36
8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA 2.1.1. Definisi Perdarahan SCBA Perdarahan SCBA adalah hilangnya darah dari saluran cerna atas yang secara anatomis terletak di atas ligamentum Treitz, yaitu esofagus, gaster hingga duodenum bagian horizontal (PGI, 2012; Taylor dkk, 2014). Ada pun manifestasi klinis yang timbul dari perdarahan SCBA adalah hematemesis, keluarnya darah atau pun bekuan darah dari nasogastric tube, dan/atau melena, serta dapat pula berupa hematoskezia bila terjadi perdarahan SCBA yang massif dan cepat (PGI, 2012; ASGE, 2012). 2.1.2. Epidemiologi Perdarahan SCBA Sebagian besar perdarahan saluran cerna disebabkan oleh perdarahan SCBA, yaitu sekitar 65-80% (Zuckerman, 2000). Perdarahan SCBA disebutkan sebagai salah satu kegawatdaruratan di bidang gastroenterologi dan menjadi penyebab kunjungan tersering di ruang gawat darurat (Taylor dkk, 2014). Angka kejadian perdarahan SCBA selama beberapa dekade terakhir ini tidak mengalami perubahan, meskipun telah ada kemajuan dalam hal pengelolaan dan terapi perdarahan SCBA. Hal ini diperkirakan sangat berkaitan dengan penggunaan aspirin dan obat-obatan anti inflamasi nonsteroid yang semakin sering digunakan pada praktek klinik sehari-hari (Maduseno, 2011; Robinson dkk, 2012).

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Perdarahan SCBA

2.1.1. Definisi Perdarahan SCBA

Perdarahan SCBA adalah hilangnya darah dari saluran cerna atas yang secara

anatomis terletak di atas ligamentum Treitz, yaitu esofagus, gaster hingga

duodenum bagian horizontal (PGI, 2012; Taylor dkk, 2014). Ada pun manifestasi

klinis yang timbul dari perdarahan SCBA adalah hematemesis, keluarnya darah

atau pun bekuan darah dari nasogastric tube, dan/atau melena, serta dapat pula

berupa hematoskezia bila terjadi perdarahan SCBA yang massif dan cepat (PGI,

2012; ASGE, 2012).

2.1.2. Epidemiologi Perdarahan SCBA

Sebagian besar perdarahan saluran cerna disebabkan oleh perdarahan SCBA,

yaitu sekitar 65-80% (Zuckerman, 2000). Perdarahan SCBA disebutkan sebagai

salah satu kegawatdaruratan di bidang gastroenterologi dan menjadi penyebab

kunjungan tersering di ruang gawat darurat (Taylor dkk, 2014). Angka kejadian

perdarahan SCBA selama beberapa dekade terakhir ini tidak mengalami perubahan,

meskipun telah ada kemajuan dalam hal pengelolaan dan terapi perdarahan SCBA.

Hal ini diperkirakan sangat berkaitan dengan penggunaan aspirin dan obat-obatan

anti inflamasi nonsteroid yang semakin sering digunakan pada praktek klinik

sehari-hari (Maduseno, 2011; Robinson dkk, 2012).

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

9

Insiden perdarahan SCBA berbeda-beda di setiap negara. Di Belanda insiden

perdarahan SCBA adalah sebesar 37 per 100 ribu populasi dewasa (Jansen dkk,

2011; Schiefer dkk, 2012), di Denmark sekitar 48 ribu per 100 ribu populasi dewasa

(Yavorski dkk, 1995), di Amerika dan di Inggris adalah sebesar 150-172 per 100

ribu populasi dewasa (Leerdam dkk, 2003). Data mengenai insiden perdarahan

SCBA pada populasi yang sebenarnya di Indonesia masih belum diketahui secara

pasti, namun diperkirakan sekitar 46-150 per 100 ribu populasi dewasa (PGI, 2012).

Sebagian besar perdarahan SCBA dapat berhenti dengan sendirinya, dan

hanya sekitar 10% yang memerlukan tindakan khusus berupa endoskopi terapeutik

atau pun pembedahan (Augustin dkk, 2010; Biecker, 2013). Meskipun hanya 10%

kasus yang memerlukan penatalaksanaan khusus, namun biaya kesehatan yang

diperlukan untuk penatalaksanaan kasus tersebut dan penatalaksanaan komplikasi

terkait kasus tersebut masih tetap tinggi. Adapun biaya kesehatan yang dibutuhkan

untuk penatalaksanaan kasus ini adalah sebesar 3402-5632 US dollar (Cremers dan

Ribeiro, 2014).

Komplikasi yang dapat timbul terkait perdarahan SCBA adalah kematian dan

perdarahan ulang (Ramaekers dkk, 2016). Angka kematian terkait perdarahan

SCBA hingga saat ini masih cukup tinggi, yaitu 10-20%, namun hal ini sudah jauh

lebih baik dibandingkan sebelum tahun 1995, yaitu sebesar 33-50%. Kejadian

perdarahan ulang pada perdarahan SCBA adalah sebesar 5-15% (Leerdam, 2008;

El-Tawil, 2012). Berdasarkan penelitian Robinson dkk (2012), komplikasi

kematian terkait perdarahan SCBA adalah sebesar 23-35%, sedangkan komplikasi

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

10

berupa perdarahan ulang dan kematian pada perdarahan SCBA didapatkan nilai

yang jauh lebih tinggi, yaitu sekitar 60-65%.

2.1.3. Etiologi dan Faktor Risiko Perdarahan SCBA

Umumnya perdarahan SCBA dapat dikelompokkan menjadi 2 penyebab,

yaitu perdarahan variseal dan non variseal. Perdarahan variseal merupakan

perdarahan yang timbul akibat pecahnya varises esofagus, gaster dan hypertensive

portal gastropathy sebagai akibat hipertensi portal (Taylor dkk, 2014). Sekitar 60-

65% dari perdarahan SCBA pada sirosis hati disebabkan oleh perdarahan variseal.

Ada pun dua pertiga (sekitar 65%) dari perdarahan variseal disebabkan oleh

pecahnya varises esofagus, sedangkan hypertensive portal gastropathy sebesar

15% dan pecahnya varises gaster hanya berkisar 5-10% (Berzigotti dkk, 2001; Tsao

dkk, 2007; Biecker, 2013). Perdarahan non variseal merupakan perdarahan SCBA

yang bukan disebabkan oleh pecahnya varises esofagus, gaster maupun

hypertensive portal gastropathy. Penyebab-penyebab perdarahan SCBA adalah

ulkus peptikum, gastritis erosif, robekan Mallory-Weis, keganasan pada SCBA,

esofagitis, dan malformasi vaskuler (BSG, 2002).

Penyebab perdarahan SCBA di negara-negara Barat sebagian besar

disebabkan oleh perdarahan non variseal, yaitu ulkus peptikum. Ada pun insiden

ulkus peptikum sebagai penyebab perdarahan SCBA adalah sebesar 63%

(Tielleman dkk, 2015). Penyebab perdarahan SCBA di Indonesia umumnya lebih

banyak disebabkan oleh perdarahan variseal, yaitu sekitar 50-60% dari seluruh

kasus perdarahan SCBA (Djumhana, 2011; PGI, 2012).

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

11

Terdapat beberapa faktor risiko yang turut berperan dalam pathogenesis

perdarahan SCBA. Faktor risiko perdarahan SCBA akibat perdarahan variseal lebih

berkaitan dengan tingginya tekanan vena portal yang terjadi, hal ini seiring dengan

beratnya derajat sirosis hati dan besar ukuran varises (Tsao dkk, 2007; Waleleng

dkk, 2015). Gangguan fungsi ginjal dan infeksi disebutkan dapat menjadi pencetus

untuk terjadinya perburukan dari hipertensi portal yang telah ada (Tsao dkk, 2007;

Crooks, 2013). Faktor risiko yang berkaitan dengan perdarahan non variseal adalah

infeksi Helicobacter pylori, obat-obatan anti inflamasi nonsteroid, obat anti

agregasi platelet, dan usia lanjut (PGI, 2012; Tielleman dkk, 2015). Selain faktor-

faktor tersebut, beberapa penelitian menyebutkan pula bahwa konsumsi alkohol

berlebih; merokok; dan penyakit-penyakit komorbid seperti gangguan ginjal,

penyakit jantung koroner, dan diabetes mellitus meningkatkan risiko timbulnya

perdarahan non variseal (Crooks, 2013).

2.1.4. Patogenesis Perdarahan SCBA

2.1.4.1. Perdarahan Variseal

Umumnya terdapat 2 teori yang menjelaskan tentang timbulnya perdarahan

SCBA akibat perdarahan variseal, yaitu teori erosi dan teori eksplosif. Pada teori

erosi disebutkan bahwa perdarahan variseal timbul sebagai akibat trauma eksternal

yang menyebabkan erosi pada pembuluh darah varises yang berdinding tipis dan

rapuh. Faktor trauma eksternal yang menjadi penyebab perdarahan variseal adalah

adanya esofagitis dan makanan solid yang dapat mengakibatkan iritasi dan erosi

pada dinding pembuluh darah varises. Teori eksplosif menyebutkan bahwa

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

12

perdarahan variseal lebih disebabkan oleh perburukkan hipertensi portal yang telah

ada sehingga meningkatkan tekanan hidrostatik pada pembuluh darah yang

mengalami varises. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan ukuran varises dan

menurunnya ketebalan dinding pembuluh darah sehingga daya regang pembuluh

darah pun menurun (Berzigotti dkk, 2001).

Gambar 2.1. Hipotesis Mekanisme Perdarahan Variseal (Berzigotti dkk, 2001).

Penelitian-penelitian yang ada telah mendukung teori eksplosif untuk

menjelaskan perdarahan variseal. Semakin tinggi gradient tekanan portal maka

akan memberikan risiko yang lebih tinggi pula untuk terjadinya perdarahan variseal

dan dapat mempersulit dalam penatalaksanaan perdarahan yang terjadi. Sebagian

besar perdarahan variseal akan timbul bila gradien tekanan portal >12mmHg.

Sebaliknya bila gradien tekanan portal dapat diturunkan menjadi <12mmHg, maka

perdarahan variseal tidak akan terjadi. Selain itu, penurunan gradien tekanan portal

>20% dari gradien tekanan portal awal dapat menurunkan risiko terjadinya

perdarahan ulang (Berzigotti dkk, 2001; Waleleng dkk, 2015).

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

13

2.1.4.2. Perdarahan Non Variseal

Lumen gaster memiliki pH yang asam. Kondisi ini berkontribusi dalam

proses pencernaan tetapi juga berpotensi merusak mukosa gaster. Beberapa

mekanisme telah terlibat untuk melindungi mukosa gaster. Musin yang disekresi

sel-sel foveola gastrica membentuk suatu lapisan tipis yang mencegah partikel

makanan besar menempel secara langsung pada lapisan epitel. Lapisan mukosa

juga mendasari pembentukan lapisan musin stabil pada permukaan epitel yang

melindungi mukosa dari paparan langsung asam lambung, selain itu memiliki pH

netral sebagai hasil sekresi ion bikarbonat sel-sel epitel permukaan. Suplai vaskular

ke mukosa gaster selain mengantarkan oksigen, bikarbonat, dan nutrisi juga

berfungsi untuk mengencerkan asam yang berdifusi ke lamina propia. Gastritis akut

atau kronik dapat terjadi dengan adanya gangguan pada mekanisme-mekanisme

protektif tersebut (Turner, 2010).

Gambar 2.2. Patogenesis Perdarahan Saluran Cerna bagian Atas (Turner, 2010).

Pembentukan musin pada usia lanjut akan mengalami penurunan, sehingga

lebih rentan terkena gastritis dan perdarahan saluran cerna (Turner, 2010). Obat anti

inflamasi nonsteroid dan obat anti agregasi platelet dapat mempengaruhi proteksi

sel (sitoproteksi) yang umumnya dibentuk oleh prostaglandin atau mengurangi

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

14

sekresi bikarbonat yang menyebabkan meningkatnya perlukaan mukosa gaster

(Soll dan Graham, 2015).

Infeksi Helicobacter pylori yang predominan di antrum akan meningkatkan

sekresi asam lambung, peningkatan keasaman pada duodenum, dan kerusakan

mukosa hingga terjadi ulkus duodenum. Sekresi gastrin akan meningkat, baik pada

sekresi basal mau pun sekresi yang dirangsang oleh makanan, sedangkan sekresi

somatostatin oleh sel D akan menurun. Peningkatan asam lambung dapat pula

timbul akibat efek sitokin-sitokin proinflamasi, seperti interleukin-1 (IL-1), IL-8

dan tumor necrosis factor (TNF), pada sel-sel parietal, sel G, dan sel D (Valle,

2013).

Perlukaan sel secara langsung juga dapat disebabkan konsumsi alkohol yang

berlebih. Alkohol merangsang sekresi asam lambung sehingga menyebabkan

perlukaan mukosa saluran cerna (Soll dan Graham, 2015). Pada terapi radiasi dan

kemoterapi menyebabkan kerusakan mukosa menyeluruh karena hilangnya

kemampuan regenerasi sel (Turner, 2010).

2.1.5. Manifestasi Klinis Perdarahan SCBA

Manifestasi klinis perdarahan SCBA, baik pada perdarahan variseal dan non

variseal, umumnya berupa hematemesis dan/atau melena. Hematemesis merupakan

muntah darah yang berwarna merah atau kehitaman. Muntah darah berwarna

kehitaman disebabkan oleh konversi hemoglobin menjadi hematin akibat adanya

paparan asam lambung terhadap darah (Laine, 2005). Melena menggambarkan

feses berwarna hitam yang mengandung darah akibat proses pencernaan. Feses

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

15

biasanya berwarna hitam seperti ter, berbau busuk, dan lengket (Bogoch, 1985;

Laine, 2005).

Perubahan warna feses menjadi hitam sangat dipengaruhi oleh lokasi

perdarahan, jumlah dan laju perdarahan, serta kecepatan transit di usus. Terkait

dengan kecepatan transit di usus maka melena menginformasikan bahwa darah

telah berada dalam saluran cerna selama minimal 14 jam. Selain berwarna hitam

sebagai melena, perdarahan SCBA dapat pula bermanifestasi sebagai

hematoskezia, yaitu feses yang berwarna merah segar karena mengandung darah.

Hematoskezia umumnya merupakan manifestasi klinis perdarahan saluran cerna

bagian bawah, namun jika perdarahan SCBA disertai dengan hematoskezia maka

menandakan bahwa telah terjadi perdarahan SCBA yang masif (Laine, 2005).

Pada perdarahan SCBA akibat perdarahan variseal umumnya akan dijumpai

pula tanda-tanda sirosis hati/penyakit hati kronik berupa ginekomastia, spider nevi,

splenomegali, ascites, eritema palmaris, dan/tanpa ensefalopati hepatik (Djumhana

dkk, 1998; Laney dan Greene, 2015; Rockey dkk, 2016). Gejala lain yang dapat

dijumpai pada perdarahan SCBA non variseal adalah rasa pusing, kepala terasa

ringan dan lemas. Keluhan berupa lemas, pusing dan kepala terasa ringan timbul

akibat anemia yang telah terjadi (Simon dkk, 2015).

2.1.6. Pendekatan Diagnosis Perdarahan SCBA

Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan bagian dari pendekatan

diagnosis pada perdarahan SCBA. Tujuan dari tindakan tersebut adalah untuk

mencari manifestasi klinis, faktor risiko, komorbiditas, dan penilaian berat-

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

16

ringannya perdarahan yang terjadi, serta memperkirakan penyebab perdarahan

SCBA, yaitu variseal ataukah non variseal (Adi, 2014). Berat-ringannya perdarahan

SCBA, berdasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat disesuaikan

dengan klasifikasi hipovolemia akibat perdarahan (Basket, 1990).

Tabel 2.1. Klasifikasi hipovolemia akibat perdarahan pada pasien dewasa (Basket,

1990).

Aspek Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV

Volume

perdarahan

(ml)

<750 750-1500 1500-2000 >2000

Jumlah

perdarahan

(%)

0-15 15-30 30-40 >40

Tekanan

sistolik

Tetap Normal Turun Sangat turun

Tekanan

diastolic

Tetap Naik Turun Tidak

terdengar

Nadi per

menit

Meningkat 100-120 120 (lemah) >120 (sangat

lemah)

Laju nafas

per menit

Normal Normal Naik >20 Naik >20

Status

mental

Sadar, haus Gelisah,

agresif

Agresif/mengantuk Bingung/tidak

sadar

Pemasangan nasogastric tube merupakan tindakan medis yang dapat

membantu untuk mengkonfirmasi adanya perdarahan SCBA. Selain itu beberapa

manfaat dari pemasangan nasogastric tube adalah memperkirakan jumlah

perdarahan, mempersiapkan lapang pandang yang bersih untuk tindakan endoskopi,

mencegah aspirasi isi lambung ke jalan nafas, dan mengurangi beban amoniak

pencetus ensefalopati hepatik pada perdarahan variseal dengan sirosis hati. Ada pun

komplikasi yang dapat timbul akibat pemasangan nasogastric tube adalah

epistaksis dan erosi pada gaster (Chalasani dkk, 1997; Sarin dkk, 2011).

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

17

Pemeriksaan laboratorium merupakan pemeriksaan penunjang yang dapat

digunakan untuk membantu menilai berat-ringannya perdarahan SCBA.

Pemeriksaan laboratorium tersebut antara lain adalah pemeriksaan darah lengkap,

creatinine serum, blood urea nitrogen, enzim transaminase hati, faal hemostasis,

dan asam laktat (Taylor dkk, 2014; Simon dkk, 2015; Laney dan Greene, 2015).

Pemeriksaan endoskopi merupakan pemeriksaan pilihan utama pada

perdarahan SCBA. Pemeriksaan ini disebutkan sebagai baku emas untuk penegakan

diagnosis perdarahan SCBA, namun ada pun keunggulan dari pemeriksaan ini

adalah dapat memberikan visualisasi secara langsung lokasi dan penyebab

perdarahan serta aktivitas dari perdarahan tersebut. Selain itu, endoskopi dapat pula

menjadi terapi intervensi pilihan dalam penatalaksanaan perdarahan SCBA. Ada

pun waktu yang disarankan untuk melakukan pemeriksaan tersebut adalah dalam

24 jam setelah didapatkan adanya manifestasi perdarahan SCBA, sedangkan pada

kondisi terjadi instabilitas hemodinamik akibat perdarahan masif maka

pemeriksaan tersebut sebaiknya dilakukan segera setelah resusitasi (Sung dkk,

2011; NICE, 2012; ASGE, 2012; Gralnek dkk, 2015).

Temuan endoskopi pada perdarahan SCBA, khususnya perdarahan non

variseal, dapat diklasifikasikan dengan kriteria Forrest. Kriteria tersebut dapat

digunakan untuk menilai risiko perdarahan ulang pada perdarahan SCBA. Selain

itu, penggunaan klasifikasi tersebut dapat menjadi petunjuk pilihan terapi yang

diperlukan untuk penatalaksanaan perdarahan SCBA (PGI, 2012; Laine dan Jensen,

2012).

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

18

Tabel 2.2. Klasifikasi Perdarahan SCBA Berdasarkan Kriteria Forrest (PGI, 2012;

Laine dan Jensen, 2012).

Temuan Endoskopi Klasifikasi Forrest Risiko Perdarahan Ulang

Ulkus dengan perdarahan

aktif menyemprot

IA 85-100%

Ulkus dengan perdarahan

merembes

IB 10-27%

Ulkus dengan pembuluh

darah visibel namun tidak

berdarah

IIA 50%

Ulkus dengan bekuan

adheren

IIB 30-35%

Ulkus dengan bintik

pigmentasi dasar

IIC <8%

Ulkus berdasar bersih III <3%

2.1.7. Penatalaksanaan Perdarahan SCBA

Tujuan utama pengelolaan perdarahan SCBA adalah stabilisasi hemodinamik,

menghentikan perdarahan, mencegah perdarahan ulang dan menurunkan

mortalitas.

2.1.7.1. Penatalaksanaan Umum

Pada kondisi hemodinamik tidak stabil atau kondisi syok, maka resusitasi

cairan, baik cairan kristaloid atau pun koloid, harus segera diberikan. Cairan

kristaloid dengan akses perifer dapat diberikan pada perdarahan ringan sampai

sedang. Pada kondisi perdarahan berat, cairan koloid dapat digunakan setelah

pemberian cairan kristaloid sebanyak 1500-2000 ml terlebih dahulu, sembari

menunggu ketersediaan transfusi darah (Purnomo, 2010; Adi, 2016).

Pemasangan kateter vena sentral diperlukan pada keadaan syok yang

memerlukan pemantauan ketat dari cairan yang diberikan. Selain itu kateter vena

sentral diperlukan pula pada pasien usia lanjut dengan kondisi syok, pasien dengan

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

19

gagal ginjal kronik dan pasien dengan penyakit jantung, sehingga resusitasi cairan

dapat diberikan secara optimal (Cappel, 2008; Albeldawi, 2010). Target resusitasi

adalah hemodinamik stabil, produksi urin cukup (>30 ml/jam), tekanan vena sentral

5-10 cmH2O, kadar Hb tercapai, yaitu 8 gr/dL pada perdarahan variseal dan 7-9

gr/dL pada perdarahan non variseal (Purnomo, 2010; Nusi dan Vidyani, 2016).

Pemberian oksigen diperlukan terutama pada pasien usia lanjut dan pasien

dengan penyakit jantung. Pada pasien yang menggunakan antikoagulan maka

penggunaan antikoagulan tersebut harus dihentikan dan perlu dilakukan terapi

terhadap koagulopati yang terjadi. Pada pasien yang menggunakan antikoagulan

dan terdapat koagulopati dengan international normalized ratio (INR) >1,5

memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami perdarahan ulang (Albeldawi,

2010).

2.1.7.2. Penatalaksanaan Perdarahan Variseal

Terapi farmakologis yang dapat digunakan pada perdarahan variseal adalah

penggunaan obat-obatan vasoaktif. Jenis obat-obatan vasoaktif yang dapat

dipergunakan adalah somatostatin dan analognya, yaitu octreotide. Kedua jenis

obat tersebut akan menyebabkan vasokonstriksi splanknik secara selektif sehingga

menurunkan tekanan portal dan aliran darah portal. Selain itu, jenis obat vasoaktif

lainnya yang dapat digunakan sebagai terapi farmakologis pada perdarahan variseal

adalah vasopressin dan terlipresin. Penggunaan vasopresin umumnya

dikombinasikan dengan nitrogliserin untuk meningkatkan efektivitas vasopressin

menurunkan tekanan portal, namun penggunaan obat ini telah ditinggalkan karena

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

20

besarnya efek samping yang dapat menimbulkan iskemik hingga infark pada

miokardial dan mesenterium. Terlipresin kini telah banyak digunakan oleh negara-

negara di Eropa dengan dosis pemberian awal adalah 2mg intravena setiap 4 jam

selama 48 jam pertama dan dilanjutkan dengan dosis 1mg setiap 4 jam selama 72

jam selanjutnya (Bendtsen dkk, 2008).

Terapi endoskopi yang dapat dilakukan pada perdarahan variseal adalah

terapi ligasi dan skleroterapi. Terapi ligasi disebutkan memiliki efektivitas yang

lebih baik dibandingkan dengan skleroterapi dalam hal pencegahan perdarahan

ulang dan efek samping yang lebih sedikit pula. Hal tersebut ditunjukkan oleh

penelitian yang dilakukan Stiegmann dkk pada tahun 1992. Pada penelitian meta-

analisis pun menyebutkan bahwa terapi ligasi mampu mengontrol perdarahan lebih

baik serta angka kematian pun lebih rendah bila dibandingkan skleroterapi (Laine

dan Cook, 1995). Terapi endoskopi ini sebaiknya dilakukan dalam 12-24 jam

setelah didapatkan adanya manifestasi perdarahan variseal (Bendtsen dkk, 2008).

Tindakan pembedahan dapat pula menjadi pilihan untuk mengatasi

perdarahan variseal. Tindakan ini umumnya dilakukan setelah terapi endoskopi

gagal mengatasi perdarahan variseal. Ada pun rescue therapy perlu dilakukan

terlebih dahulu sebelum tindakan pembedahan dilaksanakan, agar tindakan

pembedahan tersebut dapat dipersiapkan lebih baik. Rescue therapy dilakukan

dengan pemasangan tamponade balon (Sengstaken Blakemore tube). Pemasangan

tamponade balon ini bersifat sementara, yaitu selama 24 jam, kemudian dilanjutkan

dengan terapi definitif, yaitu pembedahan atau pemasangan transjugular

intrahepatic portosystemic shunt (TIPS) (Savides dan Jensen, 2010).

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

21

2.1.7.3. Penatalaksanaan Perdarahan Non Variseal

Terapi farmakologis yang direkomendasikan oleh Asia-Pacific Working

Group untuk mengatasi perdarahan non variseal adalah penggunaan proton pump

inhibitor (PPI) dosis tinggi secara intravena. Tujuan penggunaan PPI ini adalah

untuk meningkatkan pH pada lambung hingga > 7, agar agregasi trombosit dapat

berlangsung optimal dan bekuan darah menjadi lebih stabil, tidak cepat terjadi

fibrinolisis (Maltz dkk, 2000). Berdasarkan meta-analisis didapatkan bahwa

penggunaan PPI sebelum atau pun sesudah endoskopi dapat menurunkan insiden

perdarahan ulang pada ulkus peptikum, kebutuhan transfusi darah, kebutuhan

endoskopi ulangan, terapi operasi, dan lama rawat di rumah sakit (Blecker, 2008;

Albeldawi, 2010).

Terdapat beberapa terapi endoskopi yang dapat menjadi pilihan dalam

penatalaksanaan perdarahan non variseal, yaitu penyuntikan adrenaline yang telah

diencerkan, termokoagulasi, dan hemoclip. Tindakan endoskopi ini sebaiknya

dilakukan dalam 24 jam setelah didapatkan adanya manifestasi klinis perdarahan

SCBA dengan Forrest I dan Forrest IIA (Sung dkk, 2011; ASGE, 2012; Gralnek

dkk, 2015). Teknik injeksi adrenaline yang telah diencerkan bertujuan agar terjadi

vasokonstriksi dan penekanan lokal pada sumber perdarahan sehingga perdarahan

tersebut dapat berhenti (Gralnek dkk, 2015). Termokoagulasi yang umumnya

dilakukan adalah menggunakan penyinaran laser atau koagulasi argon plasma (Adi,

2014). Teknik hemoclip ditujukan langsung pada area yang mengalami perdarahan

dengan tujuan koagulasi dapat tercapai melalui penekanan mekanis. Ada pun

kesulitan dari teknik ini adalah lapang pandang yang tertutup darah sehingga sulit

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

22

untuk menentukan lokasi perdarahan, lokasi ulkus yang sulit dijangkau, dan dasar

ulkus yang keras akibat fibrosis (Gralnek dkk, 2015).

Terapi pembedahan dapat dipertimbangkan pada kasus perdarahan non

variseal bila terapi endoskopi gagal menghentikan perdarahan tersebut, terjadi

perdarahan ulang dengan adanya kondisi hemodinamik yang tidak stabil, ulkus

yang besar dengan ukuran lebih dari 2 cm dengan lokasi perdarahan ulkus peptikum

pada dinding posterior duodenum, dan telah terjadi perforasi (Savides dan Jensen,

2010; Wee, 2011). Selain terapi pembedahan, dapat pula dilakukan intervensi

radiologi berupa selektif angiografi yang disertai embolisasi hemostasis coil.

Tingkat keberhasilan tindakan tersebut sangat bergantung dengan tingkat keahlian,

ketrampilan, dan pengalaman pelaksana. Ada pun tingkat mortalitas dari tindakan

intervensi radiologi disebutkan lebih kecil dibandingkan terapi pembedahan (Laney

dan Greene, 2015).

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

23

Gambar 2.3. Panduan pilihan terapi berdasarkan temuan endoskopi/kriteria

Forrest (PGI, 2012; Laney dan Jensen, 2012).

2.1.8. Komplikasi Perdarahan SCBA

Komplikasi perdarahan SCBA dapat timbul dalam beberapa jam hingga

beberapa hari setelah terjadi perdarahan, bahkan dapat pula timbul setelah beberapa

minggu setelah terjadinya perdarahan SCBA. Berdasarkan Ferguson dan Mitchell

(2005), komplikasi perdarahan SCBA dapat dibedakan menjadi komplikasi dini dan

komplikasi lambat. Komplikasi dini merupakan komplikasi yang timbul selama

perawatan di rumah sakit atau 5-7 hari setelah terjadinya perdarahan SCBA,

sedangkan komplikasi lambat adalah komplikasi yang timbul setelah keluar rumah

sakit atau 7 hari setelah terjadinya perdarahan SCBA (Ferguson dan Mitchell, 2005;

Maggio dkk, 2013).

Perdarahan aktif atau pembuluh darah

visibel tanpa perdarahan

(Forrest I-IIA)

Terapi endoskopi

Bekuan adheren (Forrest IIB)

Dapat dipertimbangkan terapi endoskopi

Bintik datar atau dasar bersih

(Forrest IIC-III)

PPI oral

Tanpa terapi endoskopi.

Pada kondisi klinis tertentu, dapat rawat

jalan

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

24

Komplikasi perdarahan SCBA dapat berupa perdarahan ulang dan kematian.

Tingkat kematian dan perdarahan ulang pada perdarahan SCBA sangat bergantung

pada penyebab perdarahan, yaitu variseal atau non variseal. Pada perdarahan

variseal risiko terjadi perdarahan ulang cukup tinggi, sekitar 60%, terutama pada 6

minggu pertama setelah perdarahan SCBA terjadi (Cremers dan Ribeiro, 2014).

Risiko perdarahan ulang pada perdarahan non variseal dengan klasifikasi Forrest

IIB, IIC dan III didapatkan lebih rendah bila dibandingkan perdarahan variseal,

yaitu sekitar 5-15% (Leerdam, 2007). Kematian dapat disebabkan oleh perdarahan

masif yang menimbulkan syok hipovolemik atau pun perburukan kondisi terkait

penyakit-penyakit komorbiditas yang ada pada pasien, seperti penyakit ginjal

kronik, penyakit jantung kongestif, dan kondisi infeksi (Cappel dkk, 2008;

Sonnenberg, 2012).

2.2. Stratifikasi Risiko Komplikasi

Stratifikasi risiko komplikasi bertujuan untuk mendeteksi lebih awal kelompok

pasien dengan perdarahan SCBA yang akan mengalami komplikasi, sehingga dapat

dilakukan intervensi dan penatalaksanaan yang lebih baik guna mencegah

timbulnya komplikasi tersebut. Umumnya stratifikasi risiko komplikasi

menggunakan sistem berbasis skor agar mudah untuk diaplikasikan. Menurut

Stanley (2012), sistem evaluasi berbasis skor untuk yang baik adalah mudah

dihitung, akurat dan relevan untuk menilai hasil yang diinginkan, dan dapat

digunakan pada awal manifestasi klinis, dalam hal ini sebelum dilakukan evaluasi

endoskopi.

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

25

Saat ini telah banyak sistem stratifikasi risiko komplikasi perdarahan SCBA

yang telah dikembangkan. Sistem-sistem stratifikasi tersebut umumnya dapat

dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu sistem stratifikasi risiko yang

menggunakan tindakan endoskopi dan sistem stratifikasi risiko yang tidak

menggunakan endoskopi. Ada pun sistem stratifikasi yang telah direkomendasikan

untuk mengevaluasi risiko komplikasi perdarahan SCBA adalah sistem GBS dan

Rockal score (NICE, 2011; PGI, 2012; ASGE, 2012; Gralnek dkk, 2015).

2.2.1. Sistem Stratifikasi Risiko Komplikasi Menggunakan Endoskopi

2.2.1.1. Rockall Score

Sistem stratifikasi ini diperkenalkan oleh Rockall dkk pada tahun 1997.

Sistem skor ini terdiri atas 2 bagian, yaitu pre-endoskopi yang dikenal dengan

clinical Rockall score dan post-endoskopi atau yang dikenal dengan full Rockal

score. Sistem stratifikasi ini menyebutkan semakin tinggi skor yang didapat, maka

risiko komplikasi berupa perdarahan ulang dan kematian pun semakin meningkat.

Skor <2 mengindikasikan kelompok dengan risiko rendah terjadinya komplikasi,

sedangkan kelompok yang berisiko tinggi adalah kelompok dengan total skor >8

(Bakhtavar dkk, 2016; Monteiro dkk, 2016).

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

26

Tabel 2.3. Rockal Skor (PGI, 2012).

Skor

Variabel

0 1 2 3

Usia <60 tahun 60-79 tahun >80 tahun

Syok Tidak ada

syok,

Tekanan

darah (TD)

>100, Nadi

<100

Takikardi, TD

>100, Nadi

>100

Hipotensi, TD

<100

Diagnosis

endoskopi

Robekan

Mallory-

Weiss, tidak

ada lesi, dan

tidak ada

stigmata

perdarahan

baru

Ulkus

peptikum,

esophagitis

atau penyakit

erosive

Keganasan

SCBA

Penyakit

komorbiditas

Tidak ada Gagal jantung

kongestif,

Penyakit

jantung

iskemik,

Penyakit

komorditas

mayor

lainnya

Gagal ginjal,

Gagal hati,

Penyakit

metastasis

Stigmata

endoskopi atau

perdarahan

baru

Ulkus dasar

bersih,

pigmentasi

rata

Darah dalam

SCBA,

perdarahan

aktif,

pembuluh

darah visibel

atau bekuan

yang

menempel

Total skor <2 memiliki risiko rendah untuk perdarahan ulang dan kematian, total

skor >8 risiko tinggi untuk perdarahan ulang dan kematian.

2.2.1.2. BBS (Baylor Bleeding Score)

Sistem skor ini pertama kali diperkenalkan oleh Saeed ZA dkk pada tahun

1993. Skor ini hanya digunakan untuk menilai risiko perdarahan ulang pada

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

27

perdarahan SCBA non variseal setelah tindakan terapi endoskopi. Ada pun

penilaian yang dilakukan pada sistem skor ini adalah penilaian pre-endoskopi dan

post-endoskopi. Kelompok yang dinilai berisiko tinggi untuk mengalami

komplikasi adalah kelompok dengan skor pre-endoskopi >6 dan total skor >11

setelah dijumlahkan dengan penilaian post-endoskopi (Stanley, 2012; Bakhtavar

dkk, 2016).

Tabel 2.4. Penilaian BBS (Bakhtavar dkk, 2016).

Aspek 1 2 3 4 5

Usia 30-49 50-59 60-69 >70

Jumlah

penyakit

1-2 3-4 >5

Derajat

berat

penyakit

Kronik Akut

Lokasi

perdarahan

Dinding

bulbus

posterior

Srigmata

perdarahan

Bekuan

darah

Pembuluh

darah

visibel

Perdarahan

aktif

Risiko tinggi terjadi perdarahan ulang bila skor pre-endoskopi >6 dan total skor

>11, risiko rendah bila skor pre-endoskopi <5 dan total skor <10.

2.2.1.3. CSMCPI (Cedars-Sinai Medical Centre Predictive Index)

Sistem skor ini direkomendasikan oleh American Society of Endoscopy of

the Digestive System pada tahun 1981. Skor ini bertujuan untuk menilai lama

perawatan rumah sakit. Terdapat 4 aspek yang dinilai pada sistem skor ini, yaitu

temuan endoskopi, interval waktu antara munculnya manifestasi klinis dan

perawatan ke rumah sakit, status hemodinamik, dan jumlah penyakit komorbiditas.

Penilaian sistem skor ini menyebutkan bahwa kelompok dengan total skor <3 dapat

dilakukan rawat jalan, sedangkan bila >3 memerlukan perawatan rumah sakit.

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

28

Evaluasi ulangan dilakukan kembali dalam 24-72 jam sesuai dengan hasil temuan

endoskopi dan dinilai kembali berdasarkan sistem skor ini. Hay dkk (1997),

melakukan uji validasi terhadap sistem skor ini dan mendapatkan hasil bahwa

penggunaan skor ini dapat menurunkan lama perawatan rumah sakit pada pasien-

pasien perdarahan SCBA (Bakhtavar dkk, 2016; Monteiro dkk, 2016).

Tabel 2.5. Penilaian CSMCPI (Bakhtavar dkk, 2016; Monteiro dkk, 2016).

Skor Temuan EGD Waktu Hemodinamik Penyakit

komorbiditas

0 Ulkus dasar

bersih, robekan

Mallory-Weis

tanpa

perdarahan,

Penyakit erosi,

endoskopi

normal

>48 jam Stabil <1

1 Ulkus dasar

bersih atau

dengan bekuan

darah, penyakit

erosi dengan

tanda

perdarahan,

angiodisplasia

<48 jam Intermediet 2

2 Ulkus dengan

pembuluh

darah yang

visibel tanpa

perdarahan

Di rumah

sakit

Tidak stabil 3

3 >4

4 Perdarahan

aktif, varises,

keganasan

SCBA

Total skor <3 tidak memerlukan rawat inap, total skor >3 memerlukan rawat inap.

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

29

2.2.2. Sistem Stratifikasi Risiko Komplikasi Tanpa Endoskopi

2.2.2.1. GBS (Glasgow-Blatchford Score)

GBS pertama kali diperkenalkan oleh Blatchford dkk untuk menilai perlunya

perawatan rumah sakit untuk intervensi (transfusi darah, tindakan terapi endoskopi

atau pembedahan) dan risiko kematian pada perdarahan SCBA. Uji validasi yang

dilakukan pada tahun 2000 terhadap sistem skor ini menyebutkan bahwa nilai GBS

0 merupakan kelompok dengan risiko rendah dan dapat menjalani rawat jalan,

sedangkan semakin tinggi nilai GBS maka mengindikasikan perlunya tindakan

intervensi untuk mencegah komplikasi perdarahan SCBA (Blatchford dkk, 2000).

Skor ini telah dipergunakan secara luas untuk menilai risiko komplikasi perdarahan

SCBA akibat perdarahan non variseal dan disebutkan pula dari beberapa penelitian

bahwa skor ini memberikan hasil yang lebih baik untuk memprediksi komplikasi

yang dapat timbul pada perdarahan SCBA dibandingkan dengan Rockall score

(Pang dkk, 2010; Jeune dkk, 2011; Ahn dkk, 2013).

Tabel 2.6. Penilaian GBS (PGI, 2012).

Variabel Poin Variabel Poin

TD sistolik

100-109

90-99

<90

1

2

3

Hb (pria)

12-12,9

10-11,9

<10

1

3

6

Ureum (mg/dL)

36,5-44,5

44,6-55,5

55,6-139,9

>140

2

3

4

6

Hb (wanita)

10-11,9

<10

1

2

Variabel lainnya

Nadi >100

Melena

Penyakit hati

Gagal jantung

1

1

2

2

Total skor 0 mengindikasikan dapat dilakukan rawat jalan, total skor >6

mengindikasikan kelompok risiko tinggi dan perlu dilakukan intervensi.

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

30

2.2.2.2. Sistem AIMS65

Sistem skor ini diperkenalkan oleh Saltzman dkk (2011) untuk menilai

prognosis pada perdrahan SCBA. Variabel-variabel yang dinilai pada sistem skor

ini adalah usia di atas 65 tahun, tekanan darah sistolik, status kesadaran, INR, dan

serum albumin. Total skor <1 disebutkan sebagai kelompok dengan risiko rendah

untuk terjadi komplikasi perdarahan SCBA dan skor >2 merupakan kelompok

dengan risiko tinggi (Bakhtavar dkk, 2016; Monteiro dkk, 2016).

Tabel 2.7. Penilaian Skor AIMS-65 (Bakhtavar dkk, 2016).

Variabel Skor

Albumin<3 g/dL 1

INR >1,5 1

TD sistolik <90mmHg 1

Perubahan status mental 1

Usia >65 tahun 1

Total skor <1 berisiko rendah terjadinya komplikasi, total skor >2 berisiko tinggi

terjadinya komplikasi.

2.2.2.3. Sistem T-score

Sistem T-score merupakan sistem stratifikasi risiko perdarahan SCBA yang

diperkenalkan oleh peneliti di Italia. Sistem skor ini menggunakan 4 variabel yang

masing-masing memiliki nilai 1-3. Variabel-variabel yang dinilai adalah kondisi

umum, denyut nadi, tekanan darah sistolik, dan kadar hemoglobin. Interpretasi dari

sistem skor ini dibedakan menjadi T1 bila didapatkan total skor <6 yang

mengindikasikan kelompok berisiko tinggi, T2 bila didapatkan total skor 7-9 yang

mengindikasikan kelompok berisiko sedang, dan T3 bila didapatkan total skor >10

yang mengindikasikan kelompok berisiko rendah. Sistem skor ini disebutkan dapat

memprediksi stigmata berisiko tinggi untuk terjadinya perdarahan pada temuan

endoskopi dengan cukup akurat, yaitu pada kelompok dengan total skor <6

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

31

(Bakhtavar dkk, 2016; Monteiro dkk, 2016).

Tabel 2.8. Penilaian Sistem T-score (Bakhtavar dkk, 2016).

Skor

Variabel

1 2 3

Kondisi umum Buruk Sedang Baik

Nadi >110 90-110 <90

TD sistolik <90 90-110 >110

Hb <8 9-10 >10

T1: total skor <6 kelompok berisiko tinggi, T2: total skor 7-9 kelompok berisiko

sedang, T3: total skor >10 kelompok berisiko rendah.

2.2.3. Indeks NIEC (North Italian Endoscopic Club)

Stratifikasi risiko untuk deteksi dini komplikasi perdarahan variseal berupa

perdarahan ulang dan kematian merupakan hal yang sulit untuk dilakukan. Hal ini

disebabkan komplikasi yang timbul tidak hanya berkaitan dengan derajat beratnya

perdarahan variseal yang terjadi, namun berkaitan pula dengan berat penyakit dasar

yang menimbulkan perdarahan variseal tersebut terjadi (Bambha dkk, 2007; Hunter

dan Hamdy, 2007). Berdasarkan hal tersebut maka hingga saat ini hanya indeks

NIEC saja yang disarankan untuk menilai risiko komplikasi perdarahan pada

varises esofagus (Zoli dkk, 1996; Merkel dkk, 2000; Jensen, 2002).

Indeks NIEC merupakan sebuah sistem penilaian yang dikembangkan untuk

menilai risiko perdarahan variseal pada varises esofagus. Penilaian ini pertama kali

diperkenalkan pada tahun 1988 oleh North Italian Endoscopy Club. Ada pun

parameter yang dinilai adalah derajat Child Turcotte Pugh penyakit sirosis hati,

ukuran varises esofagus, dan adanya stigmata mata perdarahan berupa red wale.

Semakin tinggi nilai dari indeks NIEC maka risiko perdarahan variseal pun akan

semakin besar. Ada pun hasil dari penghitungan dari indeks NIEC akan dibedakan

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

32

menjadi 6 kelompok kelas risiko. Kelompok kelas risiko 1-3 akan digolongkan

menjadi risiko rendah mengalami perdarahan dan kelas risiko 4-6 masuk kategori

berisiko tinggi untuk terjadinya perdarahan variseal (Zoli dkk, 1996; Merkel dkk,

2000; Jensen, 2002).

Tabel 2.9. Penilaian indeks NIEC (Jensen, 2002).

Variabel Poin

Child Turcotte Pugh

A

B

C

6,5

13

19,5

Ukuran Varises

Kecil

Sedang

Besar

8,7

13

17,4

Tanda Red Wale

Tidak ada

Ringan

Sedang

Berat

3,2

6,4

9,6

12,8

Risiko rendah terjadi perdarahan bila indeks NIEC <30, risiko tinggi terjadi

perdarahan bila indeks NIEC >30.

Tabel 2.10. Interpretasi penilaian indeks NIEC (Jensen, 2002).

Risiko Kelas Indeks NIEC Risiko Perdarahan

Variseal (%)

1 <20 9,5

2 20-25 15,8

3 25,1-30 22

4 30,1-35 32

5 35,1-40 50

6 >40 63,6

2.2.4. Skor C-WATCH

Sistem stratifikasi risiko yang ada hingga saat ini belum ada yang dapat

digunakan untuk menilai perdarahan variseal dan non variseal (ASGE, 2012; PGI,

2012; Gralnek dkk, 2015; Monteiro dkk, 2016). Penggunaan GBS dan Rockall

score untuk menstratifikasi risiko komplikasi pada perdarahan SCBA akibat

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

33

perdarahan variseal telah diteliti oleh Lahiff dkk (2012) dan Thanapirom dkk

(2016). Hasil dari kedua penelitian tersebut adalah GBS dan Rockall score tidak

dapat digunakan untuk menstratifikasi risiko komplikasi perdarahan variseal.

Berdasarkan atas hal tersebut maka diperlukan adanya sistem stratifikasi risiko

komplikasi perdarahan SCBA yang dapat dipergunakan pada perdarahan variseal

dan non variseal.

Umumnya perdarahan SCBA akibat variseal dan non variseal sulit dibedakan

secara cepat pada perawatan di ruang gawat darurat. Ada pun risiko kematian dan

perdarahan ulang pada perdarahan variseal lebih tinggi dibandingkan perdarahan

non variseal, sehingga sistem stratifikasi risiko yang digunakan sebaiknya dapat

mengestimasi risiko komplikasi perdarahan SCBA pada kedua penyebab tersebut

dengan baik dan akurat guna memberikan penatalaksanaan lebih baik pada

kelompok berisiko tinggi (Hearnshaw dkk, 2011; Hoffman, 2015). Pada tahun

2015, Hoffman dkk memperkenalkan sebuah skor baru, yaitu skor C-WATCH

untuk menstratifikasi risiko komplikasi perdarahan SCBA, baik akibat perdarahan

variseal dan non variseal.

Skor C-WATCH sesungguhnya merupakan sistem stratifikasi risiko

komplikasi dengan menggunakan parameter klinis. Skor C-WATCH pertama kali

diperkenalkan di Jerman oleh Hoffman dkk pada tahun 2015. Skor ini

sesungguhnya diperkenalkan sebagai Cologne-WATCH risk score, karena

penelitian dilakukan di Rumah Sakit Cologne-Jerman, dan disingkat menjadi skor

C-WATCH (Hoffman dkk, 2015). Ada pun parameter yang diukur pada skor ini

adalah CRP, leukosit (white blood cells), ALT, trombosit, creatinine dan

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

34

hemoglobin.

Kerusakan mukosa dan robeknya pembuluh darah pada perdarahan SCBA

akan merangsang sel-sel inflamasi lokal, seperti monosit, makrofag dan neutrofil,

untuk melepaskan sitokin-sitokin proinflamasi ke dalam aliran darah. Sitokin-

sitokin tersebut adalah interleukin (IL)-1, IL-6, IL-8 dan tumor necrosis factor-

(TNF-) (Afessa, 1999; Koseoglu dkk, 2009). Pelepasan sitokin-sitokin tersebut

akan merangsang hati untuk memproduksi protein fase akut, salah satunya adalah

CRP, dan menstimuli sumsum tulang untuk memproduksi leukosit lebih banyak ke

aliran darah perifer (Koseoglu dkk, 2009; Namas dkk, 2009). Ada pun tujuan dari

proses inflamasi ini adalah mengeliminasi sel dan jaringan yang telah rusak atau

nekrosis dan memulai proses penyembuhan dari jaringan.

Hilangnya darah di intravaskular akibat perdarahan SCBA akan

mengakibatkan menurunnya kadar Hb sehingga pasokan oksigen ke jaringan pun

akan berkurang (Bonanno, 2012). Hal ini akan mengaktivasi sistem kompensasi di

dalam tubuh. Sistem kompensasi tersebut terdiri dari aktivasi sistem simpatis dan

mekanisme kompensasi humoral. Aktivasi sistem simpatis akan meningkatkan

denyut jantung, kekuatan kontraktilitas jantung dan vasokonstriksi sistemik untuk

meningkatkan resistensi vaskuler sistemik. Mekanisme kompensasi humoral terdiri

atas pelepasan catecholamine, aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron dan

pelepasan vasopressin. Pelepasan catecholamine dan aktivasi sistem renin-

angiotensin-aldosteron akan mengakibatkan vasokonstriksi perifer dan peningkatan

efek aktivasi sistem simpatis. Ada pun efek lain dari sistem renin-angiotensin-

aldosteron adalah meningkatkan reabsorbsi air dan garam melalui ginjal. Pelepasan

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

35

vasopressin akan merangsang refleks haus dan berperan pula pada reabsorbsi air

melalui ginjal. Peran dari sistem renin-angiotensin-aldosteron dan vasopressin

bertujuan untuk meningkatkan volume intravaskuler yang berkurang akibat

terjadinya perdarahan SCBA (Bonanno, 2012; Klabunde, 2012).

Tujuan utama dari aktivasi kedua sistem kompensasi, sistem simpatis dan

mekanisme humoral, adalah meningkatkan kembali tekanan arteri dan volume

intravaskular sehingga perfusi dan pasokan oksigen pada jantung dan otak dapat

terjaga (Klabunde, 2012). Ada pun perfusi pada ginjal, usus, liver dan otot dapat

mengalami penurunan akibat vasokonstriksi perifer yang timbul sebagai respon dari

aktivasi sistem simpatis dan mekanisme kompensasi humoral. Menurunnya perfusi

pada ginjal dan liver akan mengakibatkan iskemik sehingga terjadi gangguan pada

fungsi kedua organ tersebut (Guiterrez dkk, 2004; Klabunde, 2012). Hal inilah yang

menyebabkan peningkatan kadar creatinine serum dan ALT pada perdarahan

SCBA.

Kondisi inflamasi yang terjadi pada perdarahan SCBA akibat rusaknya

mukosa dan robeknya pembuluh darah akan mengaktivasi trombosit untuk memulai

proses hemostasis guna menghentikan perdarahan yang terjadi. Aktivasi sistem

hemostasis ini diperkuat pula oleh sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-6

dan TNF- (Margetic, 2012; Davidson, 2013). Trombosit berperan untuk

membentuk kerangka dasar hemostasis guna menghentikan perdarahan. Kerangka

dasar hemostasis ini dikenal sebagai platelet plug, yang selanjutnya akan

dipadatkan oleh fibrin untuk membentuk hemostatic plug (Ferreira dkk, 2010; Gale,

2011). Ada pun gangguan pada trombosit, baik berupa gangguan jumlah atau pun

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

36

gangguan fungsi, akan menghambat proses hemostasis untuk menghentikan

perdarahan (Gale, 2011; Margetic, 2012, Davidson, 2013). Berdasarkan hal

tersebut, maka trombosit merupakan komponen penting pada proses hemostasis

untuk menghentikan perdarahan.

Beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan antara kadar CRP dengan

perdarahan SCBA. Peningkatan kadar CRP selain berkaitan dengan kerusakan

jaringan pada perdarahan SCBA, berkaitan pula dengan inflamasi aktif pada gaster

(Boehme dkk, 2007; Koseoglu dkk, 2009; Tomizawa dkk, 2014; Lee dkk, 2015).

Ada pun leukosit dapat meningkat pula terkait dengan proses inflamasi yang timbul

pada perdarahan SCBA, hal ini telah ditunjukkan oleh penelitian Chalasani dkk

pada tahun 1997. Beberapa penelitian lain menyebutkan pula bahwa peningkatan

leukosit merupakan sistem kompensasi dari tubuh atas kehilangan darah secara akut

(Koseoglu dkk, 2009; Tomizawa dkk, 2016).

ALT dan creatinine merupakan salah satu parameter yang dapat menilai

gangguan fungsi organ akibat perdarahan SCBA. Peningkatan kadar kedua

parameter tersebut mengindikasikan bahwa perdarahan SCBA yang terjadi cukup

berat, sehingga menimbulkan iskemik pada sistem organ, khususnya ginjal dan hati

(Taylor dkk, 2014; Laney dan Greene, 2015).

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

37

Gambar 2.4. Hubungan skor C-WATCH dan komplikasi perdarahan SCBA

(Koseoglu dkk, 2009; Bonanno, 2012; Klabunde, 2012; Davidson, 2013).

Kerusakan mukosa,

Robeknya pembuluh

darah Perdarahan SCBA

Mediator-mediator inflamasi

(IL-1, IL-6, IL-8, TNF-)

Peningkatan CRP dan Leukosit

Hilangnya darah intravaskuler

(Kadar Hb turun)

Mekanisme kompensasi humoral

(Sistem renin-angiotensin-aldosteron) Aktivasi sistem simpatik

Vasokonstriksi perifer

Perfusi ginjal menurun

(Peningkatan kadar creatinine)

Perfusi liver menurun

(Peningkatan kadar ALT)

Komplikasi perdarahan SCBA

Sistem hemostasis

(Trombosit)

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

38

Gangguan pada trombosit akan mengakibatkan terganggunya proses

hemostasis untuk menghentikan perdarahan SCBA. Trombosit pada perdarahan

akut akan mengalami peningkatan mengingat adanya sistem kompensasi tubuh

terhadap perdarahan akut, namun apabila kadar trombosit menurun akan

mengindikasikan adanya gangguan sistem koagulasi (Maltz dkk, 2000; Laney dan

Greene, 2015). Selain itu, kadar trombosit yang rendah disebutkan dapat digunakan

sebagai penanda beratnya hipertensi portal yang terjadi pada kasus-kasus dengan

perdarahan variseal (Carqueira dkk, 2012).

Berdasarkan atas hal-hal tersebut maka parameter-parameter yang dinilai pada

skor C-WATCH relevan digunakan untuk menilai risiko komplikasi perdarahan

SCBA. Penelitian Hoffman dkk (2015) menunjukkan bahwa skor C-WATCH <2

merupakan kelompok dengan risiko rendah terjadinya komplikasi dan skor >2

adalah kelompok yang memerlukan perawatan rumah sakit untuk dilakukan

pemantauan dan terapi endoskopi. Ada pun nilai AUC pada penilitian tersebut

untuk skor C-WATCH adalah sebesar 0,723, hal ini mengindikasikan bahwa secara

statistik skor C-WATCH tergolong baik untuk mendeteksi secara dini adanya

komplikasi perdarahan SCBA (Hoffman dkk, 2015). Penggunaan skor ini masih

memerlukan penelitian lebih lanjut agar dapat dipergunakan secara luas, mengingat

skor ini masih tergolong baru.

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

39

Tabel 2.11. Penilaian Skor C-WATCH (Hoffmann dkk, 2015).

Variabel Skor

CRP

<5

>5

0

1

WBC

<11,300

>11,300

0

1

ALT

<35 (laki-laki) dan <50 (perempuan)

>35 (laki-laki) dan >50 (perempuan)

0

1

Trombosit

>150,000

50,000-150,000

<50,000

0

1

2

Creatinine

<1.1 (laki-laki) dan <0.9 (perempuan)

>1.1 (laki-laki) dan >0.9 (perempuan)

0

1

Hb

>14 (laki-laki) dan >12 (perempuan)

10-14 (laki-laki) dan 10-12 (perempuan)

<10

0

1

2

2.3. Validitas dan Realibilitas

Validitas (kesahihan) dan reliabilitas (keterandalan) adalah dua karakteristik

yang amat penting dan menentukan kualitas dari alat ukur dan pengukuran

(Sastroasmoro dan Ismael, 2011; Sugiyono, 2011). Validitas merupakan produk

dari validasi. Validasi adalah proses untuk menentukan kemampuan dari suatu alat

untuk dapat digunakan. Dalam proses validasi juga meliputi analisis karakteristik

performa dari suatu tes diagnostik seperti misalnya spesifisitas, sensitivitas,

standarisasi, repeatability, cut off (Ederven, 2010). Yang dimaksud dengan

performa dari diagnostik tes adalah kemampuan suatu alat untuk mengkonfirmasi

atau mengeksklusi suatu penyakit (Gatsonis dan Paliwel, 2006).

Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

40

Reliabilitas adalah konsistensi pengukuran yaitu suatu alat atau instrumen

memberikan nilai yang sama atau hampir sama pada pemeriksaan yang dilakukan

berulang-ulang. Namun harus dipahami bahwa tidak ada satu pengukuran pun yang

memiliki validitas dan reliabilitas yang sempurna (Sugiyono, 2011).

2.3.1. Validitas

Suatu pengukuran disebut valid bila pengukuran dengan suatu alat ukur atau

instrumen dapat menggambarkan hal yang sebenarnya ingin diukur. Validitas

mengacu pada kebenaran dan kesesuaian hasil pengukuran. Terdapat beberapa tipe

validitas.

2.3.1.1. Validitas isi (content validity)

Menggambarkan seberapa jauh kumpulan variabel dalam instrumen dapat

mewakili atau merupakan representasi dari hal yang hendak diukur. Penilaian

validitas isi adalah secara judgemental oleh seorang pakar dan bukan secara statistik

(Azwar, 2010).

2.3.1.2. Validitas kriteria (criterion validity)

Menggambarkan seberapa jauh hasil satu pengukuran sesuai dengan hasil

pengukuran lain dengan menggunakan alat yang dianggap baku emas (gold

standar). Penilaian validitas kriteria dilakukan dengan membandingkan secara

statistik hasil suatu uji dengan uji lain yang dianggap baku emas. Bila suatu

instrumen yang diuji belum memiliki baku emas, penilaian dilakukan dengan

Page 34: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

41

kemampuan diskriminan (discriminant ability) atau dengan menggunakaan known

group validity, yaitu apakah suatu alat ukur dapat menunjukkan perbedaan yang

bermakna pada subyek yang hendak diukur dibandingkan dengan hasil pengukuran

dari subyek atau kelompok pembanding. Kelompok pembanding diambil dari

populasi yang berbeda karakteristiknya dengan populasi yang akan diukur (Azwar,

2010; Sugiyono, 2011).

2.3.1.3. Validitas kontruksi (construct validity)

Validitas ini menggambarkan seberapa jauh hasil pengukuran suatu alat ukur

sesuai dengan konsep teoritis yang mendasari keadaan yang diukur. Dalam

penilaian validitas kontruksi dilakukan analisis untuk membuktikan apakah

pertanyaan yang terkandung dalam suatu alat ukur mewakili apa yang hendak

diukur. Dari pengujian tersebut akan menghasilkan nilai koefisien korelasi tiap

butir pertanyaan terhadap nilai total yang bervariasi dari yang lemah hingga yang

kuat (Azwar, 2010; Sugiyono, 2011).

2.3.2. Realibilitas

Reliabilitas adalah seberapa konsisten suatu alat ukur menghasilkan nilai yang

stabil pada pengulangan tes. Hasil pengukuran dapat dipercaya bila dalam beberapa

kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subyek yang sama diperoleh hasil

yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subyek memang belum

berubah. Dalam hal ini berarti tetap adanya toleransi terhadap perbedaan-perbedaan

Page 35: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

42

kecil diantara hasil beberapa kali pengukuran. Terdapat 3 macam pendekatan

reliabilitas yang akan dijelaskan di bawah (Azwar, 2010; Sugiyono, 2011).

2.3.2.1. Reliabilitas test-retest (intra-observer reliability)

Pengukuran pada subyek yang sama oleh orang yang sama pada waktu yang

berbeda menghasilkan hasil yang sama. Asumsi yang menjadi dasar cara ini adalah

bahwa suatu tes yang reliabel akan menghasilkan skor yang relatif sama apabila

dikenakan 2 kali pada waktu yang berbeda. Dalam menggunakan cara ini perlu

diperhatikan adanya kemungkinan perubahan kondisi subyek sejalan dengan

perbedaan watu penyajian tes. Dalam bentuk lain, efek bawaan dapat terjadi karena

masih ingatnya subyek pada jawaban yang pernah diberikannya waktu pertama kali

tes disajikan, dan sebagai akibat dari proses pembelajaran dari tes yang pertama

kali dikerjakan. Adalah tidak mudah untuk menentukan berapa lama tenggang

waktu yang disediakan diantara dua kali pemberian tes pada cara ini. Bila tenggang

waktu terlalu singkat akan sangat mungkin terjadi efek bawaan atau pembelajaran

sedangkan bila terlalu panjang mungkin akan terjadi perubahan aspek yang akan

diukur dalam diri subyek (Azwar, 2010; Sugiyono, 2011).

2.3.2.2. Reliabilitas inter-observer

Pengukuran suatu instrumen pada subyek yang sama oleh pemeriksa yang

berbeda menunjukkan hasil yang sama. Karena tes ini dilakukan 2 kali pada subyek

yang sama, maka kemungkinan-kemungkinan seperti pada cara test-retest dapat

terjadi (Azwar, 2010).

Page 36: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Perdarahan SCBA

43

2.3.2.3. Reliabilitas konsistensi interna (internal consistency reliability)

Pendekatan konsistensi internal dilakukan dengan menggunakan satu tes

yang hanya dikenakan pada satu kali pengukuran pada sekelompok subyek (single-

trial administration). Dengan menyajikan tes hanya sekali maka kemungkinan-

kemungkinan seperti yang telah disebutkan di atas dapat dihindari. Pendekatan ini

bertujuan untuk melihat konsistensi antar item dalam tes itu sendiri. Untuk melihat

kecocokan atau koordinasi diantara item tes dapat dilakukan melalui teknik korelasi

(Azwar, 2010).