Upload
others
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
24
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengelolaan lingkungan merupakan usaha secara sadar untuk
memelihara atau memperbaiki mutu lingkungan agar kebutuhan dasar
manusia dapat terpenuhi dengan sebaik-baiknya. Pengelolaan
lingkungan memiliki sifat lentur, karena melihat situasi dan kondisi yang
ada disekitar lingkungan masyarakat dari hari ke hari mengalami
perubahan. Persepsi mengenai kebutuhan dasar dalam kelangsungan
hidup secara manusiawi tidak sama dari setiap golongan masyarakat.
Kelenturan dalam mengelola lingkungan diperlukan agar pengelolaan
lingkungan bisa masuk disetiap waktu dan kepada semua golongan
masyarakat. (Otto soemarwoto, 2001 : 76)
Pengelelolaan lingkungan sebagai usaha untuk mengubah
keseimbangan lingkungan yang ada pada mutu lingkungan yang rendah
ke keseimbangan lingkungan baru pada tingkat mutu lingkungan yang
tinggi diusahakan agar lingkungan tetap dapat mendukung mutu hidup
yang lebih tinggi. Sehingga usaha pengelolaan lingkungan merupakan
usaha yang digunakan untuk menopang secara berkelanjutan
kelangsungan hidup manusia. Kehidupan manusia sampai anak cucunya
dapat terjamin pada tingkat mutu hidup yang baik.
25
Interaksi antara manusia dengan lingkungan hidupnya menjadi
bagian yang sangat penting. Sehingga dapat dikatakan bahwa
pengelolaan lingkungan merupakan bagian dari kebudayaan manusia.
Dan keserasian merupakan unsur pokok dalam kebudayaan manusia.
Manusia diajarkan untuk hidup serasi dengan alam sekitar, dengan
sesama manusia dan dengan tuhan yang menciptakan manusia dan alam.
Manusia dan alam merupakan bagian yang holistik tidak dapat
terpisahkan. Oleh sebab itu keselamatan dan kesejahteraan manusia
tergantung dari keutuhan ekosistem tempat hidupnya. Jika terjadi
kerusakan pada ekosistemnya, maka manusia bisa terusik dan menderita
(Otto soemarwoto, 2001 : 82).
Permasalahan lingkungan berjalan secara progresif dan membuat
lingkungan bumi semakin tidak sesuai dengan peruntukannya, bahkan
apabila kerusakan tidak segera disudahi dan ditemukan solusinya, maka
akan membuatnya tidak sesuai lagi untuk kehidupan manusia. Oleh sebab
itu untuk mengatasi masalah yang terjadi akibat kerusakan lingkungan,
maka diperlukan pengembangan SDM atau pengelola lingkungan yang
handal. Dan syarat utama untuk kehandalan itu ialah bahwa SDM itu
sadar lingkungan yang berpandangan holistik, sadar hukum dan
mempunyai komitmen terhadap lingkungan. Tanpa adanya SDM yang
handal, penguasaan teknologi yang paling canggih pun tidak akan banyak
gunanya (Otto soemarwoto, 2001 : 86).
26
2.1.2 Pengelolaan Wilayah Pesisir
Berdasarkan pasal 2 Undang-Undang No, 27 tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dinyatakan bahwa
“ruang lingkup pengaturan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang
dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup
wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 mil laut
diukur dari garis pantai”. Sehingga ruang lingkup untuk pengaturan
berdasarkan Undang-Undang tersebut meliputi wilayah pesisir, yakni
ruang daratan yang masih dipengaruhi oleh kegiatan di daratan dan ruang
daratan yang masih terasa pengaruh lautnya serta pulau-pulau kecil dan
perairan sekitarnyayang merupakan satu kesatuan dan mempunyai
potensi cukup besar dimana pemanfaatannya beberbasis sumberdaya,
lingkungan dan masyarakat.
Pengelolaan terpadu dan pembangunan wilayah pesisir dan laut,
termasuk zona ekonomi ekslusif (ZEE) memiliki 5 zona wilayah utama
yang diidentifikasi di spektrum pesisir laut yaitu :
1. Inland areas, yang mempengaruhi laut utamanya melalui sungai
dan “nonpint source of pollution”.
2. Coastal lands – wetlands, marshes dan sejenisnya – dimana
aktivitas manusia terkonsentrasi dan secara langsung
mempengaruhi perairan sekitar.
3. Coastal waters – umumnya estuari, lagoon dan perairan dangkal
dimana pengaruh aktivitas di darat sangat dominan.
27
4. Offshore waters, umumnya diluar batas / ujung yuridiksi nasional
(200 mil lepas pantai)
5. High seas, diluar batas yuridiksi nasional.
Dari kelima wilayah tersebut, pengelolaan terpadu yang perlu
berdasarkan keputusan menteri kelautan dan perikanan yang perlu
diperhatikan meliputi:
1. Tahap Persiapan
2. Tahap Inisiasi
3. Tahap Pengembangan
4. Tahap Sertifikasi
5. Tahap Pelaksanaan
6. Tahap Kelembagaan
Sedangkan dari tahap tersebut, berdasarkan Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman
Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu dijelaskan prinsip
dasar/asas pengelolaan pesisir terpadu meliputi :
1. Asas Keberlanjutan
2. Asas Konsistensi
3. Asas Keterpaduan
4. Asas Kepastian Hukum
5. Asas Kemitraan
6. Asas Pemerataan
7. Asas Peran Serta Masyarakat
8. Asas Keterbukaan
28
9. Asas Desentralisasi
10. Asas Akuntabilitas
11. Asas Keadilan
2.1.3 Co-Management
a. Definisi co-management
Co-Management atau pengelolaan bersama merupakan
paradigma yang sedang berkembang dengan pesat dalam
pengelolaan sumber daya alam dimana Ruang terbuka hijau
merupakan lahan konservasi yang perlu pengelolaan bersama
(kemitraan) antara pemerintah, masyarakat dan stakeholder. Co-
management juga dinamakan pengelolaan kolaboratif, pengelolaan
partisipatif atau pengelolaan berbasis masyarakat.
Pengelolaan partisipatif didasarkan pada tiga bagian utama
(Wells, et al.,1992 dalam Bambang, 2006): 1) Semua pemangku
kepentingan (stakeholder) diberi kesempatan untuk terlibat aktif
dalam pengelolaan. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin komitmen
dan partisipasi mereka dan untuk menampung pengetahuan, aspirasi
dan pengalaman mereka dalam pengelolaan; 2) Pembagian peran
dan tanggung jawab di dalam pengelolaan berbeda-beda tergantung
kondisi khusus dari tiap kawasan. Dalam beberapa kasus,
kewenangan lebih banyak pada lembaga masyarakat, pada kasus
yang lain kewenangan lebih banyak pada instansi pemerintah; 3)
Kerangka kerja pengelolaan tidak hanya untuk tujuan ekologis
29
konservasi, melainkan juga mencakup tujuan-tujuan ekonomi, social
dan budaya. Perhatian khusus perlu diberikan terhadap kebutuhan
mereka yang tergantung terhadap sumberdaya, keseimbangan dan
partisipasi.
b. Manfaat Adanya Co-Management
Manfaat adanya co-management menurut Wiyanto (2004)
dalam Bambang (2006:28) akan terwujud bila selaras dengan proses
dan tujuannya, yaitu:
1. Untuk pengembangan ekonomi dan sosial yang bertumpu pada
prakarsa dan kemampuan masyarakat
2. Untuk mengalihkan kewenangan dalam menetapkan keputusan
pengelolaan sumber daya alam
3. Sebagai cara untuk mengurangi terjadinya perselisihan melalui
keikutsertaan seluruh pihak yang terlibat secara demokratis.
Pemanfaat sumber daya menerima manfaat dengan ikut serta
dalam menetapkan keputusan dalam pengelolaan yang
mempengaruhi kesejahteraan mereka, sedangkan pemerintah
menerima manfaat dari berkurangnya kewenangan. Pemerintah juga
akan menetapkan hak dan kewenangan atas hukum yang setara dan
mengalihkan sebagian kewenangannya.
c. Ciri-Ciri Co-Management
Menurut Wiyanto (2004) dalam Bambang (2006:29) bahwa
ciri-ciri dari co-management adalah:
30
1. Sebagai jalan tengah antara pengelolaan secara terpusat
sepenuhnya oleh pemerintah dengan tujuan efisiensi dan
pemerataan serta pengelolaan sepenuhnya oleh masyarakat
setempat dengan tujuan untuk mengelola dan mengatur diri
sendiri dan ikut serta secara aktif.
2. Sebagai proses pengelolaan sumber daya, dengan melakukan
penyesuaian/ perubahan dari waktu ke waktu, yang mencakup
segi pemberdayaan masyarakat, pengalihan kewenangan,
pembagian kekuasaan dan kesetaraan (demikratisasi)
3. Sebagai strategi pengelolaan yang luwes, yang merupakan
wahana untuk ikut serta, membuat aturan, mengatasi
perselisihan, membagi kewenangan, kepemimpinan, dialog,
membuat keputusan, menambah dan membagi pengetahuan,
belajar serta pembinaan diantara para pemanfaat sumber
dayapemangku kepentingan dan pemerintah.
d. Peran Pemerintah dalam Co-Management
Peran Pemerintah dalam co-management sangat besar sekali
menurut Wiyanto (Pemberdayaan Masyarakat Pasca Proyek,2004),
bahwa peran tersebut antara lain: 1) menyediakan
peraturan/kebijakan seperti desentralisasi kekuasaan/ kewenangan;
2) Mendorong keikutsertaan dan melakukan dialog dengan
masyarakat; 3) Mengakui/mengesahkan hak-hak masyarakat; 3)
Melakukan prakarsa; 4) Melakukan penegakan hukum; 6) Mengatasi
masalah yang berada di luar kewenangan masyarakat; 7)
31
Memadukan kegiatan pada berbagai tingkatan pemerintah; 8)
Menyediakan bantuan dan layanan teknis, adminstrasi dan keuangan
untuk menunjang lembaga kemasyarakatan setempat.
Pengelolaan co-management mensyaratkan adanya
kelompok pemangku kepentingan untuk bersama-sama berbagi
peran dalam pengelolaan.
2.1.4 Peran Serta Stakeholders
Peran stakeholder dalam pengelolaan lingkungan hidup
dipertegas dalam pasal 9 ayat 2 UU No. 23/1997 tentang pengelolaan
lingkungan hidup yang menyebutkan bahwa pengelolaan lingkungan
hidup dilaksanakan secara terpadu oleh instansi pemerintah, masyarakat
dan pelaku pembangunan. Kerjasama antar stakeholder merupakan suatu
jalinan berbagai pihak/actor (terkait dengan pengelolaan lingkungan
yaitu: unsur pemerintah, swasta dan masyarakat) dalam mewujudkan
menempatkan diri sesuai dengan fungsi dan kemampuannya dalam
system kerjasama.
Terdapat beberapa stategi pendekatan dalam partisipasi dan
kemitraan menurut Schubeler (1966) dalam Bambang (2006) antara lain:
a. Community-based Approach (partisipasi masyarakat)
Konsep ini menjelaskan bahwa masyarakat sebagai pihak
yang terlibat langsung dalam manajemen proyek, sedangkan swasta
dan pemerintah turut berpartisipasi tidak langsung (memberikan
support/dorongan). Peran pemerintah juga mengkoordinasikan/
32
membantu dalam konsultasi. Basis strateginya dari kelompok
masyarakat itu sendiri.
b. Area-based Approach (berdasar area)
Pemerintah berperan langsung dalam manajemen,
sedangkan masyarakat dan swasta ikut berperan dalam bentuk
partisipasi/lebih sebagai pendorong. Ini umumnya terjadi pada area
pemukiman, dalam penyediaan infrastruktur melibatkan pengguna
agar program pengembangan infrastruktur dapat berjalan efektif.
Masyarakat sebagai pengguna dapat memberi masukan kepada
pemerintah pada proses pembangunannya. Hal ini meliputi proses
pada saat program dibuat Implementasi serta pengelolaannya.
c. Fuctoinally-based Approach (berdasar fungsi)
Pemerintah terlibat langsung/ memanajemen masyarakat dan
swasta dapat terlibat langsung namun dengan koordinasi dari
pemerintah. Disini lebih kepada pelayanan fungsi serta kolaborasi
antara pengguna dengan kelompok masyarakat dengan dasar yang
jelas dan koordinasi antara pengguna tugas serta tanggung jawab
yang jelas pula. Orientasi kemitraannya pada koordinasi intern dari
masing-masing stake holder dalam manajemen aktifitasnya masing-
masing. Cakupan manajemen partisipasinya mulai dari rencana,
program, implementasi serta pengelolaan.
d. Process-based Approach (berdasarkan proses)
Pemerintah berperan sebagai pihak langsung dalam
manajemen. Ini merupakan proses pengelolaan dengan pemusatan
33
fungsi manajemen untuk meningkatkan respon terhadap permintaan
pihak swasta yang terpilih agar terjadinya fungsi pelayanan secara
timbale balik antara swasta dan pemerintah. Pengguna dan
masyarakat memberikan masukan kepada pemerintah pada proses
dasar. Hal ini meliputi saat membuat kebijakan pada saat rencana,
program, implementasi dan pengelolaan serta monitoring dan
evaluasi Stake holders adalah pihak-pihak yang berkepentingan
dalam suatu proses pembangunan.
Stakeholder merupakan pihak atau aktor yang terlibat dalam
suatu proses baik dalam hal perencanaan, proses pembangunan atau
proses pengelolaan. Ketika berhadapan dengan lingkungan alam
(natural Environment) maka baik pemerintah, masyarakat umum
dan masyarakat pelaku pembangunan (pihak pengusaha) sama-sana
merupakan suatu stake holder.
2.1.5 Hutan Mangrove dan Manfaatnya
a. Definisi Hutan Mangrove
Ekosistem mangrove didefinisikan segala tumbuhan yang
khas terdapat disepanjang pantai atau mutiara sungai yang
dipengaruhi oleh pasang surut air laut yang saling berinteraksi
dengan lingkungannya baik yang bersifat biotik maupun abiotik.
Dari sisi etimologi “kata mangrove merupakan kombinasi antara
bahasa mangue dan bahasa Inggris grove. Secara alami, mangrove
memiliki fungsi sebagai pelindung pantai dari terpaan gelombang
34
pasang, badai, tsunami, penahan lumpur dan aliran air tawar dari
daratan ke laut sehingga ekosistem padang lamun dan terumbu
karang yang berada di depannya aman dari lumpur dan air tawar.
(Robert Siburian & Jhon Haba, 2016)
Rusila Noor (1999) dalam Farid Kamal M (2012) hutan
mangrove pada umumnya terdiri atas beberapa zona mengikuti
tingkat kadar garam yang berada di wilayah pesisir. Zona bagian
depan adalah tanaman mangrove yang lebih tahan terhadap
lingkungan asin, seperti mangrove dari jenis pohon api-api.
Sedangkan lapisan yang lebih menjorok ke daratan merupakan jenis
pohon mangrove yang kurang tahan terhadap air asin. Sehingga
kenaikan paras muka air laut beradampak terhadap dua hal yaitu
pohon mangrove yang kurang tahan terhadap air asin tadi terdesak
ke arah darat, kemudian pohon mangrove itu mati karena tidak
menemukan habitat yang sesuai bagi pertumbuhannya.
b. Zonasi Hutan Magrove
Zonasi Mangrove Kawasan mangrove di Asia Pasifik
umumnya memiliki zonasi yang serupa. Zona terdepan, yaitu zona
yang paling dekat dengan laut, didominasi oleh jenis mangrove yang
memiliki pneumatophore yaitu Avicennia spp dan Sonneratia spp,
dibelakangnya berturut-turut adalah zona Rhizophora spp,
Bruguiera spp dan mangrove asosiasi. Disebutkan bahwa mangrove
umumnya tumbuh dalam 4 zona yaitu:
35
1. Mangrove daratan (zona belakang) Merupakan zona terdalam
dibelakang zona mangrove sejati. Pada zona ini dapat dijumpai
jenis-jenis mangrove asosiasi.
2. Mangrove tengah Zona ini terletak dibelakang zona terbuka,
umumnya didominasi oleh Rhizophora namun Bruguiera juga
sering tumbuh pada zona ini.
3. Mangrove terbuka Zona ini berada di bagian yang berhadapan
dengan laut dan didominasi oleh Sonneratia dan Avicennia.
Kadang Rhizophora juga terdapat pada zona ini.
4. Mangrove payau Zona ini berada di sepanjang sungai berair
payau hingga hampir tawar. Zona ini biasanya didominasi oleh
komunitas Nypa atau Sonneratia
Gambar 2.1 Pola Zonasi Mangrove di Kawasan Asia -
Pasifik
Sumber : Farid Kamal Muzaki, 2012
c. Manfaat Hutan Mangrove
Kawasan hutan mangrove memiliki enam manfaat dari sisi
fisik (Robert Melchior Figueroa, 2016:7), yaitu :
1. menjaga agar garis pantai tetap stabil;
36
2. melindungi pantai dan sungai dari bahaya erosi dan abrasi;
3. menahan badai atau angin kencang dari laut;
4. menahan hasil proses penimbunan lumpur sehingga
memungkinkan terbentuknya lahan baru;
5. menjadi wilayah penyangga serta berfungsi menyaring air laut
menjadi air daratan yang tawar;
6. mengolah limbah beracun, penghasil O2 dan menyerap CO2.
Sedangkan manfaat dari sisi biologis, mangrove, yaitu:
1. menghasilkan bahan pelapukan yang menjadi sumber makanan
penting bagi plankton sehingga penting pula bagi keberlanjutan
rantai makanan;
2. tempat memijah dan berkembangbiaknya ikan-ikan, kerang,
kepiting dan udang;
3. tempat berlindung, bersarang dan berkembang biak burung-
burung serta satwa liar;
4. sumber plasma nutfah dan sumber genetik;
5. serta habitat alami berbagai jenis biota.
Sedangkan manfaat mangrove dari segi penguatan ekonomi
yaitu:
1. sebagai penghasil kayu untuk kayu bakar;
2. bahan baku arang dan bahan bangunan;
3. penghasil bahan baku industri: pulp, kertas, tekstil, makanan,
obat-obatan, kosmetik;
37
4. penghasil bibit ikan, nener, kerang, kepiting, bendeng malalui
pola tambak silvofishery;
5. tempat berwisata, dsb.
Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia sekitar 3,7
juta hektar dengan luas kawasan yang berpotensi ditanami mangrove
sekitar 7,8 juta hekatar. Namun sebagian besar sekitar 69% dari kawasan
mangrove itu dalam kondisi rusak/terdegradasi. Oleh sebab itu
dibutuhkan upaya konservasi agar hutan mangrove dapat pulih dan bisa
kembali menjalankan fungsi nya.
2.1.6 Pengelolaan Ekowisata
a. Konsep Ekowisata
Menurut Ceballos Lascurain (1996) dalam Robert (2016)
mendefinisikan ulang kembali dari definis yang ada pada World
Conservation Union (IUCN) bahwa ekowisata merupakan sebuah
konsep wisata dimana para aktor harus bertanggung jawab terhadap
lingkungan dan melakukan kunjungan yang tidak menimbulkan
dampak negatif (mengganggu) kawasan alam secara relatif. Untuk
menikmati dan menghargai alam (termasuk budaya yang
menyertainya, baik di masa lampau maupun masa sekarang), serta
mengajak untuk melakukan konservasi, sehingga kemungkinan
mengurangi dampak negatif dari adanya pengunjung. Disisi lain,
konsep ini akan memberikan peningkatan / kekebalan ekonomi dan
38
sosial yang menguntungkan pada masyarakat lokal. (Robert Melchior
Figueroa, 2016:7)
Ekowisata merupakan jenis pariwisata yang berwawasan
lingkungan yang melalui aktivitas yang berkaitan dengan alam,
wisatawan diajak melihat alam dari dekat, menikmati keaslian alam
dan lingkungannya sehingga membuatnya tergugah untuk mencintai
alam (back to nature). Berbeda dengan pariwisata pada umumnya,
ekowisata dalam penyelenggaraannya tidak menuntut fasilitas
akomodasi yang modern atau glamour yang dilengkapi dengan
peralatan yang serba modern atau bangunan artifisial yang
berlebihan. (Oka A. Yoeti, 2000 : 14)
Ekowisata bukan jenis pariwisata yang semata-mata
menghamburkan uang atau pariwisata glamour, melainkan jenis
pariwisata yang dapat meningkatkan atau menambah
pengetahuan/wawasan serta mempelajari sesuatu dari alam, flora dan
fauna atau sosial budaya etnis setempat. Ekowisata merupakan
konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan
untuk mendukung upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya)
dan meningkatakan partisispasi masyarakat dalam pengelolaan
sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat dan
pemerintah setempat.
Meskipun ada banyak definisi yang berbeda – beda terkait
ekowisata, yang paling mendominasi atau populer adalah yang
didefinisikan oleh International Ecotourism Society (TIES),
39
bahwasannya ekowisata merupakan suatu konsep pariwisata dimana
aktor harus mempunyai rasa bertanggung jawab terhadap lingkungan
alam, melakukan pelestarian lingkungan dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat setempat. Mengembangkan definisi dari
TIES, Martha Honey menjelaskan bahwa terdapat tujuh karakteristik
penting di dalam pengembangan ekowisata, yaitu :
1. Melibatkan perjalanan ke tempat tempat yang masih alami
2. Meminimalkan dampak lingkungan
3. Membangun kesadaran lingkungan melalui pendidikan
4. Memberikan keuntungan pelestarian secara finansial
5. Memberi manfaat dan memberdayakan masyarakat setempat
6. Menghormati budaya lokal
7. Mendukung gerakan hak asasi manusia dan demokrasi
Dari tujuh karakteristik tersebut, telah menunjukkan
bahwasannya ekowisata merupakan suatu model pengelolaan wisata
yang mengedepankan nilai nilai ekologi, sosial-budaya dan ekonomi.
Ekowisata jauh berbeda dengan konsep pariwisata
konvensional (umumnya), dalam konsepannya, peyelenggaraannya
ekowisata tidak menuntut tersedianya fasilitas akomodasi yang
modern atau glamour yang dilengkapi dengan peralatan yang serba
mewah atau bangunan artifisial. Sedangkan dilihat dari aktivitas yang
dilakukan pada ekowisata dalam penyelenggaraannya dilakukan
dengan kesederhanaan, memelihara keaslian alam dan lingkungan,
memelihara keaslian seni dan budaya, adat istiadat, kebiasaan hidup
40
(the way of live), menciptakan ketenangan, kesunyian, memelihara
flora dan fauna, serta terpeliharanya lingkungan hidup sehingga
tercipta keseimbangan antara kehidupan manusia dengan alam
sekitarnya. Oleh karenanya dalam ekowisata, wisatan yang datang
tidak semata0mata untuk menikmati alam sekitarnya tetapi juga
mempelajarinya sebagai peningkatan pengetahuan mereka serta
pengalaman. Dengan begitu selaraslah arti ekowisata sebagai wisata
yang bertanggung jawab.
Kebijaksanaan pengembangan ekowisata pada dasarnya
menganjurkan agar pelaku ekowisata dapat memenuhi beberapa
aspek dasar, yaitu :
a. Aspek Pembangunan, sarana dan prasarana sangat dianjurkan
dilakukan sesuai kebutuhan saja sehingga tidak ada
perilakukan berlebihan dan menggunnakan bahan yang
terdapat di daerah tersebut.
b. Usaha untuk menggunakan teknologi dan fasilitas modern
seminimal mungkin.
c. Pembangunan masyarakat setempat dihimbau agar tetap
memelihara adat dan kebiasaannya sehari-hari tanpa
terpengaruh kedatangan wisatawan yang berkunjung
d. Masyarakat setempat dihimbau agar tetap memelihara adat dan
kebiasaaannya sehari-hari tanpa terpengaruh kedatangan
wisatawan yang berkunjung
41
e. Sebagai pedoman dalam penyelenggaraan atau pengelolaa
suatu kawasan untuk dijadikan sebagai kawasan ekowisata
Ekowisata yang baik harus memperhatikan 5 unsur yang
dianggap paling menentukan (Ceballos Lescurain, 1998 dalam
Parikesit, 2007) yaitu :
1. Pendidikan (Education)
Aspek pendidikan merupakan bagian penting dan
utama dalam mengelola ekowisata. Pendidikan membawa misi
sosial untuk menyadarkan masyarakat akan keberadaannya,
lingkungan dan akibat yang mungkin akan ditimbulkan bila
terjadi kesalahan atau kekeliruan dalam manajemen
pemberdayaan lingkungan.
2. Perlindungan atau Pembelaan (Advocacy)
Pengelolaan ekowisata memerlukan integritas kuat
karena nilai pendidikan dari maksud diadakannya ekowisata
menjadi salah arah. Sarana dan prasarana yang dibuat
hendaknya mampu memeberikan nilai-nilai yang berwawasan
lingkungan dan menggunakan bahan-bahan disekitar obyek
tersebut walaupun kelihatan sangat sederhana. Dengan cara
tersebut, keaslian dapat dipertahankan karena dengan
kesederhanaan tersebut, masyarakat sekitar kawasan mampu
mengelola dan mempertahankan kelestarian alam dengan
sendirinya tanpa mengada-ada.
3. Keterlibatan Komunitas Setempat (Community Involvement)
42
Peran serta masyarakat sekitar dalam mengelola
kawasan ekowisata tidak bisa diabaikan. Mereka lebih tahu dari
pendatang yang punya proyek karena keterlibatan mereka
dalam persiapan dan pengelolaan kawasan sangat diperlukan.
4. Pengawasan (Monitoring)
Pegelolaan ekowisata, sering ditemui adanya
pergeseran yang berakibat pada hilangnya kebudayaan asli atau
keaslian ekosistem setempat. Oleh sebab itu diperlukan
pengawasan yang bekesinambungan sehingga maslah
integritas, loyalitas atau kualitas dan kemampuan untuk
mengelola akan sangat menentukan untuk mengurangi dampak
yang mungkin timbul.
5. Konservasi (Conservation)
Ekowisata bertujuan untuk terbentuknya wisata
berbasis alam yang berkaitan dengan pendidikan dan
pemhaman lingkungan alam dan dikelola dengan prinsip
berkelanjutan. Sehingga wisatawan yang mengunjungi suatu
kawasan ekowisata harus menyadari tujuan pengembangan
kawasan tersebut sebagai kawasan konservasi dengan
memperhatikan kesejahteraan dan mempertahankan
kelestarian lingkungan kawasan itu sendiri. Konsep ekowisata
dilaksanakan karena memiliki beberapa dampak positif yaitu
dampak secara umum, dampak sosial budaya, dampak
lingkungan dan dampak ekonomi.
43
Dampak positif dari kegiatan ekowisata menurut Ambo
Tuwo (2011) yaitu :
a. Peningkatan penghasilan dan devisa negara
b. Tersedianya kesempatan kerja baru
c. Berkembangnya usaha-usaha baru
d. Meningkatnya kesadaran masyarakat dan wisatawasan tentang
pentingnya konservasi sumber daya alam
e. Peningkatan partisipasi masyarakat
f. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal
b. Tahapan Pengembangan Program Ekowisata
Pengembangan ekowisata yang ideal memerlukan tahapan –
tahapan mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan. Tahapan yang
perlu dilakukan oleh aktor pengembangan ekowisata sesuai yang
dipaparkan oleh Siti Fatimah H (2013) yaitu :
a. Identifikasi Potensi Lokasi ekowisata
b. Penentuan tujuan ekowisata
c. Penentuan strategi ekowisata
d. Penyusunan zonasi dan regulasi ekowisata
e. Penyediaan infrastruktur dan fasilitas pendukung
f. Strategi pemasaran/promosi
g. Analisis biaya
h. Edukasi
Diharapkan setiap pengelola ekowisata dapat menempuh
kedelapan tahapan di atas. Namun tahapan kembali pada situasi dan
44
kondisi di lokasi ekowisata ataupun pengelola ekowisata itu sendiri.
Setelah kedelapan tahapan dilakukan maka perlu dihitu profit
sharing dengan stakeholder dan cara memonitor dan mengevaluasi
program.
c. Stakeholder dalam Pengelolaan Ekowisata
Ekowisata mempertemukan dua atau lebih budaya yang
berbeda. Pengunjung atau wisatawan akan memperoleh pengalaman
berharga dari budaya lokal yang ada, sementara masyarakat lokal
memainkan proses edukasi mengenai lingkungan lokal yang lebih
spesifik dan mendapatkan penghasilan.
Tabel 2.1 Motivasi-motivasi Stakeholder Ekowisata
No. Stakeholder Motivasi
1 Penduduk lokal
dan masyarakat
lebih luas
- Redistribusi pendapatan dan
kesejahteraan.
- Peluang bisnis lokal dari sumber
daya lokal, tenaga kerja dan ekspor.
- Peningkatan kualitas hidup dan
kesehatan.
- Konservasi alam (flora fauna), nilai-
nilai sosial, warisan dan identitas
budaya.
- Peningkatan kesadaran masyarakat,
pembelajaran, global awarness.
45
- Pengembangan masyarakat.
2 Penduduk lokal
lebih spesifik
- Jaminan tambahan income.
- Sumber lapangan kerja.
- Mendorong apresiasi terhadap
lingkungan lokal, nilai budaya dan
tradisi.
- Akses ke pelayanan dan
infrastruktur.
- Meningkatkan harga dan
kepercayaan diri.
3 Pakar dan
manajer
- Pengembangan konservasi dan
warisan budaya.
- Memperoleh revenue.
- Penciptaan lapangan kerja.
- Kemitraan dengan penduduk lokal
- Saling bertukar informasi dan
belajar.
- Mengembangankan pengelolaan
sumber daya alam dan manfaat
ekonomi yang berkelanjutan.
- Mendorong dan memperkuat
kegiatan penelitian.
46
- Meningkatkan tingkat kunjungan
dan menyajikan pengalaman yang
sensasional.
4 Operator wisata - Menghasilkan keuntungan.
- Mengidentifikasi dan
mengembangkan permintaan pasar.
- Mengembangkan kreativitas produk
dan layanan.
- Membantu pemahaman pengunjung
terhadap sumberdaya alam.
5 Pengunjung - Memperoleh pengalaman (kognitif,
afektif dan psikomotorik).
- Memperoleh kepuasan individu,
manfaat kesehatan.
- Partisipasi dalam social experience
: : dengan penduduk lokal, sesama
pengunjung, team building, ikatan
persaudaraan.
- Berpromosi perihal konservasi dan
perlindungan.
- Memperoleh pengetahuan tentang
tata nilai, penghargaan dan nilai-
nilai sejarah.
Sumber : Egles et al (2002) dalam Iwan Nugroho (2015 : 81)
47
Diperlukan adanya komitmen yang kuat kepada semua
stakeholder untuk merealisasikan sektor ekowisata yang baik
dengan berbagai macam motivasi di dalamnya. Ketika semua fungsi
dari setiap stakeholder berjalan dengan baik, maka akan cepat
diperoleh tujuan tersebut. Terjalinnya suatu hubungan kerjasama
yang saling menghubungkan antar stakeholder akan membantu
tercapainya suatu tujuan. Adapun hubungan antar stakeholder pada
sektor ekowisata dijelaskan pada gambar tersebut.
Gambar 2.2 Hubungan antar Stakeholder Pada Sektor Ekowisata
(keterangan: 1=kebijakan; 2=pengunjung dan manfaat ekonomi; 3=pajak
atau saran kebijakan; 4=partisipasi dan kenyamanan; 5=saran kebijakan)
Sumber : Eagles et al (2002) dalam iwan nugroho (2015 : 82)
Setiap stakeholder satu dan yang lainnya memiliki hubungan
timbal balik. Mulai dari peranan dalam hal kebijakan,
kebermanfaatan ekonomi, pajak, partisipasi dan kenyamanan.
48
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian yang telah dilakukan peneliti merupakan hasil dari lanjutan
penelitian terdahulu. Peneliti telah mengambil sebanyak 4 penelitian terdahalu
yang sesuai dengan topik penelitian ini. Topik utama berkaitan dengan Co-
management untuk pengelolaan sumber daya alam. Peneliti telah
menggambarkan bagan untuk penelitian terdahulu yang dipilih.
Berdasarkan penelitian terdahulu, telah dijelaskan bahwa co-
management sangat penting untuk digunakan dalam pengelolaan sumber daya
alam. Pelaksanaan dari co-management juga harus didukung dari semua
stakeholder baik dari pihak pemerintahan, swasta maupun masyarakat yang
ikut terlibat dalam co-management. Adanya co-management diharapkan dapat
meminimalisir konflik pengelolaan sumber daya alam yang sering terjadi.
Perbedaan kepentingan dan minimnya koordinasi dari stakeholder menjadikan
pengelolaan sumber daya alam tidak maksimal dan timbul berbagai konflik.
Gambar 2.3 Bagan Penelitian Terdahulu (Co-management dalam
Pengelolaan Sumber Daya Alam)
Sumber : Data peneliti
49
Dari berbagai permasalahan pengelolaan sumber daya alam yang
dialami oleh stakeholder, konsep co-management merupakan alat yang
diharapkan dapat meminimalisir terjadinya permasalahan antar
stakeholder. Rachmad (2013) menjelaskan bahwa terdapat unsur dyang
sangat membantu keberhasilan pencapaian tujuan dari konteks co-
management. Delapan karakteristik / unsur tersebut meliputi:
1. Komunikasi terbuka
2. Partisipasi luas
3. Berfikir yang tidak dibatasi
4. Konflik konstruktif
5. Struktur demokratis
6. Sumber-sumber pengetahuan
7. Keterlibatan luas
8. Fasilitasi
Sedangkan menurut Bambang (2006) bahwa penerapan konsep co-
management harus melihat terlebih dahulu tanggapan-tanggapan dari
stakeholder terhadap pengelolaan sumber daya alam. Sehingga ketika
respon atau tanggapan sudah dimunculkan, akan dapat diketahui
bagaimana konsep kemitraan yang dapat dijalin antar seluruh stakeholder.
Adanya tanggapan sangat berkaitan dengan keterlibatan stakeholder. Dari
aspek bentuk pelibatan hasil, kurangnya akses khususnya masyarakat
terhadap forum/wadah peran serta yang kondusif diindikasikan oleh
beberapa hal seperti :
50
1. Kurangnya Komitmen Pemerintah untuk melibatkan dan
mendayagunakan forum lokal yang ada sebagai wadah pelibatan,
sekalipun forum- forum tersebut telah memenuhi syarat dan potensi
untuk dilibatkan dalam aktifitas perencanaan dan pengelolaan.
2. Belum adanya kesinambungan dan sifat saling melengkapi antara
pelibatan secara perorangan dan kelompok demi mewujudkan
keterlibatan aktif masyarakat, dibuktikan dengan prosentase
pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan sumber daya alam.
3. Belum terpenuhinya representasi keterlibatan masyarakat yang
disyaratkan. Hal ini diindikasikan oleh proses seleksi wakil
masyarakat secara sepihak oleh pemerintah dalam aktifitas
perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam.
4. Belum dilakukannya bimbingan teknis/ pendampingan bagi
masyarakat karena kurang seriusnya pemerintah mengelola sumber
daya alam.
Diperlukan adanya pegelolaan kombinasi top-down dan bottom-up ,
dimana ide dan masalah pengelolaan dari masyarakat dan Pemerintah
dipertemukan/ di komunikasikan agar tercapai kesepahaman bersama
terhadap masalah perencanaan dan solusinya secara komprehensip.
Sejalan dengan Bambang, Rudianto menjelaskan bahwa sumber
daya alam dapat dikelola dengan adanya peran serta stakeholder yang
bersama-sama menjalankan tujuan yang sama. Diperlukan adanya
kolaborasi disertai dengan strategi antara masyarakat, pemerintah dan
swasta untuk melakukan pengelolaan sumber daya alam. Pembentukan
51
kelembagaan merupakan strategi dari proses kolaborasi. visi, misi dan
prioritas Model pengelolaan sumber daya alam dengan menggunakan
model co-management mengutamakan 3 (tiga) hal pokok dari masyarakat
yaitu:
1. Kesadaran masyarakat
2. Kemampuan masyarakat
3. Pendapatan masyarakat.
Pihak pemerintah diperlukan ada kemauan pemerintah
mendesentralisasikan tanggung jawab dan wewenang, termasuk perlu
dukungan kepada masyarakat dan swasta baik secara legalitas, iklim yang
kondusif bagi usaha swasta yang berwawasan lingkungan dan
berkelanjutan. Bantuan pendanaan bagi aktivitas masyarakat melakukan
upaya pengelolaan secara terpadu.
Model co-management sangat perlu dibangun sistemnya dengan
para pemangku kepentingan terkait (system establishment) sehingga dapat
menjadi acuan dalam merumuskan policy statement dan policy
recommendation. Memperluas pengenalan model restorasi ekosistem
terpadu ke kabupaten lainnya untuk mengetahui lebih lanjut
implementtasinya dilapang, sebagai pilot project. Mengintensifkan
komunikasi/koordinasi/konsultasi dengan pemerintah provinsi dan
pemerintah pusat juga sangat diperlukan guna penyusunan kebijakan yang
sesuai.
Kesamaan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan
penelitian yang terdahulu yaitu adalah topik utama yang menjadi bahasana
52
penelitian, yaitu mengenai co-management dalam pengelolaan sumber
daya alam. Penelitian yang melihat bagaimana penerapan co-management
dijalankan oleh para stakeholder di lapangan.
Adapun perbedaan antara penelitian yang peneliti lakukan dengan
penelitian terdahulu yaitu subjek penelitian, informan, lokasi, kondisi dan
tempat. Selain itu juga peneliti ingin lebih melihat penerapan co-
management yang fokusnya lebih ke sumber daya alam hutan mangrove.
Pengelolaan hutan mangrove yang juga digunakan untuk pengembangan
ekowisata (edukasi, konservasi, pengawasan, kelembagaan).
2.3 Landasan Teori
Landasan teori merupakan sebuah teori baik itu grand theory maupun
subtantive theory yang digunakan dalam setiap penelitian guna menunjang
penelitian agar tidak keluar dari topik/bahasan yang diteliti. Dalam penelitian
ini, peneliti menggunakan teori dan konsep tentang co-management.
2.3.1 Pentingnya Co-management (Teori dan Konsep)
Co-management telah menjadi terkenal karena perannya yang
berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam partisipatif.
Sementara perkembangan teoritis mengajukan tantangan awal, ia telah
menjadi bagian integral dari literatur manajemen bersama. Elemen utama
teori (konsep, variabel dan proposisi relasional) dijelaskan dan tipologi
pernyataan teoritis (format) dikonseptualisasikan. Teori co-management
kemudian dipetakan sesuai dengan empat skema (pemodelan,
proposisional, analitis dan meta-teoritis) yang merupakan tipologi.
53
Mengingat sifat kedewasaan literatur manajemen bersama dan tidak
adanya skema meta-teoritis, maka co-management dapat dianalisis
melalui asumsi dasar dan dasar kerja sama sains sosiobiologi. Teori meta
ini memperkaya pemahaman tentang pengelolaan bersama, memberikan
panduan untuk skema teoritis lainnya, dan menawarkan dasar dasar untuk
membangun konstruksi prediksi yang bagus.
2.3.2 Co-management di Indonesia
Awalnya, masyarakat masih kurang koordinasi dengan negara
dan pasar, pengelolaan kawasan yang perlu dilindungi di negara-negara
berkembang telah menghadapi beberapa masalah, termasuk trend
desentralisasi yang menghadirkan tantangan baru. (Lutz dan Caldecott,
1996; Wyckoff-Baird et al., 2000; Anderson dan Gibson, 2004).
Pemerintah daerah yang telah melihat kawasan perlindungan di
daerahnya merupakan hambatan bagi pendapatan pemerintah daerah.
Dengan demikian mereka tidak ingin berpartisipasi dalam upaya
konservasi karena sangat mahal dan mereka tidak memiliki insentif untuk
terlibat di dalamnya (lihat Griffiths et al, 2002). Selain itu, pemerintah
daerah dan daerah ini seringkali tidak memiliki kepedulian nasional dan
internasional untuk konservasi keanekaragaman hayati (McCarthy, 2000,
mengutip Kaimowitz et al 1998).
Berbicara mengenai co-management, konsep tersebut mulai trend
di kalangan masyarakat Indonesia sejak pemerintahan presiden Soeharto
lengser. Pemerintahann Soeharto yang mengedepankan pembangunan
54
yang sentralistik tidak memungkinkan untuk terjadinya pembangunan-
pembangunan desentralistik. Konsep co-management co-management
yang biasanya bersifat buttom-up sulit untuk dikembangkan di Indonesia.
Pada waktu pemerintahan Soeharto lengser akhirnya, mulai
meningkatnya aspirasi dari masyarakat dan daerah untuk mulai
melakukan pembangunan.
Model co-management mulai menyebar dari tahun 1999 sampai
sekarang, fase ini ditandai dengan perubahan yang lebih substansial
dalam kebijakan kehutanan sosial formal, walaupun filsafat kehutanan
negara sentral masih terjaga dengan baik. Ini bergantung pada keyakinan
bahwa negara adalah pengelola hutan tertinggi dan pelayan. Kasus ini
dimulai dengan kasus di Krui, Ibukota Kabupaten Pesisir Barat, dimana
sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Lampung Barat. Krui
memiliki potensi wisata pantai yang sudah terkenal sampai mancanegara.
Keputusan pertama adalah keputusan menteri No.47 / 1998 dari
Kawasan Tujuan Khusus Krui (Krui Kawasan dengan Tujuan Istimewa).
Peraturan ini menandai isyarat awal pemerintah untuk secara legal
mengakui pengelolaan hutan asli setempat. Menteri mengakui bahwa
dengan mengesahkan KDTI pada bulan Januari 1998, dia mengambil
risiko politik karena hutan kemasyarakatan tidak memiliki ukuran dasar
hukum yang jelas, yang terbaik yang dapat dia lakukan adalah
memberikan kepada masyarakat Krui atas hak- hak penggunaan hutan
dengan hutan yang masih tersisa dibawah situasi politik.
(Suryohadikusumo, 1998). Gerakan cepat ini secara tidak langsung
55
difasilitasi oleh sitiuasi politik dimana Soeharto disibukkan dengan
ancaman IMF dan memburuknya minat ekonomi di Krui untuk Soeharto
dan para pendukungnya juga merupakan faktor yang sangat penting
Semenjak saat itu, pembangunan dari daerah dimulai. Berbagai
macam lembaga dan lsm mulai bergerak untuk ikut berpartisipasi dalam
melakukan pembangunan. Pembangunan baik dalam pengelolaan
sumber daya alam maupun yang lainnya.
2.3.3 Konsep Co-management
Grazia Borrini Feyerabend, dkk. (2007) menjelaskan secara
gamblang tentang konsep co-management yang digunakan untuk
melihat, memahami dan mempraktekkan suatu pengelolaan kolaboratif.
Beberapa konsep co-management tersebut yaitu:
- Pendekatan majemuk untuk mengelola sumber daya alam (SDA),
menggabungkan berbagai mitra dalam berbagai peran, umumnya
sampai tujuan akhir pelestarian lingkungan hidup, berkelanjutan
dalam penggunaan SDA dan pembagian yang adil atas manfaat dan
tanggung jawab terkait sumber daya
- Proses politik dan kebudayaan yang : mencari keadilan sosial dan
"demokrasi" dalam pengelolaan sumber daya alam
- Sebuah proses yang memerlukan beberapa kondisi dasar untuk
dikembangkan, di antaranya adalah: akses penuh ke Informasi tentang
isu dan pilihan yang relevan, kebebasan dan kapasitas untuk
berorganisasi, kebebasan untuk mengungkapkan kebutuhan dan
56
keprihatinan, lingkungan sosial yang tidak diskriminatif, kemauan
mitra kerja untuk bernegosiasi, percaya diri dalam menghormati
kesepakatan, dll.
- Proses yang kompleks, seringkali panjang dan kadang-kadang
membingungkan, sering melibatkan perubahan, kejutan, terkadang
informasi yang kontradiktif, dan kebutuhan untuk menelusuri kembali
langkahnya sendiri
- Ekspresi masyarakat dewasa, yang mengerti bahwa tidak ada solusi
"unik dan obyektif" untuk mengelola sumber daya alam tapi, lebih
tepatnya, keragaman pilihan yang berbeda yang kompatibel dengan
pengetahuan asli dan ilmu ilmiah yang ampu memenuhi kebutuhan
konservasi dan pembangunan (dan itu juga ada banyak pilihan negatif
atau bencana bagi lingkungan dan pembangunan)
Grazia juga menjelaskan bahwa sejarah atas co-management
berakar pada dekade berbasis lapangan dan upaya teoritis oleh individu
dan kelompok yang terkait dengan:
- keadilan sosial dan keadilan;
- pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan;
- community based dan run community initiatives
Pelaksanaan co-management memiliki beberapa fase/tahapan
yang dilaksanakan oleh stakeholder. Adapun tiga fase utama dalam
proses co-management (Grazia, dkk, 2007) yaitu :
1. Mempersiapkan kemitraan (organizing)
57
2. Negosiasi rencana pengelolaan bersama dan kesepakatan
3. Melaksanakan dan merevisi rencana dan kesepakatan (learning by
doing)
Gambar 2.4 Skema Sistematis dalam Memahami Konsep, Pendekatan
dan Nilai dalam Proses Co-Management
Sumber : Grazia, dkk, (2007)
Gracia, et al (2007) menyatakan bahwa dalam praktik
pengelolaan kolaboratif setidak-tidaknya terdapat prinsip- prinsip
sebagai berikut:
58
a. Mengakui perbedaan nilai, kepentingan dan kepedulian para pihak
yang terlibat dalam mengelola wilayah atau kesatuan sumber daya
alam, baik di luar maupun di dalam komunitas lokal.
b. Terbuka bagi berbagai model hak pengelolaan sumber daya alam
selain pengelolaan yang secara legal telah ada dimiliki pemerintah
atau pihak.
c. Mengusahakan terciptanya transparansi dan kesetaraan dalam
pengelolaan sumber daya alam
d. Memperkenankan masyarakat sipil untuk mendapatkan peranan dan
tanggung-jawab yang lebih punya arti
e. Mendayagunakan dengan saling memperkuat kapasitas dan
keunggulan komparatif dari berbagai aktor kelembagaan yang
terlibat. Menghubungkan keterkaitan hak dengan tanggung-jawab
dalam konteks pengelolaan sumber daya alam
f. Lebih menghargai dan mementingkan proses ketimbang hasil
produk fisik jangka pendek
g. Meraih petikan pelajaran melalui kaji ulang terus menerus dan
perbaikan pengelolaan sumber daya alam
Tadjudin (2009) menyebutkan bahwa hal yang penting dalam
manajemen kolaboratif adalah bahwa masyarakat dilibatkan secara aktif
dalam seluruh daur kegiatan. Hak-hak masyarakat dihargai dalam setiap
proses pengambilan keputusan, sehingga dapat diperoleh rumusan
terbaik cara pengelolaan sumberdaya hutan.
59
Adapun konsep yang digunakan untuk pendekatan dalam
memahami dan mempraktekkan co-management yaitu managemen
adaptif, kemajemukan, pemerintahan, patrimoni, pengelolaan konflik,
dan komunikasi sosial.
a. Manajemen adaptif
Pendekatan pengelolaan adaptif didasarkan pada temuan
ilmiah tentang ekosistem alami dan pengalaman berbasis lapangan
yang diperoleh di beberapa lingkungan. Hal ini menyebabkan
mengakui kurangnya pengetahuan pasti dan definitif tentang
bagaimana ekosistem bekerja, dan ketidakpastian yang
mendominasi interaksi kita dengan mereka. Prinsip utama
manajemen adaptif adalah sikap terbuka, investigatif dan analitis.
Aktivitas pengelolaan sumber daya alam adaptif menyatakan secara
eksplisit apa yang ingin dicapai, menentukan indikator dan metode
pemantauan dan evaluasi serta dimodifikasi saat pembelajaran
dilanjutkan (lihat Holling 1978, dan Wilston 1986).
Unsur Dasar Pengelolaan Adaptif, diantaranya yaitu :
• Tujuan pengelolaan sumber daya alam eksplisit dan hipotesis
eksplisit tentang bagaimana pencapaiannya (termasuk indikator
pemantauan),
• pengumpulan data yang cepat (indikator pemantauan),
• evaluasi data monitoring dan hasil pengelolaan sumber daya yang
sedang berjalan,
60
• Perubahan yang koheren dalam latihan pengelolaan sumber daya
sesuai dengan hasil yang diperoleh dan pelajaran yang dipetik.
b. Kemajemukan
Pendekatan pluralis berfokus pada pengenalan, pengakuan dan
keterlibatan berbagai aktor, minat, perhatian dan nilai-nilai yang ada
dalam masyarakat manapun yang berkaitan dengan hampir semua
subjek. Khususnya:
- Ada berbagai kategori aktor sosial - misalnya kelompok
pemerintah dan non-pemerintah, kelompok dan perorangan,
masyarakat lokal dan pihak luar dengan hak atas sumber daya lokal
yang memiliki kapasitas pelengkap penting untuk pengelolaan
sumber daya alam.
- Masyarakat adalah aktor sosial dalam diri mereka sendiri dan
menyediakan unit identitas, integrasi dan pertahanan yang paling
alami dan efektif bagi banyak kelompok dan individu yang kurang
beruntung (lihat Farvar, 1999). Namun, masyarakat bukanlah
entitas yang homogen, dan subdivisi internal mereka harus diakui.
Dengan kata lain, sambil menjaga kohesi dan identitas dasar
mereka, sejumlah nilai, kepentingan dan keprihatinan harus diakui
di dalam komunitas lokal manapun (lihat Agrawal, 1997).
Banyaknya pandangan dan suara dalam proses negosiasi
adalah kondisi awal yang mendasar untuk keadilan dan keadilan.
Namun, tidak mengikuti dari sini bahwa semua pandangan dan suara
61
sama, bahwa mereka semua memiliki bobot yang sama atau sama-
sama berhak berpartisipasi dalam negosiasi rencana pengelolaan
bersama dan kesepakatan.
c. Pemerintahan
Tata pemerintahan yang baik bergantung pada legitimasi
sistem politik dan atas rasa hormat yang ditunjukkan oleh
masyarakat atas institusi-institusinya. Hal ini juga tergantung pada
kapasitas institusi tersebut untuk menanggapi masalah, dan untuk
mencapai konsensus sosial melalui kesepakatan dan kompromi.
Pemerintahan:
- bukanlah sistem peraturan atau aktivitas; Itu adalah sebuah proses
- tidak didasarkan pada dominasi namun berkompromi
- melibatkan aktor swasta dan publik
- tidak harus diformalkan, dan umumnya didasarkan pada interaksi
yang sedang berlangsung (Smouts, 1998)
d. Patrimoni
Patrimoni merupakan kompendium semua unsur material
dan immaterial yang membantu memelihara dan mengembangkan
identitas dan otonomi pemiliknya, melalui ruang dan waktu, dengan
menyesuaikan diri dengan konteks evolusionernya (Ollagnon,
1991). Representasi patrimonial suatu wilayah, wilayah atau
kumpulan sumber daya.
- Menghubungkan pimpinan masa lalu, sekarang dan masa depan;
62
- Berfokus pada kewajiban pemilik lebih dari pada hak pemilik;
- Mempromosikan visi bersama tentang keberlanjutan yang
memihak pada kebutuhan dan pendapat berbagai aktor.
e. Pengelolaan konflik
Manajemen konflik adalah proses tanpa kekerasan yang
mendorong dialog dan negosiasi. Co-management membimbing
konflik menuju hasil yang konstruktif dan bukannya destruktif.
Ini berarti :
- mengurus perselisihan sebelum menimbulkan permusuhan
- membantu aktor institusi untuk mengeksplorasi beragam pilihan
untuk kesepakatan dan kemudian memilih opsi yang dapat dimiliki
setiap orang
- Mengakui dan mengintervensi penyebab konflik yang mendasar,
dengan maksud untuk mencegahnya di masa depan
Proses manajemen konflik yang modern cukup dekat dengan
proses yang digunakan untuk menegosiasikan kesepakatan
pengelolaan bersama; Keduanya mengungkapkan nilai yang sama
(dialog, transparansi, pluralisme, keadilan, dll.), Memiliki unsur
utama yang sama dan dapat difasilitasi dengan cara yang sama.
Konstituen utama dalam pendekatan manajemen konflik
modern diantaranya yaitu:
- aktor sosial yang bersangkutan
63
- area minat yang sama dan beberapa titik konflik (perbedaan nilai,
minat, dan kebutuhan berbagai aktor yang terlibat)
- sebuah forum untuk negosiasi dan beberapa peraturan dasar yang
menyediakan kerangka bagi aktor yang bersangkutan untuk
bertemu dan mendiskusikan masalah bersama
- beberapa data yang dapat diandalkan mengenai titik-titik konflik
- berbagai pilihan tindakan yang ditimbulkan oleh aktor yang
bersangkutan dan dibahas di antara mereka sendiri
- kesepakatan tertulis pada salah satu opsi ini
- legitimasi kesepakatan
- pelaksanaan kesepakatan
f. Komunikasi sosial
Co-management yang di dalamnya memuat komuniasi
sosial, dilakukan oleh orang-orang yang membawa pembangunan
dan pengelolaan sumber daya alam. Tidak ada perubahan yang lebih
baik tanpa melibatkan orang-orang tersebut, memobilisasi kapasitas
dan energi serta meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
mereka. Komunikasi melayani semua dimensi manusia dan sangat
penting untuk aktivitas apa pun, dimana partisipasi masyarakat lokal
dipertimbangkan dan dicari. Selain itu, komunikasi yang efektif
umumnya memiliki efek pribadi yang luar biasa, seperti
meningkatkan moral, meningkatkan rasa, nilai dan martabat
seseorang, serta dapat menunjukkan solidaritas dan kolaborasi
sosial.
64
Komunikasi bisa bersifat pribadi (satu lawan satu), antar
pribadi (di antara beberapa individu) dan sosial (bila melibatkan
kelompok sosial, seperti masyarakat setempat). Komunikasi sosial
untuk inisiatif pengelolaan bersama adalah tentang pengambilan
keputusan berdasarkan informasi di masyarakat, yaitu membina
pembagian informasi dan diskusi tentang masalah, peluang dan
pilihan tindakan alternatif. Ini adalah fenomena umum yang
kompleks, termasuk berbagai jalan, dari dialog satu lawan satu dan
pertemuan kelompok (yaitu aspek pribadi dan interpersonal)
terhadap penggunaan media massa seperti radio, TV atau Internet.
2.3.4 Co-management Pengelolaan Sumber Daya Alam
Pengelolaan sumber daya alam sangat penting untuk
dilaksanakan oleh setiap manusia, karena hal tersebut mempengaruhi
kehidupan masyarakat. Begitupun pengelolaan sumber daya alam juga
ditentukan oleh struktur sosial dan sistem sosial yang berlaku di di
masyarakat. Thomas F. Homer Dixon (1999) dalam Rachmad (2013)
menyatakan bahwa konflik, ketengangan dan damai yang terjadi di
masyarakat tergantung kondisi lingkungan dan pendekatan ekonomi
politik yang dilakukan negara. Pengelolaan sumber daya alam secara
sentralistik rentan menyebabkan konflik, sedangkan desentralisasi
mampu mengurangi konflik.
Co-management merupakan konsep pengelolaan sumber daya
alam tanpa kritik. Namun co-management sebagai salah satu konsep
65
dimana mampu mengurangi atau meminimalisir konflik yang terjadi
antar stakeholder. Model co-management yang menekankan kemitraan
antara stakeholder menekankan adanya negoisasi kolektif, persetujuan,
penjaminan dan pelaksanaan pembagian fungsi manajemen,
keuntungan dan tanggung jawab secara adil sumber daya alam tertentu.
Carlsson & Barkes (2005) dalam Rachmad (2013) menjelaskan
tentang tiga perspektif untuk melihat co-management, yaitu: 1) co-
management sebagai sistem pertukaran; 2) co-management sebagai
jaringan dan; 3) co-management sebagai tata kelola pemerintahan
(governance).
a. Co-management sebagai sistem pertukaran
Co-management sebagai sistem pertukaran merupakan salah
satu jenis co-management yang berkembang, meliputi co-
management sebagai sistem pertukaran, co-management sebagai
organisasi yang bergabung, co-management sebagai sistem yang
bertempat di negara (co-management as state nested system) dan
co-management sebagai sistem yang bertempat pada komunitas.
Gambar 2.5 Co-management sebagai sistem pertukaran
chgjhgg C S
66
Pada gambar diatas menunjukkan co-management merupakan
hubungan antar wilayah dominasi terpisah (komunitas dan negara),
namun bersahabat satu dengan yang lain. Hubungan ini menunjukkan
bahwa stakeholder melakukan perubahan-perubahan melalui
pertukaran seperti informasi, barang dan jasa. State (S) tidak
dibedakan apakah pemerintah lokal, regional maupun nasional,
sedangkan community (C)
1. Co-management sebagai Organisasi yang Bergabung
Co-management sebagai organisasi yang bergabung merupakan
konsep co-management dimana antara community dan state
melakukan penggabungan baik itu saling tumpang tindih maupun
saling menangkap.
Gambar 2.6 Co-management sebagai Organisasi yang Bergabung
Co-management yang dapat digambarkan dari konsep tersebut
merupakan pembentukan arena formal untuk kerja sama, yang
biasanya membentuk organisasi non-pemerintah dimana batasan
antaraktor menjadi tidak jelas.
chgjhgg chgjhgg C S
67
Gambar 2.7 Co-management sebagai Sistem yang Bertempat
Pada Negara
Co-management jenis ini merupakan gamabaran umum dimana
S memegang semua hak legal wilayah tertentu yang merupakan
tempat sumber daya yang dikelola bersama. C dipercayai dengan
pemberian hak mengelola, tetapi kepemilikan sumber daya tetap pada
negara. C membentuk unit organisasional independen yang memiliki
tingkat kebebasan tertentu.
Gambar 2.8 Co-management sebagai Sistem yang
Bertempat Pada Komunitas
Co-management tersebut berbanding terbalik dengan co-
management sebelumnya. Negara beroperasi dalam wilayah non-
publik dan pengguna sumber daya menggunakan semua hak legal
berhubungan dengan wilayah atau sistem sumber daya. Negara
membentuk instansi untuk mengatur dan melakukan koordinasi. Pada
praktiknya, tidak ada bentuk co-management yang mendasarkan pada
chgjhgg chgjhgg C S
chgjhgg chgjhgg S C
68
satu model saja. Yang banyak terjadi di lapangan adalah model
kombinasi yang menggabungkan lebih dari satu. Hal tersebut
disebabkan karena banyak variasi hubungan yang di dalamnya juga
terdapat perkembangan fase-fase tertentu yang membuat model-
model menjadi semakin dinamis/berubah.
b. Co-management sebagai Jaringan
Konsep co-management ini merupakan konsep dimana negara
terfragmentasi dan memiliki banyak lebih dari satu wajah dan memilik
banyak otoritas. Kemudian agen-agen yang bergabung dengan
kelompok-kelompok berbeda. Dari agen-agen yang tergabung
memiliki fungsi dalam sistem sumber daya yang berhubungan dengan
negara. Disini negara sebagai kesatua, bukan melihat sebagai struktur
ataupun fungsi. Dengan demikian co-management dilihat sebgai
jaringan hubungan dan perjanjian yang kompleks terhubung dengan
bagian-bagian pelaku sektor publik yang berbeda dalam wilayah yang
sama atau sistem sumber daya yang sama.
Jaringan sosial yang terbentuk pada konsep ini menunjukkab
vahwa kegiatan-kegiatan bagian yang berbeda secara formal dapat
dikoordinasikan pihak ketiga. Dalam co-management terdapat lebih
dari satu jaringan sosial. Jaringan sosial terdiri dari lapisan lapisan dan
jaringan lokal terintegrasi dalam jaringan yang lebih besar (baik
regional maupun nasional. Co-management akan mencapai
keberhasilan bergantung seberapa jauh jaringan sosial menjalankan
fungsi informatif, koordinatif, katalisator dan akses.
69
c. Co-management dilihat sebagai Tata Kelola Pemerintahan
Konsep co-management ini merupakan konsep dimana tata
kelola pemerintahan (governance) merupakan konsep netral yang
terdiri dair mekanisme-mekanisme, proses-proses, hubungan-
hubungan dan lembaga-lembaga lewat mana warga dan kelompok-
kelompok mengartikulasikan kepentingan-kepentingan mereka,
menggunakan hak dan kewajiban dan mendamaikan perbedaan-
perbedaan.
Berbagai keberhasilan dari pelaksanaan konsep co-management
dalam pengelolaan sumber daya alam merupakan salah satu penunjuk bagi
stakeholder. Walaupun co-management merupakan konsep yang tidak cacat
dari kritik, namun co-management adalah salah satu strategi yang mampu
untuk meminimalisir berbagai permasalahan pengelolaan sumber daya alam
bersama, termasuk konflik antar stakeholder. Dengan model co-
management pembangunan lebih egaliter, demokratis dan memperhatikan
kepentingan semua pihak yang terlibat dalam pembangunan. Model ini bisa
menjadi bagian dari resolusi konflik sebab pada saat konflik atau sengketa
semakin menguat, masing-masing pihak memiliki wadah untuk melakukan
akomodasi dengan mengendurkan kepentingan masing-masing. Untuk
mencapai harapan dan tujuan di atas dibutuhkan proses yang memakan
waktu panjang. Kesediaan belajar dan sharing pengalaman dari semua
stakehokder akan membuat pengelolaan kolaboratif yang mendorong
proses-proses ini dapat dijalankan dengan baik.