19
BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevan Untuk membedakan penelitian yang berjudul “Relasi intertekstual Aspek- Aspek Religiusitas Novel Dalam Mihrab Cinta Karya Habiburrahman El-Shirazy dan Novel Syahadat Cinta Karya Taufiqurrahman Al-Azizy” dengan penelitian yang telah ada sebelumnya, maka penulis meninjau penelitian mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Skripsi berjudul “Kajian Aspek Religiusitas dalam Novel Cinta Suci Zahrana Karya Habiburahman El Shirazy” oleh Slamet Riyanto, NIM 0801040043, tahun 2012. Adapun hasil penelitiannya, sebagai berikut. Penelitian tersebut bertujuan untuk membuktikan adanya aspek religiusitas yang terkandung dalam novel Cinta Suci Zahrana karya Habiburahman El Shirazy. Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah deskriptif analisis sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif dan analisis yang berupa kata-kata tertulis dan bukan angka. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan religi yang menitikberatkan pada tujuan sastra sebagai salah satu media yang dapat mengantarkan seseorang untuk mencapai pengalaman religius. Kerangka filosofis yang digunakan adalah kerangka pemikiran religi yang berdasarkan pada ajaan islam yakni Al Quran dan Al Hadits. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa novel Cinta Suci Zahrana karya Habiburahman El Shirazy, memiliki aspek religiusitas yang meliputi takwa, ikhlas, khauf dan raja‟, tawakal, syukur, dan taubat. 5 Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013

BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevanrepository.ump.ac.id/6697/3/DENI ASRA BAB II.pdf · 5 BAB II LANDASAN TEORI. A. Penelitian yang Relevan . Untuk membedakan penelitian

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

5

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penelitian yang Relevan

Untuk membedakan penelitian yang berjudul “Relasi intertekstual Aspek-

Aspek Religiusitas Novel Dalam Mihrab Cinta Karya Habiburrahman El-Shirazy dan

Novel Syahadat Cinta Karya Taufiqurrahman Al-Azizy” dengan penelitian yang telah

ada sebelumnya, maka penulis meninjau penelitian mahasiswa Universitas

Muhammadiyah Purwokerto.

Skripsi berjudul “Kajian Aspek Religiusitas dalam Novel Cinta Suci Zahrana

Karya Habiburahman El Shirazy” oleh Slamet Riyanto, NIM 0801040043, tahun

2012. Adapun hasil penelitiannya, sebagai berikut.

Penelitian tersebut bertujuan untuk membuktikan adanya aspek religiusitas

yang terkandung dalam novel Cinta Suci Zahrana karya Habiburahman El Shirazy.

Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah deskriptif analisis

sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif dan analisis yang

berupa kata-kata tertulis dan bukan angka. Pendekatan yang digunakan adalah

pendekatan religi yang menitikberatkan pada tujuan sastra sebagai salah satu media

yang dapat mengantarkan seseorang untuk mencapai pengalaman religius. Kerangka

filosofis yang digunakan adalah kerangka pemikiran religi yang berdasarkan pada

ajaan islam yakni Al Quran dan Al Hadits. Hasil penelitian tersebut menunjukkan

bahwa novel Cinta Suci Zahrana karya Habiburahman El Shirazy, memiliki aspek

religiusitas yang meliputi takwa, ikhlas, khauf dan raja‟, tawakal, syukur, dan taubat.

5

Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013

6

Berdasarkan pemaparan penelitian terdahulu tersebut, ditemukan persamaan

dan perbedaan dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Persamaannya terdapat

pada bidang kajian yakni mengenai kajian tentang karya sastra yang mengandung

aspek religi. Sedangkan perbedaannya terdapat pada sumber data dan aspek

religiusitas yang dikaji. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa dua

novel yakni Dalam Mihrab Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy dan novel

Syahadat Cinta karya Taufiqurrahman Al-Azizy. Aspek religiusitas yang akan dikaji

dalam penelitian ini meliputi aspek ideologis, ritualistik, eksperiensial, intelektual, dan

konsekuensial.

B. Religiusitas Sastra

Kata religiusitas artinya bersifat religi, bersifat keagamaan yang bersangkut

paut dengan religi. Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2008: 1286) Religi

ialah kepercayaan akan adanya Tuhan.

Menurut Purwadi (2002: 29) secara bahasa, ada yang mengatakan bahwa

istilah religi itu berhubungan dengan kata religare, kata dari bahasa latin yang

mengikat, sehinggga religius berarti ikatan atau pengikat. Berhubungan dengan religi,

pada dasarnya manusia mengikat diri kepada Tuhan. Pada pokoknya religi adalah

penyerahan diri kepada Tuhan, dalam keyakinan bahwa manusia tergantung dari

Tuhan, bahwa Tuhanlah yang merupakan keselamatan sejati bagi manusia, bahwa

manusia dengan kekuatannya sendiri tidak mampu untuk memperoleh keselamatan

dan karenanya ia menyelamatkan diri.

Pada awal mula segala sastra adalah religius. Istilah religius membawa

konotasi pada makna agama. Religius dan agama memang erat berkaitan,

Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013

7

berdampingan, bahkan dapat melebur dalam satu kesatuan, namun sebenarnya

keduanya menyarankan pada makna yang berbeda. Agama lebih menunjukkan pada

kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi. Religiusitas

di pihak lain, melihat aspek yang di lubuk hati, riak getaran nurani pribadi, totalitas

kedalaman pribadi manusia. Dengan demikian, keduanya jelas memiliki makna yang

berbeda, meskipun saling berhubungan. Religius bersifat mengatasi lebih dalam dan

lebih luas dari agama yang tampak formal dan resmi (Nurgiyantoro, 2007: 326).

Kesusastraan menjadi religius jika didalamnya mempersoalkan dimensi

kemanusiaan dalam kaitannya dengan dimensi transendental. Kesusastraan religius

selalu membicarakan persoalan kemanusiaan yang bersifat profan dan ditopang nilai

kerohanian, yang berpuncak kepada Tuhan melalui lubuk hati terdalam

kemanusiaannya. Para penyair dan sastrawan yang mempunyai semangat religius

menyadari bahwa gejala-gejala yang tampak oleh mata dan pikiran ini (realitas alam

dan budaya) hanyalah ungkapan lahir atau simbol dari suatu kenyataan yang lebih

hakiki. Gejala lahiriah ini adalah amanat (ayat) Tuhan yang harus dibaca dan dihayati

secara mendalam, sebab tidak ada suatu realitaspun jika ia tidak ilahiah. Selain itu

karya sastra dapat dikatakan religius sebab di dalamnya mengandung moralitas.

Menghadapi karya sastra demikian pembaca sastra sering mengasumsikan bahwa

moralitas di dalamnya selaras dengan moralitas pengarang. Tuntutan pembaca seperti

itu amatlah wajar sebab pembaca yang baik tentu akan menilai-nilai kesungguhan

dalam karya itu, di samping kesungguhan moralitas yang sedang ditawarkan

pengarang (Wachid, 2002: 177-179).

Sastra yang religius memiliki karakteristik jelas yang membedakannya dengan

sastra yang lain, hal ini tidak lepas dari dasar (Islam) itu sendiri yang bersifat

Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013

8

ketuhanan dan sekaligus kemanusiaan. Akidah dan akhlak adalah karakteristik utama

dari sastra yang bernuansa Islam yang menjadi dasar dari semua tema genre sastra

bernuansa Islam. Dengan kata lain para sastrawan muslim mempunyai kewajiban

menjaga prinsip akidah dan akhlak di dalam proses penciptaan karya-karya sastra

mereka. Prinsip ini harus ditempatkan pada segala situasi dan kondisi karena

sastrawan yang sejati hidup dalam masyarakat yang harus selalu diarahkan ke jalan

Islam (Manshur, 2011: 166).

Para sastrawan yang mempunyai semangat religius menyadari bahwa gejala-

gejala yang tampak oleh mata dan pikiran (realitas alam dan realitas budaya) hanyalah

ungkapan lahir atau simbol dari suatu kenyataan yang lebih hakiki. Gejala lahiriah ini

adalah alamat (ayat) Tuhan yang harus dibaca dan dihayati secara mendalam. Hal ini

merupakan penjabaran dari Laa illallah illallah (Wachid, 2002: 178). Namun,

meskipun karya sastra religius Islam bermuatan pesan moral, sastrawan tetap

mempunyai kebebasan kreatif dalam pencarian bentuk seni, yang sejalan dengan

hakikat serta sistem kesusastraan, yakni indah dan bermafaat (dulce et utile).

C. Aspek-Aspek Religiusitas

Menurut R. Stark dan C.Y. Glock dalam Ancok dan Suroso (2008:80)

religiusitas (religiousity) meliputi lima dimensi (aspek) yaitu keyakinan beragama

(beliefs), praktik keagamaan (practice), rasa keberagamaan (feelings), pengetahuan

agama (knowledge), dan konsekuensi (effect) dari keempat dimensi tersebut.

Penjelasan singkat dari kelima aspek menurut Glock tersebut adalah sebagai

berikut:

Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013

9

a. Keyakinan beragama (beliefs) adalah kepercayaan atas doktrin teologis, seperti

percaya terhadap Tuhan, malaikat, hari akhirat, surga, neraka, takdir, dan lain-

lain. Ancok dan Suroso (2008: 77) menyatakan bahwa orang berpegang teguh

pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin

tersebut.

b. Praktik keagamaan (practice) merupakan dimensi yang berkaitan dengan

seperangkat perilaku yang dapat menunjukkan seberapa besar komitmen

seseorang terhadap ajaran agama yang diyakininya.

c. Rasa/pengalaman keberagamaan (feelings) adalah dimensi yang berkaitan dengan

pengalaman keberagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi dan sensasi-

sensasi yang dialami oleh seseorang yang beragama.

d. Pengetahuan agama (knowledge) merupakan dimensi yang mencakup informasi

yang dimiliki seseorang mengenai keyakinannya.

e. Konsekuensi keberagamaan (effect) merupakan dimensi yang mengacu pada

identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan

pengetahuan seseorang dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut hemat penulis, rumusan Glock dan Stark tersebut mempunyai

kesesuaian dengan pokok ajaran Islam, walaupun tidak sepenuhnya sama. Aspek

keyakinan beragama dapat disejajarkan dengan akidah, aspek praktek keagamaan

dapat disejajarkan dengan syariah, dan aspek pengalaman dapat disejajarkan dengan

akhlak.

Aspek religiusitas dalam Islam merupakan inti atau pokok ajaran Islam itu

sendiri. Menurut Basyir (2002:65-72) aspek ajaran Islam ada empat yaitu aspek

Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013

10

akidah (keyakinan), Ibadah (Praktik agama, ritual formal), akhlak (pengalaman dari

akidah dan syariah), dan muamalat (kemasyarakatan).

Penjelasan dari aspek akidah, ibadah, akhlak, dan muamalat tersebut sebagai

berikut:

1. Akidah

Bidang akidah berpokok pada rukun iman, yaitu ajaran tentang keyakinan

kepada kitab Allah, keyakinan kepada rasul Allah, keyakinan kepada hari

(kiamat), dan keyakinan kepada qadha dan qadar.

Dalam bidang akidah, akal tidak diberi kesempatan untuk menambah hal

yang bermaktub dalam Al Quran dan sunah Rasul, sebab bila dalam bidang ini

akal diberi kesempatan menambah hal baru, pasti akan terjadi penyelewengan

dari yang digariskan Al Quran dan sunah Rasul.

2. Ibadah

Yang dimaksud ibadah di sini bukan ibadah sebagai pengabdian

menyeluruh dalam kehidupan manusia kepada Allah. Tetapi ibadah yang khusus

merupakan upacara pengabdian yang bersifat ritual yang telah diperintahkan dan

diatur cara pelaksanaannya dalam Al Quran atau sunah Rasul, seperti: solat,

puasa, zakat, haji, dan sebagainya (rukun Islam).

3. Akhlak

Bidang akhlak merupakan aspek ajaran Islam yang sangat penting

peranannya dalam perjalanan kehidupan manusia, sebab akhlak memberi norma

baik dan buruk , dan menentukan apakah sesuatu itu baik atau buruk tidak selalu

tercapai persesuaiannya antara seseorang dengan orang lain, antara satu kelompok

dengan kelompok lain.

Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013

11

Anwar (2010: 90) menjelaskan mengenai akhlak terpuji dalam hal ini adalah

akhlak kepada Allah sebagai perwujudan nilai moral sebagai berikut:

a. Mentauhidkan Allah

Tauhid adalah pengakuan bahwa Allah SWT satu-satunya yang memiliki sifat

rububiyyah dan uluhiyyah, serta kesempurnaan nama dan sifat (Anwar, 2010: 90).

b. Berbaik sangka (Husnu zhann)

Berbaik sangka terhadap keputusan Allah SWT merupakan salah satu akhlak

terpuji kepada-Nya. Di antara ciri akhlak terpuji ini adalah ketaatan yang sungguh-

sungguh kepada-Nya.

c. Zikrullah

Mengingat Allah (zikrullah) adalah asas dari setiap ibadah kepada Allah SWT,

karena merupakan pertanda hubungan antara hamba dan pencipta pada setiap saat

dan tempat.

d. Tawakal

Hakikat tawakal adalah menyerahkan segala sesuatu kepada Allah „Azza wa jalla,

membersihkannya dari ikhtiar yang keliru, dan tetap menapaki kawasan-kawasan

hukum dan ketentuan. Dengan demikian, apa yang telah dikehendaki Allah SWT

untuk seorang hamba, maka ia akan memperolehnya. Sebaliknya, apa yang tidak

dikehendaki Allah SWT untuk hambanya, maka ia pasti tidak akan

memperolehnya.

Menurut Ilyas (2009: 17) akhlak terhadap Allah meliputi: takwa, cinta, dan

ridha, ikhlas, khauf dan raja’, tawakal, syukur, muraqabah, dan taubat. Penjelasan

terperinci dari masing-masing akhlak tersebut adalah sebagai berikut:

Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013

12

a. Takwa

Definisi takwa yang paling populer adalah “memelihara diri dari siksaan

Allah dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala Larangan-

Nya.” (Ilyas, 2009: 17).

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Suryana (2008: 117) bahwa takwa

adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah.

Razak (2010: 298) menjelaskan dalam pengertian umum takwa ialah sikap

mental orang-orang mukmin dan kepatuhannya dalam melaksanakan perintah-

perintah Allah serta menjauhi larangan-Nya atas dasar kecintaan semata.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut maka penulis menyimpulkan

bahwa takwa adalah suatu bentuk pendekatan diri seorang mukmin kepada Allah,

melaksanakan segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan Allah

SWT.

b. Cinta dan Ridha

Menurut Ilyas (2009: 24) cinta adalah kesadaran diri, perasaan jiwa, dan

dorongan hati yang menyebabkan seseorang terpaut hatinya kepada apa yang

dicintainya dengan penuh semangat dan rasa kasih sayang.

Sejalan dengan cinta, seorang muslim haruslah bersikap ridha dengan

segala aturan dan keputusan Allah. Hal itu berarti dia harus dapat menerima

dengan sepenuh hati, tanpa penolakan sedikitpun, segala sesuatu yang dating dari

Allah dan Rasul-Nya, baik berupa perintah, larangan ataupun petunjuk-petunjuk

lainnya (Ilyas, 2009: 28).

Suryana (2008: 55) mengemukakan bahwa ridha adalah tidak menentang

terhadap qadha dan qadar Allah, melainkan menerima dengan senang hati, oleh

Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013

13

karena itu seorang yang ridha akan merasa senang dan nikmat ketika mereka

menerima musibah sebagaimana sewaktu mereka menerima nikmat Allah SWT.

c. Ikhlas

Menurut Ilyas (2009: 28-29) secara etimologis ikhlas (bahasa Arab)

berakar dari kata khalasha dengan arti bersih, jernih, murni, tidak bercampur.

Setelah dibentuk menjadi kata ikhlas berarti membersihkan atau memurnikan.

Secara terminologis yang dimaksud dengan ikhlas adalah amal semata-mata

mengharapkan ridha Allah SWT (Ibid).

Dengan demikian, berdasarkan pendapat-pendapat tentang ikhlas yang

telah dikemukakan tersebut, penulis dapat menyimpulkan ikhlas adalah suatu

kesediaan berbuat tanpa pamrih dan setulus hati yang dilakukan oleh seseorang

karena keyakinannya pada Allah dan hanya semata-mata mengharapkan ridlo

Allah.

d. Khauf’ dan Raja’

Salah satu akhlak yang menunjukkan aspek religiusitas adalah khauf. Khauf

adalah semua rasa takut yang bersumber dari rasa takut kepada Allah (Ilyas,

2009: 38). Lebih lanjut Ilyas, khauf adalah kegalauan hati membayangkan sesuatu

yang tidak disukai yang akan menimpanya, atau membayangkan hilangnya

sesuatu yang disukainya. Jadi, khauf yang dimaksud disini adalah rasa takut

kepada Allah bukan kepada makhluk.

Raja‟ atau harap adalah memautkan hati kepada sesuatu yang disukai pada

masa yang akan datang. Raja’ harus didahului oleh usaha yang sungguh-

sungguh. Harapan tanpa usaha namanya angan-angan kosong.

Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013

14

Khauf dan raja‟ adalah sepasang sikap batin yang harus dimiliki secara

seimbang oleh setiap muslim. Apabila salah satu dominan dari yang lainnya maka

akan melahirkan pribadi yang tidak seimbang. Dominasi khauf menyebabkan

sikap pesimis dan putus asa, sementara dominasi raja‟ menyebabkan seseorang

lalai dan lupa diri serta merasa aman dari azab Allah. Sikap yang pertama adalah

sikap orang kafir dan yang kedua adalah sikap orang yang merugi.

e. Tawakal

Tawakal adalah membebaskan hati dari segala ketergantungan kepada

selain Allah dan menyerahkan keputusan segala sesuatunya kepada-Nya (Ilyas,

2009:44).

Suryana (2008:55) mengemukakan bahwa tawakal adalah menyerah kepada

qadha dan qadar Allah.

Sikap tawakal haruslah dimulai dengan kesungguhan, apabila kalau hanya

berpasrah diri dan menunggu nasib atas apa yang akan terjadi tanpa melakukan

usaha, maka hal tersebut merupakan salah satu bentuk kesalahpahaman yang fatal

dalam mengartikan tawakal.

f. Syukur

Syukur ialah memuji si pemberi nikmat atas kebaikan yang telah

dilakukannya. Syukurnya seorang hamba berkisar atas tiga hal, yaitu: mengakui

nikmat dalam batin, membicarakannya secara lahir, dan menjadikannya sebagai

sarana untuk taat kepada Allah (Ilyas, 2009: 50).

Jadi syukur itu adalah berkaitan dengan hati, lisan, dan anggota badan. Hati

untuk ma‟rifah dan mahabbah, lisan untuk menyebut nama Allah, dan seluruh

Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013

15

anggota badan untuk menggunakan nikmat yang diterima sebagai sarana untuk

menjalankan ketaatan kepada Allah dan menahan diri dari maksiat kepada-Nya.

g. Muraqabah

Menurut Ilyas (2009: 54) muraqabah berakar dari kata raqaba yang berarti

menjaga, mengawal, menanti, dan mengamati. Semua pengertian kata raqaba

tersebut disimpulkan dalam satu kata yaitu pengawasan, karena apabila seseorang

mengawasi sesuatu dia akan mengamati, menantikan, menjaga, dan

mengawalnya. Dengan demikian muraqabah juga bisa diartikan dengan

pengawasan.

h. Taubat

Taubat berasal dari kata taba yang berarti kembali. Orang yang bertaubat

kepada Allah SWT adalah orang yang kembali dari sesuatu menuju sesuatu,

misalnya kembali dari sifat-sifat yang tercela menuju sifat-sifat yang terpuji,

kembali dari larangan Allah menuju perintah-Nya (Ilyas, 2009: 57). Taubat

adalah meminta ampun yang tidak membawa kembali kepada dosa lagi. Taubat

merupakan bentuk cinta kepada Allah dan orang yang mencintai Allah akan

senantiasa mengadakan hubungan dan kontemplasi tentang Allah.

Apabila seorang muslim melakukan kesalahan atau kemaksiatan dia wajib

segera taubat kepada Allah SWT. Yang dimaksud kesalahan atau kemaksiatan di

sini adalah semua perbuatan yang melanggar ketentuan syariat Islam, baik dalam

bentuk meninggalkan kewajiban atau melanggar larangan, baik yang termasuk

dosa kecil atau dosa besar.

Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013

16

4. Muamalat (Kemasyarakatan)

Bidang muamalat ini mencakup pengaturan pergaulan hidup manusia di

atas bumi. Misalnya, bagaimana pengaturan tentang benda, tentang perjanjian,

tentang ketatanegaraan, tentang perjanjian, dan sebagainya.

Dalam bidang muamalat ini pada umumnya Al Quran memberikan

pedoman secara garis besar, sunah Rasul memberikan penjelasannya baik berupa

pedoman umum ataupun pedoman khusus yang diperlukan pada masa itu.

Tujuannya adalah untuk menanggapi perkembangan kehidupan umat manusia,

yang tidak pernah berhenti saat itu, Islam memberikan kesempatan kepada jiwa

ketentuan yang telah termaktub dalam Al Quran dan sunah Rasul.

Religius dapat dimiliki oleh pribadi beragama dan non agama. Oleh

karena itu, penulis perlu menggarisbawahi bahwa penelitian ini berkaitan dengan

religius pribadi beragama, yaitu Islam.

Keberagamaan dalam Islam bukan hanya diwujudkan dalam bentuk ritual

saja, tapi juga dalam aktivitas-aktivitas lainnya. Sebagai sistem yang menyeluruh,

Islam mendorong pemeluknya untuk beragama secara menyeluruh (kaffah).

Aspek-aspek religiusitas menurut Ridwan (2001: 89-90) adalah sebagai berikut.

1. Aspek ideologis adalah seperangkat kepercayaan (belief) yang memberikan

premis eksistensial untuk menjelaskan Tuhan, alam, manusia, dan hubungan

diantara mereka. Kepercayaan ini dapat berupa makna yang menjelaskan tujuan

Tuhan dan peranan manusia dalam mencapai tujuan itu.

2. Aspek ritualistik adalah aspek pelaksanaan ritual atau ibadah yang dianjurkan

oleh agama dan atau dilaksanakan oleh para pengikutnya. Aspek ini meliputi

Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013

17

pedoman-pedoman pokok pelaksanaan ritual dan pelaksanaan ritual tersebut

dalam kehidupan sehari-hari.

3. Aspek eksperiensial adalah bagian keagamaan yang bersifat afektif, yakni

keterlibatan emosional dan sentimental pada pelaksanaan ajaran agama. Inilah

perasaan keagamaan (religious feeling) yang dapat bergerak dalam empat tingkat:

konfirmatif, yaitu merasakan kehadiran Tuhan atau apa saja yang diamatinya;

responsif yaitu merasa bahwa Tuhan menjawab kehendak atau keluhannya;

eskatik yaitu merasakan hubungan yang akrab penuh cinta dengan Tuhan; dan

partisipasif yaitu merasa menjadi kawan setia, kekasih, atau wali Tuhan dengan

menyertai Tuhan dalam menyertai karya illahiah.

4. Aspek intelektual adalah pengetahuan agama apa yang tengah atau harus

diketahui orang tentang ajaran-ajaran agamanya. Seberapa jauh tingkat melek

agama (religious literacy) para pengikut agama yang diteliti; atau tingkat

ketertarikan mereka untuk mempelajari agamanya.

5. Aspek konsekuensial, disebut juga aspek sosial. Aspek ini merupakan

implementasi sosial dari pelaksanaan ajaran agama sehingga dapat menjelaskan

efek ajaran agama, seperti etos kerja, kepedulian, persaudaraan, dan lain

sebagainya.

D. Hubungan Intertekstualitas

Penelitian interteks merupakan usaha pemahaman sastra sebagai sebuah

“presupposition”, yakni sebuah perkiraan bahwa sebuah teks baru mengandung teks

sebelumnya. Hal demikian juga diakui oleh Roland Barthes, bahwa dalam diri

Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013

18

pengarang sesungguhnya telah penuh teks-teks lain, dalam dirinya penuh lapis-lapis

teks lain yang sewaktu-waktu dapat keluar dalam karyanya. Jika yang terungkap

dalam karyanya banyak memuat teks lain, memang akan kehilangan orisinalitasnya

(Endraswara, 2008: 133).

Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks

(lengkapnya: teks kesastraan), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan

tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti

ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan., (gaya) bahasa, dan lain-lain di antara teks

yang dikaji. Karya intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya tulis, ia

tidak mungkin lahirdari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua

konversi dan tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks

kesastraan yang ditulis sebelumnya (Nurgiyantoro, 2007: 50).

Karya sastra apapun jenisnya yang lahir dari tangan kreatif pengarang, pada

dasarnya selalu berada di tengah-tengah konteks atau tradisi kebudayaan. Dengan kata

lain, bagaimana pun karya sastra tidak akan lahir dari situasi kekosongan budaya.

Dalam hal ini, budaya tidak hanya berarti teks-teks kesastraan yang telah ada

sebelumnya, tetapi juga seluruh konvensi, atau tradisi yang mengelilinginya. Karena

tidak lahir dari situasi kosong budaya itulah, dipastikan karya sastra memiliki

hubungan erat dengan karya-karya lainnya. Hubungan itu harus dihubungkan secara

lebih luas karena hubungan itu tidak hanya dapat berupa persamaan (penegasan,

pengukuhan, penerusan), tetapi juga perbedaan (penyimpangan atau penolakan).

Keadaan inilah yang membuktikan bahwa karya sastra memiliki hubungan

intertekstualitas dengan karya sastra lain.

Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013

19

Menurut Suwondo (2003:137), karya sastra baru bermakna penuh (lebih

bermakna) setelah dihubungkan dengan karya sastra lain karena, pada hakikatnya,

karya sastra merupakan respon (serapan, olahan, mosaik, kutipan, tranformasi)

terhadap apa yang telah ada dalam karya sastra lain. Respon dari teks hipogram yang

dapat berupa kata, frase, atau kalimat, bentuk, gagasan, dan sejenisnya itu di dalam

teks tranformatif diolah secara kreatif sehingga kita (pembaca) sering tidak ingat lagi

apa hipogramnya. Perlu diketahui bahwa intertekstualitas bukanlah sekedar fenomena

yang berkaitan dengan pengidentifikasian kehadiran teks dengan kata lain, melainkan

juga dengan masalah interpretasi. Dikatakan demikian, karena kehadiran teks lain

dalam suatu teks akan memberikan suatu corak atau warna tertentu pada teks itu.

Interpretasi yang digunakan, berkaitan dengan pernyataan mengapa teks lain diserap,

dan apakah pengarang menerima, menegaskan, menentang, ataukah menolak. Di

sinilah kemudian muncul maksud atau idiologi tertentu berkenaan dengan teks yang

ditulisnya. Jika ditinjau lebih jauh lagi, beberapa pertanyaan itu sesungguhnya

berhubungan dengan proses resepsi (penerimaan) teks, yaitu bagi seorang (pengarang)

memerlukan teks. Oleh sebab itu, intertekstualitas pada dasarnya identik dengan teori

resepsi sastra, yaitu teori yang menanggapi respon pembaca.

Prinsip intertekstualitas pertama kali dikenal para peneliti Perancis dan

bersumber pada aliran strukturalisme Perancis yang dipengaruhi oleh para filsuf

Jaques Derrida. Pemikiran intertekstualitas ini kemudian dikembangkan oleh Julia

Kristeva melalui tulisannya “research for smanalysis”. Dalam tulisannya, Kristeva

mengatakan bahwa “setiap teks itu merupakan mosaik, kutipan-kutipan penyerapan,

dan transformasi teks-teks lain”. Dalam intertekstualitas Kristeva, setiap sastra harus

dibaca dan dihubungkan dengan latar belakang teks-teks lain karena tidak ada sebuah

teks yang benar-benar mandiri, dalam arti bahwa dalam penciptaan dan

pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks lain sebagai contoh dan

kerangka. Prinsip ini tidak menerangkan bahwa teks yang baru hanya mencontoh teks

lain atau mematuhi kerangka teks yang lebih dahulu ada, tetapi dalam arti setiap teks

baru memungkinkan terjadinya peresapan dan transformasi dari teks yang terdahulu.

Prinsip mosaik dari Kristeva adalah “setiap teks mengambil hal-hal yang bagus

dari teks lain berdasarkan tanggapan-tanggapannya dan diolah kembali dalam

karyanya atau teks yang ditulis oleh sastrawan kemudian”. Dengan demikian, prinsip

Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013

20

mosaik mengandalkan teks lain sebagai pecahan-pecahan keramik, marmer, batu, atau

gelas yang berwarna-warni dan kemudian diambil atau (diserap), serta ditata atau

dikombinasikan ke dalam ciptaan yang baru (ditransformasikan) berdasarkan rasa

keindahan sang seniman. Teori mosaik ini secara implisit menyatakan bahwa,

sastrawan itu memperoleh gagasan menciptakan karya setelah membaca, melihat,

meresapi, menyerap, dan kemudian memindahkan atau mengutip bagian-bagian

tertentu dari teks yang dibaca, didengar, dan diresapinya ke dalam karyanya, baik

secara sadar maupun tidak sadar.

Sedangkan, prinsip intertekstualitas adalah mempunyai fokus ganda, yaitu

meminta perhatian kita tentang pentingnya teks terdahulu sebab tuntutan otonomi teks

adalah menyesuaikan gagasan dan membimbing kita untuk mempertimbangkan teks

terdahulu sebagai penyumbang kode yang memungkinkan lahirnya berbagai efek

signifikasi (membawa makna atau lebih jauh pada fokus makna). Dengan demikian

konsep intertekstuaitas begitu sentral bagi setiap komunitas deskripsi semiotik

signifikasi sastra. Namun, terbukti sedikit sulit menerapkannya walaupun sudah diberi

contoh oleh Riffaterre (1978) dalam bukunya”Semiotics Of Poetry”.

Menurut Riffatere, teks tertentu yang menjadi latar penciptaan teks baru itu

disebut hipogram. Selain itu, teks yang menyerap (mentransformasikan) hipogram

disebut teks transformasi. Hubungan antara teks yang terdahulu dengan teks yang

kemudian ada disebut hubungan intertekstual. Intertekstual adalah fenomena resepsi

pengarang terhadap teks-teks yang pernah dibacanya dan dilibatkan dalam ciptaannya.

Hipogram ada dua macam, yakni hipogram potensial dan hipogram aktual

(Riffatere, 1978: 23). Hipogram potensial tidak eksplisit dalam teks, tetapi dapat

diabstraksikan dari teks. Hipogram potensial merupakan potensi sistem tanda pada

Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013

21

teks sehingga makna teks dapat dipahami sendiri, tanpa mengacu pada teks yang

sudah ada sebelumnya. Hipogram potensial adalah matrik yang merupakan inti dari

teks atau kata kunci, yang dapat berupa kata, frase, klausa, atau kalimat sederhana

(Pradopo, 2003: 13).

Hipogram aktual adalah teks nyata yang dapat berupa kata, frase, kalimat,

peribahasa, atau seluruh teks yang menjadi latar penciptaan teks baru sehingga

signifikasi teks harus ditemukan dengan mengacu pada teks lain atau teks yang sudah

ada sebelumnya. Teks dalam pengertian umum bukan hanya teks tertulis atau teks

lisan, tetapi juga adat-istiadat, kebudayaan, agama, dan bahkan alam semesta ini

adalah teks (Pradopo, 2003:132). Oleh karena itu, hipogram yang menjadi latar

penciptaan teks baru itu, bukan hanya teks tertulis atau teks lisan, tetapi juga dapat

berupa adat istiadat, kebudayaan, agama, bahkan dunia ini.

Tokoh pertama yang memperkenalkan konsep intertekstualitas ialah Mikhail

Bakhtin pada tahun 1926 dan sering disebut dengan sebutan Bakhtin Sahaja. Pada

awalnya Bakhtin menggunakan konsep dialog, sebagaimana telah diuraikan dalam

bukunya “The Dialogic Imagination” (1981). Bakhtin berpendapat bahwa semua

karya sastra dihasilkan berdasarkan pada dialog antara teks dengan teks lain. Dengan

perkataan lain, teori ini memperlihatkan hubungan antara teks dengan teks yang lain.

Pokok utama menurut Bakhtin dalam setiap karya itu berlaku dialog yang

menghubungkan antara teks dalam (unsur intrinsik) dengan teks luar (unsur ekstrinsik)

yang ada dalam karya sastra yang bersangkutan. Apa yang dimaksud unsur intrinsik

ialah aspek yang berkaitan dengan pembinaan sebuah karya sastra seperti estetika,

imaginasi, dan ilusi. Sementara unsur ekstrinsik merupakan teks sosial yang paling

erat kaitannya dengan pengalaman pengarang, ideologi, sejarah, moral, budaya, dan

Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013

22

sebagainya. Konsep dialog yang dimaksud Bakhtin adalah masuknya unsur-unsur luar

(ekstrinsik) dalam karya sastra. Pengarang mempunyai objek, tema, atau pemikiran

yang akan disampaikan dalam tulisannya. Namun, semuanya hanya bisa diolah

menjadi karya sastra dengan bantuan unsur-unsur luar. Bagi Bakhtin unsur luar ialah

apa saja yang dapat memberi sumbangan kepada pembaca sebuah karya sastra (Noor,

2006: 106).

Dalam keterangan yang lain, konsep dialog terjadi melalui pembacaan dan

pengalaman yang dialami oleh pengarang. Pengarang biasanya banyak membaca, oleh

karena itu, akan mempengaruhi daya kreativitasnya. Sewaktu membaca, pengarang

akan menemukan peristiwa, latar, gaya bahasa, cerita, dan berbagai aspek yang

terdapat di dalam cerita.

Secara tidak langsung Bakhtin memahami konsep dialog dengan penguasaan

pada pendekatan yang dikenali sebagai strukturalisme. Pendekatan strukturalisme

yang pada saat itu telah menguasai bidang sastra di Rusia. Di Barat menganggap

sebuah karya sastra mempunyai struktur yang berdiri sendiri, mandiri bahkan

mengutamakan kesatuan dan kesempurnaan. Komponen-komponen dalam membina

sebuah karya sastra.

Pada dasarnya teori dialog ini dapat dibagi menjadi tiga aspek yaitu yang

berlaku dalam diri pengarang, dalam teks itu sendiri, dan dalam diri khalayak atau

pembaca. Pengarang dalam proses penulisan atau proses mengarang akan senantiasa

melakukan dialog dengan teks lain. Sementara itu, sebuah teks juga akan berdialog

dengan teks asing atau teks yang pernah dihasilkan dan mengakibatkan berlakunya,

perubahan, penentangan, perluasan, dan sebagainya. Bagi pihak pembaca, teks sastra

akan selalu dihubungkan dengan teks-teks yang lain yang pernah dibaca.

Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013

23

Julia Kreteva kemudian menjadi tokoh yang mengambangkan teori Bakhtin ini.

Melalui bukunya Semiotike, Kristeva telah menjelaskan dan memperluas teori Bakhtin

ini melalui tulisan-tulisannya dalam bahasa Perancis dan kemudian diterjemahkan

dalam bahasa Inggris dengan judul “Desire In Languange: A Semiotic Aproach to

Literature and Art”.

Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013