Upload
truongdang
View
227
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
14
BAB II
HASIL PENELITIAN DAN ANALISA
Persoalan yang dihadapi ketika seorang laki-laki dengan perempuan akan
mengikatkan diri dalam janji suci pernikahan seringkali diperhadapkan dengan
ketentuan adat dari masing-masing pihak. Namun demikian dalam penulisan ini
penulis akan memaparkan mengenai perkawinan selain perkawinan secara agama,
maupun nasional dimana kedua prosesi perkawinan tersebut merupakan perkawinan
yang sah diakui di Indonesia, yaitu prosesi perkawinan adat. Perkawinan adat pada
umumnya bersifat tidak wajib, artinya bisa dilakukan atau tidak, tergantung dari
kesepakatan masing-masing pihak. Akan tetapi dalam perkawinan yang dilakukan
oleh masyarakat adat Lampung Pepadun khususnya yang bertempat tinggal di Desa
Gunung Batin Udik Kecamatan Terusan Nunyai Kabupaten Lampung Tengah
Provinsi Lampung, perkawinan adat wajib dilakukan mengingat itu adalah warisan
secara turun-temurun dari nenek moyang yang harus dilakukan bagi keturunannya.
Didalamnya terdapat beberapa poin-poin yang akan dijelaskan mengenai penerapan
hukum nasional dalam hukum adat yang ada dan berlaku dalam adat Lampung
Pepadun.
Dalam Bab II ini dijelaskan tentang bagaimana pelaksaan perkawinan menurut
hukum adat Lampung Pepadun yang berisi asas-asas menurut hukum adat dan akibat
perkawinan menurut hukum adat. Hasil penelitian dan Analisis yang diuraikan
15
tentang pembahasan hasil penelitian dan pembahasan mengenai pelaksanaan
Perkawinan Adat Lampung Pepadun tersebut.
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Perkawinan Adat
a. Pengertian Perkawinan.
Perkawinan merupakan bahasa yang dipergunakan dalam bahasa
Indonesia yang merujuk pada suatu perbuatan tertentu. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) perkawinan berasal dari kata kawin yang
mana memiliki arti membentuk keluarga dengan lawan jenis (beristri atau
bersuami). Dengan demikian kata perkawinan memiliki arti sebagai
perbuatan untuk saling mengikatkan antara seorang laki-laki dengan
perempuan untuk membentuk suatu rumah tangga.1
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan, perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Di Indonesia, umumnya perkawinan dilakukan dengan 2 (dua)
tahapan perkawinan, yaitu akad atau pernikahan gerejawi serta dicatatkan
1 Kamus Besar Bahasa Indonesia
16
dalam catatan sipil, dan ada lagi satu tahapan yang bersifat opsional (tidak
wajib dilakukan) yaitu resepsi. Akan tetapi pada daerah-daerah tertentu
yang masih kental dengan adat dan kebudayaannya proses perkawinan
haruslah dilakukan juga dengan perkawinan yang dilakukan didepan
pemuka adat. Inilah yang disebut dengan perkawinan adat.
Tentang perkawinan adat dimana Prof. Mr. M. M. Djojodigoeno
menyebutnya dengan perjodohan, menjelaskan bahwa perkawinan adat
adalah hidup bersama antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
sebagai suami-istri, yang pelaksanaannya melalui berbagai upacara
peralihan (Rites de Passage), yang melambangkan perubahan status dari
hidup sendiri-sendiri menjadi hidup bersama dan membentuk keluarga.
Beberapa ahli juga turut mendefinisikan mengenai perkawinan
yaitu:
- Wirjono Prodjodikoro2
Perkawinan adalah hidup bersama antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat termasuk
dalam peraturan hukum perkawinan.
- Subekti3
Perkawinan sebagai pertalian yang sah antara seorang lelaki
dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.
2 R.Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Bandung, 1984, hal. 6
3 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa cet.26, Jakarta, 1994, hal.23
17
- Soediman Kartohadiprodjo4
Perkawinan adalah suatu hubungan antara orang wanita dan
pria yang bersifat abadi.
- K. Wantjik Saleh5
Perkawinan ialah ikatan lahir - batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami-isteri
Dari beberapa pendapat ahli diatas maka dapat ditarik sebuah
kesimpulan mengenai pengertian perkawinan yaitu sebagai perbuatan
yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk
saling mengikatkan diri sebagai suami dan istri untuk selama-lamanya.
b. Bentuk dan Tujuan Perkawinan Hukum Adat
Menurut hukum adat di Indonesia, perkawinan itu dapat berbentuk
dan bersistem perkawinan jujur, perkawinan semanda, perkawinan
bebas ataupun bentuk perkawinan lainnya. Perkawinan adat merupakan
perihal yang tidak terlepas dari hukum adat serta hukum perkawinan yang
terdapat dalam UU Perkawinan, dimana hukum perkawinan adat diartikan
sebagai aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bentuk-
bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan
putusnya perkawinan di masing-masing adat yang ada di Indonesia.
4 Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Di Indonesia, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1984, hal.36 5 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1960, hal.14
18
Terdapat banyak aturan-aturan perkawinan adat di Indonesia yang
sesuai dengan latar belakang masyarakat dan daerahnya masing-
masing. Di Indonesia sudah terdapat pengaturan tentang perkawinan
secara Nasional yaitu Undang-Undang Perkawinan. Akan tetapi dalam
perkembangannya, di berbagai daerah masih memberlakukan hukum adat
perkawinan, karena memang dalam Undang-Undang Perkawinan hanya
diatur masalah perkawinan secara umum saja. Melihat suasana hukum
adat di Indonesia, yaitu dalam masyarakat adat patrilinial, matrilinial,
dan parental terdapat bentuk-bentuk perkawinan adat yang masih berlaku
dan dipertahankan, diantaranya adalah :6
a. Perkawinan Jujur
Perkawinan jujur atau jelasnya perkawinan dengan pemberian
(pembayaran) uang (barang) jujur, pada umumnya berlaku di
lingkungan masyarakat hukum adat yang mempertahankan garis
keturunan bapak (lelaki) seperti masyarakat Bayo, Batak, Nias,
Lampung, Bali, Timor, dan Maluku. Pemberian uang atau barang
jujur (Bayo : unjuk, Batak : boli, tuhor, paranjuk, pangoli, Nias :
beuli niha, Lampung : segreh, seroh, daw adat, Timor-Sawu : belis,
wellie, Maluku : beli, wilin) dilakukan oleh pihak kerabat (marga,
suku) calon suami kepada pihak kerabat calon isteri, sebagai tanda
6 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung,
2003, hlm. 183-190.
19
pengganti pelepasan mempelai wanita keluar dari kewargaan adat
persekutuan hukum bapaknya, pindah dan masuk ke dalam
persekutuan hukum suaminya. Hal ini berarti setelah dilakukannya
perkawinan maka isteri tunduk dan patuh terhadap aturan hukum
adat suaminya. Ini berarti dalam konsep perkawinan jujur yaitu
adanya suatu perpindahan kewargaan adat. Pada umumnya, dalam
perkawinan jujur berlaku adat “pantang-cerai”, sehingga senang
atau susah selama hidupnya isteri dalam menjalani rumah tangga
harus menahan dan tidak boleh melakukan perceraian, hal ini
sejalan dengan asas yang terdapat didalam Undang-Undang
Perkawinan sehingga tujuan perkawinan dapat tercapai. Akan tetapi
ada yang harus dipahami dalam konteks perkawinan jujur, bahwa
perkawinan jujur bukanlah mas kawin menurut hukum Islam,
karena uang jujur adalah kewajiban adat ketika dilakukan
pelamaran yang harus dipenuhi oleh kerabat pria kepada kerabat
wanita untuk dibagikan kepada tua-tua kerabat (marga/suku) pihak
wanita, sedangkan mas kawin adalah kewajiban agama ketika
dilaksanakan akad nikah yang harus dipenuhi oleh mempelai pria
untuk mempelai wanita (pribadi).
20
b. Perkawinan Lari
Perkawinan lari sering terjadi pada tatanan garis keturunan
ayah pada umumnya dan wilayah-wilayah parental7 seperti
masyarakat adat Lampung, Batak, Bali, Bugis/Makasar, dan
Maluku. Meskipun perkawinan lari merupakan pelanggaran adat,
akan tetapi dalam lingkungan masyarakat adat tersebut terdapat
tata-tertib cara menyelesaikannya. Sesungguhnya perkawinan lari
bukanlah bentuk perkawinan melainkan merupakan sistem
pelamaran. Oleh karena dari kejadian perkawinan lari itu dapat
berlaku bentuk perkawinan jujur, semanda atau bebas (mandiri),
tergantung pada keadaan dan perundingan kedua pihak. Sistem
perkawinan lari dapat dibedakan antara perkawinan lari bersama
dan perkawinan lari paksaan. Perkawinan lari bersama yang dalam
bahasa Belanda disebut dengan istilah vlucht-huwelijk, wegloop-
luwelijk, Batak : mangalawa, Sumatera Selatan : belarian, Bengkulu
: selarian, Lampung : Sebambangan, metudau, nakat, cakak lakei,
Bali : ngerorod, merangkat, Bugis : silariang, Ambon : lari bini8
yaitu perbuatan berlarian untuk melaksanakan perkawinan atas
persetujuan si muli. Cara melakukan berlarian tersebut ialah bujang
muli sepakat melakukan kawin lari dan pada waktu yang sudah
7 Mr. B. Ter Haar Baz (Disunting oleh Bambang Danu Nugroho), Asas-asas dan Tatanan
Hukum Adat, Mandar Maju, bandung, 2011, hlm. 140 . 8 Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hlm. 189-190.
21
ditentukan melakukan lari bersama, atau si muli secara diam-diam
diambil kerabat pihak bujang dari tempat kediamannya, atau si muli
datang sendiri ke tempat kediaman pihak bujang yang segala
sesuatunya berjalan menurut tata-tertib adat berlarian. Akan tetapi,
pada masyarakat adat Lampung sangat jarang terjadi seorang muli
yang datang sendiri ke rumah pria, jika hal tersebut terjadi maka
terdapat keadaan yang tidak baik bagi si muli (hamil di luar
perkawinan yang sah).
Pada dasarnya perkawinan lari terjadi atas kesepakatan antara
bujang dan muli, akan tetapi terdapat pengecualian bagi
perkawinan lari paksaan (Belanda : Schaak-huwelijk, Lampung :
Dibembangkan, ditekep, ditenggang, ditunggang, Bali :
Melegandang) adalah perbuatan melarikan muli dengan akal tipu,
atau dengan paksaan atau kekerasan, tidak atas persetujuan si muli
dan tidak menurut tata tertib adat berlarian.9
Koentjaraningrat menyatakan bahwa pada masyarakat Flores
khususnya masyarakat Manggarai dikenal pula istilah kawin lari
atau biasa disebut kawin rok. Perkawinan ini sering dilakukan oleh
9 Ibid, hlm. 183
22
pemuda-pemuda yang tidak mau atau tidak mampu membayar mas
kawin (Pacca) yang tinggi.10
Sayuti Thalib11
menegaskan bahwa perkawinan harus dilihat
dari tiga segi pandangan, yaitu :
1) Perkawinan dilihat dari segi hukum
Dipandang dari segi hukum, perkawinan merupakan
suatu perjanjian dengan alasan untuk mengatakan perkawinan
itu merupakan suatu perjanjian ialah karena adanya :
a) Cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur
terlebih dahulu yaitu dengan akad nikah dan dengan
rukun dan syarat tertentu.
b) Cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan
juga telah diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur
talaq, kemungkinan fasakh, syiqaq dan sebagainya.
2) Segi sosial dari suatu perkawinan
Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu
penilaian yang umum ialah bahwa orang yang berkeluarga
atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih
dihargai dari mereka yang tidak kawin.
10
Ibid., hlm. 228. 11
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, UI-Press, Jakarta, 2009, hlm. 47-48.
23
3) Pandangan perkawinan dari segi agama
Suatu segi yang sangat penting. Dalam agama,
perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara
perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua pihak
dihubungkan menjadi pasangan suami isteri atau saling minta
menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama
Allah.
Menurut agama secara umum,12
perkawinan diartikan
sebagai perbuatan yang suci (sakramen, samskara), yaitu
suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah
dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan
berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga
berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-
masing. Berdasarkan pengertian perkawinan tersebut, maka
terdapat penggabungan antara pengertian perkawinan menurut
Undang-Undang Perkawinan dan hukum adat yaitu
perkawinan merupakan perikatan (ikatan keluarga, ikatan
ketetanggaan, ikatan lahir batin) yang dibuat oleh pria dan
wanita untuk mencapai kebahagiaan berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa yang dilakukan berdasarkan ketentuan agama
dan kepercayaan masing-masing. Setiap perbuatan yang
12
Hilman Hadikusuma, Op.Cit, hlm. 10
24
dilakukan pasti memiliki tujuan yang hendak dicapai, begitu
pula dengan perkawinan yang dilakukan memiliki tujuan
tertentu yang akan dicapai. Pasal 1 Undang-Undang
Perkawinan menyatakan bahwa yang menjadi tujuan
perkawinan sebagai suami isteri adalah untuk membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam Kompilasi
Hukum Islam ditegaskan bahwa tujuan perkawinan adalah
untuk menciptakan keluarga yang sakinah, mawadah, dan
warohmah. Bagi masyarakat hukum adat yang bersifat
kekerabatan, tujuan perkawinan adalah untuk
mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis
kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk
kebahagiaan rumah tangga atau kerabat, untuk memperoleh
nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, serta untuk
mempertahankan kewarisan.13
Dengan demikian maka tujuan perkawinan menurut
hukum adat pastilah berbeda-beda antar suku bangsa satu
dengan suku lainnya. Pada masyarakat kekerabatan
patrilinial, perkawinan dilakukan dengan tujuan
mempertahankan garis keturunan bapak, sehingga anak laki-
13
Ibid., hlm. 21.
25
laki harus melaksanakan bentuk perkawinan ambil isteri
(dengan membayar uang jujur), dimana setelah terjadinya
perkawinan isteri ikut (masuk) dalam kekerabatan suami dan
melepaskan kedudukan adatnya dalam suasana kekerabatan
bapaknya. Hal ini berbeda dengan masyarakat yang
menganut kekerabatan matrilinial, dimana perkawinan
bertujuan untuk mempertahankan garis keturunan ibu,
sehingga anak wanita (tertua) harus melaksanakan bentuk
perkawinan ambil suami (semanda) dimana setelah terjadinya
perkawinan suami ikut (masuk) dalam kekerabatan isteri dan
melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan kekerabatan
orang tuanya.14
Tujuan perkawinan untuk mempertahankan
keturunan itu masih bertahan sampai saat ini, kecuali
masyarakat adat dengan kekerabatan parental, dimana ikatan
kekerabatannya sudah lemah. Oleh karena itu, secara
keseluruhan perkawinan dilakukan semata-mata untuk
mencapai kebahagiaan yang kekal dan abadi berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa dengan mempertimbangkan
kelestarian hukum adat.
14
Ibid., hlm. 22.
26
c. Asas-asas perkawinan Hukum Adat
Dalam sebuah perkawinan pasti terdapat azas-azas yang
mendukung perkawinan tersebut,menurut hukum adat, sebagai berikut;
a. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan
hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia, dan kekal.
b. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum
agama dan atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan
dari para anggota kerabat.
c. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa
wanita sebagai istri yang kedudukannya masing-masingditentukan
menurut hukum adat setempat.
d. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan
anggota kerabat. Masyarakat dapat menolak kedudukan suami atau
istri yang tidak diakui masyarakat adat.
e. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang masih
dibawah umur atau anak-anak. Begitupula walaupun sudah cukup
umur perkawinan harus berdasarkan izin orang tua/keluarga dan
kerabat.
f. Perceraian ada yang dibolehkan dan ada yang tidak dibolehkan.
Perceraian antara suami dan istri dapat berakibat pecahnya
hubungan kekerabatan antara dua pihak.
27
g. Keseimbangan kedudukan antara suami dan istri-istri berdasarkan
ketentuan hukum adat yang berlaku, ada istri yang berkedudukan
sebagai ibu rumah tangga dan ada istri yang bukan ibu rumah
tangga.
d. Syarat-syarat Perkawinan
Pada perkawinan yang dilangsungkan secara adat, tidak jauh
berbeda dengan apa yang ditentukan oleh Undang-Undang
Perkawinan tersebut diatas, namun dalam perkawinan adat, kedua
calon baik dari pihak laki-laki maupun perempuan tidak ditentukan
mengenai batas usia meskipun mengenai usia ini bukanlah sebagai
suatu ketentuan yang mutlak. Akan tetapi yang menjadi tolak ukur
bagi masyarakat adat untuk dapat melangsungkan perkawinan yaitu
setiap laki-laki maupun perempuan di usia berapapun dapat
melangsungkan perkawinan secara adat dengan satu kondisi bahwa
keduanya sudah mencapai baligh secara biologis (pubertas).
Meskipun demikian ini bukanlah merupakan suatu hal yang dapat
menggugurkan perkawinan adat karena secara garis besar prinsip-
prinsip yang harus dipenuhi oleh kedua calon tetaplah sama seperti
ketentuan dalam UU Perkawinan.
Sehingga dengan demikian apabila salah satu atau lebih dari
syarat-syarat diatas tidak dapat dipenuhi oleh kedua calon
28
mempelai, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan dan dapat
dibatalkan, hingga kedua calon mempelai dapat memenuhi syarat-
syarat diatas barulah dapat melangsungkan perkawinan.
Sahnya perkawinan menurut hukum adat bagi masyarakat
hukum adat di Indonesia tergantung pada agama yang dianut
masyarakat adat bersangkutan,15
karena pada masa lampau
(sebelum disahkan UU Perkawinan) masyarakat hukum adat di
Indonesia melakukan perkawinan berdasarkan apa yang mereka
anut dan percayai.16
Sehingga ketika dinyatakan sah menurut
kepercayaan masayarakat hukum adat tersebut, maka sah juga di
mata hukum adat.
e. Akibat Hukum Terjadinya Perkawinan
Akibat hukum terjadinya perkawinan terbagi dua, yaitu:
1) Perkawinan yang sah, perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang di
nyatakan senbagai perkawinan yang sah. Akibat perkawinan yang sah
timbul hubungan hukum yaitu:
a. Hubungan hukum antara suami dan istri yang mencakup hak dan
kewajiban diantara keduanya;
b. Hubungan hukum antara anak dan orang tua yang mencakup hak
dan kewajiban keduanya;
15
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 26
16 Supra bab I, hlm. 6
29
c. Hubungan hukum antara wali dan anak, anak yang belum berusia
18 tahun atau belum menikah di bawah kekuasaan orang tua atau
di bawah perwalian;
d. Hubungan hukum terhadap harta benda dalam perkawinan, harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama,
sedangkan harta benda yang di bawa masing-masing suami dan
istri menjadi hak masing-masing selama keduanya tidak
menentukan lain.
2) Perkawian yang tidak sah, jika ada salah satu syarat materil
maupun formil yang tidak terpenuhi.
2. Perkawinan Adat Lampung.
Dalam perkawinan menurut hukum adat Lampung Pepadun, tidak jauh
berbeda dengan perkawinan menurut hukum adat pada umumnya.
Pada uraian dibawah ini akan dipaparkan tentang tata cara perkawinan
yang dilakukan menurut hukum adat Lampung Pepadun.
Adapun prosesi perkawinan menurut adat Lampung dibagi menjadi 2
(dua) tahap. Tahap pertama yaitu sebelum perkawinan dan tahap kedua
yaitu sesudah perkawinan.
Tata cara pada tahap pertama yaitu tahap sebelum perkawinan
yang terdapat beberapa rangkaian proses yang harus dipenuhi oleh
30
calon pasangan pengantin. Adapun rangkaian proses tahap pertama
adalah sebagai berikut:17
1) Nindai/ Nyubuk
Ini merupakan proses dimana pihak keluarga calon
pengantin pria akan meneliti atau menilai apakah calon istri
anaknya. Yang dinilai adalah dari segi fisik & perilaku sang
gadis. Pada Zaman dulu saat upacara begawei (cacak
pepaduan) akan dilakukan acara cangget pilangan yaitu sang
gadis diwajibkan mengenakan pakaian adat & keluarga calon
pengantin pria akan melakuakn nyubuk / nindai yang
diadakan di balai adat.
2) Beulih-ulihan
Apabila proses nindai telah selesai dan keluarga calon
pengantin pria berkenan terhadap sang gadis maka calon
pengantin pria akan mengajukan pertanyaan apakah gadis
tersebut sudah ada yang punya atau belum, termasuk
bagaimana dengan bebet, bobot, bibitnya. Jika dirasakan
sudah cocok maka keduanya akan melakukan proses
pendekatan lebih lanjut.
3) Bekado
17
Wawancara dengan Bapak Ahmad Syukri, Tetua adat Desa gunung Batin Udik (Suttan Puyimbang), 2 Desember 2015
31
Yaitu proses dimana keluarga calon pengantin pria pada
hari yang telah disepakati mendatangi kediaman calon
pengantin wanita sambil membawa berbagai jenis makanan &
minuman untuk mengutarakan isi hati & keinginan pihak
keluarga.
4) Nunang
Pada hari yang disepakati kedua belah pihak, calon
pengantin pria datang melamar dengan membawa berbagai
barang bawaan secara adat berupa makanan, aneka macam
kue, dodol, alat untuk merokok, peralatan nyireh ugay cambia
(sirih pinang). Jumlah dalam satu macam barang bawaan akan
disesuaikan dengan status calon pengantin pria. Dalam
kunjungan ini akan disampaikan maksud keluarga untuk
meminang anak gadis tersebut.
5) Nyirok
Acara ini biasa juga dilakukan bersaman waktunya
dengan acara lamaran. Biasanya calon pengantin pria akan
memberikan tanda pengikat atau hadiah istimewa kepada
gadis yang ditujunya berupa barang perhiasan, kain jung sarat
atau barang lainnya. Hal ini sebagai symbol ikatan batin yang
nantinya akan terjalin diantara dua insan tersebut. Acara
nyirok ini dilakukan dengan cara orang tua calon pengantin
pria mengikat pinggang sang gadis dengan benang lutan
32
(benang yang terbuat dari kapas warna putih, merah, hitam
atau tridatu) sepanjang satu meter. Hal ini dimaksudkan agar
perjodohan kedua insan ini dijauhkan dari segala penghalang.
6) Menjeu
Utusan keluarga pengantin pria datang kerumah orang
tua calon pengantin wanita untuk berunding mencapai
kesepakatan bersama mengenai hal yang berhubungan dengan
besarnya uang jujur, mas kawin, adat yang nantinya akan
digunakan, sekaligus menentukan tempat acara akad nikah
dilangsungkan. Menurut adat tradisi Lampung, akad nikah
biasa dilaksanakan di kediaman pengantin pria.
7) Sesimburan
Acara ini dilakukan di kali atau sumur dengan arak-
arakan dimana calon pengantin wanita akan di payungi
dengan paying gober & diiringi dengan tabuh-tabuhan dan
talo lunik. Calon pengantin wanita bersama gadis-gadis
lainnya termasuk para ibu mandi bersama sambil saling
menyimbur air yang disebut sesimburan sebagai tanda
permainan terakhirnya sekaligus menolak bala karena besok
dia akan melaksanakan akad nikah.
8) Betanges
Yaitu merebus rempah-rempah wangi yang disebut
pepun sampai mendidih lalu diletakkan dibawah kursi yang
33
diduduki calon pengantin wanita. Dia akan dilingkari atau
ditutupi dengan tikar pandan selama 15-25 menit lalu atasnya
ditutup dengan tampah atau kain. Dengan demikian uap dari
aroma tersebut akan menyebar keseluruh tubuh sang gadis
agar pada saat menjadi pengantin akan berbau harum dan
tidak mengeluarkan banyak keringat.
9) Berparas
Setelah bertanges selesai selanjutnya dilakukan acara
berparas yaitu menghilangkan bulu-bulu halus & membentuk
alis agar sang gadis terlihat cantik menarik. Hal ini juga akan
mempermudah sang juru rias untuk membentuk cintok pada
dahi dan pelipis calon pengantin wanita. Pada malam harinya
dilakukan acara pasang pacar (inai) pada kuku-kuku agar
penampilan calon pengantin semakin menarik pada keesokan
harinya.
10) Upacara akad nikah
Pada upacara akad nikah ini, dalam adat lampung
berbeda dengan upacara akad nikah di adat-adat lain. Menurut
tradisi lampung, biasanya pernikahan dilaksanakan di rumah
calon mempelai pria, namun dengan perkembangan zaman
dan kesepakatan, maka akad nikah sudah sering diadakan di
rumah calon mempelai wanita. Proses untuk menjalankan
34
akad nikah terdapat beberapa aturan bagi calon pengantin pria
yaitu:
- Barisan paling depan adalah perwatin adat dan
pembarep (juru bicara)
- Rombongan calon mempelai pria diterima oleh
rombongan calon mempelai wanita dengan barisan
paling depan pembarep pihak calon mempelai wanita.
- Rombongan calon pengantin pria dan calon pengantin
wanita disekat atau dihalangi dengan Appeng (rintangan
kain sabage/cindai yang harus dilalui).
Apabila kesepakatan tercapai, maka juru bicara pihak
calon pengantin wanita menebas atau memotong appeng
dengan alat terapang (tradisi pada masyarakat adat Lampung
Pepadun, bahwa sebelum rombongan calon pengantin pria
menginjakkan kaki di kediaman tuan rumah, rombongan
tersebut dihadang oleh piahk tuan rumah). Baru rombongan
calon pengantin pria dipersilahkan masuk dengan membawa
seserahan berupa : dodol, urai cambai (sirih pinang), juadah
balak (lapis legit), kue kering, dan uang adat. Kemudian calon
pengantin pria dibawa ke tempat pelaksanaan akad nikah,
didudukan di kasur usut. Selesai akad nikah, selain sungkem
35
(sujud netang sabuk) kepada orangtua, kedua mempelai juga
melakukan sembah sujud kepada para tetua yang hadir.
Setelah serangkaian proses pada tahap pertama telah
selesai dilaksanakan, maka selanjutnya dilanjutkan dengan
tahap kedua yaitu tahap sesudah perkawinan atau yang
umumnya disebut pesta pada perkawinan adat yaitu sebagai
berikut:
1) Upacara Ngurukken Majeu
Mempelai wanita dibawa ke rumah mempelai pria
dengan menaiki rato, sejenis kereta roda empat dan jepanon
atau tandu. Pengantin pria memegang tombak bersama
pengantin wanita dibelakangnya. Bagian ujung mata tombak
dipegang pengantin pria, digantungi kelapa tumbuh dan kendi
berkepala dua, dan ujung tombak bagian belakang digantungi
labayan putih atau tukal dipegang oleh pengantin wanita,
yang disebut seluluyan. Kelapa tumbuh bermakna panjang
umur dan beranak pinak, kendi bermakna keduanya
hendaknya dingin hati dan setia dunia sampai akhirat, dan
lebayan atau benang setungkal bermakna membangun rumah
tangga yang sakinah dan mawadah. pengantin berjalan
perlahan diiringi musik tradisional talo balak, dengan tema
sanak mewang diejan.
36
2) Tabuhan Talo Balak
Sesampai di rumah pengantin pria, mereka disambut
tabuhan talo balak irama girang-girang dan tembakan meriam,
serta orangtua dan keluarga dekat mempelai pria, sementara
itu, seorang ibu akan menaburkan beras kunyit campur uang
logam. Berikutnya pengantin wanita mencelupkan kedua kaki
kedalam pasu, yakni wadah dari tanah liat beralas talam
kuningan, berisi air dan anak pisang batu, kembang titew,
daun sosor bebek dan kembang tujuh rupa, pelambang
keselamapan, dingin hati dan berhasil dalam rumah tangga.
Lalu dibimbing oleh mertua perempuan, pengantin wanita
bersama pengantin pria naik ke rumah, didudukan diatas
kasur usut yang digelar didepan appai pareppu atau kebik
temen, yaitu kamar tidur utama. Kedua mempelai duduk
bersila dengan posisi lutut kiri mempelai pria menindih lutut
mempelai wanita. Maknanya agar kelak mempelai wanita
patuh pada suaminya.
Selanjutnya siger mempelai wanita diganti dengan
kanduk tiling atau manduaro (selendang dililit di kepala),dan
dimulailah serangkaian prosesi:
- ibu mempelai pria menyuapi kedua mempelai ,
dilanjutkan nenek serta tante.
37
- Lalu ibu mempelai wanita menyuapi kedua mempelai,
diikuti sesepuh lain.
- Kedua mempelai makan sirih dan bertukar sepah antara
mereka.
- Istri kepala adat memberi gelar kepada kedua mempelai,
menekan telunjuk tangan kiri diatas dahi kedua
mempelai secara bergantian, sambil berkata : sai(1),
wow (2), tigou(3), pak(4), limau(5), nem(6), pitew(7),
adekmu untuk mempelai pria Ratu Bangsawan, untuk
mempelai wanita adekmu Ratu Rujungan.
- Netang sabik yaitu mempelai pria membuka rantai yang
dipakai mempelai wanita sambil berkata : “Nyak
natangken bunga mudik, setitik luh mu temban jadi
cahyo begito bagiku”, lalu dipasangkan di leher adik
perempuannya, dengan maksud agar segera mendapat
jodoh.
- Kedua mempelai menaburkan kacang goreng dan
permen gula-gula kepada gadis-gadis yang hadir, agar
mereka segera mendapat jodoh.
- Seluruh anak kecil yang hadir diperintahkan merebut
ayam panggang dan lauk pauk lain sisa kedua
mempelai, dengan makna agar segera mendapat
keturunan.
38
Dengan demikian, selesailah prosesi perkawinan adat
Lampung pepadun. Dengan adanya perkawinan adat ini
diharapkan kepada pasangan pengantin dikemudian hari tidak
ditemukan masalah-masalah hingga berujung perceraian.
Apabila terjadi perceraian maka dampak terhadap pasangan
pengantin ini cukup berat di mata adat Lampung pepadun.
B. HASIL PENELITIAN
1. Adat Lampung Pepadun
a. Sejarah Adat Pepadun18
Lampung dikenal dengan sebutan “Sai Bumi Khua Jukhai”,
secara Bahasa artinya Satu Bumi Dua Cabang. Sedangkan
berdasarkan Makna yaitu “Sai Bumi (satu Bumi)” bermakna suku
bangsa yang mendiami satu wilayah yang berasal dari keturunan
yang sama, dan “Khua Jukhai (Dua Cabang)” bermakna dua jenis
adat istiadat yang dikenal di masyarakat.
Dari semboyan diatas terdapat dua adat istiadat yang ada di
masyarakat Lampung yaitu Sai Batin dan Pepadun. “Sai Batin”
18
Wawancara dengan Bapak Ahmad Syukri, Tetua adat Desa Gunung Batin Udik (Suttan Puyimbang), 2 Desember 2015
39
berarti Satu Penguasa (Raja) sedangkan “Pepadun” berarti Tempat
Duduk Penobatan Penguasa.
Adat Pepadun dipakai oleh masyarakat adat Abung Siwo
Mego, Mego Pak Tulang Bawang, Pubian Telu Suku, Buay Lima
Way Kanan dan Sungkai Bunga Mayang.
Masyarakat adat Lampung Pepadun meyakini bahwa pada
masa lalu, di Lampung terdapat sebuah budaya yang hingga saat ini
melekat dalam masyarakat adat Lampung, yaitu Pepadun. Perihal
tersebut ternyata pernah disampaikan oleh Sultan Lampung Paksi
Buay Pernong, Kerajaan Paksi Pak Sekala Brak Pun, Edward Syah
Pernong, Gelar Sultan Pangeran Raja Salalau, Pemuka Agung
Dengian Paksi dalam seminar budaya Lampung di IAIN Radin
Inten, Bandar Lampung. Pepadun sendiri berarti tempat duduk
(singgasana) dalam pengangkatan seorang pemimpin adat.
Nama pepadun diambil dari kata “Pepadun” tempat penobatan
Penyimbang di Paksi Pak Skala Brak yang beradat Sai Batin.
Sedangkan “Pepadun” masih juga digunakan pada pengakatan
kepala adat di marga-marga keturunan Paksi Pak Skala Brak yang
beradat Sai Batin di Pesisir Krui dan Pesisir Teluk Semaka. pada
adat Pepadun siapa pun bisa jadi penyimbang atau mengambil
gelar, asalkan mempunyai kekayaan yang cukup. Tetapi pada
40
masyarakat adat pepadun tidak begitu mengenal tingkatan adok
(gelar) seperti halnya masyarakat adat Sai Batin, sehingga tidak ada
yang bernama Raden, Minak, Kimas atau Mas. Sehingga tidak
mempunyai struktur aristokrat (kerajaan) – dimana seorang kepala
membawahi anak buah – tetapi semua yang mendapat gelar,
kedudukan atau hejongan-nya sama/setara.19
b. Masyarakat Adat Lampung Pepadun20
Masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup
berdasarkan asal-usul leluhur secara turun temurun di atas suatu
wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan
alam, kehidupan sosial budaya, yang diatur oleh hukum adat dan
lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan
masyarakatnya. Adapun yang menjadi masyarakat adat dalam adat
Lampung Pepadun dibagi dalam 4 sub masyarakat adat yaitu
sebagai berikut :
1) Pertama
Abung Siwo Mego (Unyai, Unyi, Subing, Uban, Anak
Tuha, Kunang, Beliyuk, Selagai, Nyerupa). Masyarakat
Abung mendiami tujuh wilayah adat: Kotabumi, Seputih
19
Dian Apita Sari, “Mengenal Sejarah Masyarakat Lampung Pepadun”, 9 Agustus 2016, http://malahayati.ac.id/?p=20195, dikunjungi pada tanggal 8 Oktober 2016 pukul 10.00 WIB
20 Wawancara dengan Bapak Ahmad Syukri, Tetua adat Desa Gunung Batin Udik (Suttan
Puyimbang), 2 Desember 2015
41
Timur, Sukadana, Labuhan Maringgai, Jabung, Gunung
Sugih, dan Terbanggi.
2) Kedua
Mego Pak Tulangbawang (Puyang Umpu, Puyang
Bulan, Puyang Aji, Puyang Tegamoan). Masyarakat
Tulangbawang mendiami empat wilayah adat: Menggala,
Mesuji, Panaragan, dan Wiralaga.
3) Ketiga
Pubian Telu Suku (Minak Patih Tuha atau Suku
Manyarakat, Minak Demang Lanca atau Suku Tambapupus,
Minak Handak Hulu atau Suku Bukujadi). Masyarakat Pubian
mendiami delapan wilayah adat: Tanjungkarang, Balau,
Bukujadi, Tegineneng, Seputih Barat, Padang Ratu,
Gedungtataan, dan Pugung
4) Keempat
Sungkay-Way Kanan Buay Lima (Pemuka, Bahuga,
Semenguk, Baradatu, Barasakti, yaitu lima keturunan Raja
Tijang Jungur). Masyarakat Sungkay-WayKanan mendiami
sembilan wilayah adat: Negeri Besar, Ketapang, Pakuan Ratu,
Sungkay, Bunga Mayang, Belambangan Umpu, Baradatu,
Bahuga, dan Kasui.
42
2. Perkawinan Adat Lampung Pepadun
Pada umumnya, perkawinan dilakukan guna memenuhi suatu tujuan
yaitu untuk membentuk sebuah keluarga. Di Indonesia perkawinan secara
adat dilakukan berdasarkan adat masing-masing yang tentunya memiliki
perbedaan dan setiap perbedaan tersebut adalah keunikan bagi daerahnya
masing-masing. Dalam hal ini perkawinan adat Lampung yang dianut di
Desa Gunung Batin Udik yaitu perkawinan adat Lampung Pepadun.
Dalam adat Lampung Pepadun perkawinan yang sah adalah melakukan
perkawinan sesuai dengan yang diatur dengan Undang-Undang
Perkawinan ditambah dengan beberapa rangkaian prosesi perkawinan
adat. Akan tetapi karena suatu hal tertentu masyarakat adat lampung
pepadun juga dapat melakukan perkawinan diluar yang ditentukan
kententuan adat Lampung Pepadun yang disebut kawin lari atau
sesambangan.
Pada perkawinan adat Lampung Pepadun, ketentuan adat dari
masyarakat adat Lampung Pepadun sendiri mengikuti sistem kekerabatan
patrilineal dimana dalam sistem kekerabatan patrilineal ini yaitu sistem
kekerabatan yang meneruskan garis keturunan dari bapak, sehingga
segala sesuatu yang bersifat keadatan tunduk pada adat dari pihak laki-
laki (suami). Setelah kedua pihak yaitu pihak calon suami dan calon istri
memahami dan menyepakati tentang ketentuan adat Lampung Pepadun
43
yang mengikuti garis keturunan bapak (patrilineal) dan akan melanjutkan
ke tahap perkawinan, haruslah mengikuti serangkaian tata cara
perkawinan menurut adat Lampung Pepadun yang selanjutnya akan
penulis paparkan dibawah ini.
Seperti yang sudah dibahas pada bahasan sebelumnya, bahwasanya
masyarakat adat Lampung Pepadun, terkhusus bagi calon pasangan yang
akan melakukan perkawinan dengan menggunakan perkawinan adat
Lampung Pepadun haruslah adanya kata sepakat dengan ketentuan yang
berlaku bagi adat Lampung Pepadun, dan dilanjutkan dengan
melaksanakan serangkaian prosesi perkawinan adat yang dianut oleh
masyarakat adat Lampung Pepadun. Berikut ini merupakan data yang
diperoleh penulis, saat sedang mewawancarai beberapa pasangan adat
Lampung Pepadun yang dijadikan sebagai kajian utama dalam penulisan
skripsi ini. Adapun pasangan-pasangan yang melakukan perkawinan adat
tersebut ialah :
a. Pasangan William dan Sari21
William dan Sari merupakan pasangan yang melakukan
perkawinan adat Lampung Pepadun pada tahun 1996 yang
dilakukan di kediaman William di Gunungsugih. Pada saat William
dan Sari menikah di Tahun 1996 tersebut, keduanya berusia 23
21
Wawancara dengan William, pelaku Perkawinan Adat Lampung Pepadun, Bandar Lampung, 23 Mei 2016
44
tahun dan 21 tahun. Selama perjalanan berumah-tangganya William
dan Sari dikaruniai 2 anak. William menceritakan bahwa dahulu
pada saat akan menikahi Sari, harus melalui ketentuan-ketentuan
yang ditentukan oleh adatnya. Dalam melangsungkan perkawinan
harus melalui beberapa prosesi perkawinan yang ditentukan oleh
adatnya, termasuk memberikan uang sebesar Rp. 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) kepada keluarga Sari sebagai bentuk dari
perkawinan jujur. Tahap demi tahap dilewati oleh pasangan ini
mulai dari nindai hingga tabuhan talo balak, semuanya berjalan
dengan lancar, namun uniknya pada saat melakukan prosesi
ngurukken majeu, yang seharusnya menggunakan kendaraan
semacam kereta roda empat, diganti dengan kendaraan roda empat
jenis sedan, dengan alasan, William, dikala itu kesusahan mencari
kereta roda empat, hingga pada akhirnya memutuskan untuk
menggunakan sedan. Semua berjalan lancar dan akhirnya mereka
sah sebagai pasangan suami istri. Sebelum menikah William dan
Sari masing-masing sudah bekerja dan memiliki penghasilan
masing-masing. Setelah menikah timbulah hak dan kewajiban
William dan Sari untuk saling mencintai dan melengkapi satu sama
lain. Sari memutuskan untuk berhenti bekerja, dan sepenuhnya akan
merawat anaknya sehingga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
menjadi tanggungjawab sepenuhnya William.
45
b. Pasangan Murni dan Wulandari22
Murni dan Wulandari menikah pada tahun 1989, pernikahan
mereka dilaksanakan di kediaman mempelai laki-laki. Mereka
menikah pada umur yang cukup matang yaitu Murni berumur 27
tahun dan Wulandari berumur 25 tahun. Sebelum mereka resmi
menikah Wulandari diam-diam pergi dari rumahnya menuju rumah
Murni, tetapi Wulandari meninggalkan surat di rumahnya bahwa
dia pergi ke rumah Murni, lalu dalam beberapa hari Murni beserta
keluarga nya berkunjung ke rumah Wulandari dengan membawa
uang jujur sejumlah yang telah mereka sepakati, yaitu Rp.
15.000.000,- . Setelah itu Wulandari dikembalikan ke keluarganya
kembali dan keesokan harinya mereka mengikuti upacara adat yang
ada sebagaimana mestinya. Setelah melewati berbagai macam
prosesi adat pernikahan maka mereka pun resmi menjadi pasangan
suami istri. Kebetulan mereka berdua tidak tinggal satu rumah
dengan orang tua mereka karena mereka sudah memiliki rumah
sendiri, tetapi rumah mereka masih berdekatan dengan rumah orang
tua Murni. Pada tahun ketiga mereka menikah mereka di karuniai
anak laki-laki dan kebetulan juga merupakan putra tunggal
pasangan ini. Hak dan kewajiban mereka pun berubah semenjak
merekaa menikah, dimana Wulandari harus menuruti semua
22
Wawancara dengan Murni, pelaku Perkawinan Adat Lampung Pepadun, Desa Gunung Batin Udik, 23 Mei 2016
46
keputusan suami, dan Murni pun berkewajiban untuk menafkahi
Wulandari dan juga anaknya. Sebelum menikah mereka pun sama-
sama memiliki harta pribadi dan setelah menikah mereka mulai
memiliki harta bersama yang untuk diwariskan ke anak semata
wayang mereka.
c. Pasangan Roby dan Linda23
Pasangan Roby dan Linda menikah pada tahun 1988, mereka
menikah di kediaman mempelai wanita. Mereka menikah pada saat
Roby umur 19 tahun dan Linda umur 17 tahun, tata cara atau proses
pernikahan yang mereka langsungkan sama seperti yang masyarakat
yang ada di desa mereka yaitu dengan perkawinan jujur sebesar Rp.
8.000.000,-. Setelah mereka melangsungkan perkawinan menurut
hukum adat,otomatis hak dan kewajiban mereka pun berubah.
Linda harus patuh terhadap perintah Roby yang sekarang menjadi
kepala keluarga mereka. Selama pernikahan mereka sampai saat ini
mereka belum dikaruniai anak, jadi akhirnya mereka mengangkat
anak dari salah satu panti asuhan yang ada di kota tersebut.
Hubungan Linda dengan keluarga suami pun berjalan dengan baik.
Sebelum menikah Linda tidak memiliki harta pribadi yang dibawa
23
Wawancara dengan Roby, pelaku Perkawinan Adat Lampung Pepadun, Desa Gunung Batin Udik, 23 Mei 2016
47
kedalam rumah tangga mereka, tetapi setelah mereka menikah
cukup lama kini mereka sudah memiliki harta bersama.
d. Pasangan Riky dan Hasnah24
Riky dan Hasnah menikah pada tahun 1996, mereka menikah
di kediaman Hasnah, Hasnah kebetulan bukan berasal dari suku
yang sama dengan Riki, oleh karena itu Hasnah harus mengikuti
upacara adat untuk menjadi satu suku dengan Riky. Hasnah pun
harus mengikuti berbagai macam prosesi adat sebelum pernikahan
agar dapat menikah dengan Riky. Steelah Hasnah masuk ke suku
yang sama dengan Riky barulah mereka melangsungkan pernikahan
menurut adat desa tersebut yaitu dengan perkawinan jujur dengan
uang jujur sebesar Rp. 20.000.000,-. Mereka menikah saat umur
mereka 22 tahun. Setelah menikah mereka tinggal di kediaman
Riky karena Riky anak tunggal jadi tidak boleh pergi dari rumah
orang tuanya. Dari perkawinan mereka dikaruniai 3 orang anak.
Hak dan kewajiban mereka sebagai suami istri masih sama dengan
suami istri pada umumnya. Hubungan keluarga mereka pun berjalan
dengan baik selama ini. Selama perkawinan Hasnah tidak memiliki
harta pribadi tetapi dia memiliki harta bersama setelah menikah
dengan Riky.
24
Wawancara dengan Riky, pelaku Perkawinan Adat Lampung Pepadun, Desa Gunung Batin Udik, 23 Mei 2016
48
1. Pasangan Adi dan Rina25
Perkawinan yang dilakukan oleh Adi dan Rina (masyarakat
adat Lampung Pepadun). Mereka menikah pada tahun 1988 setelah
Adi dan Rina menjalani rumah tangga selama 23 tahun, ditengah
perjalanan kehidupan rumah tangga mereka, pada tahun 2011
ternyata Adi meninggal dunia dan harta bersama yang dimiliki
selama perkawinan jatuh kepada Rina sebagai istrinya yang sah,
tetapi hak asuh anak mereka di berikan kepada pihak laki-laki, jadi
secara otomatis Rina bukan lagi menjadi bagian keluarga laki-laki
tersebut.
Setelah melakukan penelitian terhadap 5 (lima) pasangan suami istri
yang melakukan perkawinan adat Lampung Pepadun diatas, penulis
mendapat suatu kesimpulan bahwa perkawinan yang mereka lakukan
sudah sesuai dengan apa yang dikehendaki dalam ketentuan perkawinan
adat Lampung Pepadun seperti keabsahan perkawinan, tata cara
perkawinan, hingga akibat yang timbul dan yang harus dilakukan oleh
pasangan suami istri setelah perkawinan. Meskipun pada pelaksanaan
perkawinan mereka tidak dicatatkan pada pencatatan perkawinan,
perkawinan mereka tetap dianggap sah menginat pada maksud dan tujuan
dalam perkawinan adat Lampung Pepadun yaitu untuk mengumumkan
(declare) kepada masyarakat adat bahwa keempat pasangan ini telah
25
Wawancara dengan Rina, pelaku Perkawinan Adat Lampung Pepadun, Desa Gunung Batin Udik, 15 Desember 2015
49
menikah, sehingga dengan adanya pengumuman tersebut maka
perkawinan mereka dianggap sah. Dari kelima pasangan pihak laki-laki
yang melakukan perkawinan menurut hukum adat Lampung Pepadun ini
memberikan uang jujur yang besarnya ditentukan oleh keluarga pengantin
perempuan. Perkawinan yang mereka lakukan tidak dicatatkan, akan
tetapi masyarakat mengakui adanya perkawinan tersebut karena
masyarakat adat Lampung Pepadun tersebut masih memegang teguh
hukum adat perkawinan setempat.
Dalam perkawinan yang mereka laksanakan tidak terpatok umur
karena dalam hukum adat Lampung Pepadun tidak membatasi umur yang
terpenting dalam hukum adat mereka adalah yang penting mereka sudah
mencapai akhir baligh. Perkawinan yang mereka laksanakan rata-rata
terjadi di kediaman laki-laki karena memang dari hukum adat Lampung
Pepadun akad nikah terjadi atau dilaksanakan di kediaman laki-laki.
Akibat dari perkawinan menurut hukum adat Lampung Pepadun ini istri
mengikuti suami, setelah mereka menikah pasangan tersebut ada yang
tinggal jadi satu dengan keluarga laki-laki, ada pula yang memiliki rumah
sendiri. Berkaitan dengan harta kekayaan perkawinan diperoleh informasi
bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Sedangkan harta yang diperoleh istri atau suami sebelum melangsungkan
perkawinan menjadi harta pribadi. Dari paparan diatas, nampak Ibu
Hasnah dari pasangan Bp. Riky dan Ibu Hasnah serta Ibu Linda dari
50
pasangan Bp. Roby dan Ibu Linda tidak mempunyai harta pribadi, karena
sebelumnya mereka tidak bekerja, berbeda dengan dua pasangan yang
lain yang masing2 mempunayi harta pribadi karena masing2 sebelumnya
telah bekerja. Dengan meninggalnya suami, maka harta bersama menjadi
milik isteri, sebagaimana dalam perkawinan pasangan Adi dan Rina,
setelah Adi meninggal maka otomatis harta perkawinan jatuh ke tangan
Rina sebagai istri yang sah walaupun hak asuh anak jatuh pada keluarga
laki-laki namun istri harus tetap menafkahi anaknya.
Nampak dari hasil penelitian tersebut diatas, bahwa dengan
perkawinan muncul kewajiban suami untuk memberi nafkah pada anak
dan isterinya, sebagaimana dalam lima pasangan tersebut diatas. Bahkan
untuk memenuhi kewajiban sebagai ibu rumah tangga, isteri rela untuk
melepaskan pekerjannya, sebagaimana dalam pasangan Wiliiam dan Sari,
Sari rela melepaskan pekerjaannya demi keluarga mereka.
C. ANALISIS
Pada perkawinan yang ada di Indonesia, dilakukan di depan KUA (bagi
umat muslim) atau di depan pengurus kantor catatan sipil (bagi umat non
muslim). Tetapi inilah keunikan yang ada di Indonesia dengan berbagai macam
suku dan budayanya. Bagi sebagian wilayah di Indonesia yang masih kental
dengan hukum adatnya, perkawinan tidak akan dianggap sah apabila tidak
51
melangsungkan serangkaian prosesi adat di beberapa daerah tertentu dalam hal
ini yaitu pada masyarakat adat Lampung Pepadun yang mendiami wilayah Desa
Gunung Batin Udik.
Pada masyarakat adat Lampung Pepadun di desa Gunung Batin Udik,
prosesi perkawinan adat merupakan suatu kewajiban. Hal ini didasari pada
sistem kekerabatan pada masyarakat adat di desa tersebut menganut sistem
kekerabatan patrilineal. Lelaki pada masyarakat adat Lampung Pepadun
mengambil seorang gadis dengan melalui sistem perkawinan yang berlaku pada
kekerabatan patrilineal yakni perkawinan jujur, dimana lelaki memberikan
sejumlah uang jujur sebagai tanda untuk melepaskan gadis tersebut dari
persekutuan adatnya dan di masukkan pada persekutuan adat dari lelaki. Inilah
yang dimaksudkan oleh Prof. Mr. M. M. Djojodigoeno mengenai Rites de
Passage, jadi ketika si pihak dari gadis (calon isteri) menerima pembayaran
uang jujur dari pihak lelaki (calon suami) maka secara otomatis si gadis
tersebut berpindah kedudukan adatnya menjadi adat lelaki. Dengan demikian
segala sesuatu perbuatan yang dilakukan isteri harus diketahui dan disetujui
oleh suami. Secara tidak langsung, dalam perkawinan jujur kedudukan suami
lebih tinggi dari pada istri. Berbeda halnya dengan sistem perkawinan mandiri,
dimana kedudukan suami dan isteri setara.
Pada perkawinan pasangan William dan Sari, dilakukan di kediamain
keluarga besar William, maka dari itu sudah memenuhi ketentuan adatnya yaitu
sebagai kekerabatan patrilineal. Adanya pemberian uang kepada pihak keluarga
52
Sari membuktikan bahwa perkawinan mereka merupakan perkawinan jujur
seperti yang ditentukan dalam sistem kekerabatan patrilineal. Karena
perkawinan adat dilakukan di kediaman William, maka segala prosesi
perkawinan adat seperti yang sudah di bahas pada sub judul tata cara
perkawinan adat Lampung Pepadun haruslah dilakukan. Memang di dalam
prosesi tersebut dengan apa yang dialami oleh William ada sedikit berbeda pada
prosesi ngurukken majeu, dimana yang seharusnya menggunakan kendaraan
kereta roda empat menjadi kendaraan roda empat jenis sedan. Berdasarkan
keterangan dari tetua adat pada saat mewawancarai beliau, hal seperti ini bukan
menjadi masalah serius sehingga menyebabkan batalnya prosesi perkawinan
adat yang dilakukan oleh William dan Sari. Beliau mengatakan bahwa prosesi
adat ada jauh sebelum William dan Sari melakukan perkawinan adat tersebut.
Hal ini didasari pada masa ketentuan adat itu mulai berlaku, kendaraan yang
ada hanyalah kereta roda empat, sehingga kereta itulah yang digunakan sebagai
alat transportasi penunjang dari prosesi perkawinan adat tersebut. Seiring
berkembangnya teknologi, dan juga mulai sulitnya mencari kendaraan
tradisional khas adat Lampung Pepadun, maka menggunakan kendaraan
modern tidaklah menjadi suatu masalah, karena pada intinya memiliki makna
yang sama yaitu untuk membawa istri ke keluarga suami. Dalam Perkawinan
adatm terkhusus adat Lampung Pepadun, tidak ada batasan usia bagi calon
pasangan untuk melangsungkan perkawinan, menurut beliau, jika keduanya
sudah mencapai baligh, maka dapat melangsungkan perkawinan adat,
53
sepanjang kedua calon mempelai sanggup untuk menjalani rumah tangga dan
segala tata cara perkawinan adat dapat terlaksana.
Dengan demikian jika melihat dari beberapa pasangan yang melakukan
perkawinan adat, sudah sejalan dengan apa yang menjadi ketentuan bagi
perkawinan adat Lampung Pepadun. Meskipun perkembangan zaman semakin
maju, akan tetapi masyarakat Lampung Pepadun yang adatnya masih kuat tidak
meninggalkan asalnya yaitu adat Lampung Pepadun, khususnya dalam hal
perkawinan adatnya, dimana perkawinan adat Lampung Pepadun menganut
sistem kekerabatan patrilineal, yang mengutamakan garis keturunan laki-laki.
Sehingga segala sesuatu yang bersifat keadatan istri menjadi tanggung jawab
utama bagi suami. Karena setelah calon pasangan melakukan perkawinan adat,
istri di wajibkan untuk berpindah hukum adatnya ke hukum adat pihak suami.
Sehingga akibat hukum berupa perubahan kedudukan dalam hukum adat sesuai
dengan prinsip masyarakat patrilinial yang lebih mengambil atau
mengedepankan garis keturunan laki-laki. Dengan berlangsungnya perkawinan
maka beralihlah seluruh tanggungjawab orangtua istri kepada suami, Sehingga
setelah perkawinan berlangsung maka kedudukan dan tanggungjawab istri
pindah ke keluarga suami. Implikasinya adalah, dengan berlakunya hukum adat
maka keabsahan dari perkawinan menurut hukum adat adalah bila sudah
memenuhi setiap dan segala prosesi dan tata cara serta hukum yang berlaku
dalam adat tersebut. sebenarnya dewasa ini, perkawinan adat hanya dianggap
sebagai sebuah „prosesi‟ dalam upacara perkawinan yang dilangsungkan oleh
54
kedua mempelai. Perkawinan adat saat ini sudah mulai banyak ditinggalkan,
karena masyarakat sejauh ini lebih mementingkan bagaimana sebuah
perkawinan adalah sah di mata agama dan negara. Sehingga seringkali
perkawinan hanya dilangsungkan menurut agama dan kepercayaan dari kedua
mempelai saja.
Namun berbeda dengan masyarakat Lampung Pepadun, perkawinan adat
merupakan sebuah prosesi penting dan wajib dilakukan oleh masyarakat adat.
Karena bagi mereka bila belum menikah secara adat, artinya kedua mempelai
belum dapat diterima sebagai masyarakat adat Lampung. Menurut masyarakat
adat Lampung, perkawinan adat akan dianggap sah bila mereka sudah
mengikuti segala prosesi adat, dari prosesi sebelum acara perkawinan,
perkawinan dan prosesi setelah acara perkawinan. Jika mereka sudah
melangsungkan semua prosesi tersebut maka mereka sudah sah menjadi suami
istri. Dalam adat Lampung Pepadun ini mereka tidak ditentukan umur berapa
mereka boleh menikah, tetapi jika mereka sudah akhir baligh mereka sudah
boleh menikah oleh keluarga mereka.
1. Akibat Perkawinan Adat Lampung
Setetelah seorang laki-laki dan seorang perempuan melangsungkan
perkawinan, maka timbulah akibat dalam perkawinannya yaitu:26
a. Status suami dan istri sesudah perkawinan adat
26
Wawancara dengan Bapak Ahmad Syukri, Tetua adat Desa gunung Batin Udik (Suttan Puyimbang), 2 Desember 2015
55
1) Status suami
Sebagai pelaku hukum adat dalam adat lampung
pepadun, si anak laki-laki (mekhanai) baik sebelum
maupun sesudah melakukan perkawinan tidak
mengalami perubahan status/ kedudukan adatnya.
2) Status istri
Sebagai pelaku hukum adat maka dari itu ketika si
anak perempuan yang sudah melakukan perkawinan
secara adat dengan segala bentuk prosesi adat seperti
yang sudah dibahas sebelumnya dan dinyatakan sah
dalam sebuah perkawinan maka status daripada anak
perempuan bukan lagi sebagai anak perempuan
daripada orangtuanya (muli) melainkan sebagai anak
menantu dari orangtua suami, mengikut pula kedudukan
adatnya yang semula merupakan adat dari orangtuanya
menjadi adat dari orangtua suami yaitu sebagai anak
pirul.
b. Hak dan Kewajiban Suami-Istri
1) Suami dan istri memikul kewajiban yang luhur untuk
menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar
susunan masyarakat
56
2) Hak dan kedudukan suami yang bersifat keadatan lebih
tinggi dari istri.
3) Suami dan istri wajib saling cinta-mencintai, hormat-
menghormati, setia dan saling memberi bantuan lahir
batin.
4) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan
segala sesuat keperluan hidup berumah tangga sesuai
dengan kemampuannya, sebagai timbal baliknya istri
wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-
baiknya.
c. Harta Benda dalam Perkawinan
1) Harta benda yang diperoleh semasa perkawinan menjadi
harta bersama, dan harta bawaan masing-masing
sebelum perkawinan menjadi tanggungjawab atau
dibawah penguasaan masing-masing pihak.
2) Mengenai harta bersama, suami istri dapat bertindak
atas persetujuan bersama. Mengenai harta bawaan
masing-masing, maka suami istri mempunyai hak
sepenuhnya atas harta bawaan masing-masing.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang
laki-laki dengan seorang perempuan yang sudah melakukan
57
perkawinan akan berbeda tanggungjawabnya dengan seorang laki-
laki atau seorang perempuan yang masih lajang. Perbedaan itulah
yang timbul sebagai akibat dari adanya perkawinan tersebut.