21
5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Store Environment Store environment merupakan unsur penting dalam suatu gerai fashion, mengingat bahwa 70% dari pembelian ternyata merupakan impulse buying atau pembelian yang tidak direncanakan (Dunne dan Lusch, 2005, p.457). Melalui elemen – elemen yang ada di dalam store environment, produsen fashion dapat menciptakan stimuli – stimuli yang akan memicu atau menggerakkan pelanggan untuk membeli lebih banyak barang di luar yang mereka rencanakan. Store environment yang dirancang dengan baik dan sesuai dengan target market yang ditetapkan akan apat menciptakan emosi – emosi atau suasana hati yang kondusif untuk berbelanja. Teori mengenai store environment dan elemen – elemen di dalamnya yang akan digunakan dalam penelitian ini khususnya mengacu pada teori oleh Dunne dan Lusch (2005). 2.2 Store Planning Menurut Dunne dan Lusch (2005, p.456) store planning adalah sebuah skematis yang menunjukkan dimana barang – barang dan pusat pelayanan berada, bagaimana sirkulasi pelanggan di dalam gerai dan seberapa banyak ruang yang dialokasikan untuk setiap jenis barang. Yang hampir sama pentingnya dengan menempatkan

BAB II depan - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/Bab 2_09-27..pdf · mengatur sirkulasi dan mengurangi penyusutan. 2.2.1 Allocating Space Menurut Ma’ruf (2005, p.201)

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II depan - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/Bab 2_09-27..pdf · mengatur sirkulasi dan mengurangi penyusutan. 2.2.1 Allocating Space Menurut Ma’ruf (2005, p.201)

5

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Store Environment

Store environment merupakan unsur penting dalam suatu gerai fashion, mengingat

bahwa 70% dari pembelian ternyata merupakan impulse buying atau pembelian

yang tidak direncanakan (Dunne dan Lusch, 2005, p.457). Melalui elemen – elemen

yang ada di dalam store environment, produsen fashion dapat menciptakan stimuli –

stimuli yang akan memicu atau menggerakkan pelanggan untuk membeli lebih

banyak barang di luar yang mereka rencanakan. Store environment yang dirancang

dengan baik dan sesuai dengan target market yang ditetapkan akan apat

menciptakan emosi – emosi atau suasana hati yang kondusif untuk berbelanja. Teori

mengenai store environment dan elemen – elemen di dalamnya yang akan

digunakan dalam penelitian ini khususnya mengacu pada teori oleh Dunne dan

Lusch (2005).

2.2 Store Planning

Menurut Dunne dan Lusch (2005, p.456) store planning adalah sebuah skematis

yang menunjukkan dimana barang – barang dan pusat pelayanan berada, bagaimana

sirkulasi pelanggan di dalam gerai dan seberapa banyak ruang yang dialokasikan

untuk setiap jenis barang. Yang hampir sama pentingnya dengan menempatkan

Page 2: BAB II depan - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/Bab 2_09-27..pdf · mengatur sirkulasi dan mengurangi penyusutan. 2.2.1 Allocating Space Menurut Ma’ruf (2005, p.201)

6

barang – barang di tempat yang tepat adalah mengurangi stack – out, yaitu barang –

barang yang dipajang di rak utama. Meskipun memajang banyak barang di depan

rak utama dapat meningkatkan penjualan untuk jenis barang tertentu, tetapi di pihak

lain malah akan mengurangi tingkat penjualan keseluruhan. Ada tiga hal utama yang

harus dilakukan dalam merancang floor plan, yaitu mengalokasikan ruang,

mengatur sirkulasi dan mengurangi penyusutan.

2.2.1 Allocating Space

Menurut Ma’ruf (2005, p.201) ada lima tipe dasar dari ruangan yang

dibutuhkan untuk sebuah gerai, yaitu :

1. Back Room

Ruang belakang digunakan untuk proses pada saat barang datang dan

untuk menyimpan kelebihan barang. Dengan adanya perkembangan

system pengiriman barang, para produsen fashion semakin mengurangi

alokasi ruang untuk ruang belakang menjadi sekitar 5 - 20 % dari

seluruh luas ruang yang tersedia.

2. Office Rroom and Other Functional Spaces

Ruang ini hanya ruang untuk istirahat para pegawai.

3. Aisles, Service Areas and Other Nonselling Areas

Aisles yang ada harus cukup lebar untuk mengakomodasi orang

banyak sehingga mereka tidak harus berdesak – desakan.

Page 3: BAB II depan - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/Bab 2_09-27..pdf · mengatur sirkulasi dan mengurangi penyusutan. 2.2.1 Allocating Space Menurut Ma’ruf (2005, p.201)

7

4. Space For Fitting

Adalah ruangan privacy untuk pelanggan mencoba sebuah produk

yang dia rasa menarik untuk dicoba, seperti contohnya : pakaian.

5. Wall Merchandise Space

Adalah ruang untuk memajang barang di dinding. Dinding sebuah

gerai fashion dapat dijadikan tempat untuk memajang barang – barang

yang dijual atau memajang latar belakang visual untuk barang –

barang tersebut.

2.2.2 Circulation

Pola sirkulasi yang digunakan sebuah gerai tidak hanya memastikan

efisiensi dari perputaran pelanggan di dalam gerai dan memicu mereka

untuk melihat lebih banyak barang, tetapi juga akan menentukan karakter

dari gerai itu sendiri. Menurut Ma’ruf (2005, p.208) ada empat macam

tipe sirkulasi, yaitu :

1. Free Flow

Ini adalah tipe sirkulasi yang paling sederhana, dimana rak dan barang

ditempatkan dengan pola yang agak bebas sehingga pelanggan bebas

bergerak mengelilingi seluruh isi gerai. Pola ini cocok untuk gerai

kecil, dimana pada umumnya barang – barang yang tersedia tipenya

sama. Menurut Ma’ruf (2005, p.208) tipe ini memberi kesan

bersahabat dan mendorong pelanggan untuk lebih bersantai dalam

memilih barang.

Page 4: BAB II depan - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/Bab 2_09-27..pdf · mengatur sirkulasi dan mengurangi penyusutan. 2.2.1 Allocating Space Menurut Ma’ruf (2005, p.201)

8

Gambar 2.1 Free Flow

2. Grid

Tipe tradisional ini menempatkan rak dan barang berjajar lurus di

seluruh gerai. Tipe sirkulasi ini cocok digunakan di supermarket atau

toko obat. Tipe ini menimbulkan kesan efisien, lebih banyak

menampung barang yang dipamerkan, mempermudah pelanggan untuk

berhemat waktu belanja dan control lebih mudah (Ma’ruf, 2005,

p.208).

Gambar 2.2 Grid

Page 5: BAB II depan - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/Bab 2_09-27..pdf · mengatur sirkulasi dan mengurangi penyusutan. 2.2.1 Allocating Space Menurut Ma’ruf (2005, p.201)

9

3. Loop

Tipe sirkulasi loop ini dikenal dapat meningkatkan produktivitas

sebuah gerai. Pada pola ini aisle utama dimulai dari pintu masuk

kemudian memutar mengelilingi seluruh gerai, bisa dalam bentuk

lingkaran, persegi atau segitiga, dan kemudian mengembalikan

pelanggan ke pintu masuk semula. Pola ini produktif karena pola ini

dapat menggerakkan pelanggan untuk melihat barang sebanyak

mungkin di seluruh gerai.

Gambar 2.3 Loop

4. Spine

Pola ini merupakan variasi dari tipe free-flow, grid, dan loop dimana

keuntungan dari masing – masing pola tersebut digabungkan menjadi

satu.

Page 6: BAB II depan - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/Bab 2_09-27..pdf · mengatur sirkulasi dan mengurangi penyusutan. 2.2.1 Allocating Space Menurut Ma’ruf (2005, p.201)

10

Gambar 2.4 Spine

2.3 Store Design

Store design adalah elemen yang bertanggung jawab untuk menciptakan store image

yang berbeda dan tidak terlupakan. Store design dapat dibagi menjadi empat bagian,

yaitu exterior design, interior design, lighting design, dan sounds and smell (Dunne

dan Lusch, 2005, p.473). Keempat bagian tersebut harus dapat bekerjasama dalam

menciptakan ambiance gerai yang diinginkan. Ambiance dapat diartikan sebagai

proyeksi diri suasana gerai yang ditangkap oleh panca indera pelanggan.

2.3.1 Exterior Design

Yang termasuk dalam desain eksterior sebuah gerai disini yaitu storefront

design, signage, dan entrance yang semuanya penting untuk menarik

perhatian orang yang lewat dan mendorong mereka untuk masuk ke dalam

gerai (Dunne dan Lusch, 2005, p.474). Storefront design atau desain luar

gerai harus dapat tampak jelas, mudah dikenali dan mudah diingat. Desain

Page 7: BAB II depan - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/Bab 2_09-27..pdf · mengatur sirkulasi dan mengurangi penyusutan. 2.2.1 Allocating Space Menurut Ma’ruf (2005, p.201)

11

luar gerai harus dengan jelas mengidentifikasikan nama dan gambaran

umum tentang gerai tersebut serta memberi petunjuk mengenai barang

yang tersedia di dalamnya. Secara umum, yang termasuk di dalam

storefront design adalah signage di luar gerai dan arsitektur dari bagian

luar gerai itu sendiri. Dalam beberapa kasus, storefront juga mencakup

jendela display yang ada di depan gerai. Jendela display harus mampu

menarik perhatian orang yang lewat di depan gerai dan mendorong mereka

untuk masuk ke dalam gerai. Maka dari itu jendela display harus dibuat

semenarik mungkin dan diganti secara berkala serta harus mencerminkan

barang – barang yang ditawarkan di dalam gerai.

2.3.2 Interior Design

Desain interior dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu finishing yang

digunakan untuk seluruh permukaan (baik untuk lantai, dinding maupun

plafon) dan bentuk arsitektur di dalam gerai itu sendiri (Dunne dan Lusch,

2005, p.476). Banyak sekali hal kecil – kecil yang harus dibutuhkan untuk

menciptakan image bagi sebuah gerai dan diperlukan pemilihan bahan –

bahan material yang mendukung untuk terciptanya image tersebut.

2.3.3 Lighting Design

Lighting atau penerangan seringkali luput dari perhatian, padahal

pemahaman mengenai penerangan dapat meningkatkan penjualan dan

Page 8: BAB II depan - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/Bab 2_09-27..pdf · mengatur sirkulasi dan mengurangi penyusutan. 2.2.1 Allocating Space Menurut Ma’ruf (2005, p.201)

12

image. Pada perkembangannya, lighting tidak hanya sederhana memilih

jenis dan warna lampu, tetapi dibutuhkan pengetahuan yang lebih dalam

mengenai dampak dari lampu tersebut terhadap warna dan tekstur (Dunne

dan Lusch, 2005, p.477).

2.3.4 Sounds and Smell

Indera penciuman dipercaya sebagai indera yang paling berhubungan

dengan memori dan emosi. Hal ini dapat digunakan untuk menciptakan

suatu mood di dalam gerai bagi pelanggannya. Pemilihan musik yang tepat

untuk diputar di dalam gerai juga berpengaruh untuk menciptakan mood

bagi pelanggan dan menciptakan perilaku berbelanja yang berbeda.

Tempo dan tipe dari musik mempengaruhi berapa lama pelanggan

menghabiskan waktu di sebuah gerai dan dalam melakukan pembelian

(Dunne dan Lusch, 2005, p.477).

2.4 Merchandising

Produsen fashion harus memahami komponen – komponen dasar dalam cara

penyajian barang – barang dan bagaimana pengaruh potensialnya dalam mendukung

image yang mau diciptakan untuk sebuah gerai dan juga pengaruhnya terhadap

tingkat penjualan. Merchandising juga menyangkut price image karena hal ini erat

hubungannya dengan dampak dari pemilihan barang – barang dengan kualitas yang

sesuai dengan image yang mau ditampilkan dan pemilihan metode penyajian dari

barang – barang tersebut sehingga memperkuat image tersebut (Kunz, 2005, p.10).

Page 9: BAB II depan - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/Bab 2_09-27..pdf · mengatur sirkulasi dan mengurangi penyusutan. 2.2.1 Allocating Space Menurut Ma’ruf (2005, p.201)

13

Ada dua tipe dasar dari cara penyajian atau mempresentasikan barang – barang yang

ditawarkan di dalam gerai, yaitu :

1. On-Shelf Merchandising

Adalah penyajian barang – barang di meja pajangan, rak di dalam gerai (Dunne

dan Lusch, 2005, p.467). Yang dimaksudkan disini adalah barang – barang

yang disentuh, dicoba, diperiksa, dilihat, dimengerti, dan yang akan dibeli

nantinya oleh pelanggan. On-Shelf Merchandising tidak hanya harus

menyajikan barang – barang dengan menarik tetapi juga menyajikan dengan

cara yang mudah untuk dimengerti dan diakses oleh pelanggan. Penataan

barang – barang tersebut harus masuk akal sehingga pelanggan tidak

mengalami kesulitan untuk mengembalikan ke tempat semula. Penataan barang

sebaiknya juga jangan berlebihan sehingga membuat pelanggan takut untuk

menyentuh.

2. Visual Merchandising

Tujuan dari visual merchandising adalah menciptakan suatu perasaan yang

kondusif bagi pelanggan untuk membuat mereka membeli suatu barang. Visual

merchandising tidak harus barang yang dapat dibeli, tetapi bisa juga barang

pajangan menarik yang mempunyai kaitan dengan barang – barang yang dijual

di gerai tersebut dan dapat membangkitkan mood yang dapat memicu pelanggan

untuk membeli suatu barang. Produsen harus berhati – hati dalam menggunakan

visualisasi karena hal ini juga berkaitan dengan store image yang ditimbulkan

oleh visualisasi tersebut apakah gerai tersebut menawarkan pengalaman

Page 10: BAB II depan - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/Bab 2_09-27..pdf · mengatur sirkulasi dan mengurangi penyusutan. 2.2.1 Allocating Space Menurut Ma’ruf (2005, p.201)

14

berbelanja yang menyenangkan atau malah tidak karuan; atau mahal atau murah.

(Wikipedia.com, 2008).

2.5 Visual Communication

Salah satu masalah yang dihadapi oleh produsen fashion adalah bagaimana

mengontrol biaya pekerja dengan tetap mempertahankan komunikasi dengan

pelanggan dan menyediakan pelayanan yang berkualitas tinggi. Solusinya adalah

visual communication berupa tanda – tanda, gambar atau media lainnya yang dapat

digunakan sebagai pengganti salesperson yang dapat memberi informasi dan

memberikan pengarahan yang dibutuhkan oleh pelanggan untuk berbelanja di gerai

tersebut, mengevaluasi barang – barang yang ditawarkan dan melakukan pembelian.

Instalasi dari visual communication merupakan biaya yang hanya satu kali dan dapat

diandalkan fungsinya daripada salesperson yang kadangkala terlambat, mengalami

suasana hati yang buruk atau memperlakukan pelanggan dengan salah. Tetapi

kekurangannya yaitu kurangnya sentuhan personal yang dapat membuat pelanggan

merasa nyaman. Jadi, kombinasi yang baik dari personal service dengan visual

communication dapat menciptakan selling environment yang efektif (Wikipedia,

2008).

Menurut Dunne dan Lusch (2005, p.483) yang termasuk di dalam visual

communication diantaranya adalah :

1. Name, Logo dan Produsen Identity

Hal pertama yang paling terlihat dari visual communications adalah identitas

produsen yang tersusun dari nama gerai, logo dan elemen visual yang

Page 11: BAB II depan - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/Bab 2_09-27..pdf · mengatur sirkulasi dan mengurangi penyusutan. 2.2.1 Allocating Space Menurut Ma’ruf (2005, p.201)

15

mendukung. Nama harus berbeda dan mendeskripsikan bahwa gerai tersebut

mempunyai penawaran yang unik. Sekali nama telah ditentukan, selanjutnya

dirancanglah sebuah logo yang harus dibuat menarik dan tidak terlupakan.

Seringkali lagi juga diikuti slogan dari produsen tersebut. Logo yang paling

utama diletakkan di depan gerai untuk menarik pelanggan.

2. Institutional Signage

Tingkatan pertama dari visual communication yang dijumpai pelanggan di

dalam gerai adalah institutional signage yang menggambarkan misi, kebijakan

pelayanan di dalam gerai atau pesan – pesan lain yang mau disampaikan atas

nama institusi produsen.

3. Directional, Departmental, and Category Signage

Directional, Departmental, and Category Signage biasanya besar dan diletakkan

di tempat yang tinggi sehingga dapat dilihat dari seluruh gerai. Tanda – tanda ini

memberi arahan kepada pelanggan dalam mengelilingi gerai dan menunjukkan

bagian mana yang mereka cari. Directional signage dan department signage

tidak digunakan oleh semua jenis gerai. Gerai yang kecil cukup hanya dengan

menggunakan category signage yaitu petunjuk yang ukurannya relatif lebih

kecil dan biasanya ditempatkan di bagian atas gondola.

Page 12: BAB II depan - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/Bab 2_09-27..pdf · mengatur sirkulasi dan mengurangi penyusutan. 2.2.1 Allocating Space Menurut Ma’ruf (2005, p.201)

16

4. Point of Sale Signage

Point of Sale Signage ukurannya relatif kecil dan ditempatkan sangat dekat

dengan barang yang dimaksud dan hal ini bertujuan untuk memberi detil

penjelasan tentang barang yang dimaksud tersebut.

5. Lifestyle Graphics

Visual communication tidak hanya berupa kata – kata, tetapi juga bisa

menggunakan gambar – gambar yang dapat mempresentasikan lifestyle image

dari masing – masing jenis barang di dalam sebuah gerai.

2.6 Konsumen

Konsumen adalah seseorang yang memberli suatu produk atau jasa untuk

memenuhi kebutuhannya. Berdasarkan tujuan pembeliannya, Kotler (2006, p.179)

mengklasifikasikan konsumen menjadi dua kelompok, yaitu konsumen akhir dan

konsumen organisasional.

Konsumen akhir terdiri atas individu yang tujuan pembelian suatu produk atau jasa

adalah untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau untuk di konsumsi. Konsumen

individu ini membentuk pasar konsumen (consumer market). Sedangkan konsumen

organisasional terdiri atas organisasi, pemakai industri, pedagang, dan lembaga non

profit yang tujuan pembeliannya adalah untuk keperluan bisnis. Oleh karena itu,

konsumen organisasional membentuk pasar bisnis (business market). Dalam kajian

ini yang dimaksud dengan konsumen adalah konsumen akhir yaitu konsumen yang

menggunakan produk itu sendiri.

Page 13: BAB II depan - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/Bab 2_09-27..pdf · mengatur sirkulasi dan mengurangi penyusutan. 2.2.1 Allocating Space Menurut Ma’ruf (2005, p.201)

17

2.6.1 Tahap - Tahap Perilaku Konsumen Dalam Proses Pembelian

Menurut Belch (2007, p.108-110) pola paling sederhana dari keputusan

pelanggan untuk membeli suatu barang dimunculkan oleh motivasi yang

digunakan menjadi needs, wants, dan demands. Berikut penjelasan

mengenai needs, wants, dan demands.

• Needs

Merupakan keperluan dasar manusia yang muncul untuk keperluan

status social.

• Wants

Pada tingkatan ini, potensi untuk membeli muncul karena orang

mendapatkan dorongan untuk memuaskan needs. Dengan usaha – usaha

marketing yang dilakukannya, para produsen fashion berusaha untuk

mengarahkan needs menjadi wants.

• Demands

Tingkatan dimana wants tadi disertai dengan kemampuan membeli.

Di dalam proses keputusan membeli juga terdapat factor buyer

characteristic (factor budaya, sosial, psikologi, dan pribadi) dan evaluation

criteria yang akan membawa pelanggan kepada keputusan terakhir dalam

membeli atau tidak membeli suatu barang.

Pada perkembangannya, para produsen fashion menciptakan wants yang

selanjutnya menuju demands dengan mempengaruhi perilaku pelanggan

melalui store environment yang diciptakan (Belch, 2007, p.109). Store

Page 14: BAB II depan - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/Bab 2_09-27..pdf · mengatur sirkulasi dan mengurangi penyusutan. 2.2.1 Allocating Space Menurut Ma’ruf (2005, p.201)

18

environment diciptakan untuk menghasilkan suatu efek emosional yang

pada akhirnya mengarah pada peningkatan pembelian.

Perilaku konsumen sebagai suatu proses pengambilan keputusan pembelian

terdiri dari berbagai tahapan sebagai berikut : mengenali kebutuhan, mencari

informasi, evaluasi alternative, keputusan membeli dan perilaku pasca

membeli (Kotler, 2006, p.181)

Gambar 2.5 Tahapan Perilaku Konsumen Dalam Keputusan

Proses Pembelian (Kotler, 2006, p.181)

1. Pengenalan kebutuhan : proses diawali saat konsumen menyadari

adanya suatu kebutuhan yang diperlukannya. Kesadaran akan adanya

kebutuhan ini juga dapat didorong oleh adanya pengaruh internal atau

eksternal konsumen.

2. Pencarian informasi : menyadari adanya kebutuhan yang perlu dipenuhi,

konsumen mulai terdorong untuk mencari informasi yang lebih banyak

mengenai kebutuhan tersebut. Proses pencarian informasi dilakukan

dengan cara mencari berbagai sumber informasi. Sumber - sumber

informasi dapat dikelompokkan menjadi tiga : sumber pribadi yang

terdiri dari keluarga, teman, tetangga, atau kenalan; sumber komersil

Pengenalan Kebutuhan

Pencarian informasi

Evaluasi Alternatif

Keputusan Membeli

Perilaku Pasca beli

Page 15: BAB II depan - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/Bab 2_09-27..pdf · mengatur sirkulasi dan mengurangi penyusutan. 2.2.1 Allocating Space Menurut Ma’ruf (2005, p.201)

19

terdiri dari iklan, pameran, dan tenaga penjual; serta sumber pengalaman

yang terdiri dari pengalaman konsumen dengan produk tertentu.

3. Evaluasi alternatif : berdasarkan berbagai informasi yang ada, konsumen

mulai mengevaluasi alternative pilihan yang dapat ia lakukan untuk

memenuhi kebutuhan yang diperlukannya. Pada tahap ini konsumen

mulai memiliki preferensi terhadap satu produk atau jasa tertentu.

4. Keputusan membeli : keputusan pembelian merupakan proses actual

pembelian kebutuhan yang diperlukan oleh konsumen setelah melalui

tahap - tahap sebelumnya.

5. Perilaku pasca membeli : setelah melalui tahap pembelian, konsumen

akan mulai melakukan penilaian terhadap kepuasan atau ketidakpuasan

atas produk yang telah dibelinya. Kepuasan atau ketidakpuasan

konsumen pada suatu produk akan mempengaruhi tingkah laku atau

tindakan konsumen berikutnya. Konsumen yang merasa puas akan

cenderung untuk memilih lagi produk yang sama di masa akan datang.

Sedangkan konsumen yang tidak puas akan meninggalkan atau

mengembalikan produk - produk tersebut.

Tahap - tahap perilaku konsumen menurut Mowen & Minor (2003,

consumerbehavior.net chapter 9), tidak jauh berbeda dengan yang telah

disebutkan diatas sebelumnya, antara lain terdiri dari tahap - tahap : problem

recognition, search, alternative evaluation, choice, and postacquisition

evaluation.

Page 16: BAB II depan - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/Bab 2_09-27..pdf · mengatur sirkulasi dan mengurangi penyusutan. 2.2.1 Allocating Space Menurut Ma’ruf (2005, p.201)

20

2.6.2 Time Taken to Shop

Ada beberapa tipe dari perilaku berbelanja di dalam masyarakat jaman

sekarang. Kadangkala, shopping hanyalah merupakan kegiatan fungsional

atau kegiatan kompleks untuk sebagian orang. Sedangkan untuk sebagian

orang yang lain, shopping merupakan leisure activity.

Untuk shopping sebagai sekedar kegiatan fungsional atau kegiatan

kompleks, pelanggan menginginkan adanya unsure sesuatu yang baru yang

menyenangkan dan menarik. Waktu yang mereka butuhkan pun berbeda.

Shopping sebagai sekedar kegiatan fungsional tidak membutuhkan waktu

yang lama. Pelanggan tidak ingin berlama – lama berkeliling di dalam gerai,

mereka telah memiliki daftar barang yang mereka butuhkan dan akan segera

keluar took setelah menemukannya. Shopping sebagai kegiatan kompleks

membutuhkan waktu yang lebih lama daripada shopping sebagai kegiatan

fungsional karena menyangkut barang – barang khusus atau pembelian

barang – barang yang sifatnya teknikal. Maka dari itu, dibutuhkan informasi

yang akurat tentang barang – barang tersebut karena biasanya barang –

barang tersebut memiliki resiko yang lebih besar dan seringkali

membutuhkan bantuan atau nasihat dari staff gerai. Untuk kategori yang

terakhir, leisure shopper berbeda karena mereka tidak memperdulikan waktu

yang mereka habiskan di dalam gerai. Mereka lebih tertarik untuk

berkeliling menjelajahi seluruh gerai, melihat – lihat dan menemukan

sesuatu yang mereka sukai, bukan sesuatu yang benar – benar mereka

butuhkan.

Page 17: BAB II depan - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/Bab 2_09-27..pdf · mengatur sirkulasi dan mengurangi penyusutan. 2.2.1 Allocating Space Menurut Ma’ruf (2005, p.201)

21

Disinilah store environment memegang peranan. ZARA berusaha

menciptakan store environment yang kondusif bagi pelanggan yang datang

untuk kegiatan kompleks maupun kegiatan leisure. Store environment yang

tepat akan mempengaruhi para pelanggan untuk lebih menikmati suasana di

dalam gerai dan menghabiskan waktu lebih lama untuk melihat – lihat dan

pada akhirnya menciptakan tingkat penjualan yang lebih tinggi bagi

perusahaan.

2.7 Pria Metroseksual

Pria metroseksual adalah women-oriented men, secara terminalogis, metroseksual

terdiri dari dua kata: ’Metro” artinya kota, yakni tempat tren ini terpusat. Sedangkan

’Seksual’ berkonotasi preferensi jenis kelamin, maksudnya pria yang lebih arsetif

menonjolkan sisi feminimnya (Kartajaya dkk, 2004, p.289). Secara lebih jauh, pria

metroseksual dideskripsikan sebagai laki – laki yang cinta setengah mati tak hanya

terhadap dirinya, tetapi juga gaya hidup kota besar yang dijalaninya (Simpson,

2002, salon.com). Pria metroseksual juga digambarkan sebagai sosok yang normal

atau straight, sensitif dan terdidik, hanya saja mereka lebih mengedepankan sisi

feminim yang mereka miliki (Jones, 2003).

Page 18: BAB II depan - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/Bab 2_09-27..pdf · mengatur sirkulasi dan mengurangi penyusutan. 2.2.1 Allocating Space Menurut Ma’ruf (2005, p.201)

22

2.7.1 Ciri - Ciri Pria Metroseksual

Beberapa ciri pria metroseksual dikemukakan oleh Kertajaya dkk.(2004,

p.8-9), yaitu :

1. Pada umumnya hidup dan tinggal di kota besar dimana hal ini tentu saja

berkaitan dengan kesempatan akses informasi, pergaulan dan gaya hidup

yang dijalani dan secara jelas akan mempengaruhi keberadaan mereka.

2. Berasal dari kalangan berada dan memiliki banyak uang karena

banyaknya materi yang dibutuhkan sebagai penunjang gaya hidup yang

dijalani.

3. Memiliki gaya hidup urban dan hedonis.

4. Secara intensif mengikuti perkembangan fashion di majalah - majalah

mode pria agar dapat mengetahui perkembangan fashion terakhir yang

mudah diikuti.

5. Umumnya memiliki penampilan yang klimis, dandy dan sangat

memperhatikan penampilan serta perawatan tubuh.

6. Mereka bisa saja heterosexual, bisexual atau homosexual.

7. Lebih senang pleasure shopping daripada purpose shopping.

8. Lebih banyak berbicara daripada rata – rata pria dan mereka mempunyai

kemampuan komunikasi dan interpersonal yang sangat baik.

9. Mereka bermanja – manja dengan gaya yang agak feminim.

10. Mereka banyak dikelilingi teman wanita tetapi tidak melakukan

hubungan intim.

Page 19: BAB II depan - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/Bab 2_09-27..pdf · mengatur sirkulasi dan mengurangi penyusutan. 2.2.1 Allocating Space Menurut Ma’ruf (2005, p.201)

23

11. Mereka tipe yang sangat mawas diri, menggunakan perasaan intuisinya

untuk memutuskan sesuatu.

12. Mereka tidak memperhatikan banyak batasan kelamin.

2.7.2 Hal Yang Penting Bagi Pria Metroseksual

Ada banyak hal yang penting bagi pria metroseksual, misalnya saja bagian

kaki dan tangan. Untuk melakukan perawatan pada kaki dan tangan saja pria

metroseksual melakukan pedicure dan menicure secara teratur (Kartajaya

dkk., 2004) seperti halnya kaum wanita. Bagi mereka melakukan hal

tersebut tidak akan melunturkan maskulinitas yang mereka miliki Kartajaya

dkk., 2004). Untuk gaya hidup yang lain seperti pola interaksi, mereka lebih

senang melakukannya dari cafe ke cafe. Sebagai pelengkap gaya hidup yang

dijalani maka pemilihan dan penggunaan kendaraan transportasi atau mobil

pun terkadang tidak sembarangan. Pria metroseksual biasanya mengusung

unsur kemewahan dan ’kebaruan’ dengan mobil pilihannya.

2.7.3 Perilaku Konsumtif Pria Metroseksual

Perilaku konsumtif pria metroseksual dikatakan bersifat overt atau terlihat.

Perilaku konsumtif yang sifatnya overt tampak dari begitu jelas dan

nyatanya perilaku yang dilakukan oleh individu yang bersangkutan

Kartajaya dkk., 2004). Perilaku ini bisa dilihat dari bagaimana mereka

berusaha merawat diri dan mempercantik penampilan mereka agar tampak

trendy, klimis dan dandy dengan melakukan aktivitas - aktivitas seperti

Page 20: BAB II depan - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/Bab 2_09-27..pdf · mengatur sirkulasi dan mengurangi penyusutan. 2.2.1 Allocating Space Menurut Ma’ruf (2005, p.201)

24

pergi ke mall, salon, butik, klub fitnes sampai cafe - cafe untuk kebutuhan

interaksi yang bebas, khas dan melapangkan akses bagi sifat hedonis yang

mereka kedepankan.

Menurut Kottler dan Amstrong (2006) ada beberapa faktor yang

mempengaruhi perilaku konsumen dalam proses perilaku pembelian.

Berdasarkan konteks pria metroseksual maka berikut ini adalah penjabaran,

yaitu:

1. Kelas sosial atau divisi masyarakat yang relatif permanen dan teratur

dengan para anggotanya yang menganut nilai - nilai, minat dan tingkah

laku yang serupa dan diukur sebagai kombinasi dari pekerjaan,

pendapatan, pendidikan, kekayaan, dan lain - lain.

Dalam hal ini pria metroseksual sudah seperti kelas sosial baru dalam

struktur sosial yang ada dalam masyarakat modern yang berbasis

kapitalis. Oleh karena itu wajar jika mereka memiliki perilaku konsumtif

yang berbeda dan khas dibandingkan dengan yang lain.

2. Peran dan status sosial.

Kebanyakan pria metroseksual adalah individu - individu dengan posisi

yang baik, bagus dan ”berkelas” dalam masyarakat. Peran dan status

sosial tersebut secara tidak langsung menuntut mereka untuk memiliki

penampilan yang sangat menunjang keberadaan mereka.

3. Pekerjaan.

Pria metroseksual kebanyakan adalah eksekutif muda. Masalah

penampilan jelas terlihat dari pakaian dengan segala atributnya seperti

Page 21: BAB II depan - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/Bab 2_09-27..pdf · mengatur sirkulasi dan mengurangi penyusutan. 2.2.1 Allocating Space Menurut Ma’ruf (2005, p.201)

25

dasi, sepatu sampai parfum dan sebagainya. Faktor yang relevan dengan

sisi penampilan juga ditambah dengan perawatan tubuh mulai dari salon,

spa, dan klub fitnes.

4. Situasi ekonomi.

Sudah dikatakan oleh Kartajaya dkk (2004) bahwa pria metroseksual

biasanya berasal dari kalangan dengan penghasilan ekonomi yang besar.

Oleh karena itu, besarnya materi yang dikeluarkan untuk menunjang

perilaku konsumtif yang mereka lakukan bukan menjadi masalah.

5. Gaya hidup.

Gaya hidup pria metroseksual jelas berbeda dibandingkan pria

kebanyakan. Mereka biasa melakukan pleasure shopping dibandingkan

purpose shopping di mall - mall, mereka biasa berinteraksi dari cafe ke

cafe (social butterflies) yang jelas tidak mungkin hanya menghabiskan

biasa yang sedikit dan masih banyak gaya hidup lainnya (Kartajaya dkk,

2004).

6. Gabungan antara motivasi, persepsi, pengetahuan, keyakinan dan sikap

dari pria metroseksual itu sendiri.

Semua hal ini dipengaruhi iklan, pergaulan, keadaan dan suasana

lingkungan kerja, respon klien, konsumsi dunia hiburan dan masih

banyak hal lain.

Gabungan faktor – faktor ini semakin memperjelas betapa pria

metroseksual benar - benar target market yang potensial untuk dibidik.