28
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Desentralisasi dan Teori Federalisme Fiskal Secara umum, desentralisasi dapat diartikan sebagai pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke level pemerintahan yang ada di bawahnya. Secara teoritis ada beberapa tipe desentralisasi, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi administratif, dan desentralisasi fiskal (Osoro, 2003 dalam Khusaini, 2006). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, tujuan dari desentralisasi fiskal di Indonesia adalah: 1) Kesinambungan fiskal (fiskal sustainability) dalam konteks ekonomi makro. 2) Mengoreksi vertical imbalance, yaitu mereduksi ketimpangan antara keuangan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hal ini dilakukan dengan memperbesar taxing power daerah. 3) Mengoreksi horizontal imbalance, yaitu memperkecil disparitas antar daerah dengan mekanisme block grant/transfer dan memperbesar kewenangan daerah untuk menerapkan kebijakan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan, potensi, dan sumber daya yang dimiliki. 4) Mengurangi tingkat ketergantungan daerah terhadap pusat. 5) Meningkatkan akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi dalam rangka peningkatan kinerja daerah.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 … II.pdf · laba Badan Usaha Milik Daerah adalah bagian keuntungan atau laba bersih dari perusahaan daerah atas badan lain yang

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Desentralisasi dan Teori Federalisme Fiskal

Secara umum, desentralisasi dapat diartikan sebagai pelimpahan wewenang

dari pemerintah pusat ke level pemerintahan yang ada di bawahnya. Secara teoritis ada

beberapa tipe desentralisasi, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi administratif,

dan desentralisasi fiskal (Osoro, 2003 dalam Khusaini, 2006).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang

Nomor 33 Tahun 2004, tujuan dari desentralisasi fiskal di Indonesia adalah:

1) Kesinambungan fiskal (fiskal sustainability) dalam konteks ekonomi makro.

2) Mengoreksi vertical imbalance, yaitu mereduksi ketimpangan antara keuangan

pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hal ini dilakukan dengan

memperbesar taxing power daerah.

3) Mengoreksi horizontal imbalance, yaitu memperkecil disparitas antar daerah

dengan mekanisme block grant/transfer dan memperbesar kewenangan daerah

untuk menerapkan kebijakan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan,

potensi, dan sumber daya yang dimiliki.

4) Mengurangi tingkat ketergantungan daerah terhadap pusat.

5) Meningkatkan akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi dalam rangka

peningkatan kinerja daerah.

6) Meningkatkan kualitas pelayanan publik.

7) Memperbesar partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di sektor

publik.

Teori federalisme fiskal merupakan teori yang menjelaskan tentang

bagaimana hubungan desentralisasi dengan perekonomian, pelayanan publik, dan

kesejahteraan masyarakat. Dalam berbagai kajian tentang federalisme fiskal (fiscal

federalism), terdapat dua perspektif teori yang menjelaskan dampak ekonomi dari

desentralisasi, yaitu teori tradisonal (first generation theories) dan new perspective

theories (second generation theories). Traditional theories menyatakan terdapat dua

keuntungan dari desentralisasi, yaitu:

1) Dikemukakan oleh Hayek (1945) dalam Khusaini (2006), tentang penggunaan

“knowledge in society”, di mana menurut Hayek pengambilan keputusan yang

terdesentralisasi akan dipermudah dengan penggunaan informasi yang efisien

karena pemerintah daerah lebih dekat dengan masyarakatnya.

Diungkapkan oleh Tiebout (1956) dalam Khusaini (2006), terdapat dimensi

persaingan dalam pemerintah daerah dan ia berpandangan bahwa kompetisi antar

pemerintah daerah tentang alokasi pengeluaran publik memungkinkan masyarakat

memilih berbagai barang dan jasa publik yang sesuai dengan selera dan keinginan

mereka. Hal ini tidak akan terjadi dalam pemerintahan sentralistik jika pemerintah

pusat menyediakan barang dan jasa publik secara seragam.

2.1.2 Teori Keagenan

Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa teori keagenan adalah teori

yang menjelaskan hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak dimana satu atau lebih

(prinsipal) menyewa orang lain (agen) untuk melakukan beberapa jasa untuk

kepentingan mereka dengan mendelegasikan beberapa wewenang pembuatan

keputusan kepada agen untuk membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal.

Hal serupa dikemukakan oleh Halim dan Abdullah (2006) yang menjelaskan

Teori prinsipal-agen menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih

individu, kelompok, atau organisasi dimana salah satu pihak (principal) membuat suatu

kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit, dengan pihak lain (agent) dengan

harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang dinginkan oleh

prinsipal (dalam hal ini terjadi pendelegasian wewenang). Teori keagenan adalah teori

yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen yang berakar pada teori ekonomi, teori

keputusan, sosiologi, dan teori organisasi.

Lane dalam Halim dan Abdullah (2006) mengemukakan bahwa teori

keagenan dapat diterapkan dalam organisasi sektor publik. Lane menyatakan bahwa

negara demokrasi modern didasarkan pada serangkaian hubungan prinsipal-agen.

Antara prinsipal dan agen sering terjadi masalah keagenan karena adanya konflik

kepentingan yang dimiliki oleh principal dan agen.

Oleh karena itu, persoalan yang sering timbul di antara eksekutif dan legislatif

juga merupakan persoalan keagenan. Adiwiyana (2011) menyatakan pemerintah

daerah baik provinsi, kabupaten/kota sering mempraktikkan agency theory dalam

penyusunan rancangan APBD. Pada sektor publik, masyarakat yang diproksikan oleh

DPRD adalah principal dan pemerintah daerah adalah agennya. Pada pemerintahan

daerah (agen) seharusnya bertindak sesuai dengan kehendak prinsipalnya

(masyarakat).

Namun terkadang pada kenyataannya pemerintah daerah berperilaku

opportunis dalam membuat keputusan yang berkaitan dengan publik (Gunantara,

2013). Hal ini sesuai dengan teori keagenan yaitu antara prinsipal dan agennya tidak

selalu memiliki kepetingan yang sama (konflik kepentingan) dan agen cenderung

melakukan suatu tindakan yang memaksimalkan utilitasnya.

Sependapat dengan Lane, Yudhaningsih (2010) juga mengatakan bahwa teori

keagenan dapat diterapkan pada sektor publik. Yudhaningsih (2010) menyatakan

adanya desentralisasi fiskal, berarti ada delegasi dari pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah. Delegasi dalam hal ini merupakan situasi dimana pemerintah

daerah bertindak sebagai agen pemerintah pusat dalam mengeksekusi fungsi-fungsi

pemerintah pusat yang telah didelegasikan kepada pemerintah daerah.

Ini berarti pemerintah daerah lebih leluasa dalam mengatur proporsi

pelayanan publik, tapi juga harus mengukuti aturan dan permintaan pemerintah pusat.

Namun pada kenyataannya pemerintah daerah terkadang berperilaku tidak sesuai

dengan yang diinginkan pemerintah pusat sehingga menimbulkan konflik kepentingan.

2.1.3 Pendekatan Kontinjensi

Teori kontinjensi merupakan teori yang membahas berbagai aspek

kepemimpinan diterapkan pada situasi tertentu saja tidak untuk situasi lain. Teori

kontinjensi ada deskriptif atau preskriptif. Teori kontinjensi yang deskriptif membahas

tentang mengapa suatu pemimpin, antara satu situasi dengan situasi lain berperilaku

berbeda. Sementara teori kontinjensi yang preskriptif membahas prilaku yang paling

efektif pada setiap jenis situasi (Yukl, 2010:277).

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hasil yang saling

bertentangan mengenai hubungan PAD, DAU, dan DAK pada IPM. Penelitian

Setyowati dan Suparwati (2012) menunjukkan hasil bahwa PAD, DAU, dan DAK

terbukti berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia melalui

pengalokasian Anggaran Belanja Modal, sedangkan hasil studi Lugastoro (2013)

menunjukkan bahwa PAD dan DAK berpengaruh positif signifikan terhadap IPM

sedangkan DAU berpengaruh negatif signifikan terhadap IPM. Di sisi lain Harahap

(2010) dengan penelitiannya yang serupa menunjukkan secara parsial DAU dan DAK

tidak berpengaruh terhadap IPM.

Hasil penelitian yang tidak konsisten antara satu peneliti dengan peneliti

lainnya dapat terjadi karena beberapa faktor lain yang diduga juga memiliki pengaruh

antara PAD, DAU, dan DAK pada IPM. Terjadinya kontradiksi atau perbedaan pada

hasil penelitian sebelumnya memungkinkan adanya pengaruh variabel moderating

dalam mengidentifikasi pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen

(Sugiarthi, 2013). Pengaruh dari variabel moderating tersebut dapat bersifat positif

maupun negatif. Veriabel moderating ini digunakan untuk menyelesaikan perbedaan

dari penelitian tersebut, yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan kontinjensi.

Pendekatan ini secara sistematis mengevaluasi berbagai kondisi atau variabel yang

dapat mempengaruhi hubungan antara PAD, DAU, DAK dan SiLPA dengan IPM.

Teori kontinjensi dalam hal ini dapat digunakan untuk menganalisis variabel

moderating yang dapat memperkuat ataupun memperlemah hubungan antara PAD,

DAU, DAK dan SiLPA dengan IPM.

2.1.4 Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang

diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan

peraturan perundang-undangan (UU Nomor 33 Tahun 2004). PAD memiliki tujuan

untuk memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai

pelaksanaan otonomi daearah sesuai dengan potensi daerah.

Hal ini berarti pemerintah daerah berhak untuk menggali potensi yang terdapat

pada daerahnya yang digunakan untuk menjalankan pemerintahan dan memenuhi

kebutuhan publik, agar perekonomian daerah serta kesejahteraan masyarakat dapat

berjalan dengan baik.

Penggunaan PAD untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan

potensi daerah merupakan perwujudan desentralisasi. Undang-Undang Nomor 33

Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah mengatakan bahwa sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), bersumber dari:

1) Pajak Daerah

Pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak adalah kontribusi wajib kepada

daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa

berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung

dan digunakan untuk keperlukan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat (UU Nomor 28 Tahun 2009)

2) Retribusi Daerah

Retribusi daerah yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan daerah

sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan

dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau

badan (UU Nomor 28 Tahun 2009). Jasa tersebut yaitu kegiatan pemerintah daerah

berupa usaha dan pelayanan yang menghasilkan barang, fasilitas dan manfaat

lainnya yang dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.

3) Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang

dipisahkan

Selain dari pajak dan retribusi daerah, pemerintah daerah juga mendapatkan

pendapatan lain dari laba Badan Usaha Milik Daerah BUMD yang dimilki. Bagian

laba Badan Usaha Milik Daerah adalah bagian keuntungan atau laba bersih dari

perusahaan daerah atas badan lain yang merupakan badan usaha milik daerah.

Sedangkan perusahaan daerah merupakan perusahaan yang modalnya sebagian

atau seluruhnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan (Wertianti, 2013).

Tujuan dari didirikannya BUMD adalah dalam rangka mendorong pembangunan

ekonomi daerah dan menciptakan lapangan kerja (Yovita, 2011). Disamping itu,

BUMD dapat memberikan cara yang lebih efisien dalam melayani masyarakat,

dan merupakan salah satu sumber pendapatan daerah.

4) Lain-lain PAD yang sah

Pendapatan ini merupakan pendapatan yang bersumber dari pendapatan daerah

selain Pajak Daerah, Restribusi Daerah, dan BUMD. Bati (2009) mengatakan

sumber – sumber dari Lain – lain Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sah yaitu :

(1) Hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan

(2) Jasa giro

(3) Pendapatan bunga

(4) Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah

(5) Penerimaan konsumsi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari

penjualan pengadaan barang, dan jasa oleh daerah

(6) Penerimaan keuangan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang

asing

(7) Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan

(8) Pendapatan denda pajak

(9) Pendapatan denda retribusi

(10) Pendapatan eksekusi atas jaminan

(11) Pendapatan dari pengembalian

(12) Fasilitas sosial dan umum

(13) Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan

(14) Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.

2.1.5 Dana Alokasi Umum

Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disebut DAU adalah dana yang

bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan

kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka

pelaksanaan Desentralisasi (UU Nomor 33 Tahun 2004). Setyowati dan Suparwati

(2012) mengatakan bahwa DAU bersifat “Block Grant” yang berarti penggunaannya

diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk

peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.

DAU berperan menggantikan subsidi daerah otonom dan dana inpres

(Lugastoro, 2013). Wertianti (2013) mengatakan bahwa jumlah keseluruhan DAU

ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam

Negeri Neto yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN). Pengalokasian DAU untuk suatu daerah didasarkan atas celah fiskal dan

alokasi dasar, dimana celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas

fiskal daerah.

Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah.

DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah provinsi dihitung berdasarkan perkalian

bobot daerah provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh daerah provinsi.

Bobot daerah provinsi merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah provinsi

yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh daerah provinsi.

Diberlakukannya desentralisasi berarti pemerintah daerah harus mampu

mengoptimalkan kemampuan dalam mengelola sumber daya yang dimiliki sehinga

tidak hanya mengandalkan DAU (Ardhani, 2011). Diterimanya DAU dari pemerintah

pusat maka daerah bisa fokus menggunakan PAD untuk membiayai belanja modal

yang digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik yang berimbas pada

kesejahteraan masyarakat.

2.1.6 Dana Bagi Hasil

DBH, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan

kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam

rangka pelaksanaan Desentralisasi (pasal 1, PP No. 55 thn 2005). DBH merupakan

Dana Perimbangan (pasal 2, PP No. 55 thn 2005) yang bersumber dari pajak dan

sumber daya alam (pasal 3, PP No. 55 thn 2005). DBH yang bersumber dari pajak

terdiri atas: PBB, BPHTB, dan PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21(pasal 4, PP No. 55

thn 2005), sedangkan DBH yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari:

Kehutanan, Pertambangan Umum, Perikanan, Pertambangan Minyak Bumi,

Pertambangan Gas Bumi, dan Pertambangan Panas Bumi (pasal 15, PP No. 55 thn

2005). Apabila setiap daerah mampu mengelola elemen-elemen dari DBH tersebut

maka akan mampu meningkatkan daya saing daerahnya sendiri.

2.1.7 Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran

Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) adalah selisih lebih realisasi

penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. Sisa Lebih

Pembiayaan Anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA) mencakup pelampauan

penerimaan PAD, pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan

penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan

pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada pihak ketiga sampai dengan

akhir tahun belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan (Permendagri Nomor

13 Tahun 2006).

Kusnandar dan Siswantoro (2012) menyatakan bahwa SiLPA tahun

sebelumnya adalah penerimaan pembiayaan digunakan untuk menutupi defisit

anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja, mendanai

pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung (belanja barang dan jasa,

belanja modal, dan belanja pegawai) dan mendanai kewajiban lainnya yang sampai

dengan akhir tahun anggaran belum diselesaikan. Hal tersebut sejalan dengan

Mahmudi (2010:122) menjelaskan apabila terjadi sisa anggaran pada akhir periode

maka sisa anggaran dapat digunakan sebagai sumber pembiayaan maupun belanja

untuk tahun anggaran berikutnya.

SiLPA merupakan suatu indikator yang dapat menggambarkan efisiensi

pengeluaran pemerintah karena SiLPA akan terbentuk bila terjadi surplus pada APBD

dan sekaligus terjadi pembiayaan neto yang positif, dimana komponen penerimaan

lebih besar dari komponen pengeluaran pembiayaan. Namun di sisi lain SiLPA bisa

menjadi suatu indikator inefisiensi jika SiLPA tersebut berasal atau terbentuk dari

komponen sisa kas (misalnya ada program atau kegiatan dari penggunaan anggaran

yang tidak terealisasi) dan Sisa UUDP tahun-tahun sebelumnya (Balitbangda NTT,

2008). SiLPA yang berasal atau terbentuk dari pelampauan target penerimaan daerah

(indikator efisiensi) sangat diharapkan sedangkan SiLPA yang berasal atau terbentuk

dari ditiadakan program atau kegiatan pembangunan apalagi dalam jumlah tidak wajar

sangat merugikan masyarakat.

2.1.8 Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan sebuah indeks komposit

(gabungan) dari indeks pendidikan, kesehatan dan daya beli yang diharapkan dapat

mengukur tingkat keberhasilan pembangunan manusia yang tercermin dengan

penduduk yang berpendidikan, sehat dan berumur panjang, berketerampilan serta

mempunyai pendapatan untuk hidup layak. IPM merupakan indeks komposit yang

dihitung sebagai rata-rata sederhana dari indeks pendidikan (melek huruf dan rata-rata

lama sekolah), indeks harapan hidup, dan indeks standar hidup layak.

IPM digunakan sebagai alat ukur keberhasilan pembangunan di suatu tempat

pada suatu waktu dan dapat digunakan sebagai salah satu petunjuk untuk melihat

apakah pembangunan yang telah dilakukan sesuai dengan yang ditetapkan. Selain itu,

IPM juga sebagai alat pemantau yang bisa memberikan perbandingan antar wilayah

serta perkembangan antar waktu sehingga dapat memperlihatkan dampak

pembangunan yang dilakukan pada periode sebelumnya (BPS, 2012a:19).

Pembangunan manusia menempatkan manusia sebagai tujuan akhir dari

pembangunan dan bukan alat dari pembangunan. Ini sependapat dengan Anand dan

Sen (2000) yang mengatakan bahwa manusia merupakan makhluk primer dan sarana

utama dalam pembangunan.

Ranis et al. (2005) mengatakan ada 12 kategori dalam pembangunan manusia

meliputi: IPM itu sendiri, kesejahteraan mental, pemberdayaan, kebebasan berpolitik,

hubungan sosial, kesejahteraan masyarakat, ketimpangan, kondisi kerja, kondisi

rekreasi, politik dan keamanan, keamanan ekonomi, kondisi lingkungan. Keberhasilan

suatu pembangunan manusia dapat dilihat dari seberapa besar permasalahan yang

mendasar di masyarakat dapat teratasi (Setyowati dan Suparwati, 2012).

Agar dapat melihat perkembangan tingkatan dan status IPM (Indeks

Pembangunan Manusia) dibedakan menjadi 4 kriteria dimana status menengah dipecah

menjadi dua seperti dibawah ini (Sumiyati, 2011):

1. Rendah dengan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kurang dari 50.

2. Menengah bawah dengan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) berada

diantara 50 samapi kurang dari 66.

3. Menengah atas dengan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) berada antara

66 sampai kurang dari 80.

4. Tinggi dengan nilai IPM lebih atau sama dengan 80.

Sumiyati (2011) menyatakan jika status pembangunan manusia masih berada

pada kriteria rendah hal ini berarti kinerja pembangunan manusia harus ditingkatkan

atau masih memerlukan perhatian khusus untuk mengejar ketinggalannya. Begitu pula

jika status pembangunan manusia berada pada kriteria menengah berarti masih perlu

ditingkatkan atau dioptimalkan. Jika daerah memiliki status pembangunan manusia

berada pada kriteria tinggi berarti kinerja pembangunan manusia sudah baik atau

optimal dan perlu dipertahankan supaya kualitas sumber daya manusia tersebut

produktif sehingga memiliki produktivitas yang tinggi sehingga kesejahteraan

masyarakat dapat tercapai.

Sebelum menghitung IPM, setiap komponen IPM harus dihitung indeksnya

(BPS, 2012b:71). Formula yang digunakan dalam perhitungan indeks komponen IPM

adalah sebagai berikut:

Indeks X (i) = X(i)−X(min)

X(maks)−X(min)

Keterangan: X (i) = Komponen IPM ke-i

X (min) = Nilai minimum dari komponen IPM ke-i

X (maks) = Nilai maksimum dari komponen IPM ke-i

Unuk menghitung indeks masing-masing komponen IPM digunakan batas maksimum

dan minimum seperti terlihat dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1

Nilai Maksimum dan Minimum dari setiap komponen IPM

Komponen IPM (1) Maksimum

(2)

Minimum (3) Keterangan (4)

1. Angka Harapan Hidup (Tahun) 85 25 Standar UNDP

2. Angka Melek Huruf (Persen) 100 0 Standar UNDP

3. Rata-rata Lama Sekolah (Tahun) 15 0

4. Daya Beli (Rupiah PPP) 732.720a 300.000 (1996)

360.000b (1999,dst)

Pengeluaran

per Kapita Rill

Disesuaikan

Keterangan: a) Perkiraan maksimum pada PJP II tahun 2018 b) Penyesuaian garis kemiskinan lama dengan garis kemiskinan baru

Selanjutnya nilai IPM dapat dihitung sebagai berikut:

IPM j =

Keterangan: Indeks X (i, j) = Indeks komponen IPM ke I untuk wilayah ke-

j

i = 1, 2, 3 (urutan komponen IPM)

j = 1, 2 ……….k (wilayah)

Sumber: BPS, 2012b

2.1.9 Daya Saing Daerah

Para ahli ekonomi pada umumnya mengartikan daya saing sebagai hasil

gabungan dari keunggulan komparatif (market distortion), baik yang terjadi karena

kebijakan (intervensi) pemerintah maupun karena ketidaksempurnaan pasar (Sharples,

1990).

Oleh karena itu, dapat terjadi suatu produk memiliki keunggulan kompetitif di

pasar internasional akibat adanya dukungan kebijakan proteksi (distortif) pemerintah,

walaupun sebenarnya produk tersebut tidak memiliki keunggulan

kompetitif.Sebaliknya dapat pula terjadi, suatu produk memiliki keunggulan

komparatif, namun karena tingginya distorsi pasar (tingginya biaya transaksi)

menyebabkan produk tersebut menjadi tidak memiliki daya saing (Gonarsyah, 2001).

Selanjutnya, Word Economi Forum (WEF) yakni suatu lembaga secara rutin

(setiap tahun) menerbitkan the global competitiveness Report, mengartikan daya saing

nasional sebagai kemampuan perekonomian nasional yang mencapai pertumbuhan

yang tinggi dan berkelanjutan (WEF, 2013).

Sesuai amanah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2008,

bahwa dalam rangka memaksimalkan aspek daya saing daerah maka, fokus

kemampuan ekonomi daerah yang telah ditetapkan adalah:

1) Angka konsumsi RT per kapita adalah rata-rata pengeluaran konsumsi rumah

tangga per kapita. Angka ini dihitung berdasarkan pengeluaran penduduk untuk

makanan dan bukan makanan per jumlah penduduk. Makanan mencakup seluruh

jenis makanan termasuk makanan jadi, minuman, tembakau, dan sirih. Bukan

makanan mencakup perumahan, sandang, biaya kesehatan, sekolah, dan

sebagainya.

2) Perbandingan faktor produksi dengan produk yang menggambarkan nilai tukar

petani adalah perban dingan antara indeks yang diterima (It) petani dan dibayar

(Ib) petani. Nilai Tukar Petani (NTP) merupakan salah satu indikator yang

berguna untuk mengukur dngkat kesejahteraan petani, karena mengukur

kemampuan tukar produk (komoditas) yang dihasilkan/dijual petani dibandingkan

dengan produk yang dibutuhkan petani baik untuk proses produksi (usaha)

maupun untuk konsumsi rumah tangga. Jika NTP lebih besar dari 100 maka

periode tersebut relatif lebih baik dibandingkan dengan periode tahun dasar,

sebaliknya jika NTP lebih kecil dari 100 berarti terjadi penurunan daya beli petani.

3) Persentase konsumsi RT untuk non pangan adalah proporsi total pengeluaran

rumah tangga untuk non pangan terhadap total pengeluaran.

Produktivitas daerah per sektor (9 sektor) merupakan jumlah PDRB dari setiap

sektor dibagi dengan jumlah angkatan kerja dalam sektor yang bersangkutan.

2.2 Rumusan Hipotesis

2.2.1 Pengaruh PAD pada Daya Saing Daerah

Keberhasilan desentralisasi fiskal salah satunya dapat dilihat dari tingginya

penerimaan dan pengeluaran pembangunan pemerintah daerah demi mewujudkan

kesejahteraan masyarakat yang tercermin dalam pertumbuhan ekonomi daerah yang

tinggi. Dari sisi penerimaan daerah, desentralisasi fiskal dapat diukur melalui rasio

PAD terhadap total penerimaan daerah atau sering disebut juga dengan rasio

kemandirian.

Jika rasio tersebut semakin tinggi artinya pemerintah daerah semakin mandiri

untuk membiayai program-program kerja yang ada di daerah. Peningkatan rasio

tersebut tentu dicapai melalui peningkatan PAD yang diterima daerah. Tingginya PAD

suatu daerah tentu juga akan berperan serta dalam meningkatkan pertumbuhan

ekonomi daerah serta ototmatis akan berpengaruh pada daya saing daerah tiap-tiap

daerah tersebut. Berkaitan dengan paparan di atas, maka hipotesis yang dapat diajukan

adalah

Ha.1 : PAD berpengaruh positif pada daya saing daerah

2.2.2 Pengaruh DAU pada Daya Saing Daerah

DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan

dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai

kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU Nomor 33 Tahun

2004). Setyowati dan Suparwati (2012) mengatakan bahwa DAU bersifat “Block

Grant” yang berarti penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas

dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka

pelaksanaan otonomi daerah. DAU berperan menggantikan subsidi daerah otonom dan

dana inpres (Lugastoro, 2013).

Wertianti (2013) mengatakan bahwa jumlah keseluruhan DAU ditetapkan

sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri

Neto yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Pengalokasian DAU untuk suatu daerah didasarkan atas celah fiskal dan alokasi dasar,

dimana celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah.

Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah.

DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah provinsi dihitung berdasarkan perkalian

bobot daerah provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh daerah provinsi.

Bobot daerah provinsi merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah provinsi

yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh daerah provinsi.

Diberlakukannya desentralisasi berarti pemerintah daerah harus mampu

mengoptimalkan kemampuan dalam mengelola sumber daya yang dimiliki sehinga

tidak hanya mengandalkan DAU (Ardhani, 2011). Diterimanya DAU dari pemerintah

pusat maka daerah bisa fokus menggunakan PAD untuk membiayai belanja modal

yang digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik yang berimbas pada

kesejahteraan masyarakat.

Ha.2 : DAU berpengaruh positif pada daya saing daerah

2.2.3 Pengaruh DBH Pada Daya Saing Daerah

DBH, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan

kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam

rangka pelaksanaan Desentralisasi (pasal 1, PP No. 55 thn 2005). DBH merupakan

Dana Perimbangan (pasal 2, PP No. 55 thn 2005) yang bersumber dari pajak dan

sumber daya alam (pasal 3, PP No. 55 thn 2005).

DBH yang bersumber dari pajak terdiri atas: PBB, BPHTB, dan PPh WPOPDN

dan PPh Pasal 21(pasal 4, PP No. 55 thn 2005), sedangkan DBH yang bersumber dari

sumber daya alam berasal dari: Kehutanan, Pertambangan Umum, Perikanan,

Pertambangan Minyak Bumi, Pertambangan Gas Bumi, dan Pertambangan Panas Bumi

(pasal 15, PP No. 55 thn 2005). Apabila setiap daerah mampu mengelola elemen-

elemen dari DBH tersebut maka akan mampu meningkatkan daya saing daerahnya

sendiri.

Ha.3 : DBH berpengaruh positif pada daya saing daerah

2.2.4 Pengaruh SiLPA Pada Daya Saing Daerah

Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) adalah selisih lebih realisasi

penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. SiLPA

mencakup pelampauan penerimaan PAD, pelampauan penerimaan dana perimbangan,

pelampauan penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah, pelampauan

penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada pihak ketiga sampai

dengan akhir tahun belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan (Permendagri

Nomor 13 Tahun 2006).

Kusnandar dan Siswantoro (2012) menyatakan bahwa SiLPA tahun

sebelumnya adalah penerimaan pembiayaan digunakan untuk menutupi defisit

anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja, mendanai

pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung (belanja barang dan jasa,

belanja modal, dan belanja pegawai) dan mendanai kewajiban lainnya yang sampai

dengan akhir tahun anggaran belum diselesaikan. Hal tersebut sejalan dengan

Mahmudi (2010:122) menjelaskan apabila terjadi sisa anggaran pada akhir periode

maka sisa anggaran dapat digunakan sebagai sumber pembiayaan maupun belanja

untuk tahun anggaran berikutnya.

SiLPA merupakan suatu indikator yang dapat menggambarkan efisiensi

pengeluaran pemerintah karena SiLPA akan terbentuk bila terjadi surplus pada APBD

dan sekaligus terjadi pembiayaan neto yang positif, dimana komponen penerimaan

lebih besar dari komponen pengeluaran pembiayaan.

Namun di sisi lain SiLPA bisa menjadi suatu indikator inefisiensi jika SiLPA

tersebut berasal atau terbentuk dari komponen sisa kas (misalnya ada program atau

kegiatan dari penggunaan anggaran yang tidak terealisasi) dan Sisa UUDP tahun-tahun

sebelumnya (Balitbangda NTT, 2008). SiLPA yang berasal atau terbentuk dari

pelampauan target penerimaan daerah (indikator efisiensi) sangat diharapkan

sedangkan SiLPA yang berasal atau terbentuk dari ditiadakan program atau kegiatan

pembangunan apalagi dalam jumlah tidak wajar sangat merugikan masyarakat.

Ha.4 : SiLPA berpengaruh positif pada daya saing daerah

2.2.5 Pengaruh IPM Pada Daya Saing Daerah

IPM merupakan sebuah indeks komposit (gabungan) dari indeks pendidikan,

kesehatan dan daya beli yang diharapkan dapat mengukur tingkat keberhasilan

pembangunan manusia yang tercermin dengan penduduk yang berpendidikan, sehat

dan berumur panjang, berketerampilan serta mempunyai pendapatan untuk hidup

layak.

IPM merupakan indeks komposit yang dihitung sebagai rata-rata sederhana dari

indeks pendidikan (melek huruf dan rata-rata lama sekolah), indeks harapan hidup, dan

indeks standar hidup layak. IPM digunakan sebagai alat ukur keberhasilan

pembangunan di suatu tempat pada suatu waktu dan dapat digunakan sebagai salah satu

petunjuk untuk melihat apakah pembangunan yang telah dilakukan sesuai dengan yang

ditetapkan. Selain itu, IPM juga sebagai alat pemantau yang bisa memberikan

perbandingan antar wilayah serta perkembangan antar waktu sehingga dapat

memperlihatkan dampak pembangunan yang dilakukan pada periode sebelumnya

(BPS, 2012a:19).

Agar dapat melihat perkembangan tingkatan dan status IPM dibedakan

menjadi 4 kriteria dimana status menengah dipecah menjadi dua seperti dibawah ini

(Sumiyati, 2011):

1) Rendah dengan nilai IPM kurang dari 50.

2) Menengah bawah dengan nilai IPM berada diantara 50 samapi kurang dari 66.

3) Menengah atas dengan nilai IPM berada antara 66 sampai kurang dari 80.

4) Tinggi dengan nilai IPM lebih atau sama dengan 80.

Sebelum menghitung IPM, setiap komponen IPM harus dihitung indeksnya

(BPS, 2012b:71). Formula yang digunakan dalam perhitungan indeks komponen IPM

adalah sebagai berikut:

Indeks X (i) = X(i)−X(min)

X(maks)−X(min)

Keterangan: X (i) = Komponen IPM ke-i

X (min) = Nilai minimum dari komponen IPM ke-i

X (maks) = Nilai maksimum dari komponen IPM ke-i

Untuk menghitung indeks masing-masing komponen IPM digunakan batas maksimum

dan minimum seperti terlihat dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1

Nilai Maksimum dan Minimum dari setiap komponen IPM

Komponen IPM (1) Maksimum (2) Minimum (3) Keterangan (4)

1) Angka Harapan

Hidup (Tahun)

85 25 Standar UNDP

2) Angka Melek

Huruf (Persen)

100 0 Standar UNDP

3) Rata-rata Lama

Sekolah (Tahun)

15 0

4) Daya Beli (Rupiah

PPP)

732.720a 300.000 (1996)

360.000b

(1999,dst)

Pengeluaran per Kapita

Rill

Disesuaikan

Keterangan: c) Perkiraan maksimum pada PJP II tahun 2018 d) Penyesuaian garis kemiskinan lama dengan garis kemiskinan baru

Selanjutnya nilai IPM dapat dihitung sebagai berikut:

IPMj =

Sumber: BPS, 2012b

Keterangan: Indeks X (i, j) = Indeks komponen IPM ke I untuk wilayah ke-

j

i = 1, 2, 3 (urutan komponen IPM)

j = 1, 2 ……….k (wilayah)

Pembangunan manusia menempatkan manusia sebagai tujuan akhir dari

pembangunan dan bukan alat dari pembangunan. Ini sependapat dengan Anand dan

Sen (2000) yang mengatakan bahwa manusia merupakan makhluk primer dan sarana

utama dalam pembangunan.

Ranis et al. (2005) mengatakan ada 12 kategori dalam pembangunan manusia

meliputi: IPM itu sendiri, kesejahteraan mental, pemberdayaan, kebebasan berpolitik,

hubungan sosial, kesejahteraan masyarakat, ketimpangan, kondisi kerja, kondisi

rekreasi, politik dan keamanan, keamanan ekonomi, kondisi lingkungan. Keberhasilan

suatu pembangunan manusia dapat dilihat dari seberapa besar permasalahan yang

mendasar di masyarakat dapat teratasi (Setyowati dan Suparwati, 2012).

Sumiyati (2011) menyatakan jika status pembangunan manusia masih berada

pada kriteria rendah hal ini berarti kinerja pembangunan manusia harus ditingkatkan

atau masih memerlukan perhatian khusus untuk mengejar ketinggalannya. Begitu pula

jika status pembangunan manusia berada pada kriteria menengah berarti masih perlu

ditingkatkan atau dioptimalkan.

Jika daerah memiliki status pembangunan manusia berada pada kriteria tinggi

berarti kinerja pembangunan manusia sudah baik atau optimal dan perlu dipertahankan

supaya kualitas sumber daya manusia tersebut produktif sehingga memiliki

produktivitas yang tinggi sehingga kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.

Michael Porter (1990) menyatakan bahwa ada 4 (empat) faktor yang

mempengaruhi daya saing suatu negara, yaitu: 1) Strategi, struktur, dan tingkat

persaingan perusahaan, yaitu bagaimana unit-unit usaha di dalam suatu negara

terbentuk, diorganisasikan, dan dikelola, serta bagaimana tingkat persaingan dalam

negerinya, 2) Sumber daya di suatu negara, yaitu bagaimana ketersediaan sumber daya

di suatu negara, yakni sumber daya manusia, bahan baku, pengetahuan, modal, dan

infrastruktur.

Ketersediaan tersebut menjadi penentu perkembangan industri di suatu negara.

Ketika terjadi kelangkaan pada salah satu jenis faktor tersebut maka investasi industri

di suatu negara menjadi investasi yang mahal, 3) Permintaan domestik, yaitu

bagaimana permintaan di dalam negeri terhadap produk atau layanan industri di negara

tersebut.

Permintaan hasil industri, terutama permintaan dalam negeri, merupakan aspek

yang mempengaruhi arah pengembangan faktor awalan keunggulan kompetitif sektor

industri. Inovasi dan kemajuan teknologi dapat terinspirasi oleh kebutuhan dan

keinginan konsumen, 4) Keberadaan industri terkait dan pendukung, yaitu keberadaan

industri pemasok atau industri pendukung yang mampu bersaing secara internasional.

Ini berarti bahwa sumber daya manusia dan atau IPM merupakan salah satu dari empat

faktor yang mempengaruhi daya saing. Berdasarkan uraian di atas maka dapat

dikembangkan hipotesis penelitian sebagai berikut:

Ha.5: IPM berpengaruh positif pada daya saing daerah

2.2.6 Kemampuan IPM memoderasi pengaruh PAD Pada Daya saing daerah

Impelementasi desentralisasi fiskal dimana pemerintah pusat melimpahkan

wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur keuangannya sendiri terlihat dari

meningkatnya PAD di setiap daerah tersebut. Namun apabila tidak dibarengi dengan

kualitas sumber daya manusianya maka akan menghambat jalannya kinerja keuangan

daerah dimana tujuannya adalah untuk terus meningkatkan PAD daerahnya sendiri

serta untuk mengukur daya saing dengan daerah lainnya.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikembangkan hipotesis penelitian

sebagai berikut:

Ha.6: IPM meningkatkan pengaruh positif PAD pada daya saing daerah

2.2.7 Kemampuan IPM Memoderasi Pengaruh DAU Pada Daya Saing Daerah

Penerapan desentralisasi fiskal memberikan konsekuensi-konsekuensi, yaitu di

setiap daerah dituntut untuk membiayai seluruh pengeluaran daerah, namun tidak

semua daerah mampu membiayai pengeluaran pemerintah daerah menggunakan

Pendapatan asli daerah (PAD), dikarenakan kemampuan daerah untuk menyediakan

pendanaan yang berasal dari daerah sangat tergantung pada kemampuan

merealisasikan potensi ekonomi tersebut menjadi bentuk-bentuk kegiatan ekonomi

yang mampu menciptakan perguliran dana untuk pembangunan daerah yang

berkelanjutan (Darwanto dan Yustikasari, 2006). Hal tersebut mengakibatkan tidak

meratanya pembangunan di setiap daerah.

Untuk mengatasi adanya ketimpangan infrastruktur yang terdapat di setiap

daerah, Pemerintah Pusat mengalokasikan Dana Perimbangan yang bersumber dari

APBN untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. Salah satu

dana perimbangan dari pemerintah ini adalah Dana alokasi umum (DAU). Sumber

daya manusia disetiap daerah harus mampu mengalokasikan dana tersebut dengan baik

agar tersebar secara merata ke daerah-daerah yang sangat membutuhkan dan

pertumbuhan ekonomi di daerah lain meningkat secara merata

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikembangkan hipotesis penelitian

sebagai berikut:

Ha.7: IPM meningkatkan pengaruh positif DAU pada daya saing daerah

2.2.8 Kemampuan IPM Memoderasi Pengaruh DBH Pada Daya Saing Daerah

Dana Bagi Hasil, selanjutnya disebut DBH, adalah dana yang bersumber dari

pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase

untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi (pasal 1,

PP No. 55 thn 2005).

DBH merupakan Dana Perimbangan (pasal 2, PP No. 55 thn 2005) yang

bersumber dari pajak dan sumber daya alam (pasal 3, PP No. 55 thn 2005). DBH yang

bersumber dari pajak terdiri atas: PBB, BPHTB, dan PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21

(pasal 4, PP No. 55 thn 2005), sedangkan DBH yang bersumber dari sumber daya alam

berasal dari: Kehutanan, Pertambangan Umum, Perikanan, Pertambangan Minyak

Bumi, Pertambangan Gas Bumi, dan Pertambangan Panas Bumi (pasal 15, PP No. 55

thn 2005). Daerah dituntut memiliki sumber daya manusia yang handal dan mampu

memanage sumber-sumber dari DBH tersebut dengan baik guna meningkatkan

pendapatan daerah, dan nantinya terlihat daerah mana yang lebih baik dalam

pengelolaan DBH tersebut.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikembangkan hipotesis penelitian

sebagai berikut:

Ha.8: IPM meningkatkan pengaruh positif DBH pada daya saing daerah

2.2.9 Kemampuan IPM Memoderasi Pengaruh SiLPA Pada Daya Saing Daerah

Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) adalah selisih lebih realisasi

penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. SiLPA

merupakan suatu indikator yang dapat menggambarkan efisiensi pengeluaran

pemerintah karena SiLPA akan terbentuk bila terjadi surplus pada APBD dan sekaligus

terjadi pembiayaan neto yang positif, dimana komponen penerimaan lebih besar dari

komponen pengeluaran pembiayaan.

Oleh karena itu sumber daya manusia yang ada di setiap daerah harus mampu

meminimalisir pengeluaran-pengeluaran daerah yang tidak terlalu penting serta lebih

efisien dalam menggunakan anggaran daerah. Hal tersebut bertujuan untuk

mendapatkan SiLPA dan meningkatkan pendapatan daerah. Karena secara normatif,

semakin meningkatnya kinerja kapasitas fiskal daerahdan SiLPA maka pemda

memiliki dana yang cukup untuk merealisasikan program-program kerjanya dan sudah

tentu termasuk program kerja dalam rangka meningkatkan daya saing daerah.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikembangkan hipotesis penelitian

sebagai berikut:

Ha.9: IPM meningkatkan pengaruh positif SiLPA pada daya saing daerah