Upload
vanthuan
View
293
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Anatomi dan Fisiologi
2.1.1 Anatomi Otot Tungkai Bawah
Daerah tungkai memiliki beberapa grup otot besar yang dapat memberikan
kontribusi terhadap daya ledak tungkai khususnya saat melakukan latihan tipe
jumping. Beberapa grup otot besar yang dapat memberikan kontribusi terhadap
vertical jump adalah:
1. Group Otot Ekstensor Knee dan Fleksor Hip (Quadriceps Femoris)
Otot quadriceps femoris adalah salah satu otot rangka yang terdapat pada
bagian depan paha manusia. Otot ini mempunyai fungsi dominan ekstensi pada
knee (Watson, 2002). Otot quadriceps femoris terdiri atas empat otot, yaitu:
Gambar 2.1 Group otot quadriceps femoris (Watson, 2002)
9
a. Otot Rectus Femoris
Terletak paling superfisial pada facies ventalis berada diantara otot
quadriceps yang lain yaitu otot vastus lateralis dan medialis. Berorigo
pada Spina Illiaca Anterior Inferior (caput rectum) dan pada os ilium di
cranialis acetabulum (caput obliquum) dan mengadakan insersio pada
tuberositas tibia dengan perantaran ligamentum patellae. Otot ini
digolongkan ke dalam otot tipe 1 (Watson, 2002).
b. Otot Vastus Lateralis
Tipe otot ini adalah otot tipe II yang berada pada sisi lateral yang
mengadakan perlekatan pada facies ventro lateral trochanter major dan
labium lateral linea aspera femoris (Watson, 2002).
c. Otot Vastus Medial
Melekat pada labium medial linea aspera (dua pertiga bagian bawah)
dan termasuk otot tipe II (Watson, 2002).
d. Otot Vastus Intermedius
Mengadakan perlekatan pada facies ventro-lateral corpus femoris juga
merupakan otot tipe II (Watson, 2002).
2. Grup Otot Fleksor knee dan Ekstensor Hip (Hamstring)
Hamstring merupakan otot paha bagian belakang yang berfungsi sebagai
fleksor knee dan ekstensor hip. Secara umum hamstring bertipe otot serabut otot
tipe II (Watson, 2002). Hamstring terbagi atas tiga otot yaitu:
10
Gambar 2.2 Group otot hamstring (Watson, 2002)
a. Otot Biceps Femoris
Mempunyai dua buah caput. Caput longum dan breve, caput longum
berorigo pada pars medialis tuber Ichiadicum dan M. semitendinosus
sedangkan caput breve berorigo pada labium lateral linea aspera
femoris, insersio otot ini pada capitulum fibula (Watson, 2002).
b. Otot Semitendinosus
Otot ini berorigo pada pars medialis tuber ichiadicum dan berinsersio
pada facies medialis ujung proximal tibia (Watson, 2002).
c. Otot Semimembranosus
Melekat di sebelah pars lateralis tuber ichiadicum turun ke arah sisi
medial regio posterior femoris dan berinsersio pada facies posterior
condylus medialis tibia (Watson, 2002).
11
3. Grup Otot Plantarfleksor Ankle
Gambar 2.3 Group otot plantarfleksor ankle (Watson, 2002)
a. Otot Gastrocnemius
Otot ini merupakan serabut otot fast-twitch yang sangat kuat untuk
plantarfleksi kaki pada ankle joint. Otot gastrocnemius merupakan otot
yang paling superfisial pada dorsal tungkai dan terdiri dari dua caput
pada bagian atas calf. Dua caput tersebut bersamaan dengan soleus
membentuk triceps surae. Bagian lateral dan medial otot masih terpisah
satu sama lain sejauh memanjang kebawah pada middle dorsal tungkai.
Kemudian menyatu dibawah membentuk tendon yang besar yaitu
tendon Achilles (Hamilton, 2002).
b. Otot Soleus
Seperti otot gastrocnemius, otot soleus berfungsi pada gerakan
plantarfleksi kaki pada ankle joint. Otot ini terletak di dalam
gastrocnemius, kecuali di sepanjang aspek lateral dari setengah bawah
12
calf, di mana bagian lateral solueus terletak pada bagian atas dari
tendon calcaneus. Serabut otot soleus masuk ke dalam tendon
calcaneal dalam pola bipenniform. Otot ini dominan memiliki serabut
slow-twitch (Hamilton, 2002).
4. Group Otot Dorsifleksor Ankle
Gambar 2.4 Group otot dorsifleksor ankle (Watson, 2002)
a. Tibialis Anterior
Otot ini terletak di sepanjang permukaan anterior tibia dari condylus
lateral kebawah pada aspek medial regio tarsometatarsal. Sekitar
setengah sampai dua pertiga kebawah tungkai otot ini menjadi
tendinous. Tendon berjalan didepan malleolus medial sampai pada
cuneiform pertama. Otot ini berperan dalam gerakan dorsifleksi ankle
dan kaki, serta supinasi (inversi dan adduksi) tarsal joint ketika kaki
dorsifleksi. Dalam penelitian EMG, otot ini ditemukan aktif pada
13
setengah orang yang berdiri bebas dan ketika dalam posisi forward lean
(Hamilton, 2002).
b. Extensor Digitorum Longus
Otot ini memanjang pada empat jari-jari kaki. Otot ini juga berperan
pada gerakan dorsifleksi ankle joint dan tarsal joint serta membantu
eversi dan abduksi kaki. Otot ini berbentuk penniform, terletak di lateral
dari tibialis anterior pada bagian atas tungkai dan lateral dari extensor
hallucis longus pada bagian bawahnya. Tepat didepan ankle joint
tendon ini membagi empat tendon pada masing-masing jari-jari kaki
(Hamilton, 2002).
c. Extensor Hallucis Longus
Otot ini berperan dalam gerakan ekstensi dan hiperekstensi ibu jari
kaki. Otot extensor hallucis longus juga berperan pada gerakan
dorsifleksi ankle dan tarsal joint. Seperti otot di atas, otot ini juga
berbentuk penniform. Pada bagian atas otot ini terletak di dalam tibialis
anterior dan extensor digitorum longus, tetapi sekitar setengah bawah
tungkai tendon ini menyebar diantara dua otot tersebut di atas sehingga
otot ini menjadi superfisial. Setelah mencapai ankle tendonnya ke arah
medial melewati permukaan dorsal kaki sampai pada ujung ibu jari kaki
(Hamilton, 2012).
Otot yang berperan dalam puncak vertical jump selain otot tungkai adalah
otot gluteus maximus, gluteus medius dan minimus, Otot-otot ini berperan sebagai
pembentuk bokong (Lestari, 2015).
14
a. Gluteus maximus
Otot ini merupakan otot yang terbesar yang terdapat di sebelah luar
ilium membentuk perineum. Fungsinya antagonis dari iliopsoas yaitu
rotasi fleksi dan endorotasi femur. Fungsi utama dari gluteus maximus
adalah untuk menjaga bagian belakang tubuh tetap tegap atau untuk
mendorong kedudukan pinggul ke posisi yang tepat (Lestari, 2015).
Gambar 2.5 otot gluteus maximus (Watson, 2002)
b. Gluteus medius dan minimus
Otot ini terdapat di bagian belakang dari sendi ilium di bawah gluteus
maksimus. Fungsinya abduksi dan endorotasi dari femur dan bagian
medius eksorotasi femur (Lestari, 2015).
15
Gambar 2.6 otot gluteus medius dan minimus (Watson, 2002)
2.1.2 Fisiologi Otot Rangka
Karakteristik otot rangka secara fisiologis ada 4 aspek yaitu: contractility
yaitu kemampuan otot untuk mengadakan respon (memendek) bila dirangsang.
Exstensibility (distensibility) yaitu kemampuan otot untuk memanjang bila otot
ditarik atau ada gaya yang bekerja pada otot tersebut bila otot rangka diberi beban.
Elasticity yaitu kemampuan otot untuk kembali kebentuk dan ukuran semula
setelah mengalami exstensibility atau distensibility (memanjang) atau contractility
(memendek). Exsitability electric yaitu kemampuan untuk merespon terhadap
rangsangan tertentu dengan memproduksi sinyal-sinyal listrik disebut tindakan
potensi (Tortora dan Derrickson, 2009).
Otot rangka memperlihatkan kemampuan berubah yang besar dalam
memberi respon terhadap berbagai bentuk latihan (Sudarsono, 2009). Beberapa
unit organ tubuh akan mengalami perubahan akibat dilakukan pelatihan. Latihan
daya ledak akan meningkatkan diameter myofibrialir otot. (Nala, 2011). Dengan
latihan yang teratur, akan memberikan beberapa efek positif terhadap otot, bahkan
perubahan adaptif jangka panjang dapat terjadi pada serat otot, yang
16
memungkinkan untuk respon lebih efisien terhadap berbagai jenis kebutuhan pada
otot (Wiarto, 2013).
2.2 Daya Ledak Otot
2.2.1 Pengertian Daya Ledak Otot
Daya ledak otot adalah kemampuan otot untuk mengeluarkan kekuatan
maksimal dalam waktu sangat singkat (Bompa, 2010). Daya ledak otot merupakan
aktivitas secara tiba-tiba dan cepat dengan mengerahkan seluruh kekuatan. Sering
disebut sebagai kekuatan eksplosif ditandai dengan adanya gerakan atau
perubahan tiba-tiba yang cepat (Nala, 2011). Daya ledak dapat ditetapkan dengan
seketika dan juga pada berbagai titik gerakan atau rata-rata pada berbagai porsi
dari gerakan atau latihan (Knuttgen dan Komi, 2010). Daya ledak adalah tenaga
yang dihasilkan persatuan waktu. Berdasarkan hal tersebut, daya ledak adalah
fenomena neuromuskular yang sangat besar, dimana kekuatan adalah syarat
mutlak dan kecepatan adalah kofaktor yang penting.
Berdasarkan spesifikasinya, daya ledak dapat dibagi menjadi empat, yakni:
daya ledak eksplosif (explosive power), daya ledak cepat (speed power), daya
ledak kuat (strength power) dan daya ledak tahan lama (endurance power) (Nala,
2011). Menurut Bompa (Widhiyanti, 2013), daya ledak dapat dibedakan menjadi
dua macam berdasarkan jenis gerakannya, yakni: daya ledak asiklik dan daya
ledak siklik. Daya ledak asiklik adalah daya ledak dalam waktu singkat yang
dihasilkan dari aktivitas gerakan, contoh olahraganya: unsur melompat dan
melempar dalam olahraga atletik dan berbagai unsur dalam olahraga senam.
17
Sedangkan daya ledak siklik adalah kebalikannya. Daya ledak siklik berlangsung
dalam waktu tertentu dengan gerakan berturut-turut atau berulang-ulang. Contoh
olahraganya adalah: lari, bersepeda, sepak bola, basket dan lain sebagainya. Daya
ledak juga dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan beban yang dihadapi, yaitu
daya ledak absolute dan ada daya ledak relative. Daya ledak absolute adalah daya
ledak yang mengerahkan kekuatan untuk mengatasi beban dari luar yang
maksimum. Sedangkan daya ledak relative adalah daya ledak yang mengerahkan
kekuatan untuk mengatasi beban dari berat badan sendiri (Berger, 2002).
Dalam mendesain sebuah program latihan daya ledak, diperlukan
pengetahuan tentang gerak dan sifat otot serta tendon selama bergerak. Latihan
khusus yang fokus pada peningkatan daya ledak telah berhasil mengembangkan
teknik khusus yang meliputi gerakan eksplosif di mana proses adaptasinya
bergantung pada pergantian yang cepat dari kontraksi eksentrik (otot mengalami
pemanjangan saat kontraksi) menuju kontraksi konsentrik (otot mengalami
pemendekan selama kontraksi), contohnya adalah plyometric exercise (Whytey et
al., 2006 b).
2.2.2 Mekanisme dan Fisiologi Daya Ledak Otot
Daya ledak otot dapat didefinisikan sebagai kekuatan dikalikan dengan
jarak dibagi dengan waktu atau kekuatan dikalikan dengan kecepatan (William
dan David, 2012). Force (kekuatan) memainkan peran kunci dalam produksi daya
ledak dan jika tidak dipertahankan dengan latihan dapat mengakibatkan
penurunan atau tidak ada perubahan dalam produksi daya ledak. Kekuatan
mengacu pada beban dikalikan dengan percepatan sedangkan kecepatan adalah
18
jarak dibagi dengan waktu dari gerakan (William dan David, 2012). Daya ledak
puncak dicapai dengan kekuatan sedang hingga minimal pada kecepatan
menengah (Hoffman, 2012).
Aksi konsentris otot tidak menghasilkan banyak kekuatan (Hoffman,
2012). Namun, output daya ledak dapat ditingkatkan lebih besar ketika gerakan
eksentrik dan konsentris digunakan bersama-sama untuk mengambil keuntungan
dari sifat elastis otot dalam siklus stretch-shortening cycle (SSC) (William dan
David, 2012). Siklus ini dimulai dengan gerakan balasan yang cepat
mengakibatkan peregangan otot target melalui aksi eksentrik. Otot memiliki
kemampuan untuk diregangkan karena memiliki komponen elastis, yang terdiri
dari jaringan ikat yang mengelilingi setiap lapisan jaringan otot. Ketika otot
diregangkan, mechanoreceptors khusus yang terletak di dalam otot yang dikenal
sebagai serat muscle spindle juga menggeliat dan mengirim umpan balik ke sistem
saraf pusat. Umpan balik ini menyebabkan sinyal langsung dari serat otot untuk
berkontraksi. Keterlibatan SSC dalam latihan memberikan output daya ledak yang
lebih besar (Duchateau dan Enoka, 2011).
Perekrutan motor unit memberikan dasar fisiologis untuk produksi
kekuatan pada setiap kecepatan gerakan. Meskipun gerakan atletik terjadi sebagai
akibat langsung dari tindakan otot rangka, hal itu terjadi dalam respon terhadap
berbagai sinyal yang dikirim dan diterima dari sistem saraf. Gerakan terkontrol
yang menghasilkan daya ledak selama aktivitas fisik dimulai pada korteks motorik
yang terletak di lobus frontalis otak besar. Sinyal-sinyal listrik yang membentuk
informasi yang kemudian diteruskan dari pusat otak yang lebih tinggi ke bawah
19
batang otak ke sumsum tulang belakang yang kemudian merangsang unit motorik
tertentu untuk mengontrol tindakan otot (Gordon et al., 2004).
Jumlah motor unit yang direkrut untuk gerakan adalah salah satu faktor
penentu yang paling penting dari amplitudo daya ledak yang dihasilkan karena
menentukan jumlah luas penampang otot dan jumlah actin-myosin yang sesuai
yang akan digunakan dalam gerakan. Pada tingkat aktivasi terrendah, hanya motor
unit yang terkecil yang direkrut dan menghasilkan daya ledak minimal. Saat
tingkat aktivasi meningkat, ambang rekrutmen motor unit yang lebih besar
terlampaui, sehingga lebih banyak motor unit direkrut dan kekuatan bertahap
menjadi lebih besar dan produksi daya ledak meningkat signifikan. Pada tingkat
rangsangan tertentu, semua motor unit yang tersedia di dalam otot direkrut,
menghasilkan daya ledak tertinggi.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa rangsangan listrik yang diberikan
menghasilkan output daya ledak yang lebih besar dibandingkan dengan kontraksi
volunteer (William dan David, 2012). Hal ini menunjukkan potensi output daya
ledak maksimal otot dihambat oleh proses fisiologis tertentu. Untuk meraih output
daya ledak maksimal mungkin akibat hilangnya inhibisi oleh proses tertentu
dalam tubuh (Kraemer et al., 2012).
Banyak penelitian telah difokuskan pada fenomena coactivation, atau
aktivasi otot antagonis bersama dengan otot-otot agonis dari gerakan. Karena otot-
otot antagonis yang digunakan dalam gerakan menentang arah gerakan, hal ini
dapat menghambat kontraksi maksimum otot. Meskipun dapat merugikan
terhadap output daya ledak maksimal, penelitian saat ini menunjukkan bahwa
20
kontraksi otot antagonis untuk menstabilkan sendi, memungkinkan untuk kontrol
yang lebih baik dari gerakan ini dan mencegah kerusakan jaringan dari
overextension (Behm et al., 2002).
Mekanisme mencegah cedera yang lainnya adalah melalui golgi tendon
organ. GTO adalah organ proprioceptor terletak di dalam tendon yang melekatkan
otot ke tulang dan mengontrol jumlah gaya yang diterapkan pada tendon (Potts,
2006). Ketika kontraksi otot, menyebabkan tarikan pada tendon untuk
memindahkan tulang. Jika jumlah kekuatan yang terlalu besar pada tendon, GTO
diaktifkan dan menghambat otot untuk mencegah kerusakan pada otot, tendon
atau tulang. Meskipun GTO bertindak sebagai ukuran keamanan terhadap cedera,
namun di sisi lain juga membatasi jumlah kekuatan yang dapat dikembangkan
oleh otot. Disinhibisi dari GTO telah secara teoritis mampu membantu
meningkatkan output daya ledak, namun, dengan kemungkinan mengorbankan
potensi cedera (Issurin, 2005). Dengan demikian, mengurangi aktivitas GTO
dengan mempertimbangkan keamanan mungkin merupakan mekanisme potensial
untuk menghasilkan output daya ledak yang lebih baik.
Daya ledak adalah bagian dari banyak gerakan baik intensitas rendah
maupun intensitas tinggi. Mekanisme yang mendasari daya ledak melibatkan
sejumlah karakteristik fisiologis dalam sistem neuromuskuler individu. Komposisi
motor unit untuk ukuran serat otot, jenis dan jumlah memainkan peran penting
bagi seorang atlet. Latihan yang optimal berdasarkan pada pemahaman
bioenergetika pemulihan dan waktu sesi pelatihan merupakan masalah desain
penting bagi pengembangan program latihan (Newton et al., 2006).
21
2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Ledak Otot
Menurut Berger (2002), ada dua faktor yang mempengaruhi daya ledak,
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari
dalam tubuh manusia dan cenderung menetap, contohnya: genetik, umur, indeks
massa tubuh dan jenis kelamin. Sedangkan faktor eksternalnya meliputi: motivasi,
suhu dan kelembaban relatif udara. Berikut uraian dari faktor-faktor tersebut di
atas.
1. Genetik
Genetik manusia, unit yang kecil yang tersusun atas sekuen
Deoxyribonucleic Acid (DNA) adalah bahan paling mendasar dalam menentukan
hereditas. Keunggulan genetik yang bersifat pembawaan atau genetik tertentu
diperlukan untuk berhasil dalam cabang olahraga tertentu. Beberapa komponen
dasar seperti proporsi tubuh, karakter, psikologis, otot merah, otot putih dan suku,
sering menjadi pertimbangan untuk pemilihan atlet (Widhiyanti 2013). Tubuh
seseorang secara genetik rata-rata tersusun oleh 50% serabut otot tipe lambat dan
50% serabut otot tipe cepat pada otot yang digunakan untuk bergerak (Quinn,
2013). Bagi orang yang memiliki kemampuan daya ledak di atas rata-rata
biasanya secara genetis memiliki persentase otot tipe cepat yang lebih tinggi
(Shergold, 2013).
2. Umur
Massa otot semakin besar seiring dengan bertambahnya umur seseorang.
Pembesaran otot ini erat sekali kaitannya dengan kekuatan otot, di mana kekuatan
otot merupakan komponen penting dalam peningkatan daya ledak. Kekuatan otot
22
akan meningkat sesuai dengan pertambahan umur (Kamen dan Roy, 2000). Selain
ditentukan oleh pertumbuhan fisik, kekuatan otot ini ditentukan oleh aktivitas
ototnya. Laki-laki dan perempuan akan mencapai puncak kekuatan otot pada usia
20-30 tahun. Kemudian di atas umur tersebut mengalami penurunan, kecuali
diberikan pelatihan. Namun umur di atas 65 tahun kekuatan ototnya sudah mulai
berkurang sebanyak 20% dibandingkan sewaktu muda (Nala, 2011).
3. Indeks Massa Tubuh
Indeks massa tubuh adalah nilai yang diambil dari perhitungan antara berat
badan dan tinggi badan seseorang. Dimana IMT merupakan hasil dari berat badan
dengan satuan kilogram dibagi dengan tinggi badan dengan satuan meter yang
telah dikuadratkan (Arga, 2008).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat kegemukan memiliki
pengaruh yang besar terhadap performa empat komponen fitness dan tes-tes
kemampuan atletik. Kegemukan tubuh berhubungan dengan keburukan performa
atlet pada tes-tes speed (kecepatan), endurance (daya tahan), balance
(kesimbangan) agility (kelincahan) serta power (daya ledak) (Arga, 2008).
4. Jenis Kelamin
Kekuatan otot laki-laki sedikit lebih kuat daripada kekuatan otot
perempuan pada usia 10-12 tahun. Perbedaan kekuatan yang signifikan terjadi
seiring pertambahan umur, di mana kekuatan otot laki-laki jauh lebih kuat
daripada wanita (Bompa, 2005). Pengaruh hormon testosteron memacu
pertumbuhan tulang dan otot pada laki-laki, ditambah perbedaan pertumbuhan
fisik dan aktivitas fisik wanita yang kurang juga menyebabkan kekuatan otot
23
wanita tidak sebaik laki-laki. Bahkan pada umur 18 tahun ke atas, kekuatan otot
bagian atas tubuh pada laki-laki dua kali lipat daripada perempuan, sedangkan
kekuatan otot tubuh bagian bawah berbeda sepertiganya (Nala, 2011).
5. Motivasi
Motivasi Olahraga adalah keseluruhan daya penggerak (motif–motif)
didalam diri individu yang menimbulkan kegiatan berolahraga, menjamin
kelangsungan latihan dan memberi arah pada kegiatan latihan untuk mencapai
tujuan yang dikehendaki (Gunarsa, 2004). Dengan motivasi yang baik akan
dicapai hasil latihan maksimal.
6. Suhu dan Kelembaban Relatif
Suhu sangat berpengaruh terhadap performa otot. Suhu yang terlalu panas
menyebabkan seseorang akan mengalami dehidrasi saat latihan. Dan suhu yang
terlalu dingin menyebabkan seorang atlet susah mempertahankan suhu tubuhnya,
bahkan menyebabkan kram otot (Widhiyanti, 2013). Pada umumnya upaya
penyesuaian fisiologis atau adaptasi orang Indonesia terhadap suhu tropis sekitar
290-300C dan kelembaban relatif antara 85%-95%.
2.2.4 Sistem Energi Daya Ledak
Kontraksi otot memerlukan jumlah energi yang besar. Adenosin Tri Posfat
(ATP) menyediakan energi untuk kontraksi otot (Saryonoi, 2011). Dalam proses
kontraksi sel otot, ATP berguna untuk:
1. Proses kontraksi
2. Memompa kalsium ke sarcoplasmic reticulum selama fase relaksasi.
24
3. Mempertahankan gradient ion Na/K melewati sarcolemma (potensial
membran)
Penggunaan energi kontraksi otot terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Kebutuhan Energi Jangka Pendek
Kebutuhan energi jangka pendek terdiri dari dua sistem, yaitu:
a) Sistem creatine phospate
ADP + creatine phospate creatine + ATP (enzim: creatine kinase).
Reaksi ini terjadi pada sarcoplasma. ATP dipecah selama kontraksi,
kadar creatine phospate cepat habis selama intensitas kontraksi yang
tinggi. Dapat memepertahankan kontraksi maksimum selama 8-10
detik. Kreatin fosfat dihasilkan selama kondisi istirahat (ATP + creatine
ceratin phospate + ADP). Refosforilasi ceratin terjadi pada
membrane mitocondria (Saryonoi, 2011).
Suplai ceratine phospate dihabiskan selama 30 detik. Tidak ada oksigen
yang diperlukan oleh creatine phospate untuk bekerja, fosforilasi
bersifat langsung (Saryonoi, 2011).
b) Sistem glikogen asam laktat
Menghasilkan ATP selama 30-40 detik untuk aktivitas maksimum,
misalnya berlari mengelilingi lapangan basket. Otot memperoleh
glukosa dari darah dan simpanan glikogen. Penggunaan metabolisme
glukosa secara anaerob akan menghasilkan asam laktat. Peningkatan
keasaman (asam laktat) dan kekurangan ATP menyebabkan otot tidak
25
dapat berkontraksi. Oksigen diperlukan untuk membebaskan asam
laktat (Saryonoi, 2011).
2. Kebutuhan Energi Jangka Panjang
Proses respirasi aerob diperlukan untuk sintesis ATP yang diperlukan pada
aktivitas yang lama. Respirasi aerob menghasilkan 36 ATP atau satu molekul
glukosa. Setelah 40 detik aktivitas, sistem respirasi dan kardiovaskuler harus
mengangkut cukup oksigen untuk respirasi aerob. Laju konsumsi oksigen
meningkat selama 3-4 menit dan kemudian kadar menetap pada kondisi stabil.
Metabolisme aerob terjadi pada glukosa, asam lemak dan molekul berenergi
tinggi lainnya. Pembatasan metabolisme energi aerob tergantung pada
penurunan glikogen dan glukosa darah, kehilangan cairan dan elektrolit
(Saryonoi, 2011).
2.2.5 Pengukuran Daya Ledak Otot
Daya ledak merupakan suatu ukuran dari perfoma otot, yang berkaitan
dengan kekuatan dan kecepatan gerak dan dapat didefinisikan sebagai kerja per
unit waktu atau gaya dikalikan jarak dibagi dengan waktu. Dengan demikian tes
yang bertujuan untuk mengukur daya ledak seharusnya melibatkan komponen
gaya, jarak dan waktu. Ada dua tes daya ledak otot. Pengukuran yang pertama
yaitu athletic power measurement. Pada pengukuran ini hasil pengukuran
dinyatakan dengan satuan jarak (inchi, cm, kaki, dll) sedangkan gaya dan
kecepatan tidak diukur. Contohnya: vertical jump test dan standing long jump test.
Pengukuran yang kedua adalah work power measurement. Pada pengukuran ini
26
dilakukan berdasarkan perhitungan dari kerja persatuan waktu. Contohnya:
vertical power jump dan vertical arm pull. (Alamsyah, 2008)
Pada penelitian ini dilakukan evaluasi perubahan daya ledak dengan
vertical jump test. Tes dilakukan sebanyak 3 kali percobaan, dan yang digunakan
adalah hasil pencapaian terbaik.
2.3 Plyometric Exercise
2.3.1 Pengetian dan Perkembangan Plyometric Exercise
Plyometric berasal dari bahasa Yunani yang akar katanya adalah plyo dan
metric. Plyo bermakna tambah atau lagi dan metric berarti ukuran. Dengan
demikian plyometric diartikan sebagai menambah ukuran, ukuran daya ledak otot
(Nala, 2011). Plyometric exercise dapat diterjemahkan sebagai latihan-latihan
yang menghasilkan pergerakan otot sehingga menyebabkan refleks regang dalam
otot. Plyometric adalah latihan-latihan atau ulangan yang bertujuan
menghubungkan gerakan kecepatan dan kekuatan untuk menghasilkan gerakan-
gerakan eksplosif (Arga, 2008). Terminologi plyometric ini sendiri pertama kali
dimunculkan pada tahun 1975 oleh Fred Wilt salah seorang pelatih atletik warga
Amerika (Lubis, 2013).
Dari studi kepustakaan menunjukan bahwa Galen (129–199 AD), seorang
dokter pribadi kaisar Marcus Aurelius dan juga dokter untuk para Gladiator di
Roma sebagai orang pertama yang telah mencoba menuangkan pemikirannya ke
dalam serangkaian karya tulis mengenai periodisasi latihan, yang di dalamnya
terdapat metode plyometric exercise.
27
Secara profesional latihan ini dimulai pada tahun 1960 ketika Yuri
Veroshanki pelatih atletik asal Rusia menggunakan metode plyometric exercise
kepada atlet lompatnya dan mengalami kesuksesan yang luar biasa
dipertandingan. Plyometric mulai menjadi perhatian selama sejak 1972 ketika
Olimpiade Munich, Jerman Barat. Negara Rusia dengan Valery Borzov menang
pada nomor lari 100 meter dengan catatan waktu 10,00 detik dan menang di
nomor sprint lari 200 meter, kesuksesan tersebut karena kontribusi dari
penggunaan metode plyometric exercise, yang pada akhirnya Yuri Veroshanki
dipanggil sebagai bapak penelitian plyometric (Lubis 2013).
Kini plyometric exercise adalah salah satu latihan yang favorit yang
dilakukan oleh pelatih olahraga, terutama kepada cabang olahraga yang
membutuhkan kemampuan daya ledak otot tungkai atau otot lengan. Plyometric
exercise dapat disesuaikan dengan tuntutan cabang olahraga yang ditekuni. Hal ini
berarti bahwa gerakan yang dilakukan dalam latihan ini harus sesuai dengan
gerakan yang dominan dalam olahraga tersebut. Plyometric exercise lower body
merupakan plyometric exercise yang cocok untuk olahraga sepak bola, lari sprint,
hocky, rugby, baseball dan lain-lain (Comfort dan Abrahamson, 2010).
2.3.2 Mekanisme dan Fisiologi Plyometric Exercise
Plyometric exercise membantu meningkatkan kekuatan eksplosif dan
kecepatan pada jaringan otot fast twitch. Latihan ini memanfaatkan sifat stretch-
recoil yang melekat pada otot (misalnya, kontraksi eksentrik terjadi saat otot
memanjang) (Whytey dan Godfrey, 2006 a). Gerakan plyometrik dapat dibagi
menjadi tiga fase, (Whytey dan Godfrey, 2006 a) yaitu:
28
a. Fase pemanjangan (kontraksi eksentrik)
b. Fase amortization
c. Fase take off (kontraksi konsentrik)
Selama fase pemanjangan, otot menghasilkan tegangan seperti per yang
diregangkan. Tipe kontraksi ini disebut kontraksi eksentrik. Selama kontraksi
eksentrik, tegangan terbangun di dalam otot. Fase amorrtization adalah fase saat
dimulainya fase pemanjangan hingga awal dari fase take-off. Ini adalah fase
terpenting saat melakukan plyometric exercise. Selama fase ini berlangsung, otot
harus merubah tegangan muskular yang dihasilkan selama fase pemanjangan
menjadi percepatan selama fase take-off berlangsung. Sifat elastis yang melekat di
dalam otot dan reflek neuromuskular (stretch reflex) bertanggung jawab untuk
perubahan tersebut. Take-off terjadi melalui kontraksi konsentrik dari otot. Selama
fase ini, otot mengalami pemendekan saat berkontraksi.
Terdapat tiga teori yang menjelaskan tentang peningkatan daya ledak otot
melalui plyometric exercise. Yang pertama, peregangan yang cepat dari otot
agonis mengaktivasi muscle spindle yang menyebabkan peningkatan laju neuron
sensoris yang berhubungan dengan rantai nuclear intrafusal dan kantung serat
otot (Kolt dan Mackler, 2007). Peningkatan laju saraf sensoris menyebabkan
peningkatan kontraksi otot agonis dan sinergis dengan alpha motor neuron melalui
monosynaptic spinal reflex yang memicu peningkatan kontraksi otot secara
menyeluruh (Kolt dan Mackler, 2007).
Teori yang kedua mengemukakan penurunan sensitivitas golgi tendon
organ untuk meregang. GTO berada di dalam tendon otot, diaktivasi oleh
29
tegangan di dalam otot. GTO memberikan mekanisme protektif dengan
menghambat produksi kekuatan agonis ketika tegangan mencapai level yang
dapat merusak otot. Plyometric exercise diketahui dapat mengurangi sensasi dari
GTO, yang pada akhirnya mampu memproduksi kekuatan dengan meminimalisir
penghambatan kekuatan agonis (Kolt dan Mackler, 2007).
Teori yang ketiga berdasarkan pada adaptasi neuromuskular. Antara
kontraksi eksentrik dan konsentrik biasanya memilki rentang waktu tertentu.
Melalui plyometric exercise maka transisi antara kontraksi eksentrik menuju
konsentrik dapat diminimalisir, waktu reaksi antara impuls saraf dan kontraksi
otot dapat dikurangi dan dapat memperkuat lebih banyak motor unit (Kolt dan
Mackler, 2007).
Berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa secara fisiologis
plyometric exercise meningkatkan daya ledak otot melalui proses adaptasi yang
berkesinambungan pada sistem neuromuskuloskeletal.
2.3.3 Pedoman Plyometric Exercise
Sebuah hasil latihan yang maksimal harus memiliki prinsip latihan. Tanpa
adanya prinsip atau patokan yang harus diikuti oleh semua pihak yang terkait,
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada evaluasi pelatihan akan sulit
mencapai hasil yang maksimal (Nala, 2011).
Plyometric exercise harus disesuaikan dengan karakteristik individu dan
menyesuaikan dengan aktivitas yang akan dilatih. Tekanan yang lebih besar akan
dialami oleh otot, sendi dan jaringan penghubung pada individu yang lebih
gemuk. Individu yang memiliki berat berlebih (lebih berat dari 90 Kg),
30
seharusnya tidak melakukan plyometric exercise intensitas tinggi. Individu dengan
riwayat cedera juga sebaiknya mendapat persetujuan dokter untuk melakukan
latihan ini (Deuster et al., 2007).
Dalam plyometric exercise, pedoman latihan yang harus diperhatikan
antara lain:
a) Frekuensi dan Lamanya Latihan
Frekuensi adalah jumlah latihan yang dilakukan per minggu atau kekerapan
latihan per minggu (Nala, 2011). Frekuensi latihan untuk mengembangkan
komponen daya ledak otot, jika dilakukan tujuh kali seminggu dianggap
densitasnya terlalu tinggi. Menurut Deuster et al. (2007), untuk plyometric
exercise, rentangnya biasanya dilakukan satu hingga tiga kali per minggu.
Menurut Kolt dan Mackler (2007), plyometric exercise sering dilakukan dua
kali per minggu, dengan waktu 48 jam sebagai periode istirahat dan recovery.
Lamanya latihan adalah berapa minggu atau berapa bulan program
tersebut dijalankan sehingga memperoleh kondisi yang diharapkan
(Widhiyanti, 2013). Peningkatan otot rangka sudah Nampak apabila dilakukan
pelatihan minimal 4-6 minggu (Widhiyanti, 2013). Plyometric exercise dapat
menunjukkan adaptasi yang signifikan dengan latihan selama empat minggu
(Rezaimanesh et al., 2011).
Dengan berbagai pertimbangan teoritis dan terkait intern pemain bola voli
FK UNUD, maka dalam penelitian ini latihan dilakukan tiga kali sesi
pertemuan dalam satu minggu, dengan diberi jeda waktu istirahat dan recovery
tidak lebih dari 48 jam. Latihan dilaksanakan selama empat minggu.
31
b) Intensitas
Intensitas pada plyometric exercise adalah level tekanan yang diterima oleh
sistem neuromuskular, jaringan penghubung dan sendi. Hal tersebut tergantung
pada tipe latihan yang dilakukan. Intensitas selalu diukur dengan tingkat
kesulitan gerakan. Semakin sulit gerakan, intensitasnya semakin tinggi.
Beberapa guideline dalam plyometric exercise dapat disajikan sebagai berikut
(Deuster et al., 2007):
Lompatan vertikal lebih stressfull daripada lompatan horisontal.
Mendarat dengan satu kaki lebih stressfull daripada mendarat dengan
dua kaki.
Semakin tinggi permukaan tanah dari tubuh maka semakin bertenaga
dan semakin stressfull latihan yang dilakukan.
Menambahkan beban eksternal akan meningkatkan stress pada tubuh.
c) Waktu
Waktu latihan sebaiknya pendek, tetapi berisi dan padat dengan kegiatan–
kegiatan yang bermanfaat. Waktu latihan berlangsung terlalu lama dan terlalu
melelahkan akan berbahaya karena setiap latihan akan dipandang suatu
siksaan. Hari-hari latihan berikutnya dilihat dengan perasaan enggan dan jenuh.
d) Repetisi
Dalam prinsip plyometric exercise, repetisi adalah jumlah ulangan suatu
latihan, sedangkan set adalah suatu rangkaian kegiatan dari satu repetisi. Tidak
ada riset yang menunjukkan secara rinci aturan berkaitan dengan set dan
repetisi. Literatur lebih menganjurkan agar pelatih menyesuaikan dengan
32
kondisi dan tingkat keberhasilan latihan. Banyaknya ulangan atau repetisi
berkisar antara 6-10 kali dengan semakin sedikit ulangan untuk rangkaian yang
lebih berat dan lebih banyak ulangan untuk latihan-latihan yang lebih ringan
(Arga, 2008).
Peningkatan latihan dilakukan secara bertahap, yakni dengan cara
meningkatkan jumlah set dan mengurangi jeda waktu antar set setiap sesi
latihan. Dalam hal ini, penulis menentukan jumlah set dan repetisi berdasarkan
tabel berikut:
Tabel 2.1. Repetisi Plyometric Exercise (Arga, 2008)
No Type of Exercise Intensity Repetition Set
1 Shock tension/High Maximal 8-10 2-3
2 Drop Jump Very High 10-15 2-3
3 Hopping exercise High 10-15 2-3
4 Low reactive jump Moderate 10-20 2-3
5 Low impact jump Low 10-30 2-4
Berdasarkan tabel tersebut, latihan knee tuck jump masuk ke dalam tipe latihan
low reactive jump dengan intensitas sedang dilakukan dalam 2-3 set dengan
jumlah repetisi 10-20, dengan peningkatan secara bertahap.
e) Tipe
Adapun tipe plyometric exercise untuk tungkai adalah sebagai berikut (Furqon
dan Dowes, 2002):
1) Bounding
Gerakan bounding menekankan pada loncatan untuk mencapai ketinggian
maksimum dan juga jarak horisontal. Bounding dilakukan dengan dua kaki
atau dengan cara bergantian.
33
2) Hopping
Gerakan hopping adalah gerakan yang menekankan pada loncatan ke arah
vertikal, kombinasi ke arah horisontal dan kecepatan maksimum gerakan
kaki. Hopping dilakukan dengan satu atau dua kaki. Model pelatihan
hopping sesuai untuk olahraga seperti sepak bola, karena sepak bola
menuntut daya ledak vertikal, horisontal serta kecepatan yang dipadukan
menjadi satu dalam permainannya.
3) Jumping
Dalam gerakan jumping menekankan pada ketinggian maksimum,
sedangkan komponen horisontal dan kecepatan adalah faktor kedua.
Jumping dapat dilakukan dengan satu atau dua kaki.
4) Leaping
Gerakan leaping menekankan pada jarak horisontal dan ketinggian
maksimum. Leaping dapat dilakukan dengan satu atau dua kaki.
5) Skipping
Skipping menekankan pada komponen ketinggian maksimal dan
memperhatikan pula jarak horisontal. Gerakan ini dilakukan dengan
melangkah-meloncat secara bergantian.
6) Ricochet
Gerakan Richocet menekankan pada kecepatan tungkai dan gerakan kaki
dengan meminimalkan jarak vertikal dan horisontal.
34
Plyometric exercise pada tungkai yang akan diteliti dalam upaya
peningkatan daya ledak otot tungkai pemain bola voli lebih ditekankan pada
gerakan jumping. Adapun jenis latihan yang diberikan adalah knee tuck jump.
2.3.4 Tes Klatt
Tes klatt dirancang oleh Lois Klatt, PhD, direktur laboratorium kinerja
fisik di Concordia College, River Forest, Illinois. Tes klatt ini secara efektif
digunakan untuk menyoroti kemungkinan ketidakseimbangan otot di daerah lutut,
pinggul, panggul dan punggung bawah. Tes klatt ini sangat cepat dan sederhana
dalam penerapannya. Hasil dari tes ini umumnya memberikan gambaran yang
akurat tentang apa yang perlu ditangani dalam program latihan. Tujuan dari tes
klatt adalah untuk menilai keseimbangan, stabilitas dan kemampuan melompat
seorang atlet sebagai prasyarat untuk melakukan program plyometric exercise
(Kim, 2010).
Tes ini dirancang dan dikembangkan untuk mengidentifikasi
ketidakseimbangan otot dan digunakan untuk mengidentifikasi rasio kekuatan
antara otot quadriceps, hamstring, abduktor dan adduktor serta melihat kelemahan
antara sisi kiri dan kanan tubuh bagian bawah (kim, 2010).
Kriteria untuk lolos dalam tes klatt ini akan dijabarkan dalam tabel berikut:
Tabel 2.2 Kriteria lolos tes klatt (Kim, 2010)
No Posisi Kriteria Lolos Tidak lolos
1. Berdiri diatas
platform
dengan salah
satu kaki ke
depan dalam
posisi fleksi
hip dan sedikit
fleksi knee
Posisi di tahan
10 detik
perhatikan
gemetar pada
tubuh dan
kaki yang
menumpu.
Tidak
gemetar dan
kaki yang
menumpu
tetap stabil.
Gemetar dan
kaki yang
menumpu
tidak stabil.
35
serta sedikit
dorsifleksor
ankle.
2. Pada saat
mendarat
perhatikan
tubuh dan
posisi kaki
yang
mendarat.
Posisi tubuh
gemetar atau
condong
kesalah satu
sisi kanan
atau kiri dan
kaki yang
menumpu
juga tidak
stabil.
Tidak
condong
kesalah satu
sisi kanan
atau kiri dan
kaki yang
menumpu
tetap stabil.
Condong
kesalah satu
sisi kanan
atau kiri dan
kaki yang
menumpu
tidak stabil.
Adapun tahapan dalam melaksanakan tes klatt ini sebagai berikut:
1. Mulailah berdiri dengan tegak di atas platform setinggi 20-25cm.
2. Kemudian posisikan tangan kedepan dada dan kunci tangan dengan
merapatkan jari tangan satu dengan lainnya.
3. Posisikan salah satu kaki ke depan dengan posisi fleksi hip dan sedikit
fleksi knee telapak kaki sedikit dengan posisi dorsifleksi.
4. Tahan posisi tersebut selama 10 detik untuk melihat apakah postur serta
kaki sampel gemetar.
5. Kemudian kaki yang satunya mengambil posisi melompat dari platform
menuju ke lantai.
6. Perhatikan posisi sampel saat mendarat untuk melihat keseimbangan,
stabilisasi dan kekuatan otot bagian bawah tungkai.
7. Tes ini dilakukan hanya 1 kali repetisi secara bergantian antara kaki kanan
dan kiri.
36
Gambar 2.7 Tes Klatt (Kim, 2010).
2.4 Latihan Knee Tuck Jump
2.4.1 Pengertian Latihan Knee Tuck Jump
Knee tuck jump dalam pelaksanaanya memiliki aturan sendiri, knee tuck
jump adalah latihan yang dilakukan pada permukaan yang rata dan bergegas
seperti rumput, matras, atau keset. Latihan ini dilakukan dalam suatu rangkaian
lompatan eskplosif yang cepat. Knee tuck jump merupakan latihan gerakan
melompat dan mendarat dengan mengeper. Latihan knee tuck jump akan
berpengaruh terhadap otot-otot tungkai dan pinggul khususnya gluteus,
gastrocnemius, quadrisep, hamstring, dan hip flexors. Latihan ini merupakan
bentuk latihan untuk meningkatkan power karena latihan ini akan membentuk
kemampuan unsur kekuatan dan unsur kecepatan otot yang menjadi dasar
terbentuknya kekuatan otot (Radcliffe dan Farentinos, 2002).
2.4.2 Pelaksanaan Latihan Knee Tuck Jump
Petunjuk pelaksanaan latihan daya ledak otot tungkai menggunakan knee
tuck jump adalah sebagai berikut :
37
1. Ambil sikap berdiri tegak lurus, dengan kedua kaki diregangkan selebar bahu.
2. Tempatkan kedua tangan di depan dada dengan telapak tangan menghadap
kebawah.
3. Dimulai dengan posisi quarter squad, kemudian lompatlah ke atas dengan
cepat, gerakan lutut kearah dada dan usahakan menyentuh telapak tangan dan
selanjutnya mendarat dengan kedua kaki. Setelah mendarat ulangi lagi ke
posisi awal sampai batas repetisi selesai. (Radcliffe dan Farentinos, 2002).
Gambar 2.8 Latihan Knee Tuck Jump (Widhinata, 2010)
Plyometric Exercise adalah suatu latihan yang memiliki ciri khusus, yaitu
kontraksi otot yang sangat kuat yang merespon pembebanan dinamik atau
regangan yang cepat dari otot-otot yang terlibat (Radcliffe dan Farentinos, 2002).
Dasar pemikiran plyometric exercise ini adalah bahwa ketegangan otot maksimal
akan meningkat ketika otot aktif diregangkan secara cepat sebelum kontraksi
eksentrik (Mirharjanto, 2010). Latihan plyometric ini diperkirakan menstimulasi
berbagai perubahan dalam neuromuscular, memperbesar kelompok otot untuk
38
memberikan respon lebih cepat dan lebih kuat terhadap perubahan-perubahan
yang ringan dan panjang ototnya.
2.4.3 Durasi Latihan Knee Tuck Jump
Pelatihan sebaiknya dilakukan 3 kali seminggu dan diselingi dengan satu
hari istirahat untuk memberikan kesempatan kepada otot untuk berkembang dan
beradaptasi pada hari istirahat tersebut (Harsono, 2000). Pelatihan paling sedikit 3
kali seminggu bagi pemula, hal ini disebabkan karena ketahanan seseorang akan
menurun setelah 48 jam tidak melakukan pelatihan. Jadi sebelum ketahanan
menurun harus sudah berlatih lagi (fox, 1992). Penelitian dilaksanakan selama 4
minggu dengan frekuensi 3 kali seminggu (Phartayasa, 2012). Gerakan ini
dilakukan 2-3 set dengan repetisi 10-20 kali dan waktu istirahat setiap set 1-2
menit.
plyometric exercise pada knee tuck jump dalam penelitian ini bersifat
aerobik, karena pelatihan ini berlangsung selama 10 kali repetisi, maka proses
pelatihan tetap berada dalam keadaan aerobik. Sehingga menghasilkan aerobic
yang diinginkan yakni beban pelatihan diatur sesuai dengan jumlah repetisi dalam
satu set pelatihan.
2.5 Stretching
2.5.1 Pengertian Stretching
Stretching atau peregangan merupakan istilah umum yang digunakan
untuk menggambarkan suatu manuver terapeutik yang bertujuan untuk
memanjangkan struktur jaringan lunak yang memendek secara patologis maupun
39
non patologis sehingga dapat meningkatkan LGS (Lingkup Gerak Sendi). Ada 2
hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan stretching, yaitu fleksibilitas dan
peregangan berlebih atau overstretch. Fleksibilitas adalah kemampuan untuk
menggerakan sendi atau beberapa sendi melalui LGS yang bebas nyeri.
Fleksibilitas bergantung pada ekstensibilitas otot, yang menyebabkan otot dapat
melewati suatu sendi dengan relaks, memanjang dan berada dalam medan gaya
stretch (Juliantine, 2013).
2.5.2 Kajian Fisiologis Stretching
Proprioceptors adalah reseptor yang mendeteksi perubahan di dalam alat
itu sendiri. Setiap perubahan dalam otot selalu dideteksi oleh proprioceptors
untuk diinformasikan ke susunan saraf pusat, dan dari susunan saraf pusat
dikeluarkan instruksi untuk menyesuaikan kondisi otot. Dari kondisi ini timbul
gerak tubuh baru untuk disesuaikan dengan seluruh rangkaian gerak tubuh secara
sistemik. Peran dari proprioceptors adalah mengirimkan aliran informasi secara
terus menerus (konstan) kepada susunan saraf pusat. Proprioceptors ini terletak
pada otot, tendon, dan sambungan-sambungan termasuk di sekitar jaringan
pelindung seperti kapsul, ligamen, serta selaput-selaput lain dan dalam labirin dari
telinga dalam. Proprioceptors dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Muscle proprioceptors yang terdiri dari muscle spindle dan golgi tendon organ.
2. Joint and skin proprioceptors.
3. Abyrinthine and neck proprioceptors.
Dari ketiga proprioceptors tersebut, maka yang berperan terhadap daya
regang otot adalah muscle proprioceptors, yang terdiri dari muscle spindle dan
40
golgi tendon organ. Jadi setiap proses pergerakan tidak lepas dari peranan muscle
spindle dan golgi tendon organ (Juliantine, 2013).
Muscle spindle terletak di dalam otot. Muscle spindle merupakan suatu
receptor yang menerima rangsang dari regangan otot. Regangan yang cepat akan
menghasilkan impuls yang kuat pada muscle spindle. Rangsangan yang kuat akan
menyebabkan reflek muscle spindle yaitu mengirim impuls ke spinal cord menuju
jaringan otot dengan cepat, menyebabkan kontraksi otot yang cepat dan kuat.
Muscle spindle sangat berperan dalam proses pergerakan atau pengaturan motorik.
Peran muscle spindle dalam pengaturan motorik adalah :
1. Mendeteksi perubahan panjang serabut otot.
2. Mendeteksi kecepatan perubahan panjang otot.
Sebetulnya muscle spindle bekerja sebagai suatu pembanding dari panjang
kedua jenis serabut otot intrafusal dan ekstrafusal. Bila panjang serabut
ekstrafusal jauh lebih besar daripada panjang serabut intrafusal, maka spindle
menjadi terangsang untuk berkontraksi. Sebaliknya, bila panjang serabut
ekstrafusal lebih pendek daripada serabut intrafusal, maka spindle menjadi
terinhibisi (keadaan yang menyebabkan refleks seketika untuk menghambat
terjadinya kontraksi otot). Jadi spindle tersebut dapat dirangsang atau dihambat.
Meregangkan suatu kelompok otot hendaknya jangan dilakukan secara
tiba-tiba. Sebab apabila peregangan otot dilakukan secara tiba-tiba akan
merangsang muscle spindle dan ini menyebabkan reflek regang. Reflek muscle
spindle sering disebut reflek regang atau reflek myotatik. Hal ini disebabkan
karena peregangan otot tersebut merangsang muscle spindle sehingga
41
menyebabkan kontraksi otot yang bersangkutan (Juliantine, 2013).
Golgi tendon organ adalah stretch receptor yang terletak di dalam tendon
otot tepat di luar perlekatannya pada serabut otot tersebut. Reflek GTO bisa
terjadi akibat tegangan otot yang berlebihan. Sinyal-sinyal dari GTO merambat ke
medula spinalis yang menyebabkan terjadinya hambatan respon (negative feed-
back) terhadap kontraksi otot yang terjadi. Hal ini untuk mencegah terjadinya
sobekan otot sebagai akibat tegangan yang berlebihan. Dalam hal ini refleks GTO
merupakan pelindung untuk mencegah terjadinya sobekan otot, namun dapat juga
bekerja sama dengan muscle spindle untuk mengontrol seluruh kontraksi otot
dalam pergerakan tubuh. Sedangkan peran golgi tendon organ dalam proses
pergerakan atau pengaturan motorik adalah mendeteksi ketegangan selama
kontraksi otot atau peregangan otot. Namun antara golgi tendon organ dengan
muscle spindle ada perbedaan fungsi. Muscle spindle berfungsi untuk mendeteksi
perubahan panjang serabut otot, sedangkan golgi tendon organ berfungsi
mendeteksi ketegangan otot (Juliantine, 2013).
Sinyal dari golgi tendon organ dihantarkan ke medula spinalis untuk
menyebabkan efek refleks pada otot yang bersangkutan. Efek inhibisi dari golgi
tendon organ menyebabkan rileksasi seluruh otot secara tiba-tiba. Efek inhibisi
terjadi pada waktu kontraksi atau regangan yang kuat pada suatu tendon. Keadaan
ini menyebabkan suatu reflek seketika yang menghambat kontraksi otot serta
tegangan dengan cepat berkurang. Pengurangan tegangan ini berfungsi sebagai
suatu mekanisme protektif untuk mencegah terjadinya robek pada otot atau
lepasnya tendon dari perlekatannya ke tulang (Juliantine, 2013).
42
2.5.3 Ballistic Stretching
Ballistic stretching menurut Freshmen (2002) adalah gerakan penguluran
dimana dalam penerapanya terjadi proses tersentak-sentak dengan cepat atau
memantul-mantulkan gerakan. Ballistic stretching adalah latihan yang tepat
diberikan kepada pemuda, atlet, orang sehat tetapi tidak dianjurkan untuk
diberikan kepada lansia, hal ini dikarenakan pengaruh akan terjadi pada
komponen elastin (actin dan myosin) dan tegangan dalam otot akan meningkat
tajam, sarkomer memanjang dan apabila dilakukan terus-menerus otot akan
beradaptasi dan hal ini hanya bertahan sementara untuk mendapatkan panjang otot
yang diinginkan (Kisner dan Colby, 1996).
Latihan ballistic stretching dalam penelitian ini adalah gerakan mencium
lutut yang dilakukan berulang-ulang, posisi responden duduk dilantai kedua
tungkai lurus kedepan, dan saat kedua tangan berusaha meraih kedua ujung kaki,
lutut harus tetap menempel dilantai dimana dalam penerapanya terjadi proses
tersentak-sentak dengan cepat atau memantul-mantulkan gerakan dari perlahan
menjadi cepat. Tujuan pemberian ballistic stretching adalah meningkatkan
kapasitas kerja fisik, mengurangi ketegangan pada otot dan memudahkan otot-otot
berkontraksi dan rileksasi secara lebih cepat dan efisien, meningkatkan
fleksibilitas dari otot dan meningkatkan LGS pada otot antagonis yang
berkontraksi. Hal ini sesuai dengan penilaian vertical jump yang membutuhkan
kekuatan tiba-tiba secara cepat dengan power yang besar (Heerschee dkk, 2006).
Menurut Touris Aan Suhadaq (2013) dalam penelitiannya yang
membandingkan pengaruh ballistic stretching dan static stretching terhadap
43
peningkatan vertical jump pada atlet basket. Pada uji beda pengaruh didapatkan
hasil bahwa ballistic stretching dengan dosis yang diberikan selama satu minggu
3 kali, 5 kali pengulangan, durasi stretching 60 detik dengan periode istirahat 1-3
menit dan dilakukan selama 1 bulan, lebih berpengaruh terhadap peningkatan
vertical jump dibandingkan dengan static stretching. Stretching diberikan selama
3 kali dalam satu minggu, 5 set, durasi stretching 60 detik periode istirahat 1-3
menit dan dilakukan selama 1 bulan (Kisner, 2007).
2.5.4 Kajian Fisiologis Ballistic Stretching
Kecepatan pengulangan dari ballistic stretching mengakibatkan serabut
afferent primer merangsang alpha motor neuron pada medulla spinalis dan
memfasilitasi kontraksi serabut ekstrafusal yaitu meningkatkan ketegangan
(tension) pada otot. Hal ini dinamakan dengan monosynaptic stretch reflex,
ketegangan yang terjadi diinhibisi oleh pengulangan stretch yang cepat, sehingga
ketegangan (tension) belum sepenuhnya terjadi dan hal ini mengakibatkan adanya
peningkatan elastisitas pada otot yang bersambungan dengan tendon, peregangan
tersebut meningkatkan nilai Lingkup Gerak Sendi (LGS) yang ada (Guccione,
2000).
Gerakan yang cepat saat dilakukan ballistic stretching akan merangsang
golgi tendon organ. GTO tersebut dekat dengan muscullotendinosus junction dari
ekstrafusal muscle fibers akan merangsang alpha motor neuron untuk
menginhibisi dari kontraksi GTO tersebut. Gerakan berulang yang terjadi
memaksakan GTO untuk lebih fleksibel dari sebelumnya, sedangkan muscle
44
fibers dari otot tidak begitu cepat dan kurang adaftif jika intensitas tidak tepat
akan mengakibatkan terjadinya scar tissue (Kisner, 2007).
2.5.5 Aplikasi Ballistic Stretching Pada Latihan Knee Tuck Jump
Prosedur pelaksanaan ballistic stretching diberikan sebelum melakukan
latihan knee tuck jump hal ini disampaikan pada penelitian Ilham Widhinata
(2010) bahwa peregangan yang bersifat dinamis lebih baik diterapkan sebelum
melakukan exercise dan peregangan yang bersifat statis lebih bagus untuk cooling
down. Karena peregangan yang bersifat dinamis mampu memberikan adaptasi
positif pada sistem neuromuscular sebelum melakukan exercise selain itu juga
akan dapat membuat jaringan otot lebih siap menerima latihan intensitas sedang
sampai berat. Adapun tahapannya sebagai berikut :
a. Regangkan otot secara tersentak-sentak dengan cepat.
b. Lakukan peregangan dengan mencium lutut berulang-ulang selama 60 detik
dalam 5 set.
c. Istirahat 1-3 menit di sela-sela set.
Gambar 2.9 Metode ballistic stretching (Ariyadi, 2012).
45
2.6 Vertical Jump
2.6.1 Pengertian Vertical Jump
Vertical jump adalah lompatan tegak kearah vertikal yang dilakukan tanpa
awalan dengan jangkauan lengan yang setingi-tingginya (Ostojic et al., 2010).
Faktor-faktor yang sangat menetukan dalam pencapaian jarak dalam jangkauan
atau tingginya kemampuan yang dapat dicapai oleh seseorang dalam melakukan
vertical jump adalah sebagai berikut:
1. Propiosepsi diartikan sebagai keseluruhan kesadaran dari posisi tubuh (Cael,
2007).
2. Kekuatan otot adalah kemampuan otot atau grup otot menghasilkan tegangan
dan tenaga selama usaha maksimal baik secara dinamis maupun statis.
3. Stabilisasi adalah kemampuan seseorang untuk mengandalkan posisi dan
gerakan pada tubuh.
4. Power adalah kemampuan otot berkontraksi yang berhubungan dengan
kekuatan dan kecepatan yang biasa disebut daya ledak (Kisner, 2007).
2.6.2 Vertical Jump pada Bola Voli
Dalam permainan bola voli, vertical jump sering dilakukan oleh semua
pemain. Pada saat akan melakukan smash atau blocking pemain harus melakukan
lompatan ke atas atau vertikal dengan cepat dan tinggi agar dapat melakukan
smash dan melakukan blocking bola dengan baik. Maka dari itu vertical jump
pada pemain voli merupakan hal yang harus dimiliki.
46
2.6.3 Biomekanik Vertical Jump
1.Awalan Lompatan
Otot-otot yang bekerja adalah seluruh kompenen otot-otot tungkai seperti gerakan
fleksi knee dilakukan oleh kelompok otot hamstring, dan otot gastrocnemius
(Sohiron, 2009).
2. Melompat
Pada saat melompat, terjadi tolakan keatas dengan kedua otot-otot ekstensor kaki
secara eksplosif melakukan kontraksi serta mengayunkan kedua lengan lurus
keatas secara bersamaan. Eksplosif kontraksi oleh otot-otot gluteus maximus dan
minimus, kelompok otot quadricep ekstensor, tibia anterior dan otot-otot pada
metatarsal menciptakan ekstensi sendi hip, knee dan ankle (Sohiron, 2009).
3.Puncak Lompatan
Pada gerakan ini otot gluteus maximus dan minimus, kelompok otot quadricep
ekstensor, tibia anterior dan otot-otot pada metatarsal bertahan dalam posisinya,
otot fleksor tungkai mengalami relaksasi (Sohiron, 2009). Selain itu pengaruh dari
kecepatan dan dorongan pada saat melakukan awalan memberikan gaya yang
menyebabkan atlet berubah kecepatannya dan pada titik tolaknya mengubah arah
gerakannya dari horisontal menjadi vertikal sebesar 45o.
2.6.4 Vertical Jump Test
Vertical Jump Test bertujuan untuk mengukur power otot-otot tungkai
dengan mengukur perbedaan jangkauan maksimal pada saat berdiri dan pada saat
melompat dengan mengunakan alat ukur Takei Physical Fitness Test yang
berskala centimeter (cm). Pelaksanaan vertical jump test terdiri dari 4 tahapan
47
yaitu:
Langkah 1:
Sampel berdiri tegak di depan alat ukur yang telah tersedia dan telah di atur
sedemikian rupa. Sampel berdiri diatas alas yang telah terhubung langsung
dengan alat ukur.
Langkah 2:
Sampel mengambil awalan melompat dengan menekuk kedua lutut, lalu secara
eksplosif melompat setinggi-tingginya ke atas dan mendarat di atas alas yang
tersedia yang sudah terhubung ke alat tersebut.
Langkah 3:
Masing-masing sampel melakukan sebanyak 3 kali lompatan dan hasilnya diamati
serta dicatat oleh peneliti.
Langkah 4:
Skor lompatan akan muncul pada alat tersebut. Hasil yang dicatat adalah hasil
raihan yang tertinggi.
Gambar 2.10 Vertical Jump Test