaitu: pengetahuan tentang diri sendiri, pengharapan tentang diri
sendiri dan penilaian tentang diri sendiri.
a. Pengetahuan (Knowledge)
Mengenai apa yang kita ketahui tentang diri kita, termasuk dalam hal
ini jenis kelamin, suku bangsa, pekerjaan, usia dsb.
b. Pengharapan (Expectation)
Pandangan tentang diri kita tidak terlepas dari kemungkinan kita
menjadi apa di masa mendatang. Pengharapan dapat dikatakan diri
ideal. Setiap harapan dapat membangkitkan kekuatan yang mendorong
untuk mencapai harapan tersebut di masa depan.
c. Penilaian (Estimation)
Penilaian menyangkut unsur evaluasi, seberapa besar kita menyukai
diri kita sendiri. Semakin besar ketidak-sesuaian antara gambaran kita
tentang diri kita yang ideal dan yang aktual maka akan semakin rendah
harga diri kita. Namun orang yang punya harga diri yang tinggi akan
menyukai siapa dirinya, dan apa yang dikerjakanya.
Penulis menggunakan aspek- aspek konsep diri yang di kemukakan
Fitss & Warren (1996) yaitu: diri identitas, diri pelaku, diri penerimaan,
34
konsep diri fisik, konsep diri pribadi, konsep diri sosial, konsep diri moral
etik, konsep diri keluarga, dan konsep diri akademik/ kerja. Alasan penulis
karena aspek ini sesuai dengan kebutuhan penulis dan aspek ini lebih tepat
di gunakan untuk mengukur konsep diri pada mahasiswa tingkat akhir
Fakultas Psikologi UKSW.
2.3.4 Dampak dan Efek Konsep Diri
Menurut Purkey (1988) konsep diri memiliki dampak diantaranya:
1. Dampak positif
Konsep diri yang positif akan memungkinkan seseorang untuk bisa
bertahan menghadapi masalah yang mungkin saja muncul, sehingga
akan membawa dampak positif bagi orang lain disekitarnya.
2. Dampak negatif
Konsep diri yang negatif akan memengaruhi baik itu hubungan
interpersonal maupun fungsi mental lainnya.
Konsep diri merupakan semua yang dipikirkan dan dirasakan oleh
individu, tentang kepercayaan dan sikap yang individu pegang tentang diri
mereka sendiri. Konsep diri secara umum memberikan gambaran
tentang siapa individu dan dianggap sebagai petunjuk pokok keunikan
individu dalam perilaku. Setiap individu akan cenderung mengembangkan
konsep diri sesuai dengan bagaimana ia melihat dirinya dan harapan ideal
tentang bagaimana dirinya, dengan hal lain maka yang akan termanifestasi
dalam perilakunya adalah bagiamana ia mampu untuk berperilaku
sebagaimana persepsi yang diterimanya baik itu dari diri sendiri, orang
lain, maupun diri ideal yang diharapkannya. Individu dengan gambaran
diri positif akan cenderung mengembangkan perilaku yang positif (penuh
percaya diri, mempunyai kemampuan problem solving dan lain-lain),
sedangkan individu yang mempunyai konsep diri negatif akan cenderung
memiliki sikap dan perilaku yang mengarah pada hal yang negatif (merasa
inferior, pesimis dan lain-lain). Konsep diri sebagai suatu sikap pandang
terhadap diri sendiri merupakan dasar bagi tingkah laku individu.
35
Bagaimana individu menerapkan perilakunya tergantung bagaimana ia
memandang dirinya sendiri baik dimasa sekarang maupun masa yang akan
datang.
2.4 DEFINISI MAHASISWA TINGKAT AKHIR
2.4.1 Definisi Mahasiswa
Mahasiswa artinya adalah siswa yang sedang mengarungi
pendidikannya pada jenjang perguruan tinggi. Sementara itu mahasiswa
tingkat akhir adalah mahasiswa yang sedang skripsi, menunggu ujian, dan
menunggu wisuda (Purwodarminto, 2002).
Ganda (2004), mahasiswa adalah individu yang belajar dan
menekuni disiplin ilmu yang ditempuhnya secara mantap, sedang
menjalani serangkaian kuliah, yang sangat dipengaruhi oleh kemampuan
mahasiswa itu sendiri, karena pada kenyataannya diantara mahasiswa ada
yang sudah bekerja atau disibukkan oleh kegiatan organisasi
kemahasiswaan.
2.4.2 Ciri- Ciri Mahasiswa
Mahasiswa merupakan anggota masyarakat yang mempunyai ciri-
ciri tertentu, antara lain (Kartono,1985):
1. Mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk belajar di
perguruan tinggi, sehingga dapat digolongkan sebagai kaum
intelegensia.
2. Yang karena kesempatan diatas diharapkan nantinya dapat
bertindak sebagai pemimpin yang mampu dan terampil, baik
sebagai pemimpin masyarakat ataupun dalam dunia kerja.
3. Diharapkan dapat menjadi daya penggerak yang dinamis bagi
proses modernisasi.
4. Diharapkan dapat memasuki dunia kerja sebagai tenaga yang
berkualitas dan profesional.
36
2.5 DEFINISI JENIS KELAMIN
2.5.1 Definisi Jenis Kelamin
Jenis kelamin adalah perbedaan yang khas antara pria dan wanita
atau antara organisme yang memproduksi sel telur dan sel sperma
(Chaplin, 1995). Selain itu, ditambahkan juga bahwa seks atau jenis
kelamin adalah sebuah perbedaan yang penting atau berarti antara pria dan
wanita pada sifat-sifat jasmaniah dan rohaniah (mentalnya). Sementara itu,
menurut Baron, Robert., & Byrne (2000) jenis kelamin didefinisikan
sebagai istilah biologis yang secara genetik menentukan perbedaan antara
pria dan wanita secara anatomi dan fisiologis. Baron dan Byrne juga
menjelaskan bahwa jenis kelamin berkaitan dengan peran, tingkah laku,
kesukaan dan atribut-atribut lain yang mendefinisikan pengertian pria dan
wanita dalam suatu kebudayaan.
2.5.2 Ciri-Ciri Jenis Kelamin
Ciri-ciri fisik pria diantaranya mempunyai lebaran bahu lebih besar
dari panggul, payudara tidak berkembang seperti wanita, suara keras atau
berat, glutea (pantat) sedikit berisi atau tidak sama sekali. Ciri-ciri fisik
wanita diantaranya yaitu mempunyai lebaran bahu lebih kecil dari
panggul, payudara yang berkembang mulai dari masa pubertas hingga
dewasa, suara halus atau lembut atau merdu, glutea (pantat) yang lebih
berisi (Aidil, 2005).
Selain ciri-ciri fisik tersebut, terdapat juga ciri-ciri psikis
(psikologis) yang membedakan antara pria dan wanita, dimana ciri-ciri
tersebut antara lain menunjukan bahwa pria memiliki sifat yang agresif,
tidak emosional, objektif, logis, dominan, ambisius. Wanita memiliki sifat
yang lemah lembut, cerewet, bijaksana, peka terhadap perasaan orang lain,
tertarik pada penampilan diri, mengungkapkan perasaan yang lemah
lembut, mudah menangis, kebutuhan akan rasa aman yang besar
(Rosenkrantz, dkk., dalam Sears, dkk., 1992). Menurut Dagun (1992), pria
memiliki sifat yang berbeda dengan wanita, diantaranya sangat bebas,
hampir memendamkan emosi, dapat membuat keputusan, mudah
37
memisahkan pikiran dan perasaan, tidak pernah suka penampilan, bebas
membicarakan seks dengan teman pria. Wanita memiliki sifat yang tidak
bebas, tidak memendamkan emosi, sangat mudah terpengaruh, sangat
ketergantungan, segan membicarakan seks dengan teman pria.
2.6 DEFINISI USIA
2.4.1 Definisi Usia
Usia adalah rentang kehidupan yang diukur dengan tahun, dikatakan
masa awal dewasa adalah usia 18 tahun sampai 40 tahun, dewasa Madya
adalah 41 sampai 60 tahun, dewasa lanjut >60 tahun, usia adalah lamanya
hidup dalam tahun yang dihitung sejak dilahirkan (Hurlock, 2004).
2.4.2 Jenis Perhitungan Umur atau Usia
a. Usia kronologis
Usia kronologis adalah perhitungan usia yang dimulai dari saat
kelahiran seseorang sampai dengan waktu penghitungan usia.
b. Usia mental
Usia mental adalah perhitungan usia yang didapatkan dari taraf
kemampuan mental seseorang. Misalkan seorang anak secara
kronologis berusia empat tahun akan tetapi masih merangkak dan
belum dapat berbicara dengan kalimat lengkap dan menunjukkan
kemampuan yang setara dengan anak berusia satu tahun, maka
dinyatakan bahwa usia mental anak tersebut adalah satu tahun.
c. Usia biologis
Usia biologis adalah perhitungan usia berdasarkan kematangan
biologis yang dimiliki oleh seseorang.
38
2.4.3 Ciri-Ciri Masa Usia Dewasa Awal
Hurlock (1999) mengungkapkan ciri-ciri masa dewasa awal, yaitu:
1. Masa pengaturan
Terkait dengan tanggung jawab pekerjaan dan hidup berumah
tangga, pada usia dewasa awal mulai mengadakan penjajakan
terhadap pemilihan pekerjaan maupun pilihan pasangan.
2. Usia reproduktif
Bagi sebagian orang-orang pada usia dewasa awal menjadi orang tua
merupakan satu diantara peranannya yang sangat penting dalam
hidupnya. Mereka harus mengambil peranan dalam hal melahirkan
dan membesarkan anak-anak mereka.
3. Masa bermasalah
Karena ketidaksiapan dalam menghadapi penyesuaian-penyesuaian
pada usia tersebut maka orang-orang pada usia dewasa awal akan
mengalami berbagai masalah.
4. Masa ketegangan emosional
Sekitar awal atau pertengahan umur 30 an kebanyakan orang muda
telah mampu memecahkan masalah-masalah mereka dengan cukup
baik, sehingga menjadi stabil dan tenang secara emosional jika
mereka tidak mampu memecahkan masalah-masalahnya maka akan
terjadi ketegangan emosi dalam bentuk keresahan.
5. Masa keterasingan sosial
Dengan berakhirnya pendidikan formal dan terjunnya seseorang
kedalam pola kehidupan orang dewasa, yaitu karier, perkawinan dan
rumah tangga maka hubungan dengan teman-teman kelompok
sebaya masa remaja menjadi renggang dan bersamaan dengan
keterlibatan dalam kegiatan kelompok diluar rumah tangga akan
terus berkurang sehingga akan merasakan kesepian.
Ditambahkan oleh Monks (2001) bahwa usia mahasiswa termasuk
ke dalam tahap realistik dalam pemilihan karir. Pada tahap ini mahasiswa
mencari lebih lanjut keputusan mengenai pekerjaan dengan cara: secara
39
intensif mulai mencari guna memperoleh pengetahuan dan pemahaman
mengenai pekerjaan (exploration), mempersempit pilihan pekerjaan dan
mempercayakan diri mereka pada pekerjaan tersebut (Rice, 1992).
2.7 HASIL-HASIL PENELITIAN SEBELUMNYA
2.7.1 Kesiapan kerja, Konsep Diri dan Kecemasan Dalam
Menghadapi Wawancara Kerja
Penelitian dari Stevens (1973) menunjukan terdapat pengaruh
signifikan antara cemas, konsep diri dan perilaku siap kerja. Individu yang
siap kerja memiliki pola pikir positif sehingga sukses wawancara kerja,
sementara individu yang pasif dan memiliki pola pikir negatif cenderung
gagal saat wawancara kerja. Mereka memiliki sedikit keberhasilan dalam
karir karena rasa cemas yang tinggi membuat individu tidak dapat
mengeksplorasi kemampuan yang dimiliki.
2.7.2 Kesiapan Kerja dan Kecemasan Menghadapi Wawancara Kerja
Penelitian Lowes, Omrin, Moore, Sulman, Pascoe, Mc Kee, & Gaon
(2016) tentang kesiapan kerja (ketrampilan wawancara kerja) terhadap
pengelolaaan kecemasan, refleksi diri dan komunikasi yang efektif. Hasil
penelitian ini menunjukkan pengaruh signifikan antara kesiapan kerja dan
kecemasan menghadapi wawancara kerja. Wawancara kerja merupakan
sumber kecemasan bagi siswa, dengan adanya kesiapan kerja (pelatihan
ketrampilan wawancara kerja) dapat meningkatkan kompetensi siswa
setelah lulus. Pendekatan terpadu yang menggabungkan kesiapan kerja
(ketrampilan wawancara kerja) dapat mengurangi kecemasan serta
bermanfaat bagi lulusan baru.
Penelitian dari Koen, Ute-Christine, Annelies, & Vianen (2012)
tentang masa transisi dari belajar ke bekerja sehingga individu merasa
cemas dalam menghadapi wawancara kerja maka diperlukan kesiapan
kerja berupa training atau pelatihan kerja. Penelitian ini menunujukkan
hasil yang signifikan antara kesiapan kerja dan kecemasan menghadapi
wawancara kerja, dengan hasilnya pada kelompok penelitian yang
40
mengikuti pelatihan melaporkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan
kelompok kontrol yang tidak mengikuti pelatihan. Sehingga disimpulkan
dengan kesiapan kerja dapat membantu individu dalam menghadapi
seleksi wawancara kerja dan dapat mengurangi kecemasan.
Penelitian dari Matthew, Laura, Michael, Neil, Michael, Emely,
Katherine, Dale, & Morris (2015) dalam penelitiannya tentang kesiapan
kerja, pelatihan wawancara kerja, kecemasan, dan percaya diri. Hasil
penelitian ini mengungkapkan sebelum diadakan pelatihan wawancara
kerja responden merasa kecemasannya sebesar 0,04 namun setelah
diadakan pelatihan menjadi 0,76. Skor kesiapan kerja meningkat secara
signifikan dari waktu ke waktu (R = 0,76), begitu juga faktor percaya diri
meningkat signifikan sebesar 0,58.
2.7.3 Konsep Diri dan Kecemasan Menghadapi Wawancara Kerja
Penelitian dari Vatankhak, Darya, Ghadami & Naderifar (2012)
tentang efektivitas pelatihan dapat meningkatkan ketrampilan komunikasi
dan mengurangi cemas, menaikkan konsep diri, serta harga diri pada
mahasiswa. Hasil penelitian menunujukkan terdapat pengaruh yang
signifikan sebesar F= 51.224 yang artinya dengan ketrampilan komunikasi
dapat mengurangi kecemasan saat diwawancara kerja sehingga menaikkan
konsep diri seseorang.
Penelitian Peeters & Lievens (2006) tentang manajemen perilaku
verbal dan non verbal saat situasi wawancara dapat mengurangi tingkat
kecemasan dan meningkatkan konsep diri. Penelitian ini menggunakan
sampel 190 untuk mengikuti program pelatihan wawancara yang hasilnya
terdapat pengaruh yang signifikan, dimana tingkah laku berfokus pada
konsep diri sedangkan situasi wawancara dapat dikontrol dengan taktik
khusus pelatihan secara verbal dan non verbal sehingga cemas yang
dirasakan menurun.
Menurut penelitian dari Levine, & Feldman (2002) tentang konsep
diri dan faktor kecemasan siswa teknik mesin dalam menghadapi tes
wawacara kerja di sebuah perusahan asing. Hasil tersebut menunjukkan
41
terdapat pengaruh negatif antara konsep diri dan kecemasan siswa dalam
menghadapi wawancara kerja telihat bahwa nilai koefisien korelasi
sebesar R= 0,78 (p< 0,05).
2.7.4 Kecemasan Menghadapi Wawancara Kerja dan Jenis kelamin
Penelitian dari Sahranavard, Hassan, Ehas, & Abdullah (2012)
tentang self concept, self efficacy, dan self esteem terhadap kecemasan
pada siswa di Iran yang hasil penelitiannya menunjukkan tidak terdapat
perbedaan kecemasan, baik laki-laki ataupun perempuan memiliki
kegelisahan yang sama. Di tunjukkan dengan nilai (F= 5,182, p < 0,01).
Penelitian dari Feeney, Mc Carthy & Goffin (2015) tentang
kecemasan menghadapi wawancara kerja pada laki-laki dan perempuan.
Penelitian Studi 1 menunujukkan kecemasan kinerja lebih kuat untuk laki-
laki dari pada perempuan. Kecemasan menunjukkan hubungan kuat
negatif dengan kinerja wawancara untuk laki-laki dibandingkan
perempuan. Penelitian Studi 2 menemukan bahwa wanita memiliki lebih
banyak orientasi efektif dalam mengatasi wawancara pekerjaan daripada
laki-laki.
Penelitian dari Sieverding (2009) tentang Jenis kelamin dan perilaku
kecemasan dalam mengikuti wawancara kerja pada remaja akhir. Hasil
penelitian menunujukkan terdapat perbedaan kecemasan antara laki-laki
dan perempuan sebelum dan selama wawancara kerja, yang hasilnya
menunujukkan bahwa 31 % perempuan lebih cemas dari pada laki-laki
yang hanya 16% tingkat cemasnya dalam menghadapi wawancara kerja.
Penelitian dari Wang, Xiujie, dan Changyuan (2010) tentang jenis
kelamin dan pelatihan ketrampilan komunikasi dalam mengurangi cemas
saat wawancara kerja pada orang cina dan amerika. Hasil penelitian
menunujukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara laki-laki dan
perempuan dalam hal kecemasan menghadapi wawancara kerja. Laki-laki
(58,9%) lebih cemas dalam menghadapi wawancara kerja dibanding
perempuan (41,1%).
42
2.7.5 Kecemasan Menghadapi Wawancara Kerja dan Usia
Penelitian lain dari Woodard (2004) tentang pengaruh kecemasan
menghadapi wawancara kerja, gender dan usia yang hasil penelitiaanya
menunjukkan terdapat perbedaan antara usia (<25) dan usia (>25)
ditunujukkan dalam studi (t= 0,03; p= 0,974) yang artinya usia (>25)
tahun lebih cemas dalam menghadapi wawancara kerja dibanding dengan
kelompok usia (<25) tahun.
Penelitian berbeda dari Candido & Jose (2011) tentang Jenis
kelamin dan umur perbedaan dalam respon kognitif, psiko-fisiologis dan
perilaku kecemasan terhadap wawancara pekerjaan pada remaja yang
hasilnya menunjukkan tidak ada perbedaan usia antara remaja laki-laki
dan perempuan dalam hal kecemasan terhadap wawancara kerja (x=
1.914, p= 0,38).
Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya, dan kajian tentang topik
sebelumya sehingga penulis tertarik meneliti kembali tentang kecemasan
menghadapi wawancara kerja namun dengan sampel dan metode yang
berbeda dari peneliti sebelumnya.
2.8 DINAMIKA ANTAR PEUBAH
Mahasiswa semester akhir berada pada masa dewasa awal.
Berdasarkan tugas perkembangannya, masa dewasa awal merupakan masa
peralihan dari ketergantungan dalam segi ekonomi, kebebasan
menentukan diri sendiri dan pandangan tentang masa depan yang realistik
(Hurlock, 1999). Mahasiswa yang telah memasuki masa tersebut
diharapkan telah mampu memenuhi tugas perkembangannya, jika
mahasiswa tidak mampu memenuhi tugas perkembangannya maka akan
memunculkan kecemasan.
Kecemasan dalam segi ekonomi dapat teratasi dengan bekerja,
kecemasan muncul karena tidak ada manusia yang sempurna, artinya
semua orang pernah mengalami situasi sulit. Ada beberapa orang yang
sebenarnya memiliki kemampuan dan pengetahuan standar, tetapi sangat
43
gampang memeroleh pekerjaan, bahkan beberapa kali pindah tempat kerja.
Sementara, beberapa orang lainnya yang memiliki kemampuan hebat dan
IPK yang tinggi, tak jarang usahanya kandas sampai ditahap tes
wawancara kerja. Bagi beberapa orang, wawancara kerja mungkin adalah
momok yang menakutkan. Kecemasan atau ketakutan yang muncul
sebelum atau pada saat wawancara itu memang wajar. Apalagi jika
seseorang belum memiliki pengalaman kerja atau baru pertama kali
melamar pekerjaan. Sebenarnya orang yang berulang kali melamar
pekerjaan pun bisa mengalami hal yang sama. Mungkin perbedaannya
adalah individu tersebut mampu mengelola emosi sehingga pengendalian
dirinya lebih terjaga. Hal itu dikarenakan individu tersebut sudah terlatih
menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan pewawancara (Heimberg,
Keller & Peca-Baker, 1986).
Salah satu faktor yang memengaruhi kecemasan dalam menghadapi
wawancara kerja adalah kesiapan kerja dari para pelamar kerja. Kesiapan
kerja sangat dibutuhkan ketika menghadapi wawancara kerja tidak hanya
hard skills atau kemampuan akademis, tetapi juga soft skills. Hal ini
dikarenakan kesiapan kerja adalah seperangkat keterampilan dan perilaku
yang diperlukan untuk bekerja dalam pekerjaan apa pun bentuknya. Tahap
seleksi wawancara merupakan tahapan yang harus dilewati pencari kerja
sebelum mendapatkan pekerjaan, hal ini sangat penting karena interviewer
akan menilai dan mengambil segala informasi yang dibutuhkan tentang
calon karyawan secara langsung. Tahap wawancara tidak akan melihat
seberapa bagus IPK dan pengetahuan calon karyawan, tetapi lebih
memerhatikan kesiapan calon karyawan dalam hal menjual kekuatan diri
dan meyakinkan para interviewer. Tujuan wawancara kerja adalah untuk
menilai sisi psikologis, perilaku, kepemimpinan, komitmen, kejujuran,
tanggung jawab, dan segudang nilai kebaikan yang masuk dalam penilaian
perusahaan. Fase ini merupakan tahapan yang menentukan sehingga
membuat calon karyawan menjadi cemas saat akan mengikuti sesi
wawancara kerja (Nasution, 2012).
44
Mahasiswa yang memiliki kesiapan kerja secara psikologis akan
dapat menaikkan performa kinerjanya sehingga saat menghadapi
wawancara kerja tidak akan cemas, sebaliknya jika mahasiswa belum
memiliki kesiapan kerja, maka dalam menghadapi wawancara kerja akan
merasakan cemas, yang ditunjukkan dengan telapak tangan berkeringat,
jantung berdebar-debar, perut sakit dan mulut kering saat ditanya oleh
pewawancara kerja. Menurut Kaplan, Sadock, & Grebb (1997) kecemasan
menghadapi wawancara kerja dapat berupa respon terhadap situasi tertentu
yang mengancam, dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai
perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau yang belum pernah
dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup. Namun
cemas yang berlebihan, apalagi yang sudah menjadi gangguan akan
menghambat fungsi seseorang dalam kehidupannya.
Kesiapan merupakan perangkat utama yang harus dimiliki para
pencari kerja agar lolos seleksi kerja. Agar para pencari kerja dapat lolos
seleksi kerja perlu adanya pemikiran yang positif akan kemampuan
dirinya, seperti kemampuan komunikasi yang baik, kemampuan adaptasi
dan interaksi serta memiliki konsep diri yang positif. Seseorang yang
merasa cemas saat wawancara kerja, biasanya akan mengakibatkan
berkurangnya rasa percaya diri dari individu yang bersangkutan dan akan
menimbulkan rendahnya penilaian individu tersebut terhadap dirinya
(konsep diri negatif). Sedangkan orang yang memiliki konsep diri positif,
biasanya akan mudah meminimalisir kecemasan yang dihadapinya. Jadi
jika seseorang memiliki konsep diri positif terhadap keberhasilan dalam
menghadapi wawancara kerja maka dia akan lolos dalam seleksi kerja
namun jika seseorang memiliki konsep diri negatif dalam menghadapi
wawancara kerja maka dia akan gagal dalam proses wawancara kerja
(Fitts & Shavelson, 1976).
45
2.9 MODEL PENELITIAN
Bagan 1 : Model Penelitian
2.10 HIPOTESIS PENELITIAN
Berdasarkan pendapat dan teori-teori tersebut, maka penulis
mengajukan Hipotesis empirik sebagai berikut :
1. Terdapat pengaruh simultan antara kesiapan kerja dan konsep diri
terhadap kecemasan menghadapi wawancara kerja pada mahasiswa
tingkat akhir Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga.
2. Terdapat pengaruh simultan antara kesiapan kerja dan konsep diri
terhadap kecemasan menghadapi wawancara kerja pada mahasiswi
tingkat akhir Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga.
Perempuan
< 25 > 25
Laki-laki
< 25 > 25
Kesiapan Kerja
(X1)
Konsep Diri
(X2)
Kecemasan
menghadapi
wawancara
kerja(Y)
46
3. Terdapat perbedaan kecemasan menghadapi wawancara kerja
ditinjau dari jenis kelamin pada mahasiswa tingkat akhir Fakultas
Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
4. Terdapat perbedaan kecemasan menghadapi wawancara kerja
ditinjau dari usia pada mahasiswa tingkat akhir Fakultas Psikologi
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.