27
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS 2.1 Hakekat Perilaku Empati Istilah “Empati” pada sebagian masyarakat kita barangkali kurang begitu di kenal di bandingkan dengan istilah “Simpati”. Kalaupun dikenal maknanya sering disamakan dengan pengertian simpati. Hal ini tidak mengherankan, karena simpati lebih mudah dipahami dan lebih mudah dilakukan. Biasanya kedua term itu sering digunakan secara bergantian untuk menggambarkan perasaan ketidaknyamanan terhadap penderitaan orang lain. Para ilmuan sepakat bahwa empati lebih penting dari simpati. Pentingnya empati digambarkan oleh para ahli sebagai berikut : a. Empati sangat penting sebagai mediator perilaku agresif. Fesbach (Dalam Taufik,2012,45). b. Memilki kontribusi dalam perilaku proporsional Einsenberg (Dalam Taufik,2012,45). c. Berkaitan dengan perkembangan moral Hoffman, (Dalam Taufik,2012,45).. d. Dapat mereduksi prasangka (Taufik,2012,45). e. Dapat menimbulkan keinginan untuk dapat menolong (Batson & Ahmad, 2010)

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS 2.1 Hakekat Perilaku ...eprints.ung.ac.id/4137/5/2013-1-86201-111409008-bab2... · seseorang mempunyai tingkah laku tertentu. Maka anda akan dapat

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS

2.1 Hakekat Perilaku Empati

Istilah “Empati” pada sebagian masyarakat kita barangkali kurang begitu di

kenal di bandingkan dengan istilah “Simpati”. Kalaupun dikenal maknanya sering

disamakan dengan pengertian simpati. Hal ini tidak mengherankan, karena simpati

lebih mudah dipahami dan lebih mudah dilakukan. Biasanya kedua term itu sering

digunakan secara bergantian untuk menggambarkan perasaan ketidaknyamanan

terhadap penderitaan orang lain.

Para ilmuan sepakat bahwa empati lebih penting dari simpati. Pentingnya

empati digambarkan oleh para ahli sebagai berikut :

a. Empati sangat penting sebagai mediator perilaku agresif. Fesbach (Dalam

Taufik,2012,45).

b. Memilki kontribusi dalam perilaku proporsional Einsenberg (Dalam

Taufik,2012,45).

c. Berkaitan dengan perkembangan moral Hoffman, (Dalam Taufik,2012,45)..

d. Dapat mereduksi prasangka (Taufik,2012,45).

e. Dapat menimbulkan keinginan untuk dapat menolong (Batson & Ahmad, 2010)

2.1.1 Pengertian Perilaku Empati

Empati adalah sebuah keadaan emosi, tetapi memiliki komponen kognitif atau

kemampuan untuk melihat keadaan psikologis dalam diri orang lain.

Pendapat para ahli tentang empati:

a. Wispe (dalam taufik, 2012:37), kajian empati terfokus pada isu-isu yang

terkait dengan perilaku menolong.

b. Krebs (dalam taufik, 2012:37), menemukan bahwa respons-respons empati

dapat dikaitkan dengan perilaku menolong ketika menggunakan pengukuran-

pengukuran psikologis yang berkaitan dengan empati.

c. Hoffman (dalam taufik, 2012:37), menjelaskan bahwa dalam penelitian-

penelitian sosial empati telah digunakan untuk menjelaskan berbagai macam

bentuk perilaku menolong.

d. Allport (dalam taufik, 2012:37), mendefinisikan empati sebagai perubahan

imajinasi seseorang kedalam pikiran, perasaan, dan perilaku orang lain.

Dari berbagai definisi dapat disimpulkan bahwa empati merupakan suatu

aktifitas untuk memahami apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain,

serta apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang yang bersangkutan terhadap

kondisi yang sedang dialami oleh orang lain, tanpa yang bersangkutan kehilangan

kontrol dirinya.

2.1.2 Perkembangan Empati

Taufik (2012 : 88) Empati semakin menarik ketika pembahasan mengarah

kepada keberadaan, pembentukan dan perkembangannya. Untuk menjelaskan

ketiganya berbagai teori telah dimunculkan, mulai dari teori yang hanya bersifat

spekulatif hingga teori yang konstruktif yang didasarkan pada bukti–bukti empiris.

Dalam pembahasan ini akan membahas apakah empati itu ada dalam diri manusia

sebagai sesuatu yang “ being” ataukah “becoming”.

Konsep being dan becoming pada awalnya sangat dikenal dalam bidang

filsafat. Dalam kajian filsafat being dimaknai sebagai “mengada”, yaitu seseorang

menyadari eksistensi dirinya sebagai makhluk ciptaan Allah Awt, beserta segenap

tugas-tugas, hak dan tanggung jawab. Selain itu juga dimaknai sebagai kemampuan

seseorang dalam memahami realitas diri, dalam hal ini seseorang dapat dikatakan

telah “meng-ada” apabila ia dapat menerima kondisi dirinya sebagaimana adanya.

Sementara becoming dimaknai sebagai “menjadi“. Yang dimaksud “menjadi”

yaitu setelah seseorang menyadari eksistensi dirinya sebagai hamba Allah Swt,

selanjutnya ia akan melakukan aktualisasi fungsi dirinya. Dengan kata lain, mengada

bersifat kodrati, sedangkan menjadi dipengaruhi oleh lingkungan dan pengalaman.

Kedua konsep tersebut sejalan dengan konsep tempramen dan karakter, keduanya

adalah bagian dari kepribadian. Hanya saja karakter bersifat kodrati (mengada)

sedangkan karakter dipengaruhi oleh faktor pengalaman dan lingkungan sekitar

(menjadi).

Selain dibahas dalam konsep filsafat, keduanya juga dibahas dalam konsep

kepribadian, yang memiliki makna sedikit berbeda. Being dimaknai sebagai

pemberian yang berasal dari keturunan (genetis) atau dari Allah Swt, seperti karakter,

wajah, jenis suara, warna kulit, jenis kelamin, dan hal-hal lain yang bersifat kodrati.

Sebaliknya, becoming adalah “proses menjadi“, kondisi yang tidak berasal dari

pemberian maupun keturunan tetapi berasal dari suatu proses hidup yang dipengaruhi

oleh pengalaman, pengetahuan, dan kemauan keras yang bersangkutan untuk

mewujudkannya.

Sehubungan dengan konsep empati ini, muncul pertanyaan apakah empati itu

termasuk dalam kateori being ataukah becoming ? dengan kata lain, apakah emapti itu

diturunkan (dibawa sejak lahir) ataukah dapat dipelajari atau diajarkan? para

teoritikus awal memandang empati sebagai trait atau karakter yang stabil, dapat

diukur, namun tidak dapat diajarkan. Cronbach dan Hogan (Dalam Taufik, 2012 :

89).

Sementara itu, para peneliti yang lain menemukan bahwa treatmen-treatmen

yang diarahkan kepada pembelajaran empati dapat meningkatkan kemampuan

empati. Penelitian yang dilakukan menemukan bahwa ekspresi-ekspresi yang

ditunjukan oleh orang tua kepada anak–anaknya dapat menjadi model atau sarana

bagi anak–anak untuk meningkatkan empati dan perilaku prososialnya. Dalam

penelitian lainnya ditemukan ketika guru–guru menanamkan nilai–nilai empati

kepada murid–muridnya, para murid lebih suka mengadopsi nilai–nilai empati itu

dengan cara mencontoh perilaku sang guru dan menerapkan nilai–nilai empati yang

di ajarkan (Taufik,2012). Pelatihan tentang nilai–nilai empati dapat digunakan untuk

mengasah perasaan, pemahaman, dan perilaku empati.

Bukti–bukti penelitian yang datang kemudian itu telah menolak steatmen awal

yang menyatakan bahwa empati tidak dapt diajarkan. Tentunya hal ini sangat

tergantung dari model pembelajaran yang diberikan. Apabila model yang digunakan

itu jelas–jelas tidak mengandung aspek–aspek empati tentunya pembelajaran akan

gagal. Bahkan penelitian yang dilakukan oleh Kremer dan Dietzen menunjukan

bahwa keteladanan dari para guru atau orang tua dapat menjadi sarana untuk

meningkatkan empati. Artinya pembelajaran empati tidak memerlukan media yang

spesifik, melainkan berbagai media pun asalkan mengandung faktor–faktor empati

dapat digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan empati.

2.1.3 Aspek – Aspek yang dapat Meningkatkan Perilaku Empati.

Aspek–aspek yang dapat meningkatkan perilaku empati menurut

Goleman (http://shohibumm.wordpress.com/2011/10/09/empati dan perilaku-

prososial/ ).

1. Menghidupkan Perilaku Empati

Empati adalah sikap yang mengagumkan. Empati berbeda pengertiannya

dengan sikap simpati. Simpati merupakan kesepakatan penilaian terhadap orang lain.

Sedangkan empati lebih menekankan pada mengerti orang lain, memahami kondisi

orang lain secara emosional dan intelektual. Menggunakan ketajaman mata hati untuk

memahami pikiran orang lain, memperhatikan kebutuhan orang lain, dan berusaha

melihat kesulitan orang lian.

Empati itu di bangun dari kesadaran diri, semakin terbuka kita terhadap emosi

diri sendiri, semakinterbuka kita terhadap emosi diri sendiri, semakin terampil kita

memahami kerangka pikiran orang lain. Sederhananya, bersikap empati itu dapat

memandang keluar melalui kerangka pikiran orang lain, perasaan orang lain atau

melihat dunia dan hubungan dengan orang lain melalui kacamataorang lain.

2. Cara yang Dapat Meningkatkan Perilaku Empati

a. Menumbuhkan pemahaman dan perasaan dari dalam jiwa kita.

b. Menanamkan tekat dari dalam hati untuk mengutamakan orang lain.

c. Memilki kerendahan hati.

d. Kesediaan berbagai kebaikan dengan orang lain.

e. Memiliki kesediaan hati berbagi kegembiraan disaat memperoleh kemenangan.

f. Memberikan dorongan di saat orang lain mengalami kesulitan.

3. Memperbaiki Perilaku Empati

Di bawah ini terdapat beberapa petunjuk untuk memperbaiki perilaku empati

adalah sebagai berikut :

a. Belajar mendengar pendapat orang lain, walaupun kita tidak setuju dengan apa

yang dikatakan dan biarkan orang lain menyelesaikan apa yang dikatakannya

dan ajukan pertanyaan sebelum memberikan penilaian.

b. Dalam menilai orang lain janganlah hanya didasarkan pada tampak luar saja.

Jauh lebih penting lagi mengetahui sikap dasar seseorang dan itu hanya akan

didapat melalui pembicaraan dan tanya jawab yang menarik.

c. Dalam suatu pembicaraan jika anda mengetahui bahwa pendapat seseorang

bertentangan sama sekali dengan pendapat anda analisislah kenapa orang ini

mempunyai pendapat yang berbeda dengan anda.

d. Bertanyalah pada diri anda mengapa dalam suatu situasi tertentu anda

memberikan reaksi tertentu. Dengan mengetahui latar belakang tingkah laku

anda sendiri, maka akan mudah untuk menempatkan diri anda dalam

kedudukan orang lain.

e. Cobalah mencari sebanyak mungkin keterangan tentang seseorang sebelum

melakukan peenilaian tentang orang lain. Jika anda mengetahui mengapa

seseorang mempunyai tingkah laku tertentu. Maka anda akan dapat menilainya

dengan lebih tepat. Dan juga sikap anda terhadapnya juga akan lebih sesuai.

f. Ingatlah selalu bahwa orang dipengaruhi oleh perasaan dan selanjutnya

mempengaruhi tingkah lakunya.

2.1.4 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Perilaku Empati

Mempraktekan empati jauh lebih mudah dibandingkan memahami dan

menjelaskan bagaimana prosesnya. Banyak pendapat dalam mengemukakan empati,

di antaranya mengatakan proses empati tergantung dari sudut pandang apa kita

mendefinisikan konsep empati.

Beberapa faktor, baik psikologis maupun sosiologis yang mempengaruhi pros

es empati oleh Daniel ( http://shohibumm.wordpress.com/2011/10/09/empati-dan-

perilaku-prososial/).

a. Sosialisasi

Dengan adanya sosialisasi memungkinkan seseorang dapat mengalami

sejumlah emosi, mengarahkan seseorang untuk melihat keadaan orang lain

dan berpikir tentang orang lain.

b. Perkembangan kognitif

Empati dapat berkembang seiring dengan perkembangan kognitif yang

bisa dikatakan kematangan kognitif, sehingga dapat melihat sesuatu dari

sudut pandang orang lain.

c. Mood and Feeling

Situasi perasaan seseorang ketika berinteraksi dengan lingkungannya

akan mempengaruhi cara seseorang dalam memberikan respon terhadap perasaan

dan perilaku orang lain

d. Situasi dan Tempat

Situasi dan tempat tertentu dapat memberikan pengaruh terhadap proses

empati seseorang. Pada situasi tertentu seseorang dapat berempati lebih baik

dibanding situasi yang lain.

e. Komunikasi

Pengungkapan empati dipengaruhi oleh komunikasi (bahasa) yang digunakan

seseorang. Perbedaan bahasa dan ketidakpahaman tentang komunikasi

yang terjadi akan menjadi hambatan pada proses empati.

Davis (dalam taufik, 2012:54) menggolongkan proses empati ke dalam empat

tahapan :

a. Antecedents

Antecedents adalah kondisi-kondisi yang mendahului sebelum terjadinya

proses empati. Meliputi karakteristik personal, target atau situasi yang terjadi saat itu.

Ada individu-individu yang memiliki kapasitas berempati tinggi adapula yang

rendah. Kemampuan empati yang tinggi, salah satunya di pengaruhi oleh kapasitas

intelektual untuk memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain, atau

kemampuan untuk memahami apa yang terjadi pada orang lain. Juga dipengaruhi

oleh riwayat pembelajaran individu sebelumnya termasuk sosialisasi terhadap nilai-

nilai yang terkait dengan empati. Namun, karakteristik yang paling penting adalah

perbedaan individual, di mana ada individu-indidvidu yang secara natural cenderung

untuk berempati terhadap situasi yang dihadapi.

Seluruh respons terhadap orang lain, baik itu respons afektif maupun kognitif,

berasal dari beberapa konteks situasional khusus. Terdapat dua kondisi, yaitu :

1) Kekuatan situasi dan tingkat persamaan antara observer dan target kekuatan

situasi sangat mempengaruhi kita untuk berempati.

2) Sejauhmana persamaan antara observer dengan target, semakin tinggi tingkat

persamaannya, maka semakin besar peluang observer untuk berempati.

Komponen ini meliputi karakteristik-karakteristik observer, seperti seorang

yang memiliki kapasitas kecenderungan berempati, mempelajari cerita, dan

perbedaan-perbedaan individu sehubungan dengan ketertarikan individu untuk

berempati. Antecedent juga termasuk kekuatan situasi untuk menimbulkan empati

dan kesamaan target dan observer. Oleh karena itu, menurut model ini meskipun

seseorang memiliki kapasitas empati yang rendah.

b. Processes

Terdapat tiga jenis proses empari, yaitu non-cognitive processes, simple

cognitive processes, dan advance cognitive processes.

Pertama non cognitive processes, pada proses ini terjadinya empati

disebabkan oleh proses non kognitif, artinya tanpa memerlukan pemahaman terhadap

situasi yang terjadi.

Kedua simple cognitive processes, pada jenis empati ini hanya membutuhkan

sedikit proses kognitif. Artinya empati yang kita munculkan tidak membutuhkan

proses yang mendalam, karena situasi-situasi yang mudah di pahami. Dengan kata

lain, jenis empati ini adalah normal kita lakukan.

Ketiga advance cognitive processes, proses ini berbeda dengan dua proses di

atas, karena dalam ini kita dituntut untuk mengerahkan kemampuan kognitif kita.

Davis (1996) mengemukakan proses empati yang paling tinggi adalah role-taking

atau perspective-taking, artinya individu mencoba memahami orang lain dari sudut

pandang orang tersebut.

c. Intrapersonal Outcomes

Hasil dari proses berempati salah satunya adalah hasil intrapersonal, terdiri

atas dua macam : affective outcomes dan non affective outcomes. Affective outcomes

terdiri atas reaksi-reaksi emosional yang dialami oleh individu dalam merespons

pengalaman-pengalaman orang lain.

Tidak semua hasil-hasil intrapersonal berupa affective out-comes. Dalam

beberapa kasus juga berbentuk non affective outcomes atau cognitive outcomes.

Misalnya akurasi empati, empati yang akurat banyak didasarkan pada proses-proses

kognitif, karena individu secara cermat menangkap dan menganalisis situasi-situasi

yang dihadapinya.

d. Interpersonal Outcomes

Bila intrapersonal outcomes itu berefek pada diri individu, maka

interpersonal outcomes berdampak kepada hubungan antar individu dengan orang

lain. Salah satu bentuk dari interpersonal outcomes adalah munculnya perilaku

menolong. Interpersonal outcomes tidak sekedar mendiskusikan apa yang dialami

oleh orang lain tapi dapat menimbulkan perilaku menolong. Selain perilaku

menolong, empati juga dihubungkan dengan perilaku agresif. Menurut Davis (dalam

taufik, 2012:59) Empati berhubungan negatif dengan perilaku agresif. Semakin baik

akurasi empati maka akan semakin kecil terjadinya perilaku agresif.

2.1.5 Tekhnik – Tekhnik dalam Mengasah Empati

Menurut Taufik (2012,61) Kemampuan empati harus selalu dilatih atau diasah

sejak dini. Bahkan, meskipun usia seseorang telah beranjak dewasa harus tetap

melatih kemampuan berempati. Ada beberapa langkah yang dapat di lakukan agar

kemampuan empati dapat terbentuk antara lain :

a) Rekam semua emosi pribadi

Setiap orang pernah mengalami perasaan positif dan negative, misalnya sedih,

kecewa, senang, bahagia, marah dan sebagainya. Pengalaman–pengalaman tersebut

apabila kita atau rekam akan membantu kita memahami perasaan yang sama pada

kondisi tertentu menjumpai kita kembali. Disamping itu kita mengetahui perasaan

tersebut sedang di alami oleh seseorang, kita dapat memahami kondisi tersebut

sehungga kita dapat memperlakukannya sesuai dengan apa yang diharapkannya. Cara

mencatat atau merekamnya dapat berupa tulisan dibuku harian atau sekedar

mengingat-ingat dalam alam sadar kita.

b) Perhatikan lingkungan luar / Orang lain

Memperhatikan lingkungan luar atau orang lain akan memberikan banyak

informasi tentang kondisin orang di sekitar kita. Informasi ini sangat penting untuk

dijadikan panduan dalam mengambil pilihan perilaku tertentu. Informasi ini juga

dapat dijadikan pembanding dengan diri kita tentang apa yang sedang terjadi,

sehingga kita dapar mengetahui apakah perasaan dan perilaku kita sudah sesuai

dengan lingkungan sekitarnya.

c) Mendengarkan curhat orang lain

Mendengarkan adalah sebuah kemampuan penting yang sangat dibutuhkan

untuk memahami masalah atau mendapatkan pemahaman yang lebih jelas terhadap

permasalahan yang dihadapi oleh orang lain. Kemampuan mendengarkan juga harus

dilatih agar memberikan dampak yang positif dalam interaksi sosial kita. Syarat yang

dibutuhkan untuk dapat mendengarkan adalah menghilangkan atau meminimalkan

perasaan negatif atau prasangka terhadap obyek yang menjadi sasaran.

Disamping itu juga perlu adanya kemauan untuk membuka diri kita untuk

orang lain, khususnya dengan memberikan kesempatan orang lain untuk berbicara

yang dia inginkan tanpa kita potong sebelum selesai pembicaraannya.

Mendengarkan cerita sedih akan mampu membawa kita kedalam suasana hati

orang lain yang sedang bersedih dan dapat membangkitkan keinginan untuk

memahami masalah atau perasaan orang tersebut. Begitu pula perasaan yang lain.

Semakin banyak cerita, masalah dan ungkapan perasaan yang kita dengarkan akan

membuat kita semakin kaya dengan pengalaman tersebut dan pada akhirnya semakin

mengetahui bagaimana cara memahami orang lain atau perasaanya.

d) Bayangkan apa yang dirasakan oleh orang lain dan akibatnya untuk diri kita

Membayangkan sebuah kejadian yang dialami orang lain akan menarik diri

kita kedalam sebuah situasi yang hampir sama dengan yang dialami orang tersebut.

Refleksi keadaan orang lain dapat membuat kita merasakan apa yang sedang dialami

orang tersebut dan mampu membangkitkan suasana emosional. Membayangkan

sebuah kondisi tersebut dapat lebih mudah manakala kita pernah mengalami perasaan

atau kondisi yang sama. Seseorang yang sering membayangkan apa yang dialami atau

dirasakan orang lain dan akibat yang akan ditimbulkan manakala hal tersebut terjadi

pada diri kita saat kejadian atau setelah kejadian akan memudahkan kita merasakan

suasana emosi seseorang manakala melihat kejadian-kejadian yang berkaitan dengan

situasi penuh dengan emosi-emosi tertentu.

e) Lakukan bantuan secepatnya

Memberikan bantuan atau pertolongan kepada orang-orang yang

membutuhkan dapat membangkitkan kemampuan empati. Respon yang cepat

terhadap situasi dilingkungan sekitar yang membutuhkan bantuan akan melatih

kemampuan kita untuk empati. Bantuan yang kita berikan tidak perlu menunggu

waktu yang lebih lama tetapi kita berusaha memberikan segenap kemampuan kita

saat melihat atau menyaksikan orang-orang yang membutuhkan. Pertolongan yang

kita berikan akan menstimulus keadaan emosi kita untuk melihat lebih jauh perasaan

orang yang kita beri pertolongan dan semakin sering kita memberikan respon dengan

cepat akan semakin mudah kita mengembangkan kemampuan empati kepada orang

lain.

2.1.6 Manfaat – Manfaat Mempunyai Kemampuan Berempati

Ada beberapa manfaat yang dapat kita temukan dalam kehidupan pribadi

dan sosial manakala kita mempunyai kemampuan berempati (http://ismat89.blogspot.

com/2012/03/perbedaan-tingkat-empati-siswa-yang.html), diantaranya

a) Menghilangkan sikap egois

Orang yang telah mampu mengembangkan kemampuan empati dapat

menghilangkan sikap egois (mementingkan diri sendiri). Ketika kita dapat merasakan

apa yang sedang dialami orang lain, memasuki pola pikir orang lain dan memahami

perilaku orang tersebut, maka kita tidak akan berbicara dan berperilaku hanya untuk

kepentingan diri kita tetapi kita akan berusaha berbicara, berpikir dan berperilaku

yang dapat diterima juga oleh orang lain serta akan mudah memberikan pertolongan

kepada orang lain. Kita akan berhati-hati dalam mengembangkan sikap dan perilaku

kita sehari-hari, khususnya jika berada pada kondisi yang membutuhkan pertolongan

kita.

b) Menghilangkan kesombongan

Salah satu cara mengembangkan empati adalah membayangkan apa yang

terjadi pada diri orang lain akan terjadi pula pada diri kita. Manakala kita

membayangkan kondisi ini maka kita akan terhindar dari kesombongan atau tinggi

hati karena apapun akan bisa terjadi pada diri kita jika Tuhan berkehendak. Kita tidak

akan merendahkan orang lain karena kita telah mengetahui perasaan dan memahami

apa yang sebenarnya terjadi, sehingga orang yang mempunyai kemampuan empati

akan cenderung memiliki jiwa rendah hati dan senantiasa memahami kehidupan ini

dengan baik.

c) Mengembangkan kemampuan evaluasi dan kontrol diri

Pada dasarnya empati adalah salah satu usaha kita untuk melakukan evaluasi

diri sekaligus mengembangkan kontrol diri yang positif. Kemampuan melihat diri

orang lain baik perasaan, pikiran maupun perilakunya merupakan bagian dari

bagaimana kita akan merefleksikan keadaan tersebut dalam diri kita. Jika kita telah

mempunyai kemampuan ini maka kita telah dapat mengembangkan kemampuan

evaluasi diri yang baik dan akhirnya kita dapat melakukan kontrol diri yang baik

artinya kita akan senantiasa berhati-hati dalam melakukan perbuatan atau memahami

lingkungan sekitar kita.

Taufik (2012) Bisa dikatakan memiliki karakteristik kemampuan empati, jika

mengikuti beberapa syarat berikut :

a. Melibatkan proses pikir secara utuh, dengan segala macam resiko perbedaan

pendapat, rasa, bahkan kemungkinan konflik. Melalui pengolahan terus-menerus

maka individu bisa mengenal „status‟ perasaannya, lalu kuat berempati dan

kemudian memanfaatkan emosinya dalam kehidupan kerja.

b. Muncul dalam tindakan-tindakan seperti dinyatakan yaitu :

1). Mampu menerima sudut pandang orang lain

Individu mampu membedakan antara apa yang dikatakan atau dilakukan

orang lain dengan reaksi dan penilaian individu itu sendiri. Dengan perkembangan

aspek kognitif seseorang, kemampuan untuk menerima sudut pandang orang lain dan

pemahaman terhadap perasaan orang lain akan lebih lengkap dan akurat sehingga ia

akan mampu memberikan perlakuan dengan cara yang tepat.

2). Memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain

Individu mampu mengidentifikasi perasaan-perasaan orang lain dan peka

terhadap hadirnya emosi dalam diri orang lain melalui pesan nonverbal yang

ditampakkan, misalnya nada bicara, gerak-gerik dan ekspresi wajah. Kepekaan yang

sering diasah akan dapat membangkitkan reaksi spontan terhadap kondisi orang lain,

bukan sekedar pengakuan saja.

3). Mampu mendengarkan orang lain

Mendengarkan merupakan sebuah ketrampilan yang perlu dimiliki untuk

mengasah kemampuan empati. Sikap mau mendengar memberikan pemahaman yang

lebih baik terhadap perasaan orang lain dan mampu membangkitkan penerimaan

terhadap perbedaan yang terjadi.

2.2 Hakikat Lingkungan Keluarga

2.2.1 Pengertian Keluarga

Ahmadi (2002 : 56 ) menjelaslan bahwa keluarga merupakan tempat pertama

dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan bagi seorang anak. Keluarga

berfungsi sebagai sarana mendidik, mengasuh dan mensosialisasikan anak,

mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya

di masyarakat dengan baik. Serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat

guna terciptanya keluarga “Sejahtera”. Kegagalan dalam mendidik dan membina

anak di keluarga, maka akan sulit sekali bagi institusi-institusi lain untuk

memperbaiki kegagalan-kegagalannya.

Seseorang akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter, apabila tumbuh

pada lingkungan yang berkarakter, sehingga setiap anak yang dilahirkan suci dapat

berkembang secara optimal. Mengingat lingkungan anak bukan saja lingkungan

keluarga, maka semua pihak keluarga, media massa, komunitas bisnis, dan

sebagainya turut andil dalam perkembangan karakter anak. Sekalianpun

mengembangkan generasi penerus bangsa yang berkarakter baik adalah tanggung

jawab semua pihak.

Berikut ini definisi keluarga menurut beberapa para ahli :

a. Baylon & Maglay, keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup satu

rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Mereka

saling berinteraksi satu dengan lainnya, mempunyai peran masing-masing dan

menciptakan dan mempertahankan suatu budaya.

b. Menurut Friedman, keluarga adalah dua atau lebih individu yang tergabung

karena ikatan tertentu untuk saling membagi pengalaman dan melakukan

pendekatan emosional, serta mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari

keluarga.

c. Menurut BKKBN (1999), keluarga adalah dua orang atau lebih yang dibentuk

berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan

materil yang layak, bertakwa kepada tuhan, memiliki hubungan yang selaras dan

seimbang antara anggota keluarga dan masyarakat serta lingkungannya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah merupakan kelompok primer

yang paling penting didalam masyarakat. Keluarga merupakan sebuah group yang

terbentuk dari hubungan laki-laki dan wanita. Jadi keluarga dalam bentuk yang murni

merupakan suatu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri dan anak yang belum

dewasa.

Lima macam sifat yang terpenting dalam keluarga :

a. Hubungan suami istri

b. Bentuk perkawinan di mana suami istri di adakan dan dipelihara

c. Susunan nama-nama dan istilah-istilah termasuk cara menghitung keturunan

d. Milik atau harta benda keluarga

e. Mempunyai tempat tinggal

Di samping sifat-sifat di atas, keluarga juga mempunyai sifat-sifat khusus.

a. Universalitas, merupakan bentuk yang universal dari seluruh organisasi sosial.

b. Dasar emosional, artinya rasa kasih sayang, kecintaan sampai kebanggaan suatu

ras.

c. Pengaruh yang normatif, artinya keluarga merupakan lingkungan sosial yang

pertama-tama bagi seluruh bentuk hidup yang tertinggi, dan membentuk watak

daripada individu.

2.2.2 Fungsi Keluarga

Menurut Friedman (dalam Abu Ahmadi 2002 : 83) mengemukakan beberapa

fungsi dalam keluarga.

a. Fungsi Afektif

Berhubungan dengan fungsi internal keluarga dalam pemenuhan kebutuhan

psiko-sosial, fungsi afektif ini merupakan sumber energi kebahagiaan keluarga.

b. Fungsi Sosialisasi

Sosialisasi di mulai sejak lahir keberhasilan perkembangan individu dan

keluarga di capai melalui interaksi atau hubungan antar anggota. Anggota keluarga

belajar disiplin, belajar norma, budaya dan perilaku melalui hubungan interaksi dalam

keluarga.

c. Fungsi Repreduksi

Keluarga berfungsi meneruskan keturunan dan menambahkan sumber daya

manusia.

d. Fungsi Ekonomi

Keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan seluruh keluarga seperti

kebutuhan makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal.

e. Fungsi Keperawatan Kesehatan

Kesanggupan keluarga untuk melakukan pemeliharaan kesehatan di lihat dari

5 tugas kesehatan keluarga yaitu :

1. Keluarga mengenal masalah kesehatan.

2. Keluarga mampu mengambil keputusan yang tepat untuk mengatasi masalah

kesehatan.

3. Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami masalah

kesehatan.

4. Memodifikasi lingkungan, menciptakan dan mempertahankan suasana

rumah yang sehat.

5. Keluarga mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang tepat.

2.2.3 Bentuk Keluarga

Menurut Dariyo (2007: 206). Ada dua macam bentuk keluarga dilihat dari

bagaimana keputusan diambil, yaitu berdasarkan lokasi dan berdasarkan pola otoritas.

a. Berdasarkan lokasi

1) Adat utrolokal, yaitu adat yang memberi kebebasan kepada sepasang suami istri

untuk memilih tempat tinggal, baik itu di sekitar kediaman kaum kerabat suami

ataupun di sekitar kediamanan kaum kerabat istri.

2) Adat virilokal, yaitu adat yang menentukan bahwa sepasang suami istri

diharuskan menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami.

3) Adat uxurilokal, yaitu adat yang menentukan bahwa sepasang suami istri harus

tinggal di sekitar kediaman kaum kerabat istri.

4) Adat bilokal, yaitu adat yang menentukan bahwa sepasang suami istri dapat

tinggal di sekitar pusat kediaman kerabat suami pada masa tertentu, dan di

sekitar pusat kediaman kaum kerabat istri pada masa tertentu pula (bergantian).

5) Adat neolokal, yaitu adat yang menentukan bahwa sepasang suami istri dapat

menempati tempat yang baru, dalam arti kata tidak berkelompok bersama kaum

kerabat suami maupun istri.

6) Adat avunkulokal, yaitu adat yang mengharuskan sepasang suami istri untuk

menetap di sekitar tempat kediaman saudara laki-laki ibu (avunculus) dari pihak

suami.

7) Adat natalokal, yaitu adat yang menentukan bahwa suami dan istri masing-

masing hidup terpisah, dan masing-masing dari mereka juga tinggal di sekitar

pusat kaum kerabatnya sendiri.

b. Berdasarkan pola otoritas

1) Patriarkal, yakni otoritas di dalam keluarga dimiliki oleh laki-laki (laki-laki

tertua, umumnya ayah).

2) Matriarkal, yakni otoritas di dalam keluarga dimiliki oleh perempuan

(perempuan tertua, umumnya ibu).

3) Equalitarian, yakni suami dan istri berbagi otoritas secara seimbang.

2.2.4 Faktor-Faktor Keluarga terhadap Perkembangan Anak

Abu Ahmadi (2002 : 65) Faktor–faktor keluarga yang dapat mempengaruhi

perkembangan anak yaitu :

a. Perimbangan Perhatian

Perimbangan perhatian adalah perhatian orang tua yang tidak seimbang atau

tidak menyeluruh atas tugas-tugasnya. Masing-masing tugas menuntut perhatian yang

penuh sesuai dengan porsinya. Kalau tidak demikian, akan terjadi

ketidakseimbangan.

b. Kebutuhan Keluarga

Keluarga yang utuh adalah keluarga yang dilengkapi dengan anggota-anggota

keluarga, ayah, ibu dan anak-anak. Sebaiknya keluarga yang pecah atau broken home

terjadi di mana tidak hadirnya salah satu orang tua karena kematian atau perceraian,

atau tidak hadirnya kedua-duanya. Antara keluarga yang utuh dan yang pecah

mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap perkembangan anak. Keluarga yang

utuh tidak sekedar utuh dalam berkumpulnya ayah dan ibu tetapi utuh dalam arti yang

sebenar-benarnya yaitu di samping utuh dalam fisik juga utuh dalam psikis. Keluarga

yang utuh memiliki perhatian yang penuh atas tugas-tugasnya sebagai orang tua.

Sebaliknya dengan keluarga yang pecah atau brokenhome perhatiannya

terhadap anak-anaknya kurang. Antara ayah dan ibu tidak memiliki kesatuan

perhatian terhadap anak-anaknya. Broken home memiliki pengaruh yang negatif,

kondisi keluarganya yang broken home tidak baik untuk perkembangan anak. Anak

akan mengalami maladjustment.

Maladjustment ini timbul dari hubungan keluarga yang tidak memuaskan,

frustasi dan sebagainya. Didalam keluarga anak memerlukan perimbangan perhatian,

kasih sayang dari orang tuanya. Jika hala-hal tersebut tidak di dapat oleh anak dalam

keluarga maka anak akan mengalami kesulitan-kesulitan dan terjerumus ke dalam

kelompok anak-anak nakal.

c. Status Sosial

Status sosial orang tua mempunyai pengaruh terhadap tingkah laku dan

pengalaman anak-anaknya. Di maksud sosial ialah kedudukan orang tua dalam

kelompoknya. Status disini dapat bersifat statis dapat pula dinamis. Di dalam

masyrakat indonesia terdapat 4 status sosial ialah :

1) Petani : mereka yang hidup dari pengusahaan sawah di desa yang suasana

kehidupan dalam masyarakat ditandai oleh sifat kekeluargaan.

2) Pegawai : mereka yang menerima gaji dari pemerintah tiap bulan secara

menentu dan kerjanya juga menentu.

3) Angkatan bersenjata : anggota dari salah satu 4 angkatan yaitu, AD, AL, AU,

dan angkatan kepolisian. Mereka menerima gaji dari pemerintah secara

menentu.

4) Pedagang : mereka yang hidup dari keuntungan, yang di peroleh dari pekerjaan

jual beli. Hasilnya tidak menentu dan kerjanya juga kurang menentu.

Setiap keluarga memiliki kebiasaan yang berbeda dari keluarga yang lain,

sehingga perkembangan anakpun berlainan. Di dalam hal ini status orang tua

memegang peranan yang penting. Memberikan contoh merupakan usaha pendidikan

dari manusia dewasa untuk membawa manusia kearah kedewasaan.

d. Besar kecilnya Keluarga

Besar kecilnya keluarga mempengaruhi perkembangan sosial anak, keluarga

yang besar memiliki beberapa anak, sedangkan keluarga yang kecil, anggota

keluarganya juga sedikit.

Besar kecilnya keluarga sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak.

Pada keluarga besar anak sudah biasa bergaul dengan orang lain, sudah biasa

memperlakukan dan di perlakukan oleh orang lain. Sikap toleransi berkembang sejak

kecil. Pada keluarga yang kecil, dalam hal ini anak tunggal di butuhkan perhatian

yang lebih besar dari para orang tua agar perkembangannya menjadi wajar. Oleh

karena itu dituntut perhatian yang lebih dari orang tua untuk mendidik anak tunggal

dari pada anak yang banyak saudara.

e. Keluarga Kaya / Miskin

Keluarga yang kaya mampu menyediakan keperluan materi bagi anak-

anaknya. Apa yang diingkan berupa benda-benda materi dapat dipenuhi oleh orang

tuanya. Melihat situasi semacam ini ada suatu kecenderungan bahwa anak-anak dari

orang kaya tidak pernah belajar bekerja di rumahnya, sebab sudah ada pembantu yang

mengerjakannya. Anak merasa asing dengan tugas-tugas dirumahnya sekalipun tugas-

tugas itu mudah untuk di kerjakan. Di samping itu anak tidak pernah merasakan

betapa susahnya orang-orang yang berkekurangan. Hal ini belum berarti bahwa anak-

anak akan berkembang dengan wajar, masih ada faktor-faktor lain misalnya :

perhatian orang tua dan keutuhan keluarga yang masih kurang. Semua kebutuhan

materi terpenuhi tetapi kebutuhan akan perhatian orang tua yang berupa kasih sayang

tidak terpenuhi akan menimbulkan ketidakseimbangan. Hal ini terjadi bila kedua

orang tua terlalu sibuk sehingga tidak sempat mengurusi anak-ananya. Jadi keluarga

kaya belum menjamin perkembangan anak yang wajar.

Sebaliknya dengan anak yang lahir dalam keluarga yang miskin, kebutuhan-

kebutuhan yang bersifat tidak materi tidak terpenuhi. Kalaupun terpenuhi hanya

secara minimal.

Kedua orang tuanya bekerja keras agar kebutuhan keluarga terpenuhi, bahkan

anak-anak ikut membantu pekerjaan orang tuanya. Karena orang tua terlalu sibuk

mencari nafkah maka perhatian terhadap anaknya akan kurang karena keadaan yang

memaksa. Hal ini juga mempengaruhi perkembangan anak yaitu anak kurang

mendapatkan perhatian dan perawatan dari orang tua.

Jadi ternyata keluarga miskin atau kaya mempunyai pengaruh yang besar

dalam perkembangan anak. Masing-masing memiliki segi negatif dan positif.

2.3 Hubungan antara Lingkungan Keluarga dengan Perilaku Empati

Cronbach dan Hogan (dalam Taufik 2012 : 89) berpendapat bahwa empati

merupakan perilaku yang diturunkan oleh sang Maha pencipta atau dibawa oleh

individu sejak lahir atau merupakan faktor keturunan. Orangtua yang empatik akan

melahirkan anak – anak yang empatik pula.

Hasil penelitian yang dilakukan kepada siswa menemukan bahwa ekspresi-

ekspresi empatik yang ditunjukan oleh orang tua kepada anak-anaknya dapat menjadi

model atau sarana bagi siswa dalam untuk meningkatkan empati dan perilaku

prososialnya.

Di lingkungan sekolah ketika guru menanamkan nilai–nilai empati kepada

siswa–siswanya, para siswa lebih suka mengadopsi nilai–nilai empati itu dengan cara

mencontoh perilaku sang guru dan menerapkan nilai–nilai empati yang diajarkan.

Kremer dan Dietzen (dalam Taufik,2012:90) mengatakan bahwa keteladanan

dari para guru atau orang tua dapat menjadi sarana untuk meningkatkan empati.

Artinya pengajaran empati tidak memerlukan media yang spesifik, melainkan

berbagai media lain pun asalkan mengandung faktor–faktor empati dapat digunakan

sebagai sarana untuk meningkatkan empati.

2.4 Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah “Terdapat hubungan antara

lingkungan keluarga dengan perilaku empati siswa kelas X di SMA Negeri 1 Tibawa

Kabupaten Gorontalo.