56
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring perkembangan zaman ilmu hukum pun mengalami perkembangan salah satunya berkaitan dengan hukum kusus yang membahas masalah tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia dalam bidang ilmu kedokteran forensik dan medikolegal (Mun’im, 2009). Hal tersebut terikat dengan semakin banyaknya masalah kesehatan yang tidak dapat disepelekan bahkan sering kali merenggut nyawa seseorang, seperti kecelakaan, pembunuhan, bunuh diri, dan lain sebagainya dimana hal tersebut perlu ditindak lanjuti untuk mengusut alur dari kejadian demi kepentingan penyelidikan lebih lanjut oleh pihak berwajib. Dalam pengusutan dibutuhkan kesabaran, serta ketelitian tinggi karena kondisi mayat yang ditangani berbeda-beda sesuai dengan kasus serta bukti-bukti fisik yang terlihat dan masih tersisa. Tidak jarang pula dokter spesialis forensik pun angkat tangan karena kondisi dan keadaan mayat yang tidak lagi dapat dilakukannya otopsi, oleh karena itu peran dokter gigipun dalam hal ini juga ikut mengambil bagian. Oleh karena itu dalam makalah ini, kami membahas beberapa hal yang perlu diketahui tentang hal-hal penting terkait kedokteran forensik itu sendiri, serta hal-hal apa yang ada di dalamnya. 1

BAB I skenario 4 b333

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kfhfkdfgkgf

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangSeiring perkembangan zaman ilmu hukum pun mengalami perkembangan salah satunya berkaitan dengan hukum kusus yang membahas masalah tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia dalam bidang ilmu kedokteran forensik dan medikolegal (Munim, 2009). Hal tersebut terikat dengan semakin banyaknya masalah kesehatan yang tidak dapat disepelekan bahkan sering kali merenggut nyawa seseorang, seperti kecelakaan, pembunuhan, bunuh diri, dan lain sebagainya dimana hal tersebut perlu ditindak lanjuti untuk mengusut alur dari kejadian demi kepentingan penyelidikan lebih lanjut oleh pihak berwajib.Dalam pengusutan dibutuhkan kesabaran, serta ketelitian tinggi karena kondisi mayat yang ditangani berbeda-beda sesuai dengan kasus serta bukti-bukti fisik yang terlihat dan masih tersisa. Tidak jarang pula dokter spesialis forensik pun angkat tangan karena kondisi dan keadaan mayat yang tidak lagi dapat dilakukannya otopsi, oleh karena itu peran dokter gigipun dalam hal ini juga ikut mengambil bagian.Oleh karena itu dalam makalah ini, kami membahas beberapa hal yang perlu diketahui tentang hal-hal penting terkait kedokteran forensik itu sendiri, serta hal-hal apa yang ada di dalamnya. 1.2 Rumusan MasalahApakah rekam medis menunjang keberhasilan otpsi1.3 TujuanUntuk mengetahui rekam medis menunjang keberhasilan otpsi1.4 ManfaatDapat mengetahui rekam medis menunjang keberhasilan otpsi1.5 HipotesaRekam medis menunjang keberhasilan otpsi.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1 Forensik2.1.1 Pengertiana. Ditinjau Dari Bidang HukumIlmu forensik adalah sebuah ilmu pengetahuan yang ditujukan untuk membantu proses peradilan, terutama dalam bidang pembuktian (David Owen, 2000).b. Ditinjau Dari Bidang KedokteranIlmu kedokteran forensik adalah bagian dari ilmu kedokteran yang berhubungan dengan kesaksian dan informasi yang dipaparkan di pengadilan atau merupakan keputusan quasi-yudisial. Contohnya, informasi medis dan kesaksian yang biasanya dipaparkan sebelum pembelaan dan pengadilan. Begitu juga dengan investigasi hukum yang formal akan dipertimbangkan dari hasil forensik (Wecht, 1994).c. Secara UmumIlmu forensik (biasa disingkat forensik) adalah sebuah penerapan dari berbagai ilmu pengetahuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang penting untuk sebuah sistem hukum yang mana hal ini mungkin terkait dengan tindak pidana. Namun disamping keterkaitannya dengan sistem hukum, forensik umumnya lebih meliputi sesuatu atau metode-metode yang bersifat ilmiah (bersifat ilmu) dan juga aturan-aturan yang dibentuk dari fakta-fakta berbagai kejadian, untuk melakukan pengenalan terhadap bukti-bukti fisik (contohnya mayat, bangkai, dan sebagainya).2.1.2 Fungsi ForensikFungsi utama dari Ilmu Kedokteran Forensik adalah untuk membantu proses penegakan hukum dan keadilan, khususnya didalam perkara pidana yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia (Muniim, Abdullah, dkk, 2009). Dan Fungsi Penyelidikan adalah merupakan fungsi teknis reserse Kepolisian yang mempunyai tujuan membuat suatu perkara menjadi jelas, yaitu dengan mencari menemukan kebenaran materil yang selengkap-lengkapnya tentang suatu perubahan atau tindak pidana yang terjadi (Munin dan Legowo, 2008).Penyidikan adalah suatu proses untuk mempelajari dan mengetahui apa yang telah terjadi dimasa lampau dan dalam kaitannya dengan tujuan dari penyelidikan itu sendiri. Penyidik dengan seyogianya harus melakukan penyidikan dengan sebaik baiknya. Dalam menjalankan tugas tugas yang dibebankan di penyidik, pada umumnya penyidik, pada umumnya Penyidik memanfaatkan sumber sumber informasi untuk membuat terang suatu perkara (Munin dan Legowo, 2008).Sumber- sumber informasi yang dipakai Penyidik untuk mengetahui apa yang telah terjadi adalah :1. Barang-barang bukti (physical evidence),seperti :a) Anak pelurub) Bercak darahc) Jejak (impression), dari alat, jejak ban, jejak dari sepatu dan lain sebagainya.d) Narkotikae) Tumbuh-tumbuhan (Munin dan Legowo, 2008).2. Document serta catatan-catatan, seperti :a) Cek palsub) Surat penculikanc) Tanda- tanda pengenal dri lainnyad) Catatan tentang ancaman (Munin dan Legowo, 2008).3. Orang-orang, seperti :a) Korbanb) Saksi matac) Tersangka pelaku kejahatand) Hal-hal lain yang berhubungan dengan korban, tersangka dan keadaan di TK (Munin dan Legowo, 2008).2.1.3 Metode ForensikIdentifikasi forensik pada dasarnya terdiri dari 2 (dua) metode utama, yaitu:a. Identifikasi komparatif, yaitu apabila tersedia data post mortem (pemeriksaan jenazah) dan ante - mortem (data sebelum meninggal, mengenai ciri-ciri fisik, pakaian, identitas khusus berupa tahi lalat, bekas luka/operasi, dll), dalam suatu komunitas yang terbatas (Amir, 2003).b. Identifikasi rekonstruktif, yaitu apabila tidak tersedia data ante-mortem dan dalam komunitas yang tidak terbatas/plural (Amir, 2003).Identitas seseorang dapat dipastikan apabila paling sedikit 2 (dua) metode yang digunakan memberikan hasil yang positif (tidak meragukan), dari 9 (sembilan) metode yang akan dijelaskan satu per satu berikut ini:1. Metode Identifikasi VisualMetode ini dilakukan dengan cara memperlihatkan jenazah pada orang-orang yang merasa kehilangan anggota keluarga atau temannya. Cara ini hanya efektif pada jenazah yang belum membusuk sehingga masih memungkinkan untuk dikenali wajahnya dan bentuk tubuhnya oleh lebih dari satu orang (Amir, 2003).2. Metode Identifikasi DokumenDokumen seperti kartu identitas/KITAS, baik berupa SIM, KTP, paspor, dsb. yang kebetulan dijumpai dalam saku pakaian yang dikenakan jenazah akan sangat membantu mengenali jenazah tersebut. Dalam kasus-kasus bencana massal, kita hendaknya mengikuti prosedur DVI (Disaster Victim Identification) yang berlaku secara internasional, yang mana hal ini diterapkan pada kasus Bom Bali I dan II (Amir, 2003).3. Metode Identifikasi PropertiProperti berupa pakaian dan perhiasan yang dikenakan jenazah mungkin dapat diketahui merk atau nama pembuat, ukuran, inisial nama pemilik, badge, ataupun hal lainnya, yang dapat membantu identifikasi walaupun telah terjadi pembusukan pada jenazah tersebut. Khusus anggota TNI, masalah identifikasi dipermudah dengan adanya nama serta NRP yang tertera pada kalung logam yang dipakainya (Amir, 2003).4. Metode Identifikasi MedikMetode ini menggunakan parameter berupa tinggi badan, berat badan, warna rambut, warna mata, cacat/kelainan khusus, tato/rajah, dll. Secara singkat, bisa dikatakan bahwa ciri-ciri fisik korban yang diperhatikan. Metode ini mempunyai nilai yang tinggi, karena selain dilakukan oleh tenaga ahli dengan menggunakan berbagai cara atau modifikasi (termasuk pemeriksaan dengan sinar X, USG, CT-scan, laparoskopi, dll. bila diperlukan), sehingga ketepatannya cukup tinggi. Bahkan pada kasus penemuan tengkorak/kerangka pun masih dapat dilakukan metode identifikasi ini. Melalui metode ini, dapat diperoleh data tentang jenis kelamin, ras, perkiraan umur, tinggi badan, kelainan pada tulang, dan data-data lainnya dari korban yang ditemukan (Amir, 2003).5. Metode Identifikasi SerologikPemeriksaan serologik bertujuan untuk menentukan golongan darah jenazah. Penentuan golongan darah pada jenazah yang telah membusuk dapat dilakukan dengan memeriksa rambut, kuku, dan tulang (Amir, 2003).6. Metode Identifikasi GigiPemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi (odontogram) dan rahang yang dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan secara manual, sinar X, dan pencetakan gigi serta rahang. Odontogram tersebut memuat data tentang jumlah, bentuk, susunan, tambalan, protesa (gigi palsu), dan lain sebagainya. Seperti halnya dengan sidik jari, maka setiap individu memiliki susunan gigi yang khas. Dengan demikian, dapat dilakukan identifikasi komparatif dengan cara membandingkan data temuan post-mortem dengan data ante-mortem korban (Amir, 2003).7. Metode Identifikasi Sidik JariMetode ini membandingkan gambaran sidik jari jenazah dengan data sidik jari ante-mortem orang tersebut. Penanganan terhadap jari-jari tangan jenazah harus dilakukan sebaik dan sehati-hati mungkin, misalnya dengan melakukan pembungkusan kedua tangan jenazah dengan kantong plastik. Sistim sidik jari yang sekarang dipakai dikenal dengan sistim Henry. Menurut Henry, pada tiap jari terdapat suatu gambar sentral yang terbagi menjadi 4 (empat) macam, yaitu busur (arc), tented arc, gelung (loop), ikal (whorl), serta bisa pula merupakan campuran/majemuk (composite). Selanjutnya, garis-garis tersebut dapat membentuk berbagai maxam konfigurasi (ciri), seperti delta, tripod, kait, anastomose, dll. Identifikasi sidik jari dinyatakan positif bila terdapat minimal 16 (enam belas) ciri yang sama, di mana secara matematis untuk memperoleh sidik jari yang persis sama (dengan 16 ciri yang sama tersebut) kemungkinannya adalah 1:64.000.000.000 (satu berbanding enam puluh empat milyar) (Amir, 2003).8. Metode Identifikasi DNAMetode ini merupakan salah satu dari 3 metode primer identifikasi forensik. Metode ini menjadi semakin luas dikenal dan semakin banyak digunakan akhir-akhir ini, khususnya pada beberapa kasus bencana alam dan kasus-kasus terorisme di Indonesia, misalnya kasus Bom Bali I dan II, Bom JW Marriott, Bom Kuningan, kasus tenggelamnya KMP Levina, dll. Kasus bom bunuh diri di GBIS Solo pun menggunakan metode ini. Pemeriksaan sidik DNA diperkenalkan pertama kali oleh Jeffreys pada tahun 1985. Metode ini umumnya membutuhkan sampel darah dari korban yang hendak diperiksa, namun demikian dalam keadaan tertentu di mana sampel darah tidak dapat diambil, maka dapat pula diambil dari tulang, kuku, dan rambut meskipun jumlah DNA-nya tidak sebanyak jumlah DNA dari sampel darah. DNA dapat ditemukan pada inti sel tubuh (DNA inti) ataupun pada mitokondria (organ dalam sel yang berperan untuk pernafasan sel-sel tubuh) yang biasa disebut DNA mitokondria. Untuk penentuan identitas seseorang berdasarkan DNA inti, dibutuhkan sampel dari keluarga terdekatnya. Misalnya, pada kasus Bom GBIS Solo baru-baru ini, sampel DNA yang didapat dari korban tersangka pelaku bom bunuh diri akan dicocokkan dengan sampel DNA yang didapat dari istri dan anaknya. DNA inti anak pasti berasal setengah dari ayah dan setengah dari ibunya. Namun demikian, pada kasus-kasus tertentu, bila tidak dijumpai anak-istri korban, maka dicari sampel dari orang tua korban. Bila tidak ada juga, dicari saudara kandung seibu, dan diperiksakan DNA mitokondrialnya karena DNA mitokondrial diturunkan secara maternalistik (garis ibu) (Amir, 2003).9. Metode EksklusiMetode ini digunakan pada kasus kecelakaan massal yang melibatkan sejumlah orang yang dapat diketahui identitasnya, misalnya penumpang pesawat udara, kapal laut, kereta api, dll. Bila sebagian besar korban telah dapat dipastikan identitasnya dengan menggunakan metode-metode tersebut di atas, sedangkan identitas sisa korban tidak dapat ditentukan, maka sisa korban diidentifikasi menurut daftar penumpang (Amir, 2003).2.1.4 Peranan Ilmu ForensikMenurut David Owen (2000) cit Utomo M.P (2005), peran ilmu forensik dalam memecahkan kasus kriminal antara lain:a. Mengetahui tersangka dari suatu tindak kejahatanb. Menentukan apakah tersangka bisa dikenai hukumanc. Menentukan keaslian suatu tulisan atau dokumend. Mengidentifikasi korban kejahatan atau bencanaMenurut Wirasutra (2009), dalam perkembangannya bidang kedokteran forensik tidak hanya berhadapan dengan mayat (atau bedah mayat), tetapi juga berhubungan dengan orang hidup. Dalam hal ini peran kedokteran forensik meliputi:a. Melakukan otopsi medikolegal dalam pemeriksaan untuk mengungkap sebab-sebab kematian, apakah mati wajar atau tidak wajar, penyidikan ini juga bertujuan untuk mencari peristiwa apa yang sebenarnya telah terjadib. Identifikasi mayatc. Meneliti waktu kapan kematian itu berlangsung time of deathd. Penyidikan pada tindak kekerasan seperti kekerasan seksual, kekerasan terhadap anak dibawah umur, kekerasan dalam rumah tanggae. Pelayanan genetika/penelusuran keturunanf. Di negara maju kedokteran forensik juga menspesialisasikan dirinya pada bidang kecelakaan lalu lintas akibat pengaruh obat-obatan atau yang dikenal dengan driving under drugs influence.2.2 Otopsi2.2.1 Pengertian OtopsiIstilah lain untuk bedah mayat adalah autopsi, seksi, nekropsi, obduksi, pemeriksaaan post-mortem dan istilah belanda lijkschouwing. Kita mengenal 3 macam bedah mayat, yaitu bedah mayat anatomi, bedah mayat klinis, dan bedah mayat kehakiman (Hamdani dan Njowito, 1992).2.2.2 Macam-macam Otopsi1. Bedah Mayat AnatomiBedah mayat anatomi dilakukan untuk kepruan pendidikan mahasiswa fakultas kedokteran.bahan yanag dipakai adalah mayat yang dikirim kerumah sakit yang setelah disimpan 2x24 jam di laboratorium ilmu kedokteran kehakiman tidak ada ahli waris yang mengakuinya.setelah di awetkan di laboratorium anatomi,mayat disimpan sekurang kurangnya 1 tahun sebelum digunakan untuk praktikum anatomi. Menurut hokum hal ini dapat dipertanggung jawabkan sebab warisan yang tak ada yang mengakui menjadi milik Negara setelah 3 tahun(KUHP perdata pasal 1129). Ada kalanya,seseorang mewariskan mayatnya setelah ia meninggal pada fakultas kedokteran hal ini haruslah sesuai dengan KUHP pasal 935 (Hamdani dan Njowito, 1992).2. Bedah Mayat KlinisBedah mayat klinis dilakukan dengan tujuan menentukan sebab kematian,membuat diagnosa post-mortan bedah mayat klinis dilakukan dengan persetujuan tertulisahli waris,adakalanya ahli waris sendiri yang memintanya. autopsi klinik dilengkapi dengan pemeriksaan histopatologi, bakteriologi, seriologi, dan lain-lain.hasil bedah mayat klinis dengan persetujuan tertulis ahli waris dapat diminta untuk dijadikan visum et repertum atas permohonan penyidik (Hamdani dan Njowito, 1992).3. Bedah Mayat KehakimanBedah mayat kehakiman dilakukan atas permintaan penyidik sehubungan dengan adanya penyidikan suatu perkara pidana.kata bedah mayat kehakiman dalam bahasa belanda gerechtelijke lijkschouwing terdapat dalam KUHP pasal 33,KUHP pasal 222, catatan sipil eropa pasal 72, catatan sipil cina pasal 20 dan stbl.1871 no.91.autopsi kehakiman mutlak harus dikerjakan atas dasar pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam mayat (Hamdani dan Njowito, 1992).2.2.3 Tata Laksana Autopsi KehakimanTata laksana autopsy kehakiman di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya yaitu yang pertama menghadapi keluarga mayat adalah petugas ruang jenazah. Petugas tersebut harus member penjelasan mengenai adanya permohonan visum et repertum mayat dan oleh karena itu mayat harus dibedah. Biasanya, pihak keluarga mengajukan berbagai keberatan antara lain alasan agama. Sebenarnya tidak ada satu agama pun yang melarang autopsy termasuk agama Islam yang dinyatakan dalam Keputusan Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara Kementerian Kesehatan RI (Njowito, 1971).Secara Yuridis, persetujuan keluarga mayat tidak diperlukan seperti telah ditentukan dalam stbl. 1871/91. Karena dokter hanya merupakan pelaksana permohonan penyidik untuk melakukan autopsi, maka keluarga mayat yang dipersilakan mengajukan keberatannya kepada penyidik. Siapa dari penyidik yang berwenang mencabut surat permohonan visum et repertum mayat, ditentukan dalam instruksi Kapolri No. Pol:INS/E/20/IX/75 (Njowito, 1971).Jika permohonan keluarga mayat agar mayat tidak dilakukan autopsi dikabulkan, berarti terhadap mayat tidak dilakukan pemeriksaan sama sekali, dokter hanya menentukan korban benar-benar sudah meninggal dan kepada kelurga korban diberikan surat untuk penguburan. Penyidik sedapatnya harus mengusahakan supaya autopsi dapat dikerjakan secepatnya, karena iklim tropik yang panas mempercepat pembusukan yang sangat menyukarkan pemeriksaan bedah mayat. Sebelum dokter melakukan autopsi, penyidik harus member cukup keterangan mengenai peristiwa kepada dokter supaya pemeriksaan dapat ditujukan pada pemeriksaan tertentu dan ini hanya dapat dicapai bila ada kerja sama yang baik antara penyidik dan dokter (Njowito, 1971).Autopsi yang perlu mendapat perhatian pimpinan kepolisian adalah autopsi terhadap seorang yang meninggal dalam tahanan polisi, sedangkan sewaktu ia ditahan keadaannya adalah sehat walafiat. Pendapat Prof. M. Soetodjo Mertodjojo ini perlu dilaksanakan. Dengan adanya visum et repertum mayat, masyarakat dapat mengetahui apakah orang tahanan itu meninggal secara wajar, sakit TBC dan hati (liver, lever) atau meninggal karena roda paksa, penganiayaan. Bila meninggal karena penganiayaan, pimpinan dapat mengambil tindakan terhadap para oknum polisi dan kejadian seperti terjadi di Pontianak dapat dihindarkan (Njowito, 1971).2.2.4 Tujuan AutopsiMenurut Sarjadi (1999), tujuan autopsi adalah:1. Dapat dilakukan untuk tujuan legal atau medical.2. Informasi dari autopsi berguna untuk audit klinis, pendidikan, riset medis, dan pengalokasian sumber.3. Perbedaan diagnosis di jembatani dan diperbaiki dengan autopsi dengan 30% kasus.4. untuk menentukan penyebab kematian yang pasti, menganalisis kesesuaiaian antara diagnosis klinis dan diagnosis postmortem, patogenesis penyakit, dan sebagainya.5. Membantu penemuan identitas mayat.6. menentukan sebab kematian, mekanisme kematian, dan saat kematian.7. mengumpulkan dan memeriksa benda bukti untuk penentuan identitas benda penyebab dan pelaku kejahatan.8. membuat laporan tertulis obyektif berdasarkan fakta dalam bentuk visum et repertum.2.3 Rekam Medis2.3.1 Pengertian Rekam MedisDalam Permenkes No. 749/Menkes/Per/XII/1989 tentang RM, disebut pengertian RM adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan (KKI, 2009).2.3.2 Manfaat Rekam Medisa. Pengobatan PasienRekam medis bermanfaat sebagai dasar dan petunjuk untuk merencanakan dan menganalisis penyakit serta merencanakan pengobatan, perawatan, dan tindakan medis yang harus diberikan kepada pasien (KKI, 2009).b. Peningkatan Kualitas PelayananMembuat Rekam Medis bagi penyelenggaraan praktek kedokteran dengan jelas dan lengkap akan meningkatkan kualitas pelayanan untuk melindungi tenaga medis dan untuk pencapaian kesehatan masyarakat yang optimal (KKI, 2009).c. Pendidikan dan PenelitianRekam Medis yang merupakan informasi perkembangan kronologis penyakit, pelayanan medis, pengobatan dan tindakan medis, bermanfaat untuk bahan informasi bagi perkembangan pengajaran dan penelitian di bidang profesi kedokteran dan kedokteran gigi (KKI, 2009).d. PembiayaanBerkas Rekam Medis dapat dijadikan petunjuk dan bahan untuk menetapkan pembiayaan dalam pelayanan kesehatan pada sarana kesehatan. Catatan tersebut dapat dipakai sebagai bukti pembiayaan kepada pasien (KKI, 2009).e. Statistik KesehatanRekam Medis dapat digunakan sebagai bahan statistik kesehatan, khususnya untuk mempelajari perkembangan kesehatan masyarakat dan untuk menentukan jumlah penderita pada penyakit-penyakit tertentu (KKI, 2009).f. Pembuktian Masalah Hukum, Didiplin dan EtikRekam Medis merupakan alat pembuktian tertulis utama, sehingga bermanfaat dalam penyelesaian masalah hukum, disiplin dan etik (KKI, 2009).2.3.3 Tujuan Rekam MedisTujuan rekam medis adalah menunjang tercapainya tertib administrasi dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Tanpa didukung suatu sistem pengelolaan rekam medis yang baik dan benar, mustahil tertib administrasi rumah sakit akan berhasil sebagaimana yang diharapkan (Samil, 2001).Padahal,tertib administrasi merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pelayanan kesehatan di rumah sakit.Tujuan rekam medis secara terperinci akan terlihat dan terlihat pula analog dengan kegunaan rekam medis itu sendiri (Samil, 2001).a. Aspek AdministrasiSuatu berkas rekam medis mempunyai nilai administratif karena isinya menyangkut tindakan berdasarkan wewenang dan tanggung jawab sebagai tenaga medis dan paramedis dalam mencapai tujuan pelayanankesehatan (Samil, 2001).b. Aspek MedisSuatu berkas rekam medis mempunyai nilai medik, karena catatan tersebut dipergunakan sebagai dasar untuk merencanakan pengobatan dan perawatan yang harus diberikan kepada seorang pasien (Samil, 2001).c. Aspek HukumSuatu berkas rekam medis mempunyai nilai hukum karena isinya menyangkut masalah adanya jaminan kepastian hukum atas dasar keadilan dalam rangka usaha menegakkan hukum serta penyediaan bahan tanda bukti untuk menegakkan keadilan (Samil, 2001).d. Aspek KeuanganSuatu berkas rekam medis mempunyai nilai keuangan karena isinya dapat dijadikan nsebagai bahan untuk menetapkan pembayaran biaya pelayanan di rumah sakit. Tanpa bukti catatan tindakan pelayanan,pembayaran biaya pelayanan di rumah sakit tidak dapat dipertanggungjawabkan (Samil, 2001).e. Aspek PenelitianSuatu berkas rekam medis mempunyai nilai penelitian karena isinya mengandung data atau informasi yang dapat dipergunakan sebagai aspek penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dibidang kesehatan (Samil, 2001).f. Aspek PendidikanSuatu berkas rekam medis mempunyai nilai penelitian karena isinya menyangkut data informasi tentang perkembangan kronologis dan kegiatan pelayanan medik yang diberikan kepada pasien. Informasi tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan/referensi pengajaran dibidang profesi si pemakai (Samil, 2001).g. Aspek DokumentasiSuatu berkas rekam medis mempunyai nilai dokumentasi karena isinya menyangkut sumber ingatan yang harus didokumentasikan dan dipakai sebagai bahan pertanggungjawaban laporan rumah sakit. Dengan melihat beberapa aspek tersebut diatas, rekam medis mempunyai kegunaan yang sangat luas karena tidak hanya menyangkut hunbungan antara pasien dan pemberi pelayanan saja. Secara umum kegunaan rekam medis adalah sebagai berikut (Samil, 2001).a) Sebagai alat komunikasi anatara dokter dan tenaga ahli lainnya yang ikut ambil bagian di dalam memberikan pengobatan dan perawatan kepada pasienb) Sebagai dasar untuk merencanakan pengobatan dan perawatan yang harus diberikan kepada seorang pasienc) Sebagai bukti tertulis atas tindakan pelayanan,perkembangan penyakit,dan pengobatan selama opasien berkunjung dan dirawat di rumah sakitd) Sebagai bahan yang berguna untuk analisis,penelitian, dan evaluasi terhadap kualitas pelayanan yang diberikan kepada pasiene) Sebagai perlindungn kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit, maupun dokter dan tenaga kesehatan lainnyaf) Sebagai persediaan data khusus yang sangat berguna untuk keperluan penelitian dan pendidikang) Sebagai dasar perhitungan biaya pelayanan medik pasienh) Sumber ingatan yang harus didokumentasikan serta sebagai bahan pertanggungjawaban dan laporan (Samil, 2001).2.3.4 Isi Rekam Medisa) Catatan, merupakan uraian tentang identitas pasien, pemeriksaan pasien, diagnosis, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain baik dilakukan oleh dokter dan daokter gigi maupun tenaga kesehatan lainnya sesuai dengan kompetensinyab) Dokumen, merupakan kelengkapan dari catatan tersebut, antara, lain foto rontgen, hasil laboratorium dan keterangan lainnya sesuai, dengan kompetensi ilmunya (KKI, 2009).2.3.5 Dasar PelaksanaanPelaksanaan rekam medis di Indonesia didasarkan pada dasar hukum dan standar yang ditetapkan pada peraturan berikut:1. Pasal 46 Undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran.2. Peraturan Kesehatan nomor 749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang rekam medis.3. Keputusan Menkes nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Pelayanan Rumah sakit, Standar Pelayanan Rekam Medik, dam Manajemen Informasi Kesehatan.4. Keputusan Direktorat JendralPelayanan Medik nomor 78 tahun 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan penyelenggaraan rekam medik di rumah sakit.5. SK PB IDI nomor 319/A.4/88 mengenai pernyataan IDI tentang Informed Consent

2.4 Peran Dokter Gigi Dalam ForensikTugas dokter gigi dalam lingkup forensik adalah melakukan pemeriksaan terhadap keadaan mulut dan gigi dan hal-hal yang berhubungan dengan keadaan mulut dan gigi, contohnya : memeriksa bekas gigitan. Oleh sebab itu seorang dokter gigi dapat dilibatkan dalam pembuatan Visum et Repertum oleh dokter pembuat Visum et Repertum sebagai konsultan untuk memeriksa keadaan mulut dan geligi korban, karena dokter gigi tidak memiliki wewenang khusus untuk membuat Visum et Repertum (Ardan, 2008) Gigi merupakan salah satu sarana identifikasi yang dapat dipercaya apabila rekaman data dibuat secara baik dan benar. Selain itu, data berupa foto gigi semasa hidup dapat dipakai sebagai data pembanding dengan hasil pemeriksaan jenazah. Beberapa alasan dapat dikemukakan mengapa gigi dapat dipakai sebagai sarana identifikasi (Unair, 2008).Pertama, gigi adalah bagian terkeras dari tubuh manusia yang komposisi bahan organik dan airnya sedikit sekali dan sebagian besar terdiri atas bahan anorganik sehingga tidak mudah rusak, terletak dalam rongga mulut yang terlindungi dan dibasahi oleh air liur (Unair, 2008).Kedua, manusia memiliki 2 gigi dengan bentuk yang jelas dan masing-masing mempunyai lima permukaan. Dengan demikian, maka di dalam rongga mulut terdapat 160 permukaan gigi dengan berbagai variasi keadaan, yaitu baik, rusak, ditambal, dicabut, gigi tiruan, implant dll. Dengan asumsi jumlah penduduk sebanyak 3 milyar, maka kemungkinan terdapatnya dua orang dengan data gigi dan mulut yang identik adalah satu berbanding dua milyar penduduk. Selain itu melalui pengamatan gigi geligi, kita dapat memperoleh informasi tentang umur, ras, jenis kelamin, golongan darah, ciri-ciri khas, dan bentuk wajah atau raut muka korban (Unair, 2008).2.4.1 Peran Dalam Pidana Kasus ForensikKeterlibatan dokter gigi sehubungan dengan Kedokteran Gigi Forensik dapat dibagi menjadi 3 bidang (Cameron dan Sims, 1973) yaitu :a. Perdata non-kriminalb. Kriminalc. Penelitian (Ardan, 2008).Pada dasarnya dokter dan dokter gigi dalam membantu aparat penegak hukum dapat dibedakan atas (Prakoso, 1987) :1. Menurut Obyek Pemeriksaan :a. Orang hidupb. Jenazahc. Benda-benda atau yang berasal dari dalam tubuh (Ardan, 2008).2. Menurut Jasa Yang Diberikan :a. Melakukan pemeriksaan lalu mengemukakan pendapat dari hasil pemeriksaannya.b. Mengajukan atau mengemukakan pendapat saja (Ardan, 2008).3. Menurut Tempat Kerja :a. Di rumah sakit atau laboratoriumb. Pemeriksaan di tempat kejadianc. Di muka sidang pengadilan (Ardan, 2008).2.4.2 Peran Dalam Pemeriksaan ForensikTindakan Pertama Kedokteran Gigi Forensik di Tempat Kejadian Perkara (TKP). Perlu dilakukan tindakan pertama dokter gigi forensik di TKP oleh karena keadaan asli di TKP merupakan adegan terakhir yang masih merupakan bagian dari scenario kejahatan. Selain itu, gambaran yang seteliti mungkin di TKP yang belum berubah memberikan data penting tentang scenario kejahatan tersebut (Lukman, 2006).Tindakan pertama juga diperiukan untuk menyelamatkan bahan bukti penting yang dibutuhkan untuk analisa Kedokteran Gigi Forensik, (misal gigi-geligi yang berserakan), ada tindakan yang perlu dilakukan di TKP misalnya sampel liur pada bite-mark, pemotretan keadaan korban, dan sebagainya, ada faktor-faktor di TKP yang mungkin dapat mempengaruhi penilaian terhadap bahan bukti misalnya ada binatang di sekitar TKP, atau ada benda yang menimpa korban, dsb (Lukman, 2006).2.5 Visum Et RepertumDapat dikatakan, bahwa tugas utama dokter (ahli) dalam membantu penyidikan bagi kepentingan peradilan atas adanya tindak pidana adalah membuat visum et repertum yang kemudian dilampirkan dalam berkas perkara yang bersangkutan.Pengertian visum et repertum berasal dari kata visual yaitu melihat dan repertum yaitu melaporkan. Berarti apa yang dilihat dan diketemukan sehingga visum et repertum merupakan suatu laporan tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan sumpah, mengenai apa yang dilihat dan diketemukan atas bukti hidup, mayat atau fisik ataupun barang bukti lain, kemudian dilakukan pemeriksaan menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya.Oleh karena itu visum et repertum semata-mata hanya dibuat agar suatu perkara pidana menjadi jelas dan hanya berguna bagi kepentingan pemeriksaan dan untuk keadilan serta diperuntukkan bagi kepentingan peradilan.Dokter berperan utama sebagai pelaksana pembuatan visum et repertum khususnya dalam kasus-kasus kematian seseorang yang diduga sebagai korban tindak yang memerlukan dilakukannya tindakan bedah forensik (otopsi ) untuk memastikan penyebab kematian korban. Jika dilihat menurut sifatnya, ada berbagai macam visum et repertum antara lain:a. Visum Et Repertum Korban Hidup1. Visum Et RepertumVisum et repertum diberikan pada korban setelah diperiksa di dapatkan lukanya tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan.2. Visum Et Repertum SementaraMisalnya, visum yang dibuat bagi si korban yang sementara masih dirawat di rumah sakit akibat luka-lukanya karena penganiayaan.3. Visum Et Repertum Lanjutanmisalnya, visum bagi si korban yang tersebut (visum et repertum sementara) kemudian lalu meninggalkan rumah sakit ataupun akibat luka- lukanya tersebut si korban kemudian dipindahkan ke rumah sakit / dokter lain ataupun meninggal dunia.

b. Visum Et Repertum Pada MayatVisum et repertum pada mayat dibuat berdasarkan otopsi lengkap dengan kata lain berdasarkan pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam mayat.c. Visum Et Repertum Pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara ( TKP ).d. Visum Et Repertum Penggalian Mayat.e. Visum Et Repertum Mengenai Umur.f. Visum Et Repertum Psikiatrik.g. Visum Et Repertum Mengenai Barang Bukti2.6 Informed ConsentInformed Consent atau Persetujuan Tindakan Medik (PTM) adalah suatu cara bagi pasien untuk menunjukkan preferensi atau pilihannya. Secara harifiah Informed Consent memiliki dua unsur yaitu: 1) Informed yang dapat diartikan informasi yang telah diberikan dokter. 2) Consent yang diartikan sebagai persetujuan oleh pasien setelah memahami informasi yang telah diberikan oleh seorang dokter. Pasien mempunyai hak menerima dan menolak pengobatan, dan hak untuk meneriman dan menolak informasi dari dokternya sebelum memberikan atau persetujuan medik. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan no. 585 tahun 1989 yang menterjemahkan Informed Consent sebagai persetujuan yang diberikan pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut (Idris, Tjiptomartono, 2008).2.6.1 Dasar Hukum a. Pasal 45 ayat (1) UU no. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran yang menyatakan setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan (Idris, Tjiptomartono, 2008).b. Permenkes no. 585 tahun 1989 tentang persetujuan tindankan medis.Pasal 2:1) Semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.2) Persetujuan dapat diberikan secara tertulis atau lisan.3) Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat informai yang akurat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta resiko yang dapat ditimbulkannya.4) Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan dengan tindakan pendidikan serta kondisi dan situasi pasien .Pasal 3: 1) Setiap tindakan medik yang mengandung resiko tinggi harus dengan persetujuan tertulis yang ditanda tangani yang berhak memberikan persetujuan.2) Tindakan medik yang tidak termasuk sebagaimana dimaskud dalam pasal ini tidak diperlukan persetujuan tertulis, cukup persetujuan lisan3) Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat diberikan secara nyata atau diam (Idris, Tjiptomartono, 2008).2.6.2 Pemberian InformasiDalam pemberian informasi dokter diharapkan menjelaskan informasi yang sejelas-jelasnya, rinci, dan mudah difahami dan dimengeti oleh pasien. Informasi yang diberikan dokter sesuai pasal 45 ayat 3 UU no. 29 tahun 2004, harus mencakup: (a) diagnosis dan tata cara tindakan medis. (b) tujuan tindakan medis yang dilakukan. (c) alternatif tindakan lain dan resikonya. (d) resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi (e) prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.Pemberian informasi idealnya diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan medik, namun pada keadaan tertentu pemberian informasi kepada pasien dapat didelegasikan kepada orang lain. Dalam tatanan hukum Indonesia kewenangan memberikan informasi untuk tindakan bedah atau tindakan invasif lainnya hanya dapat didelegasikan pada dokter lain, sedangkan untuk tindakan bukan bedah atau bukan invasif, pemberian informasi dapat didelegasikan pada dokter lain atau perawat. Pemberian informasi yang didelegasikan ini harus atas petunjuk dokter yang melakukan tindakan medis dan tanggung jawabnya tetap berada pada dokter yang mendelegasikan (Idris, Tjiptomartono, 2008).2.6.3 Penerima Informasi Dan Pengambil Keputusan Menurut pasal 433 KUH Perdata, pasal 9 dan 10 Permenkes 585 tahun 1989, penerima informasi dan pengambil keputusan pada suatu Informed Consent adalah pasien sendiri, bila pasien dianggap cakap hukum. Cakap hukum yang dimaksud adalah pasien adalah orang dewasa (21 tahun atau lebih, atau telah menikah) yang dalam keadaan sadar dan sehat mental. Pasien yang belum dewasa atau dianggap tidak cakap hukum, dapat ikut menerima informasi, namun dalam pengambilan keputusan dilakukan oleh orang tua, wali atau kuratornya dengan mendengarkan pendapat pasien (Idris, Tjiptomartono, 2008). 2.6.4 Persetujuan dan Penolakan Tindakan MedisPada dasarnya pasien memiliki hak untuk menolak dan menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadapnya. Dalam konsep hukum, persetujuan tindakan medik adalah bagian dari suatu kontrak terapetik antar dokter dan pasien. Persetujuan tindakan medik dilakukan sebelum dan sesudah pasien berikatan kontrak untuk pengobatan. Informasi yang diberikan dan persetujuan dari pasien merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu perikatan / kontrak. Sebagai bagian dari kontrak, maka agar dapat dianggap sah, Informed Consent juga harus memenuhi syarat perjanjian sah dalam pasal 1320 KUH Perdata, yaitu: adanya kesepakatn mengikat diri, kecakapan untuk membuat perikatan, hak tertentu dan sebab yang halal. Selain itu Suatu persetujuan dianggap sah apabila: Pasien telah diberi penjelasan / informasi, pasien atau yang sah mewakilinya dalam keadaan cakap (kompeten) untuk memberikan keputusan / persetujuan, persetujuan harus diberikan secara sukarela (Idris, Tjiptomartono, 2008).Persetujuan tindakan medik secara praktis dalam praktik kedokteran dapat dibedakan atas dua bentuk, yaitu :1. Implied consent (persetujuan tersirat). Pasien menunjukkan tingkah laku yang berarti menyetujui. Contoh: pasien yang mengulurkan tangan saat akan diperiksa tekanan darahnya (Idris, Tjiptomartono, 2008).2. Expressed consent (persetujuan yang tidak dinyatakan). Persetujuan dinyatakan secara lisan atau tulisan. Menurut Permenkes no. 585 tahun 1989 tentang persetujuan tindankan medis. Pasal 2, poin 2: Persetujuan dapat diberikan secara tertulis atau lisan (Idris, Tjiptomartono, 2008).

2.6.5 Penolakan Tindakan MedikPenolakan tindakan medik elektif umumnya tidak menimbulkan konflik moral. Namun bila tindakan medik diperlukan untuk menyelamatkan jiwa pasien, dokter dihadapkan pada konflik etik. Pasien yang kompeten dapat menolak pengobatan, bahkan bila pengobatan tadi akan berakibat timbulnya kecacatan atau kematian. Tindakan dokter untuk menuruti penolakan tindakan medik pasien dibenarkan baik secara etik dan hukum Indonesia. Penolakan didokumentasikan dalam bentuk tertulis yang memiliki unsur yang sama dengan persetujuan. Dengan penolakan ini, tanggung jawab atas memburuknya keadaan pasien yang lain terkait dengan tindakan medis yang ditolak, tidak dibebankan pada dokter (Idris, Tjiptomartono, 2008).2.6.6 Sanksi Sesuai dengan sifat hukum yang memaksa, jika Persetujuan Tindakan Medis tidak dilakukan dalam paraktik kedokteran maka akan dikenai sanksi berupa sanksi administratif berupa pencabutan SIP, sanksi perdata jika menimbulkan kerugian diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata, dan sanksi pidana jika menimbulkan kerugian, karena kesengajaan, kelalaian hingga dapat dikenai delik, yang diatur dalam KUHP. Pelaksanaan sanksi yang satu tidak menghilangkan sanksi yang lain. Seseorang yang dikenai sanksi perdata dapat dikenai sanksi pidana dan administratif, apabila ia terbukti melakukan kesalahan pada bidang hukum yang bersangkutan (Idris, Tjiptomartono, 2008).Berdasarkan pasal 50 ayat (1) Undang-undang Kesehatan Nomor 23/1992 (Dep.Kes.RI, 1992), dalam kedudukannya sebagai tenaga kesehatan dokter gigi bertugas menjalankan kewajibannya sesuai dengan bidang keahlian dan kewenangannya. Sehubungan dengan tugas tersebut, sesuai pasal 22 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 32/1996 (Peraturan Pemerintah, 1996) tentang Tenaga Kesehatan, dokter gigi berkewajiban di antaranya untuk menghormati hak pasien dan menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien, karena hubungan dokter pasien didasarkan kepercayaan (Rachman, 2007). Berdasarkan pasal 322 ayat (1) KUHAP Pidana (Aksara Baru, 1998), apabila seorang dokter/dokter gigi dengan sengaja membuka rahasia jabatan dapat diancam pidana penjara atau membayar denda. Karena profesinya untuk menyimpan rahasia jabatan, maka dokter gigi memiliki hak ingkar. Terdapat dua aliran pendapat tentang penggunaan hak ingkar dan kewajiban menyimpan rahasia, yaitu aliran mutlak yang menyebutkan bahwa rahasia jabatan sama sekali tidak boleh dibuka, serta aliran relatif yang menyebutkan rahasia jabatan dapat dibuka tergantung kasus yang dihadapi. Di Indonesia aliran relatif ini lebih banyak dianut (Rachman, 2007).Walaupun seorang dokter gigi dapat menggunakan hak ingkar untuk tidak memberikan keterangan karena adanya kewajiban menyimpan rahasia jabatan, berdasarkan pasal 179 ayat (1) KUHA Pidana, setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan (Rachman, 2007).Sekalipun dokter gigi memiliki hak ingkar untuk dapat menolak memberikan keterangan yang berhubungan dengan pasiennya, karena kewajiban menjaga rahasia jabatan, tetapi harus disadari tanggung jawabnya untuk mengutamakan kepentingan masyarakat dan Negara (Rachman, 2007).Menurut Rachman (2007) dokter gigi dapat membuka kerahasiaan pasien bila :1. Ada perintah dari hakim, sesuai pasal 180 ayat (1) KUHP.2. Ada permintaan tertulis dari penyidik, sesuai pasal 133 KUHP.3. Untuk melaksanakan perintah atasan, sesuai pasal 51 KUH Pidana, contohnya dokter militer.4. Untuk melaksanakan ketentuan Undang Undang, sesuai pasal 50 KUH Pidana.5. Kasus yang dihadapi menyangkut kepentingan umum yang membahayakan ketertiban umum, dimana pendapat dan keterangan yang diberikan dokter dapat memberi nilai bagi proses keadilan. Apabila dokter gigi menolak memenuhi kewajiban untuk dipanggil sebagai saksi ahli di bidang Kedokteran Gigi Forensik, maka berdasarkan pasal 224 KUH Pidana, diancam pidana penjara.

2.7 Dokter Yang Dapat Dimintai BantuannyaDari segi yuridis, setiap dokter adalah baik dokter itu ahli ilmu kedokteran kehakiman ataupun bukan, oleh sebab itu setiap dokter dapat dimintai bantuannya untuk membantu membuat terang perkara pidana oleh pihak yang berwenang. Akan tetapi supaya dapat diperoleh suatu bantuan yang maksimal, permintaan bantuan itu perlu diajukan pada dokter yang memiliki keahlian yang sesuai dengan objek yang akan diperiksa.Contohnya antara lain :1. Untuk objek korban mati sebaiknya diminta kepada ahli ilmu kedokteran kehakiman.2. Untuk objek korban hidup yang menderita luka-luka sebaiknya dimintakan kepada dokter ahli bedah.3. Untuk objek korban hidup akibat tindakan pidana seksual sebaiknya dimintakan kepada dokter ahli kandungan.4. Untuk yang berakitan dengan gigi (untuk kepentingan identifikasi) sebaiknya dimintakan bantuan kepada dokter gigi.5. Untuk objek terdakwa yang menderita / diduga menderita penyakit jiwa sebaiknya dimintakan kepada dokter ahli jiwa.Perlu diketahui bahwa jika disatu daerah tidak ada dokter dengan keahlian yang sesuai tersebut diatas , maka dokter umum dapat dimintakan bantuannya. Tiap-tiap dokter yang diminta bantuannya sebagai ahli wajib memberikan bantuannya sebatas kemampuan yang dimilikinya. Pemeriksaan tambahan yang tidak dapat ia lakukan wajib ia beritahukan kepada penyidik, agar penyidik dapat mengajukan permintaan pemeriksaan tambahan itu kepada pihak lain. Perlu diketahui bahwa dari segi yuridis dokter tidak boleh konsultasi langsung dengan dokter lain.Cara Dokter Dalam Menyampaikan Keterangannya Keterangan dokter sebagai ahli dapat disampaikan kepada yang memintanya melalui 2 (dua) cara antara lain :A) Secara TertulisKeterangan tertulis dari dokter sebagai ahli dapat disampaikan pada tingkat :1. Penyidikan.2. Penyidikan Tambahan.3. Sidang Pengadilan.Jika keterangan tertulis ini dibuat dengan sumpah atau dengan mengingat sumpah maka keterangan itu nanti disidang pengadilan dapat berlaku sebagai alat bukti yang sah ( alat bukti surat ) tanpa perlu menghadirkan dokter kesidang pengadilan. Keterangan tertulis seperti itu disebut dengan Visum et Repertum.B) Secara LisanSebenarnya keterangan lisan juga dapat diberikan pada tingkat :1. Penyidikan2. Penyidikan tambahan3. Sidang pengadilanKeterangan lisan di hadapan penyidik pada tingkat penyidikan atau penyidikan tambahan tidak dapat berlaku sebagai alat bukti yang sah tanpa menghadirkan dokter pada sidang pengadilan.2.8 Dokter Sebagai Saksi Ahli Memberikan Keterangan Tentang Teori atau HipotesaDisini dokter hanya diminta keterangannya tentang teori / hipotesa sehubungan dengan adanya suatu masalah yang dapat dibuat lebih jelas melalui teori / hipotesa. Contohnya :1. Seorang bidan dituduh menggugurkan kandungan seorang wanita hamil dengan cara memberikan sesuatu obat. Dalam hal ini perlu di datangkan seorang dokter ahli yang akan memberikan keterangan apakah obat itu memang mempunyai efek menggugurkan atau tidak.2. Seorang dokter dituduh telah menyebabkan matinya seorang pasien. Dalam hal ini perlu didatangkan dokter ahli yang memberikan keterangan apakah prosedur pengobatan berdasarkan teori yang benar atau tidak atau sudah memenuhi standar pengobatan atau belum.2.9 Dokter Sebagai Saksi Ahli Memberikan Keterangan Tentang Suatu ObjekDalam hal ini, kepada dokter di sodorkan suatu objek untuk diperiksa kemudian melalui berbagai cara yang dibolehkan menurut KUHAP, hasil pemeriksaan itu (berupa analisa dan kesimpulan) disampaikan kepada pihak peminta. Objek-objek itu antara lain adalah :A. Objek TerdakwaObjek terdakwa perlu dimintakan keterangan kepada dokter sebagai ahli apabila ;Terdakwa menunjukan tanda atau gejala kelainan jiwa. Dalam hal ini keterangan yang dibutuhkan dari dokter atas terdakwa untuk kepentingan peradilan adalah :1. Tentang ada tidaknya kelainan jiwa;2. Bila ada, apa jenis kelaian jiwa itu;3. Apakah dengan kelainan jiwa jenis itu terdakwa masih mampu bertanggung jawab atau tidak terhadap perbuatannya. B. Objek KorbanObjek korban terdiri atas korban mati dan korban hidup, selanjutnya korban mati terdiri atas bayi dan bukan bayi.1. Objek mati bayi perlu dimintakan keterangan kepada dokter tentang :a. Apakah bayi itu viable ( mempunyai kemampuan hidup diluar kandungan ) atau tidak.b. Apakah bayi lahir hidup atau mati.c. Apakah kematiannya wajar ( karena penyakit ) atau tidak wajar, jika tidak wajar perlu ditentukan :1) Jenis lukanya.2) Jenis kekerasannya.3) Sebab kematiannya.2. Objek mati bukan bayi perlu dimintakan keterangan kepada dokter tentang :a. apakah kematiannya wajar karena penyakit atau tidak wajarb. jika tidak wajar perlu diketahui antara lain :1) Jenis lukanya.2) Jenis kekerasannya.3) Sebab kematiannya.3. Mengenai objek korban hidup perlu dimintakan keterangan kepada dokter sbb :a. Dalam hal perkosaan perlu dimintakan keterangan tentang ada tidaknya tanda-tanda kekerasan. Bila ada perlu ditentukan :1) Jenis lukanya.2) Jenis kekerasannya.3) Kualifikasi / derajat lukanya.b. Dalam hal korban hidup itu diduga korban persetubuhan mau sama mau di bawah umur, sedang korban itu tidak jelas umurnya, perlunya dimintakan keterangan dokter tentang umur korban.c. Dalam hal korban hidup itu korban luka-luka akibat penganiayaan, percobaan pembunuhan, peracunan dan sebagainya maka perlunya dimintakan keterangan kepada dokter itu ialah untuk mengetahui tentang :1) Jenis lukanya.2) Jenis kekerasannya.3) Kualifikasi / derajat lukanya.4) Objek lain- lainTermasuk objek lain-lain antara lain :1) bercak darah / bercak yang diduga darah.2) bercak mani / bercak yang diduga mani.3) benda- benda atau jaringan-jaringan yang berasal atau diduga berasal dari tubuh manusia.Objek lain-lain ini perlu dimintakan bantuan dokter sebagai ahli untuk ikut membantu menemukan kebenaran material.4. Kewajiban Dokter Sebagai Saksi AhliMenyadari akan pentingnya peranan dokter dalam membantu menyelesaikan perakara-perkara pidana maka pembuat undang-undang hukum acara pidana menetapkan berbagai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh dokter apabila ia dimintai bantuannya sebagai ahli. Dokter dapat dikenakan sanksi apabila ia tidak melaksanakan kewajiban tersebut tanpa alasan yang sah kewajiban-kewajiban itu adalah :

a. Wajib Memberikan Keterangan AhliKetentuan yang mewajibkan dokter memberikan keterangan sebagai ahli apabila diminta, dapat dilihat pada Pasal 179 angka 1 KUHAP yang menyatakan : Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.Ketentuan ini merupakan ketentuan yang berlaku pada tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan yang apabila dengan sengaja tidak dipatuhi oleh yang tanpa alasan yang sah dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 224 KUHP.Alasan yang sah yang dapat menyebabkan dokter tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai ahli yaitu :1. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.2. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga.3. suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama- sama sebagai terdakwa.Sebenarnya alasan-alasan itu diperuntukkan bagi saksi, tetapi karena ada ketentuan dalam KUHAP yang menyatakan semua ketentuan saksi berlaku bagi mereka yang memberikan keterangan ahli maka alasan-alasan tersebut berlaku pula bagi dokter.Demikian juga ketentuan yang bahwa mereka yang mempunyai alasan mengundurkan diri dapat memberikan keterangan di bawah sumpah apabila mereka menghendakinya dan penuntut umum serta terdakwa menyetujuinya.Tanpa persetujuan dari penuntut umum dan terdakwa, mereka hanya boleh memberikan keterangan tanpa sumpah.Pada tingkat penyidikan dan penyidikan tambahan dokter juga mempunyai kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai ahli apabila diminta. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 120 KUHAP yang berbunyi :1. Dalam hal penyidik menganggap perlu ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus2. Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji dimana penyidik bahwa ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.Sudah tentu dokter juga dapat dituntut berdasarkan pada Pasal 224 KUHP apabila dengan sengaja ia tidak memenuhi kewajiban tersebut. Adapun bunyi dari Pasal 224 KUHP adalah : Barang siapa yang dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya diancam :1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.2. dalam perkara lain dengan pidana penjara paling lama enam bulan. b. Wajib Mengucapkan Sumpah atau JanjiPada tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan, dokter wajib mengucapkan sumpah atau janji sebagai ahli sebelum ia memberikan keterangan dan juga sesudah memberikan keterangannya apabila dipandang perlu oleh hakim. Dalam hal dokter menolak mengucapkan sumpah atau didepan penyidik sewaktu memberikan keterangan lisan, dokter tidak boleh disandera.Penyanderaan hanya dimungkinkan pada tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan dengan surat penetapan hakim ketua sidang. Kendala yang Dihadapi Dokter Dalam Membantu Pembuktian Perkara PidanaDi dalam melakukan tugas-tugasnya pada proses pemeriksaan untuk mempermudah proses penyidikan, dokter sering sekali mendapat hambatan- hambatan dalam pemeriksaannya, hambatan-hambatan tersebut antara lain :

1. Keterbatasan FasilitasIlmu Forensik di Indonesia dapat dikatakan masih jauh tertinggal dengan negara-negara maju, padahal yang seperti di ketahui bahwa ilmu forensik ini sangat penting sekali terlebih banyak kasus-kasus kejahatan yang membutuhkan keahlian dalam bidang ini.Sarana pendukungnya juga tidak di fasilitasi dengan baik oleh pemerintah, selain itu kemampuan rumah sakit atau institusi kesehatan menyimpan data rekam medis juga sangat terbatas.2. Kurangnya Koordinasi Antara Penyidik dan DokterDidalam menyelesaikan suatu perkara tidak jarang seorang penyidik memerlukan bantuan dokter untuk ikut melakukan pemeriksaan di tempat kejadian perkara ( TKP ) kesempatan ini diberikan kepada penyidik, karena ada penyidik yang merasa takut bila berhadapan dengan seorang mayat. Pemeriksaan luar mayat di tempat kejadian perkara sangat diperlukan untuk dapat menentukan cara kematian. Biasanya yang datang lebih dahulu adalah penyidik , namun ada beberapa kejadian yang terjadi pada saat dokter tiba di tempat kejadian tersebut posisi mayat sudah berpindah. Jelaslah disini bahwa koordinasi penyidik dengan dokter sangat minim, alangkah baiknya apabila penyidik tidak memindahkan posisi mayat, sebelum dokter datang dan seluruh pemeriksaan TKP selesai.Sehingga dokter dapat melakukan pemeriksaan dengan tenang.Penyidik dapat memindahkan posisi mayat apabila posisi mayat tersebut mengganggu kelancaran lalu lintas.3. Keberatan Dari Pihak Keluarga KorbanDi dalam Pasal 134 KUHAP menjelaskan :a) Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korbanb) Dalam hal keluarga korban keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukan pembedahan tersebutc) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang perlu diberitahu tidak ditemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat 3 undang-undang iniDidalam Pasal 133 ayat 3 KUHP menjelaskan : Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus dilakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilakukan dengan cap jabatan yang diletakkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.Apabila keluarga korban keberatan untuk dilakukan pemeriksaan bedah mayat, maka penyidik harus menjelaskan bahwa pemeriksaan ini harus segera dilakukan. Disamping mayat adalah merupakan barang bukti untuk memperlancar proses pemeriksaan juga tidak menutup kemungkinan bahwa keluarga itu sendiri pembunuhnya dan dengan sendirinya keberatan untuk dilakukan bedah mayat. Jika alasan pihak keluarga adalah, bahwa bedah mayat tersebut bertentangan dengan ajaran Agama Islam adalah tidak tepat. Seperti apa yang diputuskan oleh Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syra Departemen Kesehatan yang berupa Fatwa No.4/1995 yang berbunyi :1) Bedah mayat itu mubah / boleh hukumnya untuk kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan dokter dan penegakkan keadilan diantara umat manusia.2) Membatasi kemubahan ini sekedar darurat saja menurut kadar yang tidak boleh tidak harus dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.4. Identifikasi Pada Korban yang Tidak DikenalApabila ditemukannya mayat yang telah di mutilasi (terpotong / tidak utuh lagi) oleh pelaku tersebut maka sangat susah untuk mengidentifikasi siapa sebenarnya korban tersebut, terlebih apabila tidak ditemukannya identitas seperti KTP, SIM, STNK dan lain-lain. Hal ini merupakan kerja keras bagi penyidik untuk mencari siapa yang harus bartanggung jawab dalam peristiwa ini dan apa modus operandi dari pembunuhan mutilasi ini dilakukannya, apalagi mayat yang ditemukan hanya beberapa bagian dari tubuh seperti tangan, kaki, kepala dll. Bagian-bagian tubuh yang ditemukan ini segera di kirim ke rumah sakit untuk segera dilakukan otopsi secara maximal. Hal pertama yang diteliti oleh dokter adalah mengidentifikasi dan memperkirakan, jenis kelamin, perkiraan umur, perkiraan berat badan dan tinggi badan, perkiraan kematian. Ciri-ciri mendasar seperti ini perlu diketahui sebab apabila ada anggota keluarga ataupun masyarakat, yang melapor bahwa ia kehilangan keluargannya maka penyidik dapat mencocokkan ciri-ciri orang hilang tersebut dengan korban mutilasi yang ditemukan.

2.10

BAB IIICONSEPTUAL MAPPING

Pihak PenyidikMayat Tanpa Identitas

Dokter Gigi Forensik

Forensik

Dokter Ahli Forensik

Identifikasi Mayat

Otopsi

Rekam Medis

Data terkumpulVisum et Repertum

Mati tidak wajarMati wajar

Proses hukumSerahkan kepada keluarga

BAB IVPEMBAHASANDalam perkembangannya Ilmu kedokteran forensik sangat berperan dalam pengusutan suatu kasus kematian, meskipun ada sebagian fihak yang kontra karena otopsi dalam forensik dianggap tidak berperikemanusiaan karena menggunakan mayat sebagai barang percobaan. Dalam forensik terdapat dua usaha yang dapat dilakukan untuk mengusut alur suatu kasus dari segi medis yaitu otopsi dan Rekam medis.Dalam otopsi dilakukan pembedahan pada tubuh mayat dengan tujuan mengetahui ciri dan karakteristik mayat terlebih pada mayat yang sudah tidak dapat dikenali. Sedangkan fungsi dari rekam medis itu sendiri adalah memberikan informasi secara tertulis dan sistematis riwayat kesehatan si mayat. Apabila otopsi dan rekam medis telah dilaksanakan, akan di dapat data-data yang di dalamnya berisi banyak informasi baik dari aksi (otopsi), dan administrasi (rekam medis) yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi mayat. Dalam forensik tidak hanya doker spesialis forensik dan polisi yang bergerak namun apabila dalam pemecahan suatu kasus, dokter spesialis tidak dapat mengidentifikasi identitas mayat maka akan dipanggillah dokter gigi untuk dimintai bantuan. Dokter gigi dalam hal ini akan berperan dalam pengidentifikasian lewat gigi dan rongga mulut yang masih tersisa. Karena dari gigi seorang dokter gigi akan dapat mengidentifikasi mayat dari usia, jenis kelamin, ras, bentuk wajah, dllKeterlibatan dokter gigi sehubungan dengan Kedokteran Gigi Forensik dapat dibagi menjadi 3 bidang, yaitu: (a) Perdata non-kriminal (b) Kriminal dan (c) Penelitian. Pada dasarnya dokter dan dokter gigi dalam membantu aparat penegak hukum dapat dibedakan atas (Rachman, 2007): 1. Menurut obyek pemeriksaan: a. Orang hidup b. Jenazah c. Benda-benda atau yang berasal dari dalam tubuh. 2. Menurut jasa yang diberikan: a. Melakukan pemeriksaan lalu mengemukakan pendapat dari hasil pemeriksaannya b. Mengajukan atau mengemukakan pendapat saja. 3. Menurut tempat kerja: a. Di rumah sakit atau laboratorium b. Pemeriksaan di tempat kejadian c. Di muka sidang pengadilan.Tugas dokter gigi dalam lingkup forensik adalah melakukan pemeriksaan terhadap keadaan mulut dan gigi dan hal-hal yang berhubungan dengan keadaan mulut dan gigi, contohnya: memeriksa bekas gigitan. Oleh sebab itu seorang dokter gigi dapat dilibatkan dalam pembuatan Visum et Repertum oleh dokter pembuat Visum et Repertum sebagai konsultan untuk memeriksa keadaan mulut dan geligi korban, karena dokter gigi tidak memiliki wewenang khusus untuk membuat Visum et Repertum. Walaupun demikian, dokter gigi dapat membuat berbagai hasil pemeriksaan yang kedudukannya setara dengan Visum et Repertum tetapi tidak dengan judul Visum et Repertum (Rachman, 2007).Informed Consent atau Persetujuan Tindakan Medik (PTM) adalah suatu cara bagi pasien untuk menunjukkan preferensi atau pilihannya. Secara harifiah Informed Consent memiliki dua unsur yaitu: 1) Informed yang dapat diartikan informasi yang telah diberikan dokter. 2) Consent yang diartikan sebagai persetujuan oleh pasien setelah memahami informasi yang telah diberikan oleh seorang dokter. Pasien mempunyai hak menerima dan menolak pengobatan, dan hak untuk meneriman dan menolak informasi dari dokternya sebelum memberikan atau persetujuan medik. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan no. 585 tahun 1989 yang menterjemahkan Informed Consent sebagai persetujuan yang diberikan pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut (Idris, Tjiptomartono, 2008). Jadi persetujuan tindakan medik ini juga berpengaruh terhadap keberhasilan otopsi.

BAB VPENUTUP5.1 KesimpulanSeorang dokter gigi harus tahu ranah forensik dan ruang lingkupnya agar mengerti bahwa tidak hanya dokter spesialis forensik yang dilibatkan dalam forensik namun dokter gigi juga dilibatkan terutama dalam otopsi bagian gigi dan mulut.5.2 SaranDengan adanya makalah ini diharapkan calon dokter gigi mengetahui ranah forensik, dan dapat digunakan untuk pengembangan karya ilmiah selanjutnya yang berhubungan dengan forensik.

DAFTAR PUSTAKAAfandi D. 2009. Visum et Repertum Pada Korban Hidup. Pustaka Dwikar: JakartaAmir. 2003. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Pustaka Dwipura: JakartaArdan, Rachman. 2008. Dokter Gigi Sebagai Saksi Ahli dalam Perkara Pidana. Sumber pustaka.unpad.ac.id/wp.../06/mklh_dokt_gigi_sbg_saksi_akhli.pdf. Diambil pada 3 April 2012, Pukul 22.10Dahlan S. 1999. Pembuatan visum et repertum. Badan Penerbit Universitas Diponegoro: SemarangHamdani, Njowito. 1992. Ilmu Kedokteran Gigi edisi 2. Gramedia Pustaka Utama: JakartaKKI. 2009. Manual Komukasi Efektif Dokter-Pasien. Lembaga Konsultan Peraturan Bisnis Indonesia: JakartaLukman, Djohansyah. 2006. Ilmu Kedokteran Gigi Forensik Jilid 1. CV Sagung Seto: JakartaLukman, Djohansyah. 2006. Ilmu Kedokteran Gigi Forensik Jilid 2. CV Sagung Seto: JakartaMunin, Abdul dan Legowo. 2008. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan. CV Sagung Seto:JakartaMunin, Abdul Idries, dkk. 2009. Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik. CV Sagung Seto: JakartaSamil, Suprapti Ratna. 2001. Etika Kedokteran Indonesia. Yayasan Bina Pustaka Sarwono prawirohardjo: JakartaUnair. 2008. Peran Dokter Gigi dalam Identifikasi Korban Bencana. Sumber http://www.unair.ac.id/berita.unair.php?id=963. Diambil pada 3 April 2012, Pukul 21.1331