Upload
others
View
23
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
14
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG
PUISI DAN RELIGUSTAS
A. Puisi
1. Pengertian Puisi
Puisi adalah bentuk kesusasteraan yang paling tua. Karya-karya
besar dunia yang bersifat monumental ditulis dalam bentuk puisi. Karya-
karya pujangga besar seperti: Oedipus, Antigone, Hamlet, Macbeth,
Mahabarata, Ramayana, Bharata yudha, dan sebagainya ditulis dalam
bentuk puisi. Puisi tidak hanya dipergunakan untuk penulisan karya-karya
besar, namun ternyata puisi juga sangat erat kaitannya dalam kehidupan
sehari-hari.1
Puisi ada yang mampu bicara sendiri, artinya, usaha memahaminya
tidak memerlukan acuan faktor di luar puisi tersebut (menggunakan
pendekatan obyektif). Puisi-puisi yang “gelap” atau bersifat khas, usaha
memahami puisi tidak dapat memencilkan karya puisi itu sendiri, puisi
tidak dapat dipandang sebagai sesuatu karya otonom sehingga faktor di
luar puisi harus turut dijadikan acuan pemahaman.2
Definisi positif dan baku atas puisi sulit diberikan. Ciri-ciri atau
karakteristik puisi biasanya dapat dipakai sebagai jembatan pemahaman
untuk memberikan pengertian tentang apa itu puisi. Segi bentuk fisik yang
tertulis dalam karya tulis, sudah berbeda dengan prosa dan drama,
sementara dari segi bentuk pengucapan batinnya, puisi juga berbeda dari
prosa dan drama. Ada saat-saat tertentu yang memungkinkan ketepatan
pengucapan batin dengan puisi, ada saat lain yang menuntut pengucapan
batin dalam drama atau prosa. Pikiran dan perasaan tertentu hanya dapat
diungkapkan dalam wujud prosa dan drama namun pikiran dan perasaan
1 Dr. Herman J. Waluyo, M. Pd, Teori dan Apresiasi Puisi, Erlangga, Jakarta, 1987,
hlm. 1
2 ibid, hlm. 2
15
lainnya hanya dapat diungkapkan dalam wujud puisi.
Perbedaan pokok antara puisi dan prosa adalah dalam tipografi dan
struktur tematisnya. Tipografi puisi sejak kelahirannya menunjukkan
baris-baris putus yang tidak membentuk kesatuan sintaksis seperti dalam
prosa. Baris-baris prosa berkesinambungan dan membentuk kesatuan
sintaksis. Puisi memiliki kesenyapan antara baris yang satu dengan baris
yang lain karena konsentrasi bahasa yang begitu kuat, dalam prosa
kesenyapan seperti itu dapat dijumpai pada tiap akhir paragraf. Stuktur
fisik puisi membentuk tipografi yang khas puisi. Larik-larik itu
membentuk bait, bait-bait membentuk keseluruhan puisi yang dapat kita
pandang sebagai wacana. Bait-bait puisi dapat kita sejajarkan dengan
paragraf dalam sebuah wacana.
Tipografi puisi membedakan puisi dari prosa. Kadang-kadang
tipografi itu memberikan ciri khas puisi pada periode atau angkatan
tertentu. Tipografi puisi bukan hanya mewakili struktur yang bersifat
fonologis, namun juga mewakili struktur semantik puisi karena puisi
merupakan ungkapan kebahasaan yang menunjukkan kesatuan antara
struktur kebahasan dan struktur semantiknya. Bahasa puisi menunjukkan
konsentrasi, sehingga makna yang diungkapkan juga dipusatkan. Gagasan
penyair harus dikonsentrasikan ke dalam wujud pernyataan yang sesuai
dengan kata-kata yang dipadatkan. Seseorang jika ingin mengungkapkan
pikiran dan perasaannya melalui puisi, maka ia tidak boleh mengatur
struktur pikiran dan perasaannya sama seperti jika ia ingin mencipta prosa.
Pikiran dan perasaan harus dibuat lebih intens, lebih terkonsentrasikan,
lebih diperketat.
Puisi menghadapkan pada unsur kebahasaan yang meliputi
serangkaian kata-kata indah, serta kesatuan bentuk pemikiran tata struktur
makna yang hendak diucapkan penyair. Puisi dibangun dengan dua unsur
pokok, yakni struktur fisik yang berupa bahasa yang digunakan dan
struktur batin atau struktur makna, yakni pikiran dan perasaan yang
diungkapkan oleh penyair. Kedua unsur itu merupakan satu kesatuan yang
16
jalin-menjalin secara fungsional. Penyair mempunyai maksud tertentu
mengapa baris-barisnya dan bait-baitnya disusun sedemikian rupa.
Mengapa digunakan kata-kata, lambang, kiasan dan sebagainya. Semua
yang ditampilkan penyair mempunyai makna. Mengingat yang digunakan
adalah kata-kata yang dikonsentrasikan, yang dipadatkan, maka semua
yang diungkapkan penyair harus bermakna, tidak boleh mengungkapkan
sesuatu yang mubazir.3
Kata puisi atau sajak sebenarnya berasal dari bahasa Yunani
“poeis” , artinya “penciptaan”. Puisi adalah hasil seni sastra, yang kata-
katanya disusun menurut syarat-syarat yang tertentu dengan menggunakan
irama sajak, dan kadang-kadang kata-kata kiasan.4
Leo Tolstoy mengatakan bahwa keindahan sajak justru terletak
pada bentuk, isi dan kejujuran yang terkandung di dalamnya. Segi bentuk
puisi, khususnya puisi lama, puisi dapat terdiri dari berbagai jenis: ada
puisi yang hanya terdiri dari dua baris saja tetapi mengkristal, penuh
dengan persoalan hidup, tetapi ada pula puisi yang terdiri dari empat baris
dalam satu bait dengan sisi kata yang tertentu, semuanya itu berkisar pada
bentuk yang mendukung keindahan. ide yang dituangkan ke dalam bentuk
itu harus sesuai.
Setelah menelaah puisi dengan perkembangan dan struktur yang
membentuknya, maka batasan tentang puisi itu akan dapat diberikan.
banyak pendapat yang memberikan batasan tentang puisi. batasan batasan
itu biasanya berhubungan dengan struktur fisiknya saja atau struktur
batinnya saja, namun ada juga yang memberikan batasan yang meliputi
kedua struktur itu.
Beberapa batasan puisi menurut Slamet Muljana adalah bahwa
puisi merupakan bentuk kesusastraan yang menggunakan “pengulangan
suara” sebagai ciri khasnya. Pengulangan kata itu menghasilkan rima,
3 Ibid, hlm. 3-4
4 Wilson Nadaek, Pengajaran Apresiasi puisi untuk SLTA, Sinar Baru, Bandung, 1995, hlm. 18
17
ritme, dan musikalitas. Batasan yang diberikan tersebut berkaitan dengan
struktur fisiknya saja. James Reeves juga memberikan batasan yang
berhubungan dengan struktur fisik dengan menyatakan bahwa puisi adalah
“ekspresi bahasa” yang kaya dan penuh daya pikat. Bahasa puisi menurut
Coleridge adalah “Bahasa pilihan”, yakni bahasa yang benar-benar
diseleksi penentuannya secara ketat oleh penyair. Karena bahasanya harus
pilihan, maka gagasan yang dicetuskan harus diseleksi dan dipilih yang
terbagi pula. Clive Sansom memberikan batasan puisi sebagai bentuk
“Pengucapan bahasa ritmis”, yang mengungkapkan pengalaman
intelektual yang bersifat imajinatif dan emosional.
Jika pengertian itu ditinjau dari segi bentuk batin puisi maka
Herbert Spencer menyatakan bahwa puisi merupakan bentuk pengucapan
gagasan yang bersifat emosional dengan mempertimbangkan efek
keindahan. Sedangkan Samuel Johnson menyatakan bahwa puisi adalah
peluapan spontan dari perasaan yang penuh daya yang berpangkal pada
emosi yang berpadu kembali dalam kedamaian. Sementara itu, P.B.
Shelley menyatakan bahwa puisi merupakan “rekaman” dari saat-saat
yang paling baik dan paling menyenangkan. selanjutnya Thomas charlyle
menyatakan bahwa puisi merupakan ungkapan pikiran yang bersifat
musikal. dan T.S.Eliot menambahkan bahwa yang diungkapkan dalam
puisi adalah “Kebenaran”.
Kedua pengertian yang diuraikan di atas berkenaan dengan bentuk
fisik puisi dan bentuk batin puisi. bentuk fisik dan bentuk batin puisi
lazimdi sebut pula dengan bahasa atau isi atau tema dan sturktur atau
bentuk dan isi. Marjorie Boulton menyebutkan kedua unsur pembentuk
puisi itu dengan bentuk fisik (physical form) dan bentuk mental (mental
form). Bentuk fisik dan bentuk mental itu bersatu padu, menyatu-raga.
Namun demikian keduanya dapat dianalisis karena bentuk fisik dan bentuk
batin itu juga didukung oleh unsur-unsur yang secara fungsional
18
membentuk puisi.5
S. Efendi mengatakan bahwa dalam puisi terdapat bentuk
permukaan yang berupa: larik, bait, dan pertalian makna larik dan bait.
kemudian penyair berusaha mengkonkretkan pengertian-pengertian dan
konsep-konsep abstrak dengan menggunakan pengimajian, pengiasan, dan
perlambangan. dalam mengungkapkan pengalaman jiwanya, penyair
bertitik tolak pada “Mood” atau “Atmosfer” yang dijelmakan oleh
lingkungan fisik dan psikologis dalam puisi. Pemilihan kata-kata
menggunakan perulangan bunyi yang mengakibatkan adanya kemerduan
atau eufoni. jalinan kata-kata harus mampu memadukan kemanisan bunyi
dengan makna.
I.A. Richards menyatakan hakekat puisi untuk mengganti bentuk
batin atau isi puisi utuk mengganti bentuk fisik puisi. Bentuk batin
meliputi: perasaan (feeling), tema (sense) nada (tone),dan amanat
(intention), sedangkan bentuk fisik atau metode puisi terdiri atas diksi
(diction), kata konkret (the concrete word), majas atau bahasa figuratif
(figurative language), dan bunyi yang menghasilkan ritme dan rima (rhytm
and rhyme)
Dari batasan kedua tokoh tersebut, dapat dijelaskan bahwa unsur
bahasa yang diperbagus dan diperindah itu dapat diterangkan melalui kata
konkret dan majas (bahasa figuratif)' secara terperinci majas dan kata
konkret itu dijelaskan oleh Efendi menjadi: pengimajian, perlambangan,
dan pengiasan.
Uraian tersebut bermaksud menjelaskan bahwa bahasa yang
digunakan dalam puisi adalah bahasa konotatif yang “multi interpretable”.
Makna yang diungkapkan dalam puisi dapat makna lugas, namun lebih
banyak makna kias melalui lambang dan kiasan. Makna itu diperinci lagi
menjadi tema dan amanat yang didasarkan atas perasaan dan nada
(suasana batin) penyairnya. tema berhubungan dengan arti karya sastra,
5 Ibid, hlm. 23-24
19
sedangkan amanat berhubungan makna karya sastra. Tema bersifat lugas,
obyektif, dan khusus, sedangkan amanat bersifat kias, subyektif, dan
umum.
Untuk memberikan pengertian puisi secara memuaskan cukup
sulit. namun beberapa pengertian yang tidak dapat dirangkum dalam satu
kalimat dapat dipaparkan di sini. Beberapa pengertian diuraikan di atas
jika didata dapat disebutkan sebutkan sebagai berikut:
a. Puisi melakukan pengkonsentrasian atau pemadatan segala unsur
kekuatan bahasa;
b. Penyusunan puisi, merapikan unsur-unsur bahasa itu, diperbagus,
diatur dengan sebaik-baiknya dengan memperhatikan irama dan bunyi;
c. Puisi adalah ungkapan peristiwa dan perasaan penyair yang
berdasarkan mood atau pengalaman jiwa dan besifat imajinatif;
d. Bahasa yang digunakan bersifat konotatif; hal ini ditandai dengan kata
konkret lewat pengimajian, pelambangan, dan pengiasan, atau dengan
kata lain dengan konkret dan bahasa figuratif;
e. Bentuk fisik dan bentuk batin puisi merupakan kesatuan yang bulat
dan utuh menyatu-raga tidak dapat dipisahkan dan merupakan
kesatuan yang padu. Bentuk fisik dan bentuk batin itu dapat ditelaah
unsur-unsurnya hanya dalam kaitannya dengan keseluruhan. unsur-
unsur itu hanyalah berarti dalam totalitasnya dengan keseluruhannya;
di samping itu, unsur-unsur puisi juga melakukan regulasi-diri, artinya
mempunyai saling keterkaitan antara unsur yang satu dengan unsur
yang lain.jalinan makna dalam membentuk kesatuan dan keutuhan
puisi menyebabkan keseluruhan puisi lebih bermakna dan lebih
lengkap dari sekedar kumpulan unsur-unsur.
Definisi puisi (yang sangat sukar dirumuskan) berdasarkan uraian
di atas, adalah: “bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan
perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan
mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian
20
struktur fisik dan struktur batinnya “.6
2. Puisi sebagai Karya Seni dan Karya Ilmiah
Bentuk karya sastra puisi mempunyai struktur yang berbeda
dengan prosa. Perbedaan itu tidak hanya dari struktur fisiknya, tetapi juga
dalam hal struktur batin. dalam struktur fisik dan struktur batin, penciptaan
puisi menggunakan prinsip pemadatan atau pengkonsentrasian bentuk dan
makna.
Struktur dari kedua bagian itu terdiri atas unsur-unsur yang saling
mengikat keterjalinan dan semua unsur itu membentuk totalitas makna
yang utuh. Dalam penafsiran puisi tidak terlepas dari faktor genetik puisi.
Faktor genetik puisi dapat menjelaskan makna yang dilatarbelakangi oleh
kebudayaan khas penyair. Unsur genetik itu adalah penyair dan kenyataan
sejarah.7
A. Puisi sebagai karya seni
Puisi sebagai karya seni, dapat dilihat dari pengarang dan hasil
karyanya karena puisi merupakan karya seni yang diciptakan oleh
seorang penyair tertentu. Disini tidak ada perbedaan status sosial yang
membedakan antara penyair satu dengan penyair lainnya, apakah
seorang petani, tentara, guru, pedagang dan sebagainya. Tetapi seorang
penyair fungsi sosialnya adalah sebagai pencipta puisi atau penulis
sajak-sajak, maka ia diberi gelar penyair. Jadi baik tentara, petani guru
dan sebagainya semuanya mempunyai peran yang sama, yaitu sebagai
penyair. Yang berbeda hanyalah status sosialnya. Ia hidup sebagai apa.
Semua orang mempunyai peluang untuk menulis dan menciptakan
puisi, namun tulisan seorang penyair dan orang biasa mempunyai
perbedaan. Mereka sama-sama mempunyai pengalaman hidup , tetapi
pengalaman seorang penyair lebih bisa diendapkan untuk dilahirkan
6 Ibid, hlm. 25
7 Ibid, hlm. 29
21
kembali di kemudian hari sebagai seni yang mengagumkan bagi orang
lain, dari pada pengalaman orang biasa.8
Bagi penyair, pengalaman adalah sumur yang tidak pernah kering,
semakin ditimba, semakin dalam, semakin jauh menukik dalam
kehidupan. Mendekati kehidupan berarti mendekati diri sendiri,
kembali ke dalam diri sendiri. Kalau sudah kembali ke dalam diri
sendiri, lalu mendekatlah kepada alam, kata Rainer Maria Rilki.
“Tulislah apa yang kamu kagumi, yang kamu risaukan, yang kau cintai
dan kau kagumkan”.
Jalan yang paling singkat untuk mengenal seorang penyair adalah
melalui sajak-sajaknya. Dengan itu bisa di baca bagaiman pandangan
hidupnya, idenya, hasratnya dan lain-lain. Kata A. Teeuw,”Membaca
puisi berarti bergulat terus menerus untuk merebut makna yang
disajikan oleh sang penyair”.9
Untuk melihat puisi sebagai karya seni, akan dibicarakan juga
mengenai hal kepada siapa? Puisi itu ditulis. Karena hal tersebut juga
membedakan antara tulisan penyair dengan tulisan orang biasa. Yang
menjadi sasaran sebuah puisi ditulis adalah;
1. Untuk dirinya sendiri
Sebuah sajak diciptakan melalui kerja keras rohani yang
semaksimal mungkin. Setelah melalui beberapa proses pemasakan
dari segi bentuk dan isi, serta melalui proses penghayatan estetik,
pendalaman, pembaharuan, kesegaran mood, pilihan kata yang
tepat, ungkapan yang sedap serta orisinil, maka lahirlah sajak yang
paling hakiki. Karena baik buruknya sajak adalah menyangkut
tanggung jawabnya sebagai seorang penyair.
2. Untuk redaksi
Redaksi adalah fihak yang bertanggung jawab atas dimuat
atau tidaknya sebuah sajak kedalam sebuah majalah atau harian.
8 “Pengantarapresiasi puisi”, Ankasa bandung, cet-2, 1990, hlm. 29
9 Ibid, hlm. 30
22
Oleh karena itu sajak yang dimuat harus dapat memberikan kesan
yang meyakinkan bahwa sajak itu baik atau pantas dijadikan
sebagai karya seni. Juga sebaliknya redaksi harus dapat
membedakan mana sajak yang patut untuk dimuat dan yang tidak
patut dalam majalah maupun harian.
3. Untuk penikmat dan kritisi
Yang dimaksud penikmat disini adalah masyarakat
pembaca puisi: yakni orang-orang yang mempunyai
keinginan(apresiator) terhadap karya puisi. Sebagai penikmat,
masayrakat pembaca puisi perlu mendapatkan bimbingan atau
petunjuk dari kaum kritisi, agar mereka bisa mengenal dan
membedakan sajak-sajak mana yang dianggap berhasil dan mana
yang tidak serta pengarang mana yang paling menonjol.
Dalam wilayah penelitian sastra, masalah kritik menempati
posisi yang paling penting sebab fungsi kritik merupakan jembatan
penghubung antara pencipta dan kritikus. Sebab jika terjadi
hubungan yang kurang sehat antara penyair dan kritikus, maka
akan terjadi sikap saling memojokkan, dan ini akan mengahambat
kerja dari kedua fihak tersebut.
Pada mulanya penyair menilai karangannya sendiri, setelah
itu karyanya dipertimbangkan dan diumumkan oleh redaksi, dan
akhirnya dibesarkan atau dibantai oleh seorang kritikus.10
Demikian uraian tentang puisi sebagai karya seni, dari uraian
tersebut nampaklah bahwa puisi sebagai karya seni lebih menonjolkan
aspek pengalam penyair dan hasil karyanya, bukan kepada aspek tulisan
atau kode etik dan tatacara menyusun puisi.
B. Puisi sebagai karya ilmiah
Sebagai karya ilmiah, puisi lebih melihat pada aspek tatacara atau
aturan dalam menyusun puisi, walaupun pada hakekatnya karya puisi
10 Ibid, hlm. 33
23
merupakan otoritas dari pengarangnya sendiri. Hal tersebut berkaitan
dengan adanya struktur fisik dan struktur batin dalam puisi.
1. Struktur Fisik Puisi
Struktur fisik puisi meliputi enam hal yang mendasar yaitu;
diksi (pemilihan kata), pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif,
Verifikasi (majas), dan tata wajah (tipografi):
A. Diksi (pemilihan kata)
Penyair harus sangat cermat memilih dan
mempertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam dan
irama, kedudukan kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan
kedudukan kata dalam keseluruhan puisi itu. oleh sebab itu,
disamping memilih kata yang tepat, penyair juga
mempertimbangkan urutan katanya dan kekuatan daya magis dari
kata-kata tersebut. kata-kata diberi makna baru dan yang tidak
bermakna diberi makna menurut kehendak penyairnya.11
Penggunaan dan penempatan kata-kata dilakukan dengan hati-
hati, teliti dan tepat. Kata yang digunakan dalam cenderung
konotatif. Setiap kata yang digunakan penyair memiliki makna
dan misi tertentu, baik mengenai ruang maupun waktu.12
1. Perbendaharaan Kata
Perbendaharaan kata penyair sangat penting untuk
kekuatan ekspresi dan menunjukkan ciri khas penyair.
Pemilihan kata dilakukan penyair berdasarkan makna yang
akan disampaikan dan tingkat perasaan serta suasana batinnya,
selain itu dilatarbelakangi faktor sosial budaya penyair. Setiap
penyair memiliki perbedaan sikap dalam memilih kata.
Karena puisi yang kita bicarakan ini adalah puisi tertulis,
maka kedudukan kata itu sendiri sangat menentukan makna;
11 Ibid, hlm. 72
12 Wilson Nadaek, Pengajaran…Op. cit , hlm. 27
24
dalam puisi lisan, makna kata juga ditentukan oleh lagu,
tekanan, dan suara pada saat kata-kata itu dilisankan. penyair
sering kali memilih kata-kata khas yang maknanya hanya dapat
difahami setelah menelaah latar belakang penyairnya.13
2. Urutan Kata (Word Order)
Urutan kata dalam puisi bersifat beku, artinya urutan itu
tidak dapat dipisah-pisahkan tempatnya meskipun maknanya
tidak berubah oleh perpindahan tempat itu. Cara menyusun
kata-kata itu bersifat khas karena penyair yang satu berbeda
caranya dengan penyair yang lainnya. dapat pula dinyatakan
ada perbedaan teknik menyusun urutan kata, baik urutan dalam
tiap baris maupun urutan dalam satu bait puisi. dalam puisinya
yang bersifat duka. Chairil anwar memulai bait pertama
dengan baris sebagai berikut:
kelam dan angin lalu mempesiang diriku
menggigir juga ruang di mana dia yang kuinginkan
malam tambah merasuk, rimba jadi memati tugu
di karet, dikaret (daerahku y.a.d) sampai juga deru angin
(“Yang Terempas yang Putus”,1949)0.14
3. Daya Sugesti Kata-kata
Penyair mempertimbangkan daya sugesti kata-kata yang
dipilihnya. Sugesti itu ditimbulkan oleh makna kata yang
dipandang sangat tepat mewakili perasaan penyair. karena
ketepatan pilihan dan ketepatan penempatannya, maka kata-
kata itu seolah memancarkan daya gaib yang mampu
memberikan sugesti kepada pembaca untuk ikut sedih, terharu,
bersemangat, marah, dan sebagainya. untuk mengesankan
penghargaan yang tinggi kepada kekasihnya Rendra
menuliskan kekasihnya itu, seperti baris puisi berikut:
13 Dr. Herman J. Waluyo, M. Pd, Teori…Op.cit. hlm 73
14 Ibid, hlm. 75
25
Engkaulah putri duyung/tawananku/putri duyung dengan
suara merdu lembut/bagai angin laut/mendesahlah
bagiku.
(“Surat Cinta”,1959).15
B. Pengimajian
Pengimajian adalah segala yang dirasa atau dialami secara
imajinatif. Pilihan kata yang tepat membantu daya bayang untuk
menjelmakan gambara yang nyata, penikmat dapat melihat,
merasakan, mendengar, dan menyentuh apa yang didendangkan
penyair.16
Pengimajian ada hubungan erat antara diksi, pengimajian,
dan kata konkret diksi yang dipilih harus menghasilkan
pengimajian dan karena itu kata kata mernjadi lebih konkret
seperti kita hayati melalui penglihatan, pendengaran, atau cita
rasa.pengimajian dapat dibatasi dengan pengertian: kata atau
susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman
sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. baris
atau bait puisi itu seolah mengandung gema suara (imaji audit),
benda yang nampak (imaji visual), atau sesuatu yang dapat kita
rasakan, raba atau sentuh (imaji taktil). ungkapan perasaan
penyair dijelmakan ke dalam gambaran konkret mirip musik atau
gambar atau cita rasa tertentu. jika p[enyairmenginginkan imaji
pendengaran (audif), maka jika kita menghayati puisiitu, seolah-
olahmendengarkan sesuatu ; jika penyair ingin melukiskan imaji
penglihatan (visual), maka puisi itu seolau-olah melukiskan
sesuatu yang bergerak-gerak; jika imaji taktil yang ingin di
gambarkan, maka pembaca seolah-olah merasakan sentuhan
perasaan.
Pengimajian ditandai dengan penggunaaan kata yang
15 Ibid, hlm. 77
16 Wilson Nadaek, Pengajaran…Op. cit , hlm. 27
26
konkret dan khas. imaji yang ditimbilkan ada tiga macam, yakni
imaji visual, imaji audif, dan imaji taktil (cita rasa). ketiganya
digambarkan atas bayangan konkret apa yang dapat kita hayati
secara nyata.
Baris-baris puisi Rendra dibawah ini menunjukkan adanya
pengimajian sehingga menimbulkan imaji visual :
Satu demi satu yang maju tersadap darahnya
penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muka
(“Balada Terbunuhnya Atmo Karpo”). 17
C. Kata Konkret
Untuk membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca, maka
kata-kata harus diperkonkret. maksudnya ialah bahwa kata-kata
itu dapat menyarankan kepada arti yang menyeluruh. Seperti
halnya pengimajian, kata yang diperkonkret ini juga dipererat
hubungannya dengan penggunaan kiasan dan lambang. jika
penyair mahir memperkonkret kata-kata, maka pembaca seolah-
olah melihat, mendengar atau merasa apa yang dilukiskan oleh
penyair. dengan demikian pembaca terlibat penuh secara batin ke
dalam puisinya.18
D. Bahasa Figuratif (Majas)
Penyair menggunakan bahasa yang bersusun-susun atau
berpigura sehingga disebut bahasa figuratif. Bahasa figuratif
menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya, memancarkan
banyak makna atau banyak makna. Bahasa figuratif ialah bahasa
yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara
yang tidak biasa. Yakni secara tidak langsung mengungkapkan
makna. Tata bahasanya bermakna kias atau lambang. Pengiasan
yang menimbulkan makna kias dan pelambangan yang
menimbulkan makna lambang.
17 Dr. Herman J. Waluyo, M. Pd, Teori…Op.cit. hlm. 78-79
18 Ibid, hlm. 81
27
a. Kiasan (gaya bahasa) kiasan yang dimaksud di sini mempunyai
maka lebih luas dengan gaya bahasa kiasan karena mewakili
apa yang secara tradisional disebut gaya bahasa secara
keseluruhan. dalam gaya bahasa, suatu hal dibandingkan
dengan hal lainnya. Tujuannya adalah untuk menciptakan efek
lebih kaya, lebih efektif, dan lebih sugestif dalam bahasa
puisi.19
b. Pelambangan. Pelambangan digunakan penyair untuk
memperjelas makna dan membuat nada dan suasana sajak
menjadi lebih jelas, sehingga dapat menggugah hati pembaca.
jika dalam kiasan sesuatu hal dibandingkan atau dikiaskan
dengan hal lain maka dalam pelambangan, sesuatu hal diganti
atau dilambangkan dengan hal lain. Dalam masyarakat banyak
digunakan lambang-lambang yang umum. misalnya lambang
yang terdapat dalam upacara perkawinan, berupa; janur kuning,
pohon pisang, tebu, bunga kelapa, menginjak telur, membasuh
kaki, dan sebagainya. semua itu mengandung lambang. janur
kuning melambangkan kebahagiaan dan kesuciasn pengantin
yang masih muda (janur kuning adalah lambang kemudaan
karena janur itu daun kelapa yang masih muda). pohon tebu
melambangkan hati yang telah mantap. membasuh kaki
melambangkan sikap berbakti. menginjak telur melambangkan
agar pengantin segera dikaruniai anak, dan sebagainya.20
E. Verifikasi (rima, ritma, dan metrum),
Bunyi dalam puisi menghasilkan rima. Rima adalah
pengulangan bunyi dalam puisi.digunakan rima untuk mengganti
istilah persajakan pada sistem lama karena diharapkan
penempatan bunyi dan pengulangannya tidak hanya pada akhir
setiap baris, namun juga untuk keseluruhan baris dan bait. dalam
19 Ibid. hlm, 83-84
20 Ibid, hlm. 87
28
ritma pemotongan-pemotongan baris menjadi frasa yang
berulang-ulang, merupakan unsur yang memperindah puisi itu.
a. Rima, Pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk
musikalitas atau orkestrasi. denga pengulangan bunyi itu, puisi
menjadi merdu jika dibaca. untuk mengulang bunyi imi,
penyair juga mempertimbangkan lambang bunyi. dengan cara
ini pemilihan bunyi-bunyi mendukung perasaan dan suasana
puisi.21 seperti dalam puisi W.S Rendra “Balada terbunuhnya
Atmo Karpo” berikut:
Dengan kuku-kuku besi, kuda menebah perut bumi,
bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya dipucuk-pucuk
para,22
b. Ritma, Ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga
pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat.ritma juga dapat
dibayangkan seperti tembang mocopat dalam tembang jawa.
dalam tembang tersebut irama berupa pemotongan baris-baris
puisi secara berulang-ulang, setiap 4 suku kata pada baris-baris
puisi sehingga menimbulkan gelombang yang teratur.dalam
situasi semacam ini irama disebut periodisitet yang
berkorespondensi,yakni pemotongan fras-frasa yang berulang.
Seperti contoh dalam puisi lama;
dari mana/punai melayang
dari sawah/turun ke kali
dari mana/kasih sayang
dari mata/turun ke hati.23
c. Berhubungan dengan metrum meskipun dalam puisi sulit kita
tentukan namun dalam deklamasi dan poetry reading
21 Ibid, hlm. 90
22 Rendra, Balada Orang-orang Tercinta, Pustaka Jaya, Jakarta, cetakan ke-10, 2000, hlm. 18
23 Dr. Herman J. Waluyo, M. Pd, Teori…Op.cit. hlm. 94
29
peranannya sangat penting. Suku kata dalam puisi biasanya
diberi tanda, manakah yang mendapat tekanan keras dan
manakah yang mendapat tekanan lemah. tekanan keras diberi
tanda ( ' ) diatasnya dan tekanan rendah diberi tanda ( ^ ).
Sebagai contoh bait pertama puisinya Rendra “Balada
Terbunuhnya Atmo Karpo”:
de'nga^n ku'ku^-ku'ku^ be^si^, ku'da me^ne'bah^ pe'rut^
bu^mi^bu'lan^ ber^khi^a'nat^ go'sok^-go^sok'kan^
tu^buh'nya^ pa^da^ pu'cuk^-pu'cuk^ pa'ra
(Rendra, 1959).24
d. Tata wajah (tipografi). Tipografi merupakan pembeda yang
penting antara puisi dengan prosa dan drama. larik-larik puisi
tidak membangun periodisitet yang disebut paragraf, namun
membentuk bait. Baris puisi tidak bermula dari tepih kiri dan
berakhir di tepih baris. Tepi kiri atau tepi kanan dari halaman
yang memuat puisi belum tentu terpenuhi tulisan, hal mana
tidak berlaku dalam tulisan yang berbentuk prosa. Ciri yang
demikian menunjukkan eksistensi sebuah puisi.
Seorang penyair pujangga baru - menulis tipografi puisi
sebagai berikut:
RASA BARU
Zaman beredar!
alam bertukar!
suasana terisi nyanyian hidup
kita manusia
terkarunia
24 Ibid, hlm. 96
30
Badan, jiwa, bekal serta cukup.
marilah bersama
berdaya upaya
mencemerlangkan apa yang redup
memperbaharu
segala laku,
mengemban semua kuncup
bia rterbuka
segenap RASA
Rasa baru, dasar harmoni hidup. 25
Demikianlah uraian tentang struktur fisik puisi. Uraian
meliputi: penyimpangan bahasa puisi, struktur sintaksis dalam
puisi, dan metode puisi. kodrat bahasa puisi pada hakikatnya
memang menyimpang dari bahasa sehari-sehari ataupun bahasa
sastra lainnya. Penyimpangan itu dalam hal: leksikon, semantis,
fonologis, morfologis, sintaksis, dialek, register, historis, dan
grafologis.
Bentuk sintaksis puisi berbeda dari prosa. Penafsiran larik-
larik puisi tidak dapat kita samakan dengan larik-larik prosa, yang
membentuk satu kesatuan sintaksis. Satu larik puisi mungkin
mengandung makna yang dapat di jabarkan lebih dari satu
kesatuan sintaksis, walaupun larik itu merupakan potongan
kalimat atau hanya berupa satu patah kata saja.
Metode puisi berbeda dengan metode prosa. Dalam
menghayati puisi, telah yang lebih mendalam ke struktur yang
lebih kecil, meliputi: diksi, pengimajian, kata konkret majas,
versifikasi, dan tipografi puisi. Enam unsur ini saling berkaitan
dan membentuk kesatuan. Pun pula keenam unsur metode puisi
25 Ibid, hlm. 97
31
ini berkaitan dengan struktur batin puisi.26
2. Struktur Batin Puisi
A. Mencari Makna dalam puisi.
Kata-kata, frasa, dan kalimat dalam puisi biasanya
mengandung makna tambahan atau makna konotatif. Bahasa
figuratif yang digunakan menyebabkan makna dalam baris-baris
puisi itu tersembunyi dan harus di tafsirkan. Proses mencari
makna dalam puisi merupakan proses pergulatan terus menerus.
Bahasa puisi adalah bahasa figuratif yang bersusun-susun. Sebuah
kata memiliki kemungkinan makna ganda. Kata yang nampaknya
tidak bermakna diberi makna oleh penyair. Makna kata mungkin
diberi makna baru. Nilai rasa diberi nilai rasa baru. tidak semua
kata, frasa, dan kalimat bermakna tambahan. Kalau keadaannya
demikian, puisi akan menjadi sangat gelap. Sebaliknya, puisi
tidak mungkin tanpa makna tambahan (transparan), sehingga
kehilangan kodrat bahasa puisi.
Kata-kata dalam puisi tidak tunduk pada aturan logis
sebuah kalimat, namun tunduk pada ritma larik puisi. Hal ini
disebabkan karena kesatuan kata-kata itu bukanlah kalimat akan
tetapi larik-larik puisi itu. Kata-kata tidak terikat oleh struktur
kalimat dan lebih terikat pada larik-larik puisi. Dalam larik-larik
puisi yang lebih pendek, kesatuan kata atau kata-kata yang
mandiri membentuk makna puisi. Dalam baris baris puisi “Isa”
karya Chairil Anwar dibawah ini, sepatah kata seperti “rubuh”
dan “patah” membentuk kesatuan makna secara mandiri.
ISA
Kepada nasrani sejati
26 Ibid, hlm. 101
32
Itu tubuh
Mengucur darah
Mengucur darah
Rubuh
Patah
Mendampar tanya: aku salah?
Kulihat tubuh mengucur darah
Aku berkaca dalam darah
Terbayang terang dimata masa
Bertukar rupa ini segera
Mengatup luka
Aku bersuka
Itu tubuh
Mengucur darah
Mengucur darah
(1943).27
a. Hakekat Puisi
Struktur fisik puisi adalah medium untuk mengungkapkan
makna yang hendak disampaikan penyair. I.A. Richard
menyebut makna atau struktur batin itu dengan istilah hakikat
puisi (1976 : 180-181). ada empat unsur hakikat puisi, yakni:
tema (sense), perasaan penyair (feeling), nada atau sikap
penyair terhadap pembaca (tone), dan amanat (intention).
Keempat unsur itu menyatu dalam wujud penyampaian bahasa
penyair.
1. Tema
Merupakan gagasan pokok atau subject-matter yang
di kemukakan penyair. Pokok pikiran atau pokok persoalan
27 Ibid, hlm. 104
33
itu begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair, sehingga
menjadi landasan utama pengucapannya. Jika desakan kuat
itu berupa hubungan antara penyair dengan tuhan, maka
puisinya bertema ketuhanan. Jika desakan yang kuat berupa
rasa belas kasih atau kemanusiaan, maka puisi bertema
kemanusiaan. Jika yang kuat adalah dorongan untuk
memprotres ketidakadilan, maka tema puisinya adalah
protes atau kritik sosial. Perasaan cinta atau hati yang kuat
juga dapat melahirkan tema cinta, atau tema kedukaan hati
karena cinta.
Latar pengetahuan mempengaruhi penafsir-penafsir
puisi utnuk memberikan tafsiran tema yang sama bagi
sebuah puisi, karena tema puisi bersifat lugas, obyektif, dan
khusus. Tema puisi harus dihubungkan dengan penyairnya,
dengan konsep-konsepnya yang terimajinasikan. Oleh sebab
itu tema bersifat khusus (penyair), tetapi obyektif (bagi
semua penafsir), dan lugas (tidak dibuat-buat).28
2. Perasaan (feeling)
Perasaan penyair dalam menciptakan puisi ikut
diekspresikan dan ikut dihayati pembaca. Tema yang sama
akan dituturkan perasaan penyair secara berbeda, sehingga
hasil puisi yang diciptakan berbeda pula. Menghadapi tema
keadilan sosial atau kemanusiaan, penyair banyak
menampilkan kehidupan pengemis atau orang gelandangan.
Perasaan Chairil Anwar berbeda dengan perasaan Toto
Sudarto Bachtiar berbeda pula dengan Rendra dan Arifin C.
Noer dalam menghadapi pengemis. Toto Sudarto
menghadapi gadis berkaleng kecil dengan perasaan iba hati
karena rasa belas kasihnya. Penyair bahkan ingin “ikut
28 Ibid, hlm. 106
34
gadis kecil berkaleng kecil” itu. Rendra berperasaan benci
dan memandang rendah para pengemis karena Rendra
memandang bahwa pengemis tidak berusaha keras untuk
menopang kehidupannya. Sikap Chairil Awar sama dengan
Rendra. Mereka tidak memiliki belas kasihan kepada para
pengemis.
Perbedaan sikap penyair dengan demikian
menyebabkan perbedaan perasaan penyair menghadapi
obyek tertentu. Sikap simpati dan adipati, rasa senang dan
tidak senang, rasa benci, rindu, setia kawan, dan sebagainya
dapat kita jumpai dalam salah satu puisi.29
3. Nada dan Suasana
Penyair mempunyai sikap tertentu dalam
menuliskan puisi, apakah dia ingin bersikap menggurui,
menasehati, mengejek, menyindir, atau bersikap lugas
hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca. Sikap penyair
kepada pembaca ini disebut nada puisi. Sering kali puisi
bernada santai karena penyair bersikap santai kepada
pembaca. Hal ini dapat kita jumpai dalam puisi-puisi
mbeling.
Jika nada merupakan sikap penyair kepada
pembaca, maka suasana adalah keadaan jiwa pembaca
setelah membaca puisis itu atau akibat psikologis yang
ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca. Jika kita bicara
tentang sikap penyair, maka kita berbicara tentang nada,
jika kita berbicara tentang suasana jiwa pembaca yang
timbul setelah membaca puisi, maka kita berbicara tentang
suasana. Nada dan suasana puisi saling berhubungan karena
nada puisi menimbulkan suasana terhadap pembacanya.
29 Ibid, hlm. 121
35
Nada duka yang diciptakan penyair dapat menimbulkan
suasana iba hati pembaca. Nada kritik yang diberikan
penyair, dapat menimbulkan suasana penuh pemberontakan
bagi pembaca. Nada religius dapat menimbulkan suasana
khusyuk.30
4. Amanat (pesan)
Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair
dapat ditelaah setelah kita memahami tema, rasa, dan nada
puisi itu. Tujuan atau amanat merupakan hal yang
mendorong penyair untuk menciptakan puisi. Amanat
tersirat dibalik kata-kata yang disusun, dan juga berada
dibalik tema yang diungkapkan. Amanat yang hendak
disampaikan penyair mungkin secara sadar berada dalam
pikiran penyair, namun lebih banyak penyair tidak sadar
akan amanat yang diberikan.31
Ada bermacam-macam jenis puisi yang ditulis para
penyair Indonesia. Banyak diantaranya dijadikan judul
puisi. Pengertian tentang jenis puisi itu akan membantu
pembaca menafsirkan maksud yang hendak dikemukakan
penyair, dalam hal ini antara lain: puisi naratif, puisi lirik,
puisi deskriptif, puisi kamar, puisi auditorium, puisi fisikal,
platonik dan metafisikal, puisi obyektif dan subyektif, puisi
konkret, puisi diafaan, gelap, dan prismatis, puisi parnasian
dan inspiratif, stansa, puisi demonstrasi, pamflet, dan
alegori atau parabel.32
B. Religiusitas
1. Pengertian Religiusitas
Religius, yang semula berasal dari bahasa Latin: religare, berarti:
30 Ibid, hlm. 125
31 Ibid, hlm. 130
32 Ibid, hlm. 135
36
mengikat. Maksud religio, ikatan, atau pengikatan, yang dimaksud adalah
bahwa manusia mengikatkan diri kepada Tuhan atau lebih tepatnya:
manusia menerima ikatan Tuhan yang dialami sebagai sumber
kebahagiaan. Adapun arti religius, adalah keterikatan manusia terhadap
Tuhan sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan.33
Menurut Kamus Latin Indonesia, susunan Drs. K. Prent C.M.,dan
Drs. J.Adisubrata dan W. J. S. Poerwadarminta (penerbit Kanisius, 1969):
istilah religio datang dari kata latin relego, yang berarti: memeriksa lagi,
menimbang-nimbang, merenungkan keberatan hati nurani. re-lego
seumumnya diartikan: menimbang kembali atau prihatin tentang sesuatu.
Hal itu dapat dibandingkan dengan ucapan tertmasyhur Cicero:
“qui omnia quae and cultum deorum pertineren, dilegenter
retractaren ‘et tamquam relegerent, sunt dictireligiosi” 34
(Orang disebut religius bila rajin mempelajari dan seolah serba
“prihatin tentang” segala yang berkaitan dengan kebaktian kepada para
dewa).
Tetapi apa arti yang persis dari kata religio orang hanya dapat
menduga. Sebab ada yang berpendapat, bahwa kata religio datang dari
kata re-ligo = menambatkan kembali.35
Agama menurut Mangunwijaya lebih menunjuk kepada aspek
kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada “dunia atas” dalam
aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya,
serta keseluruhan organisasi tafsir Alkitab dan sebagainya yang
melingkupi segi-segi kemasyarakatan. Religiusitas lebih melihat aspek
yang “didalam lubuk hati”, riak getaran hati nurani pribadi, sikap personal
yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas
jiwa, “ducoeur” dalam arti pascal, yakni cita rasa yang mencakup totalitas
(termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalam si pribadi manusia. Karena
33 Dojosantosa. B.A., Unsur religius dalam sastra jawa, Aneka Ilmu, 1989, hlm. 3
34 Jabrohim, Tahajud Cinta,..Op.cit, hlm. 14
35 Sastra dan Religiositas, Kanisius (Anggota IKAPI), Yogyakarta,1988, hlm. 11
37
itu, pada dasarnya religiusitas bersifat “mengatasi” (beyond) atau lebih
dalam dari agama yang tampak, formal, resmi. Religiusitas lebih bergerak
dalam tata paguyuban (gemeinschaft) yang cirinya lebih intim.36
Suatu lagu yang berkualitas religius seperti “Tuhan” ciptaan trio
Bimbo, dengan penuh haru dapat dinyanyikan, baik oleh orang-orang
muslim atau orang-orang Kristen. Begitu juga sikap-sikap berdiri khidmat,
membungkuk, dan mencium tanah selaku bakti menghadap Tuhan,
mengatup mata selaku konsentrasi diri pasrah sumarah dan siap
mendengarkan sabda Ilahi dalam hati, semua itu solah-bawa manusia
religius yang otentik, baik dalam agama Islam, Kristen, maupun Yahudi
dan Agama-agama lainnya juga.
Orang beragama banyak yang religius, dan memang demikianlah,
paling tidak diandaikan seorang Agamawan sepantasnya sekaligus homo-
religius juga. Tetapi kenyataannya tidak selalu begitu. Dapat juga orang
menganut agama tertentu karena motifasi jaminan meterial atau karir
politik, ingin memperoleh jodoh yang beragama lain dari dia punya, atau
biasa karena tidak ada pilihan lain, cukup beragama “statistik” belaka.37
Emha Ainun Najib mendefinisikan religiusitas sebagai berikut:
“Religiusitas adalah inti kualitas hidup manusia, dan harus dimaknakan
sebagai rasa rindu, rasa ingin bersatu, rasa ingin berada bersama dengan
sesuatu yang abstrak.38
Religiusitas menurut WS. Rendra, adalah: “Adanya sikap bahwa
ada Tuhan. Dan ada hati nurani yang selalu bersujud kepada-Nya.
Sehingga penting untuk bisa membedakan yang baik atau yang buruk,
yang benar dan yang salah, yang pantas dan tak-pantas, yang adil dan
tidak adil, yang haram dan yang halal. Tapi nilai-nilai yang universal itu
sumber nilai.39
36 Jabrohim, Tahajud Cinta,..p.cit, hlm. 15
37 Sastra dan Religiositas, Kanisius…op.cit, hlm. 13
38 Jabrohim, Tahajud Cinta,..op.cit, hlm. 16
39 Wawancara dengan WS. Rendra, Yogyakarta 8 September 2003
38
2. Religiusitas dalam Puisi
Pada awal mula, segala sastra adalah religius. Sengaja disini tidak
dipakai istilah agama atau religi, tetapi religius atau religiusitas. Jika
seorang muslin Indonesia shalat pada ritual yang telah ditentukan dan
mengucapkan dalam bahasa Arab itu pernyataan agama yang diyakini dan
dianutnya. Tetapi bila sufi rabi’ah al Adawiyyah yang saleh berdo’a di
dalam bahasa hati:
oh my God,
the best of Thy gitfs within my heart is the hope of thee
and the sweetest world upon my tongue is thy praise,
and the hours which I love best are
those in wich I meet with Thee...
O my lord,
my paint to Thee is that I am but a stranger in thy country,
and lonely among Thy worshippers,
maka sufi perempuan itu sebenarnya sedang mengucapkan religiositas-
nya.40 Ini berarti bahwa pada dasarnya religiositas juga bisa diungkapkan
lewat puisi, karena puisi merupakan bagian dari karya sastra. Untuk
mengetahui bahwa puisi itu mempunyai makna religius, kita dapat melihat
dari tema-tema puisi tersebut, tetapi religius disini bukan berarti harus
berhubungan nilai-nilai agama tetapi juga nilai-nilai yang universal dan
merupakan sumber nilai.
Tema-tema religiusitas itu misalnya:
a. Tema Ketuhanan.
Puisi-puisi dengan tema ketuhanan biasanya menunjukkan
“Religious Experience” atau pengalaman religi penyair. Pengalaman
religi didasarkan atas tingkat kedalaman pengalaman ketuhanan
seseorang. Dapat juga dijelaskan sebagai tingkat kedalaman iman
seseorang terhadap agamanya atau lebih luas terhadap Tuhan atau
40 Sastra dan Religiositas, Op. cit, hlm. 11-12
39
kekuaaan ghaib. Banyak puisi yang menunjukkan pengalaman religi
yang cukup dalam, walaupun tidak menunjukkan identitas agama
tertentu. Dalam suasana demikian penyair berbicara mewakili semua
manusia, mengatasi perbedaan agama, bangsa, suku, atau warna kulit.
Memang puisi bersifat universal. Sifat ketuhanan seorang penyair,
dapat diresapi oleh pembaca manapun juga.
Pengalaman religi seorang penyair didasarkan atas pengalaman
hidup penyair secara konkret. Jika penyairnya bukan seorang religius
yang khusyuk dalam hal religi, maka sulit diharapkan ia akan
menghasilkan puisi bertema ketuhanan yang cukup mendalam. Bahkan
sebaliknya, jika penyair itu orang yang ragu-ragu akan tuhan, ragu-
ragu akan kekuaaan ghaib, mungkin puisinya akan bersifat
mempermain-mainkan tuhan karena penggunaan nama Tuhan secara
tidak terhormat. Adapula penyair-penyair yang menempatkan tokoh-
tokoh agama yaang terhormat dalam tempat yang kurang terhormat.
hal ini disebabkan pengalaman religi penyair yang kurang mendalam.
Dalam setiap agama terdapat tokoh-tokoh yang dihormati
karena memiliki karisma, memilliki sifat sakral dan khidmat.
Penghormatan kepada tokoh agama tertentu oleh penyair yang
memeluk agama tersebut juga dapat menunjukkan tingkat penghayatan
keagamaan dari penyair itu. Sebaliknya jika seorang penyair dari suatu
agama tertentu mulai mencaci maki tokoh-tokoh yang dipandang
terhormat dalam agama itu, itu suatu pertanda bahwa penyair tersebut
mengalami pendangkalan iman terhadap agamanya.41
Seorang penyair WS. Rendra, juga mempunyai sajak-sajak yang
bertemakan ketuhanan (keagamaan). Sajak-sajak yang terdapat di
dalam “Masmur Mawar” adalah ,”Masmur Pagi, Do’a Malam, sebuah
Dunia yang Marah, Amsal seorang Santo, Do’a Orang Lapar, Do’a
seorang Serdadu sebelum Berperang, Ya Bapa, Lonceng Berkeleneng,
41 Dr. Herman J. Waluyo, M. Pd, Teori…op.cit. hlm.107
40
Tobat, Gereja St. Antonius Solo, Datanglah ya Allah, Masmur Mawar,
Litani Domba Kudus, Amsal Sebuah Perjalanan ke Golgota, Sajak
Seorang Tua untuk Istrinya”.42 Sajak tersebut adalah sajak di mana
Rendra masih beragama kristen (katholik). Namun kemudian, setelah
ia melakukan konversi (pindah agama) menjadi seorang muslim, ia
menggubah Qasidah Barzanji yang pernah dipentaskannya pada tahun
1970-an, sebelum ia masuk Islam juga. Kini, untuk lebih
mencerminkan nilai Islam, judul lakon itu diubah menjadi Shalawat
Barzanji. Menurutnya, pertunjukannya kali ini juga merupakan
ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan
kesempatan menikmati keimanan menurut Agama Islam.43
b. Puisi Demonstrasi dan Pamflet
Puisi demonstrasi menyarankan pada puisi-puisi Taufik Ismail
dan mereka yang oleh HB. Jassin disebut Angkatan 66. Puisi ini
melukiskan dan merupakan hasil refleksi demonstrasi para mahasiswa
dan pelajar-KAMMI-KAPPI-sekitar tahun 1966. Menurut Subagio
Sastrowardoyo, puisi-puisi demonstrasi 1966 bersifat kekitaan, artinya
melukiskan perasaan kelompok bukan perasaan individu. Puisi-puisi
mereka adalah endapan dari pengalaman fisik, mental, dan emosional
selama penyair terlibat dalam demonstrasi 1966. gaya paradoks dan
ironi banyak kita jumpai. Sementara itu kata-kata yang membakar
semangat kelompok banyak dipergunakan, seperti; kebenaran,
keadilan, kemanusiaan, tirani, kebatilan, dan sebagainya. Di bawah ini
dikemukakan salah satu contoh:
MIMBAR
42 Utjen Djusen R. Dkk, Memahami sajak-sajak WS. Rendra, Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD, Jakarta, 1978, hlm. 58
43 “Pengembaraan Spiritual WS. Rendra”, Harian Republika, Jum’at, 2 Mei 2003. 8
41
Dari mimbar ini telah dibicarakan
Pikiran-pikiran dunia
Suara-suara kebebasan
Tanpa ketakutan
Dari mimbar ini diputar lagi
Sejarah kemanusiaan
Pengembangan teknologi
Tanpa ketakutan.
Di kampus ini
Telah dipahatkan
Kemerdekaan.
Segala despot dan tirani
Tidak bisa dirobohkan
Mimbar kami.
(Taufik Ismail, 1966)
Seperti halnya puisi pamflet, puisi-puisi demonstrasi merupakan
ungkapan sepihak, sehingga kebenaran sulit diterima secara obyektif.
Pihak yang dibela diberikan tempat dan kedudukan yang terhormat dan
serba benar, sedang pihak yang dikriitik dilukiskan berada dalam
posisi yang kurang simpatik.
Puisi pamflet juga mengungkapkan protes sosial. Puisi tersebut
disebut sebagai puisi pamflet karena bahasanya adalah bahasa pamflet.
Kata-katanya mengungkapkan rasa tidak puas kepada keadaan.
Munculnya kata-kata yang berisi protes secara spontan tanpa proses
pemikiran atau perenungan yang mendalam. Istilah-istilah gagah untuk
membela kelompoknya disertai dengan istilah tidak simpatik yang
menonjolkan pihak yang dikritik. Seperti halnya puisi demonstrasi,
bahasa puisi pamflet juga bersifat prosais.
Puisi pamflet Rendra kehilangan makna konotatif, suatu
42
kehebatan Rendra dalam menciptakan puisi paada tahun 50-an. Kata-
kata kasar, uangkapan-ungkapan langsung kesasaran, dan hiperbola
yang bertujuan memojokkan pihak yang dikritik banyak kita jumpai
dalam puisi-puisi pamflet Rendra. Puisi-puisi pamflet Rendra ini
mengingatkan kita akan puisi-puisi Jerman pada awal industrialisasi
yang berkembang pada sekitar tahun 1974 (seperti halnya puisi pamflet
Jerman). Konotasi yang memudar itu tidak lantas melepaskan tema
dari nilai-nilai religius karena di sana kita temukan pembelaan atas
kaum tertindas dan peringatan untuk selalu menghargai kemanusiaan,
sesuatu yang tidak mungkin dilepaskan dari religiusitas.
Berikut ini dikutip dari puisi pamflet Rendra :
SAJAK SEBATANG LISONG
Menghirup sebatang lisong,
Melihat indonesia raya,
Mendengar 130 juta rakyat,
Dan dilangit
Dua tiga cukong mengangkang,
Berak diatas kepala mereka.
...
menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.
Dan di langit:
Para teknokrat berkata :
Bahwa bangsa kita adalah malas,
Bahwa bangsa mesti dibangun,
43
Mesti di up-grade,
Disesuaikan dengan teknologi yang di import44.
c. Alegori
Puisi sering mengungkapkan cerita yang isinya dimaksudkan
untuk memberikan nasehat tentang budi pekerti dan agama. Jenis
alegori (perumpamaan bernada kiasan) yang terkenal adalah parabel
yang juga disebut dongeng perumpamaan. Kitab suci banyak
menuturkan dongeng-dongeng perumpamaan yang maknanya dapat
kita cari di balik yang tersurat. Puisi “Teratai” karya Sanusi Pane boleh
dikatakan sebagai jenis puisi alegori, karena bunga teratai itu
digunakan untuk mengkisahkan tokoh pendidikan. Kisah tokoh
pendidikan yang dilukiskan sebagai teratai itu digunakan untuk
memberikan nasehat kepada generasi muda agar mencontoh teladan
“Teratai” itu. Cerita berbingkai seperti “Panca Tantra”, “1001 Malam”,
“Bayan Budiman”, dan “Hikayat Bachtiar” juga dapat diklasifikasikan
sebagai parabel45
Selain lewat puisi dengan tema ketuhanan, tema demonstrasi
dan pamplet, dan alegori, religiusitas dalam sebuah puisi dapat juga
kita lihat dalam puisi-puisi para sufi (puisi sufi), karena dalam sejarah
tasawuf, sastra telah dipilih sebagai media dalam menyampaian
pengalaman keruhanian para sufi sejak awal. Di sini terdapat banyak
penjelasan yang berkenaan dengan ma’rifat dan persatuan mistik yang
disampaikan dalam bentuk anekdot-anekdot, kisah perumpamaan atau
alegori dan puisi. Walaupun sastra, khususnya puisi, sangat
mempengaruhi corak kegiatan intelektual para sufi, tetapi kebanyakan
mereka menulis tanpa niat menjadi sastrawan atau penyair. Mereka
menulis berlandaskan alasan-alasan keagamaan dan keruhanian.46
44 Dr. Herman J. Waluyo, M. Pd, Teori…op.cit. hlm.143
45Ibid, hlm.144
46Abdul Hadi W. M.,Tasawuf yang tertindas, Paramadian, Jakarta, 2001, hlm. 10
44
Sajak-sajak para sufi merupakan puisi yang paling religius dalam
Islam, karena semuanya berangkat dari masalah agama dan masalah
ketuhanan.
Kitab-kitab suci kaum beragama juga memuat puisi-puisi.
Banyak puisi yang dapat kita temukan di berbagai kitab suci kaum
beragama di indonesia. H.B. Jassin pernah menerjemahkan Alqur'an
dalam bentuk puisi dan dinamainya puitisasi kitab suci. Di samping
kalimat-kalimat yang biasa yang prosais, orang merindukan kalimat
maupun kata-kata yang indah serta puitis. dalam bentuk puisi yang
terikat itu ditemukan keindahan berkat adanya keseimbangan bentuk
dan isi. getar jiwa yang dijelmakan ke dalam bentuk kata yang terikat
dengan suasana yang “pas” akan memantulkan gema yang
menggetarkan jiwa pendengarnya. begitulah suasana komunikasi yang
hendak di ciptakan oleh nabi di dalam diri umat dalam hubungan
mereka dengan Tuhan. para penerjemah berusaha menangkap suasana
misteri yang yang menyelubungi jiwa manusia yang terekam dalam
kata-kata itu.47
Penyair mengungkapkan gejolak batinnya yang indah ke dalam
wujud yang utuh, didukung perasaan, pikiran dan cita-citanya. Ketiga
unsur itu menggemakan getar jiwa. Unsur-unsur itu saling mendukung
dan mengisi. puisi yang indah bukanlah hanya merupakan letupan-
letupan perasaan saja, tetapi juga merupakan perpaduan rasa, pikiran
dan kehendak, ketiganya melahirkan satu kepaduan yang disebut
keindahan. 48
Islam sendiri benar-benar menganggap aspek ketuhanan
sebagai keindahan, dan gambaran ini dijadikan tumpuan istimewa
dalam tasawuf, yang secara alami berasal dan mengandung inti
(haqâ’iq) ajaran Islam. Maka bukanlah suatu kebetulan apabila karya-
karya yang ditulis para sufi, baik puisi maupun prosa, merupakan
47 Wilson Nadaek, Pengajaran…op. cit , hlm. 13
48 Ibid, hlm, 18
45
karya agung dalam kualitas dan keindahan.
Aspek ketuhanan sebagai keindahan inilah yang dipandang
sebagai aspek mistikal atau dimensi esoterik (inti terdalam) dari Islam,
dan yang juga dipandang sebagai aspek Islam yang paling indah.
Annemarie Schimmel mengaitkan penekanan terhadap aspek mistikal
ini, dalam penghayatan para sufi terhadap ajaran Islam, dengan
penciptaan yang berlimpah jumlahnya dalam pelbagai bahasa
masyarakat muslim. Khazanah sastra sufistik yang seperti itulah yang
mengilhami banyak gagasan mengenai ciri-ciri mistisisme dalam
agama Islam.
Di atas telah dibicarakan tentang Puisi dan Religiusitas. Sehingga
dapat diketahui bahwa dalam puisi terdapat banyak unsur religius, adanya
nila-nilai Religius dalam puisi adalah dikarenakan bahwa pada awalnya
semua sastra adalah religius. Untuk itu dalam bab III akan dibahas tentang
religiusitas puisi-puisi WS. Rendra, dan implementasi puisi-puisi WS.
Rendra terhadap ajaran Islam. [j]