Upload
arsyi-adliah-anwar
View
111
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa adalah aspek penting interaksi manusia. Dengan bahasa,
(baik itu bahasa lisan, tulisan, maupun isyarat) orang akan melakukan suatu
komunikasi dan kontak sosial. Bahasa juga dipandang sebagai cermin
kepribadian seseorang karena bahasa diterjemahkan sebagai refleksi rasa,
pikiran, dan tingkah laku. Adakalanya seorang yang pandai dan penuh
dengan ide-ide cemerlang harus terhenti hanya karena dia tidak bisa
menyampaikan idenya dalam bahasa yang baik. Oleh karena itu, seluruh ide,
usulan, dan semua hasil karya pikiran tidak akan diketahui dan dievaluasi
orang lain bila tidak dituangkannya dengan bahasa yang baik.
Menurut pendapat Sumarsono dan Partana (2002:20)
bahwa bahasa sering dianggap sebagai produk sosial atau produk budaya yang merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan, perilaku masyarakat, dan penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa. Bahasa bisa dianggap sebagai “cermin zamannya” artinya bahwa bahasa di dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi dalam masyarakat. Bahasa menunjukkan karakteristik dan budaya bangsa yang menggunakan bahasa tersebut.
Demikian juga dalam memelajari bahasa Jepang, selain kita
mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan bidang fonetik, morfologi,
semantik, sintaksis bahasa Jepang, penting juga mempelajari bahasa ditinjau
dari sosial budaya masyarakat Jepang itu sendiri.
1
2
Komunikator antarbudaya yang efektif bukan hanya memiliki
kompetensi gramatik dan kompetensi komunikatif, melainkan juga
kompetensi budaya yang mengarah pada empati rasa hormat terhadap
adanya perbedaan budaya. Dengan demikian, tujuan-tujuan komunikasi
dapat dicapai dengan lancar dan akan menguntungkan kedua belah pihak,
yakni penutur dan mitra tutur.
Ketika berbicara dengan menggunakan bahasa tertentu, kita harus
memperhatikan juga norma-norma yang berlaku dalam budaya tempat
bahasa tersebut digunakan. Tindak berbahasa menurut norma-norma budaya
ini disebut “etika berbahasa”. Etika berbahasa ini antara lain akan
mengatur:
1. Apa yang harus kita ucapkan pada waktu dan keadaan tertentu
kepada seorang partisipan tertentu, berkenaan dengan status sosial
dan budaya dalam masyarakat itu.
2. Ragam bahasa apa yang paling wajar kita gunakan dalam situasi
sosiolinguistik dan budaya tertentu.
3. Kepada siapa dan bagaimana kita mempergunakan giliran berbicara
kita dan menyela pembicaraaan orang lain.
4. Kapan kita harus diam.
5. Bagaimana kualitas suara dan sikap fisik kita dalam berbicara.
Semua contoh etika berbahasa di atas, sering digunakan dalam
percakapan kehidupan kita sehari-sehari, tergantung situasi dan kondisinya.
Percakapan juga dapat dilakukan secara efektif dan efisien, yakni dengan
3
selalu memegang teguh prinsip kerja sama dalam komunikasi dengan selalu
mengatakan sesuatu yang telah terbukti kebenarannya, mengatakan apa yang
diperlukan saja, mengatakan sesuatu yang relevan dan berguna serta
mengatakan sesuatu secara jelas dan singkat.
Bagi masyarakat Jepang dalam penyampaian bahasa atau dalam
percakapan mereka sehari-hari, yaitu “….tidak mengungkapkan pokok
pembicaraan secara langsung seperti yang dilakukan orang barat yang suka
berterus terang dan menghendaki kejelasan dan ketegasan” (Edizal,
2001:34). Lebih lanjut Edizal mengatakan bahwa masyarakat Jepang suka
memutar-mutar kata sebelum masuk ke pokok pembicaraan, bahkan kadang-
kadang tidak mengatakan inti percakapan secara eksplisit (terang-terangan)
melainkan hanya secara tersirat untuk menimbulkan kenyamanan dan
keramahan tanpa menyinggung orang lain. Begitu juga halnya ketika
penutur Jepang menyampaikan suatu penolakan kepada lawan bicaranya.
Tindak tutur adalah suatu perbuatan tutur yang lebih mengacu
kepada makna dari ucapan yang dimaksudkan oleh si penutur. Tindak tutur
juga merupakan gejala individual, bersifat psikologis dan
keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam
menghadapi situasi tertentu.
Tindak tutur menolak merupakan salah satu dari tindak tutur yang
berkaitan dengan mitra tutur. Dalam hal menolak, penutur dihadapkan pada
sebuah pilihan yang sulit. Di satu pihak penutur untuk tetap mematuhi
prinsip keharmonisan komunikasi, tetapi di lain pihak dia harus melanggar
4
atau bahkan mengabaikan prinsip-prinsip tadi. Dalam hal ini kesantunan
berbahasa sangat diperlukan agar mitra tutur tidak kehilangan muka. Hal
lain yang menarik untuk diketahui tentang tindak tutur menolak adalah
bagaimana menafsirkan sebuah penolakan yang diungkapkan secara tidak
langsung. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa masyarakat
Jepang merupakan penutur yang menggunakan pertuturan tidak langsung.
Pertuturan langsung bagi masyarakat Jepang bisa dianggap tidak sopan.
Pertuturan masyarakat Jepang yang tidak lansung tersebut menyebabkan
pembelajar bahasa Jepang akan merasa sulit untuk bisa memahami tindak
tutur menolak dalam komunikasi orang Jepang.
Pada umumnya masyarakat di Jepang, ishin denshin masih dominan
sebab budaya malu itu sudah terbenam dalam diri orang Jepang akibat
budaya dan tradisi yang mereka jalani dalam kehidupannya.
Seperti dikemukakan Kanemoto,et.al. (2002) sebagai berikut :
。。。日本人 は じこお 出超 する こと を あまり 子の輪内 公民 出ある という こと が いえます。それ は、たんにん に あわせる ほう が たいりつ する こと も なく、こと が すうまず に はこぼ と かんがえて いる から です。「ほんね と たてまえ さんしょう」。たんにん に たいし自分 が 思って いる こと をそのまま 言うのは、たんにんをきずつけてしまうのではと考えてしまうのです。‘...nihonjin wa jikoo shucchoo suru koto wo amari konomanai’ koumin de aru to iu koto ga iemasu. Sore wa, tannin ni awaseru hoo ga tairitsu suru koto mo naku, koto ga suumazu ni hakobo to kangaete iru kara desu. (honne to tatemae sanshoo). Tanin ni taishi, jibun ga omotte iru koto wo sono mama iu no wa, tannin wo kizutsukete shimau node wa, to kangaete shimau no desu.’‘…Jelas sekali bahwa orang Jepang tidak begitu mengharapkan mengemukakan opini atau pendapat sendiri sebab ia khawatir pendapatnya itu menyinggung perasaan lawan bicaranya, yang akhirnya dikhawatirkan pula merusak harmonisasi hubungan antara
5
dia dengan lawan bicaranya.’
Setidak-tidaknya ada tiga strategi yang mendasari kepribadian orang
Jepang ketika mereka mesti menyampaikan ide atau gagasannya supaya
tidak menyinggung perasaan lawan bicaranya, yakni:
1. Menyerahkan kembali pendapat itu terhadap lawan bicara.
2. Tidak merespon atau diam sesuai dengan situasi dan kondisi.
3. Digunakan ungkapan-ungkapan yang samar.
Ketiga butir di atas menyerap pada aspek kehidupan orang Jepang
secara alamiah. Seperti yang dikemukakan di bawah ini bahwa ketika orang
Jepang memohon sesuatu kepada orang lain sering mempertimbangkan
lawan bicaranya. Hal ini sering kita temui pada saat mereka menolak
permohonan atau lamaran seseorang. Penulis sendiri sering dihadapkan
pada seseorang yang sebenarnya ia mau, namun dengan adanya perasaan
malu itulah ia seolah-olah menolak secara halus. Dalam kontes seperti inilah
kita sering dibuat bingung, apakah yang bersangkutan menolak atau tidak
menolak. Kalau kita terus-menerus menawarkannya, kemudian pada
akhirnya yang bersangkutan menerima tawaran kita, maka dapat
disimpulkan bahwa ekspresi perasaan malu orang tersebut hanyalah basa-
basi. Yang jelas, dalam masyarakat Jepang, dan mungkin umumnya pada
masyarakat Asia, perasaan malu ini bisa hilang atau terusir apabila terjadi
frekuensi kepentingan yang cukup tinggi pada diri seseorang.
6
Kaitanya dengan orang Jepang ini, dalam buku Japanese for Today
(Gakken, 1990:212, edisi bahasa Inggris) ada teks yang berjudul “The
Japanese”, yang di dalamnya tertulis uraian seperti berikut:
The Japanese people have long avoided making direct and explicit judgments of good or bad. Instead, care is taken to consider the other person’s position and not to hurt his feelings, and this has become an ingrained habit. Although English uses ‘yes’ when the respondent’s answer is affirmative and ‘no’ when it is negative, the Japanese “hai” and “iie” depend upon the phrasing of the question. Thus ‘Dont’t you want to go ?’ is answered with ‘Yes, I don. ‘or ‘No. I do.’ In accordance with the asker’s assumption that the person does not want to go.
Uraian tersebut menyiratkan bahwa bangsa Jepang adalah bangsa
yang mempunyai sikap toleransi yang tinggi. Mereka selalu berusaha
menghindari sikap-sikap konfrontatif dengan orang yang dijadikan lawan
bicaranya sehingga mereka kurang “mampu” mengatakan secara tegas
antara “Ya” dan “Tidak” terhadap lawan bicaranya. Oleh sebab itu, sangat
wajar dalam masyarakat Jepang sering ditemukan berbagai kesamaran di
balik pernyataannya. Tentunya, itu semua diakibatkan adanya kesadaran
orang Jepang terhadap hubungan timbal balik antara perasaan malu, etika,
dan toleransi.
Kaitannya dengan kesamaan di balik pernyataan orang Jepang ini,
Rowland (1992) yang disitir Dahidi (2001:135) dalam makalahnya berjudul
“Kesamaran di Balik Pernyataan Orang Jepang”, dikemukakan bahwa
strategi orang Jepang ketika melakukan penolakan itu selalu tersamar antara
lain dengan cara meminta maaf, bersikap diam, menanyakan mengapa anda
ingin mengetahuinya, bersikap samar-samar, atau menjawab dengan
7
sebuah gaya bahasa halus yang artinya tidak.
Berikut ini beberapa contoh penolakan halus orang Jepang yang
sifatnya samar, yakni:
1. “Saya akan memeriksanya dan melakukan apa saja yang saya
dapat lakukan.”
私はそれをチェックアウトするだろうと私は何を得るか。
2. “Saya akan melakukan yang terbaik setelah saya membahasnya.”
私はそれを議論した後に、最善を尽くします。
3. “Saya akan memikirkan hal itu.”
私はそれについて考えてみま す。
4. “Akan saya tangani dengan sebaik-baiknya, sejauh saya bisa.”
私も、私の知る限りすることができます処理されます。
5. “Itu sangat sulit.”
これは非常に困難です。
6. “Akan saya pertimbangkan untuk masa yang akan datang.”
私は将来のために考慮されます。
7. “Saya akan berusaha keras.”
頑張ってみます。
8. “Saya kurang yakin.”
私はよく分からない。
8
Penulis menggunakan novel あらし
嵐 の中のマニャール (arashi no naka
no manyaru) sebagai media untuk menganalisa kotowari hyogen, karena
adanya tantangan tersendiri bagi penulis. Selain itu, novel ini juga
menampilkan jenis-jenis kotowari hyogen. Salah satu kutipan didalam novel
yang mengandung kotowari hyogen sebagai berikut:
1.「まちがえたの、私が。私のととりかえ取 替 ましょう。」ジャナは
こうぎ抗 議 した。
Machi ga eta no,watashi ga.watashi no torikaekaemashyoo.”jyona wa
kougishita
Saya yang salah, Tik sini saya ganti
「おお、いいですとりかえ取 替 ないで、お母さん。
すわ坐 って
した下 い
ゆっくりお すわ坐 りになって。おまえもおあがり、アティク。」
Oo, iidesutorikaenaide, obasan. Suatteshitai,yukkurio suwari ni natte.
Omaemooagari, ateiku.
Dik Jon protes: “O-o-o tidak perlu, jangan Bu. Ibu duduk saja, dan
makan tenang. Kau juga makan, Atik sayang.
9
(あらし
嵐 の中のマニャール、1981:284 )
Pada percakapan di atas terdapat unsur kotowari hyogen. Kita dapat
lihat pada kalimat di bawah ini yang di garis bawahi.
「おお、いいですとりかえ取 替 ないで、お母さん。」
O-o-o tidak perlu, jangan Bu, ibu duduk saja. Pada kalimat ini menjelaskan
kalau si Ibu menolak secara tidak langsung, kalau tehnya diganti.”
2.「マス。テト、何時にきゅうでん
宮 殿 へいきたいの?」
Masu. Teto, nanji ni kyuuden e ikitai no?
Mas Teto ingin jam berapa ke istana?
「いきたいことはいきたいのさ。しかしきょか許 可
10
をもらえるかどうか、それもわか分 らないし、」
Ikitai koto wa ikitainosa. Shikashi kyoka wo moraeru Kadoka, sore mo
Wakaranaishi,
Ingin sih ingin. Tetapi apa diijinkan, itulah soal juga,”
(あらし
嵐 の中のマニャール、1981:286-287 )
Pada percakapan di atas terdapat unsur kotowari hyogen. Kita dapat
lihat pada kalimat di bawah ini yang di garis bawahi.
「いきたいことはいきたいのさ。しかしきょか許 可 をもらえるかどうかそ
れもわか分 らないし、」
“Ingin sih ingin. Tetapi apa diijinkan, itulah soal juga.” Pada kalimat ini mas
Teto menolak ajakan secara tidak langsung, yang disertai dengan alasan.
Sehubungan dengan hal yang di atas, penulis meneliti tindak tutur
menolak orang Jepang (kotowari hyogen) dalam masyarakat Jepang, tetapi
11
disini penulis lebih mengkhususkan pada novel あらし
嵐 の中のマニャール(arashi
no naka no manyaru) sebagai pusat kajian skripsi. Karena pertama, penulis
sangat tertarik dengan tingkat kesopanan orang Jepang. Jika kita bandingkan
tindak tutur menolak dalam masyarakat Indonesia, itu sangat jauh berbeda
dengan yang ada pada masyarakat Jepang. Karena pada masyarakat
Indonesia, mereka menolak secara langsung tanpa biasa menggunakan basa-
basi. Berbeda lagi kalau dengan masyarakat Jepang, mereka menolak secara
tidak langsung atau menggunakan basa-basi agar tidak menyinggung
perasaan mitra tutur. Perlu juga kita ketahui bahwa orang Jepang tidak
mengungkapkan verba ikimasen ‘tidak akan pergi’ atau ikitaku arimasen
‘tidak mau pergi’ ketika menolak ajakan lawan bicara, apalagi jika lawan
bicara itu dikatagorikan kurang begitu akrab, dan kepada atasan sendiri.
Sebab budaya orang Jepang adalah selalu berusaha menjaga harmonisasi
hubungan antara manusia supaya tidak menyinggung perasaan penutur dan
mitra tutur. Dari faktor inilah, biasanya pembelajar bahasa Jepang merasa
bingung jika si pembelajar bercakap dengan orang Jepang. Karena terkadang
orang Jepang ketika mengungkapkan perasaan menolak sering
mempertimbangkan perasaan lawan bicaranya terlebih dahulu, sebelum
menolak. Sehingga sering ditemukan kesamaran di balik pernyataannya
tersebut. Karena mereka betul-betul menghargai lawan bicaranya, sehingga
dia mencari cara untuk menolak secara halus. Dari sinilah penulis berpikir
untuk mengangkat judul “Analisis Penggunaan Tindak Tutur Menolak/
12
Kotowari hyougen dalam novel あらし
嵐 の 中 の マ ニ ャ ー ル (arashi no naka no
manyaru) suatu tinjauan Pragmatik”.
Dengan adanya penelitian mengenai tindak tutur menolak atau
kotowari hyogen dapat memberikan pengetahuan bagi para pembelajar
bahasa Jepang dapat mengetahui betapa pentingnya mempelajari kotowari
hyogen dalam masyarakat Jepang. Di sini penulis menkhususkan penelitian
kotowari hyogen yang ada pada novel あらし
嵐 の中のマニャール(arashi no naka
no manyaru). Agar para pembelajar bahasa Jepang selain dapat mengetahui
bentuk-bentuk percakapan kotowari hyogen yang ada pada novel あらし
嵐 の
中のマニャール (arashi no naka no manyaru), para pembelajar juga dapat mengetahui
cara mengkaji dan menganalisis percakapan yang mengandung kotowari hyogen
pada sebuah novel Jepang. Terus pembelajar juga dapat mengetahui teknik
menolak jika sementara bercakap dengan orang Jepang. Kemudian
pembelajar juga tidak merasa bingung jika mendapati ungkapan orang
Jepang dalam menolak secara tidak langsung atau samar-samar.
1.2 Identifikasi Masalah
Agar memperoleh analisis yang lebih jelas, maka penelitian ini
dibatasi hanya pada tindak tutur menolak dalam percakapan orang jepang.
Khususnya pada novel あらし
嵐 の中のマニャール (arashi no naka no manyaru).
Pada penelitian ini penulis mengidentifikasikan beberapa masalah, yakni:
13
1.2.1 Percakapan yang mengandung unsur tindak tutur menolak (kotowari
hyogen)
1.2.2 Bentuk ungkapan tindak tutur menolak (kotowari hyogen)
1.2.3 Penggunaan tindak tutur menolak (kotowari hyogen)
1.3 Batasan Masalah
Dalam penelitian ini penulis memberikan batasan masalah yang akan
dikaji. Batasan masalah ini memudahkan penulis untuk menguraikan persoalan-
persoalan yang akan dibahas.
Membahas mengenai tindak tutur menolak (kotowari hyogen) sangatlah
luas. Oleh karena itu, penulis membatasi penelitian ini hanya pada percakapan
yang mengandung unsur tindak tutur menolak (kotowari hyogen) dan ungkapan-
ungkapan yang digunakan dalam kotowari hyogen pada novel あらし
嵐 の中のマニャー
ル (arashi no naka no manyaru)
1.4 Rumusan Masalah
I.4.1 Menentukan percakapan yang mengandung unsur kotowari hyogen
yang ada dalam novel あらし
嵐 の中のマニャール(arashi no naka no
manyaru).
I.4.2 Ungkapan apa saja yang digunakan dalam kotowari hyogen dalam
novel あらし
嵐 の中のマニャール (arashi no naka no manyaru)?
1.5 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
14
1.5.1 Tujuan Penelitian
1. Dapat membantu para pembelajar bahasa Jepang agar mengetahui
bentuk-bentuk percakapan yang mengandung unsur tindak tutur
menolak (kotowari hyogen) yang biasa digunakan dalam
keseharian oleh orang Jepang dan bagaimana cara
menganalisisnya.
2. Agar para pembelajar bahasa Jepang dapat mengetahui secara lebih
mendalam tentang ungkapan tindak tutur menolak (kotowari
hyogen) yang sering digunakan dalam keseharian oleh orang
Jepang.
3. Agar para pembelajar bahasa Jepang dapat mengetahi teknik dan
strategi menolak orang jepang.
1.5.2 Kegunaan Penelitian
1. Menambah pemahaman lebih mendalam tentang ungkapan tindak
tutur menolak (kotowari hyogen) pada percakapan orang Jepang.
2. Membantu para pembelajar bahasa Jepang dalam memahami
penggunaan tindak tutur menolak (kotowari hyogen) dalam
percakapan orang Jepang.
3. Memberi pengetahuan tambahan bagi pembelajar bahasa Jepang
tentang teknik dan strategi menolak orang jepang.
15