24
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hakikat Pemberdayaan Masyarakat 2.1.1 Pengertian Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah strategi, saat ini telah banyak diterima, bahkan telah berkembang dalam berbagai literatur, baik di dunia barat maupun di Indonesia. Menurut Prijono dan Pranarka (1996: 2) bahwa lahirnya konsep pemberdayaan sebagai antitesa dan jawaban terhadap model pembangunan yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Selanjutnya dijelaskan bahwa konsep pemberdayaan dibangun dari kerangka logik sebagai berikut: (1) bahwa proses pemusatan kekuasaan terbangun dari pemusatan kekuasaan faktor produksi; (2) pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha pinggiran; (3) kekuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan sistem ideologi yang manipulatif untuk memperkuat legitimasi; dan (4) pelaksanaan sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan ideologi secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya Prijono dan Pranarka (1996: 3). Bertolak dari dua kelompok masyarakat tersebut akhirnya yang terjadi ialah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan manusia yang dikuasai. Untuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hakikat Pemberdayaan Masyarakateprints.ung.ac.id/4597/5/2012-1-86205-121408037-bab2-16082012032639.pdf · hal, yaitu: (1) Bahwa kekuasaan dapat berubah,

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Hakikat Pemberdayaan Masyarakat

2.1.1 Pengertian Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah strategi, saat ini telah banyak

diterima, bahkan telah berkembang dalam berbagai literatur, baik di dunia barat

maupun di Indonesia. Menurut Prijono dan Pranarka (1996: 2) bahwa lahirnya

konsep pemberdayaan sebagai antitesa dan jawaban terhadap model pembangunan

yang kurang memihak pada rakyat mayoritas.

Selanjutnya dijelaskan bahwa konsep pemberdayaan dibangun dari kerangka

logik sebagai berikut: (1) bahwa proses pemusatan kekuasaan terbangun dari

pemusatan kekuasaan faktor produksi; (2) pemusatan kekuasaan faktor produksi akan

melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha pinggiran; (3) kekuasaan

akan membangun bangunan atas atau sistem pengetahuan, sistem politik, sistem

hukum dan sistem ideologi yang manipulatif untuk memperkuat legitimasi; dan (4)

pelaksanaan sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan ideologi secara

sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya

dan masyarakat tunadaya Prijono dan Pranarka (1996: 3).

Bertolak dari dua kelompok masyarakat tersebut akhirnya yang terjadi ialah

dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan manusia yang dikuasai. Untuk

membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan pembebasan

melalui proses pemberdayaan bagi yang lemah (empowerment of the powerless).

Berkaitan dengan konsep pemberdayaan, Suharto (2004:2-3) mengemukakan

bahwa secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), karena

ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan.

Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain

melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Ilmu

sosial tradisional menekankan bahwa kekuasaan berkaitan dengan pengaruh dan

kontrol. Pengertian ini mengasumsikan bahwa kekuasaan sebagai sesuatu yang tidak

berubah atau tidak dapat dirubah. Kekuasaan tidak vakum dan terisolasi, karena

kekuasaan senantiasa hadir dalam konteks relasi sosial antar manusia.

Kekuasaan tercipta dalam relasi sosial, karena kekuasaan dan hubungan

kekuasaan dapat berubah. Dengan pemahaman kekuasaan seperti ini, pemberdayaan

sebagai sebuah proses perubahan kemudian memiliki konsep yang bermakna. Dengan

kata lain, kemungkinan terjadinya proses pemberdayaan sangat tergantung pada dua

hal, yaitu: (1) Bahwa kekuasaan dapat berubah, karena jika kekuasaan tidak dapat

berubah, pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan cara apapun, dan (2) Bahwa

kekuasaan dapat diperluas, karena konsep ini menekankan pada pengertian kekuasaan

yang tidak statis, melainkan dinamis (http://www.policy.hu/modul.online).

Alur pikir di atas sejalan dengan terminologi pemberdayaan itu sendiri atau

yang dikenal dengan istilah empowerment. Istilah ini berawal dari kata daya (power).

Daya dalam arti kekuatan yang berasal dari dalam, tetapi dapat diperkuat dengan

unsur–unsur penguatan yang diserap dari luar.

Tema perberdayaan yang sering digaungkan oleh para cendekiawan ataupun

oleh para pemimpin bangsa dalam wacana pembangunan akhir-akhir ini sering

dikaitkan dengan keterbukaan, demokratisasi, penegakan akan hak-hak asasi ataupun

kekuatan masyarakat sipil (the power of civil society). Penempatan dan pemaknaan

konsep pemberdayaan ini tidak hanya berlaku secara individual (individual self

empowerment) akan tetapi juga secara kolektif (collective self empowerment).

Berkenaan dengan pemaknaan terhadap konsep pemberdayaan, Ife (dalam

Hadi, 2010: 1) menyatakan bahwa konsep pemberdayaan (empowerment) sebagai

upaya memberikan otonomi, wewenang, dan kepercayaan kepada setiap individu

dalam suatu organisasi, serta mendorong mereka untuk kreatif agar dapat

menyelesaikan tugasnya sebaik mungkin.

Proses pemberdayaan menurut Prijono dan Pranarka (1996: 3) mengandung 2

(dua) kecenderungan, yaitu pertama kecenderungan primer, dalam pemahaman akan

hal ini proses pemberdayaan yang dimaksudkan lebih menekankan pada proses atau

mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada rakyat agar

menjadi lebih berdaya (survival of the fittes). Kecenderungan ke dua, yaitu

kecenderungan sekunder, dalam kaitan dengan hal ini mekanisme pemberdayaan

lebih menekankan pada proses menstimulasi, mendorong ataupun memotivasi guna

menghadapi berbagai persoalan dan tantangan untuk dipecahkan melalui solusi

terbaik.

Kecenderungan-kecenderungan yang terungkap di atas dalam prakteknya

mekanisme pemberdayaan harus mampu melahirkan suatu pemahaman baru dalam

paradigma terkini dan bukan sekedar rakyat menyadari dirinya yang miskin tetapi

memberi suatu pemahaman bahwa kemiskinan yang dialami bukan hanya sekedar

takdir atau nasib, tapi lebih daripada itu merupakan suatu ketidakberdayaan yang

harus dibebaskan.

Pemberdayaan merupakan kegiatan yang memiliki tujuan-tujuan tertentu,

diantaranya untuk menemukan alternatif-alternatif baru dalam pembangunan

masyarakat. Dalam berbagai hal terkait dengan pelaksanaan konsepsi tentang

pemberdayaan tersebut terdapat dimensi yang harus dilakukan secara holistik dan

integratif. Dimensi tersebut antara lain dimensi kesejahteraan, dimensi kesadaran

kritis, dan dimensi partisipasi aktif.

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa konsep pemberdayaan merupakan

upaya memberikan otonomi, wewenang, dan kepercayaan kepada setiap individu,

termasuk remaja putus sekolah dalam suatu organisasi, serta mendorong mereka

untuk kreatif agar dapat menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya sebaik

mungkin. Istilah yang seringkali dikaitkan dengan kemampuan untuk membuat orang

lain melakukan apa yang diinginkan, termasuk pemberdayaan masyarakat.

Konsep pemberdayaan masyarakat merupakan konsep yang berkaitan dengan upaya

peningkatan atau pengembangan masyarakat. Ini merupakan tipe tertentu tentang

perubahan pola hidup masyarakat menuju kearah yang positif dan bermanfaat.

Singkatnya pemberdayaan masyarakat atau community development merupakan suatu

tipe tertentu sebagai upaya yang disengaja untuk memacu peningkatan atau

pengembangan masyarakat.

2.1.2 Prinsip-prinsip Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan merupakan bagian dari paradigma pembangunan yang

memfokuskan perhatiannya kepada semua aspek yang prinsipil dari manusia di

lingkungannya. Dalam kaitan dengan hal ini, Rahayu (2010: 4) mengemukakan

bahwa pemberdayaan dimulai dari aspek intelektual (sumber daya manusia), aspek

material dan fisik, sampai kepada aspek manajerial. Aspek-aspek tersebut bisa jadi

dikembangkan ke aspek-aspek lainnya meliputi aspek sosial-budaya, ekonomi,

politik, keamanan dan lingkungan.

Pemberdayaan masyarakat memiliki prinsip dasar yang menjadi pedoman

bagi pemberdaya dan seluruh unsur stakeholders. Dalam kaitan dengan hal ini

Depdagri (2004: 1-2) mengemukakan prinsip-prinsip pemberdayaan, meliputi:

1) Keberpihakan kepada orang miskin; Dalam setiap tahapan kegiatan, termasuk

pemanfaatannya diutamakan kepada orang miskin.

2) Transparansi; Dalam hal ini masyarakat harus tahu, memahami dan mengerti

adanya kegiatan ini serta memiliki kebebasan dalam melakukan pengendalian

secara mandiri.

3) Partisipasi; Dalam hal ini masyarakat berperan secara aktif dalam setiap tahapan

kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan dan

pelestariannya.

4) Musyawarah; Untuk memilih sesuatu yang menjadi priorititas dalam setiap

pengambilan keputusan di desa maupun antar desa dilakukan secara musyawarah

berdasarkan pada prioritas kebutuhan nyata.

5) Desentralisasi; Masyarakat memiliki kewenangan dan tanggungjawab yang luas

untuk mengelola kegiatan secara mandiri dan partisipatif tanpa intervensi negatif

dari luar.

6) Akuntabilitas; Setiap pengelolaan kegiatan harus dapat dipertanggungjawabkan

kepada masyarakat dan pihak yang berkompeten;

7) Keberlanjutan; Dalam setiap pengambilan keputusan atau tindakan pembangunan

harus selalu mempertimbangkan sistem pelestariannya.

8) Kesetaraan gender; Dalam setiap pelaksanaan kegiatan dan pengambilan

keputusan, perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki.

Sejalan dengan pendapat di atas, Owin (2004: 11) mengemukakan 12 prinsip

pemberdayaan masyarakat yang harus dijadikan kekuatan internal pelaku

pemberdaya. Kedua belas prinsip tersebut meliputi: (1) adil; (2) jujur kepada diri

sendiri dan kepada orang lain; (3) memecahkan masalah; (4) kerjasama dan

koordinasi; (5) partisipasi aktif; (6) terpadu; (7) mengutamakan penggalian dan

pengembangan potensi lokal; (8) bertumpu kepada kekuatan masyarakat; (9)

pembinaan yang konstruktif dan berkesinambungan; (10) pelaksanaan kegiatan

berlangsung secara gradual/bertahap; (11) konsisten; (12) komitmen serta peduli

kepada misi pemberdayaan. Prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat dimaksud

dapat dijelaskan sebagai berikut.

1) Adil, dimana para pelaku utama pemberdaya dan seluruh unsur stakeholders,

harus berlaku adil, dalam hal ini melaksanakan prinsip kerja berdasarkan

keadilan dan komitmen untuk meningkatkan kualitas kerja yang adil.

Keadilan dimaksud meliputi keadilan distribusi dan keadilan prosedural. Adil

distribusi adalah berlaku adil ketika mendistribusikan sesuatu sekalipun yang

miskin harus diutamakan. Keadilan prosedural adalah berlaku adil dalam

memberikan pelayanan sekalipun yang harus dutamakan adalah orang miskin.

pelayanan yang cepat kepada mereka yang kaya atau yang tidak miskin.

2) Jujur, seluruh unsur stakeholders harus jujur, baik jujur kepada diri sendiri

maupun kepada orang lain. Kejujuran sangat besar pengaruhnya terhadap

keadilan. Keduanya merupakan sifat dasar manusia.

3) Memecahkan masalah, dalam hal ini pemberdayaan masyarakat harus mampu

memecahkan masalah dalam masyarakat. Memecahkan masalah (problem

solving) adalah proses bagaimana semua pihak menerima jalan keluar yang

ditawarkan. Tenaga pemberdaya harus trampil dan kreatif mencari inovasi

(ide dan pemikiran baru atau terobosan baru), serta terampil melakukan

asistensi dan fasilitasi (bimbingan dan pendampingan).

4) Kerjasama dan koordinasi, seluruh unsur stakeholders berdasarkan kemitraan.

Kendatipun ada struktur pengelolaan program dengan berbagai atribut

jabatannya, namun dalam proses perjalanannya harus berlangsung secara

kemitraan. Mengejar misi dan mencapai tujuan program adalah tugas

bersama.

5) Partisipasi aktif, yakni partisipasi aktif dari seluruh unsur stakeholders.

Partisipasi tidak hanya diukur oleh jumlah atau kuantitas, melainkan harus

juga diukur oleh seberapa banyak elemen masyarakat yang terlibat, misalnya

dari latar belakang jenis kelamin, latar belakang usia, latar belakang sosial-

ekonomi.

6) Terpadu, lingkup dan cakupan program berlangsung secara terpadu.

Keterpaduan ini diawali dengan ketajaman analisis dalam melihat persoalan.

Keterpaduan dari sudut pandang “tujuan” mengandung arti bahwa tujuan

pemberdayaan harus meliputi aspek intelektual, sosial-ekonomi, fisik, dan

aspek manajerial. Tujuan juga harus mampu meningkatkan aspek

pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan. Dari sisi pelakunya, unsur

stakeholders yang harmonis dan kondusif.

7) Mengutamakan penggalian dan pengembangan potensi local, pengembangan

potensi lokal untuk merintis kemandirian dan memperkecil terjadinya

ketergantungan kepada pihak luar. Pengembangan potensi lokal yang

konsisten, juga mengandung maksud agar masyarakat sadar bahwa kontribusi

itu jauh lebih realistis untuk tujuan rasa memiliki.

8) Bertumpu kepada kekuatan masyarakat, pemberdaya harus aktif melakukan

mobilisasi dan peningkatan swadaya yang bertumpu kepada kekuatan

masyarakat sendiri/kelompok sasaran (self-reliant development).

9) Pembinaan yang konstruktif dan berkesinambungan, pemberdayaan harus

mengembangkan metode pembinaan yang konstruktif dan berkesinambungan.

Program pembinaan dikonstruksi bersama oleh semua pihak sehingga dapat

dipastikan bahwa antara satu bentuk pembinaan dengan bentuk yang lainnya

akan berkorelasi positif, saling mendukung dan berkesinambungan.

10) Kegiatan berlangsung secara gradual/bertahap, pelaksanaan kegiatan

berlangsung secara gradual/bertahap. Tahapan kegiatan dibuat bersama

masyarakat. Fasilitator dapat menggabungkan antara waktu yang tersedia bagi

program dan yang tersedia pada masyarakat. Tahapan kegiatan tidak akan

berpengaruh kepada waktu yang disediakan.

11) Konsisten, seluruh unsur stakeholders harus konsisten terhadap pola kerja

pemberdayaan. Pola ini harus dibedakan dengan pola kerja pada

pembangunan fisik. Pemberdayaan adalah untuk kepentingan manusia

seutuhnya. Oleh karena itu pola dan cara kerja harus mampu menyentuh

kepada seluruh kepentingan masyarakat.

12) Komitmen dan peduli pada misi pemberdayaan, dalam hal ini seluruh elemen

pemberdayaan harus komitmen serta peduli kepada misi pemberdayaan dan

kepada masyarakat miskin yang kurang mampu (Sense of mission, sense of

community, and mission driven profesionalism).

Memperhatikan uraian di atas jelaslah bahwa pemberdayaan masyarakat

memiliki prinsip-prinsip yang mendasari pelaksanaannya. Prinsip-prinsip dimaksud

meliputi keberpihakan kepada orang miskin, transparansi, partisipasi, musyawarah,

desentraslisasi, akuntabilitas, keberlanjutan, dan kesetaraan gender. Prinsip lain dari

konsep pemberdayaan masyarakat harus adil, jujur, memecahkan masalah, kerja sama

dan koordinasi, partisipasi aktif, terpadu, mengutamakan penggalian dan

pengembangan potensi local, bertumpu kepada kekuatan masyarakat, pembinaan

yang konstruktif dan berkesinambungan, berlangsung secara gradual/bertahap,

konsisten, dan komitmen serta peduli kepada misi pemberdayaan masyarakat yang

menjadi gagasan.

2.1.3 Pemberdayaan Masyarakat Dalam Konteks Pendidikan Luar Sekolah

Pendidikan luar sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakandi luar jalur

atau sistem pendidikan sekolah, baik dilembagakan maupun tidak dilembagakan,

yang tidak harus berjenjang dan bersinambung. Dalam Undang-undang nomor 20

tahun2003 tentang Sisdiknas dijelaskan bahwa pendidikan luar sekolah dilaksanakan

di jalur non formal dan informal.

Pendidikan luar sekolah sebenarnya bukanlah barang baru dalam khasanah

budaya dan peradaban manusia. Pendidikan luar sekolah telah hidup dan menyatu di

dalam kehidupan setiap masyarakat jauh sebelum muncul dan memasyarakatnya

sistem persekolahan. Bahkan pada tahun 1991, pemerintah mengeluarkan Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar

Sekolah. Dalam bab 1 pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah tersebut disebutkan bahwa

pendidikan luar sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah baik

dilembagakan maupun tidak. Disebutkan pula bahwa tujuan pendidikan luar sekolah,

antara lain sebagai berikut.

1) Melayani warga belajar agar dapat tumbuh dan berkembang untuk meningkatkan

martabat dan mutu kehidupannya.

2) Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, ketrampilan, dan sikap

mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja, atau melanjutkan ke

tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

3) Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dari

pendidikan sekolah.

Pendidikan luar sekolah mempunyai bentuk dan pelaksanaan yang berbeda

dengan sistem yang sudah ada di pendidikan persekolahan. Pendidikan luar sekolah

timbul dari konsep pendidikan seumur hidup, dimana kebutuhan akan pendidikan

tidak hanya ada pendidikan persekolahan/pendidikan formal saja. Pendidikan luar

sekolah dalam pelaksanaannya lebih menekankan kepada pemberian kecakapan hidup

(life skill) dalam bentuk penguasaan terhadap keahlian dan keterampilan dalam suatu

bidang tertentu kepada warga masyarakat.

Dirjen PLSP Direktorat Tenaga Teknis (dalam Dadang, 2010: 1)

mengemukakan bahwa kecakapan hidup (life skill) diartikan sebagai kecakapan yang

dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan

penghidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan

kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya.

Dikemukakan pula bahwa indikator-indikator yang terkandung dalam life skills

tersebut secara konseptual dikelompokkan: (1) kecakapan mengenal diri (self

awarness) atau sering juga disebut kemampuan personal (personal skills), (2)

kecakapan berfikir rasional (thinking skills) atau kecakapan akademik (akademik

skills), (3) kecakapan sosial (social skills), (4) kecakapan vokasional (vocational

skills) sering juga disebut dengan keterampilan kejuruan artinya keterampilan yang

dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu dan bersifat spesifik (spesifik skills) atau

keterampilan teknis (technical skills).

Uraian di atas menunjukkan bahwa pendidikan luar sekolah dalam

pelaksanaannya lebih menekankan kepada pemberian kecakapan hidup (life skill)

melalui konsep pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dimaksud

menempatkan masyarakat sebagai subyek pemberdayaan yang memilik potensi untuk

dikembangkan dan mengembangkan dirinya sendiri.

Berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, Bayoedarkochan (2009: 1)

mengemukakan bahwa pemberdayaan masyarakat diarahkan pada beberapa upaya,

meliputi hal-hal sebagai berikut.

1) Menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya upaya

membebaskan diri dari kebodohan, upah kerja yang rendah, ketidak adilan

dan kekerasan menuju proses yang ditempuh misalnya melalui pendidikan

keaksaraan, latihan keterampilan, penyuluhan tentang kesadaran hukum.

2) Membantu warga masyarakat untuk bisa hidup berorganisasi secara bersama-

sama agar dapat menjajagi berbagai peluang peningkatan akses terhadap

pembangunan.

3) Secara bersama-sama dengan berbagai unsur masyarakat mengidentifikasi

kebutuhan dan mendayagunakan prasarana sosial dalam memecahkan masalah

sosial ekonomi.

Memperhatikan uraian di atas jelaslah bahwa pendidikan luar sekolah

merupakan program yang melayani warga belajar agar dapat tumbuh dan berkembang

untuk meningkatkan martabat dan mutu kehidupannya melalui kegiatan pembinaan

kepada warga belajar agar memiliki pengetahuan, ketrampilan, dan sikap mental yang

diperlukan untuk mengembangkan diri atau bekerja. Dalam pelaksanaannya lebih

menekankan kepada pemberian kecakapan hidup (life skill) melalui konsep

pemberdayaan masyarakat, yang menempatkan masyarakat sebagai subyek

pemberdayaan yang memilik potensi untuk dikembangkan dan mengembangkan

dirinya sendiri, termasuk di dalamnya pemberdayaan kepada remaja putus sekolah.

2.2 Hakikat Remaja Putus Sekolah

2.2.1 Pengertian Remaja

Pengkajian tentang usia remaja dari berbagai konsepsi seperti yang

diungkapkan oleh berbagai sumber, memiliki persepsi yang berbeda berdasarkan

sudut pandang maupun aspek penekanan lainnya baik aspek kultural, ideologis

ataupun aspek-aspek lainnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Ali. 1995; 309)

menyatakan bahwa remaja diartikan sebagai mereka yang tergolong menjelang

dewasa atau telah melewati masa kanak-kanak atau suatu periode peralihan

perkembangan psikologis dari masa anak-anak ke masa dewasa.

Pemaknaan tentang remaja ini menurut Simanjuntak (2005: 23-24) menegaskan

bahwa bila dilihat dari aspek biologis, remaja adalah mereka yang berusia antara 15

tahun sampai dengan 35 tahun. Dalam konteks lain, remaja dipandang berdasarkan

usia sekolah maka usia 15 – 25 tahun, yakni ketika remaja-remaja tersebut berada di

bangku sekolah menengah atas sampai dengan perguruan tinggi, Sedangkan jika

ditinjau dari angkatan kerja maka usia 19 – 24 tahun merupakan masa yang paling

produktif dalam menjawab tantangan akan kebutuhan tenaga kerja. Dengan demikian

jelaslah bahwa remaja merupakan individu yang berusia paling muda 15 tahun

sedangkan dewasanya adalah 35 tahun. Senada dengan pendapat ini, Gafur dalam

(Manginsela, 2000:16-17) memberikan definisi tentang konsep ini bahwa, remaja

dalam pengertian umum adalah golongan manusia muda dengan cara pandang yang

lebih baik dibandingkan sebelumnya dan kelak mereka adalah pengganti bagi

generasi selanjutnya. Dalam konteks ini usia mereka berada pada rentang 18 tahun

sampai dengan 35 tahun.

Selanjutnya menurut Siagian (1999; 35-37) bahwa hakekat remaja dibedakan

atas empat aspek sudut pandang yaitu: 1) aspek biologis yaitu suatu peninjauanan

tentang perkembangan hormonal tubuh, 2) aspek historis- kultural yaitu suatu

peninjauan tentang latar belakang (silsilah ) keturunan, 3) aspek sosial yaitu suatu

peninjauan tentang kemampuan beradaptasi dalam suatu komunitas masyarakat yang

majenuk dan, 4) aspek psikologis yaitu suatu peninjauan tentang perkembangan

mental jasmaniah. Dari aspek-aspek ini kemudian disusun titik tolak yang tepat untuk

remaja yaitu orang-orang yang telah mampu menghayati berbagai peristiwa-peristiwa

masa lampau (masa kecil) yang telah terjadi dan kemudian mampu mencari solusi

untuk kelak menghadapinya pada masa yang akan datang.

Berdasarkan uraian berbagai teori yang telah diungkapkan oleh para ahli ini

tentang remaja dari berbagai sudut pandang ini dapat ditarik satu kesimpulan bahwa

pada prinsipnya remaja dapat dimaknai sebagai sekumpulan masyarakat yang tumbuh

dan berkembang pada periode usia tertentu dengan kematangan dari berbagai aspek

kehidupan sehingga mereka memiliki kemampuan berpikir, menelaah dan

memecahkan masalah yang ditemui dengan penuh rasa tanggung jawab. Dalam

makna perjuangan Negara Republik Indonesia seperti yang termaktub dalam nilai-

nilai kebangsaan ditegaskan bahwa remaja dimaknai sebagai penerus cita-cita

perjuangan bangsa dan negara dan dipundak mereka terletak harapan-harapan demi

kelangsungan pembangunan bangsa Indonesia ke depan nanti (Pasaribu. 2004:65-67).

2.2.2 Karakterstik dan Perkembangan Remaja

1. Karakteristik Remaja

Remaja merupakan kelompok usia transisi dari masa kanak-kanak dan masa

dewasa. Mereka benar-benar tidak mementingkan diri sendiri dan tertantang untuk

melakukan hal-hal yang berguna. Ketertarikan pada hal-hal yang bersifat rohani

berlanjut dan hal-hal bersifat semangat mulai menjadi masalah pengalaman daripada

penerimaan banyak fakta.

Kelompok remaja dalam kesehariannya memiliki karakterstik tersendiri.

Remaja berpikir lebih abstrak dibandingkan dengan masa anak-anak. Remaja juga

lebih idealistis dalam berpikir secara logis yang mulai berpikir seperti ilmuwan,

menyusun berbagai rencana untuk memecahkan masalah dan secara sistematis

menguji cara pemecahan yang terpikirkan. Lebih spesifik Piaget (dalam Santrock,

2003: 110) membedakan kelompok remaja dalam beberapa karakteristik, meliputi:

karakterstik mental, karakterstik phisik, karakteristik sosial, dan karaakterstik rohani.

Berkaitan dengan pertumbuhan mentalnya, remaja biasanya mulai

mendapatkan rasa tertarik pada hal-hal yang khusus. Untuk karakterstik phisik,

remaja biasanya menujnukkan kondisi kesehatan yang baik, perkembangan fisik

sangat cepat dengan nafsu makan yang kuat menyertai masa pertumbuhan ini, otot-

otot berkembang atau kegagalan koordinasi untuk menjaga tahap perkembangan

struktur tulang menyebabkan kecenderungan menuju kejanggalan atau kekakuan.

Selanjutnya, menyangkut karakteristik sosial, Santrock, (2003: 11i)

menyebutkan bahwa remaja biasanya mulai menunjukkan kesetiaan pada kelompok,

dengan satu ketakutan bahwa dirinya berbeda dengan kelompoknya atau mencari

persetujuan dari kelompok untuk semua aktifitas. Selain itu, remaja mencari lebih

banyak kebebasan secara individu dengan suatu ketajaman batin yang baru

menunjukkan kwalitas secara pribadi. Keinginan untuk mencari uang atau

memperoleh penghasilan sendiri dan keinginan untuk lepas dari sekolah biasanya

muncul pada individu yang berusia remaja. Kondisi ini perlu mendapatkan perhatian,

karena dengan karakteristik tersebut remaja akan mudah dan siap untuk diberdayakan

atau diarahkan untuk memasuki dunia kerja.

Remaja merupakan individu yang siap memasuki dunia kerja dan siap kerja.

Istilah siap kerja, ditinjau dari pengertiannya adalah suatu kegiatan yang secara sadar

oleh setiap manusia yang mempunyai tujuan yakni untuk memenuhi kebutuhannya.

Pengertian kerja ini dapat dibagi yakni kerja fisik dan non fisik. Kerja fisik adalah

suatu pekerjaan yang dikerjakan dengan memanfaatkan organ tubuh sedangkan kerja

non fisik adalah kerja yang dilakukan dengan memanfaatkan daya kognitif yang

dimiliki. Menurut Beratha (1992; 108) bahwa tenaga kerja merupakan kekuatan atau

kemampuan yang dimiliki oleh manusia untuk melakukan suatu pekerjaan.

Selanjutnya menurut Fuizohild dalam Wardoyo (1993: 47-48) bahwa tenaga

kerja, yaitu elemen-elemen dari penduduk yang membantu mempertahankan

berlangsungnya suatu perekonomian dengan jalan menyediakan suatu kombinasi dari

energy fisik dan inteligensi manusia kepada suatu proses praktis. Dalam

kenyataannya jika ditinjau dari latar belakang pendidikan maka dapat dibedakan atas

tenaga kerja yang berpendidikan dan yang tidak berpendidikan. Dalam konteks ini

untuk memenuhi tuntutan tenaga kerja dewasa ini maka peluang remaja untuk

memperoleh pekerjaan yang layak lebih didominasi oleh mereka yang berpendidikan

dibandingkan dengan mereka yang tidak berpendidikan.

Sebagai individu yang siap kerja, remaja diharapkan dapat mengembangkan

semua potensi, serta mampu mengembangkan keterampilan dan kreativitasnyanya

ditengah minimnya lapangan kerja. Dilain pihak, kondisi ini merupakan kontribusi

nyata dari pemerintah dan masyarakat guna menampung potensi remaja, terutama

remaja yang putus sekolah dan belum memiliki pekerjaan. Kontribusi ini diharapkan

mampu mengatasi gejolak ketenagakerjaan dan rendahnya produktivitas remaja

sebagai tenaga kerja.

Meningkatnya calon tenaga kerja dan minimnya lapangan kerja, baik di daerah

pedesaan maupun perkotaan merupakan problem yang perlu memperoleh penanganan

serius baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Menurut Simanjuntak (2005:45-46)

bahwa ditengah kondisi minimnya lapangan kerja sedapat mungkin diharapkan

mampu memberikan motivasi, terutama bagi masyarakat atau kelompok-kelompok

masyarakat untuk menciptakan lapangan kerja baru. Bertolak dari hal ini perlu

kiranya dilakukan pola pembinaan dan pemberdayaan remaja-remaja usia produktif

melalui berbagai kegiatan yang bersifat entrepreneurship, namun tetap berpegang

teguh pada prinsip-prinsip kemandirian. Pola seperti ini ke depan diharapkan mampu

mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran di kalangan remaja (Wardoyo,

199327-29).

Berkaitan dengan pemberdayaan dan pembinaan remaja sebagai tenaga kerja

produktif, Mansyur (2005; 46-48) bahwa, implementasi dari pola pembinaan yang

dilakukan terhadap para remaja ini mengisyaratkan bahwa pola pembinaan yang

dikembangkan ini perlu memperoleh perhatian serius guna mengantisipasi gejolak

kenakalan remaja dimasyarakat akibat dari tingginya angka pengangguran. Perhatian

tidak saja dari pemerintah, melainkan juga dari kelompok-kelompok masyarakat yang

memiliki usaha dan membutuhkan tenaga kerja remaja.

Memperhatikan uraian di atas jelaslah bahwa remaja merupakan individu

yang siap kerja atau siap memasuki dunia kerja. Dengan demikian remaja harus dapat

mengembangkan semua potensi, serta mampu mengembangkan keterampilan dan

kreativitasnyanya ditengah minimnya lapangan kerja. Dilain pihak, kondisi ini

kontribusi nyata dari pemerintah dan kelompok masyarakat tetap diharapkan guna

menampung potensi remaja, misalnya dengan membina dan melatih remaja menjadi

tenaga kerja produktif.

1. Perkembangan Remaja

Remaja merupakan individu yang tengah menjalani pertumbuhan dan

perkembangan. Dalam kaitan dengan hal ini, Zulkipli membagi perkembangan remaja

menjadi beberapa tahap perkembangan, yaitu (1) tahap perkembangan kognitif, (2)

tahap perkembangan emosi, (3) tahap perkembangan sosial, (4) tahap perkembangan

moral, dan (5) tahap perkembangan kepribadian. Tahapan perkembangan tersebut

secara singkat diuraikan sebagai berikut.

1) Tahap perkembangan kognitif

Pada tahap perkembangan ini mulai muncul kegiatan kognitif yang tampak

dari cara berpikir, Kemampuan nalar secara ilmiah sudah memikirkan tentang

masa depan dengan melakukan sesuatu, mulai berupaya menambah dan

memperluas wawasan berpikir untuk berbagai aspek, bisa meliputi aspek

agama, keadilan, moralitas, dan aspek identitas diri.

2) Tahap perkembangan emosi

Pada tahap ini perkembangan emosi mulai tinggi, pertumbuhan fisik (terutama

organ mulai mempengaruhi emosi atau perasaan, seperti perasaan cinta, rindu,

dan keinginan untuk berkenalan. Dari aspek emosi bersifat negatif, remaja

mulai menunjukkan sikap temperamental, mudah tersinggung dan gampang

marah. Pada tahap perkembangan ini pula seringkali remaja menunjukkan

perasaan sedih dan murung.

3) Tahap perkembangan sosial

Dari aspek perkembangan sosial, remaja pada tahap ini mulai memahami

orang lain dalam bentuk teman akrab, persahabatan/pacaran. Pada tahap ini

pula remaja mulai memilih persahabatan dengan mempertimbangkan kualitas

psikologis yang relatif sama dengan dirinya, baik menyangkut interes, sikap,

nilai, kepribadian.

4) Tahap perkembangan moral

Remaja pada tahap ini mulai menunjukkan tingkat moralitas yang lebih

matang terutama dalam melakukan interaksi sosial dengan orang tua, guru,

teman sebaya, atau orang dewasa lainnya. Pada tahap perkembangan ini pula

tingkatan moralitas remaja mulai muncul terutama terhadap norma yg berlaku

dan diyakininya.

5) Tahap perkembangan kepribadian

Kepribadian merupakan sistem dinamis dari sifat, sikap, dan kebiasaan yang

menghasilkan tingkat konsistensi, serta respon individu yg beragam. Pada

tahap ini pula remaja mulai menunjukkan kemampuan mengidentifikasi orang

lain, mulai memahami pilihan yang realistik, dan berperilaku sesuai dengan

pilihannya.

Memperhatikan uraian di atas jelaslah bahwa dalam menjalani kehidupan

sehari-hari, remaja melewati tahapan-tahapan perkembangan individunya. Tahap

perkembangan dimaksud meliputi tahap perkembangan kognitif, perkembangan

emosi, perkembangan sosial, moral, dan tahap perkembangan kepribadian.

2.2.3 Pengertian Putus Sekolah

Pendidikan bagi seorang individu memiliki banyak fungsi. Fungsi dimaksud

antara lain sebagai pusat inovasi dan investasi jangka panjang untuk mencapai masa

depan. Akan tetapi, dalam keseharian tidak jarang didengar, bahkan ditemukan bahwa

tidak selalu pendidikan, khususnya pendidikan formal (persekolahan) dapat diperoleh

individu-individu. Indikatornya, ada individu-individu yang termasuk dalam kategori

kelompok putus sekolah. Kelompok ini hanya sampai pada tingkatan tertentu pada

jenjang pendidikan dan tidak sampai tamat atau lulus..

Putus sekolah merupakan kata yang sering digunakan pada individu yang tidak

dapat menamatkan pendidikannya pada jenjang pendidikan tertentu. Putus sekolah

dapat pula diartikan sebagai proses berhentinya seseorang dari suatu lembaga

pendidikan tempat dia belajar. Putus sekolah yang dimaksud disini adalah tidak

berlanjutnya seseorang dari sebuah lembaga pendidikan formal, yang disebabkan oleh

berbagai factor-faktor tertentu. (http://www.scribd.com/doc/pengertian-putus-

sekolah.online).

Pengertian di atas mengandung makna bahwa putus sekolah adalah yang

keluar dari sistem pendidikan sebelum anak didik menamatkannya sesuai tenggang

waktu sistem persekolahan tersebut atau dengan perkataan lain tidak sampai tamat

atau gagal dalam belajar lebih lanjut. Putus sekolah adalah kegagalan anak didik dalam

menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu.

Putus sekolah dapat dikategorikan atas tiga bagian, yaitu, putus sekolah atau

berhenti dalam jenjang, putus sekolah atau berhenti di ujung jenjang, dan putus

sekolah berhenti antar jenjang. Putus sekolah dalam jenjang artinya mereka yang

berhenti sekolah tetapi masih dalam jenjang sekolah tertentu. Putus sekolah di ujung

jenjang artinya mereka yang tidak sempat menamatkan pelajarannya atau berhenti

pada akhir jenjang pendidikan tertentu dan tidak memperoleh Izasah atau Surat Tanda

Tamat Belajar. Putus sekolah antar jenjang artinya mereka yang setelah menamatkan

pendidikannya pada jenjang pendidikan tertentu tapi tidak sempat lagi melanjutkan ke

jenjang yang lebih tinggi. Misalnya, setelah tamat SD tidak lagi melanjutkan ke

pendidikannya ke jenjang di atasnya.

Memperhatikan uraian di atas jelaslah bahwa putus sekolah sekolah dapat

dialami oleh siapa saja dan kapan saja. Putus sekolah adalah suatu kejadian keluar

anak didik dari sistem pendidikan sebelum menamatkannya sesuai tenggang waktu

sistem persekolahan tersebut atau dengan perkataan lain tidak sampai tamat atau

gagal dalam belajar lebih lanjut.

2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Putus Sekolah

Masalah putus sekolah merupakan masalah yang sering ditemukan dalam

kehidupan sehari-hari. Masalah ini dapat menimpa siapa saja dan kapan saja, bahkan

dimana saja.

Masalah putus sekolah tidak terlepas dari berbagai faktor penyebabnya.

Dalam kaitannya dengan hal ini, Ardiansyah (2011:1) menyebutkan beberapa faktor

yang mempengaruhi putus sekolah, yaitu: (1) faktor ekonomi, (2) minat atau

keinginan serta motivasi anak, (3) kondisi orang tua yang tidak memperhatikan

pendidikan anak, dan (4) lokasi sekolah yang sulit dijangkau anak. Keempat faktor

dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Faktor ekonomi

Ekonomi orangtua sangat mempengaruhi kelanjutan pendidikan anak. Dengan

kata lain, kondisi ekonomi ikut mempengaruhi orang tua untuk melanjutkan sekolah

anak-anaknya.

2. Faktor minat dan motivasi anak

Anak yang tidak memiliki minat untuk bersekolah menyebabkan anak tersebut

tidak termotivasi untuk menyelesaikan pendidikannya, dan berakibat anak tersebut

menjadi malas ke sekolah.

3. Orangtua yang tidak begitu memperhatikan pendidikan anak

Dalam keseharian sering ditemukan orang tua yang kurang peduli terhadap

kelangsungan pendidikan anak-anaknya. Orang tua yang demikian relatif kurang atau

tidak begitu memahami makna pentingnya pendidikan bagi anaknya menyebabkan

orang tua relatif kurang peduli terhadap kelanjutan pendidikan anaknya. Kondisi ini

pada akhirnya sampai pada keputusan tidak lagi menyekolahkan anaknya. Pola pikir

orangtua juga berpengaruh terhadap keengganan melanjutkan sekolah. Masih banyak

orangtua yang memiliki pola pikir, bahwa pendidikan itu dianggap kurang penting.

Pola pikir yang memaksa anaknya membantu mencari nafkah, juga ikut

mempengaruhi kelangsungan pendidikan anak, sehingga pada akhirnya anak putus

sekolah.

4. Lokasi sekolah yang sulit dijangkau anak

Lokasi fasilitas sekolah yang jauh, tidak terjangkau baik oleh siswa maupun

tenaga pengajar menjadi faktor mempengaruhi putus sekolah. Pengaruh dari gaya

hidup yang konsumtif dan hedonis juga membuat banyak anak-anak yang

memutuskan untuk meninggalkan bangku sekolah sebelum dinyatakan tamat. Anak-

anak ini akhirnya terjebak dalam pola hidup konsumtif dan hedonis serta

mengabaikan kelanjutan pendidikannya.

Memperhatikan uraian di atas jelaslah bahwa terdapat berbagai faktor yang

mempengaruhi putus sekolah. Faktor-faktor tersebut adalah faktor ekonomi, minat

atau keinginan serta motivasi anak yang relatif rendah, kondisi orang tua yang kurang

atau tidak memperhatikan pendidikan anak, serta faktor lokasi sekolah yang sulit

dijangkau anak.