53
BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS A. Kajian Teori 1. Lanjut Usia a. Pengertian lanjut usia Lanjut usia (Lansia) adalah periode dimana organisme telah mencapai kemasakan dalam ukuran dan fungsi dan juga telah menunjukkan kemunduran sejalan dengan waktu, pada lansia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi (Darmojo, 2004). Sedangkan menurut Hardywinoto dan Setiabudhi (1998) kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas. Menurut Setyonegoro yang dikutip oleh kadir (2007) usia lanjut dikelompokkan sebagai berikut (a) usia dewasa muda (elderly adulhood), yaitu antara usia 18/19 tahun sampai 25 tahun, (b) usia dewasa penuh (middle years) yaitu antara usia 25 tahun sampai 60/65 tahun, (c) usia lanjut (geriatric age), yaitu usia 65 tahun sampai 70 tahun yang dibagi dalam usia 70 tahun sampai 75 tahun (young old), usia antara 75 tahun sampai 80 tahun (old), usia lebih dari 80 tahun (very old). Penuaan pada lansia, memungkinkan terjadinya penurunan anatomis dan fungsional yang sangat besar. Andrea dan Tobin (peneliti), memperkenalkan “Hukum 1%”, yang menyatakan bahwa fungsi organ akan mengalami penurunan sebanyak 1% setiap tahunnya setelah usia 30 tahun (Martono, 2004). Pada lansia sering dijumpai permasalahan yang berkaitan dengan kemampuan gerak dan fungsi. Menurut Kamso yang dikutip oleh Zuhdi (2000), pada lansia terjadi penurunan kekuatan sebesar 88%, fungsi 11

BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS A. Kajian Teori 1. · tinggi juga memberi kontribusi pada percepatan perubahan postur lansia. Perubahan postur ini tentunya akan berpengaruh pada

  • Upload
    others

  • View
    18

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

62

BAB II

KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS

A. Kajian Teori

1. Lanjut Usia

a. Pengertian lanjut usia

Lanjut usia (Lansia) adalah periode dimana organisme telah

mencapai kemasakan dalam ukuran dan fungsi dan juga telah

menunjukkan kemunduran sejalan dengan waktu, pada lansia akan terjadi

proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau

mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-lahan

sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan

yang terjadi (Darmojo, 2004). Sedangkan menurut Hardywinoto dan

Setiabudhi (1998) kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang

berusia 60 tahun ke atas.

Menurut Setyonegoro yang dikutip oleh kadir (2007) usia lanjut

dikelompokkan sebagai berikut (a) usia dewasa muda (elderly adulhood),

yaitu antara usia 18/19 tahun sampai 25 tahun, (b) usia dewasa penuh

(middle years) yaitu antara usia 25 tahun sampai 60/65 tahun, (c) usia

lanjut (geriatric age), yaitu usia 65 tahun sampai 70 tahun yang dibagi

dalam usia 70 tahun sampai 75 tahun (young old), usia antara 75 tahun

sampai 80 tahun (old), usia lebih dari 80 tahun (very old).

Penuaan pada lansia, memungkinkan terjadinya penurunan anatomis

dan fungsional yang sangat besar. Andrea dan Tobin (peneliti),

memperkenalkan “Hukum 1%”, yang menyatakan bahwa fungsi organ

akan mengalami penurunan sebanyak 1% setiap tahunnya setelah usia 30

tahun (Martono, 2004).

Pada lansia sering dijumpai permasalahan yang berkaitan dengan

kemampuan gerak dan fungsi. Menurut Kamso yang dikutip oleh Zuhdi

(2000), pada lansia terjadi penurunan kekuatan sebesar 88%, fungsi

11

12

pendengaran 67%, pengelihatan 72%, daya ingat 61%, serta kelenturan

tubuh yang menurun sebesar 64%. Permasalahan yang muncul pada lansia

dapat disebabkan karena adanya perubahan fisiologis yang terjadi pada

tubuh. Beberapa perubahan fisiologis yang terjadi akibat proses penuaan

antara lain:

b. Perubahan fisiologi lanjut usia

1) Sistem panca-indera

Lansia yang mengalami penurunan persepsi sensoris akan

terdapat kesenggangan untuk bersosialisasi karena kemunduran dari

fungsi-fungsi sensoris yang dimiliki. Indera yang dimiliki seperti

penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman dan perabaan

merupakan kesatuan integrasi dari persepsi sensoris.

a. Pengelihatan

Semakin bertambahnya usia, lemak akan berakumulasi

disekitar kornea dan membentuk lingkaran berwarna putih atau

kekuningan di antara iris dan sclera. Kejadian ini disebut arkus

sinilis, biasanya ditemukan pada lansia. Perubahan penglihatan dan

fungsi mata yang dianggap normal dalam proses penuaan termasuk

penurunan kemampuan dalam melakukan akomodasi, konstriksi

pupil akibat penuaan dan perubahan warna serta kekeruhan lensa

mata, yaitu katarak(Suhartin, 2010).

Hal ini akan berdampak pada penurunan kemampuan sistem

visual dari indera penglihatan yang berfungsi sebagai pemberi

informasi ke susunan saraf pusat tentang posisi dan letak tubuh

terhadap lingkungan di sekitar dan antar bagian tubuh sehingga

tubuh dapat mempertahankan posisinya agar tetap tegak dan tidak

jatuh.

b. Pendengaran

Penurunan pendengaran merupakan kondisi secara dramatis

dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Kehalangan

pendengaran pada lansia disebut dengan presbikusis. Presbikusis

13

merupakan perubahan yang terjadi pada pendengaran akibat proses

penuaan yaitu telinga bagian dalam terdapat penurunan fungsi

sensorineural, hal ini terjadi karena telinga bagian dalam dan

komponen saraf tidak berfungsi dengan baik sehingga terjadi

perubahan konduksi. Implikasi dari hal ini adalah kehilangan

pendengaran secara bertahap. Ketidakmampuan untuk mendeteksi

suara dengan frekuensi tinggi (Chaccione, 2005).

Telinga bagian tengah terjadi pengecilan daya tangkap

membran timfani, pengapuran dari tulang pendengaran, lemah dan

kakunya otot dan ligamen. Implikasi dari hal ini adalah gangguan

konduksi pada suara (Miller, 2009).

Pada telinga bagian luar terjadi perpanjangan dan penebalan

rambut, kulit menjadi lebih tipis dan kering serta terjadi

peningkatan keratin. Implikasi dari hal ini adalah potensial

terbentuk serumen sehingga berdampak pada gangguan konduksi

suara (Miller, 2009).

Penuruan kemampuan telinga seperti diatas dapat berdampak

pula terhadap komponen vestibular yang terletak di telinga bagian

dalam. Komponen vestibular ini berperan sangat penting terhadap

keseimbangan tubuh. Saat posisi kepala berubah maka komponen

vestibular akan merespon perubahan tesebut dan mempertahakan

posisi tubuh agar tetap tegak.

c. Perabaan

Pada lansia terjadi penurunan kemampuan dalam

mempersepsikan rasapada kulit, ini terjadi karena penurunan

korpus free nerve ending pada kulit. Rasatersebut berbeda untuk

setiap bagian tubuh sehingga terjadi penurunan dalammerasakan

tekanan, raba panas dan dingin. Gangguan pada indera peraba

tentunyaberpengaruh pada sistem somatosensoris.Somatosensoris

adalah reseptor pada kulit, subkutan telapak kaki danpropioceptor

pada otot, tendon dan sendi yang memberikan informasi

14

tentangkekuatan otot, ketegangan otot, kontraksi otot dan juga

nyeri, suhu, tekanan danposisi sendi. Pada lansia dengan semakin

menurunnya kemampuan akibat faktordegenerasi maka informasi

yang digunakan dalam menjaga posisi tubuh yangdidapat dari

tungkai, panggul, punggung dan leher akan menurun

(Chaitow,2005).

Hal ini berdampak pada keseimbangan yang akan terganggu

akibat dari penurunan implus somatosensoris ke susunan saraf

pusat.

2) Sistem muskuloskeletal

a. Otot

Pada umumnya seseorang yang mulai tua akan berefek pada

menurunnya kemampuan aktivitas. Penurunan kemampuan

aktivitas akan menyebabkan kelemahan serta atrofi dan

mengakibatkan kesuliatan untuk mempertahankan serta

menyelesaikan suatu aktivitas rutin pada individu tersebut.

Perubahan pada otot inilah yang menjadi fokus dalam penurunan

keseimbangan berkaitan dengan kondisi lansia. Menurut

Lumbantobing (2005) perubahan yang jelas pada sistem otot lansia

adalah berkurangnya massa otot. Penurunan massa otot ini lebih

disebabkan oleh atrofi. Otot mengalami atrofi sebagai akibat dari

berkurangnya aktivitas, gangguan metabolik atau denervasi saraf

(Martono, 2004). Perubahan ini akan menyebabkan laju metabolik

basal dan laju konsumsi oksigen maksimal berkurang (Taslim,

2001).

Otot menjadi lebih mudah capek dan kecepatan kontraksi

akan melambat. Selain dijumpai penurunan massa otot, juga

dijumpai berkurangnya rasio otot dengan jaringan lemak.

Akibatnya otot akan berkurang kemampuannya sehingga dapat

mempengaruhi postur. Perubahan-perubahan yang timbul pada

sistem otot lebih disebabkan oleh disuse. Lansia yang aktif

15

sepanjang umurnya, cenderung lebih dapat mempertahankan massa

otot, kekuatan otot dan koordinasi dibanding mereka yang

hidupnya santai (Rubenstein, 2006). Tetapi harus diingat bahwa

olahraga yang sangat rutin pun tidak dapat mencegah secara

sempurna proses penurunan massa otot (Lumbatobing, 2005).

Permasalahan yang terjadi pada lansia biasa sangat terlihat

pada menurunnya kekuatan grup otot besar. Otot-otot pada batang

tubuh (trunk) akan berkurang kemampuannya dalam menjaga

tubuh agar tetap tegak. Respon dari otot-otot postural dalam

mempertahankan postur tubuh juga menurun. Respon otot postural

menjadi kurang sinergis saat bekerja mempertahankan posisi akibat

adanya perubahan posisi, gravitasi, titik tumpu, serta aligmen

tubuh. Pada otot pinggul (gluteal) dan otot-otot pada tungkai

seperti grup otot quadriceps, hamstring, gastrocnemius dan tibialis

mengalami penurunan kemampuan berupa cepat lelah, turunnya

kemampuan, dan adanya atrofi yang berakibat daya topang tubuh

akan menurun dan keseimbangan mudah goyah.

b. Tulang

Pada lansia dijumpai proses kehilangan massa tulang dan

kandungan kalsium tubuh, serta perlambatan remodeling dari

tulang. Massa tulang akan mencapai puncak pada pertengahan usia

dua puluhan (di bawah usia 30 tahun). Penurunan massa tulang

lebih dipercepat pada wanita pasca menopause. Sama halnya

dengan sistem otot, proses penurunan massa tulang ini sebagai

disebabkan oleh faktor usia dan disuse (Wilk, 2009).

Dengan bertambahannya usia, perusakan dan pembentukan

tulang melambat. Hal ini terjadi karena penurunan hormon estrogen

pada wanita, vitamin D, dan beberapa hormon lain. Tulang-tulang

trabekular menjadi lebih berongga, mikroarsitekur berubah dan

sering patah baik akibat benturan ringan maupun spotan (Martono,

16

2004). Implikasi dari hal ini adalah peningkatan terjadinya resiko

osteoporosis dan fraktur (Suhartin, 2010).

c. Perubahan postur

Perubahan postur meningkatkan sejalan dengan pertambahan

usia. Hal itu dapat dihubungkan dengan keseimbangan dan resiko

jatuh. Gangguan keseimbangan lansia disebakan oleh degenerasi

progresif mekanoreseptor sendi intervertebra. Degenerasi karena

peradangan atau trauma pada vertebra dapat menggangu afferent

feedback ke saraf pusat yang berguna untuk stabilitas postural.

Banyak perubahan yang terjadi pada vertebra lansia, seperti

spondilosis servikal yang dimana 80% ditemukan pada orang

berusia 55 tahun keatas. Hal itu berpengaruh terhadap penurunan

stabilitas dan fleksibilitas pada postur (Pudjiastuti, 2003).

Perubahan yang paling banyak terjadi pada vertebra lansia

meliputi kepala condong ke depan (kifosis servikal), peningkatan

kurva kifosis torakalis, kurva lumbal mendatar (kifosis lumbalis),

penurunan ketebalan diskus intervertebralis sehingga tinggi badan

menjadi berkurang. Kepala yang condong ke depan seringkali

diartikan tidak normal, tetapi dapat dikatakan normal apabila hal itu

merupakan kompensasi dari perubahan postur yang lain. Kurva

skoliosis dapat timbul pada lansia karena perubahan vertebra,

ketidakseimbangan otot erctor spine dan kebiasaan atau aktivitas

yang salah (Pudjiastuti, 2003).

Pada anggota gerak, variasi perubahan postur yang paling

banyak adalah protraksi bahu dan sedikit fleksi sendi siku, sendi

panggul dan lutut. Adanya perubahan permukaan dan kapsul sendi,

akan mengakibatkan kecacatan varus atau valgus dapat sendi

panggul, lutut atau pergelangan kaki. Perubahan yang terjadi pada

sistem saraf dan tulang memungkinkan terjadinya penurunan

kontrol terhadap postural secara statis. Selanjutnya, perubahan otot,

jaringan pengikat dan kulit dapat mempengaruhi perubahan postur.

17

Adanya trauma, gaya hidup atau kebiasaan memakai sepatu hak

tinggi juga memberi kontribusi pada percepatan perubahan postur

lansia. Perubahan postur ini tentunya akan berpengaruh pada

keseimbangan saat berdiri karena pusat gravitasi pada tubuh juga

turut berubah.

3) Sistem persarafan

a. Saraf pusat

Menurut Martono (2004) pada lansia akan terjadi penurunan

berat otak sebesar 10%. Berat otak 350 gram pada saat kelahiran,

kemudian meningkatkan menjadi 1,375 gram pada usia 20 tahun,

berat otak mulai menurun pada usia 45-50 tahun penurunan ini

kurang lebih 11% dari berat maksimal. Berat dan volume otak

berkurang rata-rata 5-10% selama umur 20-90 tahun. Otak

mengandung 100 juta sel termasuk diantaranya sel neuron yang

berfungsi menyalurkan impuls listrik dari susunan saraf pusat. Pada

penuaan, otak kehilangan 100.000 neuron/tahun. Neuron dapat

mengirimkan signal kepada sel lain dengan kecepatan 200 mil/jam.

Terjadi atrofi cerebal (berat otak menurun 10%) antar usia 30-70

tahun. Secara berangsurangsur tonjolan dendrit di neuron hilang

disusul membengkaknya batang dendrit dan batang sel. Secara

progresif terjadi fragmentasi dan kematian sel. Pada semua sel

terdapat deposit lipofusin (pigment wear and tear) yang terbentuk

di sitoplasma, kemungkinan berasal dan lisosom atau mitokondria

(Suhartin, 2010).

b. Saraf perifer

Saraf perifer tepi adalah jaringan saraf untuk semua gerakan

(saraf motorik) dan sensasi (saraf sensoris). Jaringan saraf ini

berhubungan dengan sistem sarat pusat (SSP) melalui batang otak

dan pada beberapa tempat sepanjang kord spinal. Ia menuju

berbagai bagian tubuh. Saraf perifer membentukkomunikasi antara

otak dan organ, pembuluh darah, otot dan kulit. Perintah otak akan

18

dihantarkan oleh saraf motor, dan informasi dihantar kembali ke

otak oleh saraf sensori. Penuaan menyebabkan penurunan presepsi

sensorik dan respon motorik pada susunan SSP. Hal ini terjadi

karena SSP pada usia lanjut usia mengalami perubahan. Berat otak

pada lansia berkurang berkaitan dengan berkurangnya kandungan

protein dan lemak pada otak sehingga otak menjadi lebih ringan.

Akson, dendrit dan badan sel saraf banyak mengalami kematian,

sedang yang hidup banyak mengalami perubahan. Dendrit yang

berfungsi untuk komunikasi antar sel mengalami perubahan

menjadi lebih tipis dan kehilangan kontak antar sel. Daya hantar

saraf mengalami penurunan 10% sehingga gerakan menjadi lambat.

Akson dalam medula spinalis menurun 37%. Perubahan tersebut

mengakibatkan penurunan kognitif, koordinasi, keseimbangan,

kekuatan otot, reflek, perubahan postur dan waktu reaksi

(Sherwood, 2009).

Perubahan dalam sistem neurologis dapat termasuk

kehilangan dan penyusutan neuron, dengan potensial 105

kehilangan yang diketahui pada usia 80 tahun. Secara fungsional

terdapat suatu perlambat reflek tendon, terdapat kecenderungan

kearah tremor dan langkah yang pendek-pendek atau gaya berjalan

dengan langkah kaki melebar disertai dengan berkurangnya

gerakan yang sesuai. Waktu reaksi menjadi lebih lambat, dengan

penurunan atau hilangnya hentakan pergelangan kaki dan

pengurangan reflek lutut, bisep dan trisep terutama karena

pengurangan dendrit dan perubahan pada sinaps, yang

memperlambat konduksi (Suhartin, 2010).

Dengan adanya perubahan tersebut tentunya akan

berpengaruh pada keadaan postural dan kemampuan lansia dalam

menjaga keseimbangan tubuhnya terhadap bidang tumpu. Kondisi

penurunan kemampuan visual, vestibular dan somatosensoris

tentunya akan memperburuk keseimbangan pada lansia. Tubuh

19

akan mengalami gangguan dalam mempersepsikan base of support

atau landasan tempat berpijak. Kondisi muskuloskeletal yang

mengalami penurunan juga berpengaruh pada keseimbangan otot

dan postural. Perubahan postur tersebut berpengaruh pada

perubahan Center of Gravity (COG) tubuh terhadap bidang tumpu.

Otot-otot baik ekstremitas bawah maupun atas akan mengalami

penurunan kekuatan. Akibat dari keadaan tersebut lansia sering

mengalami gangguan keseimbangan saat berdiri maupun saat

beraktivitas dan rentan untuk jatuh.

4) Keseimbangan

a. Definisi keseimbangan

Keseimbangan merupakan kemampuan untuk

mempertahankan keadaan yang setimbang pada pusat gravitasi atas

bidang tumpu, biasanya ketika dalam posisi tegak dan pada

berbagai posisi. Menurut Delitto (2003), keseimbangan merupakan

kemampuan untuk mempertahankan equilibrium statis dan dinamis

tubuh ketika ditempatkan pada berbagai posisi. Menurut Suhartono

(2005), keseimbangan merupakan suatu pengaturan yang kompleks

untuk mempertahankan posisi tubuh terhadap aktivitas tubuh yang

disadari dan merespon terhadap perubahan dari luar. Dengan kata

lain keseimbangan juga bisa diartikan sebagai kemampuan relatif

untuk mengontrol dan mempertahankan pusat massa tubuh (center

of body mass) atau pusat gravitasi (center of gravity) terhadap

bidang tumpu (base of support) dengan mengunakan aktivitas otot

yang minimal. Keseimbangan statis adalah kemampuan untuk

mempertahankan posisi tubuh dengan center of gravity (COG)

tidak berubah. Keseimbangan dinamis adalah kemampuan untuk

mempertahankan posisi tubuh dengan center of gravity (COG)

berubah (Abrahamova, 2008). Menurut Permana (2012),

keseimbangan statis merupakan keseimbangan yang diperlukan

seseorang untuk mempertahankan posisi tertentu, sedangkan

20

keseimbangan dinamis adalah kemampuan tubuh dalam menjaga

keseimbangan saat melakukan gerakan atau aktivitas seperti

berjalan dan berlari.

Keseimbangan berfungsi untuk bergerak, mengidentifikasi

orientasi dengan terhadap gravitasi, menentukan arah dan

kecepatan gerakan, dan membuat otomatis penyesuaian postural

untuk mempertahankan postur dan stabilitas di berbagai kondisi

dan kegiatan (Cook, 2001). Derajat stabilitas tubuh terhadap bidang

tumpu dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu (1) ketinggian dari titik

pusat gravitasi dengan bidang tumpu, (2) ukuran luas bidang

tumpu, (3) posisi garis gravitasi dengan bidang tumpu dan (4) berat

badan. Dalam mempertahankan keseimbangan dibutuhkan interaksi

yang kompleks dari integrasi sistem sensorik (visual, vestibular,

dan somatosensoris termasuk proprioceptif) dan sensomotorik

(muskuloskeletal, otot, sendi jaringan lunak) yang keseluruhan

kerjanya diatur oleh otak terhadap respon atau pengaruh internal

dan eksternal tubuh. Bagian otak yang mengatur meliputi, basal

ganglia, cerebellum, area assosiasi (Batson, 2009). Keseimbangan

melibatkan berbagai gerakan di setiap segmen tubuh dengan

didukung oleh sistem muskuloskeletal dan bidang tumpu.

Kemampuan untuk menyeimbangkan massa tubuh dengan bidang

tumpu akan membuat manusia mampu untuk beraktivitas secara

efektif dan efesien.

b. Mekanisme Neurofisiologi Keseimbangan

Terdapat beberapa komponen fisiologis tubuh manusia untuk

melakukan reaksi keseimbangan. Bagian paling penting menjaga

keseimbangan dengan merasakan posisi bagian sendi atau tubuh

saat bergerak adalah proprioseptif yang menjaga keseimbangan.

Kemampuan untuk merasakan posisi bagian sendi atau tubuh dalam

gerak (Brown et al., 2006).

21

Keseimbangan terbentuk melalui 3 proses utama dimulai dari

input sensoris, integrasi dari sensoris, dan output motoris.

Keseimbangan normal membutuhkan kontrol dari gravitasi untuk

menjaga postur dan percepatan. Percepatan dihasilkan dari dalam

tubuh akibat gerakan volunter atau dari luar sebagai akibat dari

gangguan tak terduga (Felix, 2006). Keseimbangan diperlukan

koordinasi dari tiga sistem, yaitu sebagai berikut:

1) Sistem saraf menyediakan proses sensoris untuk persepsi tubuh

melalui sistem visual, vestibular dan somatosensoris.

2) Muskuloskeletal sistem meliputi postural alligment, fleksibilitas

otot seperti range of motion, integritas sendi dan muscle

performance.

3) Contextual effect terbagi atas dua sistem yaitu sistem lingkungan

baik terbuka maupun tertutup, efek gravitasi, tekanan pada

tubuh dan berbagai gerakan.

Elemen-elemen diatas sangat penting untuk menjaga

keseimbangan tubuh dalam keadaan statis maupun dinamis. Dalam

mempertahankan keseimbangan postural membutuhkan kerja sama

dan interaksi dari tiga komponen kontrol postural, yaitu sistem

sensori perifer meliputi sistem visual, vestibular dan

somatosensoris (taktil dan propioseptif) yang memberikan

informasi secara berkelanjutan tentang posisi dan gerakan dari

seluruh bagian tubuh yang dibutuhkan dalam mempertahankan

keseimbangan postural (Kisner, 2010).

Sistem Vestibular

Sistem vestibular berperan penting dalam keseimbangan,

gerakan kepala, dan gerak bola mata. Sistem vestibular meliputi

organ-organ bagian telinga dalam yaitu telinga kanalis

semisirkularis dan organ otolit (utrikulus dan sakulus). Kanalis

semisirkularis merasakan putaran kepala dan organ otolit

merasakan percepatan linier pada kepala. Utrikulus berfungsi

22

mengisyaratkan posisi kepala relatif terhadap gravitasi. Sakulus

bereaksi pada percepatan linier. Sakulus memberikan reaksi

terhadap percepatan vertikal tingkat tinggi yang menimbulkan

respon motorik yang dibutuhkan untuk merespon gerakan secara

optimal sewaktu terjatuh (Jafek, 2005).

Gangguan fungsi vestibular dapat menyebabkan vertigo atau

gangguan keseimbangan. Keseimbangan dan orientasi tubuh

seseorang terhadap lingkungan disekitarnya tergantung pada input

sensorik dari reseptor vestibular di labirin, organ visual dan

proprioseptif. Gabungan informasi ketiga reseptor sensorik tersebut

akan diolah di SSP, sehingga menggambarkan keadaan posisi

tubuh pada saat itu (Silverthrone, 2010).

Gerakan atau perubahan kepala dan tubuh akan menimbulkan

perpindahan cairan endolimfa di labirin dan selanjutnya silia sel

rambut akan menekuk. Tekukan silia menyebabkan permeabilitas

membran sel berubah, sehingga ion kalsium akan masuk ke dalam

sel yang menyebabkan terjadinya proses depolarisasi dan akan

merangsang penglepasan neurotransmitter eksitator diteruskan

melalui saraf kranialis VIII ke nukleus vestibular yang terletak di

batang otak (brain stem). Beberapa stimulus tidak menuju langsung

ke nukleus vestibular tetapi ke serebelum, formatio retikularis,

thalamus dan korteks serebri. Sewaktu berkas silia terdorong ke

arah berlawanan, maka terjadi hiperpolarisasi. Nukleus vestibular

menerima masukan (input) dari reseptor labyrinth, formasi

(gabungan retikular), dan serebelum. Hasil dari nukleus vestibular

di salurkan menuju ke motor neuron melalui medula spinalis,

terutama ke motor neuron yang menginervasi otot-otot proksimal,

otot pada leher dan otot-otot punggung (otototot postural). Sistem

vestibular bereaksi sangat cepat sehingga membantu

mempertahankan keseimbangan tubuh dengan mengontrol otot-otot

postural (Watson et al., 2008).

23

Sistem Visual

Mata adalah organ visual mempunyai tugas penting bagi

kehidupan manusia yaitu memberi informasi kepada otak tentang

posisi tubuh terhadap lingkungan berdasarkan sudut dan jarak

dengan objek sekitarnya. Dengan input visual, maka tubuh manusia

dapat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi dilingkungan

sehingga sistem visual langsung memberikan informasi ke otak,

kemudian otak memerikan informasi agar sistem muskuloskeletal

dapat bekerja secara sinergis untuk mempertahankan keseimbangan

tubuh (Kolb, 2011).

Somatosensori

Sistem Somatosensori mempunyai beberapa neuron yang

panjang dan saling berhubungan satu sama lainnya yang mana

sistem somatosensori memiliki tiga neuron yang panjang yaitu :

primer, sekunder dan tersier (Hanes, 2006). Sistem somatosensori

terdiri dari reseptor sensori dan motorik (aferen) neuron di

pinggiran (kulit, otot dan organ-organ misalnya), ke neuron yang

lebih dalam dari sistem saraf pusat. Sistem somatosensori adalah

sistem sensorik yang beragam yang terdiri dari reseptor dan pusat

pengolahan untuk menghasilkan modalitas sensorik seperti

sentuhan, temperatur, proprioception (posisi tubuh), dan

nociception (nyeri). Reseptor sensorik menutupi kulit dan epitel,

otot rangka, tulang dan sendi, organ, dan sistem kardiovaskular.

Informasi proprioseptif disalurkan ke otak melalui kolumna

dorsalis medula spinalis. Sebagian besar masukan (input)

proprioseptif menuju serebelum, tetapi ada pula yang menuju ke

korteks serebri melalui lemniskus medialis dan thalamus (Horak,

2006).

Kesadaran akan posisi berbagai bagian tubuh dalam ruang

sebagian bergantung pada impuls yang datang dari alat indera

dalam dan sekitar sendi. Alat indera tersebut adalah ujung-ujung

24

saraf yang beradaptasi lambat di sinovial dan ligamentum. Impuls

dari alat indera ini dari reseptor raba di kulit dan jaringan lain, serta

otot di proses di korteks menjadi kesadaran akan posisi tubuh

dalam ruang (Sezler, 2006).

Faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan

Keseimbangan dipengaruhi oleh banyak faktor yang terdiri

dari pusat COG, garis gravitasi, bidang tumpu (base of support)

dan kekuatan otot sehingga dipengaruhi dari kematangan dan

pertumbuhan pada komponen yang terdapat individu.

1) Pusat gravitasi (Center of Gravity-COG)

Pusat gravitasi merupakan titik gravitasi yang terdapat

pada semua benda baik benda hidup maupun mati, titik pusat

gravitasi terdapat pada titik tengah benda tersebut, fungsi dari

Center of gravity adalah untuk mendistribusikan massa benda

secara merata, pada manusia beban tubuh selalu ditopang oleh

titik ini, maka tubuh dalam keadaan seimbang. Tetapi jika

terjadi perubahan postur tubuh maka titik pusat gravitasi pun

berubah, maka akan menyebabkan gangguan keseimbangan

(unstable). Titik pusat gravitasi selalu berpindah secara otomatis

sesuai dengan arah atau perubahan berat, jika center of gravity

terletak di dalam dan tepat ditengah maka tubuh akan seimbang,

jika berada diluar tubuh maka akan erjadi keadaan unstable.

Pada manusia pusat gravitasi saat berdiri tegak terdapat pada

satu inchi di depan vertebra sacrum dua (Bishop, 2009).

2) Garis gravitasi (Line of Gravity-LOG)

Garis gravitasi adalah garis imajiner yang berada vertikal

melalui pusat gravitasi. Derajat stabilitas tubuh ditentukan oleh

hubungan antara garis gravitasi, pusat gravitasi dengan base of

support (Huxam, 2005).

3) Bidang tumpu (Base of Support-BOS)

25

Base of Support (BOS) merupakan bagian dari tubuh yang

berhubungan dengan permukaan tumpuan. Ketika garis gravitasi

tepat berada di bidang tumpu, tubuh dalam keadaan seimbang.

Stabilitas yang baik terbentuk dari luasnya area bidang tumpu.

Semakin besar bidang tumpu, semakin tinggi stabilitas.

Misalnya berdiri dengan kedua kaki akan lebih stabil dibanding

berdiri dengan satu kaki. Semakin dekat bidang tumpu dengan

pusat gravitasi, maka stabilitas tubuh makin tinggi (Chang,

2009).

4) Kekuatan otot (Muscle Strength)

Kekuatan otot adalah kemampuan otot atau group otot

menghasilkan tegangan dan tenaga selama usaha maksimal baik

secara dinamis maupun secara statis. Kekuatan otot dihasilkan

oleh kontraksi otot yang maksimal. Otot yang kuat merupakan

otot yang dapat berkontraksi dan rileksasi dengan baik, jika otot

kuat maka keseimbangan dan aktivitas sehari-hari dapat berjalan

dengan baik seperti berjalan, lari, bekerja ke kantor, dan lain

sebagainya. Kekuatan otot dari kaki, lutut serta pinggul harus

adekuat untuk mempertahankan keseimbangan tubuh saat

adanya gaya dari luar. Kekuatan otot tersebut berhubungan

langsung dengan kemampuan otot untuk melawan gaya gravitasi

serta beban eksternal lainnya yang secara terus menerus

mempengaruhi posisi tubuh (Knudson, 2007).

Faktor lain yang mempengaruhi keseimbangan adalah

kognitif. Kognitif berpengaruh langsung pada kemampuan

motorik seseorang. Kemampuan motorik yang di maksud dapat

berupa koordinasi, dexterity, agility dan keseimbangan (Thomas,

2012).

Pendapat tersebut diperkuat dalam hasil penelitian tentang

keseimbangan yang menyatakan bahwa latihan kognitif dapat

meningkatkan keseimbangan dan mengurangi resiko jatuh

26

(Bowers, 2010). Kognitif dapat meningkat bila seseorang

melakukan aktivitas fisik secara teratur. Aktivitas fisik langsung

dapat menstimulasi otak dan meningkatkan protein di otak yang

disebut Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNFD).

Protein BDNF ini berperan penting menjaga sel saraf tetap

bugar dan sehat serta berperan terhadap fungsi memori pada

otak. Kadar BDNF yang rendah dapat menyebabkan penurunan

daya hantar antar saraf sehingga gerak menjadi lambat. Semakin

banyak lansia melakukan aktivitas fisik akan mengaktifkan

peningkatan protein BDNF pada otak sehingga daya hantar saraf

mengalami peningkatan dan akan meningkatkan waktu reaksi,

kognitif dan reflek yang akan mempengaruhi keseimbangan

(Turana,2013).

Keseimbangan dinamis perlu untuk dijaga dan

dioptimalkan kemampuannya. Hal ini karena saat melakukan

aktivitas sehari-hari keseimbangan dinamis sangat berperan

penting dalam menjaga posisi tubuh agar tetap tegak dan akan

tercipta koordinasi gerakan yang baik dan terarah. Menurut

Sudarsono (2006), keseimbangan dinamis sangat penting dalam

kehidupan sehari-hari karena dapat mencegah seseorang

terjatuh, baik ketika jalan, bangkit dari duduk, naikturun tangga

serta saat berjalan pada permukaan yang tidak rata. Beberapa

penelitian telah menunjukkan bahwa beberapa kemampuan

fungsional seperti jalan cepat, perubahan langkah, melangkah ke

samping dan melangkah melewati rintangan akan sulit dilakukan

oleh lansia. Penurunan kemampuan fungsional lansia dikaitkan

dengan masalah keseimbangan dan jatuh. Beberapa faktor yang

menyebabkan jatuh seperti penurunan kekuatan otot, penurunan

fleksibilitas, dan hilangnya propioseptor ekstremitas bawah.

Untuk mencegah jatuh pada lansia, dapat dilakukan dengan cara

27

olahraga dengan prinsip penguatan, kontrol, keseimbangan dan

berjalan dalam arah yang berbeda (Mao, 2006).

c. Produktivitas pada lanjut usia

Salah satu indikator dari suatu keberhasilan pembangunan nasional

dilihat dari segi kesehatan adalah semakin meningkatnya usia harapan hidup

penduduk. Berdasarkan sumber dari World Population Prospects tahun

2012, bahwa penduduk Indonesia antara tahun 2015 – 2020 memiliki

proyeksi rata – rata usia harapan hidup sebesar 71,7%. Meningkat 1% dari

tahun 2010 – 2015. Meningkatnya usia harapan hidup, dapat menyebabkan

peningkatan jumlah lanjut usia (lansia) dari tahun ketahun (Kemenkes RI,

2012).

Usia tua dipandang sebagai masa kemunduran, masa dimana para

orang lanjut usia (lansia) merasakan penurunan-penurunan yang terjadi pada

dirinya baik secara fisik dan psikologis. Para lansia menjalani dan

memaknai usia lanjut dengan cara yang berbeda-beda. Ada orang berusia

lanjut yang mampu melihat arti penting usia tua dalam konteks eksistensi

manusia, yaitu sebagai masa hidup yang memberi lansia kesempatan-

kesempatan untuk tumbuh berkembang dan memiliki keinginan untuk

melakukan sesuatu atau berarti untuk orang lain (Sulandari et al., 2010).

Lansia merupakan sebuah siklus hidup manusia yang hampir pasti

dialami setiap orang. Kenyataan saat ini, setiap kali menyebut kata Lansia

yang terbersit di benak kita adalah seseorang yang tidak berdaya, dan

memiliki banyak keluhan kesehatan. Padahal, Lansia sebenarnya dapat

berdaya sebagai subyek dalam pembangunan kesehatan. Pengalaman hidup,

menempatkan Lansia bukan hanya sebagai orang yang dituakan dan

dihormati di lingkungannya, tetapi juga dapat berperan sebagai agen

perubahan (agent of change) di lingkungan keluarga dan masyarakat

sekitarnya dalam mewujudkan keluarga sehat, dengan memanfaatkan

pengalaman yang sudah dimiliki dan diperkaya dengan pemberian

pengetahuan kesehatan yang sesuai (Depkes, 2016).

28

Lansia yang sehat harus diberdayakan agar dapat tetap sehat dan

mandiri selama mungkin. Salah satu upaya untuk memberdayakan Lansia di

masyarakat adalah melalui pembentukan dan pembinaan Kelompok Lansia

yang di beberapa daerah disebut dengan Posyandu Lansia atau Posbindu

Lansia. Melalui Kelompok ini, Lansia dapat melakukan kegiatan yang dapat

membuat mereka tetap aktif, antara lain: berperan sebagai kader di

Kelompok Lansia,melakukan senam Lansia, memasak bersama, termasuk

membuat kerajinan tangan yang selain berperan sebagai penyaluran hobi

juga dapat meningkatkan pendapatan keluarga.

Meningkatnya usia harapan hidup penduduk menurut Karimah dkk

(2016) dapat menyebabkan peningkatan jumlah lansia dari tahun ketahun.

Peningkatan jumlah lansia akan menyebabkan berbagai masalah kesehatan

seperti meningkatnya penyakit degeneratif dan kanker yang menyebabkan

penurunan produktifitas lansia. Penurunan produktifitas pada lansia terjadi

karena penurunan fungsi, sehingga dapat menyebabkan lansia mengalami

penurunan kemandirian dalam melaksanakan kegiatan harian. Pengaruh

peningkatan populasi usia lanjut ini akan sangat tampak pada hal ekonomi

dan sosial, dimana seperti kita ketahui saat ini angka kejadian penyakit

kronis, degeneratif, maupun berbagai macam kanker semakin meningkat,

juga angka kematian akibat penyakit-penyakit tersebut yang meningkat.

Kecacatan akibat penyakit degeneratif pun tidak akan terhindarkan,

sehingga menurunkan produktifitas para usia lanjut. Penurunan produktifitas

dari kelompok usia lanjut ini terjadi karena terjadi penurunan fungsi,

sehingga akan menyebabkan kelompok usia lanjut mengalami penurunan

dalam melaksanakan kegiatan harian seperti makan, ke kamar mandi,

berpakaian, dan lainnya dalam Activities Daily Living (ADL). Lansia

dirasakan semakin mirip dengan anak-anak, dalam ketergantungan

pemenuhan kebutuhan dasarnya, hal inilah yang menyebabkan pada

akhirnya lansia dikirim ke panti wreda (David, 2013).

Menurut Guntur (2006) mengatakan bahwa proses menua adalah suatu

proses menghilangnya secara perlahanlahan kemampuan jaringan untuk

29

memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya,

sehingga tidak dapatbertahan terhadap infeksi dan memperbaikinya

kerusakan yang diderita. Menurut Orem (2001) menggambarkan lansia

sebagai suatu unit yang juga menghendaki kemandirian dalam

mempertahankan hidup, kesehatan dan kesejahteraannya. Faktor yang

mempengaruhi tingkat kemandirian lansia dalam melakukan aktivitas sehari

– hari seperti usia, imobilitas dan mudah jatuh (Ediawati, 2012).

Perubahan fisik yang terjadi pada lansia tentunya akan mempengaruhi

kemandirian lansia. Kemandirian adalah kebebasan untuk bertindak, tidak

tergantung pada orang lain, tidak terpengaruh pada orang lain dan bebas

mengatur diri sendiri atau aktivitas seseorang baik individu maupun

kelompok dari berbagai kesehatan atau penyakit (Ediawati, 2012).

Kemandirian pada lansia sangat penting untuk merawat dirinya sendiri

dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia. Meskipun sulit bagi anggota

keluarga yang lebih muda untuk menerima orang tua melakukan aktivitas

sehari-hari secara lengkap dan lambat. Dengan pemikiran dan caranya

sendiri lansia diakui sebagai individu yang mempunyai karakteristik yang

unik oleh sebab itu perawat membutuhkan pengetahuan untuk memahami

kemampuan lansia untuk berpikir, berpendapat dan mengambil keputusan

untuk meningkatkan kesehatanya (Atut, 2013).

Lanjut usia sebagai individu sama halnya dengan klien yang

digambarkan oleh Orem (2001) yaitu suatu unit yang juga mengehendaki

kemandirian dalam mempertahankan hidup, kesehatan dan kesejateraannya.

Kemandirian pada lanjut usia tergantung pada kemampuan status

fungsionalnya dalam melakukan aktivitas sehari – hari (Ediawati, 2012).

Dalam kamus psikologi kemandirian berasal dari kata “independen”

yang diartikan sebagai suatu kondisi dimana seseorang tidak tergantung

pada orang lain dalam menentukan keputusan dan adanya sikap percaya diri

(Husain, 2013). Kemandirian merupakan sikap individu yang diperoleh

secara komulatif dalam perkembangan dimana individu akan terus belajar

untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan,

30

sehingga individu mampu berfikir dan bertindak sendiri. Dengan

kemandirian seseorang dapat memilih jalan hidupnya untuk berkembang ke

yang lebih mantap (Husain, 2013)

Dalam penelitian Sulandari dkk (2010) lansia yang tergolong aktif dan

produktif 100% dari mereka menyatakan bahwa mereka merasa senang

dengan kehidupan yang dijalaninya saat ini. Sedangkan yang tergolong

tidak atau kurang produktif, hanya 52% dari mereka yang menikmati

hidupnya saat ini. Berdasarkan analisis data diperoleh kesimpulan bahwa 1.

lansia mengikuti kegiatan di lingkungan tempat tinggalnya dan selalu aktif

dengan kegiatan yang meningkatkan kesehatan fisik dan mentalnya, 2.

alasan lansia masih melakukan kegiatan atau aktivitas tersebut adalah

karena lansia menganggap bahwa dengan bekerja akan membuat dirinya

sehat dan menyumbangkan pengalaman yang dimilikinya untuk memotivasi

para generasi penerus agar mencapai prestasi yang membanggakan, serta

ingin mengabdikan diri dengan sesama dan membantu sesama yang

membutuhkan untuk memanfaatkan usianya yang sudah lanjut agar masih

bermanfaat untuk orang lain.

2. Olahraga

a. Hakekat olahraga

Olahraga sudah dikenal lama, baik oleh negara berkembang atau

negara maju. Banyak negara yang memprioritaskan bidang olahraga bidang

olahraga karena keunggulan di bidang olahraga sudah menjadi ikon

kebanggaan banyak negara. Hal ini di dasari bahwa salah satu karakteristik

makhluk hidup di dunia ini, termasuk manusia adalah melakukan gerakan.

Antara manusia dan aktivitas fisik merupakan dua hal yang sulit atau tidak

dapat dipisahkan. Hal ini dapat dilihat bahwa sejak manusia pada jaman

primitif hingga jaman moderen, aktivitas fisik atau gerak selalu melekat

dalam kehidupan sehari-harinya. Berarti aktivitas fisik selalu dibutuhkan

manusia.

Olahraga dalam pengertiannya mengandung arti akan adanya sesuatu

yang berhubungan dengan peristiwa mengolah yaitu mengolah raga atau

31

mengolah jasmani. Selaras dengan hal itu Giriwijoyo (2005:30) mengatakan

bahwa olahraga adalah serangkaian gerak raga yang teratur dan terencana

yang dilakukan orang dengan sadar untuk meningkatkan kemampuan

fungsionalnya. Selanjutnya Supandi (1990) yang dikutip oleh Kusmaedi

(2002:1) menyatakan bahwa kata olahraga berasal dari :

1) Disport, yaitu bergerak dari satu tempat ke tempat lain.

2) Field Sport, kegiatan yang dilakukan oleh para bangsawan yang teriri

dari kegiatan menembak dan berburu.

3) Desporter, membuang lelah

4) Sports, pemuasan atau hobi

5) Olahraga, latihan gerak badan untuk menguatkan badan, seperti

berenang, main bola, agar tumbuh menjadi sehat

Sedangkan pengertian menurut International Council of Sport and

education yang dikutip oleh Lutan (1992:17) bahwa “Olahraga adalah

kegiatan fisik yang mengandung sifat permainan dan berisi perjuangan

dengan diri sendiri atau perjuangan dengan orang lain serta konfrontasi

dengan unsur alam”. Selanjutnya Engkos Kosasih (1985:4) menyatakan

bahwa “Olahraga adalah kegiatan untuk memperkembangkan kekuatan fisik

dan jasmani supaya badannya cukup kuat dan tenaganya cukup terlatih,

menjadi tangkas untuk melakukan perjuangan hidupnya”.

Dari berbagai penjelasan dapat disimpulkan bahwa olahraga adalah

kegiatan-kegiatan yang bersifat fisik mengandung sipat permainan serta

berisi perjuangan dengan diri sendiri dengan orang lain atau konfrontasi

dengan unsur alam yang terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat sesuai

dengan kemampuan dan kesenangan.

32

Gambar 2.1. Olahraga dalam kontinum Play dan Work

Dalam olahraga reksreasi berada pada kontinum sebelah kiri, karena

lebih tinggi proporsi bermainnya. Makin tinggi proporsi bermainnya makin

tinggi nilai rekreatifnya. Olahraga kesehatan terletak ditengah-tengah

kontinum, karena untuk olahraga preventif sering dikombinasikan dengan

unsur bermain, semenatara untuk olahraga yang bersifat promotif atau

rehabilitatif lebih mengutamakan hasil akhir walaupun tidak bersifat

materially. Olahraga pendidikan walaupun lebih merupakan alat untuk

mencapai tujuan pendidikan namun nuansa bermain masih mewarnai pada

oleharaga pendidikan. Olahraga prestasi juga menekankan pada pencapaian

hasil akhir berupa prestasi maksimal untuk mendapatkan juara. Dalam work

dapat terjadi tidak ada nuansa bermain sama sekali, yang terpenting hasil

akhir berupa materially atau uang.

Menurut bapak Olympiade Modern Badon Piere de Coubertain,

bahwa tujuan akhir pendidikan jasmani dan olahraga terletak dalam

perannya sebagai wadah untuk menyempurnakan watak, dan sebagai

wahana untuk memiliki dan membentuk kepribadian yang kuat, watak yang

Olahraga

rekreasi

Olahraga

Kesehatan

Olahraga

Pendidikan

Olahraga

prestasi Olahraga mata

pencaharian

Play Sport Work

Intrinsik

Kesenangan

Prosses

Ekstrinsik

Materially

Hasil akhir

33

baik dan sifat mulia. Hanya orang-orang yang memiliki kebijaksanaan

moral seperti inilah yang akan menjadi masyarakat yang berguna (Lutan,

2001). Landasan falsafah ini mendudukan pendidikan jasmani dan olahraga

tidak hanya untuk mencapai tujuan yang dangkal saja, seperti meraih juara

atau kemenangan semata, atau sebagai ajang hiburan, tetapi disinilah

tempatnya untuk membentuk kepribadian dan watak yang baik.

Menilik dari sifat olahraga yaitu “sport belong to all human being. It

is important to women and men as sports provides opportunities to learn, to

experience succes, teamwork, and moment of excellence” (IOC, 1999).

Olahraga penting artinya bagi laki-laki dan perempuan karena olahraga

memberi peluang untuk belajar, mengalami keberhasilan, peluang untuk

bekerja sama, dan saat-saat menunjukkan keunggulan. Dimaknai pula

bahwa olahraga dapat menciptakan kebersamaan, toleransi, disamping juga

dapat menampilkan aktualisasi diri.\

Kegiatan olahraga selalu menunjukkan wujud nyata dari kehadiran

fisik. Olahraga didefinisikan beragam dalam berbagai defisni, dan tidak

pernah usai. Hal tersebut disebabkan oleh karakteristik olahraga itu sendiri

yang semakin berkembang, semakin lama semakin berubah dan semakin

kompleks baik dari jenis kegaiatan yang semakin beragam, juag penekanan

motif yang ingin dicapai ataupun konteks lingkungan sosial budaya tempat

pelaksanaanya. Keberagaman definisi olahraga ini tergantung dari sudat

mana memandangnya. Seperti dalam undang-undang nomor 3 tahun 2005

olahraga merupakan segala kegiatan yang sistematis untuk mendorong,

membina, dan mengembangkan potensi jasmani, rohani, serta sosial.

Sedangkan WHO dengan istilah physical activity dalam pengetian segala

bentuk aktivitas gerak yang dilakukan setiap harinya, termasuk juga bekerja,

rekreasi, latihan dan aktivitas olahraga.

Esensi olahraga berkaitan tiga unsur : bermain, latihan fisik, dan

kompetisi. Melanjutkan dari pengertianolahraga yang telah dijelaskan di

atas, maka terdapat pula ciri-ciri yang terdapat dalam olahraga menurut

Lutan (1992) menjelaskan ciri khas yaitu :

34

1) Olahraga ditekankan pada kegiatan jasmani yang berwujud keterampilan

gerak, daya tahan, kekuatan, kecepatan. Jadi olahraga yang lebih

dominan adalah kegiatan jasmani.

2) Olahraga sebagai realitas, olahraga dilakukan dalam suasana yang tidak

sebenarnya, tetapi keterlibatan seseorang dalam melakukan olahraga

merupakan sesuatu yang nyata.

3) Prinsip prestasi dalam olahraga, mengenai tanda-tanda prinsip prestasi

dalam olahraga adalah:

a) Peragaan kemampuan jasmani ditunjukan secara maksimal.

b) Kegiatan olahraga dilakukan secara sukarela.

c) Tidak bertujuan untuk menghancurkan lawan.

d) Aspek sosial olahraga, dalam melakukan olahraga akan

memungkinkan terjadi interaksi sosial yang akan menbentuk

kelompok sosial.

Dari penjelasan mengenai ciri-ciri olahraga maka penulis berasumsi

bahwa olahraga merupakan kegiatan fisik yang lebih dominan, kegiatan

yang nyata, terdapat prinsip prestasi, dan terdapat aspek sosial.

b. Tujuan Olahraga

Dalam kehidupan manusia tidak terlepas dari aktivitas sehari-hari,

salah satunya adalah aktivitas fisik yang disebut dengan olahraga. Olahraga

merupakan kegiatan yang bisa dilakukan oleh setiap orang dan dalam setiap

kesempatan. Sebagai mana dijelaskan oleh Ichsan (1991) bahwa: “Olahraga

pada dasarnya berisi kegiatan yang berorientasi pada gerak, pelaksanaannya

tergantung pada kemampuan dan tujuan yang ingin dicapai pelakunya”.

Mengenai tujuan olahraga Soudan dan Everett melakukan penelitian

terhadap mahasiswa yang dikutip oleh Arma Abdulah (1994 : 23) adalah

sebagai berikut: Bermacam-macam tujuan olahraga adalah:

1) Memelihara kesehatan dan kondisi jasmani yang baik

2) Memperoleh kesenangan dan kegembiraan

3) Memperoleh kepercayaan diri

4) Memperoleh latihan secara teratur

35

5) Membentuk kebiasan menggunakan waktu untuk aktivitas yang

menyenangkan

6) Mencegah, mengetahui, dan mengoreksi kelemahan dan cacat jasmani

Selanjutnya Deprtemen pendidikan dan kebudayaan (1984/1985: 47)

sebagai berikut: Bermacam-macam tujuan olahraga adalah:

1) Untuk mencari kesenangan (rekreasi)

2) Untuk mengisi waktu luang

3) Untuk kesehatan tubuh

4) Untuk physical fitnees

5) Untuk penyembuhan / pengobatan

6) Untuk pembentukan tubuh / sikap

7) Untuk mencapai prestasi

8) Untuk prestise

9) Untuk mencari nafkah

10) Sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan

Sedangkan menurut Rusli lutan (1992 : 23) berdasarkan penekanan

tujuan olahraga dibagi menjadi empat, yaitu sebagai berikut:

1) Olahraga prestasi (olahraga kompetitif) yang menekankan pada

pencapaian prestasi, kemenangan,atau keunggulan dalam perlombaan

atau pertandingan

2) Olahraga pendidikan yang menekankan pada pencapaian tujuan

pendidikan

3) Olahraga profesional yang menekankan pencapaian tujuan yang

bersipat material

4) Olahraga kesehatan untuk pencapaian derajat sehat yang lebih baik

Berdasarkan dari ketiga pendapat tersebut, maka intensitas olahraga

itu sendiri akan sangat ditentukan oleh tujuan apa yang hendak dicapai,

seseorang melakukan olahraga memiliki tujuan seperti untuk mendapatkan

pestasi, kesenangan atau kegembiraan, pendidikan, pemeliharaan kesehatan,

atau sebagai mata pencaharian. Apabila olahraga tersebut dilakukan secara

teratur, terarah, dan terkendali maka akan memberikan manfaat kepada diri

36

seseorang, sebagai mana dijelaskan oleh Supandi (1992 : 34) bahwa:

“Bergerak wajib bagi manusia, pelakunya akan memperoleh manfaat

sedangkan yang tidak akan memperoleh mudarat”.

Dengan demikian penulis berpendapat bahwa kegiatan / aktivitas olahraga

apabila dilakukan secara teratur dan terarah, maka seseorang akan

bertambah baik kualitas jasmaninya. Disamping itu dalam pelaksanaannya

olahraga dapat dilakukan di mana saja baik di desa, kota, maupun di

komplek/ pemukiman yang kiranya daerah tersebut aman bagi keselamatan.

c. Manfaat Olahraga

Aktivitas jasmani atau olahraga yang dilakukan secara teratur bagi

manusia bisa menjadikan manusia seutuhnya, disepanjang kehidupan

manusia selalu berusaha agar hidup lebih nyaman, lebih mudah, lebih

ringan. Dorongan itu menyebabkan budaya olahraga menjadi lebih

berkembang dikehidupan masyarakat pada masa sekarang ini. Hal ini dapat

dilihat dari kegiatan manusia seperti berjalan kaki, bersepeda, berolahraga,

menulis, bekerja, pergi ke kantor, untuk menunjang kegiatan tersebut

diharapkan seseorang mengembangkan faktor-faktor fisik yaitu dengan

olahraga.

Olahraga pada dasarnya berisi kegiatan yang berorientasi pada gerak,

pelaksanaannya tergantung pada kemampuan dan tujuan apa yang hendak

dicapai oleh pelakunya, seperti yang dijelaskan oleh Giriwijoyo (1992 : 80):

“Melalui aktivitas jasmani akan terjadi perubahan berupa pegaruh positif

terhadap kesehatan. Sebaliknya, akibat yang negatif akan diperoleh jika

olahraga itu dilakukan dengan cara yang salah”. Melalui perkembangan

faktor-faktor fisik dengan kegiatan olahraga secara teratur akan menunjang

kehidupan manusia.

Dari penjelasan mengenai manfaat kegiatan olahraga, maka penulis akan

mengelompokkannya .sebagai berikut:

d. Jenis Olahraga pada Lansia

Aktivitas fisik atau olahraga yang bermanfaat untuk kesehatan lansia

sebaiknya memenuhi kriteria FITT (Frequency, intensity, time and type).

37

Frekuensi adalah seberapa sering aktivitas dilakukan, beberapa hari dalam

satu minggu. Intensitas adalah seberapa keras suatu aktivitas dilakukan.

Biasanya diklasifikasikan menjadi intensitas rendah, sedang dan tinggi.

Waktu mengacu pada durasi, seberapa lama suatu aktivitas dilakukan dalam

suatu pertemuan, sedangkan jenis aktivitas adalah jenis-jenis aktivitas fisik

yang dilakukan.

Jenis-jenis olahraga pada lansia menurut Kathy (2002), meliputi

latihan aerobik, penguatan otot (muscle strengthening), fleksibilitas, dan

latihan keseimbangan. Seberapa banyak suatu latihan dilakukan tergantung

dari tujuan setiap individu, apakah untuk kemandirian, kesehatan,

kebugaran, atau untuk perbaikan kinerja (performance).

Latihan fisik dapat diartikan sebagai suatu kegiatan fisik menurut cara dan

aturan tertentu yang mempunyai sasaran meningkatkan efisiensi faal tubuh

dan sebagai hasil akhir adalah peningkatan kesegaran jasmani (Soekarman,

2003). Latihan fisik yaitu faktor yang amat penting bagi setiap atlet. Tanpa

kondisi fisik yang baik tidak akan dapat mengikuti latihan, apalagi

pertandingan dengan sempurna (Soeharno, 1993).

Latiahan fisik sebaiknya dilakukan sesuai dengan kemampuan tubuh

dalam menanggapi stres yang diberikan, bila tubuh diberi beban latihan

yang terlalu ringan, maka tidak akan terjadi proses adaptasi (Sugiharto,

2003). Demikian juga jika diberikan beban latihan yang terlalu berat dan

tubuh tidak mampu mentolelir akan menyebabkan terganggunya proses

homeostasis pada sistem tubuh dan dapat mengakibatkan kerusakan pada

jaringan.

1). Dosis latihan

Dosis latihan merupakan takaran dari pemberian beban latihan

terhadap tubuh. Fakor yang mempengaruhi latihan antara lain: a)

Intensitas, b) Frekuensi, dan c) Durasi latihan (Fox, 1993) :

2). Intensitas Latihan Fisik

38

Intensitas menunjukkan sebuah kualitas elemen latihan. Intensitas

dapat diartikan sebagai tingkatan kualitas antara lain: ringan, sedang

dan maksimal (Bompa, 1994).

Intensitas berkaitan dengan besarnya beban yang diaplikasikan

sehingga menghasilkan kontraksi submaksimal atau maksimal. Oleh

karena itu berdasarkan intensitasnya maka latihan dibedakan atas :

latihan maksimal dan submaksimal. Latihan maksimal ditujukan pada

peningkatan strength & power, latihan submaksimal ditujukan pada

peningkatan daya tahan otot.

Berdasarkan HRmax, intensitas latihan fisik dapat dibagi menjadi (1)

latihan intensitas rendah (sampai 80% HRM), (2) latihan fisik intensitas

sedang / latihan submaksimal (80% - 85% HRM), dan (3) latihan fisik

intensitas tinggi / latihan maksimal (85% - 90% HRM), (4) flat out

(90% - 100% HRM) (Wikipedia, 2011). Pada latihan submaksimal,

sistem yang berperan menyediakan energi 70% berasal dari sistem

glikolisis anaerobik dan 30% dari sistem aerobik (Bompa, 1994).

Intensitas latihan adalah beban kerja latihan total (Kent, 1994).

Parameter yang dapat digunakan untuk menentukan intensitas latihan

adalah perpaduan antara denyut nadi dan konsentrasi asam laktat dalam

darah (Jenssen, 1987). Dalam menentukan intensitas latihan ada tiga

patokan yang dapat dipakai yaitu berdasarkan denyut jantung, kadar

laktat darah, dan ambang anaerobik.

Berbagai bentuk latihan berdasarkan kadar laktat darah antara lain:

a). Latihan Pemulihan. Intensitas latihan ini jauh di bawah kadar laktat

2 mmol/l. Pada contoh di atas denyut nadi berkisar antara 110-140

detak/menit.

b). Latihan Ketahanan Ekstensif. Intensitas latihan pada kadar laktat 2

mmol/l. Pada contoh di atas denyut nadi berkisar antara 140-160

detak/menit.

39

c). Latihan Ketahanan Intensif, yaitu latihan dengan intensitas pada

kadar laktat 3 mmol /l. Pada contoh di atas denyut nadi berkisar

antara 160-180 detak/menit.

d). Pengulangan Ektensif. Intensitas latihan pada kadar laktat 4-6 mmol

/l. Pada contoh di atas denyut nadi berkisar antara 180 detak/menit.

e). Pengulangan Intensif. Intensitas latihan pada kadar laktat 6 dan 12

mmol/l. Pada contoh di atas denyut nadi di atas 180 detak/menit

(Jenssen, 1987).

3). Frekuensi latihan

Frekuensi latihan dapat dilakukan 1 kali, 2 kali, 3 kali, 4 kali dan 5

kali perminggu tergantung tujuan yang ingin dicapai (Fox, 1994).

Penentuan frekuensi latihan tergantung dari status kesehatan dan

kesegaran jasmani atlet yang akan dilatih. Agar diperoleh peningkatan

kualitas komponen kondisi fisik, maka frekuensi latihan sebaiknya

dilakukan 3-5 kali perminggu (Bompa, 1994 ; Fox, 1993).

4). Durasi latihan

Lama latihan dapat diartikan sebagai rentang waktu yang dapat

berupa berapa menit atau berapa jam latihan dilakukan dalam setiap kali

seminggu atau berapa bulan suatu program latihan berlangsung

(Bompa, 1994).

e. Energi pada saat Olahraga

Sebenarnya pada tubuh manusia banyak kpersamaannya dengan mesin

mobil. Pada mesin tersebut, bensin dan udara (O2) akan dicampur di dalaam

silinder, serta akan dibakar oleh busi. Ekpansi gas yang terjadi akan

menggerakan piston yang kemudian akan menggerakan badan mobil

tersebut. Sisa-sisa pembakaran akan dibuang lewat knalpot. Karena mesin

ini hanya bekerja kalau ada O2, jadi proses ini disebut aerobic. Kalau tangki

bensin menjadi kosong, maka mesin tersebut akan berhenti, karena operasi

dari mesin memerlukansumber energi (bensin). Kalau kita hendak

menjalankan mesin, mesin mualai digerakkan oleh starter dan itu bekerja

tanpa adanya O2 jadi anaerobic. Cadangan enersi pada accu sangat terbatas

40

dan akan diisikan lagi kelak bila mesin sudah berjalan. Hal serupa terjadi

pada tubuh manusia, namun sumber enersi utamanya yaitu karbohidrat dan

lemak. Mekanisme kerja otot hampir serupa dengan mesin mobil. Proses

pemecahan enersi untuk kontraksi di dalam sel tidak menggunakan O2, jadi

bersifat anaerobic. Glikogen atau glukosa akan dipecah menjadi asam

piruvat dengan menghasilkan enersi dalam bentuk Adenosin Triphosphat

(ATP). Pada saat yang bersamaan akan dihasilkan pula Nikcotinamide

Adenine Dunucleotida Hydrogen (NADH2). NADH2 ini harus diubah

kembali menjadi NAD agar reaksi dapat terus berlangsung.

Pada aktivitas yang ringan dan sedang, O2 yang masuk ke dalam sel

akan cukup untuk mengoksidasikan NADH2 dan dirubah kembali menjadi

NAD. Proses dengan O2 ini disebut aerobic dan terjadi di dalam

mitokondria di dalam sel otot. Sedangkan asam piruvat yang terjadi dirubah

menjadi Acetyl Coenzyme A yang kemudian masuk ke dalam mitokondria

untuk dioksidasi (dengan O2) secara lengkap menjadi CO2 dan H2O dengan

menghasilkan enersi yang besar. Proses oksidasi aerobic ini disebut

SIKLUS KREBS. Sebagaimana dari NHDH2 akan dioksidasikan di dalam

reaksi hal mana asam pyruvat berubah menjadi asam laktat.

Setelah aktivitas berhenti, generator metabolik tubuh masih berjalan

beberapa saat untuk menghasilkan ATP dari ADP, Creatine phosphate dari

Creatine. ATP dan Creatine Phosphate akan disimpan di dalam jaringan,

terutama terdapat dalam konsentrasi tinggi jaringan otot. Kedua senyawa

tersebut disebut senyawa Phosphate Energi Tinggi, dan sangat penting

untuk menghasilkan enersi awal untuk kontraksi otot (hanya beberapa detik

pertama). Pelepasan enersi bentuk ini dapat dapat berlangsung cepat dan

tidak perlu menunggu proses perombakan glukosa dan oksidasi asam

pyruvat (Acetyl Coenzyme A) yang memerlukan waktu lebih lama.

Sayangnya kedua senyawa phosphate energy tinggi tersebut tidak dapat

disimpan dalam jumlah yang banyak, oleh kaarena itu harus cepat-cepat

diganti bila sudah terpakai habis. Asam lemak dan karbohidrat akan

dioksidasi secara lengkap dengan O2 di dalam Siklus Krebs dalam

41

mitokondria (proses aerobic). Proses oksidasi asam lemak ini berlangsung

lebih lambat dari pada oksidasi karbohidrat, tetapi cadangan lemak jauh

lebih besar dari pada cadangan karbohidrat. Yang terakhir ini dalam bentuk

glycogen otot dan hati, dan merupakan sumber enersi langsung yang sangat

penting. Bagan di bawah ini menunjukkan urutan pelepasan enersi di dalam

sel sewaktu otot berkontraksi. Urutan tersebut adalah:

ATP (detik pertama), Creatine Phosphate (sampai beberapa detik

berikutnya), selanjutnya glycogen, glukosa dan asam lemak.

Manusia dan hewan menyusui lainnya tergantung dari pemakaian

sumber energy karbohidrat dan lemak. Pada kerja otot yang ringan dan

sedang setelah energi awal didapat dari ATP dan Creatine Phosphate,

selanjutnya energy diperoleh dari lemak dan karbohidrat (=glycogen) kira-

kira dalam jumlah yang sama besar. Apabila kerja otot berlangsung lebih

lama, lemak menjadi sumber energy utama dari pada karbohidrat. Cadangan

lemak akan dipecah dengan bantuan hormone norepinephrine untuk

memobilisasi asam lemak bebas yang kemudian akan dioksidasi di dalam

Siklus Krebs. Akan tetapi pada aktivitas otot yang berat sumber energi

uatama tubuh adalah karbohidrat (glycogen). Oleh karena itu cadangan

glycogen hati dan otot haruslah cukup besar apabila kita akan melakukan

aktivitas otot yang berat, misalnya dalam olahraga yang berat dan berat

sekali.

Kemampuan untuk menjalankan aktivitas fisik yang lberat dan lama

berhubungan langsung dengan jumlah cadangan glycogen initial di dalam

otot. Pada diet seimbang, glycogen otot akan mencapai 1,5 gr/100gr otot,

yakni akan cukup untuk kerja berat selama 2jam (dengan uptake axygen

maximal 75%). Lewat jangka waktu tersebut akan kelelahan.

Kadar glycogen otot dapat diperbesar dengan diet tinggi karbohidrat

sehingga mencapai 2,5gr/100gr otot. Hal ini akan menghasilkan cadangan

tenaga yang cukup untuk dipakai dalam aktivitas bera yang lebih lama.

42

f. Vo2max pada olaharaga

sel dalam tubuh manusia membutuhkan oksigen untuk mengubah

Setiap energi makanan menjadi ATP (Adhenosine Triphosphate) yang siap

dipakai untuk kerja tiap sel. Otot dalam keadaan istirahat sedikit

mengkonsumsi oksigen. Sel otot yang berkontraksi membutuhkan banyak

ATP, akibatnya otot yang dipakai dalam latihan membutuhkan lebih banyak

oksigen dan menghasilkan banyak karbondioksida (CO2).

Kebutuhan tubuh akan oksigen dapat diukur melalui pernafasan kita.

Dengan mengukur jumlah oksigen yang dipakai selama latihan intensif, kita

mengetahui jumlah oksigen yang dipakai oleh otot yang bekerja. Makin

tinggi jumlah otot yang dipakai maka makin tinggi pula intensitas kerja otot,

otomatis oksigen yang dibutuhkan semakin meningkat. Tingkat kebugaran

jasmani adalah ukuran dari kesanggupan seseorang untuk dapat melakukan

aktivitas sehari-hari. Semakin baik tingkat bugaran jasmani seseorang maka

tingkat kesanggupan untuk melakukan aktivitas cenderung baik terutama

dari segi fisik ataupun stamina. Vo2 max ini sangat menentukan kebugaran

jasmani seseorang terutama untuk atlit. Dapat disimpulkan bahwa semakin

tinggi Vo2max maka semakin baik tingkat kesegaran jasmaninya.

Dalam pengertiannya VO2 max adalah volume oksigen maksimum

yang dapat digunakan permenit. Menurut Guyton dan Hall (2008) dalam

Giri Wiarto (2013:13) VO2 max adalah kecepatan pemakaian oksigen dalam

metabolisme aerob maksimum. Menurut Thoden dalam modul Suranto

(2008 : 118) VO2max merupakan daya tangkap aerobik maksimal

menggambarkan jumlah oksigen maksimum yang dikonsumsi per satuan

waktu oleh seseorang selama latihan atau tes, dengan latihan yang makin

lama makin berat sampai kelelahan, ukurannya disebut VO2max. Beberapa

faktor yang mempengaruhi Vo2max adalah (Burhanudin Sadly, 2015):

1) Umur

2) Latihan

3) Ketinggian suatu tempat (kadar O2)

Faktor psikologis seperti

43

1) Kemampuan jaringan otot untuk menggunakan oksigen dalam proses

produksi energi tubuh.

2) Kemampuan system syaraf jantung dan paru-paru (cardiovascular)

untuk mengangkut oksigen k edalam jaringan otot.

Istilah lain yang memiliki arti yang sama dengan kesegaran jasmani

adalah kebugaran dan daya tahan aerobik, daya tahan cardirespiratory, atau

kapasitas aerobik. Manusia yang mempunyai kebugaran jantung-paru yang

baik, berbagai sistem dalam tubuhnya mampu mengambil oksigendari udara

secara optimal, mendistribusikannya ke seluruh tubuh dan

memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan tubuh.

Oksigen diambil dari udara oleh paru-paru, selanjutnya jantung dan

pembuluh darah mendistribusikannya ke seluruh tubuh. Sel dari jaringan

memanfaatkan oksigen melalui jalur metabolisme yang disebut sebagai jalur

metabolisme aerobik. Salah satu tanda kebugaran jantungparu yang baik

adalah kemampuan seseorang untuk melaksanakan kegiatan jasmani dalam

jangka waktu yang lama tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti, serta

kemampuan untuk segera pulih setelah melakukan suatu kegiatan jasmani.

Kebugaran jantung-paru seseorang dapat dilihat dari kemampuan

melaksanakan tugas berat secara terus menerus dalam waktu yang relatif

lama.

Aktivitas sehari-hari tentu melibatkan kontraksi dari otot-otot. Untuk

dapat berkontraksi dengan baik otot memerlukan suplai energi dan oksigen

yang cukup. Tanpa adanya suplai energi dan oksigen yang cukup, maka otot

tidak akan dapat bekerja dengan baik. Kemampuan kerja fisik seseorang

bergantung pada kemampuan fungsi jantung-paru. Dapat dikatakan bahwa

kebugaran jantung-paru (cardiorespiratory) merupakan unsur paling pokok

dalam kesegaran jasmani seseorang. Dengan demikian, kebugaran jantung-

paru berperanan penting untuk menjalankan aktivitas fisik.

3. Kesegaran jasmani

a. Pengertian Kesegaran Jasmani

44

Kesegaran jasmani adalah kesanggupan tubuh untuk melakukan

aktivitas tanpa mengalami kelelahan yang berarti dan masih memiliki

cadangan tenaga untuk melakukan kegiatan yang lain. Dalam pengertian

lain kesegaran jasmani merupakan kemampuan seseorang untuk

melaksanakan tugas sehari-hari dengan kesungguhan dan tnggung jawab,

tanpa memiliki rasa lelah dan penuh semangat untuk menikmati penggunaan

waktu luang dan menghadapi kemungkinan berbagai bahaya dimasa yang

akan datang (Ichsan, 1988).

Sadoso Sumosardjuno (1989 : 9) mendefinisikan Kesegaran Jasmani

adalah kemampuan seseorang untuk menunaikan tugasnya sehari-hari

dengan gampang, tanpa merasa lelah yang berlebihan, serta masih

mempunyai sisa atau cadangan tenaga untuk menikmati waktu senggangnya

dan untuk keperluan-keperluan mendadak. dengan kata lain Kesegaran

jasmani dapat pula didefinisikan sebagai kemampuan untuk menunaikan

tugas dengan baik walaupun dalam keadaan sukar, dimana orang yang

kesegaran jasmaninya kurang, tidak akan dapat melakukannya. Agus

Mukhlolid, M.Pd (2004 : 3) menyatakan bahwa Kesegaran Jasmani adalah

kesanggupan dan kemampuan untuk melakukan kerja atau aktivitas,

mempertinggi daya kerja dengan tanpa mengalami kelelahan yang berarti

atau berlebihan.

b. Fungsi Kesegaran Jasmani

Kesegaran jasmani mempunyai fungsi yang sangat penting bagi

kehidupan seseorang dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Kebugaran

jasmani berfungsi untuk meningkatkan kemampuan kerja bagi siapapun

yang memilikinya sehingga dapat melaksanakan tugas-tugasnya secara

optimal untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Dari hasil seminar

kebugaran jasmani nasional pertama yang dilaksanakan diJakarta pada

tahun 1971 dijelaskan bahwa fungsi kebugaran jasmani adalah untuk

mengembangkan kekuatan, kemampuan, dan kesanggupan daya kreasi serta

daya tahan dari setiap manusia yang berguna untuk mempertinggi daya

kerja dalam pembangunan dan pertahanan bangsa dan negara.

45

c. Peningkatan Kesegaran Jasmani

Untuk peningkatan dan pemeliharaan kebugaran jasmani tidak

terlepas dari latihan jasmani yang membina keseimbangan unsur kesegaran

jasmani. Untuk membina atau memelihara kesegaran jasmani, salah satu

caranya adalah dengan melakukan latihan fisik atau latihan jasmani. Suatu

latihan yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesegaran jasmani, harus

dilakukan menurut aturan atau cara tertentu. Hal ini berkaitan pula dengan

jenis kegiatan jasmani yang terbagi dalam beberapa jenis, yaitu kegiatan

yang bersifat aerobic (latihan yang membutuhkan oksigen) dan kegiatan

yang bersifat anaerobic (latihan yang tidak membutuhkan oksigen), dan

yang tergantung pada keterampilan.

d. Kesegaran Jasmani dan Kualitas Tidur

Tidur adalah suatu perubahan kesadaran ketika persepsi dan reaksi

individu terhadap lingkungan menurun. Tidur dikarakteristikkan dengan

aktifitas fisik yang minimal, tingkat kesadaran yang bervariasi, perubahan

proses fisiologis tubuh dan penurunan respon terhadap stimulus eksternal

(Mubarak, 2006).

Tidur adalah kondisi organisme yang sedang istirahat secara reguler,

berulang dan reversible dalam keadaan mana ambang rangsang terhadap

rangsangan dari luar lebih tinggi jika dibandingkan dengan keadaan jaga.

(Prayitno, 2002). Tidur merupakan salah satu cara untuk melepaskan

kelelahan jasmani dan kelelahan mental. Dengan tidur semua keluhan hilang

atau berkurang dan akan kembali mendapatkan tenaga serta semangat untuk

menyelesaikan persoalan yang dihadapi, pada lansia yang memiliki

kesegaran jasmani bagus akan memiliki penurunan aktifitas saraf simpatis

dan peningkatan aktifitas saraf para simpatis yang berpengaruh pada

penurunan hormon adrenalin, norepinefrin dan katekolamin serta

vasodilatasi pada pembuluh darah yang mengakibatkan transport oksigen

keseluruh tubuh terutama otak lancar.

46

sehingga dapat menurunkan tekanan darah dan nadi menjadi normal.

Pada kondisi ini akan meningkatkan relaksasi lansia. Selain itu, sekresi

melatonin yang optimal dan pengaruh beta endorphin dan membantu

peningkatan pemenuhan kebutuhan tidur lansia (Rahayu, 2008).

Peningkatan kualitas dan kuantitas pemenuhan kebutuhan tidur juga akan

mempengaruhi tekanan darah dan nadi untuk tetap dalam batas normal

ketika lansia bangun tidur. Hal ini didukung dari penelitian Hubungan

Asupan Zat Gizi Makro Dan Mikro Serta Kualitas Tidur Dengan Status

Kebugaran Atlet Softball Di Koni Banten Tahun 2016.

4. Kecemasan

a. Pengertian kecemasan

Pada dasarnya, kecemasan merupakan hal wajar yang pernah dialami

oleh setiap manusia. Kecemasan sudah dianggap sebagai bagian dari

kehidupan sehari-hari. Kecemasan adalah suatu perasaan yang sifatnya

umum, dimana seseorang merasa ketakutan atau kehilangan kepercayaan

diri yang tidak jelas asal maupun wujudnya (Wiramihardja, 2005:66).

Kecemasan adalah sesuatu yang menimpa hampir setiap orang pada waktu

tertentu dalam kehidupannya. Kecemasan merupakan reaksi normal

terhadap situasi yang sangat menekan kehidupan seseorang. Kecemasan bisa

muncul sendiri atau bergabung dengan gejala-gejala lain dari berbagai

gangguan emosi (Ramaiah, 2003:10).

Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (Fauziah & Widuri, 2007:73)

kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan

merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan,

pengalaman baru atau yang belum pernah dilakukan, serta dalam

menemukan identitas diri dan arti hidup. Kecemasan adalah reaksi yang

dapat dialami siapapun. Namun cemas yang berlebihan, apalagi yang sudah

menjadi gangguan akan menghambat fungsi seseorang dalam kehidupannya.

Kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengenai ketegangan

mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan

mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak

47

menentu tersebut pada umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan

menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis dan psikologis (Kholil Lur

Rochman, 2010:104).

Namora Lumongga Lubis (2009:14) menjelaskan bahwa kecemasan

adalah tanggapan dari sebuah ancaman nyata ataupun khayal. Individu

mengalami kecemasan karena adanya ketidakpastian dimasa mendatang.

Kecemasan dialami ketika berfikir tentang sesuatu tidak menyenangkan

yang akan terjadi. Sedangkan Siti Sundari (2004:62) memahami kecemasan

sebagai suatu keadaan yang menggoncangkan karena adanya ancaman

terhadap kesehatan Beverly (2005:163)

memberikan pengertian tentang kecemasan sebagai suatu keadaan

emosional yang mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang

yang tidak menyenangkan, dan kekhawatiran bahwa sesuatu yang buruk

akan terjadi. Kecemasan adalah rasa khawatir , takut yang tidak jelas

sebabnya. Kecemasan juga merupakan kekuatan yang besar dalam

menggerakkan tingkah laku, baik tingkah laku yang menyimpang ataupun

yang terganggu. Keduaduanya merupakan pernyataan, penampilan,

penjelmaan dari pertahanan terhadap kecemasan tersebut (Singgih D.

Gunarsa, 2008:27).

Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa pendapat diatas bahwa

kecemasan adalah rasa takut atau khawatir pada situasi tertentu yang sangat

mengancam yang dapat menyebabkan kegelisahan karena

adanyaketidakpastian dimasa mendatang serta ketakutan bahwa sesuatu

yang buruk akan terjadi atau kecemasan adalah manifestasi dari berbagai

proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang

mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik).

Perubahan terjadi pada manusia seiring dengan berjalannya waktu melalui

tahap-tahap perkembangan mulai dari periode prenatal sampai pada usia

lanjut.

48

b. Kecemasan pada lanjut usia

Keberadaan lanjut usia mendorong pemerintah untuk melaukan

perbaikan dalam berbagai bidang, seiring dengan keberhasilan pemerintah

dalam pembangunan nasional, telah mewujudkan hasil yang positif terutama

terlihat dalam bidang kesehatan. Hal inilah yang meningkatnya kualitas

kesehatan serta umur harapan hidup manusia.

Peningkatan populasi lanjut usia ini tentunya diikuti pula dengan

berbagai persoalan. Kecemasan merupakan salah satu masalah mental yang

umum dialami oleh lanjut usia. Mempengaruhi 1 dari 10 orang berusia di

atas 60 tahun. Studi pendahuluan pada 15 orang mendapatkan delapan orang

mengalami kecemasan ringan (53,33%) satu orang mengalami kecemasan

sedang (6,67%) dan enam orang tidak mengamai kecemasan (40%).

Kelompok rentan yang mempunyai kemungkinan terbesar untuk

menjadi korban peruabahan sosial adalah kelompok usia lanjut. Mereka

yang memiliki konsep hidup tradisional, seperti harapan akan dihormati dan

dirawat di masa tua, atau hubungan erat dengan anak yang telah dewasa.

Pada kenyataannya harus hidup dalam sistem nilai yang berbeda dengan

yang dianut misalnya kurang perasaan dihormati, karena anak tidak lagi

tergantung secara ekonomi pada orang tua, serata kurangnya waktu bagi

menantu perempuan untuk menjaga orang tua, karena bekerja. Keadaan ini

dapat mempengaruhi psikologis dan kesejahteraan lanjut usia (Isfandari,

1999).

Pada umumnya masalah kesepian adalah masalah psikologis yang

paling banyak dialami lanjut usia. Beberapa penyebab kesepian antara lain

(1) Longgarnya kegiatan dalam mengasuh anak-anak karena anak-anak

sudah dewasa dan bersekolah tinggi sehingga tidak memerlukan

penanganan yang terlampau rumit (2) Berkurangnya teman atau relasi akibat

kurangnya aktivitas sehingga waktu yang bertambah banyak (3)

Meninggalnya pasangan hidup (4) Anak-anak yang meninggalkan rumah

karena menempu pendidikan yang lebih tinggi, anak-anak yang

meninggalkan rumah untuk bekerja, (5) Anak-anak telah dewasa dan

49

membentuk rumah tangga sendiri. Beberapa masalah tersebut akan

menimbulkan rasa kesepian lebih cepat bagi orang lanjut usia. Dari segi

inilah lanjut usia mengalami masalah psikologis yang banyak

mempengaruhi kesehatan psikis, sehingga menyebabkan orang lanjut usia

kurang mandiri (Suhartini, 2004).

Pada orang lanjut usia umur 60-an sering mengalami depresi, mereka

mengatakan kekhawatiran tentang rasa takutnya terhadap kematian,

kehilangan keluarga atau teman karib, kedudukan sosial, pekerjaan, uang,

atau mungkin rumah tinggi, semua ini dapat menimbulkan reaksi yang

merugikan. Bagi kebanyakan orang lanjut usia, kehilangan sumber daya

ditambahkan pada sumber daya yang memang sudah terbatas. Menjadi hal

yang mendapat perhatian ialah kekurangan kemampuan adaptasi

berdasarkan hambatan psikologik, yaitu rasa khawatir dan takut yang

diperoleh dari rasa lebih muda dan yang dimodifikasi, diperkuat dan

diuraikan sepanjang masa hidup individu (Maramis, 2004).

c. Kecemasan dan kualitas tidur pada lansia

Lansia banyak menghadapi berbagai masalah kesehatan yang perlu

penanganan segera dan terintegrasi. Seiring dengan bertambahnya usia,

maka akan terjadi penurunan fungsi tubuh pada lansia, baik fisik, fisiologis

maupun psikologis. Masalah kesehatan jiwa yang sering terjadi pada lansia

adalah kecemasan, depresi, insomnia, paranoid, dan demensia, jika lansia

mengalami masalah tersebut, maka kondisi itu dapat mengganggu kegiatan

sehari-hari lansia. Mencegah dan merawat lansia dengan masalah kesehatan

jiwa adalah hal yang sangat penting dalam upaya mendorong lansia bahagia

dan sejahtera di dalam keluarga serta masyarakat (Maryam dkk, 2012).

Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar yang

berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini

tidak memiliki obyek yang spesifik. Kecemasan dialami secara subjektif dan

dikomunikasikan secara interpersonal (Stuart, 2012). Gejala kecemasan

yang dialami oleh lansia adalah ; perasaan khawatir/takut yang tidak

rasional akan kejadian yang akan terjadi, sulit tidur, rasa tegang dan cepat

50

marah, sering mengeluh akan gejala yang ringan atau takut dan khawatir

terhadap penyakit yang berat dan sering membayangkan hal-hal yang

menakutkan/rasa panik terhadap masalah yang besar (Maryam dkk, 2012).

Kecemasan yang dialami oleh lansia juga dapat menyebabkan

kesulitan tidur serta dapat mempengaruhi kosentrasi dan kesiagaan, dan juga

meningkatkan resiko-resiko kesehatan, serta dapat merusak fungsi sistem

imun. Kekurangan tidur pada lansia memberikan pengaruh terhadap fisik,

kemampuan kognitif dan juga kualitas hidup (Maryam dkk, 2012).

Istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh

semua orang. Setiap orang memerlukan kebutuhan istirahat atau tidur yang

cukup agar tubuh dapat berfungsi secara normal. Pada kondisi istirahat dan

tidur, tubuh melakukan proses pemulihan untuk mengembalikan stamina

tubuh hingga berada dalam kondisi yang optimal (Guyton & Hall, 2007).

Hal ini didukung dari penelitian Hubungan Kecemasan Dengan

Kualitas tidur lansia di posbindu anyelir kecamatan cisarua kabupaten

bandung barat oleh Okantiranti (2014) dan hubungan antara tingkat

kecemasan dengan kualitas tidur lansia di wilayah kerja puskesmas padang

pasir Padang oleh Syara (2015) yang mendapatkan hasil bahwa kecemasan

lansia mempengaruhi tingkat kualitas tidur pada lansia.

5. Kualitas Tidur

a. Pengertian Tidur

Tidur didefenisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar dimana

seseorang masih dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik

atau dengan rangsang lainnya (Guyton & Hall, 1997). Tidur adalah suatu

proses perubahan kesadaran yang terjadi berulang-ulang selama periode

tertentu (Potter & Perry, 2005). Menurut Chopra (2003), tidur merupakan

dua keadaan yang bertolak belakang dimana tubuh beristirahat secara tenang

dan aktivitas metabolisme juga menurun namun pada saat itu juga otak

sedang bekerja lebih keras selama periode bermimpi dibandingkan dengan

ketika beraktivitas di siang hari.

b. Fisiologi Tidur

51

Setiap makhluk memiliki irama kehidupan yang sesuai dengan masa

rotasi bola dunia yang dikenal dengan nama irama sirkadian. Irama

sirkadian bersiklus 24 jam antara lain diperlihatkan oleh menyingsing dan

terbenamnya matahari, layu dan segarnya tanam-tanaman pada malam dan

siang hari, awas waspadanya manusia dan bintang pada siang hari dan

tidurnya mereka pada malam hari (Harsono, 1996).

Tidur merupakan kegiatan susunan saraf pusat, dimana ketika

seseorang sedang tidur bukan berarti bahwa susunan saraf pusatnya tidak

aktif melainkan sedang bekerja (Harsono, 1996). Sistem yang mengatur

siklus atau perubahan dalam tidur adalah reticular activating system (RAS)

dan bulbar synchronizing regional (BSR) yang terletak pada batang otak

(Potter & Perry, 2005)

RAS merupakan sistem yang mengatur seluruh tingkatan kegiatan

susunan saraf pusat termasuk kewaspadaan dan tidur. RAS ini terletak

dalam mesenfalon dan bagian atas pons. Selain itu RAS dapat memberi

rangsangan visual, pendengaran, nyeri dan perabaan juga dapat menerima

stimulasi dari korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir.

Dalam keadaan sadar, neuron dalam RAS akan melepaskan katekolamin

seperti norepineprin. Demikian juga pada saat tidur, disebabkan adanya

pelepasan serum serotonin dari sel khusus yang berada di pons dan batang

otak tengah, yaitu BSR (Potter & Perry, 2005).

c. Tahapan Tidur

Tidur dibagi menjadi dua fase yaitu pergerakan mata yang cepat atau

Rapid Eye Movement (REM) dan pergerakan mata yang tidak cepat atau

Non Rapid Eye Movement (NREM). Tidur diawali dengan fase NREM yang

terdiri dari empat stadium, yaitu tidur stadium satu, tidur stadium dua, tidur

stadium tiga dan tidur stadium empat; lalu diikuti oleh fase REM (Patlak,

2005). Fase NREM dan REM terjadi secara bergantian sekitar 4-6 siklus

dalam semalam (Potter & Perry, 2005).

1) Tidur stadium satu

52

Pada tahap ini seseorang akan mengalami tidur yang dangkal

dan dapat terbangun dengan mudah oleh karena suara atau gangguan

lain. Selama tahap pertama tidur, mata akan bergerak peralahan-lahan,

dan aktivitas otot melambat (Patlak, 2005).

2) Tidur stadium dua

Biasanya berlangsung selama 10 hingga 25 menit. Denyut

jantung melambat dan suhu tubuh menurun (Smith & Segal, 2010).

Pada tahap ini didapatkan gerakan bola mata berhenti (Patlak, 2005).

3) Tidur stadium tiga

Tahap ini lebih dalam dari tahap sebelumnya (Ganong, 1998).

Pada tahap ini individu sulit untuk dibangunkan, dan jika terbangun,

individu tersebut tidak dapat segera menyesuaikan diri dan sering

merasa bingung selama beberapa menit (Smith & Segal, 2010).

4) Tidur stadium empat

Tahap ini merupakan tahap tidur yang paling dalam. Gelombang

otak sangat lambat. Aliran darah diarahkan jauh dari otak dan menuju

otot, untuk memulihkan energi fisik (Smith & Segal, 2010).

Tahap tiga dan empat dianggap sebagai tidur dalam atau deep sleep,

dan sangat restorative bagian dari tidur yang diperlukan untuk merasa

cukup istirahat dan energik di siang hari (Patlak, 2005). Fase tidur NREM

ini biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu akan

masuk ke fase REM. Pada waktu REM jam pertama prosesnya berlangsung

lebih cepat dan menjadi lebih intens dan panjang saat menjelang pagi atau

bangun (Japardi, 2002).

Selama tidur REM, mata bergerak cepat ke berbagai arah, walaupun

kelopak mata tetap tertutup. Pernafasan juga menjadi lebih cepat, tidak

teratur, dan dangkal. Denyut jantung dan nadi meningkat (Patlak, 2005).

Selama tidur baik NREM maupun REM, dapat terjadi mimpi

tetapi mimpi dari tidur REM lebih nyata dan diyakini penting secara

fungsional untuk konsolidasi memori jangka panjang (Potter & Perry,

2005).

d. Siklus Tidur

53

Selama tidur malam yang berlangsung rata-rata tujuh jam, REM dan

NREM terjadi berselingan sebanyak 4-6 kali. Apabila seseorang kurang

cukup mengalami REM, maka esok harinya ia akan menunjukkan

kecenderungan untuk menjadi hiperaktif, kurang dapat mengendalikan

emosinya dan nafsu makan bertambah. Sedangkan jika NREM kurang

cukup, keadaan fisik menjadi kurang gesit (Mardjono, 2008).

Siklus tidur normal dapat dilihat pada skema berikut:

Gambar 2.2. Tahap-tahap siklus tidur (Potter & Perry, 2005)

Siklus ini merupakan salah satu dari irama sirkadian yang merupakan

siklus dari 24 jam kehidupan manusia. Keteraturan irama sirkadian ini juga

merupakan keteraturan tidur seseorang. Jika terganggu, maka fungsi

fisiologis dan psikologis dapat terganggu (Potter & Perry, 2005).

e. Mekanisme Tidur

Tidur NREM dan REM berbeda berdasarkan kumpulan parameter

fisiologis. NREM ditandai oleh denyut jantung dan frekuensi pernafasaan

yang stabil dan lambat serta tekanan darah yang rendah. NREM adalah

tahapan tidur yang tenang. REM ditandai dengan gerakan mata yang cepat

dan tiba-tiba, peningkatan saraf otonom dan mimpi. Pada tidur REM

terdapat fluktuasi luas dari tekanan darah, denyut nadi dan frekuensi nafas.

Keadaan ini disertai dengan penurunan tonus otot dan peningkata aktivitas

54

otot involunter. REM disebut juga aktivitas otak yang tinggi dalam tubuh

yang lumpuh atau tidur paradoks (Ganong, 1998).

Pada tidur yang normal, masa tidur REM berlangsung 5-20 menit,

rata-rata timbul setiap 90 menit dengan periode pertama terjadi 80-100

menit setelah seseorang tertidur. Tidur REM menghasilkan pola EEG yang

menyerupai tidur NREM tingkat I dengan gelombang beta, disertai mimpi

aktif, tonus otot sangat rendah, frekuensi jantung dan nafas tidak teratur

(pada mata menyebabkan gerakan bola mata yang cepat atau rapid eye

movement), dan lebih sulit dibangunkan daripada tidur gelombang lambat

atau NREM.

Pengaturan mekanisme tidur dan bangun sangat dipengaruhi oleh

sistem yang disebut Reticular Activity System. Bila aktivitas Reticular

Activity System ini meningkat maka orang tersebut dalam keadaan sadar jika

aktivitas Reticular Activity System menurun, orang tersebut akan dalam

keadaan tidur. Aktivitas Reticular Activity System (RAS) ini sangat

dipengaruhi oleh aktivitas neurotransmitter seperti sistem serotoninergik,

noradrenergik, kolinergik, histaminergik (Japardi, 2002).

f. Gangguan tidur pada lanjut usia

Dalam proses ini, tahap yang paling krusial adalah tahap lansia (lanjut

usia) dimana pada diri manusia secara alami terjadi penurunan atau

perubahan kondisi fisik,psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi

satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah

kesehatan secara fisik maupun kesehatan jiwa secara khusus pada individu

lanjut usia (Sarwono, 2010).

Perubahan spesifik pada lansia dipengaruhi kondisi kesehatan, gaya

hidup, stressor, dan lingkungan. Perawat harus mengetahui proses

perubahan normal tersebut sehingga dapat memberikan pelayanan tepat dan

membantu adaptasi lansia terhadap perubahan, salah satunya adalah

perubahan neurologis. Akibat penurunan jumlah neuron fungsi

neurotransmitter juga berkurang. Lansia sering mengeluh kesulitan untuk

tidur, kesulitan untuk tetap terjaga, kesulitan untuk tidur kembali tidur

55

setelah terbangun di malam hari, terjaga terlalu cepat, dan tidur siang yang

berlebihan. Masalah ini diakibatkan oleh perubahan terkait usia dalam siklus

tidur-terjaga (Potter & Perry 2009).

Insomnia pada lansia merupakan keadaan dimana individu mengalami

suatu perubahan dalam kuantitas dan kualitas pola istirahatnya yang

menyebabkan rasa tidak nyaman atau mengganggu gaya hidup yang di

inginkan.Gangguan tidur pada lansia jika tidak segera ditangani akan

berdampak serius dan akan menjadi gangguan tidur yang kronis. Secara

fisiologis, jika seseorang tidak mendapatkan tidur yang cukup untuk

mempertahankan kesehatan tubuh dapat terjadi efek-efek seperti pelupa,

konfusi dan disorientasi (Asmadi, 2008). Menurut National Sleep

Foundation tahun 2010 sekitar 67% dari 1.508 lansia di Amerika usia 65

tahun keatas melaporkan mengalami insomnia dan sebanyak 7,3 % lansia

mengeluhkan gangguan memulai dan mempertahankan tidur atau insomnia

Kebanyakan lansia beresiko mengalami insomnia yang disebabkan

oleh berbagai faktor seperti pensiunan, kematian pasangan atau teman dekat,

peningkatan obat-obatan, dan penyakit yang dialami. Di Indonesia insomnia

menyerang sekitar 50% orang yang berusia 65 tahun, setiap tahun

diperkirakan sekitar 20%-50% lansia melaporkan adanya insomnia dan

sekitar 17% mengalami insomnia yang serius. Prevalensi insomnia pada

lansia cukup tinggi yaitu sekitar 67% (Puspitosari, 2011) Insomnia pada

lansia disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu dari faktor status kesehatan,

penggunaan obat-obatan, kondisi lingkungan, stres psikologis, diet/nutrisi,

gaya hidup Insomnia pada usia lanjut dihubungkan dengan penurunan

memori, konsentrasi terganggu dan perubahan kinerja fungsional.

Perubahan yang sangat menonjol yaitu terjadi pengurangan pada gelombang

lambat, terutama stadium empat, gelombang alfa menurun,dan

meningkatnya frekuensi terbangun di malam hari atau meningkatnya

fragmentasi tidur karena seringnya terbangun. Gangguan juga terjadi pada

dalamnya tidur sehingga lansia sangat sensitif terhadap stimulus lingkungan,

56

kalau seorang dewasa muda normal akan terbangun sekitar 2-4 kali. Tidak

begitu halnya dengan lansia, ia lebih sering terbangun (Darmojo, 2005).

Gangguan juga terjadi pada dalamnya tidur sehingga lansia sangat

sensitif terhadap stimulus lingkungan. Selama tidur malam, seorang dewasa

muda normal akan terbangun sekitar 2-4 kali. Tidak begitu halnya dengan

lansia, ia lebih sering terbangun. Walaupun demikian, rata-rata waktu tidur

total lansia hampir sama dengan dewasa muda. Ritmik sirkadian tidur-

bangun lansia juga sering terganggu. Jam biologik lansia lebih pendek dan

fase tidurnya lebih maju. Seringnya terbangun pada malam hari

menyebabkan keletihan, mengantuk, dan mudah jatuh tidur pada siang hari,

dengan perkataan lain bertambahnya umur juga dikaitkan dengan

kecenderungan untuk tidur dan bangun lebih awal. Toleransi terhadap fase

atau jadual tidur-bangun menurun, misalnya sangat rentan dengan

perpindahan jam kerja. Adanya gangguan ritmik sirkadian tidur juga

berpengaruh terhadap kadar hormon yaitu terjadi penurunan sekresi hormon

pertumbuhan, prolaktin, tiroid, dan kortisol pada lansia. Hormon-hormon ini

dikeluarkan selama tidur dalam. Sekresi melatonin juga berkurang.

Melatonin berfungsi mengontrol sirkadian tidur. Sekresinya terutama pada

malam hari. Apabila terpajan dengan cahaya terang, sekresi melatonin akan

berkurang (Guyton, 2007)

Pengertian insomnia adalah keadaan dimana seseorang dimana tidak

bisa tidur dalam waktu yang cukup. Keluhan dari penderita insomnia adalah

mereka tidak dapat memejamkan mata atau mengistirahatkan pikirannya

walaupun hanya untuk sejenak. Ada banyak alasan seseorang menderita

insomnia mulai dari kegelisahan hingga ke bipolar disorder. Namun

terkadang tidak ada penyebab nyata dan hanya dapat terjadi karena suatu

alasan, tapi terlalu banyak kegiatan fisik dan rasa sakit juga dapat membuat

seseorang untuk sulit tidur di malam hari.Mencari penyebab dari insomnia

merupakan kunci untuk mencari obat untuk masalah ini. ternyata tidak

makan juga memberikan efek negatif berupa sulit tidur pada seseorang

(Farlane, 2012).

57

Insomnia ada 3 jenis, yaitu: insomnia sementara (bisa terjadi dimana

saja dari satu malam hingga beberapa hari), insomnia akut (sulit tidur dalam

jangka waktu satu minggu untuk 3-6 bulan), dan insomnia kronis (dimana si

penderita mengalami kesulitan tidur setiap malam selama satu bulan atau

bahkan lebih) (Farlane, 2012).

B. Kerangka Berfikir

Kerangka pemikiran yang akan dikemukakan dalam penelitian ini,

berdasarkan pada teori yang benar dan berkaitan dengan variabel yang menjadi

obyek dalam penelitian ini. Selain kerangka berpikir tersebut juga merupakan

dasar pemikiran dari penelitian yang akan dikembangkan dalam penelitian ini.

1. Sumbangan faktor antara kesegaran jasmani dengan kualitas tidur

pada lanjut usia.

Tidur merupakan suatu fenomena dasar yang penting bagi

kehidupan, kurang lebih sepertiga dari kehidupan manusia dijalankan

dengan tidur. Penelitian menunjukkan bahwa kesehatan secara menyeluruh

sangat terkait dengan tingkat pemenuhan kebutuhan tidur. Proses

degenerasi pada lansia menyebabkan waktu tidur efektif semakin

berkurang, sehingga tidak mencapai kualitas tidur yang adekuat dan akan

menimbulkan berbagai macam keluhan tidur.

Meningkatnya usia harapan hidup penduduk Indonesia membawa

konsekuensi bertambahnya jumlah lansia di Indonesia akan lebih cepat

dibandingkan negara-negara lain. Indonesia adalah termasuk negara yang

memasuki era penduduk berstruktur lansia (aging structured population)

karena jumlah penduduk yang berusia di atas 60 tahunnya sekitar 10%.

Setiap tahun sekitar 20% sampai 50% orang dewasa melaporkan adanya

gangguan pemenuhan kebutuhan tidur dan sekitar 17% mengalami

gangguan pemenuhan tidur yang serius. Prevalensi gangguan pemenuhan

kebutuhan tidur pada lansia cukup meningkat yaitu sekitar 76%.

Kelompok lansia lebih mengeluh mengalami sulit tidur sebanyak 40%,

sering terbangun pada malam hari sebanyak 30% dan sisanya gangguan

58

pemenuhan kebutuhan tidur lain. Established Population for

Epidemiologic of the Elderly (EPESE) mendapatkan dari 9000 responden,

sekitar 29% berusia diatas 65 tahun mengalami keluhan gangguan

pemenuhan kebutuhan tidur. Ketidakcukupan kualitas dan kuantitas tidur

dapat merusak memori dan kemampuan kognitif. Bila hal ini berlanjut

hingga bertahun-tahun, akan berdampak pada tekanan darah tinggi,

serangan jantung, stroke, hingga masalah psikologis seperti depresi dan

gangguan perasaan lain.

Siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormone seperti ACTH, GH,

TSH, dan LH. Hormon ini masing-masing disekresi oleh kelenjar pituitary

anterior melalui hipotalamus path way. Sistem ini secara teratur

mempengaruhi pengeluaran neurotransmitter noreepinefrin, dopamine,

serotonin yang bertugas mengatur mekanisme tidur. Pada lansia, keadaan

hormonal yang menurun akan mengakibatkan pola tidur berubah. Hormon

melatonin berperan dalam mengontrol irama sirkardian, sekresinya

terutama pada malam hari yang berhubungan dengan rasa mengantuk.

Lansia sering terbangun pada malam hari sehingga waktu tidur malam

menjadi berkurang, ketika bangun pagi terasa tidak segar, siang hari

mengalami kelelahan, lebih sering tidur sejenak dan merasa mengantuk

sepanjang hari.

Salah satu olahraga yang dapat meningkatkan pemenuhan kebutuhan

tidur adalah olahraga kardiovaskular seperti olahraga senam lansia.

Olahraga senam lansia secara teratur akan menjaga keseimbangan

homeostasis tubuh dan membawa rasa nyaman, senang, dan bahagia.

Dalam kondisi tersebut lansia tidur lebih nyenyak. Dengan demikian

terjadi peningkatan kualitas pemenuhan kebutuhan tidur.

Kualitas tidur adalah suatu keadaan dimana tidur yang dijalani

seorang individu menghasilkan kesegaran dan kebugaran disaat bangun

dari tidur. Kualitas tidur yang mencakup aspek kuantitatif dari tidur,

seperti durasi tidur, retensi tidur, serta aspek subyektif, seperti tidur dalam

dan istirahat. Perubahan tidur normal pada lansia adalah terdapat pada Non

59

Rapid Eye Movement (NREM) 3 dan 4, lansia hampir tidak memiliki tahap

4 atau tidur dalam. Perubahan pola tidur lansia disebabkan perubahan

sistem neurologis yang secara fisiologis akan mengalami penurunan

jumlah dan ukuran neuron pada sistem saraf pusat hal ini mengakibatkan

fungsi dari neurotransmitter pada sistem neurologi menurun, sehingga

distribusi norepinefrin yang merupakan zat untuk merangsang tidur juga

akan menurun. Hal ini dikarenakan aktivitas fisik dapat merangsang

penurunan aktivitas saraf simpatis dan peningkatan aktivitas para simpatis

yang berakibat pada penurunan hormon adrenalin, norepinefrin dan

katekolamin.

Sedangkan aktivitas fisik sendiri berhubungan dengan Vo2max pada

seseorang, dari beberapa penelitian dikatakan bahwa aktivitas fisik

seseorang terkait dengan nilai Vo2maxnya, jadi semakin bagus

Vo2maxnya semakin bagus pula kualitas tidurnya, hal ini dipengaruhi oleh

faktor lainnya yaitu adanya hantaran oksigen yang cukup untuk konsumsi

metabolisme di otak, sehingga perasaan relax dan nyaman dapat

membantu dalam proses tidur.

2. Sumbangan faktor antara kecemasan dengan kualitas tidur pada

lanjut usia.

Masalah psikologis yang seringkali dijumpai pada lansia meliputi

perasaan kesepian, takut kehilangan, takut menghadapi kematian,

perubahan keinginan, kecemasan dan depresi. Gangguan tidur pada lansia

merupakan keadaan dimana seseorang mengalami suatu perubahan dalam

pola istirahatnya yang disebabkan karena banyaknya masalah sehingga

menyebabkan lansia merasa kurang nyaman dalam hidupnya. Karena tidur

merupakan suatu proses otak yang dibutuhkan seseorang untuk dapat

berfungsi dengan baik yang diyakini dapat digunakan untuk keseimbangan

mental, emosional, dan kesehatan fisik.

Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar yang

berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi

ini tidak memiliki obyek yang spesifik. Kecemasan dialami secara

60

subjektif dan dikomunikasikan secara interpersonal. Gejala kecemasan

yang dialami oleh lansia adalah ; perasaan khawatir/takut yang tidak

rasional akan kejadian yang akan terjadi, sulit tidur, rasa tegang dan cepat

marah, sering mengeluh akan gejala yang ringan atau takut dan khawatir

terhadap penyakit yang berat dan sering membayangkan hal-hal yang

menakutkan/rasa panik terhadap masalah yang besar.

Kecemasan yang dialami lansia disebabkan oleh penurunan kondisi

fisik seperti hilangnya kemampuan penglihatan, badan mulai

membungkuk, kulit keriput dan sekarang sudah tidak kuat jalan jauh lagi

karena cepat lelah, beda dengan waktu muda disaat dulu kondisi fisik

masih kuat. Kecemasan yang dialami oleh lansia juga dapat menyebabkan

kesulitan tidur serta dapat mempengaruhi kosentrasi dan kesiagaan, dan

juga meningkatkan resiko-resiko kesehatan, serta dapat merusak fungsi

sistem imun. Kekurangan tidur pada lansia memberikan pengaruh terhadap

fisik, kemampuan kognitif dan juga kualitas hidup.

Istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh

semua orang. Setiap orang memerlukan kebutuhan istirahat atau tidur yang

cukup agar tubuh dapat berfungsi secara normal. Pada kondisi istirahat dan

tidur, tubuh melakukan proses pemulihan untuk mengembalikan stamina

tubuh hingga berada dalam kondisi yang optimal.

Pola tidur mencakup kualitas dan kuantitas tidur seseorang dimana

kualitas tidur adalah jumlah tahapan NREM dan REM yang dialami

seseorang dalam siklus tidurnya, dan kuantitas tidur adalah jumlah

lamanya waktu tidur yang dihabiskan seseorang dalam sehari. Pola tidur

yang tidak menetap akan memberikan dampak terhadap kekurangan tidur

sehingga akan mempengaruhi kondisi fisik dan psikis seseorang.

Gangguan pola tidur yaitu keadaan ketika individu mengalami atau

beresiko mengalami suatu perubahan dalam kuantitas atau kualitas pola

istirahatnya yang menyebabkan rasa tidak nyaman atau mengganggu gaya

hidup yang diinginkannya.

61

Feinerg mengungkapkan bahwa sejak meninggalkan masa remaja,

kebutuhan tidur seseorang menjadi relatif tetap. Luce dan Segal

mengungkapkan bahwa faktor usia merupakan faktor terpenting yang

berpengaruh terhadap kualitas tidur. Semakin bertambahnya usia

berpengaruh terhadap penurunan dari periode tidur. Kebutuhan tidur umur

60 tahun ke atas rata - rata 6 jam sehari. Orang yang berusia lebih dari 60

tahun sering menyampaikan keluhan gangguan tidur, terutama masalah

kurang tidur. Gangguan pola tidur pada kelompok usia lanjut cukup tinggi.

Pada usia lanjut tersebut tentunya ingin tidur enak dan nyaman setiap hari,

yang merupakan indikator kebahagiaan dan derajat kualitas hidup.

Masalah tidur yang sering dialami oleh orang lanjut usia adalah

sering terjaga pada malam hari, seringkali terbangun pada dini hari, sulit

untuk tertidur, dan rasa lelah yang amat sangat pada siang hari. Gangguan

tidur pada lansia dapat dibagi menjadi ; kesulitan masuk tidur, kesulitan

untuk mempertahankan tidur nyenyak dan bangun terlalu pagi. Setiap

tahun di dunia, diperkirakan sekitar 20%-50% orang dewasa melaporkan

adanya gangguan tidur dan sekitar 17% mengalami gangguan tidur yang

serius. Di Indonesia belum diketahui angka pastinya, namun prevalensi

pada orang dewasa mencapai 20%. Sedangkan prevelensi gangguan tidur

pada lansia cukup tinggi yaitu sekitar 67%. Walaupun demikian hanya satu

dari delapan kasus yang menyatakan bahwa gangguan tidurnya telah

didiagnosis oleh dokter, meski demikian Faktor yang menyebabkan

tingginya angka kecemasan sedang yang terjadi adalah beratnya beban

yang dihadapi lansia. Serta adanya stresor pencetus yang menyebabkan

lansia cemas, yaitu ancaman terhadap integritas fisik meliputi disabilitas

fisiologis yang akan terjadi atau penurunan kemampuan untuk melakukan

aktivitas hidup sehari – hari. Namun semuanya dikembalikan kepada

mekanisme koping yang dimiliki oleh individu lansia, jika koping yang

dimiliki positif maka kecemasan yang ada dapat diminimalisir.

62

Gambar 2.3. Kerangka Berpikir

Kesegaran jasmani Kecemasan

Kualitas Tidur

Biologis Degeneratif

Lanjut Usia

Psikologis

Postur

Fleksibilitas

Kekuatan

Kelincahan

Perubahan neurotransmiter

Kesendirian

Ekonomi

Religius

Peran Sosial

Kemunduran fungsi

Pembakaran Kalori

Metabolisme General

Sistem Imun

Endorphin

Hubungan Sosisal

Kebugaran

Ancaman terhadap

sistem diri

Identitas

Harga diri

Fungsi sosial yang

terintegrasi pada

individu.

62

Hipotesis

Berdasarkan hal tersebut peneliti membuat hipotesis yang berkaitan

dengan kerangka berfikir dan konsep tersebut di atas, sebagai berikut:

1. Ada hubungan positif antara kesegaran jasmani dengan kualitas tidur pada

lanjut usia.

2. Ada hubungan negatif antara kecemasan dengan dengan kualitas tidur pada

lanjut usia.

3. Ada hubungan secara bersama antara kesegaran jasmani dan kecemasan

dengan dengan kualitas tidur pada lanjut usia.