Upload
doanthu
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori dan Konsep
2.1.1 Definisi Pajak
Soemitro (1990:5) menyatakan bahwa “Pajak adalah iuran rakyat
kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)
dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan
sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang No.16
Tahun 2009 menyatakan bahwa “Pajak adalah kontribusi wajib pajak
kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”.
Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa
terdapat lima unsur yang melekat dalam pengertian pajak, yaitu:
1) Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang.
2) Pajak dipungut oleh negara.
3) Pajak bersifat dapat dipaksakan.
4) Tidak ada imbalan yang langsung dapat dirasakan pembayar pajak.
5) Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah.
11
2.1.2 Teori Psikologi
Menurut teori psikologi Erard dan Feinsten (1994) yang dikutip
Chaizi Nasucha menyatakan kepatuhan Wajib Pajak dipengaruhi oleh rasa
bersalah, rasa malu, persepsi Wajib Pajak atas kewajaran beban pajak yang
mereka tanggung dan kepuasan atas layanan publik yang diberikan
pemerintah. Bagian dari modernisasi administrasi perpajakan yang
meliputi pembenahan struktur organisasi, pemanfaatan teknologi
informasi, manajemen sumber daya manusia, dan penerapan good
governance juga merupakan salah satu bentuk pembaruan pelayanan yang
diberikan pemerintah kepada Wajib Pajak guna untuk meningkatkan
kepatuhan sukarela Wajib Pajak. Pelayanan yang baik tentunya akan
mendorong motivasi Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban
perpajakannya.
2.1.3 Teori yang Mendukung Pemungutan Pajak
Teori-teori yang mendukung pemungutan pajak seperti yang
dinyatakan oleh Mardiasmo (2011:3-4), antara lain:
1) Teori Asuransi
Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak
rakyatnya. Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang
diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan
perlindungan tersebut.
12
2) Teori Bakti
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat
dengan negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus
selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu
kewajiban.
3) Teori Asas Daya Beli
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya
memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga
masyarakat untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan
menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan
kesejahteraan masyarakat, dengan demikian kepentingan seluruh
masyarakat lebih diutamakan.
2.1.4 Fungsi Pajak
Mardiasmo (2011:1-2) menyatakan terdapat dua fungsi pajak, yaitu
fungsi penerimaan dan fungsi mengatur.
1) Fungsi penerimaan (budgetair)
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluarannya.
2) Fungsi mengatur (regulerend)
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan
pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
13
2.1.5 Jenis-jenis Pajak
Jenis-jenis pajak seperti yang dinyatakan oleh Mardiasmo (2011:5)
dibedakan berdasarkan golongan, sifat dan lembaga pemungutnya, yaitu:
1) Menurut golongannya
(1) Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib
Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang
lain. Contoh : Pajak Penghasilan.
(2) Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat
dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak
Pertambahan Nilai.
2) Menurut sifatnya
(1) Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
Contohnya : Pajak Penghasilan.
(2) Pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contohnya : Pajak
Penjualan atas Barang Mewah
3) Menurut lembaga pemungutannya
(1) Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contohnya :
Pajak Pertambahan Nilai.
14
(2) Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah
dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak
Daerah dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Pajak Propinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
b. Pajak Kabupaten/Kota, contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran,
dan Pajak Hiburan.
2.1.6 Asas Pemungutan Pajak
Mardiasmo (2011:7) menyatakan terdapat tiga asas pemungutan
pajak, diantaranya yaitu:
1) Asas domisili (asas tempat tinggal)
Asas ini menyatakan bahwa negara berhak mengenakan pajak atas
seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal diwilayahnya,
baik penghasilan yang berasal dari dalam negeri maupun berasal dari
luar negeri.
2) Asas sumber
Asas ini menyatakan bahwa negara berhak mengenakan pajak atas
penghasilan yang bersumber diwilayahnya tanpa memperhatikan
tempat tinggal Wajib Pajak.
3) Asas kebangsaan
Asas ini menyatakan bahwa pengenaan pajak dihubungkan dengan
kebangsaan suatu negara.
15
2.1.7 Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Mardiasmo
(2011:7) adalah sebagai berikut:
1) Official Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada
pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang
oleh Wajib Pajak.
Ciri-cirinya:
(1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
fiskus.
(2) Wajib pajak bersifat pasif.
(3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh
fiskus.
2) Self Assessment System
Adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada
Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Ciri-cirinya:
(1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
Wajib Pajak sendiri.
(2) Wajib pajak aktif mulai dari menghitung, menyetor dan
melaporkan sendiri pajak yang terutang.
(3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
16
3) With Holding System
Adalah suatu pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada
pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan)
untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri-cirinya: Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang
pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.
2.1.8 Pengertian Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP)
Pengertian Wajib Pajak sebagaimana diterangkan dalam Undang-
Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Pasal 1 yaitu
“Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak,
pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan
kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan”. Undang-Undang Pajak Penghasilan menerangkan
bahwa setiap subjek pajak orang pribadi dalam negeri yang memiliki
penghasilan diatas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dalam setahun
akan dikukuhkan sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi. Bagi orang pribadi
yang telah dikukuhkan sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi, maka
kepadanya berlaku kewajiban perpajakan.
17
2.1.9 Hak dan Kewajiban Wajib Pajak
Kementerian Keuangan RI Direktorat Jenderal Pajak (2011)
tentang Hak dan Kewajiban Wajib Pajak menerangkan bahwa:
1) Hak Wajib Pajak:
(1) Hak atas kelebihan pembayaran pajak
(2) Hak dalam hal Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan pemeriksaan
(3) Hak untuk mengajukan keberatan, banding & peninjauan kembali
(4) Hak-hak Wajib Pajak lainnya:
a. Hak Kerahasiaan Bagi Wajib Pajak
b. Hak Untuk Pengangsuran atau Penundaan Pembayaran
c. Hak Untuk Penundaan Pelaporan SPT Tahunan
d. Hak Untuk Pengurangan pph Pasal 25
e. Hak Untuk Pengurangan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan)
f. Hak Untuk Pembebasan Pajak
g. Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak
h. Hak Untuk Mendapatkan Pajak Ditanggung Pemerintah
i. Hak Untuk Mendapatkan Insentif Perpajakan
2) Kewajiban Wajib Pajak:
(1) Kewajiban mendaftarkan diri
(2) Kewajiban pembayaran, pemotongan/pemungutan, dan pelaporan
pajak
(3) Kewajiban dalam hal diperiksa
(4) Kewajiban memberi data.
18
2.1.10 Modernisasi Administrasi Perpajakan
Sophar Lumbantoruan dalam Harahap (2004), yang dimaksud
dengan administrasi perpajakan adalah cara-cara dan prosedur pengenaan
dan pemungutan pajak oleh instansi yang berwenang untuk melakukannya.
Modernisasi administrasi perpajakan pada prinsipnya adalah merupakan
perubahan pada sistem administrasi perpajakan yang dapat mengubah pola
pikir dan perilaku aparat serta tata nilai organisasi sehingga dapat
menjadikan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjadi suatu institusi yang
profesional dengan citra yang baik di masyarakat. Nasucha (2004)
berpendapat bahwa reformasi (modernisasi) administrasi perpajakan
adalah penyempurnaan atau perbaikan kinerja administrasi, baik secara
individu, kelompok, maupun kelembagaan agar lebih efisien, ekonomis,
dan cepat.
2.1.11 Modernisasi Administrasi Perpajakan di Indonesia
Sejak tahun 2002, DJP telah meluncurkan program perubahan atau
reformasi administrasi perpajakan yang biasa disebut modernisasi (DJP,
2007). Jiwa dari program modernisasi ini adalah pelaksanaan good
governance, yaitu penerapan sistem administrasi perpajakan yang
transparan dan akuntabel, dengan memanfaatkan sistem informasi
teknologi yang handal dan terkini. Strategi yang ditempuh adalah
pemberian pelayanan prima sekaligus pengawasan intensif kepada para
Wajib Pajak. Palda dan Hanousek (2002) menyatakan bahwa kemauan
19
wajib pajak untuk membayar pajak sebagian besar diperngaruhi oleh
kualitas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Perasaan senang dan
puas atas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dapat memicu
motivasi dan kepatuhan bagi wajib pajak yang akhirnya dapat
meningkatkan penerimaan negara.
Tujuan modernisasi yang ingin dicapai adalah meningkatkan
kepatuhan sukarela Wajib Pajak, meningkatkan kepercayaan masyarakat,
dan meningkatkan produktivitas dan integritas aparat pajak. Untuk
mewujudkan itu, maka program reformasi adminsitrasi perpajakan perlu
dirancang dan dilaksanakan secara menyeluruh dan komprehensif.
Perubahan-perubahan yang dilakukan meliputi:
1) Modernisasi struktur organisasi
Implementasi konsep administrasi perpajakan modern yang
berorientasi pada pelayanan dan pengawasan memerlukan perubahan
pada struktur organisasi DJP, baik di tingkat kantor pusat sebagai
pembuat kebijakan maupun di jajaran kantor operasional sebagai
pelaksana implementasi kebijakan.
(1) Kantor pusat
Struktur Kantor Pusat DJP (KP DJP) ikut disusun berdasarkan
fungsi agar sesuai dengan unit vertikal di bawahnya. KP DJP
dalam perencanaan mendatang dirancang sebagai pusat analisis
dan perumusan kebijakan atau hanya menjalankan tugas dan
pekerjaan yang bersifat non operasional. Saat ini struktur KP DJP
20
terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu direktorat yang menangani
kegiatan rutin (1 sekretariat + 9 direktorat), dan direktorat yang
menangani pengembangan/transformasi (3 direktorat). Selain itu
telah dibentuk beberapa direktorat baru untuk menangani intelijen
dan penyidikan perpajakan, ekstensifikasi perpajakan, dan
hubungan masyarakat (public relations), serta beberapa
subdirektorat baru yang menangani penelitian perpajakan,
kepatuhan internal, dan transfer pricing.
(2) Kantor Operasional
a. Untuk mempermudah Wajib Pajak, ke tiga jenis kantor pajak
yang ada yaitu Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPPBB), serta Kantor
Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karikpa), dilebur menjadi
Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Wajib Pajak cukup datang ke
satu kantor saja dalam memenuhi kewajiban perpajakan atau
menyelesaikan permasalahan perpajakannya.
b. Struktur organisasi berbasis fungsi diterapkan pada KPP
dengan sistem administrasi modern untuk merealisasikan
debirokratisasi pelayanan sekaligus melaksanakan pengawasan
terhadap Wajib Pajak secara lebih sistematis.
c. Unit vertikal DJP dibedakan berdasarkan segmentasi Wajib
Pajak, yaitu KPP Wajib Pajak Besar (LTO - Large Taxpayers
Office), KPP Madya (MTO – Medium Taxpayers Office), dan
21
KPP Pratama (STO - Small Taxpayers Office). Strategi dan
pendekatan terhadap Wajib Pajak diharapkan dapat disesuaikan
dengan karakteristik Wajib Pajak yang ditangani, sehingga
hasil yang diperoleh dapat lebih optimal.
d. Khusus di kantor operasional, adalah posisi baru yang disebut
Account Representative, yang mempunyai tugas mengawasi,
memberikan bantuan konsultasi perpajakan kepada Wajib
Pajak, serta menginformasikan peraturan perpajakan yang baru.
e. KPP tidak lagi melakukan penanganan penyelesaian upaya
hukum bagi Wajib Pajak berupa permohonan keberatan,
banding, dan gugatan. Hal tersebut didasarkan pada
pertimbangan bahwa keberatan, banding, dan gugatan oleh
Wajib Pajak diajukan atas hasil pemeriksaan yang dilakukan
oleh tim pemeriksa pajak di KPP. Penanganan penyelesaian
keberatan sepenuhnya dilakukan oleh unit kantor vertikal di
atas KPP yaitu Kantor Wilayah DJP dan Kantor Pusat DJP.
2) Modernisasi proses bisnis dan teknologi informasi serta
komunikasi
Perbaikan proses bisnis merupakan pilar penting program
modernisasi DJP, yang diarahkan pada penerapan full automation
dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi,
terutama untuk pekerjaan yang bersifat administratif/klerikal.
Tujuan dari modernisasi proses bisnis adalah:
22
(1) Pelaksanaan full automation diharapkan akan menciptakan
suatu proses bisnis yang efisien dan efektif karena proses
administrasi menjadi lebih cepat, mudah, akurat, dan paperless,
sehingga dapat meningkatkan pelayanan terhadap Wajib Pajak,
baik dari segi kualitas maupun waktu.
(2) Proses bisnis dirancang sedemikian rupa sehingga dapat
mengurangi kontak langsung antara pegawai DJP dengan
Wajib Pajak untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya
KKN.
(3) Fungsi pengawasan internal diharapkan akan lebih efektif
dengan adanya built-in control system, karena siapapun dapat
mengawasi bergulirnya proses administrasi melalui sistem yang
ada.
Langkah awal perbaikan proses bisnis adalah penulisan dan
dokumentasi Standard Operating Procedures (SOP) untuk setiap
kegiatan di seluruh unit DJP (DJP, 2007). Pada akhir tahun 2007,
sekitar 1900 SOP di lingkungan DJP telah berhasil
diidentifikasikan, ditulis, dan dijadikan acuan pelaksanaan tugas
dan pekerjaan bagi para pegawai. Selain dari SOP, perbaikan
proses bisnis juga dilakukan dengan penerapan e-system dengan
dibukanya fasilitas e-filling (pengiriman Surat Pemberitahuan
secara online melalui internet), e-SPT (penyerahan Surat
Pemberitahuan dalam media digital), e-payment (fasilitas
23
pembayaran online untuk Pajak Bumi dan Bangunan), dan e-
registration (pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak) secara online
melalui internet. Semua fasilitas itu dibuat guna memudahkan
Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Untuk
sistem administrasi internal saat ini terus dilakukan pengembangan
dan penyempurnaan Sistem Informasi DJP (SIDJP). Salah satu
fitur penting sistem tersebut adalah case management dan
workflow system yang digunakan untuk menyajikan informasi dan
memonitor waktu dan status tahapan pekerjaan sejak mulai
diterima (case-open) sampai selesai (case-close). Sistem informasi
manajemen internal seperti Sistem Kepegawaian, Keuangan dan
Aset, Sistem Pelaporan, dan Key Performance Indicator (KPI) juga
terus dikembangkan.
Pada kegiatan penegakan hukum, dikembangkan program
pemeriksaan berbasis analisis risiko (risk analysis), sehingga
sumber daya yang ada dapat secara efektif melakukan pemeriksaan
berdasarkan skala prioritas dengan membuat segmentasi risiko
yang dihadapi. Untuk menerapkan keadilan bagi seluruh Wajib
Pajak dan besarnya potensi yang dapat digali, maka DJP
meluncurkan program penggalian potensi Wajib Pajak non-filer,
yaitu Wajib Pajak yang tidak memasukkan SPT. DJP juga
mengembangkan sistem yang dapat menghimpun berbagai data
dari pihak ketiga yang terkait dengan tugas DJP dalam
24
menghimpun penerimaan negara, yang dinamakan Third Party
Data Project. DJP saat ini juga tengah mengembangkan dan
melaksanakan program Debt Management Project untuk
mengoptimalkan efisiensi dan efektifitas fungsi penagihan.
3) Modernisasi manajemen sumber daya manusia (SDM)
Modernisasi manajemen sumber daya manusia merupakan
langkah penting yang perlu dilakukan karena secanggih apapun
struktur, sistem, teknologi informasi, metode, dan alur kerja suatu
organisasi yang ada, tidak akan dapat berjalan dengan optimal
tanpa didukung sumber daya manusia yang memiliki integritas dan
profesionalisme. Pembenahan dan perbaikan perlu dilakukan pada
sistem dan manajemen SDM, bukan semata-mata melakukan
rasionalisasi pegawai, karena sistem yang baik dan terbuka
dipercaya akan menghasilkan SDM yang berkualitas. Sejalan
dengan keinginan untuk berubah serta memperbaiki citra dan
meningkatkan kinerja, reformasi dibidang Sumber Daya Manusia
(SDM) merupakan langkah yang sangat penting untuk dilakukan
DJP, yang mendukung sistem administrasi perpajakan modern
melalui SDM berbasis kompetensi dan kinerja. Tahapan yang
dilakukan DJP adalah sebagai berikut:
(1) DJP melakukan pemetaan kompetensi (competency mapping)
terhadap seluruh pegawai DJP guna mengetahui distribusi
kuantitas dan kualitas kompetensi pegawai. Meskipun program
25
mapping ini masih terbatas mengidentifikasikan ”soft
competency”, tetapi hasil program tersebut menjadi informasi
yang membantu DJP dalam merumuskan kebijakan
kepegawaian yang lebih tepat.
(2) Dalam rangka memperoleh kesesuaian antara jabatan dan
kompetensi pegawai, dilakukan evaluasi dan analisis beban
kerja atas seluruh jabatan untuk menentukan job grade dari
masing-masing jabatan tersebut.
(3) Evaluasi dan analisis beban kerja dari masing-masing jabatan
dimanfaatkan untuk pengembangan sistem pengukuran kinerja
pegawai. Parameter lain yang juga digunakan untuk mengukur
kinerja pegawai DJP adalah pengukuran hasil pelaksanaan
Standard Operating Procedure (SOP) untuk seluruh proses
pekerjaan. Secara bersamaan dilakukan penilaian terhadap
seluruh pegawai secara objektif dan konsisten, sekaligus
standar kompetensi jabatannya melalui proyek assessment
center. Selisih (gap) antara hasil penilaian pegawai dengan
standar kompetensi jabatan yang didudukinya dijadikan dasar
perancangan program capacity building (termasuk pendidikan
dan pelatihan) yang lebih fokus dan terarah.
26
(4) Keseluruhan tahapan pengukuran kinerja tersebut nantinya
akan dimanfaatkan untuk membuat sistem jenjang karir, antara
lain sistem mutasi dan promosi, serta sistem remunerasi yang
lebih jelas, adil, dan akuntabel.
Sistem dan manajemen SDM yang lebih baik dan terbuka
akan menghasilkan SDM yang lebih berkualitas khususnya dari
segi produktivitas dan profesionalisme. Nyata terlihat bahwa
perbaikan remunerasi bukan merupakan satu-satunya variabel yang
berpotensi meningkatkan kinerja pegawai. Remunerasi hanya
merupakan bagian dari program reformasi birokrasi yang
sebelumnya harus didahului dengan perbaikan diberbagai bidang
untuk mendapatkan peningkatan efektifitas dan akuntabilitas
sistem manajemen SDM.
Besarnya skala perbaikan sistem dan manajemen SDM
membuat langkah ke depan yang perlu dipikirkan adalah
menciptakan arsitektur SDM DJP yang antara lain mempunyai ciri-
ciri jujur, ikhlas, mampu, dapat dipercaya, bertanggungjawab,
profesional, berwawasan, dapat berlaku adil, menjadi agen
perubahan, serta berbasis kompetensi dan kinerja.
Langkah awal untuk memperbaiki dan menyempurnakan
sistem manajemen SDM DJP telah dilakukan yaitu dengan analisis
jabatan dan evaluasi jabatan sebagai dasar atau fondasi bagi
pengelolaan SDM. Hasil dari analisis dan evaluasi jabatan tersebut
27
akan dijadikan dasar baik bagi pengelolaan SDM selanjutnya yaitu
untuk perencanaan pegawai, seleksi pegawai, pengembangan
pegawai, sistem pengukuran kinerja, reward management, dan pola
karir pegawai.
4) Modernisasi good governance
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) senantiasa menerapkan
prinsip-prinsip good governance atau tata kelola yang baik dalam
pelaksanaan tugasnya. Hal ini ditunjukkan dengan tersedianya dan
terimplementasikannya prinsip-prinsip good governance yang
mencakup berwawasan kedepan, terbuka, melibatkan partisipasi
masyarakat, akuntabel, profesional, dan didukung pegawai yang
kompeten.
Prinsip berwawasan kedepan diwujudkan melalui
penyusunan Visi dan Misi DJP. Visi dan Misi DJP tersebut
selanjutnya dijabarkan ke dalam rencana strategis untuk periode
lima tahunan. Rencana strategis ini menjadi acuan dalam
penyusunan rencana kerja tahunan di lingkungan DJP.
Prinsip keterbukaan dan partisipasi masyarakat
dilaksanakan DJP dengan membuka akses informasi bagi pihak-
pihak yang membutuhkan. Penyebaran informasi diantaranya
dilakukan dengan cara pemberian penyuluhan, pembuatan iklan
layanan masyarakat, dan pemanfaatan website. DJP juga membuka
diri terhadap masukan dan kritik dari stakeholders, guna
28
meningkatkan kualitas pelayanan dan perbaikan administrasi
perpajakan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan peran serta
masyarakat dalam memenuhi kewajiban sekaligus sebagai alat
kontrol bagi DJP dalam pelaksanaan tugasnya.
Perubahan juga ditandai dengan diterapkannya Kode Etik
bagi pegawai DJP. Bagi pegawai DJP, Kode Etik memberikan
panduan tentang bagaimana mereka mengelola situasi dan
mengambil sikap atau pilihan yang tepat dalam melaksanakan
tugasnya. Penerapan Kode Etik tersebut diharapkan dapat
membangkitkan kesadaran dan memotivasi pegawai untuk menjadi
aparatur DJP yang bersih, profesional serta menjunjung nilai-nilai
moral dan etika.
2.1.12 Kepatuhan Wajib Pajak
Brown dan Mazur dalam Marti, dkk (2010) menyatakan kepatuhan
pajak adalah suatu ukuran yang secara teoritis dapat digambarkan dengan
mempertimbangkan tiga jenis kepatuhan seperti kepatuhan dalam
pembayaran, kepatuhan dalam penyimpanan, dan kepatuhan dalam
melaporkan. Kepatuhan dalam Wajib Pajak dapat dikatakan sebagai
kepatuhan dalam persyaratan pelaporan pajak dimana wajib pajak
mengajukan dan melaporkan kewajibannya sesuai dengan peraturan yang
berlaku (Devos, 2009).
29
Kepatuhan Wajib Pajak dapat diidentifikasi melalui kepatuhan
terhadap perhitungan, pembayaran serta pelaporan atas pemenuhan
kewajiban wajib pajak (Marti, dkk, 2010). Nasucha (2004) dalam
penelitiannya juga menyatakan bahwa kepatuhan Wajib Pajak dapat
diidentifkasi dari kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri,
kepatuhan untuk menyetorkan kembali Surat Pemberitahuan (SPT),
kepatuhan dalam perhitungan dan pembayaran pajak terutang, dan
kepatuhan dalam pembayaran tunggakan.
Marziana, dkk (2010) menyatakan kepatuhan pajak yaitu sejauh
mana Wajib Pajak dapat atau gagal dalam menuruti aturan perpajakan di
negara mereka. Dorasamy (2011) juga berpendapat bahwa kepatuhan
berfokus pada penjangkauan dan program pendidikan untuk meningkatkan
tingkat kesadaran dan pemahaman diantara pembayar pajak. Terdapat dua
macam kepatuhan menurut Rahayu (2010:138), yakni:
1) Kepatuhan formal adalah Wajib Pajak memenuhi kewajiban secara
formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan.
2) Kepatuhan material adalah Wajib Pajak secara substantive atau
hakekatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan sesuai isi
dan jiwa undang-undang perpajakan.
Kepatuhan Wajib Pajak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
kondisi sistem administrasi perpajakan suatu negara, pelayanan pada
Wajib Pajak, penegakan hukum perpajakan, pemeriksaan pajak, dan tarif
pajak (Rahayu, 2010:140)
30
2.1.13 Kriteria Wajib Pajak Patuh
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
No.74/PMK.03/2012 untuk dapat ditetapkan sebagai Wajib Pajak Dengan
Kriteria Tertentu, Wajib Pajak harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1) Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), yang
meliputi:
(1) Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan selama 3 (tiga) Tahun
Pajak terakhir yang wajib disampaikan sampai dengan akhir tahun
sebelum tahun penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu
dilakukan tepat waktu;
(2) Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat dalam
tahun terakhir sebelum tahun penetapan Wajib Pajak Dengan
Kriteria Tertentu untuk Masa Pajak Januari sampai November
tidak lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak dan
tidak berturut-turut;
(3) Seluruh Surat Pemberitahuan Masa dalam tahun terakhir sebelum
tahun penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu untuk Masa
Pajak Januari sampai November telah disampaikan; dan
(4) Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat telah disampaikan tidak
lewat dari batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa
Masa Pajak berikutnya.
31
2) Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali
tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau
menunda pembayaran pajak. Maksudnya, dengan tidak mempunyai
tunggakan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah
keadaan Wajib Pajak pada tanggal 31 Desember tahun sebelum
penetapan sebagai Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu.
3) Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga
pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa
Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut. Maksudnya, laporan
keuangan yang diaudit oleh akuntan publik atau lembaga pengawasan
keuangan pemerintah adalah laporan keuangan yang dilampirkan
dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang wajib
disampaikan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut sampai dengan akhir
tahun sebelum tahun penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu.
4) Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana dibidang
perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
2.1.14 Pencabutan Wajib Pajak Patuh
Pencabutan Wajib Pajak Patuh diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan RI No.74/PMK.03/2012 yaitu:
1) Wajib Pajak yang telah ditetapkan sebagai Wajib Pajak Dengan
Kriteria Tertentu dicabut penetapannya dalam hal Wajib Pajak:
32
(1) Dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka /dilakukan
tindakan Penyidikan Tindak Pidana dibidang Perpajakan;
(2) Terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu
jenis pajak tertentu 2 (dua) Masa Pajak berturut-turut;
(3) Terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu
jenis pajak tertentu 3 (tiga) Masa Pajak dalam 1 (satu) tahun
kalender; atau
(4) Terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
2) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan mengenai pencabutan
penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu dan memberitahukan
secara tertulis kepada Wajib Pajak.
3) Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu yang telah dicabut
penetapannya tidak dapat diberikan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak.
4) Keputusan Direktur Jenderal Pajak mengenai pencabutan penetapan
Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu sesuai dengan contoh format
sebagaimana tercantum dalam lampiran IV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
33
2.2 Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Struktur Organisasi pada Kepatuhan Wajib Pajak
Struktur organisasi berdasarkan fungsi merupakan penerapan
dalam sistem administrasi perpajakan modern. Berkaitan dengan teori
psikologi bahwa modernisasi dibidang struktur organisasi merupakan
bentuk layanan kepada masyarakat dengan memperbarui jalur
penyelesaian pelayanan kepada Wajib Pajak agar dalam pelaksanaannya
Wajib Pajak dapat dengan mudah menyelesaikan segala kegiatan
perpajakannya sehingga bentuk dari pelayanan tersebut diharapkan akan
dapat mempengaruhi kepatuhan sukarela Wajib Pajak.
Hasil penelitian Setiana, dkk (2010) tidak dapat membuktikan
adanya pengaruh yang signifikan antara modernisasi struktur organisasi
terhadap kepatuhan Wajib Pajak. Hasil yang berbeda dibuktikan oleh
penelitian Nurfanani dan Herawati (2013) dan Rapina, dkk (2011) yang
menunjukkan bahwa modernisasi struktur organisasi berpengaruh positif
terhadap kepatuhan Wajib Pajak.
Modernisasi struktur organisasi kerja yang lebih baik seperti
pembentukan organisasi berdasarkan fungsi seperti adanya bagian
pengawasan, penagihan, dan pemeriksaan akan memudahkan Wajib Pajak
dalam melaporkan pajaknya sehingga kepatuhan Wajib Pajak akan
meningkat. Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut dapat dirumuskan
hipotesis sebagai berikut:
H1: struktur organisasi berpengaruh pada kepatuhan Wajib Pajak.
34
2.2.2 Pengaruh Business Process dan Teknologi Informasi serta
Komunikasi pada Kepatuhan Wajib Pajak
Business process dan teknologi informasi serta komunikasi
merupakan bagian dari modernisasi sistem administrasi perpajakan.
Berkaitan dengan teori psikologi bahwa bentuk pelayanan yang diberikan
DJP kepada masyarakat dengan penggunaan teknologi informasi yang
diterapkan pada kantor-kantor pajak seperti e-SPT, pembayaran secara
online, juga pelaporan pajak elektronik akan memudahkan Wajib Pajak
dalam melakukan pelaporan, pembayaran dan pendaftaran, sehingga
dengan bentuk pelayanan tersebut diharapkan akan dapat mempengaruhi
kepatuhan sukarela Wajib Pajak.
Hasil penelitian Candra, dkk (2013) tidak dapat membuktikan
adanya pengaruh antara pelayanan yang memanfaatkan teknologi
informasi terhadap kepatuhan Wajib Pajak. Hasil yang berbeda dibuktikan
oleh penelitian Palupi (2010) membuktikan bahwa teknologi informasi
berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak. Hasil yang sama juga
dibuktikan oleh penelitian Nurfanani dan Herawati (2013) yang
menunjukkan bahwa modernisasi business process dan teknologi
informasi serta komunikasi berpengaruh positif terhadap kepatuhan Wajib
Pajak. Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut dapat dirumuskan
hipotesis sebagai berikut:
H2: business process dan teknologi informasi serta komunikasi
berpengaruh pada kepatuhan Wajib Pajak.
35
2.2.3 Pengaruh Manajemen Sumber Daya Manusia pada Kepatuhan Wajib
Pajak
Standar kualitas pelayanan yang maksimal kepada Wajib Pajak
akan terpenuhi apabila sumber daya manusianya (fiskus) dapat
melaksanakan tugasnya secara profesional, bertanggung jawab, disiplin
dan transparan. Berkaitan dengan teori psikologi bahwa manajemen
sumber daya manusia merupakan bentuk pelayanan kepada masyarakat
yang dibuat DJP dengan meningkatkan kualitas fiskus atau aparatur pajak.
Fiskus yang berkualitas adalah fiskus yang memberikan informasi yang
akurat tentang hal-hal yang berkaitan dengan pajak dan tidak melakukan
penggelapan pajak atau tindakan lain yang tidak sesuai dengan peraturan
yang berlaku. Seorang wajib pajak yang puas atas pelayanan yang
diberikan fiskus cenderung akan melaksanakan kewajiban perpajakannya
sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku sehingga diharapkan
dengan bentuk pelayanan tersebut akan dapat mempengaruhi kepatuhan
sukarela Wajib Pajak.
Penelitian yang dilakukan Nurfanani dan Herawati (2013)
membuktikan terdapat pengaruh positif antara modernisasi manajemen
sumber daya manusia terhadap kepatuhan Wajib Pajak. Berdasarkan
pernyataan-pernyataan tersebut dapat dirumuskan hipotesis sebagai
berikut:
H3: manajemen sumber daya manusia berpengaruh pada kepatuhan
Wajib Pajak.
36
2.2.4 Pengaruh Good Governance pada Kepatuhan Wajib Pajak
Good governance merupakan program pemerintahan yang bersih
dan berwibawa. Pelaksanaan good governance bercirikan adanya kode etik
pegawai Dirjen Pajak berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
01/KMK.03/2007. Berkaitan dengan teori psikologi bahwa good
governance merupakan bentuk pelayanan yang diberikan DJP kepada
masyarakat dengan penerapan tata kelola yang baik dalam pelaksanaan
tugasnya. Membangkitkan kesadaran dan memotivasi aparatur pajak untuk
menjadi aparatur DJP yang bersih, adil, dan jujur, serta menjunjung nilai-
nilai moral dan etika merupakan langkah awal DJP dalam memberikan
pelayanan yang baik kepada masyarakat. Wajib Pajak akan merasa aman
untuk melakukan pembayaran pajaknya tanpa harus takut pembayaran
pajak disalah gunakan untuk kepentingan pribadi sehingga diharapkan
dengan bentuk pelayanan tersebut akan dapat mempengaruhi kepatuhan
sukarela Wajib Pajak.
Hasil Penelitian Sofiyana, dkk (2014) tidak dapat membuktikan
terdapat pengaruh yang signifikan dari variabel kode etik pada kepatuhan
Wajib Pajak. Hasil yang berbeda tunjukan oleh Penelitian Nurfanani dan
Herawati (2013), yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif dari
modernisasi good governance pada kepatuhan Wajib Pajak. Berdasarkan
pernyataan-pernyataan tersebut dapat dirumuskan hipotesis sebagai
berikut:
H4: good governance berpengaruh pada kepatuhan Wajib Pajak.