Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Perdarahan SCBA
2.1.1. Definisi Perdarahan SCBA
Perdarahan SCBA adalah hilangnya darah dari saluran cerna atas yang secara
anatomis terletak di atas ligamentum Treitz, yaitu esofagus, gaster hingga
duodenum bagian horizontal (PGI, 2012; Taylor dkk, 2014). Ada pun manifestasi
klinis yang timbul dari perdarahan SCBA adalah hematemesis, keluarnya darah
atau pun bekuan darah dari nasogastric tube, dan/atau melena, serta dapat pula
berupa hematoskezia bila terjadi perdarahan SCBA yang massif dan cepat (PGI,
2012; ASGE, 2012).
2.1.2. Epidemiologi Perdarahan SCBA
Sebagian besar perdarahan saluran cerna disebabkan oleh perdarahan SCBA,
yaitu sekitar 65-80% (Zuckerman, 2000). Perdarahan SCBA disebutkan sebagai
salah satu kegawatdaruratan di bidang gastroenterologi dan menjadi penyebab
kunjungan tersering di ruang gawat darurat (Taylor dkk, 2014). Angka kejadian
perdarahan SCBA selama beberapa dekade terakhir ini tidak mengalami perubahan,
meskipun telah ada kemajuan dalam hal pengelolaan dan terapi perdarahan SCBA.
Hal ini diperkirakan sangat berkaitan dengan penggunaan aspirin dan obat-obatan
anti inflamasi nonsteroid yang semakin sering digunakan pada praktek klinik
sehari-hari (Maduseno, 2011; Robinson dkk, 2012).
9
Insiden perdarahan SCBA berbeda-beda di setiap negara. Di Belanda insiden
perdarahan SCBA adalah sebesar 37 per 100 ribu populasi dewasa (Jansen dkk,
2011; Schiefer dkk, 2012), di Denmark sekitar 48 ribu per 100 ribu populasi dewasa
(Yavorski dkk, 1995), di Amerika dan di Inggris adalah sebesar 150-172 per 100
ribu populasi dewasa (Leerdam dkk, 2003). Data mengenai insiden perdarahan
SCBA pada populasi yang sebenarnya di Indonesia masih belum diketahui secara
pasti, namun diperkirakan sekitar 46-150 per 100 ribu populasi dewasa (PGI, 2012).
Sebagian besar perdarahan SCBA dapat berhenti dengan sendirinya, dan
hanya sekitar 10% yang memerlukan tindakan khusus berupa endoskopi terapeutik
atau pun pembedahan (Augustin dkk, 2010; Biecker, 2013). Meskipun hanya 10%
kasus yang memerlukan penatalaksanaan khusus, namun biaya kesehatan yang
diperlukan untuk penatalaksanaan kasus tersebut dan penatalaksanaan komplikasi
terkait kasus tersebut masih tetap tinggi. Adapun biaya kesehatan yang dibutuhkan
untuk penatalaksanaan kasus ini adalah sebesar 3402-5632 US dollar (Cremers dan
Ribeiro, 2014).
Komplikasi yang dapat timbul terkait perdarahan SCBA adalah kematian dan
perdarahan ulang (Ramaekers dkk, 2016). Angka kematian terkait perdarahan
SCBA hingga saat ini masih cukup tinggi, yaitu 10-20%, namun hal ini sudah jauh
lebih baik dibandingkan sebelum tahun 1995, yaitu sebesar 33-50%. Kejadian
perdarahan ulang pada perdarahan SCBA adalah sebesar 5-15% (Leerdam, 2008;
El-Tawil, 2012). Berdasarkan penelitian Robinson dkk (2012), komplikasi
kematian terkait perdarahan SCBA adalah sebesar 23-35%, sedangkan komplikasi
10
berupa perdarahan ulang dan kematian pada perdarahan SCBA didapatkan nilai
yang jauh lebih tinggi, yaitu sekitar 60-65%.
2.1.3. Etiologi dan Faktor Risiko Perdarahan SCBA
Umumnya perdarahan SCBA dapat dikelompokkan menjadi 2 penyebab,
yaitu perdarahan variseal dan non variseal. Perdarahan variseal merupakan
perdarahan yang timbul akibat pecahnya varises esofagus, gaster dan hypertensive
portal gastropathy sebagai akibat hipertensi portal (Taylor dkk, 2014). Sekitar 60-
65% dari perdarahan SCBA pada sirosis hati disebabkan oleh perdarahan variseal.
Ada pun dua pertiga (sekitar 65%) dari perdarahan variseal disebabkan oleh
pecahnya varises esofagus, sedangkan hypertensive portal gastropathy sebesar
15% dan pecahnya varises gaster hanya berkisar 5-10% (Berzigotti dkk, 2001; Tsao
dkk, 2007; Biecker, 2013). Perdarahan non variseal merupakan perdarahan SCBA
yang bukan disebabkan oleh pecahnya varises esofagus, gaster maupun
hypertensive portal gastropathy. Penyebab-penyebab perdarahan SCBA adalah
ulkus peptikum, gastritis erosif, robekan Mallory-Weis, keganasan pada SCBA,
esofagitis, dan malformasi vaskuler (BSG, 2002).
Penyebab perdarahan SCBA di negara-negara Barat sebagian besar
disebabkan oleh perdarahan non variseal, yaitu ulkus peptikum. Ada pun insiden
ulkus peptikum sebagai penyebab perdarahan SCBA adalah sebesar 63%
(Tielleman dkk, 2015). Penyebab perdarahan SCBA di Indonesia umumnya lebih
banyak disebabkan oleh perdarahan variseal, yaitu sekitar 50-60% dari seluruh
kasus perdarahan SCBA (Djumhana, 2011; PGI, 2012).
11
Terdapat beberapa faktor risiko yang turut berperan dalam pathogenesis
perdarahan SCBA. Faktor risiko perdarahan SCBA akibat perdarahan variseal lebih
berkaitan dengan tingginya tekanan vena portal yang terjadi, hal ini seiring dengan
beratnya derajat sirosis hati dan besar ukuran varises (Tsao dkk, 2007; Waleleng
dkk, 2015). Gangguan fungsi ginjal dan infeksi disebutkan dapat menjadi pencetus
untuk terjadinya perburukan dari hipertensi portal yang telah ada (Tsao dkk, 2007;
Crooks, 2013). Faktor risiko yang berkaitan dengan perdarahan non variseal adalah
infeksi Helicobacter pylori, obat-obatan anti inflamasi nonsteroid, obat anti
agregasi platelet, dan usia lanjut (PGI, 2012; Tielleman dkk, 2015). Selain faktor-
faktor tersebut, beberapa penelitian menyebutkan pula bahwa konsumsi alkohol
berlebih; merokok; dan penyakit-penyakit komorbid seperti gangguan ginjal,
penyakit jantung koroner, dan diabetes mellitus meningkatkan risiko timbulnya
perdarahan non variseal (Crooks, 2013).
2.1.4. Patogenesis Perdarahan SCBA
2.1.4.1. Perdarahan Variseal
Umumnya terdapat 2 teori yang menjelaskan tentang timbulnya perdarahan
SCBA akibat perdarahan variseal, yaitu teori erosi dan teori eksplosif. Pada teori
erosi disebutkan bahwa perdarahan variseal timbul sebagai akibat trauma eksternal
yang menyebabkan erosi pada pembuluh darah varises yang berdinding tipis dan
rapuh. Faktor trauma eksternal yang menjadi penyebab perdarahan variseal adalah
adanya esofagitis dan makanan solid yang dapat mengakibatkan iritasi dan erosi
pada dinding pembuluh darah varises. Teori eksplosif menyebutkan bahwa
12
perdarahan variseal lebih disebabkan oleh perburukkan hipertensi portal yang telah
ada sehingga meningkatkan tekanan hidrostatik pada pembuluh darah yang
mengalami varises. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan ukuran varises dan
menurunnya ketebalan dinding pembuluh darah sehingga daya regang pembuluh
darah pun menurun (Berzigotti dkk, 2001).
Gambar 2.1. Hipotesis Mekanisme Perdarahan Variseal (Berzigotti dkk, 2001).
Penelitian-penelitian yang ada telah mendukung teori eksplosif untuk
menjelaskan perdarahan variseal. Semakin tinggi gradient tekanan portal maka
akan memberikan risiko yang lebih tinggi pula untuk terjadinya perdarahan variseal
dan dapat mempersulit dalam penatalaksanaan perdarahan yang terjadi. Sebagian
besar perdarahan variseal akan timbul bila gradien tekanan portal >12mmHg.
Sebaliknya bila gradien tekanan portal dapat diturunkan menjadi <12mmHg, maka
perdarahan variseal tidak akan terjadi. Selain itu, penurunan gradien tekanan portal
>20% dari gradien tekanan portal awal dapat menurunkan risiko terjadinya
perdarahan ulang (Berzigotti dkk, 2001; Waleleng dkk, 2015).
13
2.1.4.2. Perdarahan Non Variseal
Lumen gaster memiliki pH yang asam. Kondisi ini berkontribusi dalam
proses pencernaan tetapi juga berpotensi merusak mukosa gaster. Beberapa
mekanisme telah terlibat untuk melindungi mukosa gaster. Musin yang disekresi
sel-sel foveola gastrica membentuk suatu lapisan tipis yang mencegah partikel
makanan besar menempel secara langsung pada lapisan epitel. Lapisan mukosa
juga mendasari pembentukan lapisan musin stabil pada permukaan epitel yang
melindungi mukosa dari paparan langsung asam lambung, selain itu memiliki pH
netral sebagai hasil sekresi ion bikarbonat sel-sel epitel permukaan. Suplai vaskular
ke mukosa gaster selain mengantarkan oksigen, bikarbonat, dan nutrisi juga
berfungsi untuk mengencerkan asam yang berdifusi ke lamina propia. Gastritis akut
atau kronik dapat terjadi dengan adanya gangguan pada mekanisme-mekanisme
protektif tersebut (Turner, 2010).
Gambar 2.2. Patogenesis Perdarahan Saluran Cerna bagian Atas (Turner, 2010).
Pembentukan musin pada usia lanjut akan mengalami penurunan, sehingga
lebih rentan terkena gastritis dan perdarahan saluran cerna (Turner, 2010). Obat anti
inflamasi nonsteroid dan obat anti agregasi platelet dapat mempengaruhi proteksi
sel (sitoproteksi) yang umumnya dibentuk oleh prostaglandin atau mengurangi
14
sekresi bikarbonat yang menyebabkan meningkatnya perlukaan mukosa gaster
(Soll dan Graham, 2015).
Infeksi Helicobacter pylori yang predominan di antrum akan meningkatkan
sekresi asam lambung, peningkatan keasaman pada duodenum, dan kerusakan
mukosa hingga terjadi ulkus duodenum. Sekresi gastrin akan meningkat, baik pada
sekresi basal mau pun sekresi yang dirangsang oleh makanan, sedangkan sekresi
somatostatin oleh sel D akan menurun. Peningkatan asam lambung dapat pula
timbul akibat efek sitokin-sitokin proinflamasi, seperti interleukin-1 (IL-1), IL-8
dan tumor necrosis factor (TNF), pada sel-sel parietal, sel G, dan sel D (Valle,
2013).
Perlukaan sel secara langsung juga dapat disebabkan konsumsi alkohol yang
berlebih. Alkohol merangsang sekresi asam lambung sehingga menyebabkan
perlukaan mukosa saluran cerna (Soll dan Graham, 2015). Pada terapi radiasi dan
kemoterapi menyebabkan kerusakan mukosa menyeluruh karena hilangnya
kemampuan regenerasi sel (Turner, 2010).
2.1.5. Manifestasi Klinis Perdarahan SCBA
Manifestasi klinis perdarahan SCBA, baik pada perdarahan variseal dan non
variseal, umumnya berupa hematemesis dan/atau melena. Hematemesis merupakan
muntah darah yang berwarna merah atau kehitaman. Muntah darah berwarna
kehitaman disebabkan oleh konversi hemoglobin menjadi hematin akibat adanya
paparan asam lambung terhadap darah (Laine, 2005). Melena menggambarkan
feses berwarna hitam yang mengandung darah akibat proses pencernaan. Feses
15
biasanya berwarna hitam seperti ter, berbau busuk, dan lengket (Bogoch, 1985;
Laine, 2005).
Perubahan warna feses menjadi hitam sangat dipengaruhi oleh lokasi
perdarahan, jumlah dan laju perdarahan, serta kecepatan transit di usus. Terkait
dengan kecepatan transit di usus maka melena menginformasikan bahwa darah
telah berada dalam saluran cerna selama minimal 14 jam. Selain berwarna hitam
sebagai melena, perdarahan SCBA dapat pula bermanifestasi sebagai
hematoskezia, yaitu feses yang berwarna merah segar karena mengandung darah.
Hematoskezia umumnya merupakan manifestasi klinis perdarahan saluran cerna
bagian bawah, namun jika perdarahan SCBA disertai dengan hematoskezia maka
menandakan bahwa telah terjadi perdarahan SCBA yang masif (Laine, 2005).
Pada perdarahan SCBA akibat perdarahan variseal umumnya akan dijumpai
pula tanda-tanda sirosis hati/penyakit hati kronik berupa ginekomastia, spider nevi,
splenomegali, ascites, eritema palmaris, dan/tanpa ensefalopati hepatik (Djumhana
dkk, 1998; Laney dan Greene, 2015; Rockey dkk, 2016). Gejala lain yang dapat
dijumpai pada perdarahan SCBA non variseal adalah rasa pusing, kepala terasa
ringan dan lemas. Keluhan berupa lemas, pusing dan kepala terasa ringan timbul
akibat anemia yang telah terjadi (Simon dkk, 2015).
2.1.6. Pendekatan Diagnosis Perdarahan SCBA
Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan bagian dari pendekatan
diagnosis pada perdarahan SCBA. Tujuan dari tindakan tersebut adalah untuk
mencari manifestasi klinis, faktor risiko, komorbiditas, dan penilaian berat-
16
ringannya perdarahan yang terjadi, serta memperkirakan penyebab perdarahan
SCBA, yaitu variseal ataukah non variseal (Adi, 2014). Berat-ringannya perdarahan
SCBA, berdasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat disesuaikan
dengan klasifikasi hipovolemia akibat perdarahan (Basket, 1990).
Tabel 2.1. Klasifikasi hipovolemia akibat perdarahan pada pasien dewasa (Basket,
1990).
Aspek Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Volume
perdarahan
(ml)
<750 750-1500 1500-2000 >2000
Jumlah
perdarahan
(%)
0-15 15-30 30-40 >40
Tekanan
sistolik
Tetap Normal Turun Sangat turun
Tekanan
diastolic
Tetap Naik Turun Tidak
terdengar
Nadi per
menit
Meningkat 100-120 120 (lemah) >120 (sangat
lemah)
Laju nafas
per menit
Normal Normal Naik >20 Naik >20
Status
mental
Sadar, haus Gelisah,
agresif
Agresif/mengantuk Bingung/tidak
sadar
Pemasangan nasogastric tube merupakan tindakan medis yang dapat
membantu untuk mengkonfirmasi adanya perdarahan SCBA. Selain itu beberapa
manfaat dari pemasangan nasogastric tube adalah memperkirakan jumlah
perdarahan, mempersiapkan lapang pandang yang bersih untuk tindakan endoskopi,
mencegah aspirasi isi lambung ke jalan nafas, dan mengurangi beban amoniak
pencetus ensefalopati hepatik pada perdarahan variseal dengan sirosis hati. Ada pun
komplikasi yang dapat timbul akibat pemasangan nasogastric tube adalah
epistaksis dan erosi pada gaster (Chalasani dkk, 1997; Sarin dkk, 2011).
17
Pemeriksaan laboratorium merupakan pemeriksaan penunjang yang dapat
digunakan untuk membantu menilai berat-ringannya perdarahan SCBA.
Pemeriksaan laboratorium tersebut antara lain adalah pemeriksaan darah lengkap,
creatinine serum, blood urea nitrogen, enzim transaminase hati, faal hemostasis,
dan asam laktat (Taylor dkk, 2014; Simon dkk, 2015; Laney dan Greene, 2015).
Pemeriksaan endoskopi merupakan pemeriksaan pilihan utama pada
perdarahan SCBA. Pemeriksaan ini disebutkan sebagai baku emas untuk penegakan
diagnosis perdarahan SCBA, namun ada pun keunggulan dari pemeriksaan ini
adalah dapat memberikan visualisasi secara langsung lokasi dan penyebab
perdarahan serta aktivitas dari perdarahan tersebut. Selain itu, endoskopi dapat pula
menjadi terapi intervensi pilihan dalam penatalaksanaan perdarahan SCBA. Ada
pun waktu yang disarankan untuk melakukan pemeriksaan tersebut adalah dalam
24 jam setelah didapatkan adanya manifestasi perdarahan SCBA, sedangkan pada
kondisi terjadi instabilitas hemodinamik akibat perdarahan masif maka
pemeriksaan tersebut sebaiknya dilakukan segera setelah resusitasi (Sung dkk,
2011; NICE, 2012; ASGE, 2012; Gralnek dkk, 2015).
Temuan endoskopi pada perdarahan SCBA, khususnya perdarahan non
variseal, dapat diklasifikasikan dengan kriteria Forrest. Kriteria tersebut dapat
digunakan untuk menilai risiko perdarahan ulang pada perdarahan SCBA. Selain
itu, penggunaan klasifikasi tersebut dapat menjadi petunjuk pilihan terapi yang
diperlukan untuk penatalaksanaan perdarahan SCBA (PGI, 2012; Laine dan Jensen,
2012).
18
Tabel 2.2. Klasifikasi Perdarahan SCBA Berdasarkan Kriteria Forrest (PGI, 2012;
Laine dan Jensen, 2012).
Temuan Endoskopi Klasifikasi Forrest Risiko Perdarahan Ulang
Ulkus dengan perdarahan
aktif menyemprot
IA 85-100%
Ulkus dengan perdarahan
merembes
IB 10-27%
Ulkus dengan pembuluh
darah visibel namun tidak
berdarah
IIA 50%
Ulkus dengan bekuan
adheren
IIB 30-35%
Ulkus dengan bintik
pigmentasi dasar
IIC <8%
Ulkus berdasar bersih III <3%
2.1.7. Penatalaksanaan Perdarahan SCBA
Tujuan utama pengelolaan perdarahan SCBA adalah stabilisasi hemodinamik,
menghentikan perdarahan, mencegah perdarahan ulang dan menurunkan
mortalitas.
2.1.7.1. Penatalaksanaan Umum
Pada kondisi hemodinamik tidak stabil atau kondisi syok, maka resusitasi
cairan, baik cairan kristaloid atau pun koloid, harus segera diberikan. Cairan
kristaloid dengan akses perifer dapat diberikan pada perdarahan ringan sampai
sedang. Pada kondisi perdarahan berat, cairan koloid dapat digunakan setelah
pemberian cairan kristaloid sebanyak 1500-2000 ml terlebih dahulu, sembari
menunggu ketersediaan transfusi darah (Purnomo, 2010; Adi, 2016).
Pemasangan kateter vena sentral diperlukan pada keadaan syok yang
memerlukan pemantauan ketat dari cairan yang diberikan. Selain itu kateter vena
sentral diperlukan pula pada pasien usia lanjut dengan kondisi syok, pasien dengan
19
gagal ginjal kronik dan pasien dengan penyakit jantung, sehingga resusitasi cairan
dapat diberikan secara optimal (Cappel, 2008; Albeldawi, 2010). Target resusitasi
adalah hemodinamik stabil, produksi urin cukup (>30 ml/jam), tekanan vena sentral
5-10 cmH2O, kadar Hb tercapai, yaitu 8 gr/dL pada perdarahan variseal dan 7-9
gr/dL pada perdarahan non variseal (Purnomo, 2010; Nusi dan Vidyani, 2016).
Pemberian oksigen diperlukan terutama pada pasien usia lanjut dan pasien
dengan penyakit jantung. Pada pasien yang menggunakan antikoagulan maka
penggunaan antikoagulan tersebut harus dihentikan dan perlu dilakukan terapi
terhadap koagulopati yang terjadi. Pada pasien yang menggunakan antikoagulan
dan terdapat koagulopati dengan international normalized ratio (INR) >1,5
memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami perdarahan ulang (Albeldawi,
2010).
2.1.7.2. Penatalaksanaan Perdarahan Variseal
Terapi farmakologis yang dapat digunakan pada perdarahan variseal adalah
penggunaan obat-obatan vasoaktif. Jenis obat-obatan vasoaktif yang dapat
dipergunakan adalah somatostatin dan analognya, yaitu octreotide. Kedua jenis
obat tersebut akan menyebabkan vasokonstriksi splanknik secara selektif sehingga
menurunkan tekanan portal dan aliran darah portal. Selain itu, jenis obat vasoaktif
lainnya yang dapat digunakan sebagai terapi farmakologis pada perdarahan variseal
adalah vasopressin dan terlipresin. Penggunaan vasopresin umumnya
dikombinasikan dengan nitrogliserin untuk meningkatkan efektivitas vasopressin
menurunkan tekanan portal, namun penggunaan obat ini telah ditinggalkan karena
20
besarnya efek samping yang dapat menimbulkan iskemik hingga infark pada
miokardial dan mesenterium. Terlipresin kini telah banyak digunakan oleh negara-
negara di Eropa dengan dosis pemberian awal adalah 2mg intravena setiap 4 jam
selama 48 jam pertama dan dilanjutkan dengan dosis 1mg setiap 4 jam selama 72
jam selanjutnya (Bendtsen dkk, 2008).
Terapi endoskopi yang dapat dilakukan pada perdarahan variseal adalah
terapi ligasi dan skleroterapi. Terapi ligasi disebutkan memiliki efektivitas yang
lebih baik dibandingkan dengan skleroterapi dalam hal pencegahan perdarahan
ulang dan efek samping yang lebih sedikit pula. Hal tersebut ditunjukkan oleh
penelitian yang dilakukan Stiegmann dkk pada tahun 1992. Pada penelitian meta-
analisis pun menyebutkan bahwa terapi ligasi mampu mengontrol perdarahan lebih
baik serta angka kematian pun lebih rendah bila dibandingkan skleroterapi (Laine
dan Cook, 1995). Terapi endoskopi ini sebaiknya dilakukan dalam 12-24 jam
setelah didapatkan adanya manifestasi perdarahan variseal (Bendtsen dkk, 2008).
Tindakan pembedahan dapat pula menjadi pilihan untuk mengatasi
perdarahan variseal. Tindakan ini umumnya dilakukan setelah terapi endoskopi
gagal mengatasi perdarahan variseal. Ada pun rescue therapy perlu dilakukan
terlebih dahulu sebelum tindakan pembedahan dilaksanakan, agar tindakan
pembedahan tersebut dapat dipersiapkan lebih baik. Rescue therapy dilakukan
dengan pemasangan tamponade balon (Sengstaken Blakemore tube). Pemasangan
tamponade balon ini bersifat sementara, yaitu selama 24 jam, kemudian dilanjutkan
dengan terapi definitif, yaitu pembedahan atau pemasangan transjugular
intrahepatic portosystemic shunt (TIPS) (Savides dan Jensen, 2010).
21
2.1.7.3. Penatalaksanaan Perdarahan Non Variseal
Terapi farmakologis yang direkomendasikan oleh Asia-Pacific Working
Group untuk mengatasi perdarahan non variseal adalah penggunaan proton pump
inhibitor (PPI) dosis tinggi secara intravena. Tujuan penggunaan PPI ini adalah
untuk meningkatkan pH pada lambung hingga > 7, agar agregasi trombosit dapat
berlangsung optimal dan bekuan darah menjadi lebih stabil, tidak cepat terjadi
fibrinolisis (Maltz dkk, 2000). Berdasarkan meta-analisis didapatkan bahwa
penggunaan PPI sebelum atau pun sesudah endoskopi dapat menurunkan insiden
perdarahan ulang pada ulkus peptikum, kebutuhan transfusi darah, kebutuhan
endoskopi ulangan, terapi operasi, dan lama rawat di rumah sakit (Blecker, 2008;
Albeldawi, 2010).
Terdapat beberapa terapi endoskopi yang dapat menjadi pilihan dalam
penatalaksanaan perdarahan non variseal, yaitu penyuntikan adrenaline yang telah
diencerkan, termokoagulasi, dan hemoclip. Tindakan endoskopi ini sebaiknya
dilakukan dalam 24 jam setelah didapatkan adanya manifestasi klinis perdarahan
SCBA dengan Forrest I dan Forrest IIA (Sung dkk, 2011; ASGE, 2012; Gralnek
dkk, 2015). Teknik injeksi adrenaline yang telah diencerkan bertujuan agar terjadi
vasokonstriksi dan penekanan lokal pada sumber perdarahan sehingga perdarahan
tersebut dapat berhenti (Gralnek dkk, 2015). Termokoagulasi yang umumnya
dilakukan adalah menggunakan penyinaran laser atau koagulasi argon plasma (Adi,
2014). Teknik hemoclip ditujukan langsung pada area yang mengalami perdarahan
dengan tujuan koagulasi dapat tercapai melalui penekanan mekanis. Ada pun
kesulitan dari teknik ini adalah lapang pandang yang tertutup darah sehingga sulit
22
untuk menentukan lokasi perdarahan, lokasi ulkus yang sulit dijangkau, dan dasar
ulkus yang keras akibat fibrosis (Gralnek dkk, 2015).
Terapi pembedahan dapat dipertimbangkan pada kasus perdarahan non
variseal bila terapi endoskopi gagal menghentikan perdarahan tersebut, terjadi
perdarahan ulang dengan adanya kondisi hemodinamik yang tidak stabil, ulkus
yang besar dengan ukuran lebih dari 2 cm dengan lokasi perdarahan ulkus peptikum
pada dinding posterior duodenum, dan telah terjadi perforasi (Savides dan Jensen,
2010; Wee, 2011). Selain terapi pembedahan, dapat pula dilakukan intervensi
radiologi berupa selektif angiografi yang disertai embolisasi hemostasis coil.
Tingkat keberhasilan tindakan tersebut sangat bergantung dengan tingkat keahlian,
ketrampilan, dan pengalaman pelaksana. Ada pun tingkat mortalitas dari tindakan
intervensi radiologi disebutkan lebih kecil dibandingkan terapi pembedahan (Laney
dan Greene, 2015).
23
Gambar 2.3. Panduan pilihan terapi berdasarkan temuan endoskopi/kriteria
Forrest (PGI, 2012; Laney dan Jensen, 2012).
2.1.8. Komplikasi Perdarahan SCBA
Komplikasi perdarahan SCBA dapat timbul dalam beberapa jam hingga
beberapa hari setelah terjadi perdarahan, bahkan dapat pula timbul setelah beberapa
minggu setelah terjadinya perdarahan SCBA. Berdasarkan Ferguson dan Mitchell
(2005), komplikasi perdarahan SCBA dapat dibedakan menjadi komplikasi dini dan
komplikasi lambat. Komplikasi dini merupakan komplikasi yang timbul selama
perawatan di rumah sakit atau 5-7 hari setelah terjadinya perdarahan SCBA,
sedangkan komplikasi lambat adalah komplikasi yang timbul setelah keluar rumah
sakit atau 7 hari setelah terjadinya perdarahan SCBA (Ferguson dan Mitchell, 2005;
Maggio dkk, 2013).
Perdarahan aktif atau pembuluh darah
visibel tanpa perdarahan
(Forrest I-IIA)
Terapi endoskopi
Bekuan adheren (Forrest IIB)
Dapat dipertimbangkan terapi endoskopi
Bintik datar atau dasar bersih
(Forrest IIC-III)
PPI oral
Tanpa terapi endoskopi.
Pada kondisi klinis tertentu, dapat rawat
jalan
24
Komplikasi perdarahan SCBA dapat berupa perdarahan ulang dan kematian.
Tingkat kematian dan perdarahan ulang pada perdarahan SCBA sangat bergantung
pada penyebab perdarahan, yaitu variseal atau non variseal. Pada perdarahan
variseal risiko terjadi perdarahan ulang cukup tinggi, sekitar 60%, terutama pada 6
minggu pertama setelah perdarahan SCBA terjadi (Cremers dan Ribeiro, 2014).
Risiko perdarahan ulang pada perdarahan non variseal dengan klasifikasi Forrest
IIB, IIC dan III didapatkan lebih rendah bila dibandingkan perdarahan variseal,
yaitu sekitar 5-15% (Leerdam, 2007). Kematian dapat disebabkan oleh perdarahan
masif yang menimbulkan syok hipovolemik atau pun perburukan kondisi terkait
penyakit-penyakit komorbiditas yang ada pada pasien, seperti penyakit ginjal
kronik, penyakit jantung kongestif, dan kondisi infeksi (Cappel dkk, 2008;
Sonnenberg, 2012).
2.2. Stratifikasi Risiko Komplikasi
Stratifikasi risiko komplikasi bertujuan untuk mendeteksi lebih awal kelompok
pasien dengan perdarahan SCBA yang akan mengalami komplikasi, sehingga dapat
dilakukan intervensi dan penatalaksanaan yang lebih baik guna mencegah
timbulnya komplikasi tersebut. Umumnya stratifikasi risiko komplikasi
menggunakan sistem berbasis skor agar mudah untuk diaplikasikan. Menurut
Stanley (2012), sistem evaluasi berbasis skor untuk yang baik adalah mudah
dihitung, akurat dan relevan untuk menilai hasil yang diinginkan, dan dapat
digunakan pada awal manifestasi klinis, dalam hal ini sebelum dilakukan evaluasi
endoskopi.
25
Saat ini telah banyak sistem stratifikasi risiko komplikasi perdarahan SCBA
yang telah dikembangkan. Sistem-sistem stratifikasi tersebut umumnya dapat
dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu sistem stratifikasi risiko yang
menggunakan tindakan endoskopi dan sistem stratifikasi risiko yang tidak
menggunakan endoskopi. Ada pun sistem stratifikasi yang telah direkomendasikan
untuk mengevaluasi risiko komplikasi perdarahan SCBA adalah sistem GBS dan
Rockal score (NICE, 2011; PGI, 2012; ASGE, 2012; Gralnek dkk, 2015).
2.2.1. Sistem Stratifikasi Risiko Komplikasi Menggunakan Endoskopi
2.2.1.1. Rockall Score
Sistem stratifikasi ini diperkenalkan oleh Rockall dkk pada tahun 1997.
Sistem skor ini terdiri atas 2 bagian, yaitu pre-endoskopi yang dikenal dengan
clinical Rockall score dan post-endoskopi atau yang dikenal dengan full Rockal
score. Sistem stratifikasi ini menyebutkan semakin tinggi skor yang didapat, maka
risiko komplikasi berupa perdarahan ulang dan kematian pun semakin meningkat.
Skor <2 mengindikasikan kelompok dengan risiko rendah terjadinya komplikasi,
sedangkan kelompok yang berisiko tinggi adalah kelompok dengan total skor >8
(Bakhtavar dkk, 2016; Monteiro dkk, 2016).
26
Tabel 2.3. Rockal Skor (PGI, 2012).
Skor
Variabel
0 1 2 3
Usia <60 tahun 60-79 tahun >80 tahun
Syok Tidak ada
syok,
Tekanan
darah (TD)
>100, Nadi
<100
Takikardi, TD
>100, Nadi
>100
Hipotensi, TD
<100
Diagnosis
endoskopi
Robekan
Mallory-
Weiss, tidak
ada lesi, dan
tidak ada
stigmata
perdarahan
baru
Ulkus
peptikum,
esophagitis
atau penyakit
erosive
Keganasan
SCBA
Penyakit
komorbiditas
Tidak ada Gagal jantung
kongestif,
Penyakit
jantung
iskemik,
Penyakit
komorditas
mayor
lainnya
Gagal ginjal,
Gagal hati,
Penyakit
metastasis
Stigmata
endoskopi atau
perdarahan
baru
Ulkus dasar
bersih,
pigmentasi
rata
Darah dalam
SCBA,
perdarahan
aktif,
pembuluh
darah visibel
atau bekuan
yang
menempel
Total skor <2 memiliki risiko rendah untuk perdarahan ulang dan kematian, total
skor >8 risiko tinggi untuk perdarahan ulang dan kematian.
2.2.1.2. BBS (Baylor Bleeding Score)
Sistem skor ini pertama kali diperkenalkan oleh Saeed ZA dkk pada tahun
1993. Skor ini hanya digunakan untuk menilai risiko perdarahan ulang pada
27
perdarahan SCBA non variseal setelah tindakan terapi endoskopi. Ada pun
penilaian yang dilakukan pada sistem skor ini adalah penilaian pre-endoskopi dan
post-endoskopi. Kelompok yang dinilai berisiko tinggi untuk mengalami
komplikasi adalah kelompok dengan skor pre-endoskopi >6 dan total skor >11
setelah dijumlahkan dengan penilaian post-endoskopi (Stanley, 2012; Bakhtavar
dkk, 2016).
Tabel 2.4. Penilaian BBS (Bakhtavar dkk, 2016).
Aspek 1 2 3 4 5
Usia 30-49 50-59 60-69 >70
Jumlah
penyakit
1-2 3-4 >5
Derajat
berat
penyakit
Kronik Akut
Lokasi
perdarahan
Dinding
bulbus
posterior
Srigmata
perdarahan
Bekuan
darah
Pembuluh
darah
visibel
Perdarahan
aktif
Risiko tinggi terjadi perdarahan ulang bila skor pre-endoskopi >6 dan total skor
>11, risiko rendah bila skor pre-endoskopi <5 dan total skor <10.
2.2.1.3. CSMCPI (Cedars-Sinai Medical Centre Predictive Index)
Sistem skor ini direkomendasikan oleh American Society of Endoscopy of
the Digestive System pada tahun 1981. Skor ini bertujuan untuk menilai lama
perawatan rumah sakit. Terdapat 4 aspek yang dinilai pada sistem skor ini, yaitu
temuan endoskopi, interval waktu antara munculnya manifestasi klinis dan
perawatan ke rumah sakit, status hemodinamik, dan jumlah penyakit komorbiditas.
Penilaian sistem skor ini menyebutkan bahwa kelompok dengan total skor <3 dapat
dilakukan rawat jalan, sedangkan bila >3 memerlukan perawatan rumah sakit.
28
Evaluasi ulangan dilakukan kembali dalam 24-72 jam sesuai dengan hasil temuan
endoskopi dan dinilai kembali berdasarkan sistem skor ini. Hay dkk (1997),
melakukan uji validasi terhadap sistem skor ini dan mendapatkan hasil bahwa
penggunaan skor ini dapat menurunkan lama perawatan rumah sakit pada pasien-
pasien perdarahan SCBA (Bakhtavar dkk, 2016; Monteiro dkk, 2016).
Tabel 2.5. Penilaian CSMCPI (Bakhtavar dkk, 2016; Monteiro dkk, 2016).
Skor Temuan EGD Waktu Hemodinamik Penyakit
komorbiditas
0 Ulkus dasar
bersih, robekan
Mallory-Weis
tanpa
perdarahan,
Penyakit erosi,
endoskopi
normal
>48 jam Stabil <1
1 Ulkus dasar
bersih atau
dengan bekuan
darah, penyakit
erosi dengan
tanda
perdarahan,
angiodisplasia
<48 jam Intermediet 2
2 Ulkus dengan
pembuluh
darah yang
visibel tanpa
perdarahan
Di rumah
sakit
Tidak stabil 3
3 >4
4 Perdarahan
aktif, varises,
keganasan
SCBA
Total skor <3 tidak memerlukan rawat inap, total skor >3 memerlukan rawat inap.
29
2.2.2. Sistem Stratifikasi Risiko Komplikasi Tanpa Endoskopi
2.2.2.1. GBS (Glasgow-Blatchford Score)
GBS pertama kali diperkenalkan oleh Blatchford dkk untuk menilai perlunya
perawatan rumah sakit untuk intervensi (transfusi darah, tindakan terapi endoskopi
atau pembedahan) dan risiko kematian pada perdarahan SCBA. Uji validasi yang
dilakukan pada tahun 2000 terhadap sistem skor ini menyebutkan bahwa nilai GBS
0 merupakan kelompok dengan risiko rendah dan dapat menjalani rawat jalan,
sedangkan semakin tinggi nilai GBS maka mengindikasikan perlunya tindakan
intervensi untuk mencegah komplikasi perdarahan SCBA (Blatchford dkk, 2000).
Skor ini telah dipergunakan secara luas untuk menilai risiko komplikasi perdarahan
SCBA akibat perdarahan non variseal dan disebutkan pula dari beberapa penelitian
bahwa skor ini memberikan hasil yang lebih baik untuk memprediksi komplikasi
yang dapat timbul pada perdarahan SCBA dibandingkan dengan Rockall score
(Pang dkk, 2010; Jeune dkk, 2011; Ahn dkk, 2013).
Tabel 2.6. Penilaian GBS (PGI, 2012).
Variabel Poin Variabel Poin
TD sistolik
100-109
90-99
<90
1
2
3
Hb (pria)
12-12,9
10-11,9
<10
1
3
6
Ureum (mg/dL)
36,5-44,5
44,6-55,5
55,6-139,9
>140
2
3
4
6
Hb (wanita)
10-11,9
<10
1
2
Variabel lainnya
Nadi >100
Melena
Penyakit hati
Gagal jantung
1
1
2
2
Total skor 0 mengindikasikan dapat dilakukan rawat jalan, total skor >6
mengindikasikan kelompok risiko tinggi dan perlu dilakukan intervensi.
30
2.2.2.2. Sistem AIMS65
Sistem skor ini diperkenalkan oleh Saltzman dkk (2011) untuk menilai
prognosis pada perdrahan SCBA. Variabel-variabel yang dinilai pada sistem skor
ini adalah usia di atas 65 tahun, tekanan darah sistolik, status kesadaran, INR, dan
serum albumin. Total skor <1 disebutkan sebagai kelompok dengan risiko rendah
untuk terjadi komplikasi perdarahan SCBA dan skor >2 merupakan kelompok
dengan risiko tinggi (Bakhtavar dkk, 2016; Monteiro dkk, 2016).
Tabel 2.7. Penilaian Skor AIMS-65 (Bakhtavar dkk, 2016).
Variabel Skor
Albumin<3 g/dL 1
INR >1,5 1
TD sistolik <90mmHg 1
Perubahan status mental 1
Usia >65 tahun 1
Total skor <1 berisiko rendah terjadinya komplikasi, total skor >2 berisiko tinggi
terjadinya komplikasi.
2.2.2.3. Sistem T-score
Sistem T-score merupakan sistem stratifikasi risiko perdarahan SCBA yang
diperkenalkan oleh peneliti di Italia. Sistem skor ini menggunakan 4 variabel yang
masing-masing memiliki nilai 1-3. Variabel-variabel yang dinilai adalah kondisi
umum, denyut nadi, tekanan darah sistolik, dan kadar hemoglobin. Interpretasi dari
sistem skor ini dibedakan menjadi T1 bila didapatkan total skor <6 yang
mengindikasikan kelompok berisiko tinggi, T2 bila didapatkan total skor 7-9 yang
mengindikasikan kelompok berisiko sedang, dan T3 bila didapatkan total skor >10
yang mengindikasikan kelompok berisiko rendah. Sistem skor ini disebutkan dapat
memprediksi stigmata berisiko tinggi untuk terjadinya perdarahan pada temuan
endoskopi dengan cukup akurat, yaitu pada kelompok dengan total skor <6
31
(Bakhtavar dkk, 2016; Monteiro dkk, 2016).
Tabel 2.8. Penilaian Sistem T-score (Bakhtavar dkk, 2016).
Skor
Variabel
1 2 3
Kondisi umum Buruk Sedang Baik
Nadi >110 90-110 <90
TD sistolik <90 90-110 >110
Hb <8 9-10 >10
T1: total skor <6 kelompok berisiko tinggi, T2: total skor 7-9 kelompok berisiko
sedang, T3: total skor >10 kelompok berisiko rendah.
2.2.3. Indeks NIEC (North Italian Endoscopic Club)
Stratifikasi risiko untuk deteksi dini komplikasi perdarahan variseal berupa
perdarahan ulang dan kematian merupakan hal yang sulit untuk dilakukan. Hal ini
disebabkan komplikasi yang timbul tidak hanya berkaitan dengan derajat beratnya
perdarahan variseal yang terjadi, namun berkaitan pula dengan berat penyakit dasar
yang menimbulkan perdarahan variseal tersebut terjadi (Bambha dkk, 2007; Hunter
dan Hamdy, 2007). Berdasarkan hal tersebut maka hingga saat ini hanya indeks
NIEC saja yang disarankan untuk menilai risiko komplikasi perdarahan pada
varises esofagus (Zoli dkk, 1996; Merkel dkk, 2000; Jensen, 2002).
Indeks NIEC merupakan sebuah sistem penilaian yang dikembangkan untuk
menilai risiko perdarahan variseal pada varises esofagus. Penilaian ini pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1988 oleh North Italian Endoscopy Club. Ada pun
parameter yang dinilai adalah derajat Child Turcotte Pugh penyakit sirosis hati,
ukuran varises esofagus, dan adanya stigmata mata perdarahan berupa red wale.
Semakin tinggi nilai dari indeks NIEC maka risiko perdarahan variseal pun akan
semakin besar. Ada pun hasil dari penghitungan dari indeks NIEC akan dibedakan
32
menjadi 6 kelompok kelas risiko. Kelompok kelas risiko 1-3 akan digolongkan
menjadi risiko rendah mengalami perdarahan dan kelas risiko 4-6 masuk kategori
berisiko tinggi untuk terjadinya perdarahan variseal (Zoli dkk, 1996; Merkel dkk,
2000; Jensen, 2002).
Tabel 2.9. Penilaian indeks NIEC (Jensen, 2002).
Variabel Poin
Child Turcotte Pugh
A
B
C
6,5
13
19,5
Ukuran Varises
Kecil
Sedang
Besar
8,7
13
17,4
Tanda Red Wale
Tidak ada
Ringan
Sedang
Berat
3,2
6,4
9,6
12,8
Risiko rendah terjadi perdarahan bila indeks NIEC <30, risiko tinggi terjadi
perdarahan bila indeks NIEC >30.
Tabel 2.10. Interpretasi penilaian indeks NIEC (Jensen, 2002).
Risiko Kelas Indeks NIEC Risiko Perdarahan
Variseal (%)
1 <20 9,5
2 20-25 15,8
3 25,1-30 22
4 30,1-35 32
5 35,1-40 50
6 >40 63,6
2.2.4. Skor C-WATCH
Sistem stratifikasi risiko yang ada hingga saat ini belum ada yang dapat
digunakan untuk menilai perdarahan variseal dan non variseal (ASGE, 2012; PGI,
2012; Gralnek dkk, 2015; Monteiro dkk, 2016). Penggunaan GBS dan Rockall
score untuk menstratifikasi risiko komplikasi pada perdarahan SCBA akibat
33
perdarahan variseal telah diteliti oleh Lahiff dkk (2012) dan Thanapirom dkk
(2016). Hasil dari kedua penelitian tersebut adalah GBS dan Rockall score tidak
dapat digunakan untuk menstratifikasi risiko komplikasi perdarahan variseal.
Berdasarkan atas hal tersebut maka diperlukan adanya sistem stratifikasi risiko
komplikasi perdarahan SCBA yang dapat dipergunakan pada perdarahan variseal
dan non variseal.
Umumnya perdarahan SCBA akibat variseal dan non variseal sulit dibedakan
secara cepat pada perawatan di ruang gawat darurat. Ada pun risiko kematian dan
perdarahan ulang pada perdarahan variseal lebih tinggi dibandingkan perdarahan
non variseal, sehingga sistem stratifikasi risiko yang digunakan sebaiknya dapat
mengestimasi risiko komplikasi perdarahan SCBA pada kedua penyebab tersebut
dengan baik dan akurat guna memberikan penatalaksanaan lebih baik pada
kelompok berisiko tinggi (Hearnshaw dkk, 2011; Hoffman, 2015). Pada tahun
2015, Hoffman dkk memperkenalkan sebuah skor baru, yaitu skor C-WATCH
untuk menstratifikasi risiko komplikasi perdarahan SCBA, baik akibat perdarahan
variseal dan non variseal.
Skor C-WATCH sesungguhnya merupakan sistem stratifikasi risiko
komplikasi dengan menggunakan parameter klinis. Skor C-WATCH pertama kali
diperkenalkan di Jerman oleh Hoffman dkk pada tahun 2015. Skor ini
sesungguhnya diperkenalkan sebagai Cologne-WATCH risk score, karena
penelitian dilakukan di Rumah Sakit Cologne-Jerman, dan disingkat menjadi skor
C-WATCH (Hoffman dkk, 2015). Ada pun parameter yang diukur pada skor ini
adalah CRP, leukosit (white blood cells), ALT, trombosit, creatinine dan
34
hemoglobin.
Kerusakan mukosa dan robeknya pembuluh darah pada perdarahan SCBA
akan merangsang sel-sel inflamasi lokal, seperti monosit, makrofag dan neutrofil,
untuk melepaskan sitokin-sitokin proinflamasi ke dalam aliran darah. Sitokin-
sitokin tersebut adalah interleukin (IL)-1, IL-6, IL-8 dan tumor necrosis factor-
(TNF-) (Afessa, 1999; Koseoglu dkk, 2009). Pelepasan sitokin-sitokin tersebut
akan merangsang hati untuk memproduksi protein fase akut, salah satunya adalah
CRP, dan menstimuli sumsum tulang untuk memproduksi leukosit lebih banyak ke
aliran darah perifer (Koseoglu dkk, 2009; Namas dkk, 2009). Ada pun tujuan dari
proses inflamasi ini adalah mengeliminasi sel dan jaringan yang telah rusak atau
nekrosis dan memulai proses penyembuhan dari jaringan.
Hilangnya darah di intravaskular akibat perdarahan SCBA akan
mengakibatkan menurunnya kadar Hb sehingga pasokan oksigen ke jaringan pun
akan berkurang (Bonanno, 2012). Hal ini akan mengaktivasi sistem kompensasi di
dalam tubuh. Sistem kompensasi tersebut terdiri dari aktivasi sistem simpatis dan
mekanisme kompensasi humoral. Aktivasi sistem simpatis akan meningkatkan
denyut jantung, kekuatan kontraktilitas jantung dan vasokonstriksi sistemik untuk
meningkatkan resistensi vaskuler sistemik. Mekanisme kompensasi humoral terdiri
atas pelepasan catecholamine, aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron dan
pelepasan vasopressin. Pelepasan catecholamine dan aktivasi sistem renin-
angiotensin-aldosteron akan mengakibatkan vasokonstriksi perifer dan peningkatan
efek aktivasi sistem simpatis. Ada pun efek lain dari sistem renin-angiotensin-
aldosteron adalah meningkatkan reabsorbsi air dan garam melalui ginjal. Pelepasan
35
vasopressin akan merangsang refleks haus dan berperan pula pada reabsorbsi air
melalui ginjal. Peran dari sistem renin-angiotensin-aldosteron dan vasopressin
bertujuan untuk meningkatkan volume intravaskuler yang berkurang akibat
terjadinya perdarahan SCBA (Bonanno, 2012; Klabunde, 2012).
Tujuan utama dari aktivasi kedua sistem kompensasi, sistem simpatis dan
mekanisme humoral, adalah meningkatkan kembali tekanan arteri dan volume
intravaskular sehingga perfusi dan pasokan oksigen pada jantung dan otak dapat
terjaga (Klabunde, 2012). Ada pun perfusi pada ginjal, usus, liver dan otot dapat
mengalami penurunan akibat vasokonstriksi perifer yang timbul sebagai respon dari
aktivasi sistem simpatis dan mekanisme kompensasi humoral. Menurunnya perfusi
pada ginjal dan liver akan mengakibatkan iskemik sehingga terjadi gangguan pada
fungsi kedua organ tersebut (Guiterrez dkk, 2004; Klabunde, 2012). Hal inilah yang
menyebabkan peningkatan kadar creatinine serum dan ALT pada perdarahan
SCBA.
Kondisi inflamasi yang terjadi pada perdarahan SCBA akibat rusaknya
mukosa dan robeknya pembuluh darah akan mengaktivasi trombosit untuk memulai
proses hemostasis guna menghentikan perdarahan yang terjadi. Aktivasi sistem
hemostasis ini diperkuat pula oleh sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-6
dan TNF- (Margetic, 2012; Davidson, 2013). Trombosit berperan untuk
membentuk kerangka dasar hemostasis guna menghentikan perdarahan. Kerangka
dasar hemostasis ini dikenal sebagai platelet plug, yang selanjutnya akan
dipadatkan oleh fibrin untuk membentuk hemostatic plug (Ferreira dkk, 2010; Gale,
2011). Ada pun gangguan pada trombosit, baik berupa gangguan jumlah atau pun
36
gangguan fungsi, akan menghambat proses hemostasis untuk menghentikan
perdarahan (Gale, 2011; Margetic, 2012, Davidson, 2013). Berdasarkan hal
tersebut, maka trombosit merupakan komponen penting pada proses hemostasis
untuk menghentikan perdarahan.
Beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan antara kadar CRP dengan
perdarahan SCBA. Peningkatan kadar CRP selain berkaitan dengan kerusakan
jaringan pada perdarahan SCBA, berkaitan pula dengan inflamasi aktif pada gaster
(Boehme dkk, 2007; Koseoglu dkk, 2009; Tomizawa dkk, 2014; Lee dkk, 2015).
Ada pun leukosit dapat meningkat pula terkait dengan proses inflamasi yang timbul
pada perdarahan SCBA, hal ini telah ditunjukkan oleh penelitian Chalasani dkk
pada tahun 1997. Beberapa penelitian lain menyebutkan pula bahwa peningkatan
leukosit merupakan sistem kompensasi dari tubuh atas kehilangan darah secara akut
(Koseoglu dkk, 2009; Tomizawa dkk, 2016).
ALT dan creatinine merupakan salah satu parameter yang dapat menilai
gangguan fungsi organ akibat perdarahan SCBA. Peningkatan kadar kedua
parameter tersebut mengindikasikan bahwa perdarahan SCBA yang terjadi cukup
berat, sehingga menimbulkan iskemik pada sistem organ, khususnya ginjal dan hati
(Taylor dkk, 2014; Laney dan Greene, 2015).
37
Gambar 2.4. Hubungan skor C-WATCH dan komplikasi perdarahan SCBA
(Koseoglu dkk, 2009; Bonanno, 2012; Klabunde, 2012; Davidson, 2013).
Kerusakan mukosa,
Robeknya pembuluh
darah Perdarahan SCBA
Mediator-mediator inflamasi
(IL-1, IL-6, IL-8, TNF-)
Peningkatan CRP dan Leukosit
Hilangnya darah intravaskuler
(Kadar Hb turun)
Mekanisme kompensasi humoral
(Sistem renin-angiotensin-aldosteron) Aktivasi sistem simpatik
Vasokonstriksi perifer
Perfusi ginjal menurun
(Peningkatan kadar creatinine)
Perfusi liver menurun
(Peningkatan kadar ALT)
Komplikasi perdarahan SCBA
Sistem hemostasis
(Trombosit)
38
Gangguan pada trombosit akan mengakibatkan terganggunya proses
hemostasis untuk menghentikan perdarahan SCBA. Trombosit pada perdarahan
akut akan mengalami peningkatan mengingat adanya sistem kompensasi tubuh
terhadap perdarahan akut, namun apabila kadar trombosit menurun akan
mengindikasikan adanya gangguan sistem koagulasi (Maltz dkk, 2000; Laney dan
Greene, 2015). Selain itu, kadar trombosit yang rendah disebutkan dapat digunakan
sebagai penanda beratnya hipertensi portal yang terjadi pada kasus-kasus dengan
perdarahan variseal (Carqueira dkk, 2012).
Berdasarkan atas hal-hal tersebut maka parameter-parameter yang dinilai pada
skor C-WATCH relevan digunakan untuk menilai risiko komplikasi perdarahan
SCBA. Penelitian Hoffman dkk (2015) menunjukkan bahwa skor C-WATCH <2
merupakan kelompok dengan risiko rendah terjadinya komplikasi dan skor >2
adalah kelompok yang memerlukan perawatan rumah sakit untuk dilakukan
pemantauan dan terapi endoskopi. Ada pun nilai AUC pada penilitian tersebut
untuk skor C-WATCH adalah sebesar 0,723, hal ini mengindikasikan bahwa secara
statistik skor C-WATCH tergolong baik untuk mendeteksi secara dini adanya
komplikasi perdarahan SCBA (Hoffman dkk, 2015). Penggunaan skor ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut agar dapat dipergunakan secara luas, mengingat
skor ini masih tergolong baru.
39
Tabel 2.11. Penilaian Skor C-WATCH (Hoffmann dkk, 2015).
Variabel Skor
CRP
<5
>5
0
1
WBC
<11,300
>11,300
0
1
ALT
<35 (laki-laki) dan <50 (perempuan)
>35 (laki-laki) dan >50 (perempuan)
0
1
Trombosit
>150,000
50,000-150,000
<50,000
0
1
2
Creatinine
<1.1 (laki-laki) dan <0.9 (perempuan)
>1.1 (laki-laki) dan >0.9 (perempuan)
0
1
Hb
>14 (laki-laki) dan >12 (perempuan)
10-14 (laki-laki) dan 10-12 (perempuan)
<10
0
1
2
2.3. Validitas dan Realibilitas
Validitas (kesahihan) dan reliabilitas (keterandalan) adalah dua karakteristik
yang amat penting dan menentukan kualitas dari alat ukur dan pengukuran
(Sastroasmoro dan Ismael, 2011; Sugiyono, 2011). Validitas merupakan produk
dari validasi. Validasi adalah proses untuk menentukan kemampuan dari suatu alat
untuk dapat digunakan. Dalam proses validasi juga meliputi analisis karakteristik
performa dari suatu tes diagnostik seperti misalnya spesifisitas, sensitivitas,
standarisasi, repeatability, cut off (Ederven, 2010). Yang dimaksud dengan
performa dari diagnostik tes adalah kemampuan suatu alat untuk mengkonfirmasi
atau mengeksklusi suatu penyakit (Gatsonis dan Paliwel, 2006).
40
Reliabilitas adalah konsistensi pengukuran yaitu suatu alat atau instrumen
memberikan nilai yang sama atau hampir sama pada pemeriksaan yang dilakukan
berulang-ulang. Namun harus dipahami bahwa tidak ada satu pengukuran pun yang
memiliki validitas dan reliabilitas yang sempurna (Sugiyono, 2011).
2.3.1. Validitas
Suatu pengukuran disebut valid bila pengukuran dengan suatu alat ukur atau
instrumen dapat menggambarkan hal yang sebenarnya ingin diukur. Validitas
mengacu pada kebenaran dan kesesuaian hasil pengukuran. Terdapat beberapa tipe
validitas.
2.3.1.1. Validitas isi (content validity)
Menggambarkan seberapa jauh kumpulan variabel dalam instrumen dapat
mewakili atau merupakan representasi dari hal yang hendak diukur. Penilaian
validitas isi adalah secara judgemental oleh seorang pakar dan bukan secara statistik
(Azwar, 2010).
2.3.1.2. Validitas kriteria (criterion validity)
Menggambarkan seberapa jauh hasil satu pengukuran sesuai dengan hasil
pengukuran lain dengan menggunakan alat yang dianggap baku emas (gold
standar). Penilaian validitas kriteria dilakukan dengan membandingkan secara
statistik hasil suatu uji dengan uji lain yang dianggap baku emas. Bila suatu
instrumen yang diuji belum memiliki baku emas, penilaian dilakukan dengan
41
kemampuan diskriminan (discriminant ability) atau dengan menggunakaan known
group validity, yaitu apakah suatu alat ukur dapat menunjukkan perbedaan yang
bermakna pada subyek yang hendak diukur dibandingkan dengan hasil pengukuran
dari subyek atau kelompok pembanding. Kelompok pembanding diambil dari
populasi yang berbeda karakteristiknya dengan populasi yang akan diukur (Azwar,
2010; Sugiyono, 2011).
2.3.1.3. Validitas kontruksi (construct validity)
Validitas ini menggambarkan seberapa jauh hasil pengukuran suatu alat ukur
sesuai dengan konsep teoritis yang mendasari keadaan yang diukur. Dalam
penilaian validitas kontruksi dilakukan analisis untuk membuktikan apakah
pertanyaan yang terkandung dalam suatu alat ukur mewakili apa yang hendak
diukur. Dari pengujian tersebut akan menghasilkan nilai koefisien korelasi tiap
butir pertanyaan terhadap nilai total yang bervariasi dari yang lemah hingga yang
kuat (Azwar, 2010; Sugiyono, 2011).
2.3.2. Realibilitas
Reliabilitas adalah seberapa konsisten suatu alat ukur menghasilkan nilai yang
stabil pada pengulangan tes. Hasil pengukuran dapat dipercaya bila dalam beberapa
kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subyek yang sama diperoleh hasil
yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subyek memang belum
berubah. Dalam hal ini berarti tetap adanya toleransi terhadap perbedaan-perbedaan
42
kecil diantara hasil beberapa kali pengukuran. Terdapat 3 macam pendekatan
reliabilitas yang akan dijelaskan di bawah (Azwar, 2010; Sugiyono, 2011).
2.3.2.1. Reliabilitas test-retest (intra-observer reliability)
Pengukuran pada subyek yang sama oleh orang yang sama pada waktu yang
berbeda menghasilkan hasil yang sama. Asumsi yang menjadi dasar cara ini adalah
bahwa suatu tes yang reliabel akan menghasilkan skor yang relatif sama apabila
dikenakan 2 kali pada waktu yang berbeda. Dalam menggunakan cara ini perlu
diperhatikan adanya kemungkinan perubahan kondisi subyek sejalan dengan
perbedaan watu penyajian tes. Dalam bentuk lain, efek bawaan dapat terjadi karena
masih ingatnya subyek pada jawaban yang pernah diberikannya waktu pertama kali
tes disajikan, dan sebagai akibat dari proses pembelajaran dari tes yang pertama
kali dikerjakan. Adalah tidak mudah untuk menentukan berapa lama tenggang
waktu yang disediakan diantara dua kali pemberian tes pada cara ini. Bila tenggang
waktu terlalu singkat akan sangat mungkin terjadi efek bawaan atau pembelajaran
sedangkan bila terlalu panjang mungkin akan terjadi perubahan aspek yang akan
diukur dalam diri subyek (Azwar, 2010; Sugiyono, 2011).
2.3.2.2. Reliabilitas inter-observer
Pengukuran suatu instrumen pada subyek yang sama oleh pemeriksa yang
berbeda menunjukkan hasil yang sama. Karena tes ini dilakukan 2 kali pada subyek
yang sama, maka kemungkinan-kemungkinan seperti pada cara test-retest dapat
terjadi (Azwar, 2010).
43
2.3.2.3. Reliabilitas konsistensi interna (internal consistency reliability)
Pendekatan konsistensi internal dilakukan dengan menggunakan satu tes
yang hanya dikenakan pada satu kali pengukuran pada sekelompok subyek (single-
trial administration). Dengan menyajikan tes hanya sekali maka kemungkinan-
kemungkinan seperti yang telah disebutkan di atas dapat dihindari. Pendekatan ini
bertujuan untuk melihat konsistensi antar item dalam tes itu sendiri. Untuk melihat
kecocokan atau koordinasi diantara item tes dapat dilakukan melalui teknik korelasi
(Azwar, 2010).