21
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah pajak dalam sejarah dunia ini telah dikenal masyarakat sejak zaman dahulu. Bebagai jenis sistem pemerintahan yang ada seperti kerajaan, monarki, dan lain-lain memliki istilah dan peraturan tentang pajak walaupun dalam bahasa yang berbeda- beda. Sejalan dengan perkembangan zaman, pajak pun terus berkembang, temasuk pengertian, fungsi, tujuan, teknis, dan teori tentang pajak serta pemungutan pajak. Penggolongan pajak dibedakan berdasarkan beberapa aspek, yaitu wewenang pemungutannya, secara teknis, dan berdasarkan sifatnya. Dalam pemungutannya, terdapat beberapa jenis sistem yang mengatur. Setiap sistem memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing dalam pelaksanaannya. Mengingat pentingnya pemungutan pajak ini, patut kiranya masyarakat Indonesia mengetahui tentang penggolongan pajak dan sistem pemungutan pajak agar potensi pajak dapat tercapai dan tertanam kesadaran untuk membayar pajak. B. Rumusan Masalah 1

Makalah PHP Penggolongan Jenis Pajak Dan Sistem Pemungutan Pajak

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Penggolongan Jenis Pajak Dan Sistem Pemungutan Pajak. Makalah. Pengantar Hukum Pajak. Perpajakan Indonesia

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Istilah pajak dalam sejarah dunia ini telah dikenal masyarakat sejak zaman dahulu. Bebagai jenis sistem pemerintahan yang ada seperti kerajaan, monarki, dan lain-lain memliki istilah dan peraturan tentang pajak walaupun dalam bahasa yang berbeda-beda. Sejalan dengan perkembangan zaman, pajak pun terus berkembang, temasuk pengertian, fungsi, tujuan, teknis, dan teori tentang pajak serta pemungutan pajak.

Penggolongan pajak dibedakan berdasarkan beberapa aspek, yaitu wewenang pemungutannya, secara teknis, dan berdasarkan sifatnya. Dalam pemungutannya, terdapat beberapa jenis sistem yang mengatur. Setiap sistem memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing dalam pelaksanaannya.

Mengingat pentingnya pemungutan pajak ini, patut kiranya masyarakat Indonesia mengetahui tentang penggolongan pajak dan sistem pemungutan pajak agar potensi pajak dapat tercapai dan tertanam kesadaran untuk membayar pajak.

B.Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah penggolongan jenis pajak?

2. Bagaimana yurisdiksi pemungutan pajak?

C. Tujuan

1. Mengetahui penggolongan jenis pajak.

2. Mengetahui sistem pemungutan pajak.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Penggolongan Jenis Pajak

Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga kategori, antara lain:

1. Berdasarkan pihak yang menanggung

a. Pajak langsung, yaitu pajak yang pembayarannya harus ditanggung sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain, serta dikenakan secara berulang-ulang dalam jangka waktu tertentu. Pajak langsung dikenakan kepada wajib pajak setelah terbitnya surat pemberitahuan/SPT pajak.

Contohnya, Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Bumi dan/atau Bangunan (PBB), Pajak Penerangan Jalan, dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB).

b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pembayarannya dapat dialihkan kepada pihak lain dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu saja/terjadi suatu peristiwa kena pajak.

Contohnya, Pajak Penjualan (PPn), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Materai, dan Cukai.

Penggolongan pajak langsung dan pajak tidak langsung dapat ditinjau dari:

a. Administrasi pemungutan

Disebut sebagai pajak langsung, karena administrasi pemungutannya dilakukan secara periodik, dalam hal ini setahun sekali, dan tahun tersebut adalah tahun pajak atau tahun takwin. Yang termasuk pajak langsung antara lain:

Pajak Penghasilan (PPh)

Pajak Bumi dan/atau Bangunan

Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)

Pajak Radio

Disebut sebagai pajak tidak langsung karena administrasi pemungutannya tidak dilakukan secara periodik. Yang termasuk pajak tidak langsung antara lain:

Pajak Pertambahan Nilai

Pajak Penjualan atas Barang Mewah

Bea Materai

Bea Masuk

Cukai

Pajak tontonan dan keramaian umum

b. Pembebanan

Sifat pajak langsung ditinjau dari pembebanan pajak adalah bahwa beban pajaknya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak ketiga.

Sebaliknya, sifat pajak tidak langsung, bahwa beban pajaknya dapat dilimpahkan kepada pihak lain, dalam hal ini konsumen melalui penambahan pajak pada harga jual.

2. Berdasarkan sifatnya

a. Pajak subjektif, yaitu pengenaan pajak dengan pertama-tama memperhatikan keadaan pribadi wajib pajak (subjeknya). Setelah diketahui keadaan subjeknya barulah diperhatikan keadaan objeknya sesuai gaya pikul apakah dapat dikenakan pajak atau tidak. Keadaan pribadi wajib pajak (gaya pikul) sangat mempengaruhi jumlah pajak yang terutang. Misalnya, perhitungan Pajak Penghasilan (PPh), jumlah tanggungan dapat mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar.

Jenis-jenis pajak yang tergolong pajak subjektif:

Pajak Penghasilan

Pajak Kekayaan

Berikut pembagian pajak subjektif.

Subjek Pajak Dalam Negeri, yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.

Subjek Pajak Luar Negeri, yaitu orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

b. Pajak objektif, yaitu pengenaan pajak dengan pertama-tama memperhatikan/melihat objeknya, baik berupa benda, keadaan, perbuatan, atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak. Setelah diketahui objeknya, barulah dicari subjeknya yang mempunyai hubungan hukum dengan objek yang telah diketahui. Misalnya, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak memperhitungkan apakah wajib pajak tersebut memiliki tanggungan atau tidak.

3. Berdasarkan pihak yang memungut pajak

a. Pajak pusat, yaitu pajak-pajak yang dipungut dan dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, guna membiayai rumah tangga pemerintah pusat, dan tercantum di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Besaran pajak pusat ditetapkan melalui undang-undang dan PP/Perpu. Adapun pajak-pajak pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi:

1) Pajak Penghasilan (PPh)

PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian, maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya.

Pelaksanaan PPh di Indonesia dimulai tahun 1984 melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 yang telah mengalami pereubahan dan tambahan terakhir dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008. UU No. 7 Tahun 1983 merupakan pengganti dan dua ketentuan undang-undang yakni Ordonansi Pajak Pendapatan dan Ordonansi Pajak Perseroan.

2) Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang PPN.

Perkembangan PPN di Indonesia dimulai dari:

c. Pajak Peeredaran yang diberlakukan tahun 1950.

d. Pajak Penjualan 1951 yang berdasarkan UU Darurat No. 19 Tahun 1951 dan dikukuhkan dengan UU No. 35 Tahun 1953.

e. Yang terakhir dengan UU No. 8 Tahun 1983 yang telahh mengalami perubahan dan tambahan terakhir dengan UU No. 18 Tahun 2000.

3) Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPnBM untuk mengurangi efek regresivitas PN. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah:

Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau

Barang tersebut dikonsumi oleh masyarakat tertentu; atau

Ada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau

Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau

Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.

4) Bea Materai

Pengenaan Bea Materai berdasarkan pada Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2000. Bea Materai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal di atas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.

b. Pajak daerah adalah pajak-pajak yang dipungut dan dikelola oleh Pemerintah Daerah, yaitu Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda), baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, yang digunakan untuk membiayai rumah tangga pemerintah daerah, dan tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Besaran dan bentuk-bentuk pajak daerah ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda). Sesuai UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD yang dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda), antara lain:

1) Pajak Provinsi

Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;

Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;

Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; dan

Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.

2) Pajak Kabupaten/Kota

Pajak Hotel,

Pajak Restoran,

Pajak Hiburan,

Pajak Reklame,

Pajak Penerangan Jalan,

Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C,

Pajak Parkir,

Retribusi Daerah,

Retribusi Jasa Umum,

Retribusi Jasa Usaha, dan

Retribusi Perizinan Tertentu.

3) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2000. BPHTP adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah, baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.

B. Sistem Pemungutan Pajak

Negara menentukan sistem pemungutan pajak yang akan digunakan atau diterapkan dalam melakukan pemungutan pajak. Hal ini disesuaikan dengan situasi dan kondisi negara dengan tidak mengabaikan kewajiban dan hak wajib pajak dalam berperan serta di bidang pembiayaan pengelolaan negara.

Tata cara pemungutan pajak dapat beraneka ragam, tergantung dari sistem pemungutan pajak yang digunakan. Sistem pemungutan pajak hanya bergantung pada kehendak negara untuk menerapkannya dalam setiap Undang-Undang Pajak, sepanjang masih dimungkinkan berdasarkan substansi hukum yang responsif.

1. Sistem Official Assessment

Dalam sistem official assessment, terdapat campur tnagan pejabat pajak dalam penentuan pajak yang terutang bagi wajib pajak. Yaitu berupa keterlibatan pejabat pajak dalam menertibkan ketetapan pajak yang berisikan utang pajak dan bahkan dapat memuat sanksi hukum. Pajak yang terutang dalam ketetapan pajak merupakan inisiatif dari pejabat pajak, berdasarkan objek pajak yang diterima, dimiliki, atau dimanfaatkan oleh wajib pajak.

Singkatnya, sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang.

Ciri-ciri sistem official assessment:

a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus.

b. Wajib pajak bersifat pasif

c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.

Dalam sistem ini, wajib pajak bersifat pasif menunggu ketetapan hukum dari aparat pajak atau pemungut pajak. Utang pajak baru timbul jika sudah ada Surat Ketetapan Pajak (SKP) dari aparatur pajak.

Kelemahan sistem official assessment:

a. Sulit untuk dapat memperkirakan jumlah pendapatan, kekayaan dan laba suatu perusahaan yang mendekati dengan kenyataan. Oleh karena itu ada kaitannya ketetapan sementara itu terlalu rendah atau terlalu tinggi.

b. Akibat dari ketetapan sementara yang terlalu rendah, maka akan memberatkan wajib pajak dalam membayar ketetapan rampungnya, karena ketetapan rampungnya jauh lebih besar daripada ketetapan sementaranya, sebaliknya kalau ketetapan tersebut terlalu tinggi maka akan memberatkan wajib pajak dalam mengangsur ketetapan sementara tersebut.

c. Angsuran bulanan atas ketetapan sementara itu sama besarnya, sehingga mungkin tidak selalu sesuai dengan tersedianya likuiditas wajib pajak, lebih-lebih mengingat ketentuan pembayarannya yang harus dibayar pada setiap tanggal 15 dari bulan-bulan berikutnya setelah bulan dimana surat ketetapan sementara diberikan.

d. Atas ketetapan sementara ini wajib pajak tidak dapat mengajukan keberatan, tetapi dengan syarat-syarat tertentu, fiskus dapat memberikan penundaan pembayaran dari (sebagian) ketetapan pajak sementara. Penundaan pembayaran ini dalam hal wajib pajak mengajukan bukti-bukti bahwa ketetapan pajak sementara terlalu tinggi, pada dasarnya suatu kebijaksanaan penagihan yang mengandung unsur subyektif.

e. Ketetapan sementara itu merupakan pekerjaan massal, karena harus diselesaikan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, disebabkan sisa waktu dalam tahun yang berjalan harus digunakan untuk melakukan penetapan rampung. Hal ini mengakibatkan pekerjaan kurang teliti, apa lagi mengingat jumlah aparatur pajak yang masih kurang.

f. Ada kalanya penetapan Pajak Rampung harus dilakukan dengan cara kompromi, yang memungkinkan adanya exces negatif, yakni tawar-menawar. Kompromi tersebut dilakukan dalam hal wajib pajak tidak melakukan pemberitahuan yang benar, sedangkan administrasi pajak sendiri tidak memiliki bahan bahan yang lengkap untuk memungkinkan penetapan Pajak Rampung dilakukan secara tepat.

g. Para wajib pajak baru diwajibkan membayar pajak, bilamana kepada mereka telah diberikan Surat Ketetapan Pajak. Surat Ketetapan Pajak itu baru dapat dikenakan bilamana wajib pajak telah terdaftar pada tata usaha kantor pajak. Akibatnya, yang tidak terdaftar berarti lolos dari pembayaran pajak.

Undang-Undang PBB merupakan contoh penerapan sistem official assessment di Indonesia, yang memberi kepercayaan kepada pejabat pajak untuk menentukan besarnya pajak yang wajib dibayar lunas oleh wajib pajak terhadap objek pajak bumi dan/atau bangungan yang dimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkannya.

2. Sistem Self Assessment

Berdasarkan sistem self assessment, wajib pajak memiliki hak yang tidak boleh diintervensi oleh pejabat pajak. Pejabat pajak hanya bersifat pasif dan wajib pajak bersifat aktif. Keaktifan wajib pajak adalah untuk menghitung, memperhitungkan, melaporkan, dan menyetor jumlah pajak yang terutang. Pejabat pajak tidak terlibat dalam pennentuan jumlah pajak yang terutan sebagai beban yang dipikul oleh wajib pajak, melainkan hanya mengarahkan cara (memberikan bimbingan) bagaimana wajib pajak memenuhi kewajiban dan menjalankan hak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan agar tidak terjadi pelanggaran hukum.

Fiskus tidak ikut campur tangan dalam penentuan besarnya pajak yang terhutang kecuali wajib pajak melanggar ketentuan undang-undang perpajakan, maka yang bersangkutan dikenakan sanksi administrasi ( bunga, denda, atau kenaikan ) atau sanksi pidana sebagai ditentukan dalam Pasal 28 atau 29 Undang-Undang KUHP.

Ciri-ciri sistem self assessment:

a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri.

b. Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, memperhitungkan, melapor, dan menyetorkan sendiri pajak yang terutang.

c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

3. Sistem Semi Self Assessment

Menurut sistem semi self assessment, terdapat kerja sama antara wajib pajak dan pejabat pajak untuk menentukan jumlah pajak yang wajib dibayar lunas oleh wajib pajak kepada negara. Pada awal tahun pajak, wajib pajak menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang untuk tahun berjalan sebagai angsuran yang disetor sendiri. Kemudian pada akhir tahun pajak, ditentukan kembali oleh pejabat pajak jumlah pajak yang sebenarnya, berdasarkan data yang disampaikan oleh wajib pajak. Pejabat pajak, dalam hal ini, bertindak sebagai pengawas terhadap wajib pajak untuk menilai sejauh mana kejujuran wajib pajak dalam melaporkan jumlah pajak yang terutang.

Sistem ini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi dalam penerapannya, bahkan dapat menimbulkan kompromi pajak antara wajib pajak dan pejabat pajak pada akhir tahun pajak sehingga akan beresiko tinggi pada penerimaan negara.

4. Sistem With Holding

Sistem with holding memberi kepercayaan kepada pihak ketiga untuk melakukan pemungutan pajak atas objek pajak yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. Pihak ketiga bukanlah fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan. Pihak ketiga ditempatkan sebagai pihak yang berwenang untuk memotong atau memungut pajak tertentu dan menyetor serta melaporkan kepada pejabat pajak. Pejabat pajak hanya berwenang melakukan kontrol atau pengawasan terhadap pelaksanaan pemotongan atau pemungutan pajak sampai kepada pelaporan pajak yang telah ditentukan.

Pemotong atau pemungut pajak tidak boleh melakukan pelanggaran hukum dalam melakukan pemotongan atau pemungutan pajak, termasuk dalam melakukan pelaporan pajak yang dipotong atau dipungut kepada pejabat pajak.

Penerapan sistem with holding dalam Undang-Undang Pajak dapat dilihat pada ketentuan Pajak Penghasilan Pasal 21 serta dalam Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Materai, Bea Masuk, dan Cukai.

Ciri-ciri sistem with holding yaitu wewenang dalam menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga (pihak selain fiskus dan wajib pajak).

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpuan

Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa sesuai dengan wewenang pemungutannya, pajak digolongkan menjadi pajak pusat dan pajak daerah. Sedangkan secara teknis, pajak dibagi menjadi dua golongan, yaitu pajak langsung dan pajak tidak langsung. Penggolongan pajak langsung dan pajak tidak langsung dapat ditinjau dari administrasi pemungutan dan pembenanan. Berdasarkan sifatnya pajak digolongkan menjadi pajak subjektif dan pajak objektif.

Pada dasarnya sistem pemungutan pajak terdiri dari official assessment (penetapan pajak oleh aparat pajak), self assessment (pemenuhan kewajiban pajak oleh wajib pajak sendiri), semi self assessment, dan with holding (penetapan besarnya pajak dilakukan atas bantuan pihak lain).

C. Saran

Dari penjelasan di atas, diharapkan masayarakat dapat melaksanakan tugasnya masing-masing dengan baik dalam rangka pemungutan pajak, wajib pajak membayar dengan tertib dan fiskus mengurus pemungutan dengan tepat. Dengan berlakunya sistem pemungutan pajak self assesment di Indonesia (pada sebagian besar jenis pajak) saat ini, semoga wajib pajak dapat berperan semakin aktif dan jujur serta memahami tata cara dalam pembayaran pajak, sehingga penerimaan negara dari pajak dapat dimaksimalkan.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini banyak terdapat kekurangan. Kami selaku penulis makalah meminta maaf serta mohon kritik dan saran yang sifatnya membangun demi terciptanya sebuah makalah yang lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

---. Penggolongan Pajak dan Sistem Pemungutan Pajak. http://kabarpajak.blogspot.com/, diakses pada Kamis, 30 Oktober 2014, pukul 18.37 WIB.

Bagus, I Gede. Penggolongan dan Jenis Pajak. http://kuliahpajakub.blogspot.com/, diakses pada Kamis, 30 Oktober 2014, pukul 18.45 WIB

Brotodihardjo, Santoso. 2004. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: Refika Aditama

Edhi, Djaka Saranita S. 2003. Dasar Dasar Perpajakan di Indonesia. Jakarta : BPPK

Mardiasmo. 2011. Perpajakan. Yogyakarta: CV. Andi Offset

Nainngolan, Pahala. 2004. Perpajakan untuk Yayasan dan Lembaga Nirlaba Sejenis. Jakarta: CV. Teruna Grafica

Zulvina, Susi. 2011. Pengantar Hukum Pajak. Jakarta.

1