Upload
others
View
13
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
14
BAB II
KEKERABATAN, LELUHUR, SIMBOL, DAN DIASPORA
Bab ini merupakan uraian teoritis, yakni bab yang saling terkait antara konsep yang
tertuang pada judul penelitian, yang kemudian dicoba untuk didekatkan secara teoritis, serta
memahami upacara adat mangongkal holi, maka penulis terlebih dahulu melihat teori-teori
mengenai ancestors dan relatives, pengertian dari upacara mangongkal holi, dan timbulnya
penggalian tulang belulang yang dilatarbelakangi oleh adanya suatu kepercayaan bahwa roh atau
sumangot1 leluhur yang sudah meninggal karena meraka masih berkuasa memberikan berkat
kepada seluruh keluarga yang ditinggal serta masih bisa berhubungan dengan orang yang hidup.
Sebagaian orang pada masa kini percaya, bahwa keberhasilannya dibidangnya sekarang ini
adalah berkat (pasu-pasu) dari arwal orang tua atau nenek moyang mereka yang sudah
meninggal sehingga merasa wajib untuk menggali tulang belulang mereka dan memasukkannya
ke dalam tugu yang sudah disediakan dengan suatu acara “mangongkal holi”.
Karena itu dalam bab dua penulis akan menguraikan beberapa persperktif tentang
genealogy menurut para ahli yang dipertegas oleh teori Eviatar Zerubavel mengenai leluhur dan
kerabat (genealogi, identitas, comunitas), alasan memilih teori Zerubavel ialah sebagai cermin
untuk menemukan kekerabatan dan upacara mangongkal holi bagi masyarakat Batak Toba.
Selain itu juga penulis menguraikan perspektif tentang simbol menurut Mircea Eliade, untuk
melihat mangongkal holi sebagai simbol kekerabatan bagi masyarakat Batak.
1 Roh leluhur yang sudah meninggal menduduki tempat khusus, terutama pada saat hidupnya tergolong
kaya, memiliki kekuasaan, dan keturunannya banyak, ia minta untuk disembah dan dihormati agar bisa ikut
memajukan kesejahteraan keturunannya.
15
2.1 Pengertian Tentang Leluhur, Garis Keturunan, dan Komunitas
Silsilah merupakan salah satu obsesi manusia yang dimana orang cenderung
mempercayai bahwa hal-hal yang biologislah yang telah menciptakan kehidupan dan
menatanya, dalam hal ini, maka Zerubavel menyikapi persoalan ini dari pandangan nature
dan culture, yang mengatakan bahwa secara nature manusia sama seperti alam semesta yang
dapat diklasifikasikan atau dimasukkan kedalam kelompok-kelompoknya. Seperti yang
dilakukan para ahli biologis yang telah membagikan makluk hidup kedalam kelas, klan,
suku, dan keluarga, seperti manusia dapat dimasukkan kedalam kelas mamalia atau yang
dikatakan Darwin bahwa manusia adalah evolusi manusia dari kera. Dalam kaitannya dengan
manusia mengenai silsilah dan komunitasnya, dia menjelaskan bahwa manusia dapat
melacak dan menemukan identitas silsilah dan komunitasnya secara genetic yang artinya
bahwa manusia dapat menemukan garis keturunannya lewat pertalian darah, dunia medis
belakangan ini telah mengembangkan hasil tes DNA yang dapat membuktikan siapa orang
tua dan saudara biologis seorang anak, selain itu juga dunia medis mengembangkan
penelitian tes kesehatan gen untuk melacak keberadaan penyakit keturunan dan menganalisa
watak dan kemampuan seseorang, maka dalam pandangan ini bahwa baik genealogy,
identitas, dan komunitas dapat dibuktikan lewat gen.2
Menurut Dawkins yang mengembangkan pandangan Darwin mengatakan bahwa yang
harus dilakukan pertama-tama ialah harus melihat spesies sebagai “komunitas keturunan”,
ada ikatan darah yang secara natural dimiliki oleh setiap spesies, sehingga dapat
menempatkan mereka secara bersama-sama walaupan mereka adalah objek yang tersebar
dimana-mana. Selain itu Dawkins memandang hal yang sama dalam evolusi, yang
2 Eviatar Zerubavel, Ancestor and Relatives: Genealogy, Identity, and Community (New York: Oxford
University Press, 2012), 60.
16
mengatakan bahwa satu-satunya yang paling pokok dalam mengelompokkan organisme ialah
atas dasar kedekatan kesepupuan, atau dapat dikatakan dengan melihat nenek moyang yang
sama dari organisme tersebut. Walaupun mereka terpisah tetapi tetap saja dapat dilacak
nenek moyang yang sama dari yang terdahulu karena memiliki sifat-sifat yang sama dari
nenek moyang. Sehingga dapat dikatakan bahwa spesies yang dianggap membagikan nenek
moyang yang terakhir maka ditempatkan di genus yang sama, dan spesies yang jauh
ditempatkan di dalam marga yang berbeda, selain itu jenis yang membagikan nenek moyang
baru maka ditempatkan pada keluarga bersama, serta yang lebih jauh maka ditempatkan di
keluarga yang berbeda dan seterusnya, maka dalama pandangan ini tepatnya lebih
menunjukkan adanya suatu pembuktian pada “ikatan darah” dan adanya pandangan akan
garis keturunan sebagai “garis darah”, sehingga relasi jalur keturunan tampak begitu biologis.
Maka yang disebut dengan keluarga, leluhur, dan keluarga besar ialah segala hal yang
berkaitan dengan darah, keluarga dipandang sebagai “ikatan sedarah” atau “komunitas
sedarah” serta komunitasnya dipahami dengan “saudara sedarah.”3
2.2 Leluhur dan Kerabat dalam Perspektif Eviatar Zerubavel
Zerubavel dalam bukunya dia mengutip pandangan Darwin dan Dawkins, yang
berpendapat bahwa pengklasifikasian yang benar ialah adanya suatu pertalian secara biologis
dan segalanya disusun dalam genealogi ketat agar menjadi natural, sehingga disebut sebagai
persekutuan anggota keturunan atau ikatan sedarah.4 Harus dalam sebuah keluarga kita bisa
menemukan leluhur yang sama dan sekaligus mempraktekkan kebiasaan serta norma-norma
3 Richard Dawkins, The Blind Wacthmaker: Why the Evidence of Evolations Reveals a Universe Without
Design (New York: W.W Norton, 2006), 367. 4 Zerubavel, Ancestors and relatives, 49.
17
yang dianut secara bersama, maka dengan pendekatan ini kita melihat keluarga dapat dibagi
menjadi dua bagian yaitu keluarga besar dan keluarga inti, keluarga inti memiliki anggota
yang lebih kecil dan keluarga besar memiliki anggota yang lebih banyak walau masih tetap
menganut leluhur dan kebiasaan yang sama, di sisi lain adanya akibat pengaruh culture ini,
maka kita bisa menangkap perluasan dari garis keturunan dan bentuk relasi, bila dalam inti
garis keturunan hanya pada ayah dan ibu kemudian pada anak-anak, maka dalam keluarga
besar kita dapat melihat adanya garis keturunan yang panjang dan lebih luas, kita tidak saja
hanya melacak siapa leluhur kita sampai garis atas melainkan juga kita mencari tahu siapa
yang menjadi sanak saudara kita kesamping. Maka dari pada itu kita tidak saja hanya
berbicara mengenai parenthood tetapi kita juga berbicara mengenai grandparenthood dan
sanak keluarga, selain itu kita juga tidak saja terjalin di dalam monolinear melain terjalin
dalam multilinear.5
Zerubavel mengatakan bahwa, persoalan mengenai identitas, genealogi, dan
komunitas, bukanlah persoalan biologis dan budaya saja, tetapi yang dilihat oleh Zerubavel
adalah biologi memberikan kita suatu gambaran yang tidak lengkap akan genealogi kita,
karena itu walaupun leluhur dan sanak family kita adalah suatu pemberian yang kita terima
secara genetis, tetapi tidak memberikan suatu petunjuk sejauh mana kita mengukur
pentingnya hubungan mereka pada kita, menurut Zerubavel bahwa persoalan evolusi tidak
selamanya ditentukan oleh persoalan biologis manusia, tetapi adanya suatu kepentingan yaitu
sebuah narasi yang menunjukkan kemampuan daya mencipta manusia dalam membangun
atau menghasilkan suatu identitas, garis keturunan, dan komunitas, lewat proses eliminasi
dan seleksi, di sisi lain Zerubavel juga mendorong kita untuk menguji lebih jauh mengenai
5 Zerubavel, Ancestors and Relatives, 49.
18
perihal dalam konsep kita tentang “keterhubungan”. Selain itu juga Zerubavel mengangkat
tentang realitas manusia mengenai migrasi dan pernikahan lintas budaya yang sudah banyak
terjadi, setiap manusia dapat berhubungan dengan banyak orang yang berasal dari
kemajemukan latarbelakangnya, karena itu, identitas, garis keturunan, dan komunitas
menjadi lebih kompleks daripada sekadar hubungan biologis selain itu Zerubavel
mengangkat kasus mengenai anak yang diadopsi atau anak dari hasil donor sperma yang
dimana secara gen tidak dapat dilacak siapa orang tua biologisnya, tetapi dalam hal ini belum
tentu membuat seseorang kehilangan identitas, garis keturunan, dan komunitasnya, sehingga
kedekatan genealogis tidak selamanya dinyatakan oleh kedetakan secara genetik dan relasi
tidak sama dengan kalkulasi atau perhitungan rumit genetik, maka dengan demikan bahwa
relasi dengan keterhubungan bukanlah suatu pemberian biologis melainkan sebuah
konstruksi sosial dan genealogi ialah buah dari adanya perjanjian dan persetujuan
sosiokognitif ketimbang seleksi alam.6
Zerubavel juga menjelaskan mengenai yang pertama dan yang utama, bahwa
genealogi merupakan cara berpikir manusia, apalagi karena manusia adalah makluk yang
selalu bertanya, maka berpikir genealogis ialah kekhususan kesadaran manusia, dengan
selalu bertanya maka manusia selalu berupaya untuk menyelami misteri yang ingin disadari
oleh manusia untuk menemukan suatu dasar berpijak yang akhirnya dia menyebutkan bahwa
sebenarnya apa yang kita butuhkan adalah pemahaman sosiologis akan leluhur dan
keturunannya.7
Keistimewaan dari manusia ialah memiliki imajinasi yang mampu untuk
membayangkan leluhur dan sanak familinya yang dihasilkan oleh pikirannya. Maka menurut
6 Zerubavel, Ancestors and Relatives, 25. 7 Zerubavel, Ancestors and Relatives, 4.
19
Zerubavel bahwa pikiran manusia mengandung “genealogical imagination” dan “imagination
community” kedua hal inilah yang mampu mendorong manusia untuk berpikir, mencari tahu,
dan menyelidiki, serta mengkostruksi dirinya untuk menemukan siapa leluhur dan sanak
saudaranya. Upaya untuk menemukan leluhur dan sanak saudara tentu saja diperlukan usaha
penelitian secara genetic atau budaya yang tidak dapat dibatasi oleh keduanya, sehingga
dengan terus bertanya, mengeksplorasi, dan mengkonstruksi maka manusia ingin memenuhi
terwujudnya suatu komunitas impian (imaginated community) yang terdapat dalam
pikirannya.
Dengan mengekplorasi, membayangkan, mengingat dan memilih siapa yang kita
jadikan sebagai leluhur kita, dari yang sezaman dengan kita, dan yang secara biologis
seketurunan kita, dapat dipertimbangkan menjadi sanak family. Dengan menguji diri melalui
bayangan genealogis bersama, untuk memperlihatkan adanya suatu usaha bagaimana kita
mengkonstruksi keluarga, suatu bangsa, dan suku yang dasarnya adalah komunitas yang
dibayangkan dalam pikiran kita. Zerubavel juga menolak pandangan yang selama ini
menerima leluhur, sanak family, dan galur keturunan sebagai taken for granted. Dalam
analisanya yang berangkat dari kongisi bahwa Zerubavel berupaya mengetehkan cara yang
berbeda untuk memahami suatu genealogi dan ritual yang terkait di dalamnya. Kognisi ialah
suatu kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang harus didapatkan dari proses berpikir
tentang seseorang atau sesuatu, maka proses yang harus dilakukan ialah memperoleh suatu
pengetahuan dan memanipulasi pengetahuan melalui aktivitas menganalisa, mengingat,
memahami, menilai, menalar dan sebagainya, sehingga kapasitas atau kemampuan kognisi
diartikan sebagai kecerdasan. Kepercayaan seseorang mengenai sesuatu, dapat
mempengaruhi sikap mereka, yang pada akhirnya mempengaruhi perilaku atau tindakan
20
mereka terhadap sesuatu, karena itu Zerubavel memperkenalkan pengeksplorasian “the
genealogical imagination” manusia untuk menjelaskan bagaimana sebuah genealogi,
komunitas, dan masyarakat dapat hadir serta menginterpretasikan mereka ialah suatu usaha
yang selalu dilakukan manusia setiap harinya di dalam kehidupannya.8
Dengan genealogi sebagai cara berpikir manusia, maka manusia selalu bekerja untuk
mewujudkan suatu komunitas impiannya, maka faktor ingatanlah yang memiliki peranan
penting, karena ingatanlah yang mendorong kita untuk merekonstruksi yang mana, yang akan
diterima kita sebagai leluhur dan bagaimana pengalaman sejarah mereka. Maka yang harus
dilakukan ialah melalui proses seleksi yang terjadi di dalam kita mengingat di alam pikir kita,
hal ini tidaklah saja membuat kita melewati batas genetis akan tetapi melewati batas kultural,
maka dalam hal inilah leluhur pada garis keturunan tidak lagi dibaca dari atas kebawah (top-
down) sebagaimana yang dilakukan orang ketika melihat silsilah tetapi adanya upaya upaya
dari bawah untuk merekonstruksi suatu garis keturunan dan anggota baik secara “nuclear
family” dan “extended family”. Dalam hal ini genealogi merupakan sebuah narasi yang ingin
mempertahankan dan melanjutkan suatu tema yang penting yaitu: kontinuitas, kehormatan,
kewibawaan, dan perjanjian serta tradisi-tradisi, dengan genealogi sebagai suatu narasi maka
kita tidak saja sedang merekonstruksi masa lalu tetapi sedang merekonstruksi kekinian kita
sekaligus membangkitan harapan, cita-cita, dan masa depan.9
Zerubavel dalam melihat suatu keadaan maka dia mengatakan bahwa logika sosial
lebih sering mengesampingkan realitas sosial daripada fakta-fakta biologis, tradisi sosial
“mengingat, melupakan, mengklasifikasi” yang lebih mempertajam cari kita untuk mencari
leluhur, mengklasifikasi sanak saudara, garis keturunan, dan kelompok etnis. Jadi genealogi
8 Zerubavel, Ancestors and Relatives, 11. 9 Zerubavel, Ancestors and Relatives, 32.
21
bukan hanya sekedar catatan para leluhur dan sanak family yang sebagaimana kita dapat lihat
selama ini, akan tetapi adanya suatu dorongan konstruksi sosial dan seberapa besar
penghargaan kita kepada mereka.10
Benedict Anderson mengatakan bahwa bukan dunia yang secara fisik dapat berubah
akan tetapi paradigma manusia dalam hal menata kehidupan juga terus berkembang.11
Anderson juga banyak melakukan penelitian mengenai peradaban bangsa-bangasa pasca
perang dunia pertama yang bukan saja memberikan dampak perubahan bagi negara-negara di
Asia tetapi juga di Eropa, bagaimana perkembangan manusia untuk membentuk suatu
komunitas itu terjadi karena manusia pada dasarnya belajar dari suatu peristiwa baik itu pada
masa lampau maupun pada masa kini yang kemudian membayangkan suatu kehidupan yang
akan hendak dijalani, dalam hal ini bukan saja tanpa suatu kesadaran tetapi karena manusia
memiliki kemampuan untuk menganalisa, mengingat dan mempertimbangkan segala
sesuatunya sehingga manusia melahirkan suatu perilaku sosial yang mengkonstruksi.12
Dengan adanya imajinasi inilah yang mendorong lahirnya imagined communities di
mana-mana, seperti di bangsa-bangsa, etnis atau keluarga. Manusia memiliku suatu
kumpulan atau kelompok, yang entah kelompok tersebut “bagi” atau “menentang” suatu
kemapanan yang ada pada saat itu seperti lembaga, strata masyarakat atau kebudayaan. Akan
tetapi manusia juga memiliki imangined communitiesnya sendiri.13
Di sisi lain sering kali kita menemukan adanya suatu penanda yang bukan semata-
mata bermaksud untuk membedakan dua keadaan zaman atau komunitas tetapi menunjukkan
adanya kecenderungan manusia tentang berdirinya suatu imagined communities akan adanya
10 Zerubavel, Ancestors and Relatives, 32. 11 Benedict Anderson, Imagined Comunities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism
(London: Verso, 2006), 5. 12 Anderson, Imagined Comunities, 5. 13 Anderson, Imagined Comunities, 5.
22
semua perubahan yang mendalam berasal dari kesadaran manusia yang juga disertai dengan
upaya melupakan. Setelah mengalami perubahan baik secara fisik dan emosional, maka
banyak hal yang tidak dapat diingat seperti kesadaran kanak-kanak yang justru dalam
keadaan itu kita memerlukan ingatan orang lain untuk merekonstruksi “kesiapaan kita”,
karena itu ada banyak hal yang tidak diingat maka identitas kita diriwayatkan atas dasar apa
yang kita ingat dan apa yang dilupakan. Jadi, karena itu identitas tidak berasal dari apa yang
kita ingat tetapi apa yang kita lupakan.14
Ada begitu banyak catatan yang dimulai dari leluhur atau orang tua atas pertimbangan
bagi identitas personal maupun kelompok sebagai sebuah narasi yang terkadang adanya suatu
pernyataan nama-nama leluhur dalam sebuah narasi genealogis yang bukan semata-mata
karena pertalian akan tetapi adanya suatu hal yang ingin dipertahankan dan diturunkan
kepada kita sehingga itu dapat memperkuat identitas baik secara personal maupun komunitas.
Anderson mengatakan bahwa narasi personal dapat lebih panjang akan tetapi narasi
komunitas dapat lebih luas, maka identitas personal memiliki awal dan akhir seperti tanggal
lahir dan matinya, tetapi suatu komunitas terus berkembang dan bergerak melewati personal
identitas.15
Usaha ini juga dilakukan oleh Zerubavel untuk melihat genealogi sebagai suatu
“narasi” sebagai upaya “doing genealogy” untuk mengingat dan menyeleksi garis keturunan
yang akan dipakai dan diikuti serta siapa leluhur yang akan diterima yang kemudian
menentukan bagian mana yang secara konsisten untuk dapat dipertahankan, maka dalam
“doing genealogy” sangat mungkin terjadi bahwa adanya manipulasi banyak hal dan bisa saja
kita memilih leluhur yang kasat mata, yang menonjol dan dianggap penting. Dalam
14 Anderson, Imagined Communities, 185. 15 Anderson, Imagined Communities, 187-189.
23
merekonstruksi kita bisa mengubah dan memanipulasi sejarah untuk disesuaikan dengan
agenda dalam kepentingan pribadi atau komunal, maka upaya ini akan terlihat jelas ketika
berhadapan hal-hal yang diutamakan.16
Di dalam pemikiran manusia, kita dapat merancang garis keterhubungan seorang
anak dengan saudaranya atau seorang anak dengan orang tuanya, tetapi pikiran manusia tidak
berhenti pada hubungan orang tua dan anak melainkan dengan kakek mereka, maka imajinasi
sangat membantu dalam membentuk istilah yang dipakai dalam garis keturunan, karena itu
pikiran kita tidak hanya melacak sampai batas orang tua tetapi sampai kepada “kakek” dan
“nenek”. Ungkapan ini membuat diri kita berada dalam relasi yang tak terpisahkan dan
membantu kita untuk memiliki suatu perasaan yang melekat dengan mereka.17 Dengan
demikian kita mampu membayangkan leluhur kita yang jauh sebelum kita dan memiliki
kesadaran akan adanya ketehubungan yang secara langsung di dalam garis keturunan.18
Dalam relasi sosial yang menjadi penanda sosial ialah keturunan seseorang, maka
dalam keadaan ini para keturunan tidak saja menjadi pewaris kekayaan leluhur tetapi
meliputi status sosial, politik dan reputasinya, dalam hal inilah kita bisa melihat kegunaan
genealogi ialah menyatukan anggota keluarga dari masa lalu hingga masa kini dan
mempertinggi status sosial sehingga kita dapat menjadikan leluhur sebagai sumber yang
secara sosial diwariskan kepada kita menjadi garis keturunannya. Eviatar Zerubavel dalam
memperluas ruang lingkup maka dia memperkenalkan sebuah konsep yang terdiri dari
braiding, clipping, pasting, lumping, splitting, stretching, dan pruning (meregangkan,
16 Eviatar Zerubavel, Ancestor and Relatives: Genealogy, Identity, and Community (New York: Oxford
University Press, 2012), 77. 17 Zerubavel, Ancestors and Relatives, 17. 18 Zerubavel, Ancestors and Relatives, 19.
24
memotong dan merekatkan, memangkas, mengepang, mengelompokkan, marginalisasi,
membagi, pemangkasan).19
Pertama Meregangkan: Untuk mempertinggi, martabat, wibawa, kedudukan, dan
legitimasi, maka kita meregangkan asal usul kita kebelang sejauh yang kita mau, seperti
orang kulit hitam yang terdapat di Amerika yang dipandang sebagai budak, tetapi dengan
cara meregangkan garis keturunan jauh sampai leluhurnya, maka dia dapat mengatakan
bahwa dirinya ialah orang merdeka, karena di Afrika leluhurnya adalah seorang kepala suku
dan orang merdeka. Selian daripada itu dengan cara meregangkan garis keturunan maka kita
dapat melakukan “out past” terhadap keturunan kita, misalnya dalam komunitas kita bisa saja
mengatakan bahwa kita lebih bangga menjadi keturunan kedelapan ketimbang keturunan
kelima karena mungkin pada saat itu terdapat musibah pada keturunan kelima, sehingga kita
menepatkan diri kita lebih tinggi dari mereka, selain itu peregangan juga telihat dalam suatu
wilayah yang terjadi antara Palestina dan Israel, yang saat ini Palestina menjadi rebutan
antara Israel dan Palestina yang dipengaruhi oleh peregangan garis keturunan oleh masing-
masing pihak.20
Kedua Memotong dan merekatkan: Dalam mengkonstruksi garis keturunan
seringkali melibatkan penekanan inkonsistensi, selain itu juga dalam upaya mempertahankan
“kemurnian garis keturunan” maka hal yang dianggap mengancam kontuinitasnya akan
dihapus dari narasi, upaya ini dilakukan agar menjaga kontuinitas sejarah dan terbebas dari
pengalaman masa lalu, upaya “memotong” tidak bisa dipisahkan dari mentalitas
“melekatkan” sebagai hasil dari peregangan sejarah, maka dalam upaya ini mirip dengan cara
pembuatan film yang dimana sudah ada scenario cerita yang ingin ditampilkan, kemudian
19 Zerubavel, Ancestors and Relatives, 78. 20 Zerubavel, Ancestors and Relatives, 80.
25
dilakonkan dan tentu untuk menjadi sebuah film yang akan diadakan proses editing, cutting,
pasting dan sensoring, maka hasilnya ialah sebuah konstruksi narasi genealogis yang terus
berkelanjutan.21
Ketiga Memangkas: Di satu sisi kita mengkendaki untuk adanya suatu kontuinitas
sejarah tetapi ada kalanya suatu waktu kita menginginkan terputus dari masa lalu. Untuk
memotong garis keturunan melibatkan suatu upaya yang disengaja untuk membatasi memori
genealogis kita atau orang lain. Sebagai usaha menjaga “kemurnian” garis keturunan, agar
tidak terkontaminasi oleh ikatan leluhur kepada individu atau suatu kelompok yang tidak
disukai, maka dengan cara meng-clipping kita dapat memisahkan leluhur yang dianggap
tidak menyenangkan dan dilupakan. Meng-clipping keturunan bertujuan untuk menciptakan
sebuah identitas yang baru, contohnya apabila ada leluhur yang pada masa lalu berkaitan
dengan suatu peristiwa maka kita dapat memutuskan leluhur dengan cara meng-clipping
mereka, selain itu juga dengan cara clipping berupaya untuk memasukkan diri sendiri atau
orang lain ke dalam suku lain, misalnya dengan mem-batak-kan seseorang yang bukan Batak
maka orang itu bisa saja terputus dari garis keluarganya yang akhirnya ia mendapatkan garis
keturunan baru.22
Keempat Mengepang: Untuk melihat garis keturunan kita tidak saja melihatnya
sebagai suatu jalinan unilinear akan tetapi tanpa sadar bahwa kita juga multilinear, ibaratkan
menjalin beberapa benang salam satu gulungan maka dapat menghasilkan seutas tali, dengan
demikian dapat terjadi dalam garis keturunan “perjalinan” menghasilkan suatu narasi
genealogis yang multilinear sebagai suatu originalitas yang terdiri dari banyak bagian. Usaha
“perjalinan mengandung banyak kesatuan dan keberagaman, dengan menyadari bahwa kita
21 Zerubavel, Ancestor and Relatives, 81. 22 Zerubavel, Ancestor and Relatives, 83.
26
berasal dari akar yang beragam maka kita melihat garis keturunan lebih kompleks dan
identitas kita sebenarnya terdiri dari banyak bagian.23
Kelima Mengelompokkan: Walau ada kesadaran akan keberagaman akan garis
keturunan dan sudah terjalin, tetapi relasi yang terdapat di dalamnya bisa saja renggang,
karena dalam lumping (gumpalan) penekanannya adalah suatu komitmen inklusivitas
genealogis. Leluhur tidak saja menyediakan suatu garis keturunan bagi anak-anaknya
ataupun sepupunya, akan tetapi harus terjamin bahwa mereka sungguh-sungguh berelasi dan
terhubungkan, sebagai contoh dalam kisah Yakub yang memiliki dua belas anak, yang dalam
hal ini Yakub tidak saja memastikan bahwa anak-anaknya bersaudara, akan tetapi dua belas
anak dan marga itu kemudian mengepal menjadi satu bangsa Israel, selain itu asosiasi kuno
dari Dorian; Aeolian, dan orang-orang Yunani Iionia dan anak-anaknya (Dorus dan Aeolus)
dan cucu (Ion) dari Hellen, yang kemudian mitosnya terpecah menjadi suku bangsa
Hellenik.24
Keenam Marginalisasi: Marginalizing merupakan salah satu cara untuk meniadakan
hal yang lain, yang melakukan hal ini tetap berbagi keturunan dengan yang lainnya, tetapi
kesannya bahwa mereka meresa adalah bagian inti dari garis keturunan itu dan sedangkan
yang lain hanyalah pinggirannya. Marginalisasi mengandaikan suatu pembedaan yang
mendasar antara “penerus” (yang akan menjadi ahli waris) di sisi lain membuat pihak lain
lebih rendah, misalnya dalam keluarga Abraham yang memiliki dua orang anak Ishak dan
Ismael tetapi yang dianggap penerus yang sesungguhnya adalah Ishak dan demikian juga
23 Zerubavel, Ancestor and Relatives, 84. 24 Zerubavel, Ancestor and Relatives, 86.
27
dengan perjanjian Allah serta tanah perjanjian yang sepenuhnya milik Ishak dan kemudian
diteruskan kepada keturunannya yaitu Yakub bukan Esau.25
Ketujuh Membagi: Meskipun dipahami bahwa manusia hidup di dalam kemajemukan
tetapi manusia tidak dapat melepaskan diri dari ke-eklusifan ditengah-tengah komunitasnya.
Salah satu cara manusia untuk melepaskan dirinya dari kepelbagaian alam semesta ialah
dengan berusaha untuk menempatkan ke-originalitasannya, yang membuat berbeda dari yang
lain. Dalam garis keturunan untuk menjaga eksklusifitas ialah dengan cara tidak berbagi
leluhur dengan yang lain, penganut ini menolak akan adanya leluhur bersama. Di sisi lain
untuk menampilkan suatu pohon keluarga yang terdiri dari batang dan cabang yang sama
dengan yang lain, pengikut cara ini lebih memilih membuat pohon keluarganya sendiri, maka
cara ini lebih menghormati leluhurnya dan lebih mengormati keberadaan orang lain.26
Kedelapan Pemangkasan: Bila dalam cutting dan clipping narasi sebuah genealogis
dibuat lebih pendek, tetapi dalam pruning narasi tersebu dibuat lebih sempit. Dengan cara
menghapus cabang-cabang leluhur dari ingatan garis keturunan, maka itu sebenarnya sudah
mengurangi hubungan multilinear dan secara bersamaan juga membuat kompleksitas sejarah
menjadi lebih sedehana, contohnya warga negara Australia yang berkulit putih akan
memangkas narasi genealigis dari para leluhur yang adalah orang Eropa untuk menekan rasa
malu karena leluhurnya ialah budak yang dibuang dan dihukum di tanah Australia. Bila
dilihat dari kepentingan sendiri maka yang adalah merupakan penolakan diri, karena yang
sebenarnya terjadi ialah warga kulit putih sedang meniadakan yang berkulit putih ketimbang
berkulit hitam.27
25 Zerubavel, Ancestor and Relatives, 95. 26 Zerubavel, Ancestor and relatives, 99. 27 Zerubavel, Ancertor and relatives, 102.
28
Jadi, pentingnya teori Zerubavel ialah memberikan suatu pandangan kepada kita
untuk dapat memahami leluhur dan garis keturunan, selain itu Zerubavel juga mengajak
orang untuk melihat persoalan geneologi, identitas, dan komunitas yang diekspresikan dalam
berbagai cara termasuk praktik budaya, cara berpikir manusia, selain itu prilaku manusia
yang terus merekonstruksi identitasnya menunjukkan proses kehidupan ini tidak pernah final,
akan tetapi selalu berkembang dan berubah, karena praktik budaya yang dilakukan manusia
hanyalah suatu demonstrasi dari apa yang dirancang manusia untuk menunjukkan suatu
keterhubungan dengan banyak pihak dan menjawab kebutuhan hidupnya.
2.3 Masyarakat Diaspora
Istilah kata diaspora berasal dari bahasa Yunani dan istilah ini pertama kali digunakan
pada masa penyebaran paksa orang Yahudi, menurut Kaldor bahwa ada dua tipe diaspora
pertama diaspora terkait dengan kaum minoritas yang hidup dengan ketakutan dan budaya
lokal yang lebih ekstrim daripada tempat asalnya. Kedua diaspora ini bukan minoritas akan
tetapi bergerak secara sporadis, perjuangan untuk mendapatkan identitas mereka seringkali
dihubungkan dengan konsep ruang dan waktu.28 Pada dasarnya diaspora melihatkan adanya
suatu kecemasan individu dalam berinteraksi. Disparitas yang berkembang kemudian terkait
erat dengan proses repartriasi yang dilakukan oleh para diaspora, karena diaspora
menekankan pada berbagai idealism atau nilai-nilai kolektif internal homeland yang terkait
dengan dorongan restorasi keamanan dan kesejahteraan.29
28 Mary Kaldor, The Politics of New Wars: New & Old Wars: Organized Violence in a Global Era,
(Cambridge: Polity Press, 2006),72-94. 29 R. Cohen, Global Diasporas: An Introduction. (London: UCL Press, 1997), 515.
29
William Sarfan mendefinisikan orang-orang diaspora dengan empat ciri utama yaitu
pengusiran dari homeland, perasaan senasib yang kolektif terhadap homeland, minimnya
proses integrasi politik di homeland, dan mitos mengenai berbagai keterkaitan antara
individu dan homeland.30 Istilah kata diaspora juga secara lebih luas menyangkut kepada
hubungan budaya yang terus terpelihara oleh orang-orang yang sudah menyebar ke seluruh
dunia.31
Hal ini juga kemudian diperkuat oleh Sheffer dengan mendefinisikan diaspora
modern sebagai emigran yang berasal dari suatu kelompok etnis yang meninggalkan tanah
airnya menuju ke negara lain karena adanya kekerasan atau yang lain hal, dan tetap
memelihara identitas kolektif mereka, dalam organisasi di daerah tujuan migrasi ada
beberapa motivasi, faktor pendorongnya, baik dari segi ekonomi maupun dari segi yang lain
yang menyebabkan terjadinya diaspora. Shaffer juga menggolongkan dua katogori diaspora
yaitu diaspora lama yang berada sebelum abad 21 dan diaspora baru yang berada setelah
abad 21.32
Kata diaspora berasal dari Yunani dias (melalui) dan speirein (menyebar atau
menabur), dengan makna terkait penyebaran atau proses pendistribusian benda-benda atau
manusia ke wilayah yang luas, atau penyebaran manusia yang besasal dari satu bangsa yang
mempunyai kesaamaan kebudayaann, istilah diaspora ini dialamatkan kepada persebaran
orang-orang Yahudi setelah penaklukan Babilonia dan Romawi terhadap Palestina, yang
kemudian penyebaran orang-orang Yahudi dan Armenia diakhir abad 20 tepatnya pada tahun
30 William Sarfan, “Diaspora in Modern Societies: Myths of Homeland and Return”, Journal Of
Transnational Studies vol 1 no 1, (1991): 83. 31 Devi Riskianingrum, Studi Dinamika Identitas di Asia dan Eropa (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014),
103. 32 Gabriel Sheffer, Diaspora Politics At Home Abroad, (England: Cambridge University Press, 2002), 18.
30
1965 yang merupakan kemunculan istilah Jewish Diaspora dan Black African Diaspora
konsep diaspora mengalami transformasi dari definisi yang sempit beralih kepada
pemahaman yang kompleks. Orang-orang Yahudi sering digunakan sebagai contoh karena
sering berpindah-pindah dengan diantaranya melalui paksaan, meskipun telah beberapa kali
orang Yahudi berpindah-pindah tetapi mereka tetap mempertahankan ikatan komunitasnya
yang kuat beserta dengan tradisi, budaya dan agama mereka, selain berusaha
mempertahankan ikatan dan identitas mereka, banyak diantara mereka yang berharap suatu
nanti kembali ketanah air untuk berkundung atau hidup selamanya.33
Sering kali dalam kehidupan masyarakat diaspora yang terdapat dalam suatu negara
dapat dikatagorikan sebagai masyarakat yang minoritas dan sebagai masyarakat yang sedikit
maka masyarakat yang mayoritas akan menaruh perasaan curiga bahwa kelompok minoritas
tidak memiliki kesetiaan dan mereka mengajukan agenda mereka, dalam hal ini dapat
mengganggu keamanan dan stabilitas di dalam suatu negara. Sehingga sering kali kaum
minoritas dianggap sebagai kaum yang lemah dan membutuhkan perlindungan dari kaum
mayoritas serta perlindungan tersebut dalam bentuk yang berubah-rubah dan bisa saja
menjadi suatu tekanan yang berdampak kepada penganiayaan.34 Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengupayakan suatu definisi bahwa “minoritas adalah suatu kelompok kecil yang secara
kualitas lebih kecil ketimbang dengan populitas yang ada di dalam suatu negara dan dalam
kedudukan yang tidak dominan yang kewargaannya berasal dari berbagai bangsa yang
berasal dari etnis dengan ciri agama dan bahasa yang membedakannya dari sebagaian besar
populasi dalam negara tersebut, sekalipun tersirat suatu solidaritas yang ditunjukkan oleh
kaum minoritas demi terpeliharanya kebudayaan, tradisi, agama, dan bahasa” maka
33 https://medium.com/@rizaldisiagian/diaspora-apa-sih-itu-7125df503b0a. diunduh, 23 Agustus 2017. 34 Hans Ucko, Akar Bersama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), 36.
31
sepanjang sejarah PBB anggotanya merasa bahwa suatu dukungan terhadap kaum minoritas
dapat menciptakan ancaman terhadap kesatuan dan integritas struktur suatu negara, jadi
mereka lebih cenderung memilih penyelesaiannya kepada upaya peningkatan kesadaran
tentang hak-hak asasi setiap individu.35
Umat Yahudi di dalam kehidupannya hampir hidup dalam suasana yang minoritas,
ketika zaman perbudakan di Mesir sampai zaman pembuangan di tanah Babel, sebagai
negara yang minoritas di setiap negara Eropa dan dibagian lain di dunia ini, memang ada
masa toleransi terhadap kehadiran Yahudi dengan cara penerimaan secara baik dan juga
diterma dengan sikap toleran atas kehadiran mereka tanpa sikap penerimaan yang tulus,
sebagai yang minoritas Yahudi hidup dalam kemurahan hati dari yang mayoritas sehingga
sering berlanjut kepada ketiadaan kemurahan hati sama sekali. Bagi orang Yahudi mudah
sekali untuk mengingat trauma pada masa lalu seperti: perang salib, siksaan di masa “maut
hitam” (sakit sampar yang menular pada abad ke-14), pada masa inkusisi, pengusiran dari
Spanyol, pemusnahan terorganisasi oleh Rusia kepada mereka yang pada akhirnya
pemusnahan dan pembakaran syoah/holocaust yang baik orang Yahudi sekuler maupun yang
taat beragama.36
Masyarakat diaspora adalah suatu penyebaran oleh kelompok baik itu secara agama
ataupun etnis dari tanah air mereka baik itu secara paksa atau sukarela dan masyarakat
diaspora ini tidak akan kembali ke negeri asal mereka karena sudah menganggap negara yang
mereka tinggalkan menjadi tanah air kedua bagi mereka. Merujuk dari kata diaspora, maka
ada pembeda antara diaspora dan pengungsi. Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata pengungsi
artinya ialah “orang yang mencari tempat yang aman ketika tempatnya terkena bahaya yang
35 Ucko, Akar Bersama, 37. 36 Ucko, Akar Bersama, 37-38.
32
mengancam”.37 Sementara seorang yang dikatakan diaspora ketika seseorang keluar dari
tempat asalnya kemudian bekerja selama 5-6 tahun dan persamaan antara diaspora dan
pengungsi ialah sama-sama memiliki kerinduan untuk kembali ke tanah air mereka,
kerinduan untuk pulang ke tanah air yaitu karena mereka ditempat rantau mengalami suatu
penindasan sehingga romantisme kehidupan di tanah leluhur menjadi kerinduan untuk bisa
kembali ketempat asal mereka.dengan mereka kembali ke tanah air mereka merupakan suatu
komponen yang penting bagi identitas diri sebagai subjek, dengan adanya tempat, maka
masyarakat dapat menemukan budaya, karena itu tempat tidak dapat dipahami di luar
konteks budaya.38 Dengan itu maka makna tempat dan ruang dikonseptualisasikan sebagai
ruang kebebasan manusia untuk melekat pada identitas satu dengan yang lainnya.39
Tempat asal dapat dihubungkan dengan dimana seseorang itu lahir dan tempat asal
juga dapat dihubungkan dengan suatu gambaran dimana terdapat suatu memori tersimpan
serta tempat asal menawarkan kenangan indah dan keramahan hidup yaitu hidup dalam
kondisi alam yang masih alami, suasana kekeluargaan bersama tetangga yang masih
dipelihara dan solidaritas dengan masyarakat.40 Keputusan seseorang untuk kembali ke
tempat asal yaitu agar tidak terputus hubungannya dengan tempat asal, untuk terikat dengan
budaya asal dan bahasa yang digunakan di tempat asal, ketika seseorang telah pergi lama ke
suatu tempat dan orang tersebut kembali ke tempat asal maka ia akan disambut oleh
keluarganya, kedatangannya ketempat asal berarti menggambarkan orang tersebut kembali
dalam cinta kasih kepada keluarganya.41
37 Yus Badudu, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 1994), 54. 38 Anastasia Christou, Narratives of Place, Culture and Identity (Amsterdam: 2006), 32. 39 Christou, Narratives of Place, 33. 40 Bell Hook, Belonging: A Culture of Place (New York: Routledge, 2009), 5,24. 41 Hook, Belonging, A Culture, 24.
33
Pada dasarnya bahwa diaspora adalah proses globalisasi dalam sisi ekonomi karena
kemungkinan di tanah mereka mata pencaharian tidak memenuhi kebutuhan mereka sehingga
mereka merantau ketanah orang untuk mencari perekonomian yang cukup, politik, bahkan
sosial dan pendidikan yang mereka lalukan. Berbagai hal yang berkembang bukan hanya
konflik dan kerjasama akan tetapi adanya suatu kompetisi antar entitas internasional.
Integrasi transnasional yang tidak lepas dari perpindahan mereka.
2.4 Simbol dan Komunikasi Mircea Eliade
Simbol dalam bahasa Yunani yaitu “sym-ballien” yang berarti melemparkan bersama
suatu (benda, perbuatan) yang dikaitkan dengan ide.42
Simbol menurut Eliade ialah suatu alat atau sarana untuk dapat mengenal yang kudus
dan transenden.43 Simbol mengambil peranan penting dalam pengalaman religius bukan
karena perubahan hierophani menjadi simbol, karena simbol mendukung hierophani, tetapi
yang pertama-tama ialah karena simbol mampu meneruskan hierophani dan bahkan menjadi
hierophani itu sendiri, karena itu simbol menyatakan suatu realitas sakral yang tidak dapat
dimanifestasikan oleh yang lainnya dan simbol juga menciptakan solidaritas permanen antara
manusia dengn yang sakral sehingga pada saat hierophani mendiami simbol, maka simbol
yang profan berubah menjadi sesuatu yang sakral dan simbol yang sebelumnya natural
menjadi sesuatu yang supranatural, itu diakibatkan karena fungsi simbol yang mengubah
suatu objek atau tindakan menjadi sesuatu yang lain dalam pengalaman profan, selain itu
juga karena hierophani, simbol dapat menjadi sesuatu yang sakral disebabkan “mitos”
mengenai simbol tersebut. Eliade mengatakan bahwa masyarakat Arkhais memandang mitos
42 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), 155. 43 P.S Hari Susanto, Mitos Menurut Pengertian Micea Eliade (Yogyakarta: Kanisius, 1987), 61.
34
sebagai sesuatu yang memiliki hubugan dengan yang di atas dengan mitos-mitos yang lain
untuk membentuk satu frame sebuah simbol. Berfungsinya simbol karena adanya suatu
keterkaitan dengan mitos-mitos yang lainnya, maka dunia berada di dalam suatu sistem yang
saling terkait dan bukan dunia yang chaos, karena simbol merupakan suatu realitas yang suci
atau kosmologis yang tidak dapat dinyatakan oleh manifestasi lainnya.44
Dalam bukunya bahwa Eliade mengeksplorasi tentang simbol-sombol religius, yang
menekankan bahwa apa saja dalam kehidupan ini bersifat biasa-biasa saja, akan tetapi ketika
ada waktu-waktu tertentu maka yang profan dapat ditransformasi kepada yang sakral,
contohnya seperti, sebuah benda, seekor binatang, nyala api, sebuah batu, atau bahkan
seorang manusia dapat menjadi tanda yang sakral asalkan manusia tersebut meyakininya, jadi
sebenarnya bahwa simbol memiliki karakter ganda yang dimana itu dapat sebagai dirinya
sendiri atau bahkan menjadi yang baru, sebuah batu yang biasa-biasa saja (natural), tetapi
pada saat yang bersamaan batu itu bisa menjadi sesuatu yang suci, karena hierophani yang
masuk kedalamnya, berubah menjadi sesuatu yang sakral (supranatural).45
Masuknya supranatural ke dalam yang natural disebut dengan “dialektika yang
sakral”. Pada dasarnya objek itu terbatas, akan tetapi karena objek itu memiliki sifat yang
lain maka objek itu mampu memperlihatkan pada orang beriman kehadiran yang sakral yang
dimiliki oleh objek tersebut, tetapi yang menjadi persoalan ialah bagaimana yang profan dan
sakral ini yang satu sisi bertentangan, tetapi di sisi lain mampu berkerja secara bersama,
Eliade mengatakan bahwa hal ini dapat terjadi dalam beberapa hal, karena rasio manusia
tidak bertanggung jawab atas perubahan proses pertukaran, simbol dapat mewujudkan
dirinya dalam imajinasi manusia yang biasanya muncul pada ide-ide konstradiksi yang
44 Mircea Eliade, Patterns in Comparative Religion (New York: Meridian Books, 1963), 445. 45 Daniel L Pals, Seven Theories of Religions (Yogyakarta: IRCiSoD, 2011), 254-255.
35
kemudian mengingat kembali seluruh aspek pribadi seperti emosi, keinginan, dan aspek alam
bawah sadar, yang sebagaimana pada pribadi manusia hasrat yang kontradiktif itu dapat
kumpul dan impian serta fantasi yang tidak logis itu dapat terjadi, karena dalam pengalaman
yang religius hal yang berlawanan (sakral dan profan) bisa saja bertemu, di sisi lain dalam
perjalanan intuisi dan imanjinasi, hal yang profan dan saja berubah menjadi hal sakral dan
yang natural dapat saja berubah menjadi yang supranatural.46
Ungkapan mendalam pengalaman manusia dilukiskan melalui simbol dan penciptaan
simbol, melalui bentuk simbollah manusia menanggapi hierophani, tidak hanya sekedar
dengan berusaha menghasilkan refleksi atau cerminan dari apa yang sudah dilihat dan di
dengar. Dengan kata lain kegiatan simbolik tidak bersifat univok, tetapi kegiatan simbolik
bersifat multivalen dan mengungkapkan segi-segi yang bersifat suci yang bervariasi.47
Dalam buku yang berjudul The History of Religion:Essay in Methodology, Eliade
menyebutkan bahwa ciri-ciri simbol yang multivalen dan metaempiris yaitu: menunjuk jauh
daripada dirinya sendiri kepada yang kudus seperti; dunia realitas tinggi, hidup yang lebih
mendalam, dan lebih misterius, selain itu simbol selalu berhubungan dengan pengalaman
manusia yang aktif, simbol selalu tertuju kepada suatu realitas yang melibatkan manusia itu
sendiri, dengan demikian bahwa simbol memberi arti dan makna dalam eksistensi manusia,
dengan melalui simbol keagamaan yang sangat autentik manusia dapat dibebaskan dari
isolasinya, subjektivitas atau pamrih dalam dirinya dibawa untuk masuk kedalam sikap
terbuka dan pada akhirnya memiliki kemampuan untuk mendekati yang universal.48
46 Pals, Seven Theories, 243. 47 Eliade, Patterns in Comparative, 446. 48 Mircea Eliade and J.M Kagawa, The History of Religion: Essay in Methodology (Chicago: Chicago
University Press, 1959), 103.
36
Eliade mengaju kepada dua fungsi simbol yang sangat penting tentang simbol
keagamaan yaitu pemaduan dan pendamaian, bahwa simbol keagamaan memampukan
manusia untuk menentukan kesatuan tertentu dunia dan pada saat yang sama membukakan
kepadanya dirinya sendiri tujuan hidupnya yang semestinya sebagai bagian integral dunia.49
Selain itu Geertz mengatakan bahwa simbol keagamaan adalah suci dan bersifat
normative serta memiliki kekuatan besar, kekuatan itu dari etos dan pandangan hidup yang
keduanya merupakan unsur yang hakiki bagi eksistensi manusia, ini merupakan sikap
mendasar dalam diri manusia terhadap dunia yang direfleksikan dalam kehidupan.50
Menurut Cassie bahwa manusia pada umumnya ialah animal symbolicum, karena
simbol adalah suatu tanda yang dapat menyatakan sesuatu yang hal atau maksud tertentu dan
simbol juga ialah sesuatu hal atau keadaan yang merupkan pengantara pemahaman terhadap
objek dan simbol sangat memegang peranan peting dalam kehidupan dan tingkah laku
manusia.51
Jadi simbol merupakan sarana penyatuan manusia dengan yang sakral, oleh sebab itu
Eliade yakin bahwa simbol adalah hakekat hidup religius yang dimana fungsinya sebagai
ungkapan ketergantungan manusia pada suatu realitas yang sakral dari suatu tujuan
metaempiris, tidak pernah disingkarkan ataupun dihancurkan, karena itu simbol selalu
kepada realitas dan situasi yang melibatkan eksistensi manusia dan sekaligus, memberi arti
atau makna ke dalam eksistensi manusia tersebut.
49 F.W Dillistone, The Power of Symbols (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 144. 50 Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 51. 51 Drs. Wahono, Fungsi dan Makna Simbolis Genta di Jawa Tengah (Jawa Tengah: Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, 2007), 125-126.