45
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subjektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan (IASP, 2014). Definisi ini menekankan bahwa tanpa memandang ada atau tidaknya kerusakan jaringan yang dapat dikenali, nyeri adalah pengalam kompleks yang memiliki beragam dimensi. Nyeri dipengaruhi oleh beragam faktor seperti faktor fisik, kognitif, afeksi dan lingkungan pasien tersebut (Kuntono, 2011). 2.1.2 Fisiologi Nyeri Menurut Torrance & Serginson (1997), ada tiga jenis sel saraf dalam proses penghantaran nyeri yaitu sel saraf aferen atau neuron sensori, serabut konektor atau interneuron dan sel saraf eferen atau neuron motorik. Sel-sel saraf ini mempunyai reseptor pada ujungnya yang menyebabkan impuls nyeri dihantarkan ke sumsum tulang belakang dan otak. Reseptor-reseptor ini sangat khusus dan memulai impuls yang merespon perubahan fisik dan kimia tubuh. Reseptor- reseptor yang berespon terhadap stimulus nyeri disebut nosiseptor. Stimulus pada 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medula spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri. ... berkurang jika otot

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Nyeri

2.1.1 Definisi Nyeri

Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah

sensori subjektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait

dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi

terjadinya kerusakan (IASP, 2014). Definisi ini menekankan bahwa tanpa

memandang ada atau tidaknya kerusakan jaringan yang dapat dikenali, nyeri

adalah pengalam kompleks yang memiliki beragam dimensi. Nyeri dipengaruhi

oleh beragam faktor seperti faktor fisik, kognitif, afeksi dan lingkungan pasien

tersebut (Kuntono, 2011).

2.1.2 Fisiologi Nyeri

Menurut Torrance & Serginson (1997), ada tiga jenis sel saraf dalam proses

penghantaran nyeri yaitu sel saraf aferen atau neuron sensori, serabut konektor

atau interneuron dan sel saraf eferen atau neuron motorik. Sel-sel saraf ini

mempunyai reseptor pada ujungnya yang menyebabkan impuls nyeri dihantarkan

ke sumsum tulang belakang dan otak. Reseptor-reseptor ini sangat khusus dan

memulai impuls yang merespon perubahan fisik dan kimia tubuh. Reseptor-

reseptor yang berespon terhadap stimulus nyeri disebut nosiseptor. Stimulus pada

9

10

jaringan akan merangsang nosiseptor melepaskan zat-zat kimia, yang terdiri dari

prostaglandin, histamin, bradikinin, leukotrien, substansi P, dan enzim proteolitik.

Zat-zat kimia ini akan mensensitasi ujung syaraf dan menyampaikan impuls ke

otak (Torrance & Serginson, 1997).

Menurut Smeltzer & Bare, kornu dorsalis dari medula spinalis dapat

dianggap sebagai tempat memproses sensori. Serabut perifer berakhir di sini dan

serabut traktus sensori asenden berawal di sini. Juga terdapat interkoneksi antara

sistem neural desenden dan traktus sensori asenden. Traktus asenden berakhir

pada otak bagian bawah dan bagian tengah dan impuls-impuls dipancarkan ke

korteks serebri (Smeltzer & Bare, 2002).

Agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada sistem asenden harus

diaktifkan. Aktivasi terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri yang terletak

dalam kulit dan organ internal. Terdapat interkoneksi neuron dalam kornu dorsalis

yang ketika diaktifkan, menghambat atau memutuskan transmisi informasi yang

menyakitkan atau yang menstimulasi nyeri dalam jaras asenden. Seringkali area

ini disebut gerbang. Kecenderungan alamiah gerbang adalah membiarkan semua

input yang menyakitkan dari perifer untuk mengaktifkan jaras asenden dan

mengaktifkan nyeri. Namun demikian, jika kecendrungan ini berlalu tanpa

perlawanan, akibatnya sistem yang ada akan menutup gerbang. Stimulasi dari

neuron inhibitor sistem asenden menutup gerbang untuk input nyeri dan

mencegah transmisi sensasi nyeri (Smeltzer & Bare, 2002).

Teori gerbang kendali nyeri merupakan proses dimana terjadi interaksi

antara stimulus nyeri dan sensasi lain dan stimulasi serabut yang mengirim sensasi

11

tidak nyeri memblok transmisi impuls nyeri melalui sirkuit gerbang penghambat.

Sel-sel inhibitor dalam kornu dorsalis medula spinalis mengandung eukafalin

yang menghambat transmisi nyeri (Wall, 1978 dikutip dari Smeltzer & Bare,

2002).

2.1.3 Mekanisme Nyeri

Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan

jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius

yang diperantarai oleh sistem sensoris nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari

perifer melalui medula spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri.

Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser

fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan

yang rusak.

Nyeri lazimnya melibatkan empat proses yaitu transduksi, transmisi,

persepsi dan modulasi (Kuntono, 2011).

a. Transduksi adalah proses yang melibatkan konversi energi dengan stimulus

termal, mekanik atau kimia yang berbahaya menjadi impuls saraf oleh

reseptor sensorik yang disebut nosiseptor.

b. Transmisi adalah tahap selanjutnya di mana impuls saraf ini ditransmisi dari

tempat transduksi yaitu area tepi atau perifer ke saraf spinal dan otak.

c. Persepsi adalah proses apresiasi sinyal yang telah tiba di struktur yang lebih

tinggi sebagai nyeri, penentuan pengertian dan respon perilaku.

12

d. Modulasi adalah tahap penting di mana masukan atau input berupa inhibisi

dan fasilitasi dari otak mempengaruhi modulasi transmisi nosiseptif pada

tingkat saraf spinal (Kuntono, 2011).

Kontraksi normal otot rangka berlangsung tanpa disertai nyeri. Tetapi jika

kontraksi otot terjadi berulang-ulang pada satu tempat tertentu dengan disertai

gejala iskemia maka terjadilah pengeluaran bahan kimia seperti asam laktat,

histamin, bradikinin, polipeptida dan prostaglandin. Rangsangan nyeri akan

berkurang jika otot rileksasi kembali dan iskemia otot menghilang. Pada

penelitian menunjukkan bahwa otot-otot yang mengalami sprain dan strain pada

waktu berolahraga atau akibat bekerja yang tidak ergonomis juga menunjukkan

gejala nyeri otot yang bersangkutan (Kuntono, 2011).

Adanya pengeluaran bahan kimia berupa asam laktat, histamin, bradikinin,

polipeptida dan progtaglandin dapat menstimulasi nosiseptor sehingga

menghasilkan impuls saraf sementara sebagian besar dari mereka akan

mensensitisasi nosiseptor dengan meningkatkan sifat dapat dirangsang atau

excitability dan frekuensi pembuangan. Aktivasi nosiseptor secara konstan dapat

menyebabkan nyeri nosiseptif (Kuntono, 2011).

Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa terdapat hubungan di

antara spasme otot dengan iskemia vaskuler dan hal lain yang menimbulkan

rangsangan nosiseptor, hingga terbentuk suatu rangkaian yang saling berhubungan

dan terkait satu dengan lainnya. Terjadinya efek yang nyata pada perangsangan

nyeri yaitu terjadi somatic withdrawal reflex dan ini berarti terjadi spasme otot

13

atau kontraksi otot yang berulang atau spasme sehingga mengakibatkan kompresi

sistem vaskuler yang melayani otot yang bersangkutan dan terjadi iskemia relatif

dan setempat. Timbulnya rasa nyeri pada peristiwa tersebut karena pengeluaran

substansi Lewis’s P yang diidentifikasi sebagai hidrogen atau ion kalium yang

meningkat pada jaringan otot dengan kenaikan metabolisme setempat. Jika aliran

darah normal kembali maka rasa nyeri kemudian hilang (Kuntono, 2011).

2.1.4 Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan

oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual serta

kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua

orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling

mungkin adalah menggunakan respon fisiologis tubuh terhadap nyeri itu sendiri.

Namun, pengukuran dengan teknik ini juga tidak dapat memberikan gambaran

pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).

Intensitas pengukuran nyeri menurut Smeltzer dan Bare (2002) adalah

sebagai berikut :

14

1) Skala intensitas nyeri deskriptif

2) Skala identitas nyeri numerik

3) Skala analog visual

4) Skala nyeri menurut bourbanis

15

Keterangan :

0 : Tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan, secara objektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.

4-6 : Nyeri sedang, secara objektif klien mendesis, menyeringai, dapat

menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti

perintah dengan baik.

7-9 : Nyeri berat, secara objektif klien terkadang tidak dapat mengikuti

perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan

lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi

dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi.

10 : Nyeri sangat berat. Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,

memukul.

Karakteristik paling subjektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau

intensitas nyeri tersebut. Pasien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri

sebagai toleransi penilaian intensitas nyeri yang ringan, sedang atau parah.

Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi tenaga medis dan pasien. Skala

deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih objektif.

Skala penilaian numerik (Numerical Rating Scales, NRS) lebih digunakan sebagai

pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan

menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas

16

nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk

menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992). Skala

analog visual (Visual analogue scale / VAS) tidak melabel subdivisi. VAS adalah

suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan

pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan

penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan

pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat

mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata

atau satu angka (Potter, 2005).

2.2 Anatomi Fisiologi

2.2.1 Anatomi Fisiologi Otot Piriformis

Otot piriformis berfungsi sebagai eksternal rotator, menopang otot

abduktor, dan fleksor sendi pinggul, memberikan stabilitas postural selama

ambulasi dan berdiri (Papadopoulos & Khan, 2004). Otot piriformis berasal pada

permukaan anterior sakrum, biasanya di tingkat vertebra S2 melalui S4 di atau

dekat kapsul sendi sacroiliaka. Otot tersebut menempel pada aspek medial

superior dari trokanter mayor melalui tendon yang sebagian besar tergabung

dengan tendon obturatorius internus dan otot gemelus (Digiovanna dkk, 2005).

Otot piriformis dipersarafi oleh saraf tulang belakang S1 dan S2 serta kadang-

kadang juga oleh L5.

17

Gambar 2-1: Anatomi otot piriformis

(Sumber: Sobotta, 2006)

Pemahaman yang tepat mengenai Piriformis Syndrome membutuhkan

pengetahuan tentang variasi dalam hubungan antara saraf ishiadicus dan otot

piriformis. Sekitar 96 % dari populasi, saraf ischiadicus keluar dari foramen

sciatic lebih mendalam sepanjang permukaan inferior otot piriformis (Benzon

dkk, 2003). Sebanyak 22 % dari populasi saraf sciatica menembus otot

piriformis, membagi otot piriformis menjadi dua lapisan. Saraf ischiadicus dapat

lulus sepenuhnya melalui muscle belly, atau saraf dapat dibagi menjadi dua

cabang, satu cabang melekat pada bagian fibula dan cabang lainnya melekat pada

tibia yang berjalan inferior atau superior di sepanjang otot (Beaton, 1938).

Beberapa gejala Piriformis Syndrome terjadi sebagai akibat dari peradangan

lokal dan kemacetan yang disebabkan oleh kompresi otot yang mengenai saraf

18

kecil, saraf pudenda dan pembuluh darah, yang keluar pada batas medial inferior

otot piriformis (Boyajian dkk, 2008).

2.2.2 Anatomi Myofascial

Menurut Clay (2008), kata fascia diambil dari bahasa latin yang berarti

pita atau perban. Fascia merupakan tipe jaringan yang berada di seluruh tubuh

dan berada di mana-mana yang tidak hanya memberikan bentuk tubuh baik di luar

maupun di dalam melainkan juga sebagai perantara dari semua sistem yang ada

pada tubuh dan menyediakan bentuk untuk sistem tubuh seperti sistem sirkulasi

darah, sistem saraf dan sistem limfatik (Clay, 2008).

Fascia adalah salah satu tipe jaringan ikat yang membungkus tendon,

ligamen, aponeurosis dan jaringan parut. Fungsi fascia tidak hanya memberikan

kontribusi terhadap kontur tubuh tetapi juga memberikan lubrikasi atau pelumas

diantara struktur-struktur untuk menghasilkan gerakan berupa peran otot dan

nutrisi. Fascia berada di seluruh tubuh manusia dan memiliki nama yang berbeda

di setiap tempat yang berbeda. Fascia yang berada di sekitar otak dan spinal cord

disebut meningen, fascia yang ada disekitar tulang disebut periosteum, fascia

yang berada di sekitar rongga perut disebut peritoneum, fascia di sekitar jantung

disebut sebagai pericardium dan yang berada di seluruh tubuh di lapisan bawah

kulit yang membagi otot disebut dengan myofascial (Clay, 2008).

Setiap satu group otot dengan group otot lainnya dibungkus oleh jaringan

fascia untuk memisahkan group otot tersebut. Diantara jaringan fascia yang

19

membungkus otot tersebut terdapat cairan atau pelumas yang berfungsi untuk

lubrikasi atau melumasi sehingga otot bebas bergerak tanpa adanya gesekan yang

menimbulkan kecacatan pada otot. Otot dengan bantuan ikatan fascianya sendiri

dapat menopang terjadinya ketegangan pada otot tersebut. Secara fungsional, otot

dan fascia terhubung satu sama lain membentuk myofascia, memberikan

kombinasi antara sifat jaringan kontraktil dan non-kontraktil (Manheim, 2001).

Ditinjau dari gambaran skematik, fascia dibagi menjadi 3 lapisan. Fascia

superficialis (hipodermi) terletak di bawah dermis dan terdiri dari loose

connective tissue dan jaringan adipose. Serabut yang memanjang ke dalam fascia

superficialis menghubungkan dermis dengan lapisan subcutaneous, kemudian

fascia akan melekat pada jaringan di bawahnya dan beberapa organ tubuh. Fascia

superficialis berperan sebagai isolasi, mencegah dan melindungi deformasi

mekanikal dan memberikan jalur untuk saraf dan dinding pembuluh saraf. Fascia

superficialis juga dapat memberikan simpanan untuk air dan lemak (Manheim,

2001).

Potensial space merupakan lapisan yang kedua dari fascia. Oleh karena

adanya pembengkakan atau oedem, space ini dapat membesar yang dapat

menyebabkan fascia mengalami kerusakan dan meregang akibat dari injury dan

terjadi kerusakan kecil di dalamnya. Deep fascia merupakan jaringan konektif

fibrous yang padat yang memiliki fungsi memberikan gerakan bebas pada otot,

mengisi space-space pada otot dan organ-organ lainnya, memberikan jalur-jalur

kecil untuk saraf dan dinding pembuluh darah, dan dalam keadaan tertentu dapat

memberikan perlekatan pada otot. Deep fascia juga membungkus seluruh organ –

20

organ pada tubuh, memisahkan otot ke dalam group fungsional dari garis tubuh

(Manheim, 2001).

Berdasarkan tempat di mana letak fascia di dalam otot, maka fascia dibagi

menjadi 3 yaitu epimysium, perymisium, dan endomysium. Ketiga lapisan tersebut

merupakan perluasan dari deep fascia. Berdasarkan tempat di mana fascia itu

ditemukan dibagi menjadi (1) Epimysium merupakan jaringan Myofascial terluas

yang melapisi seluruh otot dan mengikat seluruh fasikel. (2) Perimysium

merupakan jaringan fascia yang membungkus sekelompok serabut otot ke dalam

satu fasikel. (3) Endomysium merupakan jaringan fascia terdalam yang

memisahkan serat-serat otot (Alter, 2004).

Jaringan konektif ini kemudian membagi dan mengelilingi faciculi serta

pada akhirnya di setiap otot. Terdapat 3 bagian fascia yang memanjang melewati

sel otot untuk membentuk tendon atau aponeurosis yang melekatkan otot ke otot

atau otot ke periosteum. Ketika terjadi stress mekanik fascia memiliki

kemampuan untuk mengubah dan menghilangkan energi (Cantu & Grodin, 2001).

2.2.3 Mekanisme Kontraksi Otot

Semua otot rangka dibentuk oleh sejumlah serabut yang diameternya

berkisar dari 10 sampai 80 mikrometer. Masing-masing serabut ini terbuat dari

rangkaian sub unit yang lebih kecil. Pada sebagian besar otot rangka masing-

masing serabutnya membentang di seluruh panjang otot. Kecuali pada sekitar 2

21

persen serabut masing-masing serabut biasanya hanya dipersarafi oleh satu

ujung saraf yang terletak di dekat bagian tengah serabut (Guyton & Hall, 2008).

Sarkolema adalah membran sel dari serabut otot. Sarkolema terdiri

dari membran sel yang sebenarnya yang disebut membran plasma, dan sebuah

lapisan luar yang terdiri dari satu lapisan tipis materi polisakarida yang

mengandung sejumlah fibril kolagen tipis. Di setiap ujung serabut otot, lapisan

permukaan sarkolema ini bersatu dengan serabut tendon, dan serabut-serabut

tendon kemudian berkumpul menjadi berkas untuk membentuk tendon otot dan

kemudian menyisip ke dalam tulang (Guyton & Hall, 2008).

Myofibril terdiri dari filamen aktin dan myosin. Setiap serabut otot

mengandung beberapa ratus sampai beberapa ribu myofibril. Setiap myofibril

tersusun oleh sekitar 1500 filamen myosin yang berdekatan dan 3000 filamen

aktin, yang merupakan molekul protein yang sesungguhnya. Filamen-filamen ini

dapat dilihat pada pandangan longitudinal dengan mikrograf elektron. Filamen

tebal menunjukkan myosin sementara filamen tipis adalah aktin. Filamen aktin

dan myosin sebagian saling bertautan sehingga myofibril memiliki pita terang

dan pita gelap yang berselang seling. Pita-pita terang hanya mengandung

filamen aktin dan disebut pita I karena bersifat isotropic (Guyton & Hall, 2008).

Pita-pita gelap mengandung filamen – filamen myosin dan ujung-ujung filamen

aktin tempat pita-pita tersebut menumpang tindih myosin, yang disebut pita A

karena bersifat anistropik terhadap cahaya yang dipolarisasikan. Penonjolan

kecil yang diperlihatkan dari samping filamen myosin merupakan jembatan

22

Gambar 2-2: Mekanisme kontraksi otot

(Sumber: Seeley dkk, 2008)

silang. Interaksi antara jembatan silang dan filamen aktin tersebut adalah

peristiwa yang menyebabkan kontraksi (Guyton & Hall, 2008).

Pada gambar menunjukkan bahwa ujung-ujung filamen aktin melekat pada

lempeng Z . Dari lempeng ini, filamen-filamen memanjang dalam dua arah

untuk saling bertautan dengan filamen myosin. Lempeng Z yang terdiri atas

protein filamentosa, yang berbeda dari filamen aktin dan myosin berjalan

menyilang melewati myofibril ke myofibril lainnya dan melekatkan myofibril

satu dengan yang lain di sepanjang serabut otot. Oleh karena itu, seluruh serabut

otot memiliki pita terang, seperti yang terdapat pada tiap-tiap myofibril. Pita-pita

23

ini memberi corakan bergaris pada otot rangka dan otot jantung (Guyton & Hall,

2008).

Bagian myofibril atau seluruh serabut otot yang terletak antara dua

lempeng Z yang berurutan disebut sarkomer . Bila serabut otot berkontraksi

maka panjang sarkomer kira-kira 2 mikrometer. Pada ukuran panjang ini,

filamen aktin akan bertumpang tindih seluruhnya dengan filamen myosin dan

ujung filamen aktin mulai bertumpang tindih satu sama lain. Kemudian pada

ukuran ini juga otot mampu menimbulkan daya kontraksi terbesarnya (Guyton

& Hall, 2008).

Timbul dan berakhirnya kontraksi otot terjadi dalam urutan tahap-tahap berikut:

1. Suatu potensial aksi berjalan di sepanjang sebuah saraf motorik sampai

ke ujungnya pada serabut otot.

2. Di setiap ujung, saraf menyekresi substansi neurotransmitter, yaitu

asetilkolin, dalam jumlah sedikit.

3. Asetilkolin bekerja pada area setempat pada membran serabut otot untuk

membuka banyak kanal “bergerbang asetilkolin” melalui molekul-

molekul protein yang terapung pada membran.

4. Terbukanya kanal bergerbang asetilkolin memungkinkan sejumlah besar

ion natrium untuk berdifusi ke bagian dalam membran serabut otot.

Peristiwa ini akan menimbulkan suatu potensial aksi pada membran.

5. Potensial aksi akan berjalan di sepanjang membran sarabut otot dengan

cara yang sama seperti potensial aksi berjalan di sepanjang membran

serabut saraf.

24

6. Potensial aksi akan menimbulkan depolarisasi membran otot, dan banyak

aliran listrik potensial aksi mengalir melalui pusat serabut otot. Di sini,

potensial aksi menyebabkan retikulum sarkoplasma melepaskan sejumlah

besar ion kalsium, yang telah tersimpan di dalam retikulum ini.

7. Ion-ion kalsium menimbulkan kekuatan menarik antara filamen aktin dan

myosin yang menyababkan kedua filamen tersebut bergeser satu sama

lain dan menghasilkan proses kontraksi.

8. Setelah kurang dari satu detik, ion kalsium di pompa kembali ke dalam

retikulum sarkoplasma oleh pompa membran Ca++

dan ion-ion ini tetap

disimpan dalam retikulum sampai potensial aksi otot yang baru datang

lagi, pengeluaran ion kalsium dari myofibril menyebabkan kontraksi otot

terhenti (Guyton & Hall, 2008).

2.3 Piriformis Syndrome

2.3.1 Definisi Piriformis Syndrome

Piriformis Syndrome adalah neuritis perifer saraf sciatic yang disebabkan

oleh kondisi abnormal otot piriformis (Digiovanna dkk, 2005). Gejala klinisnya

hilang timbul atau terkadang salah didiagnosis. Piriformis Syndrome dapat

menyerupai disfungsi somatik lainnya yang umum, seperti intervertebralis

discitis, radiculopathy lumbal, sacral disfungsi primer, sakroilitis, linu panggul,

dan bursitis trokanterika (Boyajian dkk, 2008).

Hasil evaluasi dan pemeriksaan penyakit akibat kerja menunjukkan lebih

dari 16 % pasien mengalami keterbatasan sebagian atau total terkait dengan

25

keluhan nyeri kronik di punggung bawah. Hal ini memperkirakan bahwa

setidaknya 6 % dari pasien yang didiagnosis memiliki nyeri punggung bawah

benar-benar memiliki Piriformis Syndrome (Boyajian dkk, 2008).

2.3.2 Epidemiologi Piriformis Syndrome

Piriformis Syndrome paling sering terjadi selama empat sampai dengan

dekade kelima kehidupan dan mempengaruhi individu dari semua pekerjaan dan

aktivitas (Beaton, 1938). Dilaporkan tingkat insiden untuk Piriformis Syndrome

antara pasien dengan nyeri punggung bawah bervariasi luas dari 5% menjadi 36%.

(Papadopoulos & Khan, 2004). Piriformis Syndrome lebih sering terjadi pada

wanita daripada pria, mungkin karena terkait dengan biomekanika otot quadriceps

femoris yang lebih luas angle yaitu, "Q sudut" di coxae os pelvis dari wanita

(Boyajian dkk, 2008). Berdasarkan data kunjungan pasien di Klinik P di

Denpasar tahun 2014 sedikitnya 2% - 3% pasien dengan keluhan nyeri punggung

bawah mengalami Piriformis Syndrome.

2.3.3 Patofisiologi Piriformis Syndrome

Pada saat otot piriformis memendek atau spasme akibat trauma, maka otot

tersebut dapat menekan atau menjepit saraf sciatic yang berada diantara otot

tersebut (Cluett, 2004). Sementara itu Maggs (2010) berpendapat bahwa salah

satu penyebab Piriformis Syndrome adalah cedera. Otot piriformis sangat rentan

untuk terjadi cedera berulang akibat gerakan (repetitive motion injury / RMI). RMI

26

terjadi apabila otot bekerja di luar kemampuannya, atau tidak diberi cukup waktu

untuk fase recovery, akibatnya otot menjadi memendek (Maggs, 2010).

Spasme yang terjadi pada otot piriformis, selain mengiritasi dapat pula

menekan saraf ischiadicus. Hal tersebut terjadi karena apabila otot piriformis

memendek, maka saraf ischiadicus terjebak. Akibatnya aliran / suplai darah ke

saraf ischiadicus pun terhambat, sedangkan iritasi terjadi akibat tekanan oleh otot

piriformis tersebut (Cluett, 2004). Penekanan pada serabut saraf ischiadicus ini

akan memberikan perangsangan, sehingga akan menimbulkan nyeri yang bertolak

dari daerah otot piriformis menjalar sampai tungkai dan nyeri ini dirasakan hanya

pada satu tungkai saja, karena ada nyeri kemudian timbul spasme pada otot-otot

yang dilewati seperti m.gluteus, m. triscep surae, m. Hamstring dan otot-otot

para vertebra lumbosakral (Maggs, 2010).

2.3.4 Etiologi Piriformis Syndrome

Ada dua jenis Piriformis Syndrome yaitu primer dan sekunder.

Piriformis Syndrome primer disebabkan oleh kelainan anatomi dari otot

piriformis yang mengalami split membagi saraf sciatica atau sebuah sciatica

path. Sedangkan Piriformis Syndrome sekunder disebabkan oleh macrotrauma,

microtrauma, efek massa iskemik, dan local iskemik (Digiovanna dkk, 2005).

Sekitar kurang dari 15 % kasus memiliki faktor pencetus disebabkan

oleh macrotrauma pada area pantat sehingga menyebabkan peradangan jaringan

lunak, kejang otot, atau keduanya dengan menghasilkan kompresi saraf

(Digiovanna dkk, 2005). Sedangkan penyebab dari microtrauma diakibatkan

27

penggunaan otot piriformis yang terlalu sering atau overuse, misalnya terlalu

sering berjalan atau berlari dengan jarak yang jauh, dan kompresi langsung

semacam trauma berulang dari duduk pada permukaan yang keras yang dikenal

dengan dompet neuritis (Boyajian dkk, 2008).

2.3.5 Manifestasi Klinis

Tabel 2.1 : Gejala dan Pemeriksaan Klinis Piriformis Syndrome

Gejala Klinis Pemeriksaan Klinis

a. Nyeri pada posisi duduk,

berdiri, atau berbaring lebih

lama dari 15 sampai 20 menit.

b. Nyeri dan / atau paresthesia

memancar dari sacrum melalui

daerah gluteal dan turun ke

aspek posterior paha, biasanya

sampai di lutut atas.

c. Nyeri membaik dengan

ambulasi dan memburuk tanpa

gerakan.

d. Nyeri ketika bangkit dari posisi

duduk atau jongkok.

e. Perubahan posisi tidak

menghilangkan rasa sakit

sepenuhnya.

f. Nyeri bagian kontralateral

sacroiliac.

g. Kesulitan berjalan (misalnya,

gaya berjalan antalgic, foot

a. Nyeri tekan di wilayah

sacroiliac joint, saraf sciatic,

dan otot piriformis.

b. Nyeri tekan lebih dirasa di

bagian otot piriformis.

c. Adanya spasme di pantat

ipsilateral.

d. Tarikan berupa traksi dari

ekstremitas yang terkena

menyediakan menyebabkan

nyeri berkurang.

e. Kelemahan asimetris di

ekstremitas yang terkena.

f. Test piriformis hasil positif.

g. Test Lasègue positif.

h. Test Freiberg positif.

i. Test Pace (fleksi , adduksi , dan

rotasi internal test) positif

j. Test Beatty positif.

k. Rotasi medial ipsilateral

28

drop).

h. Mati rasa di kaki.

i. Kelemahan di ipsilateral

ekstremitas bawah.

j. Nyeri kepala.

k. Nyeri leher, perut, panggul, dan

nyeri di bagian inguinal.

l. Dispareunia pada wanita

m. Nyeri saat buang air besar

ekstremitas bawah terbatas.

l. Bagian ipsilateral kaki tampak

memendek.

m. Atrofi gluteal (kasus kronis

saja).

n. Rotasi sacral persistent

terhadap sisi kontralateral

dengan kompensasi rotasi

lumbal.

(Sumber: Boyajian dkk, 2008)

2.3.6 Penegakkan Diagnosis

Beberapa uji klinis dapat digunakan untuk membantu dalam diagnosis

Piriformis Syndrome antara lain sebagai berikut:

a. Test Lasègue, ditandai dengan nyeri lokal pada otot dan tendon piriformis,

terutama saat posisi pinggul yang tertekuk pada sudut 900 dan lutut

ekstensi (Magee, 1997).

b. Test Freiberg, ditandai dengan nyeri yang dialami selama rotasi internal

pasif dari hip (Magee, 1997).

c. Tanda Pace, mengungkapkan dengan FAIR test (fleksi, adduksi, dan rotasi

internal), melibatkan perpindahan gejala sciatica (Magee, 1997).

d. Tes FAIR dilakukan dengan pasien dalam posisi berbaring lateral, dengan

sisi yang terkena di gerakan ke atas, pinggul tertekuk dengan sudut 600,

dan lutut tertekuk 600 sampai 90

0 dan posisi panggul dalam keadaan stabil.

29

e. Pemeriksaan internal rotasi dan adduksi hip dengan menerapkan tekanan

pada lutut (Fishman dkk, 2002).

f. Tes FAIR memiliki sensitivitas dan spesifisitas 0,881 dan 0,832, masing-

masing. Atau tes FAIR dapat dilakukan dengan pasien terlentang atau

duduk, lutut dan pinggul tertekuk, dan pinggul diputar ke arah medial,

sedangkan pasien menolak upaya pemeriksa untuk eksternal rotasi dan

internal rotasi. Hasil pengujian FAIR adalah positif jika gejala sciatic

adalah nyeri penjalaran (Benzon dkk, 2003).

g. Tes Beatty, uji tes diagnosis lain untuk Piriformis Syndrome. Dalam tes

ini, pasien berbaring di sisi sakit mengangkat dan memegang lutut sekitar

4 inci dari meja pemeriksaan. Jika gejala sciatic yang diciptakan maka

hasil tes positif (Beatty, 1994).

h. Pengujian neurofisiologis, electromyography (EMG) mungkin bermanfaat

dalam membedakan Piriformis Syndrome dari intervertebral disc herniasi

(Digiovanna dkk, 2005). Interspinal saraf pelampiasan akan menyebabkan

kelainan EMG otot proksimal piriformis. Pada pasien dengan Piriformis

Syndrome bagian proksimal dan distal otot akan tampak normal. Untuk itu

elektromiografi pemeriksaan yang menggabungkan manuver aktif, seperti

tes FAIR, mungkin memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang lebih besar

daripada tes lain yang tersedia untuk diagnosis Piriformis Syndrome

(Fishman & Schaefer, 2003).

30

i. Pemerikasaan dengan MRI (Magnetic Resonance Image) dan CT-Scan

tampak pembesaran dari otot piriformis, dapat dicurigai keadaan discus

dan patologis kondisi vertebra (Hochman & Zilberfarb, 2004).

2.3.7 Diagnosis Pembanding

Piriformis Syndrome dapat meniru kondisi lain atau mungkin kondisi

komorbiditas yang dipertimbangkan dalam diagnosis pembanding. Riwayat

neurologis lengkap dan penilaian fisik pasien sangat penting untuk diagnosis

yang akurat. Penilaian riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik ini harus

mencakup setiap trauma pada pantat dan adanya gangguan apapun pada usus

serta kandung kemih (Boyajian dkk, 2008). Penilaian fisik juga harus mencakup

berikut ini:

a. Pemeriksaan osteopathic secara struktural dengan perhatian khusus untuk

tulang belakang lumbal, panggul, dan sakrum, serta kaki.

b. Pemeriksaan diagnosis sebelumnya.

c. Pemeriksaan refleks tendon dan kekuatan serta pemeriksaan sensoris.

Kombinasi dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

neurologis dan radiologis dapat digunakan untuk membandingkan dengan

radiculopathy lumbosakral, penyakit degeneratif discus, fraktur kompresi, dan

stenosis tulang belakang. Pada radiculopaty biasanya disertai dengan gangguan

kelemahan otot dan atrofi di bagian proksimal atau distal. Sebaliknya, pasien

dengan Piriformis Syndrome biasanya menunjukkan kelemahan dan atrofi hanya

dalam lingkup musculature (Fishman dkk, 2002). Untuk sakroiliitis distal atau

31

sacroiliac lainnya bersama disfungsi, dan disfungsi somatik sacrum harus

dianggap sebagai kemungkinan penyebab atau efek dari Piriformis Syndrome dan

dapat ditentukan dari pemeriksaan osteopati struktural dan pemeriksaan radiografi

(Digiovanna dkk, 2005).

Pemeriksaan panjang tungkai dilakukan untuk membedakan antara

fisiologis atau penyebab penyakit (Boyajian dkk, 2008). Selain itu gangguan pada

hip, termasuk arthritis dan bursitis serta fraktur harus dipertimbangkan dalam

diagnosis pembanding. Pengunaan Computed tomografi, magnetic resonance

imaging, dan USG teknologi dapat disarankan apabila pasien mengeluh sakit pada

gastrointestinal atau panggul, seperti kanker usus besar, endometriosis, dan

interstitial cystitis (Boyajian dkk, 2008).

2.3.8 Penanganan Piriformis Syndrome

Pengobatan konservatif awal adalah pengobatan yang paling efektif,

seperti dicatat oleh Fishman dkk (2002), yang melaporkan bahwa lebih dari

79% pasien dengan Piriformis Syndrome mengalami pengurangan gejala

dengan penggunaan obat anti - inflammatory drugs (NSAID), relaksan otot, es,

dan sebagainya (Fishman dkk, 2002). Teknik peregangan otot piriformis,

penguatan internal rotator dan otot adduktor juga harus dimasukkan dalam

rencana penanganan (Boyajian dkk, 2008). Kombinasi antara pengunaan obat-

obatan, Gebauer’s spray dan teknik peregangan otot dan jaringan lunak,

myofascial, energi otot, dan teknik lainnya dapat digunakan untuk mengatasi

semua disfungsi somatik pada pasien dengan Piriformis Syndrome (Boyajian

32

dkk, 2008). Apabila pasien belum mengalami perubahan dari penanganan

tersebut, maka disarankan untuk melakukan akupunktur dan injeksi dengan

lidokain hidroklorida, steroid, atau toksin botulinum tipe A (BTX - A) mungkin

considered (Fishman dkk, 2002). Jika semua perawatan obat farmakologis dan

manual terapi gagal maka pilihan pengobatan terakhir adalah dekompresi

bedah (Boyajian dkk, 2008).

2.4 Ultra Sound (US)

Ultra sound adalah gelombang suara yang merupakan getaran mekanik

di dalam sebuah medium yang mudah berubah bentuk atau elastis dengan

frekuensi antara 20 dan 20.000 Hertz. Gelombang suara yang digunakan

adalah gelombang longitudinal yang dalam frekuensi tersebut dapat

diregistrasi oleh telinga manusia untuk mengurangi nyeri 1-2w/cm2 kontinyu

(serabut saraf) selama 3-5 menit, 0.5-1 w/cm2 kontinyu (akar saraf dan

ganglia) selama 3-4 menit atau pulsed selama 6-8 menit diberikan selama 15

menit di setiap pengobatan sebanyak 5 kali setiap 2-3 hari sekali

(Pusdiknakes, 1993).

2.4.1 Efek-efek Biofisika Ultra Sound

A. Efek Mekanik

Jika gelombang Ultra Sound masuk ke tubuh efek pertama yang

muncul adalah efek mekanik. Adanya gelombang longitudinal

menyebabkan pemampatan dan peregangan dengan frekuensi yang

sama menghasilkan variasi tekanan di dalam jaringan. Variasi tekanan

33

merupakan efek mekanik yang disebut efek micromassage. Adanya

variasi tekanan tersebut akan menghasilkan perubahan volume dari

sel-sel tubuh sebesar 0,02%, perubahan permiabilitas dari membran

sel dan membran jaringan, dan mempermudah proses metabolisme.

B. Efek Panas

Micromassage yang ditimbulkan dari ultra sound akan

menimbulkan efek panas dalam jaringan. Efek panas yang diproduksi

tidak sama untuk setiap jaringan tergantung dari beberapa faktor yang

ditentukan diantaranya sebagai berikut :

a. Bentuk aplikasi ultra sound (kontiyu / terputus-putus)

b. Intensitas

c. Lamanya terapi

d. Koefisien absorbsi.

Lehman mengemukakan bahwa setiap pemberian terapi ultra

sound dengan dosis 1watt/cm2 secara kontinyu dalam jaringan otot

akan menaikkan temperatur sebesar 0.07 derajat celcius perdetik

(pengukuran tanpa adanya regulasi dari sistem pembuluh darah).

Pengaruh panas akan meningkatkan ekstensibilitas jaringan

penyambung.

34

C. Efek Biologi

Di dapat dari respon fisiologis yang merupakan gabungan dari

pengaruh mekanik dan panas.

Energi US

Micromassage Panas

Gambar 2-3 : Skema dari efek panas ultra sound

(Sumber : Palguna, 2010)

2.4.2 Indikasi Ultra Sound

a. Kelainan-kelainan / penyakit pada tulang, sendi dan otot.

b. Rheumatic arthritis pada stadium remisi (tak aktif).

c. Kelainan / penyakit pada kelainan saraf perifer.

d. Kelainan / penyakit pada sirkulasi pembuluh darah.

e. Penyakit-penyakit organ dalam segmental.

f. Kelainan-kelainan pada kulit.

g. Deputyren kontraktur.

a) Meningkatkan sirkulasi darah

b) Relaksasi otot

c) Meningkatkan permiabilitas membran

d) Meningkatkan kemampuan regenerasi

jaringan

e) Pengaruh terhadap saraf perifer

f) Mengurangi nyeri

35

h. Luka terbuka.

2.4.3 Kontra Indikasi Ultra Sound

a. Absolut : mata, jantung, uterus wanita sedang hamil, epiphesal

plates, testis.

b. Relatif : pasca laminectomi, hilangnya sensiblitas, endoprothese,

tumor, post traumatic, tromboplebitis dan varises, septis – inflamasi,

diabetes melitus.

2.4.4 Pemberian Dosis Terapi Ultra Sound

Dalam menentukan dosis terapi dengan menggunakan ultra

sound harus memperhatikan beberapa faktor diantaranya memilih

frekuensi yang berbeda, memilih gelombang kontinyu atau

terputus-putus, pilihan arus gelombang disesuaikan dengan efek

terapi yang ingin dicapai. Gelombang terputus-putus akan

memberikan dosis yang rendah. Bila menginginkan efek panas

terapis dapat memilih gelombang kontinyu. Jaringan mana yang

akan diterapi serta bagaimana aktualitas kondisinya. Prinsip

menggunakan terapi ultra sound tidak boleh terjadi rasa sakit di

jaringan.

36

2.5 Muscle Energy Technique (MET)

Muscle Energy Technique (MET) merupakan salah satu teknik dengan

mengontraksikan otot secara isometrik dengan kekuatan kontraksi sebesar

20% dan secara bertahap dinaikan menjadi tidak kurang dari 50% yang

bertujuan untuk relaksasi pada otot yang mengalami hipertonus dan

dikombinasi dengan peregangan otot (Chaitow, 2001).

2.5.1 Indikasi dan Kontra Indikasi dari Muscle Energy Technique (MET)

Muscle Energy Technique (MET) diindikasikan untuk otot yang

mengalami hipertonus dengan ciri-ciri seperti spasme, nyeri tekan,

kelemahan, trauma akibat kecelakaan, keram atau kejang otot, kontraktur,

keterbatasan lingkup gerak sendi dan postur serta untuk tendon dan sendi

(Chaitow, 2001).

Kontraindikasi dari teknik ini yakni apabila diduga terdapat penyakit

patologi seperti osteoporosis, arthritis, dan sebagainya penggunaan teknik ini

harus disesuaikan dosisnya. Dosis yang dimaksud meliputi kekuatan

kontraksi otot, repetisi, dan penggunaan peregangan atau stretching (Chaitow,

2001).

37

2.5.2 Mekanisme Kerja Muscle Energy Technique (MET) pada Otot

Piriformis

Gambar 2-4: Mekanisme kerja Muscle Energy Technique

(Sumber: Chaitow, 2001)

Liebenson (1996) membahas ke dua manfaat, dan mekanisme yang

terlibat dalam, penggunaan otot pada Muscle Energy Technique sejenis

dengan Muscle Resistance Technique. Manfaat yang pertama adalah

kemampuan otot untuk relaksasi setelah berkontraksi. Manfaat yang ke dua

adalah kemampuan otot untuk meningkatkan elastisitas fascia dipersingkat

sehingga terjadi viskoelastis.

Sementara itu mekanisme yang terlibat dalam teknik ini meliputi

aspek neurofisiologi untuk penghambatan neuromuscular yakni post

isometric resistance (PIR) dan reciprocal inhibition (RI). Post isometric

resistance merupakan suatu keadaan otot setelah berkontraksi secara singkat

38

dalam periode tertentu mengalami fase rileksasi atau istirahat. Sedangkan

untuk reciprocal inhibition (RI) atau hambatan timbal balik merupakan suatu

kondisi ketika salah satu otot berkontraksi (otot agonis) maka secara otomatis

otot antagonis menjadi terhambat.

Menurut Chaitow dalam bukunya menyebutkan bahwa penelitian

yang dilakukan oleh Liebenson menunjukkan adanya reseptor yang

dihasilkan dari post isometric resistance (PIR) yang terletak di dalam otot dan

tidak dalam kulit atau sendi yang terkait. Di mana rasa nyeri yang bersifat

akut atau kronik dikendalikan oleh kontraksi otot yang terlibat yang meliputi

otot agonis dan antagonis (Chaitow, 2001).

Kontraksi isometrik melibatkan sistem isometrik pada otot. Pada

sistem isometrik, otot berkontraksi melawan transduser kekuatan tanpa

mengurangi panjang otot, seperti yang dilihatkan pada gambar 2.4.

Karakteristik kedutan isometrik yang direkam dari berbagai otot bermacam-

macam sesuai dengan fungsi dari ototnya. Untuk otot piriformis memiliki

fungsi sebagai eksternal rotator, menopang otot abduktor, dan fleksor sendi

pinggul, memberikan stabilitas postural selama ambulasi dan berdiri.

(Papadopoulos & Khan, 2004). Karakteristik kedutan isometrik yang dimiliki

oleh otot piriformis berkisar 1/10 detik. Hal ini berhubungan dengan

kontraksi lambat untuk menyokong tubuh terhadap gaya gravitasi dalam

waktu yang lama secara kontinyu (Guyton & Hall, 2008).

39

2.5.3 Variasi Muscle Energy Technique (MET)

A. Relaksasi postisometric, modifikasi Lewit tentang MET, yang disebutnya

diarahkan relaksasi otot hipertonus yang berkaitan dengan refleks

kontraksi atau keterlibatan poin memicu myofascial Liebenson (1996).

Metode ini cocok untuk menggabungkan mobilisasi dan isometric.

Metode relaksasi postisometric (Lewit, 1999) :

1. Difokuskan pada otot hipertonus, digerakkan oleh terapis / terapis

memposisikan sebatas rasa nyeri pasien.

2. Menggunakan otot agonis, Pasien dengan lembut mengkontraksi

ototnya selama 5-10 detik sambil menghirup napas dalam.

3. Terapis memegang otot yang berkontraksi dan tidak ada resistensi.

4. Tingkat usaha yang digunakan adalah usaha minimal pasien, sekitar

10-20% dari kekuatan yang tersedia.

5. Kemudian pasien diminta untuk menghembuskan napas dan

melepaskan sepenuhnya.

6. Gerakan diulangi kembali, prosedur ini diulang dua atau tiga kali.

7. Untuk memudahkan mintalah pasien untuk merasakan kontraksi

ototnya selama fase kontraksi dan fase peregangan.

B. Postfacilitation Stretch, menggunakan posisi awal yang berbeda untuk

berkontraksi dan juga kontraksi isometrik jauh lebih kuat daripada yang

disarankan. Metode tersebut adalah sebagai berikut :

40

1. Otot diposisikan setengah lingkup gerak sendinya atau mid-range

position, kemudian minta pasien untuk menkontraksikan ototnya. Lalu

rileks.

2. Pasien mengkontraksikan ototnya secara isometrik, menggunakan

kontraksi isometrik maksimumnya selama 5-10 detik.

3. Pada usaha release, peregangan cepat dibuat untuk menghalangi /

menghambat gerakan baru, tanpa bouncing, dan ini diadakan selama

setidaknya 10 detik.

4. Pasien rileks selama sekitar 20 detik dan prosedur diulang antara 3

sampai 5 kali.

C. Reciprocal Inhibition, metode ini menggabungkan antara komponen PNF

dan MET, digunakan untuk kondisi akut, di mana kerusakan jaringan atau

nyeri menghambat penggunaan agonis untuk berkontraksi. Adapun

metodenya adalah sebagai berikut :

1. Otot yang terkena ditempatkan dalam posisi mid-range.

2. Pasien diminta untuk mendorong kuat tahanan yang diberikan oleh

terapis. Terapis menjaga tahanannya agar terjadi kontraksi isometrik

atau bila tidak memungkinkan gerakan di kombinasi dengan kontraksi

isotonik. Beberapa tingkat gerakan rotasi atau diagonal dapat

dimasukkan ke dalam prosedur.

3. Pada akhir kontraksi, pasien menghirup dan mengembuskan napas

penuh, pada saat tersebut terapis secara pasif mengulur otot pasien.

41

Menurut Liebenson adanya upaya isotonik terhadap gerakan tersebut

adalah cara terbaik untuk memfasilitasi jalur aferen pada akhir pengobatan

dengan relaksasi otot secara aktif. Hal ini dapat membantu memprogram

ulang otot dan sendi dan proprioceptors dengan demikian mendidik kembali

pola pergerakan (Liebenson, 1996).

D. Penguatan atau Strengthening, variasi ini menggunakan kontraksi isokinetik.

Dalam hal ini pasien dimulai dengan upaya minimal kemudian secara

bertahap menjadi kontraksi maksimal. Penggunaan kontraksi isokinetik di

gunakan untuk pasien dengan keterbatasan lingkup gerak sendi dan kekuatan

yang terbatas. Kontraksi isokinetik tidak hanya memperkuat serat yang

terlibat, tetapi juga memiliki efek pelatihan yang terkoordinasi. Metode ini

dilakukan tidak lebih dari 4 detik pada setiap kontraksi untuk menghindari

kelelahan pada pasien (Chaitow, 2001).

2.5.4 Prosedur Muscle Energy Technique (MET)

Adapun prosedur pemberian Muscle Energy Technique (MET)

pada otot piriformis adalah sebagai berikut:

a. Posisi pasien terlentang, posisi panggul dalam keadaan fleksi 600, adduksi,

dan knee fleksi 450

(memposisikan lutut kanan berada disamping lutut kiri)

atau disesuaikan dengan otot piriformis yang akan diterapi, Terapis berdiri

menghadap pasien setinggi pinggul sambil memfiksasi trokanter pasien,

sementara tangan lainnya berada pada pergelangan kaki pasien,

42

menginstruksikan pasien untuk menggerakan pinggulnya ke arah berputar

ke dalam. Kemudian meminta pasien untuk mengkontraksikan ototnya

(sebesar 25%).

Gambar 2-5 : Prosedur MET dengan posisi hip fleksi 600, adduksi, dan

knee fleksi 900

(Sumber: Chaitow, 2001)

Sebelumnya Terapis menguji kekuatan kontraksi otot piriformis pada sisi

sehat dan mengajarkan gerakan yang akan dilakukannya dengan gerakan

pasif. Gerakan terjadi selama 5-7 detik tanpa stretch / penguluran diikuti

dengan pengambilan napas / breathing, rileks.

b. Metode yang dianjurkan oleh TePoorten 1960, dalam bukunya Chaitow,

menyebutkan pada tahap pertama pasien berbaring pada sisi sehat dengan

lutut fleksi dan sendi pinggul fleksi 90° dan praktisi menempatkan sikunya

di otot piriformis dan memberikan tekanan stabil sebesar 20-30 mmHg.

Sementara tangan yang satunya memegang pergelangan kaki sisi sehat

43

sehingga memberikan gerakan berputar ke dalam (rotasi internal) selama 2

menit. Prosedur ini diulang 2 atau 3 kali. Kemudian rileks.

Gambar 2-6 : Posisi hip fleksi full, internal rotasi, dan fleksi knee 900

(Sumber: Chaitow, 2001)

c. Ke dua lutut pasien dalam keadaan fleksi dan sebagai tumpuan, kemudian

terapis memutar sisi yang sakit ke sisi yang sehat, posisi pasien miring ke

sisi yang sehat. Kemudian pasien mencoba untuk membawa tumitnya ke

garis tengah dengan melawan sedikit tahanan yang diberikan oleh Terapis.

Gerakan ini berlangsung selama 7-10 detik. Setelah itu lakukan sedikit

penekanan pada otot Piriformis / release dengan menggunakan ibu jari,

bila diperlukan.

d. Prosedur ini bertujuan untuk menyeimbangkan otot-otot sekitarnya, serta

diafragma panggul. Pasien dalam posisi jongkok sementara Terapis berdiri

44

dan menstabilkan kedua bahu pasien mencegah pasien dari naik, selama

gerakan ini pasien diminta untuk mengatur nafas. Gerakan dilakukan

selama 7-10 detik. Kemudian rileks. Kembali jongkok. Prosedur ini

diulang beberapa kali.

e. Prosedur ini dijelaskan oleh Lewit (1992). Posisi pasien terlentang dengan

lutut fleksi 450 dan hip fleksi 60

0 sehingga posisi kaki menumpu di bed

pada sisi kontralateral. Terapis memfiksasi bagian kontralateral ASIS

untuk mencegah gerakan panggul, sementara tangan lainnya ditempatkan

pada lutut lateral. Pasien diminta untuk mendorong sebagai gerakan

kontraksi selama 7-10 detik. Kemudian dilanjutkan dengan gerakan

adduksi yang dilakukan oleh Terapis selama 10-30 detik, gerakan

stretching / penguluran.

f. Prosedur ini melakukan kontraksi pada sisi yang sehat karena kontraksi

satu piriformis menghambat pasangannya. Pasien berbaring melawan

dinding menghadap sisi yang sakit. Kedua lutut tertekuk kemudian pasien

meraba bagian belakang trokanter, memastikan tidak ada kontraksi otot

piriformis yang sakit. Setelah kontraksi berlangsung 10 detik atau lebih

dari sisi non - terkena (pasien menekan dinding dengan lututnya).

Selanjutnya posisi pasien seperi metode pertama (fleksi knee 450 dan fleksi

hip 600 dengan kaki menumpu pada bed) kemudian melakukan gerakan

adduksi. Gerakan diulangi beberapa kali.

45

2.5.5 Manfaat Muscle Energy Technique (MET)

a. Memproduksi reseptor antinyeri yang dihasilkan oleh otot

b. Melancarkan sirkulasi darah.

c. Menghancurkan jaringan fibrous kolagen penyebab spasme otot.

d. Mempercepat proses penyembuhan dengan membentuk jaringan baru.

e. Meningkatkan lingkup gerak sendi (Chaitow, 2001).

2.5.6 Penelitian tentang Muscle Energy Technique (MET)

Penelitian yang dilakukan oleh Wilson, dkk dalam Journal of

Orthopaedic & Sports Physical Therapy yang menjelaskan tentang efek dari

pemberian Muscle Energy Technique dikombinasikan dengan pendidikan ulang

neuromuskular (reeducation) dan ketahanan latihan (resistance training) pada

pasien dengan diagnosis acute low back pain menunjukkan hasil yang lebih

baik dibandingkan dengan pemberian pendidikan ulang neuromuscular

(reeducation) dan ketahanan latihan (resistance training) saja. Penelitian

tersebut dilakukan di Universitas Michigan dengan subjek penelitian 19 orang

yang terdiri dari 10 laki-laki dan 9 perempuan dengan metode eksperimental

pre dan post test. Pemberian dosis terapi dilakukan 8 kali selama 2 minggu atau

seminggu dua kali (Wilson dkk, 2003).

2.6 Myofascial Release Technique (MRT)

Myofascial Release Technique dapat didefinisikan sebagai fasilitasi potensi

adaptif mekanik, saraf dan psiko fisiologis yang dihubungkan oleh sistem

46

myofascial (Manheim, 2001). Fascia terletak antara kulit dan struktur yang

mendasari otot dan tulang yang merupakan jaringan ikat yang menutupi dan

menghubungkan otot-otot, organ, dan struktur tulang dalam tubuh kita. Otot dan

fascia bersatu membentuk sistem myofascial. Myofascial Release Technique

merupakan kumpulan dari teknik yang digunakan untuk tujuan menghilangkan

fascia abnormal atau fascia yang mengalami keketatan (Manheim, 2001).

2.6.1 Indikasi dan Kontraindikasi dari Myofascial Release Technique (MRT)

Indikasi dari Myofascial Release Technique yakni nyeri akut atau kronis

yang tidak dapat disembuhkan oleh pengobatan fisioterapi tradisional, nyeri

kompleks / global / spesifik yang tidak mengikuti arah dermatome, myotome atau

nyeri pola rujukan visceral, tightness, fibromyalgia, nyeri akibat asimetri postural,

dan kelemahan otot (Manheim, 2001).

Kontra indikasi dari Myofascial Release Technique yakni pasien dengan

angina yang tidak stabil, dermatitis, pasien yang mengonsumsi alkohol, pasien

dengan penyakit menular atau infeksi (Ward, 2003).

2.6.2 Mekanisme Kerja Myofascial Release Technique (MRT)

Myofascial Release Technique (MFR) melibatkan sistem myofascial

yang berfokus pada fascia. Fascia adalah lapisan tiga dimensi dari jaringan ikat

yang berjalan terus menerus di seluruh tubuh. Kontinuitas fasia ini berarti bahwa

ada :

a. jaringan terus menerus dari kepala sampai kaki.

47

b. jaringan terus menerus dari dangkal sampai dalam.

c. jaringan dari mikroskopis untuk makroskopik berkelanjutan.

Oleh karena itu, sistem fasia tidak tersegmentasi atau dibagi secara

struktural. Namun kualitas jaringan dalam sistem tunggal ini bervariasi dalam hal

kepadatan dan fungsi. Fascia terdiri dari sebuah kompleks elastocollagenous

dengan serat elastin, dan serat kolagen, tertanam dalam substansi dasar agar-agar

yang memungkinkan mobilitas serat, serta sirkulasi seluler. Molekul kolagen

dimulai sebagai rantai protein rapuh diproduksi dalam sel fibroblast. Rantai

protein tunggal ini dibagi menjadi tangan kiri spiral dan mengapung di dalam

fibroblast sampai terjadi kontak dengan dua rantai tunggal lainnya. Ketiga rantai

tunggal akan menyelaraskan dan spiral atau twist sekitar satu sama lain ke kanan,

akibatnya meningkatkan kekuatan struktural. Triple helix ini membentuk molekul

kolagen tunggal. Ketika dilepaskan dari fibroblast, ia bermigrasi melalui substansi

dasar tubuh untuk lokasi cedera, infeksi atau stres. Substansi dasar adalah gel

bertujuan mengurangi gesekan antara serat-serat otot menciptakan kemudahan

gerak (Greenman, 2003).

Molekul-molekul ini membentuk kolagen tunggal berbaris

berdampingan tumpang tindih dalam pola mirip dengan dinding bata. Mereka

melekat satu sama lain melalui proses ikatan hidrogen membentuk kain yang

stabil. Sepanjang daur hidupnya, fibroblast mempertahankan kemampuan untuk

bermigrasi ke setiap titik dalam tubuh. Mereka mengubah kimia internal mereka

dalam menanggapi kondisi lokal, manufaktur bentuk-bentuk khusus dari jaringan

sesuai dengan kebutuhan tubuh. Jaringan parut kolagen baru yang telah

48

dikeluarkan oleh substansi dasar, yang diproduksi oleh fibroblast, akan membantu

menentukan cara molekul agar bergabung bersama-sama. Viskositas atau

kepadatan bahan jaringan dapat bervariasi dari yang sangat kental sampai cair.

Semakin kental substansi jaringan maka semakin tebal dan kurang bergerak

jaringan tersebut (Regi & Johm, 1991).

a. Konsep pertama dalam sistem ini adalah bahwa dari ketat menjadi longgar.

Konsep ini memiliki dua elemen yaitu refleksif biomekanik dan saraf.

Suatu peningkatan stimulasi menyebabkan otot agonis menjadi ketat dan

otot antagonis semakin longgar yang terjadi karena adanya inhibisi timbal

balik. Pemendekan fasia sekitarnya yang mengalami hipertonus, maka

kontraksi otot membutuhkan melonggarnya fasia dalam arah yang

berlawanan di akomodasi. Dalam kondisi akut siklus dapat digambarkan

sebagai spasme kemudian nyeri lalu kejang. Hal ini menyebabkan sesak

dan dapat berkembang dari kondisi akut yang mengarah ke kondisi kronis.

Dalam kondisi kronis siklus digambarkan sebagai nyeri kemudian nyeri

berkurang lalu longgar. Penerapan konsep longgar ketat merupakan dasar

penggunaan terapi dari MFR.

b. Konsep ke dua adalah bahwa peran palpasi dalam sindrom nyeri

myofascial. Ada banyak sistem diagnosis dan terapeutik dibangun di atas

perifer stimulasi. Palpasi pada elemen myofascial sering mengidentifikasi

situs yang aman. Inisiasi untuk nyeri myofascial yang dapat diterapi

ditangani oleh tangan. Bagian penting dari sensitivitas myofascial

tampaknya dimediasi oleh sistem saraf otonom beberapa gejala yang

49

ditemukan dengan nyeri myofascial mungkin dimediasi oleh sistem saraf

simpatis.

c. Konsep ke tiga berkaitan dengan perubahan neuroreflexive yang terjadi

dengan penerapan gaya manual pada sistem muskuloskeletal. Tangan pada

pendekatan menawarkan stimulasi aferen melalui reseptor, yang

membutuhkan pengolahan pusat di sumsum tulang belakang dan tingkat

kortikal motorik. Stimulasi aferen sering mengakibatkan penghambatan

eferen. Prinsip ini digunakan dalam teknik MFR ketika stimulasi aferen

peregangan diterapkan dan operator menunggu penghambatan eferen

terjadi sehingga hasil relaksasi dalam jaringan yang ketat. Tanggapan

neuroreflexive bersifat individualis dan tampaknya dimodifikasi oleh

jumlah nyeri, perilaku nyeri pasien tingkat kesehatan, respon stress dan

gaya hidup individu, khususnya penggunaan / penyalahgunaan alkohol,

tembakau dan obat-obatan.

d. Konsep ke empat adalah bahwa dari fenomena release. Konsep ini dibagi

dengan bentuk-bentuk pengobatan manual khususnya teknik sakral cranio

dan prinsip mengikat. Release dalam konsep MFR, adalah relaksasi

jaringan yang mengikuti aplikasi yang sesuai kondisi stres pada jaringan

dengan memberi jalan. Release menjadi memungkinkan dan terminal

tujuan penerapan MFR. Pelepasan keketatan pada jaringan dicari untuk

mencapai perbaikan dalam simetri fungsi dan bentuk.

50

Teknik myofascial dimulai dengan menempatkan satu tangan pada

pasien. Tekanan yang cukup harus diterapkan untuk mengisi kekurangan di

kulit. Tekanan harus diarahkan pada permukaan pendukung. Kulit yang

mendasari jaringan harus merasa seperti bantal lembut. Jaringan ikat tubuh

merespon tekanan, traksi (peregangan) dan gesekan yang mereka hasilkan.

Sentuhan terapis meningkatkan suhu tubuh dan tingkat energi dari jaringan

sehingga menciptakan tingkat yang lebih besar dari fluiditas ke sistem.

Mengevaluasi mobilitas fascia dan ritme tekanan, kemudian pemeriksa

mempalpasi kulit dan menilai mobilitas jaringan superior, inferior, medial dan

lateral. Kualitas jaringan akan bervariasi pada berbagai bagian tubuh yang

sama. Jaringan dibatasi terasa lamban saat pindah. Jaringan ini padat dan

mungkin terasa kering, karena kekurangan cairan (Manheim, 2001).

2.6.3 Prosedur Myofascial Release Technique (MRT)

a. Pasien dalam keadaan posisi terlentang dan rileks.

b. Terapis memposisikan pasien dengan posisi internal rotasi, adduksi dan

fleksi hip 600 dan fleksi knee 45

0. Lutut sisi yang sakit berada di samping

sisi yang sehat. Terapis meraba otot Piriformis yang sakit kemudian

memberikan tekanan pada otot tersebut secara vertikal. Prosedur ini

dilakukan selama 3 sampai 5 menit.

c. Selanjutnya peregangan fokus di piriformis dengan menerapkan

peregangan vertikal ke serat distal yang terkena meliputi otot gemelli dan

piriformis sambil meningkatkan gerakan adduksi dan hip fleksi sampai

51

batas lateral dari posisi kaki yang sedang beristirahat terhadap batas

superior lateral lutut yang berlawanan. Terapis kembali memberikan

penekanan ke arah vertikal selama 3 sampai 5 menit.

d. Lanjutkan peregangan fokus dari piriformis dengan meningkatkan

peregangan vertikal dengan satu tangan sambil meningkatkan adduksi,

rotasi internal dan hip fleksi, menggerakan lutut ke arah bahu yang

berlawanan. ulangi urutan release sampai merasa akhir tercapai (Regi &

Johm, 1991).

2.6.4 Manfaat Myofascial Release Technique (MRT)

a. Mengurangi nyeri otot & menghilangkan stres sendi,

b. Meningkatkan perluasan persimpangan musculotendinous,

c. Menurunkan neuromuskular hipertonus,

d. Meningkatkan efisiensi neuromuscular,

e. Memperbaiki ketidakseimbangan otot,

f. Meningkatkan lingkup gerak sendi,

g. Menjaga panjang otot yang normal dan fungsionalnya (Manheim, 2001).

2.7 Perbedaan MET dengan MRT

Berdasarkan pembahasan kajian teori tentang Muscle Energy Technique

(MET) dan Myofascial Release Technique (MRT) peneliti menyimpulkan adanya

perbedaan diantara ke dua teknik tersebut yakni sebagai berikut :

52

Tabel 2.2 : Perbedaan Muscle Energy Technique (MET) dengan Myofascial

Release Technique (MRT)

Pembeda Muscle Energy

Technique (MET)

Myofascial Release

Technique (MRT)

Mekanisme kerja Sistem isometrik

kontraksi

Sistem myofascial

Daya Kerja Secara aktiv, pasien

mengontraksikan

ototnya sebesar

kemampuan minimal

atau sebatas nyerinya.

Secara pasif, tekanan

dari tangan terapis pada

fascia yang terkait.

Kebutuhan energi Sangat diperlukan untuk

meng-kontraksikan otot.

Tidak terlalu berperan

dalam proses

mekanismenya. Karena

tidak ada kontraksi otot.

Manfaat lainnya Meningkatkan daya

tahan otot

Tidak bisa

meningkatkan daya

tahan otot.

53

2.8 Persamaan Muscle Energy Technique (MET) dengan Myofascial Release

Technique (MRT)

Berdasarkan pembahasan kajian teori tentang Muscle Energy Technique

(MET) dan Myofascial Release Technique (MRT) peneliti menyimpulkan adanya

persamaan diantara ke dua teknik tersebut yakni sebagai berikut :

a. Memiliki efek analgesia nyeri terhadap jaringan lunak seperti fascia dan

otot.

b. Memiliki manfaat untuk mengurangi nyeri otot, spasme, dan asimetri

postur.

c. Dalam penanganannya sama-sama memerlukan pemantauan dari terapis.

d. Pemberian intervensinya disesuaikan dengan kondisi pasien. Tidak

diperkenankan bila pasien demam.

e. Diperlukan keterampilan khusus untuk melakukan teknik terapinya.